Anda di halaman 1dari 24

MANAJEMEN ANASTESI PADA PASIEN PARASITIC

OMPHALOPHAGUS TWINS+ HERNIA VENTRALIS +


DOUBLE OUTLET RIGHT VENTRICLE + VSD

Oleh :
Lusy Octavia Saputri
130121160502

Pembimbing:
Gezy Weita Giwangkencana, dr, Sp. An-KIC

POSTER

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat


Guna memperoleh gelar Dokter Spesialis Anestesiologi
Program Pendidikan Dokter Spesialis I
Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS-1


ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJADJARAN
BANDUNG
2017
MANAJEMEN ANESTESI PADA PASIEN OSTEONECROSIS OF THE
HIP JOINT + SISTEMIC LUPUS ERITOMATOSUS

Abstrak

Latar Belakang : Single ventricle merupakan kelainan jantung kongenital


kompleks, dan seseorang yang hidup dengan kelainan ini akan disertai dengan
sejumlah keterbatasan. Tanpa terapi bedah, univentrikel akan menjadi malapetaka.
Prosedur Fontan merupakan teknik pembedahan terpilih yang dapat diterapkan
pada pasien dengan single ventricle. Hasil prosedur Fontan dipengaruhi oleh
beberapa faktor termasuk faktor, prosedur, pengelolaan, dan tekanan vena sisi
kanan berangsur-angsur akan meningkat. Seiring
dengan berjalannya waktu gagal jantung kanan akan mengalami penurunan fungsi
Kasus : Pasien wanita usia 34 tahun diagnosa Osteoarthritis at right knee yang
akan dilakukan operasi Total Knee Arthoplasty. Pada pemeriksaan tidak
ditemukan kelainan organ target. Penatalaksanaan intraoperatif dilakukan dalam
narkose umum dengan intubasi ETT no 7,0. Intubasi dilakukan dalam tidur dalam.
Selama operasi, hemodinamik stabil, maintenance dengan sevoflurane 1-2
volume %. Durasi operasi sekitar 3 jam. Operasi berhasil dilakukan dengan baik.
Pasca operasi pasien diobservasi di ruang pemulihan, lalu kembali ke ruang
perawatan.
Ringkasan : Manajemen anesthesia pada pasien dengan osteoarthritis at right
knee dengan Sistemic Lupus Eritomatosus memerlukan perhatian khusus pre-OP,
intra-OP sampai post-OP. Manajemen perioperatif yang harus diperhatikan
penggunaan kosrtikosteroid jangka panjang dan terapi substitusi. Manajemen
intraoperative dengan melakukan pemantauan ketat terhadap hemodinamik
pasien. Manajemen post operative dengan reassessment keadaan hemodinamik
dan manajemen nyeri. Operasi berlangsung sekitar 2 jam dengan hemodinamik
stabil.

Kata kunci: Manajemen anestesi, Osteonekrosis, SLE, Kortikosteroid.


ANESTHESIA MANAGEMENT ON PATIENTS WITH
OSTEONECROSIS OF THE HIP JOINT AND SYSTEMIC
LUPUS ERITROMATOSUS

Abstrack

Background : Systemic Lupus Erythematosus is a complex disorder that is


signed by autoantibody dysregulation pathogen and complex immune that directs
to the multisystem of chronic inflammation. The serious disease has wide range
where they mostly suffer in light disease, yet it has potential of fatal depends on
the affected organ. The SLE can be a big challenge for anesthesiologist because
of the known organ damage, coagulation irritation, and complex regiment
management during the perioperative. This case report will discuss the
implementation of anesthesia to the fibroadenoma mammae disease with
Systemic Lupus Erythematosus (SLS)

Case : A-34-year-old wowan was diagnosed Osteoarthritis at the knee whereas


it will been done the Total Knee Arthoplasty operation. During physical check,
there was no abnormality in the organ’s target. The interoperation
implementation was done in the general narcotics with the intubation ETT no 7,0.
The intubation was done in the deep sleep. The operation had duration 3 hours
and it was done well. The  post operation, the patience was observed in the
recovery room, then sent back to the treatment room.

Summary : The anesthesia management for the patience with osteoarthiritis at


the right knee with SLE needs special care during pre-OP, intra-OP until post-
OP. The perioperative management has to be considered the long term
kostrikosteoid usage and substitution therapy. The intraoperative management
was done by deep monitoring towards to the patience’s hemodynamic. The post-
operative management was done by re-assessment the hemodynamic condition
and sore management. The operation duration was 3 hours with steady
hemodynamic

Key word: anesthesia management, ovarian carcinoma, Meigg syndrome


PENDAHULUAN

Osteonecrosis adalah suatu tanda klinis yang ditandai oleh kematian sumsum

tulang dan tulang trabekuler yang diakibatkan gangguan suplai darah ke dalam tulang.

