PPDS I NEUROLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO
RSUP. DR. KARIADI SEMARANG
2015
ABSTRAK
ABSTRACT
Background: Mechanical ventilation is sometimes necessary during treatment of acute
stroke. Indications include consciousness deterioration, reduce or inability to maintain
the airway; in the event of brain stem compression that disturbs neuronal networks
controlling respiration, and elective intubation for procedures and surgery. Prognosis in
severe stroke patients requiring mechanical ventilation has often been reported to be
poor. Hospital mortality rates of 50% to 90% have been reported for stroke patients
treated with mechanical ventilation. These data have raised serious questions about the
cost-effectiveness of this intervention. This study was performed to prospectively assess
the prognosis of stroke patients who require ventilation in intensive care unit and to
determine factors that may influence outcome.
Objectives: To describe prognosis of stroke patient in the intensive care unit and
determine factors that may influence outcome.
Method: The study design was descriptive observational with study subjects of patients
with diagnosed of stroke using mechanical ventilation in the ICU RSUP. Dr. Kariadi
Semarang since March, 2014 March, 2015. Data was obtained from medical record get
noted and analyzed.
Result: There were 17 patients with stroke treated in the ICU RSUP. Dr. Kariadi using
ventilator period March 2014 - March 2015. Consist of 8 men (47%) and 9 women
(53%). From all the patients, outcomes of patients alive are 5 patients (29.4%) and died
are 12 patients (70.6%). The high number of patients with dead outcome caused by
several factors such as age > 60 years old as much as 29.4%, the value of GCS 3 8 on
ICU admission as much as 53%, value of MAP while ICU admission > 105 as much as
41.2%, anisocoria of pupil 41, 2%, acinetobacter baumannii infection as much as 11.8%
and imbalans electrolytes in 88.2% patients.
Conclusions: It can be concluded that the outcome of patients admitted to the ICU with
ventilator still give unsatisfactory results with influenced by various factors such as age >
60 years, GCS score 3-8 at ICU admission, MAP values > 105 at ICU admission,
anisocoria of pupil, acinetobacter baumannii infection and electrolyte imbalance.
Keyword: Mechanical Ventilation, Stroke, Intensive Care Unit, Outcome
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Definisi PIS yang disebabkan oleh stroke: adanya disfungsi neurologis dengan
tanda-tanda klinis yang berkembang secara berulang yang ditimbulkan oleh adanya
kumpulan darah setempat di dalam parenkim otak atau sistem ventrikel yang tidak
disebabkan oleh trauma.6
Definisi silent cerebral hemorrhage: kumpulan setempat produk darah kronis di
dalam parenkim otak, ruang subarakhnoid atau sistem ventrikel yang tampak pada
pencitraan atau pemeriksaan neuropatologi yang tidak disebabkan oleh trauma dan tanpa
adanya riwayat disfungsi neurologis akut yang ditimbulkan oleh lesi tersebut.6
Definisi PSA: perdarahan ke dalam ruang subarakhnoid (ruangan di antara
membran arkhnoid dan pia mater di otak atau medula spinalis).6
Definisi stroke yang disebabkan oleh PSA: adanya disfungsi neurologis dan / atau
nyeri kepala yang disebabkan oleh perdarahan ke dalam ruang subarakhnoid yang tidak
disebabkan oleh trauma.6
Definisi stroke yang disebabkan oleh trombosis vena otak: adanya infark atau
perdarahan di dalam otak, medula spinalis atau retina yang disebabkan oleh trombosis
pada struktur vena otak. Tanda dan gejala yang disebabkan oleh edema yang reversibel
adanya infark atau perdarahan tidak memenuhi syarat sebagai stroke.6
Definisi stroke yang tidak spesifik: adanya episode disfungsi neurologi akut yang
diduga disebabkan oleh iskemik atau perdarahan yang menetap 24 jam atau sampai
terjadi kematian tetapi tidak cukup bukti untuk diklasifikasikan sebagai salah satu di
atas.6
II.2. Epidemiologi
Di Amerika Serikat stroke menempati urutan ketiga penyebab kematian setelah
penyakit jantung dan kanker. Di Indonesia data nasional stroke menunjukkan angka
kematian tertinggi 15,4% sebagai penyebab (Riset Kesehatan Dasar/Riskesdas, 2007).7
Sementara itu terdapat juga data stroke di Indonesia berdasarkan penelitian
potong lintang multi senter di 28 rumah sakit dengan jumlah subyek sebanyak 2065
orang pada bulan Oktober 1996 sampai bulan Maret 1997.7
Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) terjadi peningkatan
prevalensi stroke di Indonesia dari tahun 2007 sebesar 8,3 per 1000 penduduk menjadi
6
12,1 per 1000 penduduk tahun 2013. Prevalensi stroke di Indonesia berdasarkan
diagnosis tenaga kesehatan sebesar 7,0 per mil dan yang berdasarkan diagnosis tenaga
kesehatan atau gejala sebesar 12,1 per mil. Jadi sebanyak 57,9 % penyakit stroke telah
terdiagnosis oleh nakes. Penyakit stroke sama banyak pada laki-laki dan perempuan.
