Anda di halaman 1dari 39

Makalah Poster Lengkap

PROFIL OUTCOME PASIEN STROKE YANG DIRAWAT DI ICU


DENGAN VENTILATOR

Oleh : Edy Irwanto


Pembimbing: dr. Maria Belladonna Rahmawati, Sp.S, Msi.Med

Diajukan dalam Pertemuan Ilmiah Regional Joglosemarmas XXVII


Gumaya Tower Hotel, 13-14 Juni 2015

PPDS I NEUROLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO
RSUP. DR. KARIADI SEMARANG
2015

PROFIL OUTCOME PASIEN STROKE YANG DIRAWAT DI ICU


DENGAN VENTILATOR
Edy Irwanto* Maria Belladonna Rahmawati**

*Residen Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro/RSUP. Dr. Kariadi


Semarang
**Staf Bagian Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang

ABSTRAK

Latar Belakang: Ventilasi mekanik kadang-kadang dibutuhkan dalam penanganan


stroke akut. Indikasinya antara lain penurunan kesadaran, berkurang atau tidak adanya
kemampuan pasien dalam mempertahankan jalan nafas yang disebabkan oleh penekanan
pada batang otak sehingga mengganggu jaringan saraf pengatur pernafasan, dan intubasi
elektif serta tindakan operasi. Pasien dengan stroke berat yang membutuhkan ventilasi
mekanik telah dilaporkan memiliki outcome yang buruk. Angka kematian di rumah sakit
mencapai 50% sampai 90% untuk pasien stroke yang menggunakan ventilasi mekanik.
Data tersebut telah menimbulkan pertanyaan tentang manfaat dan efektifitas penggunaan
ventilasi mekanik. Penelitian ini dilakukan untuk menilai prognosis pasien stroke yang
membutuhkan ventilator di ruang rawat intensif dan mengetahui faktor-faktor yang bisa
mempengaruhi outcome.
Tujuan: Mengetahui prognosis pasien stroke yang menggunakan ventilasi mekanik di
ruang perawatan intensif/intensive care unit (ICU) serta faktor-faktor yang
mempengaruhi outcome.
Metode: Desain penelitian observasional deskriptif dengan subyek penelitian pasien
stroke yang menggunakan ventilasi mekanik yang dirawat di ruang ICU RSUP. Dr.
Kariadi Semarang bulan Maret 2014 Maret 2015. Data diperoleh melalui catatan rekam
medis pasien selama perawatan di ICU, dilakukan pencatatan dan dianalisa.
Hasil: Didapatkan 17 pasien stroke yang dirawat di ICU RSUP. Dr. Kariadi dengan
menggunakan ventilator periode bulan Maret 2014 Maret 2015. Dari 17 pasien tersebut
terdiri dari 8 orang laki-laki (47%) dan 9 orang perempuan (53%) Dari jumlah
seluruhnya untuk outcome pasien yang hidup sebanyak 5 orang (29,4%) dan meninggal
12 orang (70,6%). Tingginya jumlah pasien dengan outcome meninggal disebabkan oleh
beberapa faktor antara lain usia > 60 tahun sebanyak 29,4%, nilai GCS saat masuk ICU
3 8 sebanyak 53%, MAP saat masuk ICU > 105 sebanyak 41,2%, pupil anisokor
41,2%, infeksi kuman acinetobacter baumannii sebanyak 11,8% serta imbalans elektrolit
sebanyak 88,2% pasien.
Kesimpulan: Dapat disimpulkan bahwa outcome pasien yang dirawat di ICU dengan
ventilator masih memberikan hasil yang kurang memuaskan dengan dipengaruhi oleh
berbagai macam faktor seperti umur > 60 tahun, nilai GCS saat masuk ICU 3 8, nilai
MAP saat masuk ICU > 105, pupil anisokor, infeksi kuman acinetobacter baumannii dan
imbalans elektrolit.
Kata Kunci: Ventilasi Mekanik, Stroke, Intensive Care Unit, Outcome

OUTCOME PROFILE OF STROKE PATIENT IN THE INTENSIVE CARE UNIT


USING VENTILATOR
Edy Irwanto* Maria BelladonNa Rahmawati**

*Neurology Resident in Medical Faculty of Diponegoro University/RSUP. Dr. Kariadi


Semarang
**Lecturer in Neurology Departement in Faculty of Medicine, Diponegoro University

ABSTRACT
Background: Mechanical ventilation is sometimes necessary during treatment of acute
stroke. Indications include consciousness deterioration, reduce or inability to maintain
the airway; in the event of brain stem compression that disturbs neuronal networks
controlling respiration, and elective intubation for procedures and surgery. Prognosis in
severe stroke patients requiring mechanical ventilation has often been reported to be
poor. Hospital mortality rates of 50% to 90% have been reported for stroke patients
treated with mechanical ventilation. These data have raised serious questions about the
cost-effectiveness of this intervention. This study was performed to prospectively assess
the prognosis of stroke patients who require ventilation in intensive care unit and to
determine factors that may influence outcome.
Objectives: To describe prognosis of stroke patient in the intensive care unit and
determine factors that may influence outcome.
Method: The study design was descriptive observational with study subjects of patients
with diagnosed of stroke using mechanical ventilation in the ICU RSUP. Dr. Kariadi
Semarang since March, 2014 March, 2015. Data was obtained from medical record get
noted and analyzed.
Result: There were 17 patients with stroke treated in the ICU RSUP. Dr. Kariadi using
ventilator period March 2014 - March 2015. Consist of 8 men (47%) and 9 women
(53%). From all the patients, outcomes of patients alive are 5 patients (29.4%) and died
are 12 patients (70.6%). The high number of patients with dead outcome caused by
several factors such as age > 60 years old as much as 29.4%, the value of GCS 3 8 on
ICU admission as much as 53%, value of MAP while ICU admission > 105 as much as
41.2%, anisocoria of pupil 41, 2%, acinetobacter baumannii infection as much as 11.8%
and imbalans electrolytes in 88.2% patients.
Conclusions: It can be concluded that the outcome of patients admitted to the ICU with
ventilator still give unsatisfactory results with influenced by various factors such as age >
60 years, GCS score 3-8 at ICU admission, MAP values > 105 at ICU admission,
anisocoria of pupil, acinetobacter baumannii infection and electrolyte imbalance.
Keyword: Mechanical Ventilation, Stroke, Intensive Care Unit, Outcome

,PROFIL OUTCOME PASIEN STROKE YANG DIRAWAT DI ICU


DENGAN VENTILATOR

BAB I
PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang


Ventilasi mekanik kadang-kadang dibutuhkan saat dalam penanganan stroke akut.
Indikasinya antara lain adalah adanya penurunan kesadaran, berkurang atau tidak adanya
kemampuan pasien dalam mempertahankan jalan nafas yang disebabkan oleh penekanan
pada batang otak sehingga mengganggu jaringan saraf pengatur pernafasan, dan untuk
intubasi elektif serta tindakan operasi. Menurut hasil penelitian yang pernah dilaporkan
bahwa prognosis pasien stroke yang menggunakan ventilator kurang memuaskan.1Angka
kematian di rumah sakit mencapai 50% sampai 90% telah dilaporkan untuk pasien stroke
yang menggunakan ventilasi mekanik. Data ini telah menimbulkan tanda tanya yang
serius tentang manfaat dari penggunaan ventilasi mekanik. Penelitian ini dilakukan untuk
menilai prognosis pasien stroke yang membutuhkan ventilator di ruang rawat intensif dan
menentukan faktor-faktor yang bisa mempengaruhi outcome.1,2,3