Aspek lainnya pada kondisi ini antara lain avaskuler nekrosis, aseptic nekrosis, dan

osseus ischemic necrosis of bone. Osteonecrosis dibagi menjadi tiga bentuk, yaitu post

traumatic, nontraumatik, dan idiopatik. Post traumatic sendiri biasanya merupakan

perkembangan dari traumatic displacement of bone fragment yang kemudain

mengganggu suplai darah ke tulang dan terjadi iskemik tulang.

Osteonekrosis sering menyerang tulang panjang terutama pada caput femoris,

bagian distal dari os tibia, dan caput humeri. Tetapi juga dapat menyerang tulang pipih,

seperti sternum, talus dan tulang belakang. Osteonekrosis sering melibatkan lebih dari

satu bagian tulang. Pernah dilaporkan bahwa osteonekrosis menyeranng hingga 12 tulang.

Pada paenyakit arthritis rheumatoid, osteonekrosis sangat berhubungan erat dengan

Sitemil Lupus Eritematosus (SLE). Osteonecrosis sendiri telah didiagnosis pada pasien

dengan Anti Phospolipid Syndrome Primer, Rheumathoid arthritis, dan vaskulitis

sistemik.

SLE adalah penyakit autoimun yang menyerang setiap organ dan jaringan

sekitarnya. SLE ditandai dengan gambaran klinis yang sangat bervariasi satusama

lain. Manifestasinya sendiri pada tulang seperti osteonekrosis tidak berhubungan

dengan patofisiologi autoimun pada penyakit SLE.

Prevalensi Systemic Lupus Erythematosus (SLE) berkisar antara 7,4 – 159,4 per

100.000 penduduk. Dilaporkan ratio antara wanita: pria 9:1, dengan angka

kejadian tertinggi terdapat pada usia antara 15-40 tahun, walaupun mungkin
ditemukan kasus yang muncul pada usia anak-anak, dimana pada keadaan tersebut

ratio antara perempuan dan laki-laki mendekati 2:1. Laki- laki atau pasien dengan

onset usia yang lebih tua cenderung untuk mengalami penyakit yang lebih hebat

dan prognosis yang lebih buruk.2 Prevalensi SLE dijelaskan memiliki komponen

etnis tertentu, dimana wanita kulit hitam dapat mengidap SLE tiga kali lebih

banyak dari kulit putih. Sebagai tambahan wanita kulit hitam dan hispanik

dilaporkan memiliki angka morbiditas yang lebih tinggi.1 Pasien dengan SLE

sebagian besar diderita oleh wanita usia produktif yang berasal dari ethnik Afrika

dan Asia.3

SLE didokumentasikan pertama kali pada abad pertengahan dimana saat

itu disebut lupus (srigala dalam bahasa latin) untuk menggambarkan ruam klasik

pada wajah (malar). Diibaratkan ruam pada wajah tersebut menggambarkan

rambut pada dahi dan moncong dari srigala. Sampai pada tahun 1872 seorang

dermatologis Hungaria bernama Moric Kaposi memulai untuk menggambarkan

dan mengetahui manifestasi sistemik dari penyakit tersebut.1

Infeksi tampaknya menjadi penyebab kematian utama pada pasien usia

muda, dimana komplikasi yang berkaitan dengan atherosklerosis menurunkan

kelangsungan hidup pada pasien usia tua. Faktor etiologi yang meningkatkan

mortalitas diantaranya usia lebih dari 50 tahun, jenis kelamin laki- laki dan

rendahnya status ekonomi .1

Presentasi klinis SLE memunculkan variasi yang sangat banyak , dimulai

dari gambaran akut seperti malar klasik, suatu “ruam kupu-kupu (butterfly rash)”

eritematus, sampai pada penyakit- penyakit progresif yang fatal yang umumnya
disebabkan oleh komplikasi patologis dari ginjal, kardiovaskuler, sistem

pernafasan dan sistem saraf pusat.1 Manifestasi klinis SLE bermacam-macam.