Meningkat seiring dengan bertambahnya umur, tertinggi pada umur 75 tahun.
Prevalensi stroke cenderung lebih tinggi pada masyarakat dengan pendidikan rendah,
baik yang didiagnosis nakes (16,5) maupun didiagnosis nakes atau gejala (32,8).
Prevalensi stroke di kota lebih tinggi dari di desa, baik berdasarkan diagnosis nakes
(8,2) maupun berdasarkan diagnosis nakes atau gejala (12,7). Prevalensi lebih tinggi
pada masyarakat yang tidak bekerja baik yang didiagnosis nakes (11,4) maupun yang
didiagnosis nakes atau gejala (18).8
II.3. Klasifikasi Stroke 7
Berdasarkan patologi anatomi dan penyebabnya
Stroke iskemik
Serangan iskemik sepintas (transient ischemic attack / TIA)
Trombosis serebri
Emboli serebri
Stroke hemoragik
Perdarahan intraserebral
Perdarahan subarakhnoid
Berdasarkan stadium/pertimbangan waktu
TIA
Stroke-in-evolution
Completed stroke
Berdasarkan sistem pembuluh darah
Sistem karotis
Sistem vertebrobasiler7
II.4. Anatomi Pembuluh Darah Otak
Otak diperdarahi oleh dua arteri karotis interna dan dua arteri vertebralis.
Keempat arteri terletak di dalam spatium subarakhnoideum dan cabang-cabangnya
beranastomosis pada permukaan inferior otak untuk membentuk sirkulus willisi. Dua
pertiga depan kedua belahan otak dan struktur subkortikal mendapat darah dari sepasang
arteri karotis interna, sedangkan 1/3 bagian belakang yang meliputi serebelum, korteks
oksipital bagian posterior dan batang otak, memperoleh darah dari sepasang arteri
vertebralis kanan dan kiri yang kemudian bersatu menjadi arteri basilaris.7,9
7
mensuplai telinga dalam. Cabang akhir dan merupakan cabang utama arteri basilaris
adalah arteri serebri posterior yang memperdarahi lobus oksipitalis termasuk korteks
visual dan cabang arteri sereberalis superior yang memperdarahi bagian superior
serebelum.7,9
II.4.4. Sirkulus Willisi
Sirkulus Willisi terletak di dalam fossa interpedunkularis pada basis kranii.
Sirkulus ini dibentuk oleh anastomosis antara kedua arteri karotis interna dan kedua arteri
vertebralis. Pada daerah basis serebri terbentuk suatu lingkaran pembuluh darah arterial
sirkulus arterius serebri (Willisi) yang kira-kira mengelilingi hipotalamus. Komponenkomponen lingkaran arterial ini apabila disebutkan secara berturut-turut dari anterior ke
arah posterior adalah sebagai berikut: 1). a. komunikans posterior, 2). aa. Serebri anterior,
3). aa. Karotis interna, 4). aa. Komunikan posterior dan 5). aa. Serebri posterior.9
II.5. Faktor Resiko Stroke 4
II.5.1.Faktor resiko yang tidak dapat dimodifikasi
Usia
Jenis kelamin
Ras
Keturunan4
Hipertensi
Diabetes melitus
Penyakit jantung
Obesitas
Merokok
Alkoholism4
Kelemahan atau paresis yang dapat mengenai separuh badan atau keempat
ekstremitas
hemihipestesi)
Perubahan mendadak status mental (somnolen, delirium, letargi, stupor atau
koma)
Kelemahan wajah
Kebutaan monokular atau binokular
Pandangan kabur atau gangguan lapang pandang
Disartria atau gangguan pemahaman
Vertigo atau ataksia
Afasia
Nyeri kepala
Kejang4
Pemberian oksigen dianjurkan pada keadaan dengan saturasi oksigen < 95%
Intubasi ETT (Endo Trachel Tube) atau LMA (Laryngeal Mask Airway)
diperlukan pada pasien dengan hipoksia (pO2 <60 mmHg atau pCO2 >50
mmHg), atau syok, atau pada pasien yang berisiko untuk terjadi aspirasi.
