Anda di halaman 1dari 9

Tatalaksana Anestesi pada Prosedur Minimal Invasive Neurosurgery: Kasus

Perdarahan Intraserebral Traumatika


Buyung Hartiyo Laksono*), I Putu Pramana Suarjaya**), Sri Rahardjo***), Tatang Bisri****)
*)Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif, Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya – RSUD. Dr Saiful
Anwar Malang, **)Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Udayana –
RSUP. Sanglah Denpasar, ***)Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas
Gadjah Mada – RSUP. Dr. Sardjito Yogyakarta, ****)Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas
Kedokteran Universitas Padjadjaran – RSUP. Dr. Hasan Sadikin Bandung

Abstrak

Traumatic brain injury (TBI) menyumbang 70% kematian akibat trauma. Penyebab yang tersering adalah
kecelakaan lalu lintas 49%. Tehnik minimal invasif cukup berkembang pada beberapa dekade ini, demikian
juga pada bidang bedah saraf. Tujuan utama tatalaksana anestesia adalah immobilisasi intraoperatif, stabilitas
kardiovaskuler, minimal komplikasi pascaoperasi, fasilitasi intraoperatif neurologi monitoring, kolaborasi
tatalaksana peningkatan tekanan intrakranial (TIK) dan rapid emergence untuk pemeriksaan neurologis dini.
Kasus laki-laki 50 tahun dengan perdarahan intraserebral (ICH) direncanakan operasi minimal invasive
neuroendoscopy evakuasi hematom. Posisi selama operasi adalah true lateral yang juga menjadi perhatian
tersendiri. Komplikasi akibat posisi harus dihindari karena rentan mempengaruhi luaran operasi. Operasi
berjalan selama 3 jam dengan luaran optimal. Beberapa masalah penting menjadi perhatian khusus selama
operasi dan pascaoperasi. Prinsip tatalaksana anestesi pada minimal invasif yang harus dicapai adalah
pemeriksaan dan perencanaan preoperatif yang baik, kontrol hemodinamik serebral untuk menjamin tekanan
perfusi otak (cerebral perfusion presure/CPP) optimal, immobilisasi penuh, dan dapat dilakukan rapid
emergence untuk menilai status neurologis. Komunikasi antara operator dan ahli anestesi penting untuk
keberhasilan kasus ini.

Kata kunci: perdarahan intraserebral traumatik, minimal invasif neurosurgery, posisi true lateral

JNI 2016;5(2): 104–12

Anesthesia Management in Minimally Invasive Neurosurgery Procedure: Traumatic


Intracerebral Hemorrhage Case
Abstract

Traumatic brain injury (TBI) accounted for 70% of deaths from trauma. The most common causes of traffic
accidents is 49%. Minimally invasive techniques sufficiently developed in the past few decades, as well as
in the field of neurosurgery. The main objective is the treatment of immobilization intraoperative anesthesia,
cardiovascular stability, minimal postoperative complications, facilitating intraoperative neurological
monitoring, collaborative management of an increase in intracranial pressure (ICP) and the rapid emergence of
early neurological examination. The case of a man 50 years with intracerebral hemorrhage (ICH) minimally
invasive surgery neuroendoscopy planned evacuation of hematoma. Position during operation is true lateral is
also a concern in itself. Complications due to the position should be avoided because it is vulnerable affect the
outcome of the operation. Operations run for 3 hours with optimal outcomes. Some important issue is of
particular concern during surgery and postoperatively. Procedural principle in minimally invasive anesthesia to
be achieved is the examination and good preoperative planning, cerebral hemodynamic control to ensure optimal
cerebral perfussion pressure (CPP), full immobilization, and can do rapid emergence to assess the neurological
status. Communication between the operator and the anesthetist is important to the success of this case.

Keywords: traumatic intracerebral hemorrhage, minimally invasive neurosurgery, true lateral position.

