Abstrak
Cedera kepala traumatik merupakan masalah kesehatan utama, pemicu kecacatan dan kematian di seluruh dunia.
Walaupun terdapat cara diagnosis dan penatalaksanaan yang semakin mutakhir, prognosis tetap jauh dari harapan.
Disamping derajat keparahan cedera primer merupakan faktor utama yang menentukan luaran, cedera sekunder
yang disebabkan oleh hipotensi, hipoksemia, hiperkarbia, hiperglikemia, hipoglikemia dan lain lain, yang timbul
seiring waktu setelah cedera awal, menyebabkan kerusakan lebih lanjut dari jaringan otak, memperberat luaran
pada cedera kepala traumatik. Penatalaksanaan cedera kepala saat ini difokuskan pada pencegahan dan pengelolaan
cedera sekunder karena cedera sekunder dapat dihindari dan diterapi. Seorang laki-laki, 46 tahun berat badan 100
kg, tinggi badan 175 cm ditemukan di pinggir jalan dengan dugaan akibat kecelakaan lalu lintas, setelah resusitasi
dan stabilisasi didapatkan jalan napas bebas, laju napas 16–18 x/menit, tekanan darah 160/90 mmHg, laju nadi
75 x/menit, skor GCS E2M5V2, pemeriksaan pupil kiri reaktif 3 mm, kanan sulit dievaluasi karena terdapat
hematoma, terdapat lateralisasi dengan bagian tubuh kanan terlihat lebih aktif. Hasil CT Scan menunjukkan
perdarahan subdural frontotemporoparietal kanan, perdarahan intraserebral dengan volume 21,8 cc, perdarahan
subarachnoid frontotemporal kanan, pergeseran garis tengah sebesar 1,13 cm ke kiri, fraktur temporal kanan serta
edema serebri. Keputusan tindakan kraniotomi evakuasi perdarahan segera dilakukan demi keselamatan pasien.
Penatalaksanaan cedera kepala pada periode perioperatif yang meliputi evaluasi cepat, resusitasi berkesinambungan
(serebral maupun sistemik), intervensi pembedahan dini, penatalaksanaan terapi intensif, diharapkan dapat
memberikan jalan keluar potensial yang mungkin dapat memperbaiki luaran dari pasien dengan cedera kepala.
Traumatic brain injury is major public health problem and leading cause of death and disability worldwide.
Despite the modern diagnosis and treatment pathways, the prognosis remains poor. While severity of primary
injury is the major factor to determine the outcomes, the secondary injury caused by hypotension, hypoxemia
hypercarbia, hyperglicemia, hypoglicemia and et cetera, thet develop overtime after the onset of injury may cause
further damage to brain tissues and worsen the outcome. Traumatic brain injury management currently focuses
on prevention and secondary injury, treatment, since secondary injury is largely preventable and treatable. A
46 years old male patient, weighted 100 kgs, height 175 cm was found on the street as the suspect of traffic
accident. On examination no obstruction in the airway, respiratory rate was16‒18 x/minute, blood pressure
was 160/90 mmHg, heart rate was 75x/minute, GCS scale was E2M5V2. The cranial hemorrhage was found
in the right frontotemporal, intracerebral (approximately 21,8 cc), cerebral edema, and the midline shift more
than 1 cm were seen on brain CT-Scan examination. The decision of emergency craniotomy evacuation was
immediately made to save the live of the patient. The management in perioperative period involving rapid
evaluation, continued with resuscitation (cerebral and systemic), early surgical intervention intensive care
management, may be a potential window that will improve the outcome of traumatic brain injury patients
15
16 Jurnal Neuroanestesi Indonesia
3,40 mmol/L, gula darah sewaktu 222 mg/dL. diperlukan), sevoflurane 1–1,5 %, O2/udara bebas.
Cairan rumatan: ringerfundin 1,5 mL/kg/jam,
Penatalaksanaan Anestesi diberikan manitol tambahan 100 mL selama
Persiapan alat untuk intubasi sulit (laringoskop 20 menit sebelum membuka duramater. Saat
blade no. 3 dan 4, laringoskop McCoy, stylet), membuka duramater didapatkan hemodinamik
pemberian cairan NaCl 0,9% 250 cc 0,5 jam stabil tekanan darah rerata 70–80 mmHg, nadi
sebelum induksi, posisi pasien tetap head up. 80–85x/mnt, saturasi 99–100%, serta slack brain.