Bila tekanan darah sistolik dibawah 120 mmHg, dan cairan sudah mencukupi
dapat diberikan obat-obat vasopressor secara titrasi seperti dopamin dosis
sedang/tinggi, nor-epinefrin atau epinefrin dengan target tekanan darah sistolik
berkisar 140 mmHg.
Monitor tekanan intra kranial harus di pasang pada pasien dengan GCS < 9 dan
penderita yang mengalami penurunan kesadaran karena kenaikan tekanan intra
kranial
Sasaran terapi adalah TIK kurang dari 20 mmHg dan CPP > 70 mmHg.
Penatalaksanaan penderita dengan peningkatan tekanan intrakranial meliputi:
- Tinggikan posisi kepala 20 300.
- Posisi pasien hendaklah menghindari penekanan vena jugulare.
- Hindari pemberian cairan glukosa atau cairan hipotonik.
- Hindari hipertermia.
- Jaga normovolemia.
10
mg/menit.
Bila kejang belum teratasi maka perlu dirawat di ICU.
Berikan Asetaminofen 650 mg bila suhu lebih dari 38,5 C (ASA Guideline) 37,5
C (ESO Guideline)
Berikan cairan isotonis seperti 0,9 % salin dengan tujuan menjaga euvolemi.
Target yang harus dicapai adalah normoglikemia. Hipoglikemia berat (<50 mg/dl)
harus diobati dengan dekstrosa 40% intravena atau infuse glukosa 10-20%.
Berikan H2 antagonist atau Proton Pump Inhibitor (PPI), apabila ada indikasi
(perdarahan lambung).
12
iskemik.
Pemberian antiplatelet aggregasi :
o Pemberian Aspirin dengan dosis awal 325 mg dalam 12 jam setelah onset
stroke dianjurkan untuk setiap stroke iskemik akut (Kelas I, Tingkat Evidensi
A)
o Aspirin tidak boleh digunakan sebagai pengganti tin-dakan intervensi akut
pada stroke (seperti pemberian rtPA intravena) (Kelas III, Tingkat Evidensi
B)
o Jika direncanakan pemberian trombolitik, Aspirin jangan diberikan.
o Penggunaan Aspirin sebagai adjunctive therapy dalam 24 jam setelah
pemberian obat trombolitik tidak di-reko-mendasi (Kelas III, Tingkat
Evidensi A)
o Pemberian clopidogrel saja, atau kombinasi dengan aspirin, pada stroke
iskemik akut, tidak dianjurkan (Kelas III, Tingkat Evidensi C), kecuali pada
pasien dengan indikasi spesifik ( eg. Unstable angina atau non-Q-wave MI,
atau recent stenting : pengobatan harus diberikan sampai 9 bulan setelah
kejadian ( kelas I tingkat evidensi A ).
o Pemberian antiplatelets intravena yang menghambat reseptor glikoprotein
IIb/IIIa tidak dianjurkan (Kelas III, Tingkat Evidensi B).
o Pemberian clopidogrel dibandingkan dengan aspirin menunjukan hasil yang
sedikit lebih baik untuk pencegahan sekunder stroke, namun secara statistik
tidak bermakna. Sementara itu kejadian stroke iskemik, infark jantung dan
kematian akibat vaskuler, clopidogrel 75mg lebih baik dibandingkan dengan
13
3 jam (AHA/ASA, class I level of evidence A) atau 4,5 jam (ESO 2009)
Disamping komplikasi perdarahan, efek samping lain yang mungkin terjadi, yaitu
angioedema yang dapat menyebabkan obstruksi jalan nafas parsial, harus
diperhatikan. (AHA/ASA, Class I, level of evidence C)
Infuse rTPA 0.9 mg/kg (maksimum 90 mg) dalam 60 menit dengan 10% dosis
setelah terapi.
Bila terdapat nyeri kepala berat, hipertensi akut, mual, atau muntah, hentikan
kelainan.
Vitamin K 10 mg IV, diberikan pada penderita dengan peningkatan INR dan
diberikan dalam waktu yang sama dengan terapi yang lain karena efek akan
timbul 6 jam kemudian. Kecepatan pemberian < 1 mg/menit untuk meminimalkan
risiko anafilaksis.
Fresh Frozen Plasma (FFP) 2-6 unit diberikan untuk mengoreksi defisiensi faktor
pembekuan darah bila ditemukan sehingga dengan cepat memperbaiki INR atau
aPTT. Terapi FFP ini untuk mengganti kehilangan faktor koagulasi.