JNI 2016;5(2): 104–12

104
Tatalaksana Anestesi pada Prosedur Minimal Invasive 105
Neurosurgery: Kasus Perdarahan Intraserebral Traumatika

I. Pendahuluan diagnosis, berkembang juga sebagai prosedur


terapi definitif. Tehnik tersebut mempunyai
Trauma merupakan penyebab kematian terbesar beberapa perhatian khusus yang harus diketahui
pada individu dengan usia dibawah 45 tahun di oleh seorang ahli anestesi. Minimal invasif
negara kawasan Eropa. Cedera otak traumatik mempunyai tujuan meningkatkan patient safety,
atau traumatic brain injury (TBI) menyumbang menurunkan lama rawat inap, menurunkan
70% kematian akibat trauma dan kecacatan pada komplikasi invasif dan morbiditas pascaoperasi.
korban yang selamat. Penyebab komplikasi Penggunaan pada pasien trauma masih terbatas
utama dari TBI adalah terbentuknya hematoma dan literatur yang menjelaskan tehnik tersebut
intrakranial. Frekuensi terjadinya hematoma juga belum banyak. Tantangan terhadap ahli
intrakranial sebesar 25–45% pada cedera otak anestesi untuk dapat menyesuaikan dengan
berat, 3–12% pada cedera otak sedang dan pada perkembangan tehnik minimal invasif.4
kasus cedera otak ringan sebesar 1 dari 500 Pada makalah ini akan kami bahas tentang
pasien.1 tatalaksana anestesi pada kasus trauma yang
dilakukan tindakan minimal invasif. Frekuensi
Di Amerika, TBI merupakan penyebab kematian penggunaan tehnik ini pada kasus trauma jarang
terbanyak usia 15–44 tahun dan merupakan sekali dan pada kondisi tertentu, lebih banyak
penyebab kematian ketiga untuk keseluruhan digunakan pada operasi bedah saraf elektif non
kasus. Di negara berkembang seperti Indonesia, trauma. Beberapa permasalahan akan menjadi
TBI berperan pada hampir separuh dari seluruh bahan diskusi pada makalah ini dengan harapan
kematian akibat trauma, mengingat bahwa pengelolaan pasien cedera kepala yang
kepala merupakan bagian yang tersering dan dilakukan tehnik minimal invasif lebih baik.
rentan terlibat dalam suatu kecelakaan.
Distribusi kasus TBI terutama melibatkan II. Kasus
kelompok usia produktif, yaitu antara 15 sampai
44 tahun, dengan usia rata–rata sekitar 30 tahun, Anamnesa
dan lebih didominasi oleh kaum laki–laki Laki-laki 50 tahun dengan berat badan 60 kg.
dibandingkan kaum perempuan. Adapun Pasien datang dengan keluhan sakit di kepala
penyebab yang tersering adalah kecelakaan lalu dan bahu. Riwayat kecelakaan 1 hari sebelum
lintas (49%) dan kemudian disusul dengan jatuh masuk rumah sakit. Pasien pengendara sepeda
(terutama pada kelompok usia anak – anak). 2 motor, menghindari pejalan kaki, jatuh sendiri,
Cedera pada kepala dapat melibatkan seluruh kepala pasien terbentur trotoar, riwayat pasien
struktur lapisan, mulai dari lapisan kulit kepala pingsan dan muntah 1 kali. Pasien masih ingat
atau tingkat yang paling ringan, tulang kejadian. Oleh penolong dibawa ke RSUD
tengkorak, durameter, vaskuler otak, sampai Kepanjen, dilakukan pertolongan pertama di unit
jaringan otak. Baik berupa luka tertutup, gawat darurat (UGD) dan dilakukan
maupun trauma tembus. Dengan pemeriksaan CT Scan. Nilai GCS dari rujukan
pemahamanlandasanbiomekanisme-patofisiologi tertulis 4–5–6. Keluhan nyeri kepala terus
terperinci dari masing-masing proses di atas, memberat dan pasien sering mengantuk. Dari
didukung dengan prosedur penanganan cepat hasil pemeriksaan didapatkan gambaran
dan akurat, maka angka morbiditas dan perdarahan intraserebral (ICH), kemudian pasien