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1. Definisi Stroke


Stroke klasik ditandai dengan defisit neurologis dikaitkan dengan cedera fokal
akut sistem saraf pusat yang disebabkan oleh masalah vaskular termasuk infark serebral,
perdarahan intraserebral (PIS) dan perdarahan subarakhnoid (PSA) merupakan penyebab
utama kecatatan dan kematian di seluruh dunia. Definisi stroke menurut WHO adalah
suatu sindrom yang ditandai dengan gejala dan atau tanda klinis yang berkembang
dengan cepat yang berupa gangguan fungsional otak fokal maupun global yang
berlangsung lebih dari 24 jam yang tidak disebabkan oleh sebab lain selain penyebab
vaskuler. Definisi ini mencakup stroke akibat infark otak (stroke iskemik), PIS non
traumatik, perdarahan intraventrikuler dan beberapa kasus PSA.4,5
Menurut AHA/ASA 2013 istilah stroke secara luas digunakan mencakup semua
hal berikut :6
Definisi infark sistem saraf pusat (SSP): infark SSP termasuk otak, medula
spinalis, sel retina yang mati disebabkan iskemik berdasarkan:
1. Kelainan patologi, pencitraan atau bukti objektif adanya cedera iskemik fokal
pada otak, medula spinalis atau retina dalam gambaran distribusi vaskular.
2. Adanya bukti klinis cedera iskemik fokal pada otak, medula spinalis atau retina
berdasarkan gejala yang menetap lebih 24 jam atau sampai terjadi kematian dan
kemungkinan penyebab lain telah disingkirkan.6
Definisi stroke iskemik: sebuah episode disfungsi neurologis yang disebabkan
oleh infark pada otak, medula spinalis dan retina.6
Definisi silent infarction SSP: pada pencitraan atau pemeriksaan neuropatologi
didapatkan bukti infark SSP tanpa adanya riwayat disfungsi neurologis akut yang
ditimbulkan oleh lesi tersebut. 6
Definisi PIS: adanya kumpulan darah dalam parenkim otak atau sistem ventrikel
yang tidak disebabkan oleh trauma.6

Definisi PIS yang disebabkan oleh stroke: adanya disfungsi neurologis dengan
tanda-tanda klinis yang berkembang secara berulang yang ditimbulkan oleh adanya
kumpulan darah setempat di dalam parenkim otak atau sistem ventrikel yang tidak
disebabkan oleh trauma.6
Definisi silent cerebral hemorrhage: kumpulan setempat produk darah kronis di
dalam parenkim otak, ruang subarakhnoid atau sistem ventrikel yang tampak pada
pencitraan atau pemeriksaan neuropatologi yang tidak disebabkan oleh trauma dan tanpa
adanya riwayat disfungsi neurologis akut yang ditimbulkan oleh lesi tersebut.6
Definisi PSA: perdarahan ke dalam ruang subarakhnoid (ruangan di antara
membran arkhnoid dan pia mater di otak atau medula spinalis).6
Definisi stroke yang disebabkan oleh PSA: adanya disfungsi neurologis dan / atau
nyeri kepala yang disebabkan oleh perdarahan ke dalam ruang subarakhnoid yang tidak
disebabkan oleh trauma.6
Definisi stroke yang disebabkan oleh trombosis vena otak: adanya infark atau
perdarahan di dalam otak, medula spinalis atau retina yang disebabkan oleh trombosis
pada struktur vena otak. Tanda dan gejala yang disebabkan oleh edema yang reversibel
adanya infark atau perdarahan tidak memenuhi syarat sebagai stroke.6
Definisi stroke yang tidak spesifik: adanya episode disfungsi neurologi akut yang
diduga disebabkan oleh iskemik atau perdarahan yang menetap 24 jam atau sampai
terjadi kematian tetapi tidak cukup bukti untuk diklasifikasikan sebagai salah satu di
atas.6
II.2. Epidemiologi
Di Amerika Serikat stroke menempati urutan ketiga penyebab kematian setelah
penyakit jantung dan kanker. Di Indonesia data nasional stroke menunjukkan angka
kematian tertinggi 15,4% sebagai penyebab (Riset Kesehatan Dasar/Riskesdas, 2007).7
Sementara itu terdapat juga data stroke di Indonesia berdasarkan penelitian
potong lintang multi senter di 28 rumah sakit dengan jumlah subyek sebanyak 2065
orang pada bulan Oktober 1996 sampai bulan Maret 1997.7
Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) terjadi peningkatan
prevalensi stroke di Indonesia dari tahun 2007 sebesar 8,3 per 1000 penduduk menjadi
6

12,1 per 1000 penduduk tahun 2013. Prevalensi stroke di Indonesia berdasarkan
diagnosis tenaga kesehatan sebesar 7,0 per mil dan yang berdasarkan diagnosis tenaga
kesehatan atau gejala sebesar 12,1 per mil. Jadi sebanyak 57,9 % penyakit stroke telah
terdiagnosis oleh nakes. Penyakit stroke sama banyak pada laki-laki dan perempuan.
Meningkat seiring dengan bertambahnya umur, tertinggi pada umur 75 tahun.
Prevalensi stroke cenderung lebih tinggi pada masyarakat dengan pendidikan rendah,
baik yang didiagnosis nakes (16,5) maupun didiagnosis nakes atau gejala (32,8).
Prevalensi stroke di kota lebih tinggi dari di desa, baik berdasarkan diagnosis nakes
(8,2) maupun berdasarkan diagnosis nakes atau gejala (12,7). Prevalensi lebih tinggi
pada masyarakat yang tidak bekerja baik yang didiagnosis nakes (11,4) maupun yang
didiagnosis nakes atau gejala (18).8
II.3. Klasifikasi Stroke 7
Berdasarkan patologi anatomi dan penyebabnya
Stroke iskemik
Serangan iskemik sepintas (transient ischemic attack / TIA)
Trombosis serebri
Emboli serebri
Stroke hemoragik
Perdarahan intraserebral
Perdarahan subarakhnoid
Berdasarkan stadium/pertimbangan waktu
TIA
Stroke-in-evolution
Completed stroke
Berdasarkan sistem pembuluh darah
Sistem karotis
Sistem vertebrobasiler7
II.4. Anatomi Pembuluh Darah Otak
Otak diperdarahi oleh dua arteri karotis interna dan dua arteri vertebralis.
Keempat arteri terletak di dalam spatium subarakhnoideum dan cabang-cabangnya
beranastomosis pada permukaan inferior otak untuk membentuk sirkulus willisi. Dua
pertiga depan kedua belahan otak dan struktur subkortikal mendapat darah dari sepasang
arteri karotis interna, sedangkan 1/3 bagian belakang yang meliputi serebelum, korteks
oksipital bagian posterior dan batang otak, memperoleh darah dari sepasang arteri
vertebralis kanan dan kiri yang kemudian bersatu menjadi arteri basilaris.7,9
7