Gambaran yang paling sering muncul adalah poliarthritis dan dermatitis.3

Alur terapi SLE berdasarkan penanganan simptomatis dari manifestasi

penyakit dapat dibrrikan NSAIDs, antimalaria atau aspirin, dikombinasi dengan

obat imunosupresif untuk mencapai remisi penyakit. 2 Pasien yang mendapat

kortikosteroid biasanya memerlukan pengganti kortikosteroid selama periode

perioperatif.3

Belum adanya ketetapan penanganan anestesi terhadap SLE, juga

kurangnya bukti- bukti disertai dengan manifestasi penyakit yang sangat

heterogen membuat penentuan protokol manajemen definitif terhadap penyakit

ini menjadi sulit. Ahli anestesi perlu memahami manifestasi potensial dari SLE

dan apakah manifestasi tersebut jelas terlihat atau suatu tanda subklinis. 2 Laporan

kasus ini akan membahas penatalaksanaan anestesi pada pasien dengan Systemic

Lupus Erythematosus.
LAPORAN KASUS

Identifikasi

Nama : Ny. E

Umur : 33 tahun

Jenis kelamin : Perempuan

Alamat : Jl. M. Toha Bandung

Agama : Islam

Pekerjaan : Ibu rumah tangga

MedRec : 158xxx

Masuk RS : 30 November 2017

Alasan masuk rumah sakit : Nyeri lutut bila digunakan berdiri dan berjalan

Diagnosis : Osteoarthritis at Right Knee

Rencana Operasi : Total Knee Arthoplasty


SUBJEKTIF

Anamnesis :

Keluhan Utama : Nyeri pada lutut

Pasien mengeluh adanya nyeri di lutut sejak 1 tahun yang lalu. Nyeri terutama bila

digunakan saat berdiri dan berjalan. Nyeri bertambah berat dalam 2 bulan terakhir

hingga pasien tidak sanggup berdiri.

Sejak 2 tahun yang lalu pasien di diagnosa dengan SLE, dengan keluhan awal

sebelum terdiagnosa demam disertai nyeri sendi hilang timbul selama sebulan,

disertai munculnya ruam2 di wajah, dada dan ekstremitas. Pasien juga sempat

mengeluhkan sariawan yang timbul di mulut yang tidak kunjung sembuh dan silau

terkena cahaya. Dalam 3 bulan terakhir pasien mendapatkan terapi

methilprednisolon 1x8 mg setiap harinya. Sebelumnya pasien mendapatkan terapi

methylpednisolon 1x16 mg selama 2 tahun terakhir.

Setahun sebelumnya pasien pernah dioperasi karena keluhan nyeri pinggang dan

dilakukan hip arthoplasty dalam anestesi umum dan tidak ada masalah.

OBJEKTIF

Pemeriksaan fisik :

KU : Sakit sedang

Kesadaran : GCS 15 E4M6V5

TD :120/80 mmHg HR : 84 x/m, reguler

RR : 18 x/m S : 36,2
SPO2 : 97 % udara bebas

Kepala : Konjungtiva anemis (-), sklera ikterik(-/-)

Mulut : Mallampati II, Buka mulut > 3 jari,

Leher : ROM baik

Thoraks : Bentuk dan gerak simetris,

Paru : VBS D=S, ICS 6 rh -/-, wh -/-

Jantung : S1, S2, reguler, gallop (-), murmur (-)

Abdomen : Datar, lembut, nyeri tekan (-)

Ekstremitas : capillary refill < 2’’, Akral hangat, Oedem (-), Sianosis (-)

Pemeriksaan Laboratorium dan Penunjang

Rontgen : Tidak tampak kardiomegali

TFP : restriktif ringan

EKG : sinus ritme, Heart Rate 96x/menit

Laboratorium

Hb 10,4 g/dl PT 10,4


Ht 32,9 InR 0,95
Leukosit 7.810 mm3 ApTT 24,0
Trombosit 361.000 mm3 SGOT 15U/L
Na 140 meq/L SGPT 16 U/L
K 3,4 mEq/L Ur 24 mg/dl
GDS 101 Cr 1,8 mg/dl

Diagnosis kerja :

Osteoarthritis at Right Knee


Assessment : Osteoarthritis of right knee + SLE + ASA II

Planning :

- Terapi subtitusi steroid

- Puasa 6 jam pre operasi

- Rencana anestesi umum dengan ruang pasca operasi ruangan biasa

- Infus RL maintenance 20 cc/kgBB/24 jam

PENATALAKSANAAN ANESTESI

Pre operatif
Pasien dengan status fisik ASA II, rencana dikerjakan dengan anestesi

umum dan dilakukan informed consent sebelumnya, dipuasakan 6 jam pra

operasi.