14
rFVIIa (15-90 g/kg) dapat mengoreksi peningkatan INR dengan waktu paruh
yang pendek (2,6 jam) sehingga diperlukan dosis berulang. Pemberian rFVIIa
dalam 3-4 jam pertama akan memperlambat progresifitas pendarahan.1,2,5(Class
IIb, Level of Evidence B). Penggunaan rFVIIa dapat berguna untuk mencegah
ekspansif dari perdarahan dari risiko untuk terjadinya tromboemboli sehingga
rFVIIa ini tidak diindikasikan secara umum tapi pada kasus-kasus selektif.
transfusi trombosit.
Indikasi pemberian obat antihipertensi yaitu tekanan darah sistol > 200 mmHg
atau MAP > 150 mmHg 2 . Tekanan darah diturunkan sekitar 15% per hari, lebih
dipilih menggunakan obat antihipertensi dengan kerja singkat (short-acting)
sehingga dosis dapat dititrasi dan disesuaikan dengan respon tekanan darah dan
status neurologis pasien. Obat-obat yang dapat dipergunakan yaitu nicardipine,
Jika TD systole > 200 mmHg atau MAP >150 mmHg, turunkan TD dengan cepat
15
Jika TD systole > 180 mmHg atau MAP > 130 mmHg dan tidak terdapat bukti
peningkatan tekanan intracranial, turunkan TD secara ringan dengan kontinyu
atau intermittent.
Mempertahankan cerebral perfusion pressure (CPP). Penderita dengan perdarahan
intraserebral seharusnya mempunyai tekanan darah yang terkontrol tanpa
melakukan penurunan tekanan darah yang berlebihan. Usahakan tekanan darah
systole < 160 mmHg dan CPP dijaga agar tetap di atas 60-70 mmHg1,4,5. Hal ini
dapat dicapai dengan menurunkan ICP ke nilai normal dengan pemberian
mannitol atau operasi. Pada kasus diperlukan pemberian vasopressor, bisa
diberikan:
o Phenylephrine 2-10 g/kg/menit
o Dopamine 2-10 g/kg/menit atau
o Norepinephrine, dimulai dengan 0,05-0,2 g/kg/menit dan dititrasi sampai
efek yang diinginkan.
lingkungan yang tenang dan nyaman, bila perlu berikan O2 2-3 l/menit
Terapi antifibrinolitik untuk mencegah perdarahan ulang direkomendasikan pada
keadaan klinis tertentu. Contohnya pasien dengan risiko rendah untuk terjadinya
vasopasme atau memberikan efek yang bermanfaat pada operasi yang ditunda
.Bagaimanapun juga, terapi antifibrinolitik telah dikaitkan dengan tingginya
16
Tingkat Evidensi B )
Pasien dengan aneurisme yang rupture ditentukan Tim bedah saraf dan dokter
endovaskuler untuk mengambil tindakan endovaskulercoilling atau coiling
+clipping, endovaskuler coiling dapat lebih bermanfaat ( Kelas I, Tingkat
Evidensi B )
Operasi obliterasi aneurisma secara komplit dianjurkan kapan saja bila
memungkinkan. ( kelas I, Tingkat Evidensi B)
Pemberian nimodipin dimulai dengan dosis 1-2 mg/jam IV pada hari ke 3 atau
secara oral 60 mg setiap 6 jam selama 21 hari. Pemakaian nimodipin oral terbukti
memperbaiki defisit neurologi yang ditimbulkan oleh vasospasme. (Kelas I,
Tingkat Evidensi A ) calsium antagonist lainnya yang diberikan secara oral atau
hypervolemic-
Hypertensive-Hemodilution,
dengan
tujuan
- Delayed vasopasme :
Antifibrinolitik11,12
Antihipertensi11,12
Jaga Mena Arterial Pressure ( MAP ) sekitar 110 mmhg atau tekanan darah
sistolik (TDS ) tidak lebih dari 160 dan tekanan darah diastolic (TDD) 90 mmHg
Meskipun begitu, direkomendasikan untuk nilai puncak tekanan inspirasi kurang dari 45
mmHg dan tekanan plateau kurang dari 30-35 mmHg.14
Rasio inspirasi-ekspirasi dapat diatur dengan meningkatkan inspiratory flow rate
dengan menurunkan volume tidal dan dengan menurunkan kecepatan ventilator. Sangat
penting memperhatikan rasio inspirasi-ekspirasi untuk mencegah terjadinya barotrauma