mortalitas diharapkan dapat ditekan. Hal ini di rujuk ke RS Saiful Anwar Malang dengan
disebabkan karena semakin bertambahnya alasan fasilitas lebih lengkap. Riwayat penyakit
pemahahaman tentang patofisiologi terjadinya yang lain sebelumnya disangkal.
cedera kepala sekunder setelah cedera kepala
primer, juga berkembangnya tehnik dan Pemeriksaan Fisik
tatalaksana perawatan pada pasien kritis.3 Dari pemeriksaan fisik didapatkan jalan nafas
Tehnik minimal invasif cukup berkembang pada dalam kondisi bebas. Pernafasan spontan dengan
beberapa dekade ini, demikian juga pada bidang laju nafas 14 x/menit, tidak didapatkan suara
bedah saraf. Selain digunakan sebagai prosedur nafas
tambahan, gerak dada simetris, tidak ada tanda- 2,5 mg, fentanyl 100 µg titrasi, lidokain 80 mg,
tanda pneumothoraks. Jejas pada daerah bahu propofol 100 mg titrasi, rocuronium 60 mg,
kanan, dengan nyeri tekan dan kemerahan pada satu menit sebelum tindakan intubasi diberikan
kulit. Sirkulasi hangat, kering, merah. capilarry tambahan propofol 30 mg. Preoksigenasi selama
refill test (CRT) <2 detik. Laju nadi: 70x/menit. 5 menit sebelum intubasi. Intubasi sleep apneu
Tekanan darah 130/80 mmHg dengan mean dilakukan menggunakan laryngoscope
arterial pressure (MAP) 96 mmHg. Auskultasi
macintosh dengan pipa endotrakhea
suara jantung S12 single, murmur (–), gallop
(endotracheal tube/ ETT) non kinking nomor
(–). Pemeriksaan neurologis derajat kesadaran
7.5, kedalaman ETT 20 cm pada tepi bibir.
GCS 3–5–6 pupil bulat isokor, refleks cahaya +/
Dilakukan fiksasi yang baik. Monitor
+ normal, sensorik dan motorik dalam batas
diposisikan stat selama induksi. Anestesi
normal. Jejas lecet pada bahu kanan, jejas di
pemeliharaan diberikan sevoflurane dengan
tempat lain tidak didapatkan. Nyeri tekan tidak
aliran oksigen dan N2O (3:1) kombinasi syringe
didapatkan. Terpasang kateter urin produksi
kontinyu propofol (2–10mg/KgBB/jam),
1cc/kgbb/ jam jernih. Temperatur aksila
ditambahkan suplemen fentanyl intermitten dan
terpantau 37 0C.
vecuronium kontinyu 0,06 mg/KgBB/jam. Setelah
intubasi dilakukan pemasangan tambahan jalur
Status Preoperatif
intravena. Ventilasi kontrol dengan mesin
Pasien didiagnosa status fisik ASA 3 dengan
anestesi monitoring EtCO2 target PaCO2
peningkatan tekanan intrakranial (TIK) hari
normocapnea dengan konfirmasi analisa gas
ke 2 karena perdarahan intraserebral (ICH)
darah. Setelah dilakukan penilaian hemodinamik
regio temporooccipital sinistra dan fraktur
tertutup calvicula 1/3 lateral dextra. Pasien telah stabil, maka dipersiapkan pasien
direncanakan untuk dilakukan tindakan diposisikan miring kiri atas (true lateral). Pada
endoscopic neurosurgery evakuasi ICH dan posisi miring diberikan pading axillary roll pada
platting clavicula. Persiapan preoperatif pasien ketiak, dan beberapa titik tumpu lainnya. Posisi
dipuasakan dan premedikasi dengan pemberian kepala difiksasi dengan bantal donut yang
ranitidin dan ondancentron sebelum sesuai. Pada sela kaki kanan dan kiri diberi
pembedahan. bantal. Dipastikan tidak terjadi bendungan vena
jugularis, perfusi perifer ekstremitas dan
Pengelolaan Anestesi pengembangan pernafasan baik.
Pasien masuk kedalam kamar operasi pukul
08.00. Pasien dilakukan induksi dengan prinsip Monitoring selama operasi dilakukan evaluasi
proteksi otak melalui kombinasi pemberian terhadap tekanan darah sistolik, diastolik, arteri
midazolam rerata, laju nadi, end tidal CO2, saturasi oksigen,