Diberikan injeksi iv 16 mg methylprednisolon pada pagi hari sebagai terapi

pengganti streoid. Kesadaran compos mentis, tanda vital: TD 115/78 mmHg, nadi

90 x/menit, pernafasan 18x/menit, SpO2: 99% dengan udara bebas.

Durante operasi

Pasien diposisikan supine, menjelang induksi diberikan metylprednisolon 16

mg intravena. Dilakukan preoksigenasi dengan oksigen 100% selama 3 menit.

Induksi dilakukan dengan Fentanyl 100 mcg, kemudian Propofol 100 mg perlahan

hingga pasien tertidur. Setelah pasien tertidur, gas anestesi dan N2O dinyalakan.

Setelah dipastikan jalan nafas terjaga dan dapat dilakukan ventilasi, diberikan

pelumpuh otot Atracurium 25 mg. Kemudian setelah efek obat tercapai, dilakukan

intubasi dengan direk laringoskopi, lalu dimasukkan ETT nomor 7,0 dengan

balon. Selama durante operasi keadaan umum pasien dalam keadaan stabil.

Pemberian cairan 500 cc kristaloid, perdarahan 150 cc, diuresis 100 cc. Obat yang

diberikan selama operasi: Ranitidin 50 mg, metoklopramid 10 mg,. Setelah

operasi selesai, dilakukan ekstubasi setelah pasien sadar penuh, kemudian pasien

dipindahkan ke ruang pemulihan.

Pasca operasi:
Tirah baring, observasi kesadaran, tanda vital, pernafasan, dan diuresis,

diberikan O2 3 l/menit via binasal kanul, Pada knee arthoplasty VAS skor 7, maka

diberikan analgetik Pethidin 100 mg + Ketorolac 30 mg dalam RL 500 cc

rumatan, 8 mg methylprednisolon i.v intravena pasca operasi, kortikosteroid

methylprednisolone 8 mg besok (dosis harian).

PEMBAHASAN
Systemik lupus erythematosus (SLE) adalah suatu kelainan dari regulasi

imunologis yang penyebabnya tidak diketahui dan bermanifestasi penyakit

inflamasi multisistemik.4 Patogenesis SLE itu kompleks. Faktor utama

patogenesis termasuk pola genetik, gender,dan resiko berasal dari lingkungan.

Walaupun terdapat perbedaan presentasi dari SLE, setiap pasien mengalami

disregulasi aktivitas autoantibodi yang sama dan peningkatan jumlah kompleks

imun. Produksi molekul perusak diri sendiri yang tidak terkendali menyebabkan

proses peradangan yang menyebar luas menyebabkan perusakan yang sama

terhadap suatu sistem organ. Aktivasi proses peradangan yang tidak terkendali dan

produksi yang menghasilkan sitokin, yang paling dikenal adalah INF-α,

bertanggung jawab terhadap kerusakan sistemik organ- organ tersebut.1

Manifestasi Klinis

Presentasi klinis SLE memunculkan variasi yang sangat banyak , dimulai

dari gambaran akut seperti malar klasik, suatu “ruam kupu-kupu (butterfly rash)”

eritematus, sampai pada penyakit- penyakit progresif yang fatal yang umumnya

disebabkan oleh komplikasi patologis dari ginjal, kardiovaskuler, sistem

pernafasan dan sistem saraf pusat.1

Keterlibatan mukokutan adalah gambaran klinis yang paling umum,dapat

muncul sebagai suatu ruam (akut sampai kronis), alopecia, photosensitivitas, dan

kelainan pada membran mukosa.


Gejala- gejala muskuloskeletal memainkan peran yang besar dalam

patogenesis SLE, didapatkan pada 53- 95 % dari keseluruhan kasus. Antara lain,

arthritis, arthropati, myositis, proses nekrotik.

Keterlibatan hematologis juga merupakan karakteristik yang umum

dijumpai pada SLE. Dapat ditemui keadaan anemia, leukopenia,

thrombositopenia, dan sindrom antifosfolipid.

Gejala pada ginjal terdapat pada 40% sampai 70% pasien. Kelainan yang

ringan atau asimtomatis pada sistem urinarius ditemukan pada banyak pasien.

Insufisiensi ginjal kronis,sindrom vaskulitis ginjal, dan lupus glomerulonephritis

berat ditemukan pada persentase yang lebih kecil.