Monitor prainduksi antara lain tekanan darah non Operasi evakuasi hematoma dan dekompresi
invasif, pulse oxymeter, electrokardiografi (EKG). kraniectomi berlangsung selama 3 jam, total
Didapatkan tekanan darah 150/90 mmHg, laju nadi urine 1000 mL, perdarahan 500 mL, cairan
100x/menit, saturasi O2 98 %, EKG irama sinus. masuk ringerfundin 1000 mL, voluven 500
Induksi: fentanyl 150 µg dimasukkan perlahan, mL, hemodinamik relatif stabil tekanan darah
propofol 120 mg, setelah diyakini bisa melakukan rerata berkisar 70–95 mmHg, nadi 75–90x/mnt,
ventilasi diberikan rocuronium 70 mg, lidokain saturasi 99–100 %, temperatur 36–36,50. Pasien
total 100 mg, propofol dosis kedua 50 mg dengan pengelolaan jalan napas preoperatif yang
(digunakan ideal body weight 75 kg). Bagian depan sulit, derajat kesadaran preoperatif borderline
neck collar dilepas dilakukan in line immobilisasi, (GCS 9), edema serebri, pergeseran garis
laringoskopi dengan blade Macintosh no. 3
terlihat epiglotis saja tanpa terlihat struktur
glottis lainnya, (klasifikasi Cormack Lehane
3), kemudian intubasi dihentikan, dilakukan
ventilasi O2/udara bebas dan sevoflurane 1%,
diganti dengan blade McCoy. Propofol 30 mg
ditambahkan sebelum usaha intubasi ulang.
Tekanan darah rerata selama proses induksi
dan intubasi berada di kisaran 70–95 mmHg.
Pemeliharaan Anestesi:
Ventilasi mekanik: volume tidal 8 mL/kgBB,
frekuensi napas 12x/menit, I : E ratio 1 : 2, PEEP
0, FiO2 0,6. Propofol: 2–10 mg/kg/jam (syringe
pump), vecuronium 0,8–1 ɥg/kg/menit (syringe Gambar 2. Pemantauan Tekanan Darah Rerata
pump), fentanyl bolus 50ug tambahan (bila selama Operasi
18 Jurnal Neuroanestesi Indonesia
Perawatan Lanjutan
Gambar 3. Pemantauan Laju Nadi selama
Operasi Hari ketiga sampai hari keempat pasien
hemodinamik baik, status neurologis baik,
pasien dipindahkan ke ruang intermediat
tengah yang cukup lebar, diputuskan untuk kemudian alih rawat di ruangan. Setelah
tidak dilakukan ekstubasi di kamar operasi. hari ketujuh pasien pulang dari ruangan.
• Proteksi terhadap resiko aspirasi. 1 gr/kgBB) dan posisi head up 15–300 dan
• Kontrol ventilasi . memberi cukup waktu sampai tindakan definitif
Kriteria indikasi untuk dilakukan intubasi yaitu bila: dapat dilakukan. Dalam melakukan kedua
• GCS < 8. tindakan ini tetap waspada terhadap efek
• Pernapasan irreguler. samping penurunan tekanan darah yang dapat
• Frekuensi napas < 10 atau > 40 per menit. mempengaruhi hemodinamik dan memperberat
• Volume tidal < 3,5 mL/kgBB iskemia yang telah terjadi di dalam otak.7
• Vital capacity < 15 mL/ kgBB Setelah pasien dalam keadaan stabil, dilakukan
• PaO2 < 70 mmHg. penilaian neurologik yang meliputi fungsi
• PaCO2 > 50 mmHg. kesadaran dengan menggunakan skor GCS
Stabilitas kardiovaskuler sangat penting serta penilaian pupil yang meliputi ukuran
dijaga sebab hipotensi dan hipertensi dapat pupil, respon, dan asimetrisitas kanan dan
memperburuk luaran pasien cedera kepala. kiri. Pemeriksaan radiologik seperti CT-
Hipotensi jarang disebabkan hanya oleh cedera scan tanpa kontras merupakan pilihan, pada
kepala saja. Kehilangan darah yang berasal dari CT-scan kepala dapat menunjukkan adanya