II.4.1. Arteri karotis interna


Pembuluh darah ini dapat dibagi 4 bagian yaitu: pars servikalis, pars petrosa, pars
kavernosa dan pars serebralis. Pars servikalis tidak mengeluarkan cabang-cabang. Pars
petrosa terletak di dalam os petrosum (di dalam kanalis karotikus). Pars kavernosa
terletak di dalam sinus kavernosus dan mempunyai hubungan topografik yang penting
dengan nervus oftalmikus, nervus III, IV dan VI. Pars kavernosa dan pars serebralis
biasanya dikenal sebagai pipa U karotis (carotid siphon) dalam disiplin neuroradiologi.10
Cabang-cabang utama yang penting dari arteri karotis interna berasal dari pars
serebralis. Pars serebralis mulai sesudah arteri carotis interna keluar dari sinus
kavernosus dan selanjutnya berjalan di sebelah medial prosesus klinoideus anterior.
Cabang-cabnag utama ini ialah arteri optalmika, arteri komunikans posterior dan arteri
koroidea anterior. Di sebelah lateral kiasma optikum arteri karotis interna pecah menjadi
cabang-cabang terminal yaitu arteri serebri anterior dan arteri serebri media. Arteri
serebri media lebih besar dan dapat dianggap sebagai lanjutan langsung arteri karotis
interna, oleh karena itu emboli otak lebih sering melibatkan arteri serebri media daripada
arteri serebri anterior.10
II.4.2. Arteri vertebralis
Arteri vertebralis merupakan cabang pertama dari arteri subklavia, naik ke dalam
leher melalui enam foramen prosesus transversus vertebra servikalis bagian atas. Arteri
ini masuk ke kranium melalui foramen magnum dan menembus duramater dan arakhnoid
mater untuk masuk ke dalam spatium subarakhnoideum. Selanjutnya arteri berjalan ke
atas, depan dan medial terhadap medula oblongata. Arteri vertebralis dekstra dan sinistra
bergabung menjadi satu di garis median setinggi tepi kaudal permukaan ventral pons
untuk membentuk arteri basilaris. Beberapa saat sesudah keluar dari arteri basilaris setiap
arteri serebralis posterior dihubungkan dengan arteri karotis interna pada sisi yang sama
melalui arteri komunikans posterior.9,10
II.4.3. Arteri basilaris
Arteri basilaris terbentuk dari gabungan kedua arteri vertebralis. Cabang-cabang
arteri basilaris adalah cabang kecil di pons dan arteri serebralis anterior inferior yang
memperdarahai bagian inferior dan dan anterior serebelum. Selain itu arteri basilaris juga
mempercabangkan arteri labirin yang memperdarahi meatus akustikus interna untuk
8

mensuplai telinga dalam. Cabang akhir dan merupakan cabang utama arteri basilaris
adalah arteri serebri posterior yang memperdarahi lobus oksipitalis termasuk korteks
visual dan cabang arteri sereberalis superior yang memperdarahi bagian superior
serebelum.7,9
II.4.4. Sirkulus Willisi
Sirkulus Willisi terletak di dalam fossa interpedunkularis pada basis kranii.
Sirkulus ini dibentuk oleh anastomosis antara kedua arteri karotis interna dan kedua arteri
vertebralis. Pada daerah basis serebri terbentuk suatu lingkaran pembuluh darah arterial
sirkulus arterius serebri (Willisi) yang kira-kira mengelilingi hipotalamus. Komponenkomponen lingkaran arterial ini apabila disebutkan secara berturut-turut dari anterior ke
arah posterior adalah sebagai berikut: 1). a. komunikans posterior, 2). aa. Serebri anterior,
3). aa. Karotis interna, 4). aa. Komunikan posterior dan 5). aa. Serebri posterior.9
II.5. Faktor Resiko Stroke 4
II.5.1.Faktor resiko yang tidak dapat dimodifikasi

Usia
Jenis kelamin
Ras
Keturunan4

II.5.2. Faktor resiko yang dapat dimodifikasi

Hipertensi
Diabetes melitus
Penyakit jantung
Obesitas
Merokok
Alkoholism4

II.6. Gejala Klinis


Defisit neurologis biasanya mencerminkan daerah otak yang terlibat. Gejala fokal
stroke meliputi:4

Kelemahan atau paresis yang dapat mengenai separuh badan atau keempat
ekstremitas

Gangguan sensibilitas pada satu atau lebih anggota badan (gangguan

hemihipestesi)
Perubahan mendadak status mental (somnolen, delirium, letargi, stupor atau

koma)
Kelemahan wajah
Kebutaan monokular atau binokular
Pandangan kabur atau gangguan lapang pandang
Disartria atau gangguan pemahaman
Vertigo atau ataksia
Afasia
Nyeri kepala
Kejang4

II.7. Penanganan 11,12


II.7.1. Terapi Umum (suportif)11

Pemberian oksigen dianjurkan pada keadaan dengan saturasi oksigen < 95%
Intubasi ETT (Endo Trachel Tube) atau LMA (Laryngeal Mask Airway)
diperlukan pada pasien dengan hipoksia (pO2 <60 mmHg atau pCO2 >50
mmHg), atau syok, atau pada pasien yang berisiko untuk terjadi aspirasi.

Berikan cairan kristaloid atau kolloid intravena (hindari pemberian cairan


hipotonik seperti glukosa).

Usahakan CVP 5 12 mmHg.

Bila tekanan darah sistolik dibawah 120 mmHg, dan cairan sudah mencukupi
dapat diberikan obat-obat vasopressor secara titrasi seperti dopamin dosis
sedang/tinggi, nor-epinefrin atau epinefrin dengan target tekanan darah sistolik
berkisar 140 mmHg.

Monitor tekanan intra kranial harus di pasang pada pasien dengan GCS < 9 dan
penderita yang mengalami penurunan kesadaran karena kenaikan tekanan intra

kranial
Sasaran terapi adalah TIK kurang dari 20 mmHg dan CPP > 70 mmHg.
Penatalaksanaan penderita dengan peningkatan tekanan intrakranial meliputi:
- Tinggikan posisi kepala 20 300.
- Posisi pasien hendaklah menghindari penekanan vena jugulare.
- Hindari pemberian cairan glukosa atau cairan hipotonik.
- Hindari hipertermia.
- Jaga normovolemia.
10

- Osmoterapi atas indikasi:


o Manitol 0.25 0.50 gr/kgBB, selama >20 menit, di-ulangi setiap 4 6 jam
dengan target 310 mOsm/L. (Kelas V, Tingkat Evidensi C). Osmolalitas

sebaik-nya diperiksa 2 kali dalam sehari selama pem-berian osmoterapi.


o Kalau perlu berikan furosemide dengan dosis inisial 1 mg/kgBB i.v.
Intubasi untuk menjaga normoventilasi (pCO2 35 40 mmHg). Hiperventilasi

mungkin diperlukan bila akan dilakukan tindakan operatif.


Bila kejang, berikan dazepam bolus lambat intravena5 - 20 mg sebanyak 2x
pemberian dengan interval 5-10 menit, dan jika masih kejang diikuti oleh
phenitoin loading dose 15 - 20 mg/kg bolus dengan kecepatan maksimum 50

mg/menit.
Bila kejang belum teratasi maka perlu dirawat di ICU.
Berikan Asetaminofen 650 mg bila suhu lebih dari 38,5 C (ASA Guideline) 37,5

C (ESO Guideline)
Berikan cairan isotonis seperti 0,9 % salin dengan tujuan menjaga euvolemi.

Tekanan vena sentral di pertahankan antara 5 12 mmHg


Pada umumnya kebutuhan cairan 30 ml/kgBB/hari (parenteral maupun enteral).
Balans cairan diperhitungkan dengan mengukur produksi urine sehari di tambah
dengan pengeluaran cairan yang tidak dirasakan (produksi urine sehari di tambah
500 ml untuk kehilangan cairan yang tidak tampak dan di tambah lagi 300 ml per

derajat Celcius pada penderita panas).