Pemeriksaan penunjang laboratoium:


Tabel 1. Hasil pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan Keterangan Pemeriksaan Keterangan
Hemoglobin 9,9 g/dl PT 10,3 (9,3–11,4) detik
Hematokrit 30,3% APTT 31,1(24,8–4,4) detik
Leukosit 12,91/mm3 INR 0,99
Trombosit 322,000/mm3 Albumin 3,82 u/L
Natrium 136 mEq/L GDS 113 u/L
Kalium 4,08 mEq/L
Clorida 100 mEq/L
Ureum 35,4 mg/dl
Kreatinin 0,70 mg/dl
SGOT 21 u/L
SGPT 19 u/L
gelombang EKG, temperatur aksila pemasangan Dilanjutkan operasi platting clavicula oleh
stetoskop prekordial, produksi urine melalui bedah orthopedi dengan merubah posisi pasien
kateter urine dan balans cairan. Dilakukan join kembali supine. Sebelum posisi dipastikan
operasi antara sejawat bedah saraf dan bedah keamanan dan stabilitas jalan nafas, pernafasan
orthopedi. Operasi berjalan pararel dengan dan hemodinamik. Operasi berjalan total 2 jam
bedah saraf dimainkan terlebih dahulu. untuk minimal invasive evakuasi ICH dan 1 jam
Dilakukan minimal invasive endoscopic untuk platting clavicula. Perdarahan total 200 cc.
evakuasi dari ICH. Boor hole dilakukan tepat Selama operasi tekanan darah relatif stabil
diatas lokasi ICH, yang kemudian diperlebar dan dengan sistolik antara 100-130 mmHg dan
diperdalam sesuai ukuran alat scope 6 mm untuk diastolik 62– 90 mmHg. Frekuensi nadi antara
mencapai lokasi ICH. Dilakukan evakuasi 55–70 x/menit. Temperatur terjaga rentang 36–
hematoma dan rawat perdarahan dengan bantuan 35 0C. Cairan masuk sebanyak ± 1700cc terdiri
kamera video. Secara langsung dipastikan lokasi dari NaCl 0,9% 1000cc, ringerfundin 500cc dan
sudah bersih dari perdarahan kemudian ditutup. mannitol 200cc. Cairan keluar dari perdarahan
Irigasi memakai normal salin dengan ketinggian sebanyak 200cc dan urin 1500 cc.
level irigasi kurang dari 1 meter. Setiap tahap
operasi dilihat dan dikomunikasikan bersama. Pascaoperasi
Pascaoperasi dilakukan evaluasi ulang
perdarahan, adekuat pada pernafasan dan kondisi
Foto thoraks: Cor dan pulmo dalam normal,
hemodinamik. Setelah evaluasi dalam batas
tidak tampak pneumo ataupun hemato thorak,
normal maka dilakukan rapid emergence pada
fraktur clavicula 1/3 lateral dextra.
pasien setelah pemberian reversal. Evaluasi GCS
pascaoperasi kembali ke GCS awal sebelum
operasi. Pasien dirawat di ICU. Perawatan
dan observasi pascaoperasi di ICU selama 1
hari, kondisi stabil dan CT Scan kontrol tidak
didapatkan perdarahan ulang. Tanda-tanda
komplikasi dini juga tidak didapatkan. Pasien
pindah ke ruangan dengan GCS 4–5–6 tanpa
defisit neurologis.

III. Pembahasan
Gambar 1. Rӧ Thorak pasien.
Cedera otak traumatik (Traumatic brain injury/
TBI) merupakan salah satu kondisi yang

Foto cervical: Tidak tampak fraktur atau deviasi jalan nafas

Gambar 3. CT Scan Evaluasi setelah masuk Rumah


Gambar 2. CT Scan sebelum Dirujuk. Sakit.
Gambar 4. Posisi Pasien selama Operasi Grafik 1. Profil Tanda Vital dan Monitoring selama
Operasi

lesi intrakranial dengan cedera fokal berupa


intraserebral hemorrhage (ICH).