Komplikasi yang mempengaruhi sistem saraf perifer dan CNS. ACR

(American College of Rheumatology mengklasifikasikan manifestasi ini menjadi

neuropsychiatric systemic lupus eritematosus syndromes (NPSLE). ACR

merancang 19 sidrom yang tergolong dalam grup NPSLE, Sindrom CNS

diantaranya penyakit serebrovaskular (CVD), sindrom demyelinisasi, myelopati,

kejang, psikosis, dan meningitis aseptik. Sindrom sistem saraf perifer diantaranya

sindrom Guillain- Barre,mononeuropati, myasthenia gravis, dan neuropati saraf

kranial.

Keterlibatan sistem kardiovaskuler sangat bervariasi. Inflamasi kronis dan

autoantibodi mempercepat atherosklerosis dengan cara mencederai sel- sel endotel

dan merubah lipoprotein. Korelasi antara fase awal SLE dan atherosklerosis berat,

mengarah kepada peningkatan prevalensi penyakit arteri koroner (CAD), infark

miokard, dan stroke.


Manifestasi pada paru melibatkan pleura, parenkim, pembuluh darah dan

dan otot. Gangguan yang palng seing ditemui adalah nyeri pleuritis. Dilaporkan

ditemukan pada 50 % dengan SLE. 1,2

Infeksi memegang peranan penting dalam morbiditas dan mortalitas pada

SLE. Gangguan imunitas, inflamasi kronis dan terapi imunosupresif membuat

pasien- pasien ini menjadi lebih rentan.1,2

Resiko beberapa tipe kanker akan meningkat pada pasien- pasien SLE.

Keterkaitan terkuat tampak pada non- Hodgkin limfoma. Penelitian lainnya

menunjukkan sedikit peningkatan pada resiko kanker payudara, paru dan

serviks.1,2

Komplikasi pada larynx telah dikenal lebih dari 50 tahun, denagn angka

insidensi dapat terjadi pada 0,3% sampai 30% penderita. Dapat ditemukan

inflamasi ringan, paralisis pita suara, stenosis subglotis dan edema larynx dengan

obstuksi akut.2

Diagnosis

ACR (American College of Rheumatology) menyusun kriteria klinis untuk

diagnosis SLE. Seorang pasien harus memenuhi sedikitnya 4 kriteria dari

keseluruhan 11 kriteria untuk penegakkan diagnosis. ( Tabel. 1. )


(Tabel. 1.) Klasifikasi Kriteria SLE Dari ACR.3
Lupus Erythematosus
Criteria Definisi
Malar rash Fixed erythema, flat or raised, over the malar
eminences, tending to spare the
nasolabial folds
Discoid rash Erythematosus raised patches with adherent
keratotic scaling and follicular plugging;
atrophic scarring may occur in older
lesions
Photosensitivity Skin rash as a result of unusual reaction to
sunlight, by patient history or physician
observation
Oral ulcers Oral or nasopharyngeal ulceration, usually
painless, observed by a physician
Arthritis Nonerosive arthritis involving 2 or more
peripheral joints, characterized by
tenderness, swelling, or effusion
Serositis (a) Pleuritis or
(b) Pericarditis
Renal disorder (a) Persistent proteinuria or
(b) Cellular casts
Neurologic disorder(a) Seizures or
(b) Psychosis
Hematologic disorder(a) Hemolytic anemia or
(b) Leukopenia or
(c) Lymphopenia or
(d) Thrombocytopenia
Immunologic disorder (a) Anti-dsDNA antibody or
(b) Anti-Sm antibody or
(c) Positive finding of antiphospholipid
antibodies with either (i) abnormal serum
IgG or IgM anti-cardiolipin antibody levels
or (ii) positivity for lupus anticoagulant or
(iii) false positive serological testing for
syphilis
Antinuclear antibody Abnormal ANA titer
Adapted from Tan EM, Cohen AS, Fries JF, Masi AT, McShane DJ, Rothfield NF,
Schaller JG, Talal N, Winchester RJ. The 1982 revised criteria for the
classification of systemic lupus erythematosus. Arthritis Rheum
1982;25:1271-7.

Nilai ANA (Anti Nuclear Antibodi) positif merupakan tes yang paling sensitif

dan optimal untuk pemeriksaan SLE. Akan tetapi ANA sering juga ditemui

pada kelainan auto imun lainnya, semetara anti-dsDNA dan anti-Smith

antibodi lebih spesifik pada SLE.