cedera di tempat lain, cedera spinal, tamponade tanda-tanda peningkatan TIK seperti pergeseran
jantung, tension pneumothoraks adalah penyebab garis tengah (midline shift), adanya massa
yang harus menjadi pertimbangan.7 Hipotensi intrakranial (hematoma) yang memerlukan
bersamaan dengan cedera kepala membahayakan pembedahan evakuasi. Gambaran craniocervical
hemodinamik otak dan menyebabkan iskemia junction dapat dilakukan sebagai tambahan untuk
otak, atas dasar tersebut pemeliharaan tekanan menyingkirkan adanya cedera servikal tinggi.7
darah optimal termasuk pemilihan cairan dan Setelah resusitasi dan stabilisasi pada kasus ini
pertimbangan penggunaan vasopressor dirasa didapatkan penilaian total skor GCS adalah 9,
sangat penting.1 Brain Trauma Foundation namun jalan napas pasien memiliki potensi terjadi
Guidelines telah merekomendasikan untuk obstruksi karena pasien ini gemuk dan pada
menghindari hipotensi (sistolik <90 mmHg) dan pemeriksaan jalan napas didapatkan tanda-tanda
mempertahankan tekanan perfusi otak (CPP) 50– sulit ventilasi dan intubasi seperti leher pendek,
70 mmHg. Cairan kristalloid isotonis non glukosa adanya perdarahan yang masih keluar dari
merupakan pilihan utama untuk pasien cedera hidung dan gigi ompong. Resiko aspirasi dapat
kepala traumatik. Peran cairan koloid sampai saat terjadi karena tidak diketahui secara pasti kapan
ini masih kontroversial sedangkan salin hipertonis terakhir dan berapa banyak asupan makanan
mungkin dapat menguntungkan bila digunakan pada pasien ini. Keputusan untuk melakukan
sebagai cairan resusitasi cedera kepala karena intubasi di kamar operasi karena alat dan bantuan
meningkatkan volume intravaskular sekaligus dari rekan kerja serta situasi lebih mendukung
menurunkan TIK.1 Hipertensi sering terjadi pada untuk pengelolaan jalan napas yang sulit.
cedera kepala dan merupakan akibat pelepasan Resiko terdapat cedera leher yang membutuhkan
katekolamin oleh proses trauma serta usaha usaha dalam mempertahankan posisi inline,
tubuh dalam mempertahankan perfusi otak akibat memperkuat alasan melakukan pengelolaan
peningkatan TIK. Mengendalikan TIK dapat jalan napas definitif di kamar operasi. Selama di
mengurangi respon tekanan darah, penggunaan UGD dan ruang radiologi pasien siap dilakukan
adrenergik blocking agent dipertimbangkan bila intubasi bila kondisi memburuk. Permasalahan
usaha pengendalian TIK tidak dapat menurunkan perioperatif pasien ini adalah masalah jalan
tekanan darah. Peningkatan tekanan darah napas dan cervical spine: pasien obesitas dengan
yang tidak terkontrol dapat merugikan karena leher pendek, gigi ompong, darah keluar dari
meningkatkan pembentukan edema dan TIK.6,7 kedua lubang hidung, risiko aspirasi (makan
Tujuan resusitasi cedera kepala berikutnya adalah minum terakhir tidak diketahui, kemungkinan
pengendalian TIK. Pada pasien yang belum motilitas gaster yang memanjang, darah di jalan
dilakukan intubasi, TIK dapat dikendalikan napas), risiko injury spine (pasien trauma dengan
sementara dengan pemberian manitol (0,25– gangguan kesadaran dan jejas diatas klavikula).