Asidosis dan alkalosis harus dikoreksi sesuai dengan hasil analisa gas darah.
Cairan yang hipotonik atau mengandung glukosa hendaklah dihindari kecuali

pada keadaan hipoglikemia.


Nutrisi enteral paling lambat sudah harus diberikan dalam 48 jam, oral nutrisi

hanya boleh diberikan setelah hasil tes fungsi menelan baik.


Pada keadaan akut kebutuhan kalori 25-30 kkal/kg/hari dengan komposisi:
Karbohidrat 30-40 % dari total kalori.
Lemak 20-35 % (pada gangguan nafas dapat lebih tinggi 35-55%)
Protein 20-30% (pada keadaan stress kebutuhan protein 1.4-2.0 g/kgBB/hari

(pada gangguan fungsi ginjal <0.8 g/kgBB/hari)


Pada pasien tertentu yang berisiko menderita DVT perlu diberikan heparin
subkutan 5000 IU dua kali sehari atau LMWH atau heparinoid. Perlu diperhatikan
terjadinya resiko perdarahan sistemik dan perdarahan intraserebral. Pada pasien
yang tidak bisa menerima antikoagulan, untuk mencegah DVT pada pasien

imobilisasi direkomendasikan peng-gunaan stocking eksternal atau Aspirin.


Pemantauan kadar glukosa darah sangat diperlukan. Hiperglikemia (kadar
glukosa darah > 180 mg/dl) pada stroke akut harus diobati dengan titrasi insulin.
11

Target yang harus dicapai adalah normoglikemia. Hipoglikemia berat (<50 mg/dl)

harus diobati dengan dekstrosa 40% intravena atau infuse glukosa 10-20%.
Berikan H2 antagonist atau Proton Pump Inhibitor (PPI), apabila ada indikasi
(perdarahan lambung).

II.7.2. Penatalaksanaan Stroke Iskemik11

Pengobatan terhadap hipertensi arteri pada stroke akut.


Pengobatan terhadap hipoglikemia atau hiperglikemia
Pemberian terapi trombolisis pada stroke akut
Pemberian antikoagulan :
o Pemberian antikoagulan (heparin, LMWH atau heparinoid) secara parenteral
meningkatkan komplikasi perdarahan yang serius. (Kelas III, Tingkat
Evidensi A) Data menunjukkan bahwa pemberian dini antikoagulan tidak
mencegah risiko stroke ulang dini, termasuk stroke emboli (Kelas I) dan tidak
mengurangi risiko memburuknya keadaan neurologik. Pada keadaan tertentu
dapat diberikan, namun waspadai kemungkinan komplikasi perdarahan.
o Pemberian antikoagulan rutin terhadap pasien stroke iskemik akut dengan
tujuan untuk memperbaiki outcome neurologik atau sebagai pencegahan dini
terjadinya stroke ulang tidak direkomendasi. (Kelas III Tingkat Evidensi A)
o Pengobatan antikoagulan dalam 24 jam terhadap pasien yang mendapat rt-Pa
intravena tidak direkomendasi Kelas III, Tingkat Evidensi B)
o Secara umum, pemberian heparin, LMWH atau hepari-noid setelah stroke
iskemik tidak direkomendasi.(Kelas I)
o Pada beberapa penelitian menunjukkan dosis tertentu unfractioned heparin
subkutan menurunkan stroke iskemik ulang secara dini, tetapi dapat
meningkatkan terjadinya perdarahan. Karena itu penggunaan un-fractioned
heparin subkutan tidak direkomendasikan untuk menurunkan mortalitas dan
morbiditas atau pencegahan dini stroke ulang.(Tingkat Evidensi A) Dosis
tinggi LMWH / heparinoids tidak bermanfaat menurunkan morbiditas,
mortalitas atau stroke ulang dini pada pasien stroke akut. (Tingkat Evidensi
A)
o Pemberian antikoagulan tidak dilakukan sampai ada hasil pemeriksaan
imaging memastikan tidak ada perdarahan intrakranial primer. Terhadap
penderita yang mendapat pengobatan antikoagulan perlu di-laku-kan monitor
kadar antikoagulan.
o Tidak ditemukan manfaat pemberian heparin pada pasien stroke akut dengan
atrial fibrilasi, walaupun masih dapat diberikan pada pasien yang selektif.

12

Aspirin dan dilanjutkan dengan pemberian warfarin untuk prevensi jangka


panjang dapat diberikan. Warfarin merupakan pengobatan lini pertama pada
kebanyakan kasus stroke kardio-emboli. Penggunaan warfarin harus hati-hati,
karena dapat meningkatkan resiko perdarahan. Oleh karena itu perlu monitor
INR paling sedikit 1 bulan sekali. Warfarin dapat mencegah terjadinya stroke
emboli kardiogenik dan mencegah emboli ulang pada keadaanmajor risk.
o Pemberian antikoagulan sesuai dengan pedoman antikoagulan pada stroke

iskemik.
Pemberian antiplatelet aggregasi :
o Pemberian Aspirin dengan dosis awal 325 mg dalam 12 jam setelah onset
stroke dianjurkan untuk setiap stroke iskemik akut (Kelas I, Tingkat Evidensi
A)
o Aspirin tidak boleh digunakan sebagai pengganti tin-dakan intervensi akut
pada stroke (seperti pemberian rtPA intravena) (Kelas III, Tingkat Evidensi
B)
o Jika direncanakan pemberian trombolitik, Aspirin jangan diberikan.
o Penggunaan Aspirin sebagai adjunctive therapy dalam 24 jam setelah
pemberian obat trombolitik tidak di-reko-mendasi (Kelas III, Tingkat
Evidensi A)
o Pemberian clopidogrel saja, atau kombinasi dengan aspirin, pada stroke
iskemik akut, tidak dianjurkan (Kelas III, Tingkat Evidensi C), kecuali pada
pasien dengan indikasi spesifik ( eg. Unstable angina atau non-Q-wave MI,
atau recent stenting : pengobatan harus diberikan sampai 9 bulan setelah
kejadian ( kelas I tingkat evidensi A ).
o Pemberian antiplatelets intravena yang menghambat reseptor glikoprotein
IIb/IIIa tidak dianjurkan (Kelas III, Tingkat Evidensi B).
o Pemberian clopidogrel dibandingkan dengan aspirin menunjukan hasil yang
sedikit lebih baik untuk pencegahan sekunder stroke, namun secara statistik
tidak bermakna. Sementara itu kejadian stroke iskemik, infark jantung dan
kematian akibat vaskuler, clopidogrel 75mg lebih baik dibandingkan dengan

aspirin 325mg (CAPRIE STUDY)


Pemakaian obat-obatan neuroprotektan belum menun-jukkan hasil yang efektif,
sehingga sampai saat ini belum dianjurkan (Kelas III, Tingkat Evidensi A).
Namun citicolin sampai saat ini masih memberikan manfaat pada stroke akut
(Cochrane Study 2005).