pada pasien dengan gangguan jalan nafas obstruktif seperti asma dan penyakit paru
obstruksi kronis.14
II.8.5. Volutrauma
Volutrauma mengacu pada distensi alveoli normal yang berlebihan. Valotruma
telah dikenal sejak dua dekade terakhir sehingga mendorong untuk dilakukannya
perlindungan pada tindakan ventilasi paru dengan volume tidal paru yang lebih rendah 68 mL/kg. CT Scan menunjukkan bahwa ARDS memiliki pola yang berbeda pada paruparu yang terlibat. Paru yang mengalami konsolidasi abnormal tersebar di dalam jaringan
paru normal. Saat ventilator memberikan nafas kepada pasien, maka tekanan positif
cenderung untuk mengikuti jalur dengan tahanan yang kurang atau alveoli normal
sehingga berpotensi menyebabkan distensi berlebihan. Distensi yang berlebihan ini
memicu inflamasi yang menambah kerusakan paru.14
II.8.6. Keracunan Oksigen
Keracunan oksigen adalah peningkatan fungsi dan durasi FiO2. Keracunan
oksigen disebabkan oleh produksi oksigen radikal bebas seperti anion superoksida,
radikal hidroksil dan hidrogen peroksida. Keracunan oksigen dapat menyebabkan
beragam komplikasi mulai dari trakeobronkitis dan atelektasi absortif hingga ke
kerusakan alveoli menyeluruh yang tidak dapat dibedakan dengan ARDS.14
Belum ada kesepakatan tentang nilai FiO2 yang dapat menyebabkan keracunan
oksigen, namun komplikasi ini telah dilaporkan terjadi pada pasien yang diberi FiO2
pemeliharaan dengan kadar 50%. Para klinisi dianjurkan untuk menggunakan FiO2
dengan dosis yang terendah yang dapat memenuhi kebutuhan oksigenasi.14
Literatur medis menganjurkan klinisi harus berusaha untuk mencapai kadar FiO2
sebesar 60% atau kurang dalam 24 jam pertama pemakaian ventilator. Bila perlu PEEP
dapat dipertimbangkan sebagai alat untuk meningkatkan oksigenasi saat nilai aman FiO2
dipertahankan. Ketika PEEP efektif dan tidak ada kontraindikasi hemodinamik dan
lainnya maka pasien dapat diberi oksigenasi walaupun dibatasi untuk mencegah
terjadinya resiko keracunan oksigen.14
20
21
BAB III
METODE PENELITIAN
22
BAB IV
HASIL PENELITIAN
hiperglikemia pada 7 orang pasien (41,2%), pneumonia pada 8 orang pasien (47.05%),
azotemia pada 3 orang pasien (17,6%), imbalance elektrolit pada 15 orang pasien
(88,2%), anemia pada 2 orang pasien (11,8%). Dari jumlah seluruhnya 17 pasien, untuk
outcome pasien yang hidup sebanyak 5 (29,4%) orang dan meninggal 12 orang (70,6%).
Untuk pasien dengan outcome hidup berdasarkan jenis kelamin didapatkan
perempuan 3 orang (17,6%) dan laki-laki 2 orang (11,8%), pasien dengan outcome
23
meninggal 6 orang laki-laki (35,3%) dan 6 orang perempuan (35,3%). Untuk pasien
dengan outcome hidup berdasarkan umur didapatkan umur 20 30 tahun sebanyak 0,
umur 31 40 tahun 0, umur 41 50 tahun 2 orang (11,8%), umur 51 60 tahun 3 orang
(17,6%) dan umur > 60 tahun 0. Untuk pasien dengan outcome meninggal berdasarkan
umur didapatkan umur 20 30 tahun sebanyak 1 orang (5,9%), umur 31 40 tahun 0,
umur 41 50 tahun 2 orang (11,8%), umur 51 60 tahun 4 orang (23,5%) dan umur >
60 tahun 5 orang (29,4%). Untuk pasien dengan outcome hidup berdasarkan jenis stroke
didapatkan 1 orang (5,9%) dengan intracerebral hemorrhage (ICH), 3 orang stroke non
hemorrhage (SNH) (17,6%) dan 1 orang dengan subarachnoid hemorrhage (SAH)
(5,9%) dan untuk pasien dengan outcome meninggal berdasarkan jenis stroke didapatkan
5 orang (29,4%) dengan intracerebral hemorrhage (ICH), 6 orang stroke non
hemorrhage (SNH) (35,3%) dan 1 orang dengan subarachnoid hemorrhage (SAH)
(5,9%). Jumlah pasien dengan outcome hidup berdasarkan skor Apache II saat pasien