20 Jurnal Neuroanestesi Indonesia
Masalah pernapasan: risiko hipoksia dan dan intubasi.7 Pengelolaan jalan napas yang sulit
hiperkarbia yang dapat disebabkan karena merujuk pada algoritma yang dianjurkan oleh
obstruksi jalan napas karena penurunan kesadaran. American Society of Anesthesiologist (ASA).6
Masalah sirkulasi: pasien dengan tekanan darah Keadaan klinis dan stabilitas hemodinamik
yang meningkat yang dapat memperberat edema menentukan pilihan tehnik induksi. Induksi dapat
serebri, pasien berisiko mengalami hipotensi pasca dilakukan dengan dosis titrasi anestesi intravena
induksi anestesi yang dapat memperberat iskemia (propofol) untuk meminimalkan instabilitas
serebri yang mungkin sedang berlangsung. sirkulasi. Obat pelumpuh otot nondepolarisasi
Masalah neurologik: pasien dengan derajat dapat diberikan dengan atau tanpa priming
kesadaran yang menurun menunjukkan adanya dose untuk memfasilitasi intubasi dalam waktu
peningkatan tekanan intrakranial yang dapat yang singkat. Fentanyl 1–4 ug/kg diberikan
menyebabkan terjadinya iskemia dan berisiko untuk mengurangi respon hemodinamik
terjadi herniasi bila dilakukan penanganan yang terhadap laringoskopi dan intubasi. Lidokain
salah. 1,5 mg/kgBB diberikan 90 detik sebelum
laringoskopi untuk mencegah peningkatan TIK.9
Penatalaksanaan Anestesi Saat berada di kamar operasi pasien dipasang
Sasaran utama dari penatalaksanaan anestesi monitor, diposisikan head up, alat-alat intubasi
pasien cedera kepala adalah 6-9: mengendalikan sulit serta bantuan telah siap, kemudian
TIK dan pemeliharaan CPP (perfusi serebral), dilakukan preoksigenasi dengan harapan mengisi
melindungi jaringan saraf dari iskemia dan fungsional residual capacity (FRC) sehingga
cedera (brain protection), menyediakan kondisi pada saat intubasi sulit terdapat waktu lebih
pembedahan yang adekuat (slack brain). sebelum terjadi hipoksemia. Mode stat tekanan
Prinsip pengelolaan anestesi dikenal sebagai darah non invasif untuk memantau tekanan darah
ABCDE neuroanestesi yaitu6: A) airway, jalan secara ketat diaktifkan. Induksi dipilih dengan
napas yang selalu bebas sepanjang waktu, B) cara modifikasi rapid sequence induction dengan
breathing, ventilasi kendali untuk mendapatkan cricoid pressure menggunakan rocuronium karena
oksigenasi adekuat dan normokapnea, C) ada risiko aspirasi. Intubasi dilakukan dengan
circulation, menghindari peningkatan atau mempertahankan posisi in line. Penggunaan
penurunan tekanan darah yang berlebih, laringoskop McCoy cukup membantu dalam
menghindari faktor mekanis yang meningkatkan memfasilitasi proses intubasi pasien ini sehingga
tekanan vena serebral, menjaga kondisi akibat dari intubasi sulit seperti hipoksia,
normotensia, normoglikemia, isoosmolar peningkatan tekanan darah dapat dihindari.
selama anestesi, D) drugs, hindari obat dan Tehnik dan obat anestesi yang ideal untuk
tehnik anestesi yang dapat meningkatkan TIK, rumatan anestesia sebaiknya mempunyai
dan beri obat–obatan yang mempunyai efek kemampuan yang mencakup antara lain
proteksi otak, E) enviroment, kontrol temperatur mampu menurunkan TIK, mempertahankan
dengan target suhu inti 350 di kamar operasi. CPP, menjaga stabilitas kardiovaskular, dan
memiliki efek proteksi otak terhadap bahaya
Pasien yang datang ke kamar operasi dengan iskemia.6,9 Anestetika inhalasi menurunkan
jalan nafas bebas, laju napas 16x/menit tanpa metabolisme otak namun dapat menyebabkan
terpasang pipa endotrakeal dengan derajat vasodilatasi serebral yang mengakibatkan