13

Penggunaan Citicolin pada stroke iskemik akut dengan dosis 2 x 1000mg


intravena 3 hari dan dilanjutkan dengan oral 2x 1000mg selama 3 minggu

(International Citicoline on Acute Stroke: ICTUS, October 2006)


Pemberian IV rTPA dosis 0.9 mg/kgBB (maksimum 90 mg), 10% dari dosis total
diberikan sebagai bolus inisial, dan sisanya diberikan sebagai infuse selama 60
menit, terapi tersebut harus diberikan dalam rentang waktu 3 jam (AHA/ASA,

Class I, level of evidence A)1atau 4,5 jam (ESO guideline 2009)


Pemberian rTPA direkomendasikan secepat mungkin, yaitu dalam rentang waktu

3 jam (AHA/ASA, class I level of evidence A) atau 4,5 jam (ESO 2009)
Disamping komplikasi perdarahan, efek samping lain yang mungkin terjadi, yaitu
angioedema yang dapat menyebabkan obstruksi jalan nafas parsial, harus
diperhatikan. (AHA/ASA, Class I, level of evidence C)

II.7.2.1. Protokol Penggunaan rTPA intravena11

Infuse rTPA 0.9 mg/kg (maksimum 90 mg) dalam 60 menit dengan 10% dosis

diberikan sebagai bolus dalam 1 menit


Masukkan pasien ke ICU atau unit stroke untuk pemantauan
Lakukan penilaian neurologi tiap 15 menit selama pemberian infus dan setiap 30
menit setelahnya selama 6 jam berikutnya, kemudian tiap jam hingga 24 jam

setelah terapi.
Bila terdapat nyeri kepala berat, hipertensi akut, mual, atau muntah, hentikan

infuse (bila rTPA sedang dimasukkan) dan lakukan CT Scan segera


Ukur tekanan darah setiap 15 menit selama 2 jam pertama dan setiap 30 menit
selama 6 jam berikutnya, dan kemudian setiap jam hingga 24 jam setelah terapi

II.7.3. Penatalaksanaan Perdarahan Intracerebral11,12


Penatalaksanaan Umum

Melakukan pemeriksaan hemostasis, PT (INR), aPTT, dan Trombosit pada setiap


penderita perdarahan intrakranial dan koreksi secepat mungkin jika didapatkan

kelainan.
Vitamin K 10 mg IV, diberikan pada penderita dengan peningkatan INR dan
diberikan dalam waktu yang sama dengan terapi yang lain karena efek akan
timbul 6 jam kemudian. Kecepatan pemberian < 1 mg/menit untuk meminimalkan

risiko anafilaksis.
Fresh Frozen Plasma (FFP) 2-6 unit diberikan untuk mengoreksi defisiensi faktor
pembekuan darah bila ditemukan sehingga dengan cepat memperbaiki INR atau
aPTT. Terapi FFP ini untuk mengganti kehilangan faktor koagulasi.
14

rFVIIa (15-90 g/kg) dapat mengoreksi peningkatan INR dengan waktu paruh
yang pendek (2,6 jam) sehingga diperlukan dosis berulang. Pemberian rFVIIa
dalam 3-4 jam pertama akan memperlambat progresifitas pendarahan.1,2,5(Class
IIb, Level of Evidence B). Penggunaan rFVIIa dapat berguna untuk mencegah
ekspansif dari perdarahan dari risiko untuk terjadinya tromboemboli sehingga
rFVIIa ini tidak diindikasikan secara umum tapi pada kasus-kasus selektif.

Defibrogenasi paling baik dikoreksi dengan cryoprecipitate.


Efek heparin dapat diatasi dengan pemberian protamin sulfat 10-50 mg IV dalam
waktu 1-3 menit. Penderita dengan pemberian protamin sulfat perlu pengawasan

ketat untuk melihat tanda-tanda hipersensitif. (Class I, Level of Evidence B)


Trombositopenia (< 100 x 103/L) seharusnya dikoreksi dengan pemberian

transfusi trombosit.
Indikasi pemberian obat antihipertensi yaitu tekanan darah sistol > 200 mmHg
atau MAP > 150 mmHg 2 . Tekanan darah diturunkan sekitar 15% per hari, lebih
dipilih menggunakan obat antihipertensi dengan kerja singkat (short-acting)
sehingga dosis dapat dititrasi dan disesuaikan dengan respon tekanan darah dan
status neurologis pasien. Obat-obat yang dapat dipergunakan yaitu nicardipine,

labetalol, esmolol atau Natrium nitroprusside.


Nicardipine 5 mg/jam sebagai dosis awal, lalu dinaikkan 2,5 mg/jam setiap 5

menit sampai efek yang diinginkan. Dosis maksimumnya adalah 15 mg/jam.


Labetalol diberikan dosis intermitten 10-20 mg IV dalam 2 menit, lalu 40-80 mg
IV setiap 10 menit hingga tercapai tekanan darah yang diinginkan. Dapat

dikonversi ke dosis oral 200-400 mg setiap 6-12 jam.


Hydralazine dapat diberikan 10-20 mg IV setiap 4-6 jam1
Enaloprilat dapat diberikan 0,625-1,2 mg IV setiap 6 jam1
Natrium nitroprusside seharusnya dihindari pada kasus emergensi neurologi
karena dapat meningkatkan ICP. Tapi jika dibutuhkan penurunan tekanan darah
dengan segera dan obat lain tidak efektif, penderita dapat diberikan Natrium
nitroprusside 0,25-10 g/kg/menit. Dosis awal sebaiknya lebih rendah.

II.7.3.1. Penatalaksanaan Emergensi Hipertensi Arterial11,12

Jika TD systole > 200 mmHg atau MAP >150 mmHg, turunkan TD dengan cepat

dengan obat IV dan monitor TD setiap 5 menit.


Jika TD systole > 180 mmHg atau MAP > 130 mmHg dan terdapat bukti
peningkatan tekanan intracranial, turunkan TD secara kontinyu atau intermittent,
dan pertahankan CPP > 80 mmHg.

15

Jika TD systole > 180 mmHg atau MAP > 130 mmHg dan tidak terdapat bukti
peningkatan tekanan intracranial, turunkan TD secara ringan dengan kontinyu

atau intermittent.
Mempertahankan cerebral perfusion pressure (CPP). Penderita dengan perdarahan
intraserebral seharusnya mempunyai tekanan darah yang terkontrol tanpa
melakukan penurunan tekanan darah yang berlebihan. Usahakan tekanan darah
systole < 160 mmHg dan CPP dijaga agar tetap di atas 60-70 mmHg1,4,5. Hal ini
dapat dicapai dengan menurunkan ICP ke nilai normal dengan pemberian
mannitol atau operasi. Pada kasus diperlukan pemberian vasopressor, bisa
diberikan:
o Phenylephrine 2-10 g/kg/menit
o Dopamine 2-10 g/kg/menit atau
o Norepinephrine, dimulai dengan 0,05-0,2 g/kg/menit dan dititrasi sampai
efek yang diinginkan.

Penatalaksanaan bedah dan neuro intervensi. Pengambilan keputusan tergantung


lokasi dan ukuran hematoma dan status neurologis penderita. Secara umum,
pembedahan direkomendasikan pada hematoma cerebellar yang besar disertai
penekanan pada brain stem atau menghambat aliran CSF, termasuk juga pada
penderita dengan hematoma lobaris yang terletak < 1 cm dari permukaan korteks.
Penderita dengan pendarahan pada thalamus dan ganglia basalis biasanya tidak
memerlukan intervensi bedah.