ICH pascatraumatik merupakan kumpulan


darah fokal yang biasanya diakibatkan cedera
regangan atau robekan terhadap pembuluh darah
intraparenkimal otak atau kadang-kadang cedera
penestrasi. Ukuran bisa bervariasi, mengacu
Gambar 5. Visualisasi scope pada monitor perdarahan >5cc dalam substansi otak, bila
lebih kecil berupa punctate atau bercak. 7 Dari
hasil CT Scan pasien didapatkan ICH didaerah
mengancam jiwa yang serius pada korban temporooccipital Sinistra dari literatur dijelaskan
kecelakaan, dan merupakan penyebab utama bahwa hematoma intraserebral biasanya 80–90%
kecacatan dan kematian pada dewasa dan anak- berlokasi di frontotemporal atau di daerah
anak. Diperkirakan 1,5 juta orang mengalami ganglia basalis, dan sering disertai lesi neuronal
TBI setiap tahunnya di USA dan 50.000 lain seperti fraktur kalvaria. Klinis penderita
diantaranya meninggal. TBI memberikan akibat tidak khas dan sering (30–50%) tetap sadar.
yang besar bagi kehidupan individual dan Manifestasi klinis pada puncaknya 2–4 hari
keluarganya termasuk biaya rumah sakit, pascatrauma.6,7,8 Lama perawatan preoperatif
rehabilitasi sosial serta perawatan jangka pasien sudah berjalan 2 hari, sehingga
panjang. Penanganan yang tepat dan tepat manifestasi klinis dapat terdeteksi untuk
diperlukan untuk mencapai keluaran yang baik.5 dilakukan tindakan.
TBI diklasifikasikan menjadi primer dan
sekunder. Cedera otak primer adalah ireversibel,
Pada saat sebelum dirujuk hasil CT Scan
yang terjadi pada saat benturan, aselerasi-
terbaca volume perdarahan 42 cc, kemudian
deselerasi dan menimbulkan kerusakan pada
evaluasi 1 hari ditempat rujukan CT Scan
struktur otak. Setelah kejadian cedera primer,
menunjukkan peningkatan volume menjadi
cedera sekunder muncul karena hipoksia,
58,75 cc dan midline shift bertambah. Keluhan
hiperkapnea, hipotensi, gangguan biokimiawi
sakit kepala bertambah dan GCS turun 3–5–6
dan hipertensi intrakranial, dimana semuanya
dari 4–5–6. Dari pertimbangan tersebut pasien
akan menyebabkan iskemik serebral.6 Untuk
direncanakan dilakukan tindakan evakuasi. Hal
itu diperlukan pengelolaan yang cepat dan tepat
ini juga dijelaskan dalam literatur bahwa
sehingga hasil yang tercapai luaran optimal.
indikasi pembedahan adalah perdarahan
Pada kasus ini, pasien mengalami cedera otak supratentorial lebih dari 30 cc dengan efek
primer yang terjadi akibat benturan langsung massa atau perdarahan cerebellar lebih dari 15
pada kepalanya saat jatuh terbentur trotoar cc dengan efek massa.6-8 Operator memutuskan
jalan. Akibat mekanisme diatas maka terjadi tindakan
evakuasi dengan tehnik minimal invasif, hal homeostasis cerebral tersebut dapat beresiko
ini yang harus menjadi perhatian khusus bagi menyebabkan kerusakan otak irreversibel dan
seorang ahli anestesi. Pembedahan kasus gangguan hemodinamik berat yang bila tidak
neurologi secara endoskopik telah memiliki diatasi dengan baik akan menyebabkan tehnik
sejarah yang panjang hingga melewati satu bedah tersebut tidak lagi seperti minimal invasif
abad. Pada periode tersebut, berbagai prosedur yang diharapkan. Pemahaman tentang perubahan
neuroendoskopik telah ditemukan, namun fisiologis yang disebabkan oleh prosedur
meskipun terus dilakukan pengembangan tehnik tersebut berperan penting dalam penanganan
endoskopik baik dalam hal fungsi dan pasien yang optimal.9,10
indikasinya, illuminasi dan magnifikasi yang
rendah membuat neuroendoskopi tetap sulit dan Neuroendoskopi berhasil digunakan untuk
tidak mungkin dikerjakan dalam praktek rutin ventriculostomy, biopsi atau reseksi tumor,