masuk ICU adalah skor Apache II dengan nilai 11 20 sebanyak 5 orang (29,4%), skor
Apache II dengan nilai 21 30 sebanyak 0, skor Apache II dengan nilai 31 40 sebanyak
0, skor Apache II dengan nilai > 40 sebanyak 0. Jumlah pasien dengan outcome
meninggal berdasarkan skor Apache II saat pasien masuk ICU adalah skor Apache II
dengan nilai 11 20 sebanyak 5 orang (29,4%), skor Apache II dengan nilai 21 30
sebanyak 5 orang (29,4%), skor Apache II dengan nilai 31 40 sebanyak 1 orang (5,9%),
skor Apache II dengan nilai > 40 sebanyak 1 (5,9%). Jumlah pasien dengan outcome
hidup berdasarkan GCS saat masuk ICU adalah pasien dengan nilai GCS 3 8 sebanyak
1 orang (5,9%), GCS 9 13 sebanyak 4 pasien (23,6%) dan tidak ada pasien yang masuk
ICU dengan GCS 14 15. Jumlah pasien dengan outcome meninggal berdasarkan GCS
saat masuk ICU adalah pasien dengan nilai GCS 3 8 sebanyak 8 orang (47%), GCS 9
13 sebanyak 4 pasien (23,5%). Jumlah pasien dengan outcome hidup berdasarkan nilai
MAP saat masuk ICU adalah pasien dg nilai MAP < 75 sebanyak 0, nilai MAP 75 105
sebanyak 1 orang (5,9%) , nilai MAP > 105 sebanyak 4 orang (23,5%). Jumlah pasien
dengan outcome meninggal berdasarkan nilai MAP saat masuk ICU pasien dg nilai MAP
< 75 sebanyak 0, nilai MAP 75 105 sebanyak 5 orang (29,4%) , nilai MAP > 105
sebanyak 7 orang (41,2%). Berdasarkan diameter pupil didapatkan jumlah pasien dengan
outcome hidup dengan pupil anisokor saat masuk ICU sebanyak 0, dan pasien dengan
outcome meninggal dengan pupil anisokor saat masuk ICU sebanyak 5 orang (29,4%).
Pasien dengan outcome hidup dengan pupil isokor saat masuk ICU sebanyak 5 orang
(29,4%) dan jumlah pasien dengan outcome meninggal dengan pupil isokor saat masuk
24
ICU sebanyak 7 orang (41,2%). Pasien dengan outcome hidup berdasarkan tanda
babinsky (+) saat masuk ICU sebanyak 1 orang (5,9%) dan pasien dengan outcome
meninggal dengan tanda babinsky (+) saat masuk ICU sebanyak 5 orang (29,4%). Pasien
dengan outcome hidup dengan tanda babinsky (-) saat masuk ICU sebanyak 4 orang
(23,5%) dan pasien dengan outcome meninggal dengan tanda babinsky (-) saat masuk
ICU sebanyak 7 orang (41,2%). Pasien dengan hasil kultur sputum terdapat kuman
acinetobacter baumannii didapatkan outcome pasien hidup sebanyak 2 orang pasien
(11,8%) dan pasien meninggal sebanyak 2 orang (11,8%). Pasien dengan hasil kultur
sputum E.Coli ESBL didapatkan pada 1 orang pasien (5,9%) dan 1 orang pasien (5,9%)
dengan klebsiella pneumoniae dengan outcome pada kedua pasien tersebut meninggal.
Pada 1 orang pasien (5,9%) didapatkan hasil kultur sputum pseudomonas aeruginosa dan
streptococcus pyogenes dengan outcome pasien hidup. Faktor penyerta lain seperti
hiperglikemia pada 7 orang pasien (41,2%), pneumonia pada 8 orang pasien (47.05%),
azotemia pada 3 orang pasien (17,6%), imbalans elektrolit pada 15 orang pasien (88,2%),
anemia pada 2 orang pasien (11,8%). Dari faktor penyerta lain pada pasien dengan
outcome hidup didapatkan 1 orang dengan hiperglikemia (5,9%), 3 orang pneumonia
(17,6%), 2 orang dengan imbalans elektrolit (11,8%), untuk pasien dengan outcome
meninggal dengan faktor penyerta lain didapatkan pasien dengan hiperglikemia sebanyak
6 orang (35,3%), pneumonia 5 orang (29,4%), azotemia 3 orang (17,6%) dan imbalans
elektrolit 13 orang (76,5%) dan anemia 2 orang (11,8%). Dari jumlah seluruhnya 17
pasien, untuk outcome pasien yang hidup sebanyak 5 (29,4%) orang dan meninggal 12
orang (70,6%).