Terapi medika mentosa SLE

Pilihan terapi untuk SLE saat ini diarahkan untuk inflamasi sistemik, sel imun

target, jalur penanda, dan sitokin.1

Obat-obatan antimalaria, kortikosteroid, siklofosfamid, MMF, Methotrexate, dan

Azathioprine efektif dalam menekan inflamasi.

1. Pedoman untuk steroid perioperatif

Terapi steroid jangka panjang untuk penyakit kronis seperti asthma

menekan axis hipotalamik-pituitari-adrenal (HPA). Penelitian

menunjukkan pasien normal dengan stress seperti trauma atau

pembedahan akan mengaktifkan axis HPA menyebabkan perubahan

gelombang kortisol sistemik. Kehilangan gelombang ini dapat

mempresipitasi instabilitas hemodinamik pada intraoperatif atau

postoperatif. Diperkirakan orang dewasa mensekresi 75-150 mg kortisol

sebagai respon terhadap operasi mayor dan 50 mg per hari untuk operasi

minor,dan sekresi berbanding lurus dengan durasi. Direkomendasikan

kepada pasien pengguna steroid lama dengan dosis yang ekivalen ≥ 10 mg

prednisolone per hari (dalam 3 bulan terakhir) untuk mendapatkan

regimen terapi subtitusi. Pemberian regimen terapi substitusi berdasarkan

kebutuhan fisiologis akan penelitian pengendalian stress tubuh manusia.

Pada pasien terbukti adanya insufisiensi adrenokortikal, pemberian dosis

rendah regimen substitusi menghasilkan kortisol yang lebih tinggi dari

pasien normal dalam darah dan mencukupi untuk pencegahan instabilitas

hemodinamik intra-operatif.5 ( Tabel. 2. )


( Tabel. 3.). Pemeriksaan Preoperatif untuk pasien dengan SLE

( Tabel. 2. ) Regimen pengobatan Steroid.5

Pasien yang menerima dosis harian reguler lebih dari 10 mg prednisolone atau
ekuivalennya dalam tiga bulan terakhir
Operasi minor 25 mg Hydrocortisone saat induksi
(hernia,tangan)
Operasi moderat steroid pre-op harian + 25 mg
(histerektomi) Hydrocortisone saat induksi+ 100 mg
hidrocortisone per hari
Operasi mayor (trauma mayor, operasi steroid pre-op harian + 25 mg
memanjang, atau operasi dimana terdapat Hydrocortisone saat induksi+ 100 mg
penundaan intake oral) hidrocortisone per hari selama 2-3 hari.
Lanjutkan terapi oral normal apabila
fungsi gastrointestinal telah kembali
Pasien lainnya tidak memerlukan steroid tambahan

Dosis obat ekuivalen (British National Formulary, Maret 2003)


Betametasone 1,5 mg
Cortisone acetate 50 mg
Dexamethasone 1,5 mg
Hydrocortisone 40 mg
Prednisolone 10 mg ekuivalen dengan Deflazacort 12 mg
Methylprednisolone 8 mg

Manajemen Anestesi pada pasien SLE.1

Preoperatif

Pemeriksaan preoperatif dapat menjadi sangat ekstensif akibat dari

gangguan organ multipel pada pasien SLE. ( Tabel. 3. )


system effects Assessment by Physical examination tests
history
cardiovascular Pericarditis chest pain murmur ecG
endocarditis Palpitations effusion cXr
myocarditis diastolic noncompliance echocardiography
chf Pericardial friction rub
conduction blocks
respiratory Infiltrates Pleuritic pain friction rub cXr
restrictive Pfts dyspnea effusion Pfts
 a-a gradient cough cyanosis ABGs
Atelectasis hemoptysis Normal peak flow
Gastrointestinal Perforated viscus nausea/vomiting dilated loops of bowel Gastrointestinal series
Pseudo-obstruction Peritonitis Peritoneal free air Lfts
Liver congestion Pancreatitis hepatomegaly Bilirubin level
Lupoid hepatitis Abdominal pain Jaundice A/G ratio
ileus
hematologic hemorrhage Bruising Lymphadenopathy cBc
thromboembolism thrombosis splenomegaly Platelet count
Anemia Anemia Pt, Ptt
renal Glomerulitis Polyuria costophrenic tenderness urinalysis
nephrotic oliguria edema renal us
syndrome hematuria renal scan
Renal insufficiency fever Bun, cr, tP, albumin
renal failure
cns confusion Paranoid states PsychosisIntraoperatif eeG
hallucinations hyperirritability nystagmus, ptosis, diplopia ct scan
Psychoses
K e numbness
t e Aphasiar l neurologic,
i psychiatric
b a
seizures hemiparesis Peripheral neuropathy evaluations
musculoskeletal and Vasculitis Photosensitivity Malar or butterfly rash hip x-rays
dermatologic symmetric arthritis Atrophic/scarred Perioral ulcerations Antinuclear antibody
Joint immobility lesions reduced range of motion
Aseptic necrosis ecchymosis hip pain
Purpura
Joint pain kemanjuran dari obat-obatan,
immobility
termasuk IV dan anestetik inhalasi,analgetik, inhibitor neuromuskular,