hingga akhir tahun 1980. Akan tetapi, setelah penestrasi atau evakuasi kista, evakuasi
ditemukannya teknologi lensa, elektronik dan perdarahan intraventrikel dan koagulasi plexus.
fiber optik yang baru, dimana menghasilkan Tehnik tersebut sangat bermanfaat pada terapi
endoskopi generasi baru yang mempunyai hidrocephalus non communican dengan cara
illuminasi dan resolusi yang lebih jelas, ventriculostomy.1,9,10 Untuk kasus-kasus trauma
neuroendoskopi mengalami kemajuan menjadi masih jarang kecuali ada pertimbangan khusus.
terapi rutin dalam bidang bedah saraf.9 Literatur pada penggunaan kasus trauma juga
minimal. Kemungkinan pada kasus ini operator
Pada awalnya, neuroendoskopi hanya dikerjakan juga ragu apakah ICH yang terjadi murni akibat
pada endoscopic third ventriculostomy (ETV) primer trauma atau spontan karena kelainan
untuk terapi hidrocephalus obstruktif dan masih pada pembuluh darah otak contohnya AVM
merupakan prosedur neuroendoskopik pecah. Idealnya adalah dilakukan CT angiografi
terbanyak. Saat ini penggunaan neuroendoskopi sebelum penentuan tehnik operasi. Tujuan
meningkat untuk semua tipe penyakit yang utama tatalaksana anestesia adalah immobilisasi
diterapi secara bedah saaraf, baik sebagai intraoperatif, stabilitas kardiovaskuler, minimal
pendekatan bedah primer atau sebagai tambahan komplikasi pascaoperasi, fasilitasi intraoperatif
misalnya prosedur- prosedur endoskopik yang neurologi monitoring, kolaborasi tatalaksana
sering digunakan di departemen bedah peningkatan tekanan intrakranial (TIK) dan
saraf. Perkembangan tehnologi lebih lanjut, rapid emergence untuk pemeriksaan neurologis
misalnya tehnologi robotik, endoskopik yang dini. Peningkatan tekanan intrakranial harus
terkendali dan penemuan tehnik bedah saraf dideteksi dan diterapi sedini mungkin.
baru, diharapkan untuk meningkatkan Monitoring dan komunikasi yang baik
penggunaan tehnik tersebut di kemudian hari.1,9 merupakan hal yang penting.1,9,10 Target ini yang
Implementasi tehnik bedah baru tersebut akan harus dicapai oleh ahli anestesi agar luaran
memperbaiki pilihan terapi, yang umumnya operasi optimal. Tatalaksana pada kasus ini
disebut sebagai bedah invasif minimal. Oleh dicapai dengan adekuat anestesi dan pemberian
karena tehnik endoskopi dalam intervensi pelumpuh otot kontinyu. Selama operasi
intrakranial hanya menyebabkan kerusakan hemodinamik dijaga stabil dan pemberian obat-
minimal pada jaringan otak yang sehat, tehnik obatan secara titrasi. Peningkatan TIK dikelola
tersebut mempunyai keuntungan besar. Selain sejak awal dengan pemilihan obat-obatan yang
itu, beberapa intervensi mempunyai hasil mempunyai sifat proteksi otak, mannitol dan
yang lebih baik bila dikerjakan dengan tehnik posisi kepala head up 300. Target tatalaksana
endoskopi. Akan tetapi, beberapa dari intervensi dikombinasikan dengan tatalaksana anestesi
tersebut, manipulasi bedah secara langsung pada pasien trauma kepala yaitu meningkatkan
pada struktur cerebral dengan tehnik endoskopi perfusi serebral dan oksigenasi, mencegah
mempunyai resiko karena dapat mengganggu kerusakan otak sekunder dan memberikan
tekanan intrakranial, perfusi cerebral dan kondisi optimal selama operasi.5 Hipnotik
oksigenasi secara bermakna. Gangguan pada intravena dan inhalasi rutin digunakan dalam
bedah saraf. Pada kasus
Gambar 6. Posisi True Lateral dengan Ganjalan Gambar 7. Posisi True Lateral dengan Pemasangan
Bantal Axillary Roll
Dikutip dari: Schubert A.12 Dikutip dari: Schubert A.12