II.7.4. Penatalaksanaan Perdarahan Subarachnoid (PSA)11,12

Angiografi serebral sebaiknya dilakukan pada penderita PSA untuk melihat

adanya gambaran aneurisma (Kelas I, Level of Evidence B)


MRA dan CTA dapat dipertimbangkan bila angiografi konvensional tidak dapat

dilakukan (Kelas II B, Level of Evidence B)


Identifikasi yang dini dari nyeri kepala hebat merupakan petunjuk untuk upaya

menurunkan angka mortalitas dan morbiditas


Bed rest total dengan posisi kepala ditinggikan 30 0 dalam ruangan dengan

lingkungan yang tenang dan nyaman, bila perlu berikan O2 2-3 l/menit
Terapi antifibrinolitik untuk mencegah perdarahan ulang direkomendasikan pada
keadaan klinis tertentu. Contohnya pasien dengan risiko rendah untuk terjadinya
vasopasme atau memberikan efek yang bermanfaat pada operasi yang ditunda
.Bagaimanapun juga, terapi antifibrinolitik telah dikaitkan dengan tingginya

16

angka kejadian iskemik serebral,tampaknya tidak menguntungkan pada hasil

akhir secara keseluruhan.


Operasi clipping atau endovaskuler coiling sangat direkomendasikan untuk
mengurangi perdarahan ulang setelah ruptur aneurisma pada PSA ( kelas I,

Tingkat Evidensi B )
Pasien dengan aneurisme yang rupture ditentukan Tim bedah saraf dan dokter
endovaskuler untuk mengambil tindakan endovaskulercoilling atau coiling
+clipping, endovaskuler coiling dapat lebih bermanfaat ( Kelas I, Tingkat

Evidensi B )
Operasi obliterasi aneurisma secara komplit dianjurkan kapan saja bila
memungkinkan. ( kelas I, Tingkat Evidensi B)

II.7.4.1. Tatalaksana pencegahan vasospasme11,12

Pemberian nimodipin dimulai dengan dosis 1-2 mg/jam IV pada hari ke 3 atau
secara oral 60 mg setiap 6 jam selama 21 hari. Pemakaian nimodipin oral terbukti
memperbaiki defisit neurologi yang ditimbulkan oleh vasospasme. (Kelas I,
Tingkat Evidensi A ) calsium antagonist lainnya yang diberikan secara oral atau

intravena tidak bermakna 3,( kelas I, Tingkat Evidensi B )


Pengobatan vasospasme cerebral dimulai dengan penanganan aneurisma yang
rupture, dengan mempertahankan volume darah sirkulasi yang normal dan

menghindari terjadinya hipovolemi . (Kelas IIa, Tingkat Evidensi B )


Penatalaksanaan dengan hyperdynamic therapy yang dikenal dengan triple H
yairtu

hypervolemic-

Hypertensive-Hemodilution,

dengan

tujuan

mempertahankan cerebral perfusion pressure sehingga dapat mengurangi


terjadinya iskemik serebral akibat vasospasme. ( Kelas IIa, Tingkat Evidensi B )
Hati-hati terhadap kemungkinan terjadinya perdarahan ulang pada pasien yang

tidak dilakukan embolisasi atau clipping. ( kelas III-V, Tingkat Evidensi C )


Angioplasti transluminal dianjurkan untuk pengobatan vasospasme pada pasienpasien yang gagal dengan terapi konvensional ( kelas IV-V, Tingkat Evidensi C )

Cara lain untuk manajemen vasospasme adalah sebagai berikut :


- Pencegahan vasospasme :

Nimodipin 60 mg peroral 4 kali sehari


Nacl 3 % intravena 50 ml 3 kali sehari
Jaga balans elektrolit

- Delayed vasopasme :

Stop Nimodipine, antihipertensi dan diuretika


17

Berikan 5 % albumin 250 ml intravena


Pasang Swan-ganz ( bila memungkinkan), usahakan wedge pressure 12-14 mmhg
Jaga cardiac index sekitar 4 L/min/sg.meter
Berikan Dobutamine 2-15 ug/kg/min

Antifibrinolitik11,12

Obat-obatan anti fibrinolitik dapat mencegah perdarahan ulang .10,11


Obat-obatan yang sering dipakai adalah epsilon amino-caproid acid dengan dosis
36 gram/hari atau asam tranexamat dengan dosis 6-12 gr/hari.

Antihipertensi11,12

Jaga Mena Arterial Pressure ( MAP ) sekitar 110 mmhg atau tekanan darah
sistolik (TDS ) tidak lebih dari 160 dan tekanan darah diastolic (TDD) 90 mmHg

( sebelum tindakan operasi aneurisma clipping).


Obat-obatan antihipertensi diberikan bila TDS lebih dari 160 mmHg dan TDD

lebih dari 90 mmHg atau MAP di atas 130 mmHg


Obat antihipertensi yang dapat dipakai adalah labetalol ( IV ) 0,5 2 mg/menit
sampai mencapai maksimal 20 mg/jam atau esmolol infus dosisnya 50-200
mcg/kg/menit. Pemakaian nitroprussid tidak dianjurkan karena menyebabkan

vasodilatasi dan memberikan efek takikardia.


Untuk menjaga TDS jangan menurun ( di bawah 120 mmHg ) dapat diberikan
vasopressor, dimana hal ini untuk melindungi jaringan iskemik penumbra yang
mungkin terjadi akibat vasospasme.

II.8. Ventilator 13,14


Ventilator dirancang untuk proses penyakit yang berbeda untuk melindungi
parenkim paru untuk menjaga pertukaran gas yang adekuat dan bertanggung jawab dalam
meningkatkan angka kelangsungan hidup pada keadaan patologis seperti acute
respiratory distress syndrome (ARDS).13
Indikasi pemakaian ventilator adalah sebagai berikut:

Bradipneu atau apnea dengan gagal nafas


Acute lung injury dan acute respiratory distress syndrome
Takipneu (frekwensi nafas >30 kali per menit)
Kapasitas vital kurang dari 15 mL/kg
Minute ventilation lebih besar dari 10 L/min
Tekanan parsial arteri oksigen (PaO2) dengan fraksi konsentrasi oksigen yang
diberikan kepada pasien (F1O2) kurang dari 55 mmHg
18

Perbedaan tekanan oksigen di alveoli dan arteri (AaDO2) dengan pemberian

oksigen 100% lebih besar dari 450 mmHg


Perburukan secara klinis
Kelelahan otot pernafasan
Hipotensi
Tekanan parsial akut karbon dioksida (PaCO2) lebih besar dari 50 mmHg dengan

pH arteri kurang dari 7.25


Penyakit neuromuskular14

II.8.1. Komplikasi Penggunaan Ventilator


Komplikasi dapat terjadi pada setiap tahapan penggunaan ventilasi mekanik dan
kadang-kadang dapat mengancam kehidupan.14
II.8.2. Komplikasi intubasi
Komplikasi dapat terjadi saat pemasangan pipa endotrakeal meliputi trauma pada
saluran nafas atas dan hidung, avulsi gigi, laserasi pada oro-faring, laserasi dan hematom
pita suara, laserasi trakea, perforasi, dan intubasi ke dalam esofagus. Ketidaksengajaan
intubasi ke dalam batang bronkus sisi kanan telah dilaporkan sebanyak 3-8% dari seluruh
tindakan intubasi pada orang dewasa. Jumlah kejadian aspirasi sebanyak 8-19% pada
tindakan intubasi pada orang dewasa tanpa tindakan anestesi. Pada penggunaan pipa
endotrakeal jangka panjang dapat menyebabkan sinusitis, nekrosis atau nekrosis trakea,
udem glotis dan ventilator associated pneumonia.14
II.8.3. Ventilator yang menyebabkan cedera paru
Cedera paru yang diinduksi oleh ventilator, epitel alveoli beresiko untuk
terjadinya barotrauma dan volutrauma.14
II.8.4. Barotrauma
Barotrauma mengacu pada pecahnya alveoli diikuti dengan masuknya udara ke
rongga pleura (pneumothoraks). Prevalensi kejadian barotrauma agak sulit untuk
ditegakkan. Volume tidal yang besar dan peningkatan puncak inspirasi dan tekanan
plateau merupakan faktor resiko terjadinya barotrauma. Studi pada pasien dewasa dengan
respiratory distress syndrome (ARDS) menunjukkan tingkat keparahan patologis paru
yang mendasari terjadinya barotrauma merupakan prediktor yang lebih baik untuk
kejadian barotrauma dibandingkan dengan mengamati puncak tekanan inspirasi.
19