kesadaran GCS E2M5V2, segera dilakukan peningkatan aliran darah otak (cerebral blood
pengendalian jalan napas dan oksigenasi. Dokter flow/CBF), dan TIK pada konsentrasi lebih
anestesi harus waspada bahwa pasien cedera dari 1 MAC. Efek vasodilatasi serebral dapat
kepala sering disertai isi lambung yang penuh, diminimalisasi dengan menggunakan obat
penurunan volume intravaskuler, dan potensial tersebut pada konsentrasi yang rendah.1 Nitrous
mengalami cedera servikal,8,9 maka penekanan Oxide meningkatkan metabolisme otak (CMRO2)
cricoid dan mempertahankan posisi in line dari dan menyebabkan vasodilatasi serebral yang
servikal dilakukan selama prosedur laringoskopi mengakibatkan peningkatan TIK, sehingga
Penatalaksanaan Perioperatif Cedera Kepala Traumatik 21
dengan Jalan Nafas Sulit
penggunaannya sebaiknya dihindari pada cedera extubation).7,9 Indikasi melakukan pulih sadar
kepala traumatik.1 Obat anestesi intravena lambat (late emergens) antara lain:
seperti thiopental dan propofol menurunkan • Derajat kesadaran yang buruk preoperatif
CBF dan CMRO2 sehingga dapat menurunkan • Pengelolaan jalan napas yang sulit preoperatif
TIK, selain itu obat anestesi intravena memiliki • Resiko untuk terjadi atau memperberat edema
efek minimal pada autoregulasi dan reaktifitas serebri (operasi lama, pembedahan ekstensif
terhadap CO2 yang dapat memberi keuntungan dengan perdarahan banyak, dekat area vital,
pada anestesi pasien cedera kepala.1,10 Rumatan dan lainnya)
anestesia pasien ini menggunakan kombinasi Pasien dengan derajat kesadaran preoperatif yang
antara obat anestesi inhalasi (sevoflurane) dan baik serta menjalani prosedur tanpa penyulit
anestesi intravena (propofol kontinyu) dengan diharapkan untuk bangunkan dan ekstubasi di
tujuan mencapai level anestesi yang adekuat kamar operasi. Pulih sadar yang lancar (smooth
sehingga gejolak hemodinamik dan susunan emergence) dengan pengendalian tekanan darah
saraf pusat tidak terjadi dan juga mendapat serta menghindari reflek batuk diperlukan
keuntungan dari sifat masing–masing obat seperti untuk mencegah edema otak dan pembentukan
efek neuroprotektif dari sevoflurane sambil hematoma pascaoperasi.6,7 Lidokain dan fentanyl
meminimalkan efek vasodilatasi dari anestesi efektif menekan refleks batuk dan respon
inhalasi tersebut dengan membatasi konsentrasi hipertensif saat pasien akan dibangunkan. Obat–
obat. Propofol membantu mempertahankan level obatan esmolol, labetalol dapat juga diberikan
anestesi dan mempunyai sifat vasokonstriksi sebagai pencegahan respon hipertensif dan
serebral. N2O tidak digunakan pada pasien ini mengurangi batuk saat pulih sadar dan ekstubasi.
karena penggunaannya dapat meniadakan efek Pada pasien ini pengelolaan jalan napas
neuroprotektif dari obat-obat lain, dan pada preoperatif yang sulit, mengalami edema serebri,
konsentrasi tertentu N2O dapat meningkatkan GCS 9, diputuskan untuk dilakukan ekstubasi
aliran darah otak dan CMRO2, sehingga setelah evaluasi CT-scan dan kondisi pasien yang
penggunaannya dihindari untuk kasus-kasus lebih stabil.
sulit. Pengaturan sistem respirasi intraoperatif
pada pasien dengan cedera kepala yaitu dengan Penatalaksanaan Terapi Intensif Cedera Kepala
menyesuaikan ventilasi mekanik sehingga Pasien cedera kepala biasanya telah dilakukan
didapatkan kondisi normokapnea (PaCO2 sekitar resusitasi, stabilisasi dan mendapatkan pengobatan
35mmHg) dan mengatur fraksi inspirasi oksigen di unit gawat darurat dan kamar operasi sebelum
(FiO2) sampai didapatkan PaO2 antara 100–200 dikirim ke ruang perawatan intensif (ICU).