25
Laki-laki
Perempuan
47%
53%
35%
35.3%
30%
25%
20%
15%
17.6%
Hidup
Meninggal
11.8%
10%
5%
0%
Laki-laki
Perempuan
26
29%
20-30 tahun
24%51-60 tahun
31-40 tahun
41-50 tahun
> 60
41%
30%
0.24
25%
20%
0.18
15%
0.120.12
Hidup
10%
0.06
Meninggal
ur
>
60
ta
hu
n
ta
hu
n
ur
41
-5
0
m
U
ur
31
-4
0
ur
20
-3
0
m
U
ur
51
-6
0
ta
hu
n
ta
hu
n
0%
ta
hu
n
5%
27
12%
35%
Stroke Non Hemoragik
Stroke Hemoragik
Perdarahan Subarakhnoid
53%
35.30%
35%
29.40%
30%
25%
17.60%
20%
15%
10%
5.90%
5.90%5.90%
5%
Hidup
Meninggal
Su
ba
ra
kh
no
id
Pe
rd
ar
ah
an
or
ag
ik
H
em
on
N
St
ro
ke
St
ro
ke
H
em
or
ag
ik
0%
28
29%
59%
0.29
29.40%
29.40%
25%
20%
Hidup
Meninggal
15%
10%
5.90%
5.90%
0 31-40
Skor
0 > 40
Skor
5%
0%
Skor 11-20
0 21-30
Skor
29
GCS 3-8
GCS 9-13
47%
53%
47.00%
45%
40%
35%
30%
23.60%
23.50%
25%
Hidup
Meninggal
20%
15%
10%
5.90%
5%
0%
GCS 3-8
GCS 9-13
0.00%
0.00%
GCS 14-15
30
MAP < 75
MAP 75 - 105
35%
65%
Outcome pasien ICU dengan ventilator berdasarkan nilai MAP saat masuk
45%
41.20%
40%
35%
29.40%
30%
23.50%
25%
Hidup
20%
Meninggal
15%
10%
5.90%
5%
0%
0.00%
MAP 0.00%
< 75
MAP 75-105
31
Pasien yang dirawat di ICU dengan ventilator berdasarkan diameter pupil saat masuk
29%
Pupil anisokor
Pupil isokor
71%
Outcome pasien ICU dengan ventilator berdasarkan diameter pupil saat masuk
45%
41.20%
40%
35%
30%
29.40%
29.40%
25%
Hidup
20%
Meninggal
15%
10%
5%
0%
0.00%
Anisokor
Isokor
32
35%
Babinsky (+)
Babinsky (-)
65%
Outcome pasien ICU dengan ventilator berdasarkan tanda babinsky saat masuk
45%
41.20%
40%
35%
29.40%
30%
23.50%
25%
Hidup
20%
Meninggal
15%
10%
5.90%
5%
0%
Babinsky (+)
Babinsky (-)
33
14%
E.Coli ESBL
14%
klebsiella pneumoniae
57%
14%
0.12
11.80%
10%
8%
5.90%
6%
5.90%
0.06
4%
Hidup
2%
Meninggal
0%
0
pn
eu
m
on
ia
e
0.00%
kl
eb
si
el
la
ac
in
et
ob
ac
te
r
ba
um
an
ni
i
34
Faktor penyerta lain pada pasien yang dirawat di ICU dengan ventilator
pneumonia
azotemia
45%
imbalance elektrolit
24%
9%
Outcome pasien ICU dengan ventilator yang disertai faktor penyerta lain
90%
76.50%
80%
70%
60%
50%
35.30%
29.40%
17.60%
20%
0.00%
11.80%
Meninggal
ba
la
ns
ia
on
ia
Pn
eu
m
H
ip
er
gl
ike
m
0%
11.80%
el
ek
tro
lit
5.90%
Hidup
Im
10%
17.60%
An
em
ia
30%
Az
ot
em
40%
35
29%
Meninggal
Hidup
71%
36
BAB V
PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN
V.1. PEMBAHASAN
Dari hasil penelitian terhadap pasien yang dirawat di ICU RSUP. Dr. Kariadi
dengan ventilator periode Maret 2014 Maret 2015 sebanyak 17 orang berdasarkan jenis
kelamin didapatkan jumlah lebih kurang sama yaitu laki-laki 47% dan perempuan 53%.
Untuk outcome pasien yang hidup berdasarkan jenis kelamin didapatkan jumlah yang
hampir sama yaitu perempuan 3 orang (17,6%) dan laki-laki 2 orang (11,8%), jumlah
pasien yang meninggal sama antar laki-laki dan perempuan masing-masing 6 orang
(35,3%). Dari segi usia yang terbanyak adalah usia 51 60 tahun sebanyak 41,2%.