Meskipun begitu, direkomendasikan untuk nilai puncak tekanan inspirasi kurang dari 45
mmHg dan tekanan plateau kurang dari 30-35 mmHg.14
Rasio inspirasi-ekspirasi dapat diatur dengan meningkatkan inspiratory flow rate
dengan menurunkan volume tidal dan dengan menurunkan kecepatan ventilator. Sangat
penting memperhatikan rasio inspirasi-ekspirasi untuk mencegah terjadinya barotrauma
pada pasien dengan gangguan jalan nafas obstruktif seperti asma dan penyakit paru
obstruksi kronis.14
II.8.5. Volutrauma
Volutrauma mengacu pada distensi alveoli normal yang berlebihan. Valotruma
telah dikenal sejak dua dekade terakhir sehingga mendorong untuk dilakukannya
perlindungan pada tindakan ventilasi paru dengan volume tidal paru yang lebih rendah 68 mL/kg. CT Scan menunjukkan bahwa ARDS memiliki pola yang berbeda pada paruparu yang terlibat. Paru yang mengalami konsolidasi abnormal tersebar di dalam jaringan
paru normal. Saat ventilator memberikan nafas kepada pasien, maka tekanan positif
cenderung untuk mengikuti jalur dengan tahanan yang kurang atau alveoli normal
sehingga berpotensi menyebabkan distensi berlebihan. Distensi yang berlebihan ini
memicu inflamasi yang menambah kerusakan paru.14
II.8.6. Keracunan Oksigen
Keracunan oksigen adalah peningkatan fungsi dan durasi FiO2. Keracunan
oksigen disebabkan oleh produksi oksigen radikal bebas seperti anion superoksida,
radikal hidroksil dan hidrogen peroksida. Keracunan oksigen dapat menyebabkan
beragam komplikasi mulai dari trakeobronkitis dan atelektasi absortif hingga ke
kerusakan alveoli menyeluruh yang tidak dapat dibedakan dengan ARDS.14
Belum ada kesepakatan tentang nilai FiO2 yang dapat menyebabkan keracunan
oksigen, namun komplikasi ini telah dilaporkan terjadi pada pasien yang diberi FiO2
pemeliharaan dengan kadar 50%. Para klinisi dianjurkan untuk menggunakan FiO2
dengan dosis yang terendah yang dapat memenuhi kebutuhan oksigenasi.14
Literatur medis menganjurkan klinisi harus berusaha untuk mencapai kadar FiO2
sebesar 60% atau kurang dalam 24 jam pertama pemakaian ventilator. Bila perlu PEEP
dapat dipertimbangkan sebagai alat untuk meningkatkan oksigenasi saat nilai aman FiO2
dipertahankan. Ketika PEEP efektif dan tidak ada kontraindikasi hemodinamik dan
lainnya maka pasien dapat diberi oksigenasi walaupun dibatasi untuk mencegah
terjadinya resiko keracunan oksigen.14
20

II.8.7. Pneumonia yang diakibatkan ventilator


Pneumonia yang diakibatkan oleh ventilator/Ventilator-associated pneumonia
(VAP) merupakan komplikasi yang dapat mengancam jiwa dengan angka mortalitas
sebesar 33-50%. Kejadian ini dilaporkan terjadi pada 10-25% pasien dengan ventilator
mekanik. Resiko terjadinya VAP meningkat tinggi setelah dilakukan intubasi. VAP
diperkirakan terjadi sekitar 3% pada 5 hari pertama, 2% per hari untuk 5 hari berikutnya
dan 1% per hari pada hari-hari berikutnya. VAP lebih sering terjadi pada kasus trauma,
bedah saraf, dan di unit perawatan intensif.14
VAP didefinisikan sebagai infeksi baru pada parenkim paru yang berkembang
dalam 48 jam setelah intubasi. VAP harus dicurigai bila munculnya infiltrat baru pada
paru disertai demam, leukositosis, sekresi trakeobronkial yang purulen. Namun banyak
penyakit lain yang menyebabkan gejala klinis yang sama, seperti; pneumonistis aspirasi,
atelektasis, tromboembolisme pulmonal, reaksi obat-obatan, perdarahan pulmonal dan
pneumonitis yang diinduksi radiasi. Pemeriksaan kultur dan lavase bronkoalveoli
spesimen dapat membantu menegakkan diagnosis.14
Mikroorganisme yang terlibat dalam VAP yang terjadi dalam 48 jam pertama
setelah dilakukan intubasi adalah flora saluran pernafasan atas seperti; hemofilus
influenza, dan streptokokus pneumonia. Setelah periode awal, basil gram negatif seperti
pseudomonas aeuroginosa, escherichia coli dan asinetobakter, proteus, dan klebsiela
spesimen menjadi predominan. Stapilokokus aureus terutama methicillin-resistant S
aureus (MRSA), biasanya menjadi agen infektif utama pada 7 hari setelah intubasi dan
pemakaian ventilator. Banyak literatur yang merekomendasikan pemberian terapi awal
dengan antibiotik spektrum luas mencakup patogen yang resisten terhadap beberapa obat
sampai sensitivitas kuman penyebab diketahui.14

21

BAB III
METODE PENELITIAN

III.1. METODE PENELITIAN


Desain penelitian ini adalah observasional deskriptif.
III.2. SUBYEK PENELITIAN
Subyek penelitian adalah pasien stroke yang menggunakan ventilator yang
dirawat di ruang ICU RSUP. Dr. Kariadi Semarang bulan Maret 2014 Maret 2015. Data
diperoleh melalui catatan rekam medis pasien selama perawatan di ICU.
III.3. PENGUMPULAN DATA DAN TEKNIK ANALISA
Data diperoleh melalui catatan rekam medis pasien selama perawatan di ICU,
dilakukan pencatatan dan dianalisa dan dilakukan persentase dan ditampilkan dalam
bentuk grafik.