mmHg serta menghindari PEEP yang terlalu Pasien cedera kepala mendapatkan perawatan
besar karena dapat menyebabkan peningkatan intensif di ICU yang terdiri dari perawatan umum
tekanan intrathorakal yang akan mengganggu yang ketat dan perawatan lain yang bertujuan
drainase vena serebral dan meningkatkan untuk yaitu antara lain4,5:
TIK. Pengaturan sistem sirkulasi intraoperatif
1,6,9
• Stabilisasi pasien bila masih dalam keadaan
diharapkan dapat mempertahankan pada kondisi yang belum stabil
normovolemia, normotensi dan isoosmolar.6,9 • Optimalisasi terhadap oksigen dan
Kadar gula darah juga dipertahankan pada hemodinamik otak
keadaan normoglikemia. Pasien dengan tindakan • Pencegahan dan terapi dari hipertensi
neurosurgikal sebaiknya dibangunkan dari intrakranial
anestesi secepatnya sehingga dapat segera • Mempertahankan CPP yang stabil dan
dilakukan penilaian status neurologisnya sebagai adekuat
evaluasi dari hasil pembedahan,7 namun secara • Pencegahan terhadap cedera sekunder
umum pasien cedera kepala sedang mengalami
atau mempunyai potensi terjadinya edema Setelah operasi selesai pasien langsung
serebri, sehingga menjalani “slow weaning” dipindahkan ke ICU dan menjalani berbagai
dan penundaan proses ekstubasi (delayed tindakan lanjutan. Posisi kepala netral dan head up
22 Jurnal Neuroanestesi Indonesia
15–300 dilakukan sebagai usaha untuk mengurangi serta memelihara keadaan euvolemia atau
tekanan intrakranial dengan memperbaiki hipervolemia ringan (CVP 8–10 mmHg) karena
drainase vena serebral.3,6,7 Posisi ini dapat memicu balans negatif sering dihubungkan dengan luaran
terjadinya hipotensi yang menurunkan perfusi yang tidak baik.3 Cairan kristalloid isotonik
serebral, memperberat iskemia, mempengaruhi seperti normal saline (NS) merupakan cairan
luaran. Menjaga hemodinamik yang stabil pilihan, cairan hipotonis seperti ½ NS, ¼ NS,
dilakukan pada pasien ini dengan menghindari D5,D5 ½ NS, D5 ¼ NS harus dihindari, cairan
keadaan hipotensi dan hipertensi. Hipotensi sedikit hipotonis seperti ringer laktat bukan
memperburuk perfusi yang sudah terganggu merupakan pilihan dalam resusitasi pasien cedera
akibat trauma kepala dan hipertensi dapat kepala terutama dalam jumlah besar karena dapat
memperberat edema otak dan meningkatkan TIK. menyebabkan penurunan osmolaritas serum.3,4,7
Melakukan ventilasi kendali mencegah hipoksia Cairan yang mengandung glukosa seperti D10
dan mempertahankan keadaan normokapnea atau lebih sebaiknya dihindari pada 24–48 jam
pada pasien ini, bertujuan untuk mengendalikan pertama kecuali timbul keadaan hipoglikemia.
sementara aliran darah otak sehingga dapat
menurunkan TIK. Ventilasi mekanik dapat Tujuan dari pengelolaan cairan pada cedera
dilakukan apabila difasilitasi dengan pemberian kepala adalah tercapai keadaan normovolemia,
sedatif-analgetik yang adekuat. Obat-obatan normotensi, normoglikemia, dan isoosmolar.4-7
sedatif-analgetik juga meminimalkan agitasi, Pada pasien ini dalam 24 jam pertama diberikan
menurunkan laju metabolisme dan konsumsi cairan ringerfundin dan NaCl 0,9% yang
oksigen otak sehingga sangat menguntungkan keduanya bersifat isoosmoler tanpa mengandung
dalam pengelolaan cedera kepala. Propofol glukosa. Pasien dengan cedera kepala biasanya
dipilih karena memiliki keuntungan lebih dalam mengalami hipermetabolik, hiperkatabolik,
supresi metabolik serta waktu paruh yang dengan perubahan fungsi gastrointestinal
pendek sehingga evaluasi derajat kesadaran sehingga sering mengalami malnutrisi yang akan
dapat segera dilakukan setelah pemberian obat meningkatkan angka mortalitas.3,4 Pemberian
dihentikan. Efek hipotensi dan komplikasi nutrisi sejak permulaan direkomendasikan bila
seperti propofol infusion syndrome perlu stabilitas hemodinamik tercapai. Brain Trauma
diwaspadai bila propofol digunakan.3,4,7,12 Foundation merekomendasikan pemberian
Analgesia diberikan golongan dexketoprofen 140% dari kebutuhan basal (±30 kcal/kgBB)
dan infus kontinyu fentanyl yang semuanya pada pasien non paralisa, 100% dari kebutuhan
memiliki efek minimal terhadap hemodinamik.12 basal (±25 kcal/kgBB) pada pasien dengan
Pengendalian edema otak dan TIK dapat relaksan.3 Nutrisi enteral lebih dipilih namun
dilakukan dengan pemberian cairan hiperosmoler pada kasus dengan residu volume gastrik yang
yang dalam kasus ini digunakan manitol. tinggi atau disertai dengan trauma abdomen
Manitol bekerja sebagai osmotik diuretika dapat dikombinasikan dengan nutrisi parenteral.4
dengan jalan meningkatkan osmolaritas serum Pasien ini telah dilakukan ekstubasi 6 jam
dan menciptakan perbedaan tekanan osmotik.3-12 setelah operasi dan dengan derajat kesadaran
Pemeriksaan osmolaritas serum dilakukan yang baik, asupan peroral dapat diberikan tanpa
berkala untuk mencegah peningkatan osmolaritas keluhan dengan demikian keuntungan pemberian
akibat manitol yang diberikan, karena bila nutrisi dapat diperoleh secara maksimal.