a-a, alveolar-arterial; ABG, arterial blood gas; A/G, albumin/globulin; Bun, blood urea nitrogen; cBc, complete blood count; chf,
congestive heart failure; cns, central nervous system; cr, creatinine; ct, computed tomography; cXr, chest x-ray; ecG,
electrocardiography; eeG, electroencephalography; Lft, liver function test; Pft, pulmonary function test; Pt, prothrombin time; Ptt,
partial thromboplastin time; sLe, systemic lupus erythematosus; tP, total protein; us, ultrasound Adapted from robinson dm.
systemic lupus erythematosus. in: roizen mf, fleisher LA, eds. essence of Anesthesia Practice. 2nd ed. Philadelphia, PA: wB
saunders; 2002.

inhibitor kolinesterase, dan antagonis muskarinik. Intubasi, extubasi dan menjaga

jalan nafas dapat menjadi sulit pada pasien tertentu karena SLE menyebabkan

obstruksi jalan nafas atas dan keterlibatan larynx. Proteksi jalan nafas menjadi

perhatian utama pada pasien yang menjalani anestesi. Pasien dengan SLE

mungkin akan ditemukan ulserasi mukosa, arthritis cricoaritenoid, kelainan


laringeal termasuk laryngeal nerve palsy berulang, atau disfungsi sendi

temporomadibuler yang menyebabkan kesulitan intubasi. Menghindari intubasi

bila menungkinkan atau menggunakan teknik fiber optik sebagai pendekatan

alternatif. Pada pasien SLE keterlibatan sistem pernafasan meliputi pneumonitis

akut, infiltrat alveoli kronis dan infeksi pneumonia berulang. Fungsi paru dan

oksigenasi harus dinilai lebih hati- hati.Hindari hipoksia, hipercapnia dan

pelepasan katekolamin menjaga pulmonary blood flow dan mengurangi

pulmonary vascular resistance. Keterlibatan ginjal menunjukkan tantangan

signifikan pada pasien SLE dan dapat merubah penatalaksanaaan anestesi. Obat-

obatan yang diekskresi ginjal seperti beberapa opioid, benzodiazepin dan

neuromuscular blocking agent dapat terakumulasi. Metabolit toksik menyebabkan

sedasi memanjang, paralisis, dan peningkatan periode pemulihan. Atherosklerosis

prematur dan cepat menyebabkan peningkatan resiko penyakit kardiovaskuler.

Pasien cenderung untuk terjadinya kejadian berbahaya seperti miokard infark

intraoperatif. Setiap upaya harus dilakukan menjaga kestabilan hemodinamik.1

PEMBAHASAN KASUS

Pre operatif

Anamnesis

Pada pasien ini sudah tidak ditemukan lagi presentasi klinis SLE dengan

gambaran keterlibatan mukokutaneus seperti kebotakan, ruam kulit di wajah, di

daerah rahang atas, ruam kulit yang muncul bila terkena cahaya matahari,

sariawan yang berulang dan tidak terasa nyeri di rongga mulut. Ruam kulit
ditemukan pada awal pasien terdiagnosis SLE, sebelumnya pasien juga

mengeluhkan adanya sariawan berulang dan rasa silau bila terkena cahaya. Tetapi

ditemukan gejala keterlibatan muskuloskeletal yaitu gejala nyeri sendi terutama

pada sendi panggul, lutut dan pergelangan tangan. Tanda- tersebut telah

memenuhi kriteria klinis dari ACR (American College of Rheumatology) yaitu

memenuhi 4 dari 11 kriteria. Kriteria yang terpenuhi yaitu: malar rash,

photosensitivity, oral ulcers dan arthitis. 1

Pemeriksaan Penunjang

Dari pemeriksaan penunjang didapatkan peningkatan nilai ureum 78 (nilai

rujukan 15- 50) dan nilai kreatinin 1,88 (nilai rujukan 0,7-1,2). Dari hasil tersebut

dapat disimpulkan telah adanya manifestasi klinis SLE ke ginjal. Lupus nefritis

merupakan tanda yang umum dan menjadi penanda morbiditas pada pasien SLE.