ini digunakan kombinasi penggunaan inhalasi menimbulkan kondisi imbalance elektrolit yaitu
dan intravena. Pertimbangan biaya juga menjadi hiperkalemia. Anandh dkk dalam penelitiannya
perhatian karena batasan cakupan klaim. N2O pada 20 pasien terjadi peningkatan kalium serum
sebaiknya tidak digunakan untuk menghindari 0.82±0.55 mmol/L.10 Pada prosedur kasus ini
peningkatan tekanan intrakranial karena resiko digunakan normal salin sehingga kejadian post
emboli udara vena (venous air embolism/VAE) operatif hiperkalemia tidak terjadi. Tetapi dari
dan resiko difusi gelembung udara ventrikel. litertur penggunaan normal salin mempunyai
Hiperventilasi ringan dapat dilakukan untuk efek merusak komposisi liquor serebrospinal
menurunkan volume intrakranial.9 pada penggunaan lama. Tinggi cairan yang
menggunakan passive gravity diusahakan kurang
Pemberian mannitol juga mempunyai tujuan dari 1 meter seperti pada operasi ini, karena
yang sama. Tatalaksana kasus ini diberikan penelitian menunjukkan diatas 1 meter dapat
mannitol untuk menurunkan volume menyebabkan kenaikan TIK.9
intrakranial. Oleh karena rapid emergence
merupakan salah satu tujuan utama, Monitoring TIK selama tindakan dari literatur
direkomendasikan penggunaan remifentanyl dianjurkan kontinyu, baik memakai insersi
selama prosedur yang dikombinasi dengan kateter atau ultrasonografi. Jika tidak ada maka
hipnotik intravena atau inhalasi. Permasalahan hemodinamik beat to beat bisa digunakan
di Indonesia preparat remifentanyl masih sebagai alternatif. Perhatian khusus lain adalah
terbatas. Fentanyl kontinyu menjadi pilihan. terjadi masif bradikardi sampai henti jantung
Perhatian pada termoregulasi harus selalu akibat manipulasi yang merangsang posterior
dilakukan terutama pada pasien anak- anak hipothalamus. Kejadian ini terutama endoskopi
yang beresiko mengalami hipotermi selama pada kasus ventriculostomi. Pada evakuasi
neuroendoskopi karena besarnya pertukaran hematoma seperti kasus ini perhatian khusus
cairan irigasi dengan cairan cerebrospinal lebih kepada terjadinya perdarahan pada vassa
ventrikel dan karena lokasi operasi yang basah. intraserebral, sehingga pandangan operator
Sehingga pemantauan temperatur kotinyu terganggu. Regulasi tensi dan komunikasi antara
ideal untuk dilakukan. Karena keterbatasan operator dan ahli anestesi penting. Persiapan
probe temperatur core maka kami lakukan emergency open craniotomy tetap harus
pemantauan temperatur perifer kontinyu aksila. diantisipasi jika minimal invasif gagal.5,9,10 Defisit
Selain termoregulasi, yang berhubungan dengan neurologis sementara, contohnya pada pasien
irigasi adalah jenis cairan yang digunakan. yang terlambat bangun, kebingungan,
Ahli anestesi harus tahu jenis cairan yang kehilangan ingatan, disfungsi papil sementara,
digunakan. Penggunaan ringer lactat (RL) atau hemiplegia
sementara, merupakan komplikasi post operatif IV. Simpulan
yang paling sering terjadi (8–38%). Meta
analisis luas pada 2985 kasus ETV, Bouras dan Tehnik minimal invasif neuroendoskopi
Sqouros melaporkan bahwa pada periode bukannya tanpa resiko, dari penyajian diatas
postoperatif awal, infeksi CNS (meningitis, maka beberapa permasalahan yang harus
ventrikulitis) ditemukan pada 1,81%. Pada 2 mendapat perhatian khusus oleh seorang ahli
kasus, infeksi cairan cerebrospinalis berlanjut anestesi untuk mendapatkan keberhasilan
menjadi sepsis. Kebocoran cairan operasi. Beberapa literatur mendukung tehnik
cerebrospinalis ditemukan pada 1,61% kasus. tersebut lebih unggul dibandingkan
Komplikasi perdarahan postoperatif ditemukan konvensional, tapi hanya berlaku pada kasus-
pada 0,81% pasien yang meliputi subdural kasus tertentu. Penggunaan dalam bidang trauma
hematoma, perdarahan intraventrikuler, masih sedikit, baik laporan kasus tertulis
hematoma intracerebral dan hematoma epidural. ataupun studi literatur. Diperlukan komunikasi
Higroma subdural ditemukan pada 0,27% yang baik antara ahli bedah dan ahli anestesi.
pasien.9 Dari pertimbangan tersebut maka pasien Pemilihan tehnik anestesi antara lokal dan
kami observasi di ruangan intensif setelah general juga belum didapatkan data penelitian
tindakan. Pantauan pascaoperasi tidak keunggulan masing-masing tehnik. Prinsip
didapatkan tanda-tanda komplikasi diatas. tatalaksana anestesi pada minimal invasif yang
harus dicapai adalah pemeriksaan dan
Posisi operasi menggunakan posisi true lateral perencanaan preoperatif yang baik, kontrol
karena area operasi pada satu sisi temporal. hemodinamik serebral untuk menjamin CPP
Kerugian posisi ini adalah kemungkinan terjadi optimal, immobilisasi penuh, dan dapat
kelumpuhan saraf popliteal akibat bantalan yang dilakukan rapid emergence untuk menilai status
kurang adekuat pada daerah fibula. Selain itu neurologis.
penggunaan axillary roll harus tepat agar dapat
melindungi struktur saraf dan vaskuler pada Daftar Pustaka
bagian axillar. Axillary roll sebaiknya tidak
diletakkan terlalu dalam pada axillar karena 1. Taussky P, Widmer HR, Takala J, Fandino
posisi yang tepat dapat sedikit mengangkat J. Outcome after acute traumatic subdural
toraks dan dekompresi pada ipsilateral aksila. and epidural hematoma in Switzerland: a
Pada posisi lateral, lengan seringkali diposisikan single center experience. SWISS MED
pada double armboard, papan atau bantalan WKLY 2008; 138(19-20): 281–5.
yang terbuat dari logam yang dikaitkan pada
meja pembedahan setelah memposisikan pasien. 2. Povlishock JT, Bullock MR. Guidelines for
Kelumpuhan saraf radialis bisa terjadi karena management of severe traumatic brain
penempatan posisi pasien yang kurang tepat dan injury. Journal of Neurotrauma. 2007; 24(1):
terjadi penekanan nervus radialis yang terus 100–6.
menerus akibat tekanan bagian tepi armboard.
Pada sistem kardiovascular posisi tersebut 3. Marik PE, Varon J, Trask T. Management of
mempengaruhi penurunan volume ventilasi pada head trauma. CHEST. 2002; 122:699–711.
dependent lung jika pasien teranestesi. Curah
jantung tidak berubah selama tidak ada 4. Schubert A, Deogaonkar A, Lotto M,
obstruksi. Setiap perpindahan posisi harus Niezgoda J, Luciano M. Anesthesia for
dimonitoring patensi jalan nafas, pernafasan dan minimally invasive cranial and spinal
hemodinamik.11,12 Posisi ini menjadi perhatian surgery. J Neurosurg Anesthesiol. 2006;
khusus pada operasi kasus ini, pemberian 18(1):47–59.
pading aksila dan bantal disesuaikan dengan
ukuran badan pasien. Komplikasi akibat posisi 5. Gopinath SP, Robertson CS. Management of
harus dihindari karena rentan mempengaruhi severe head injury. Dalam: Cottrell JE,
luaran operasi. Smith DS, eds. Anesthesia and Neurosurgey.
Edisi 4. USA: Mosby;2001, 663–91.