osmolaritas serum lebih dari 320 mOsm/kg H2O Kontrol gula darah
dapat terjadi efek samping berupa efek balik Pasien cedera kepala berat sering mengalami
peningkatan TIK, gangguan keseimbangan stress hiperglikemia, dan dihubungkan dengan
cairan dan elektrolit serta gagal ginjal.3,13,14 luaran neurologik yang jelek,3,4,6 namun
hipoglikemia akibat kontrol gula yang terlalu
Terapi intensif umum ketat juga mempengaruhi hasil akhir dari cedera
Terapi cairan dan nutrisi kepala. Sehingga pada fase akut cedera kepala
Tujuan dari pengelolaan cairan adalah tercapainya target kadar glukosa yang diharapkan berkisar
Penatalaksanaan Perioperatif Cedera Kepala Traumatik 23
dengan Jalan Nafas Sulit
antara 80–180 mg/dL.1 Pada pasien ini gula darah saraf kranialis dilakukan pada pasien ini segera
pascaoperasi di level antara 125–150 mg/dL. setelah hasil CT-scan tidak didapatkan perdarahan
lain di daerah kepala dan edema serebri berkurang.
Daily Care Pemeriksaan neurologis lain seperti TIK monitor
perawatan harian seperti pasien intensif lainnya: dan saturasi oksigen vena jugularis (SJVO2)
perubahan posisi berkala, perawatan mata, diperlukan terutama untuk pasien yang belum
kebersihan oral dan kulit, pencegahan terhadap dapat dievaluasi derajat kesadarannya karena
peptic ulcer, deep vein thrombosis, pencegahan masih memerlukan pemakaian ventilasi mekanik
terhadap ancaman infeksi, pemberian bowel dan pemberian sedasi atau pelumpuh otot.
regimen untuk mencegah konstipasi dan
peningkatan tekanan abdomen yang bisa IV. Simpulan
mengganggu TIK, fisioterapi.
Periode perioperatif sangat penting dalam
Intervensi obat–obatan neuroprotektif: Beragam penatalaksanaan cedera kepala traumatik,
obat neuroprotektif sedang dalam penelitian dimana pada periode ini pasien dapat terpapar
namun sampai saat ini pada penelitian fase 3 cedera sekunder yang mempengaruhi perjalanan
belum menunjukkan adanya keuntungan yang penyakit dan memberi kontribusi pada keluaran
dapat diberikan, meski secara teori obat–obat akhir dari pasien tersebut. Periode ini juga
ini memiliki profil yang baik. 4,11 Magnesium merupakan kesempatan untuk cepat mendeteksi
yang diberikan pada pasien ini, bekerja sebagai dan melakukan koreksi cedera sekunder dan
calcium channel antagonist dan N Methyl memberi ruang untuk memulai intervensi yang
D-Aspartat (NMDA) reseptor antagonis, dapat memperbaiki hasil penanganan pada cedera
karena fungsinya tersebut diharapkan memberi kepala. Penanganan cedera kepala yang meliputi
efek yang menguntungkan pada pasien cedera perawatan jalan napas dan sistem respirasi,
kepala. Sampai saat ini belum ditemukan hasil optimalisasi hemodinamik, pengendalian TIK
yang signifikan pada penelitian–penelitian serta tindakan lain yang kesemuanya bertujuan
yang menggunakan obat ini. 2,15,16 Obat-obatan untuk mencegah terjadinya cedera sekunder,
yang lain seperti calcium channel antagonist, menjaga perfusi dan oksigenasi serebral,
aminosteroid, glutamat antagonist, dexahabinol memerlukan usaha pemahaman yang baik
secara teori memberi efek proteksi pada otak antara multidisiplin baik dari neurointensivist,
namun sampai saat ini belum ditemukan hasil bedah saraf, para perawat, fisioterapist untuk
yang signifikan pada berbagai penelitian yang mendapatkan hasil yang optimal. Pada kasus
telah dilakukan.2,15,16 ini telah diusahakan untuk menghindari dan
mengelola cedera sekunder agar didapatkan
Monitoring pasien cedera kepala sangat penting luaran yang diinginkan. Bila dilihat secara fisik
sebagai pedoman dalam optimalisasi terapi.4 maka luaran yang didapat cukup memuaskan
Monitoring ini berguna dalam mendeteksi secara namun perlu dilakukan evaluasi menyeluruh
dini proses-proses yang mengakibatkan cedera dalam jangka waktu yang lama untuk mengetahui
sekunder (proses sistemik atau proses intrakranial). adanya gangguan dari fungsi kognitif dan emosi
Parameter umum yang rutin digunakan adalah dari pasien.