Outcome pasien yang hidup berdasarkan usia didapatkan umur 41 50 tahun 2 orang
(11,8%) dan umur 51 60 tahun 3 orang (17,6%). Untuk outcome pasien meninggal
berdasarkan umur didapatkan umur terbanyak yaitu umur > 60 tahun 5 orang (29,4%)
Untuk jenis stroke terbanyak adalah stroke non hemoragik sebanyak 53%. Untuk
outcome pasien hidup berdasarkan jenis stroke yang terbanyak adalah 3 orang stroke non
hemorrhage (SNH) (17,6%), dan outcome pasien meninggal berdasarkan jenis stroke
terbanyak adalah lebih kurang sama antara stroke hemoragik dan stroke non hemoragik
yaitu 5 orang (29,4%) dengan intracerebral hemorrhage (ICH), 6 orang stroke non
hemorrhage (SNH) (35,3%). Nilai skor Apache II terbanyak adalah rentang 11 20
sebanyak 58,8%. Untuk outcome pasien yang hidup berdasarkan skor Apache II saat
masuk ICU adalah skor Apache II dengan nilai 11 20 sebanyak 5 orang (29,4%) dan
untuk outcome pasien yang meninggal dengan skor Apache II terbanyak saat masuk ICU
adalah skor Apache II dengan nilai 11 20 sebanyak 5 orang (29,4%), skor Apache II
dengan nilai 21 30 sebanyak 5 orang (29,4%). GCS pasien saat masuk yang terbanyak
adalah 3 8 sebanyak 53%, dari nilai GCS ini disimpulkan bahwa pasien yang masuk
ICU dengan keadaan penurunan kesadaran berat. Untuk pasien dengan outcome hidup
didapatkan GCS saat masuk terbanyak adalah GCS 9 13 sebanyak 4 pasien (23,6%)
dan jumlah pasien dengan outcome meninggal terbanyak berdasarkan GCS saat masuk
ICU adalah pasien dengan nilai GCS 3 8 sebanyak 8 orang (47%). Untuk nilai MAP
terbanyak > 105 sebesar 64,7% ini menunjukkan pasien yang masuk ICU dengan
hemodinamik yang tidak stabil dengan tingginya nilai MAP di atas normal yaitu 75 105
37
mmHg dapat memperburuk keadaan umum pasien. Untuk pasien dengan outcome hidup
berdasarkan nilai MAP terbanyak saat masuk adalah nilai MAP > 105 sebanyak 4 orang
(23,5%), pasien dengan outcome meninggal didapatkan nilai MAP masuk terbanyak
adalah MAP > 105 sebanyak 7 orang (41,2%). Pasien dengan pupil isokor sebanyak
70,6% lebih banyak daripada pupil anisokor 29,4%. Untuk pasien dengan outcome hidup
didapatkan pupil isokor saat masuk ICU sebanyak 5 orang (29,4%), dan pada pasien
dengan outcome meninggal didapatkan pupil isokor saat masuk ICU sebanyak 7 orang
(41,2%). Tidak didapatkan pasien dengan outcome hidup dengan pupil anisokor saat
masuk ICU, dan pada pasien dengan outcome meninggal didapatkan pupil anisokor saat
masuk ICU sebanyak 7 orang (41,2%). Tanda babinsky pada pasien didapatkan hanya
sebanyak 35,3%. Tanda babinsky lebih banyak didapatkan pada pasien dengan outcome
meninggal yaitu sebanyak 5 orang (29,4%). Dari hasil kutur sputum pasien dengan
ventilator paling banyak didapatkan kuman acinetobacter baumannii sebanyak 23,5%.
Untuk pasien dengan outcome hidup dan meninggal berdasarkan hasil kultur sputum
dengan acinetobacter baumannii didapatkan jumlah yang sama yaitu masing-masing
sebanyak 2 orang pasien (11,8%). Hasil kultur sputum E.Coli ESBL, klebsiella
pneumoniae masing-masing didapatkan pada 1 orang pasien dengan outcome meninggal,
dan untuk hasil kultur sputum pseudomonas aeruginosa dan streptococcus pyogenes
didapatkan pada 1 orang pasien dengan outcome hidup. Untuk faktor penyerta lain yang
dapat memperberat keadaan umum pasien yang paling banyak adalah imbalance
elektrolit sebanyak 88,2%. Dan outcome pasien ICU yang dirawat dengan ventilator
didapatkan pasien meninggal sebanyak 70,6% dan yang hidup 29,4%.
V.2. KESIMPULAN
Dapat disimpulkan bahwa outcome pasien yang dirawat di ICU dengan ventilator masih
memberikan hasil yang kurang memuaskan dengan dipengaruhi oleh berbagai macam
faktor antara lain umur > 60 tahun, keadaan umum yang jelek saat pasien masuk dengan
penurunan kesadaran GCS 3 8, nilai MAP saat masuk >105, pupil anisokor, disertai
dengan faktor lain yang memperberat yaitu imbalans elektrolit ditambah dengan
terdapatnya pneumonia akibat pemakaian ventilator dengan kuman terbanyak
acinetobacter baumannii.
38
DAFTAR PUSTAKA
39