6. Curry P, Viernes D, Sharma D. Perioperative


management of traumatic brain injury. Int J Explicative Cases of Controversial Issues in
Crit Illn Inj Sci 2011; 1(1):27–35. Neurosurgery. INTECH Pub. 2012. 35–42.
7. Martiniuc C, Dorobat GH. Polytrauma with 10. Fabregas N, Craen RA. Endoscopic and
severe traumatic brain injury. Romanian stereotactic neurosurgery. Current Opinion
Neurosurgery. 2010;17(1):108–13. in Anaesthesiology. 2004;17:377–82.
8. Lovell MR, Echemendia RJ, Barth JT, 11. Patel SJ, Wen DY, Haines SJ. Posterior
Collins MU. Traumatic brain injury in fossa: surgical consideration. Dalam:
sports: an international neuropsychological Cottrell JE, Smith DS, eds. Anesthesia and
perspective reviews. The NSZ J Head Neurosurgery, edisi-4, Missouri; Mosby,
Trauma Rehabil. 2005;20(1):110–3. Inc; 2001, 319–33.
9. Kalmar AF, Dewaele F. Anaesthetic 12. Schubert A. Positioning injuries in
management of patients undergoing anesthesia: an update. Advances in
intraventricular neuro-endoscopic Anesthesia. 2008; 26,:31–65.
procedures. Dalam: Signorelli F, ed.

Anda mungkin juga menyukai