elektrokardiografi, pulse oxymetri, end tidal
Daftar Pustaka
CO2 (ETCO2), tekanan darah arterial, tekanan
vena sentral (CVP), temperatur sistemik,
1. Curry P, Viernes D, Sharma D. Perioperative
urine output, pemeriksaan gas darah, serum
management of traumatic brain injury. Int J
elektrolit, gula darah, dan osmolaritas plasma.9,10
Crit Illn Inj Sci 2011.
Monitoring neurologik seperti pemeriksaan
2. Moppet IK. Traumatic brain injury:
neurologis klinis yang meliputi penilaian derajat
assessment, resuscitation and early
kesadaran, pemeriksaan pupil, motorik, sensorik,
24 Jurnal Neuroanestesi Indonesia
3. Haddad S, Arabi YM. Critical care 12. Flower O, Hellings S. Sedation in traumatic
management of severe traumatic brain injury brain injury. Emerg Med Int 2012.
in adults. SJTREM 2012, 20: 12.
13. Ropper AH. Hyperosmoler therapy for raised
4. Helmy A, Vizcaychipi M, Gupta AK. intracranial pressure. N Engl J Med 2012;
Traumatic brain injury: intensive care 367: 746–52.
management. Br J Anaesth 2007; 99 : 32–42
14. Wallcot BP, Kahle KT, Simmard JM.
5. Dash HH. Prehospital care of head injured Novel treatment targets for cerebral edema.
patients. Neurol India 2008; 56 (4): 415–9. Neurotherapeutics 2012; (9): 65–72.
6. Bisri T. Penanganan neuroanesthesia dan 15. Sen AP, Gulati A. Use of magnesium in
critical care: cedera otak traumatik. Bandung: traumatic brain injury. Neurotherapeutics
Universitas Padjadjaran;2012. 2010; (7): 91–99.
7. Gopinath SP, Robertson CS. Management of 16. Vink R, Cook NL, Heuvel C. Magnesium
severe head injury. Dalam: Cottrell JE, Smith in acute and chronic brain injury: an update.
DS, eds. Anesthesia and Neurosurgery. USA: Magnesium Research 2009; (3): 158–62.
Mosby Inc; 2001, 663–85.
17. Xiong Y, Mahmood A, Chopp M.
8. Mangat HS. Severe traumatic brain injury. Neurorestorative treatments for traumatic
American Academy of Neurology 2012; 18 brain injury. Discov Med 2010; 10 (54): 434–
(3): 532–46. 442.
9. Tolani K, Bendo AA, Sakabe T. Anesthetic 18. Noguchi CT, Asavaritikrai P, Teng R, Jia Y.
management of head trauma. Dalam: Role of erythropoietin in the brain. Crit Rev
Newfield P, Cottrell JE, eds. Handbook of Oncol Hemato 2007; 64 (2): 159–71.
Neuroanesthesia. Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkins; 2012, 98–115. 19. Weir J, Steyerberg EW, Butcher I. Does the
extended Glasgow Outcome Scale add value
10. Steiner LA, Andrews PJD. Monitoring the to the conventional Glasgow Outcome Scale?
injured brain: ICP and CBF. Br J Anaesth Journal of Neurotrauma 2011; 29: 53–58.
2006; 97: 26–38.
20. Wilson JTL, Pettigrew LE, Teasdale GM.
11. Czosnyka M. Monitoring intracranial Structure interviews for the Glasgow
pressure. Dalam: Matta BF, Menon DK, Outcome Scale: guideline for their use.
Tunner JM, ed. Textbook of Neuroanaesthesia Journal of Neurotrauma 1998; 573–85.
and Critical Care. London: Greenwich