Secara klinis ditemukan pada 60% pasien, seringkali ditemukan pada 3 tahun

pertama setelah terdiagnosis SLE. Biopsi ginjal menjadi “standar emas” untuk

mendiagnosis dan klasifikasi lupus nefritis. Biopsi diindikasikan pada pasien

yang terbukti didapatkan patologi seperti peningkatan kreatinin, proteinuria,

hematuria dan sedimen- sedimen urine yang abnormal.1 Pada pasien ini tidak

dilakukan pemeriksaan tersebut.

Pada pasien SLE manajemen pre operatif secara khusus menekankan pada

kelanjutan pemberian imunosupresan dan pengganti steriod.1 Mengacu pada

pedoman pemberian steriod preoperatif pada pasien ini tergolong pada jenis
operasi moderat dengan diberikan 1 x 16 mg methylprednisolon intravena pada

pagi hari sebelum operasi dilaksanakan,.5

Durante operasi

Menjelang induksi diberikan methylprednisolon 1x16 mg. Hal ini

diperlukan sebagai pengganti kortikosteroid sebagai akibat supresi adrenal yang

diakibatkan oleh terapi kortikosteroid jangka panjang sebagai pengganti stress

dose selama perioperatif.3 Hal ini juga sesuai dengan pedoman pemberian steroid

preoperatif.

Strategi proteksi renal perlu dilakukan dengan menjaga urine output,menghindari

hipoperfusi,dan hipotensi dan juga penggunaan secara hati- hati dari obat- obatan

yang bersifat nefrotoksik karena kemungkinan munculnya lupus nefritis

subklinis.3 Pada pasien ini didapatkan diuresis 250 cc dalam 2 jam operasi

menandakan status urine yang cukup. Selama operasi tekanan darah pasien terjaga

dengan tekanan sistolik 90-124 mmHg dan diastolik 66-88 mmHg.

Pasca operasi

Pada pasien diberikan methylprednisolon 1x4mg intravena pasca operasi.

Mengacu pada pedoman pemberian steriod preoperatif pada pasien ini tergolong

pada jenis operasi moderat dan regimen ini diperlukan sebagai terapi pengganti

kostikosteroid. Pemberian kortikosteroid oral dosis harian juga harus dilanjutkan.5


KESIMPULAN

SLE adalah penyakit autoimun yang rumit dengan manifestasi sistemik yang

bervariasi. Penatalaksanaan anestesi menjadi suatu tantangan karena kompleksitas

dan presentasi klinis yang sangat luas. Perencanaan dan monitoring dilakukan

hati-hati selama intraoperatif pada semua organ yang terlibat terutama ginjal,

paru-paru dan kardiovaskuler. Dari kasus ini dapat diambil kesimpulan untuk

membuat perencanaan operasi seoptimal mungkin dan mengetahui efek yang

dapat terjadi pada satu individu secara personal sesuai dengan manifestasi klinis

SLE yang didapatkan


DAFTAR PUSTAKA

1. Jaffe RA, Samuels SI. Anesthesiologist’s manual of surgical procedures. 2nd


ed. Pennsylvinia: Lippincott-Raven; 1994, 746-50.
2. Carrillo.T Sharon,et al. Anesthetic Consideration s Fot The Patient With
Systemic Lupus Erythematosus. M.E.J.ANESTH.2012 21:483-92
3. Ben-Menachem,Systemic Lupus Erythematosus: A Review for
Anesthesiologists. Anesthesia – Analgesia.2010. 111: 665-76
4. Barash GP, Cullen FB, Stoelting KR. Anesthesia and obesity. In: Barash GP,
Cullen FB, Stoelting KR, editors. Vlinical anesthesia. 6th ed. New York:
Wolters Kluwer/Lippincott Williams & Wilkins; 2009. P 1230 - 47
5. Blanchette,Mary.Systemic Lupus Erythematosus (SLE). In:
Bready,Noorily,Dillman. Decision Making in Anesthesiology.4th
ed.Philadelphia: MOSBY Elsevier; 2007.P 274-5
6. Loh.N,et al. Guidelines for Perioperative Steroids.Update in Anesthesia.P:19-
20

Anda mungkin juga menyukai