22

BAB IV
HASIL PENELITIAN

IV.1. HASIL PENELITIAN


Didapatkan 17 pasien stroke yang dirawat di ICU RSUP. Dr. Kariadi dengan
menggunakan ventilator periode bulan Maret 2014 Maret 2015. Dari 17 pasien tersebut
terdapat 8 orang laki-laki (47%) dan 9 orang perempuan (53%). Rentang umur adalah 24
th 67 th. Umur 20 30 tahun sebanyak 1 orang (5,9%), umur 31 40 tahun 0, umur 41
50 tahun 4 orang (23,5%), umur 51 60 tahun 7 orang (41,2%) dan umur > 60 tahun 5
orang (29,4%). Dari diagnosis diadapatkan 6 pasien dengan intracerebral hemorrhage
(ICH) (35%), 9 orang stroke non hemorrhage (SNH) (53%) dan 2 orang dengan
subarachnoid hemorrhage (SAH) (12%). Rentang skor Apache II pasien saat masuk ICU
adalah 11 56. Skor Apache II dengan nilai 11 20 sebanyak 10 orang (58,8%), skor
Apache II dengan nilai 21 30 sebanyak 5 orang (29,4%), skor Apache II dengan nilai
31 40 sebanyak 1 orang (5,9%), skor Apache II dengan nilai > 40 sebanyak 1 orang
( 5,9%). Nilai GCS pasien 3 8 saat masuk ICU sebanyak 9 orang (53%), GCS 9 13
sebanyak 8 pasien (47%) dan GCS 14 15 sebanyak 0. Nilai mean arterial volume
(MAP) pasien saat masuk ICU < 75 sebanyak 0, nilai MAP 75 105 sebanyak 6 orang
(35,3%) , nilai MAP > 105 sebanyak 11 orang (64,7%). Pasien dengan pupil anisokor
sebanyak 5 orang (29,4%) dan pupil isokor sebanyak 12 orang (70,6%). Pasien masuk
ICU dengan babinsky (+) sebanyak 6 orang (35,3%) dan pasien dengan babinsky (-)
sebanyak 11 orang (64,7%). Hasil kultur sputum pasien didapatkan kuman acinetobacter
baumannii pada 4 orang pasien (23,5%), E.Coli ESBL pada 1 orang pasien (5,9%),
klebsiella pneumoniae pada 1 orang pasien (5,9%), pseudomonas aeruginosa dan
streptococcus pyogenes pada 1 orang pasien (5,9%).

Faktor penyerta lain seperti

hiperglikemia pada 7 orang pasien (41,2%), pneumonia pada 8 orang pasien (47.05%),
azotemia pada 3 orang pasien (17,6%), imbalance elektrolit pada 15 orang pasien
(88,2%), anemia pada 2 orang pasien (11,8%). Dari jumlah seluruhnya 17 pasien, untuk
outcome pasien yang hidup sebanyak 5 (29,4%) orang dan meninggal 12 orang (70,6%).
Untuk pasien dengan outcome hidup berdasarkan jenis kelamin didapatkan
perempuan 3 orang (17,6%) dan laki-laki 2 orang (11,8%), pasien dengan outcome
23

meninggal 6 orang laki-laki (35,3%) dan 6 orang perempuan (35,3%). Untuk pasien
dengan outcome hidup berdasarkan umur didapatkan umur 20 30 tahun sebanyak 0,
umur 31 40 tahun 0, umur 41 50 tahun 2 orang (11,8%), umur 51 60 tahun 3 orang
(17,6%) dan umur > 60 tahun 0. Untuk pasien dengan outcome meninggal berdasarkan
umur didapatkan umur 20 30 tahun sebanyak 1 orang (5,9%), umur 31 40 tahun 0,
umur 41 50 tahun 2 orang (11,8%), umur 51 60 tahun 4 orang (23,5%) dan umur >
60 tahun 5 orang (29,4%). Untuk pasien dengan outcome hidup berdasarkan jenis stroke
didapatkan 1 orang (5,9%) dengan intracerebral hemorrhage (ICH), 3 orang stroke non
hemorrhage (SNH) (17,6%) dan 1 orang dengan subarachnoid hemorrhage (SAH)
(5,9%) dan untuk pasien dengan outcome meninggal berdasarkan jenis stroke didapatkan
5 orang (29,4%) dengan intracerebral hemorrhage (ICH), 6 orang stroke non
hemorrhage (SNH) (35,3%) dan 1 orang dengan subarachnoid hemorrhage (SAH)
(5,9%). Jumlah pasien dengan outcome hidup berdasarkan skor Apache II saat pasien
masuk ICU adalah skor Apache II dengan nilai 11 20 sebanyak 5 orang (29,4%), skor
Apache II dengan nilai 21 30 sebanyak 0, skor Apache II dengan nilai 31 40 sebanyak
0, skor Apache II dengan nilai > 40 sebanyak 0. Jumlah pasien dengan outcome
meninggal berdasarkan skor Apache II saat pasien masuk ICU adalah skor Apache II
dengan nilai 11 20 sebanyak 5 orang (29,4%), skor Apache II dengan nilai 21 30
sebanyak 5 orang (29,4%), skor Apache II dengan nilai 31 40 sebanyak 1 orang (5,9%),
skor Apache II dengan nilai > 40 sebanyak 1 (5,9%). Jumlah pasien dengan outcome
hidup berdasarkan GCS saat masuk ICU adalah pasien dengan nilai GCS 3 8 sebanyak
1 orang (5,9%), GCS 9 13 sebanyak 4 pasien (23,6%) dan tidak ada pasien yang masuk
ICU dengan GCS 14 15. Jumlah pasien dengan outcome meninggal berdasarkan GCS
saat masuk ICU adalah pasien dengan nilai GCS 3 8 sebanyak 8 orang (47%), GCS 9
13 sebanyak 4 pasien (23,5%). Jumlah pasien dengan outcome hidup berdasarkan nilai
MAP saat masuk ICU adalah pasien dg nilai MAP < 75 sebanyak 0, nilai MAP 75 105
sebanyak 1 orang (5,9%) , nilai MAP > 105 sebanyak 4 orang (23,5%). Jumlah pasien
dengan outcome meninggal berdasarkan nilai MAP saat masuk ICU pasien dg nilai MAP
< 75 sebanyak 0, nilai MAP 75 105 sebanyak 5 orang (29,4%) , nilai MAP > 105
sebanyak 7 orang (41,2%). Berdasarkan diameter pupil didapatkan jumlah pasien dengan
outcome hidup dengan pupil anisokor saat masuk ICU sebanyak 0, dan pasien dengan
outcome meninggal dengan pupil anisokor saat masuk ICU sebanyak 5 orang (29,4%).
Pasien dengan outcome hidup dengan pupil isokor saat masuk ICU sebanyak 5 orang
(29,4%) dan jumlah pasien dengan outcome meninggal dengan pupil isokor saat masuk
24

ICU sebanyak 7 orang (41,2%). Pasien dengan outcome hidup berdasarkan tanda
babinsky (+) saat masuk ICU sebanyak 1 orang (5,9%) dan pasien dengan outcome
meninggal dengan tanda babinsky (+) saat masuk ICU sebanyak 5 orang (29,4%). Pasien
dengan outcome hidup dengan tanda babinsky (-) saat masuk ICU sebanyak 4 orang
(23,5%) dan pasien dengan outcome meninggal dengan tanda babinsky (-) saat masuk
ICU sebanyak 7 orang (41,2%). Pasien dengan hasil kultur sputum terdapat kuman
acinetobacter baumannii didapatkan outcome pasien hidup sebanyak 2 orang pasien
(11,8%) dan pasien meninggal sebanyak 2 orang (11,8%). Pasien dengan hasil kultur
sputum E.Coli ESBL didapatkan pada 1 orang pasien (5,9%) dan 1 orang pasien (5,9%)
dengan klebsiella pneumoniae dengan outcome pada kedua pasien tersebut meninggal.
Pada 1 orang pasien (5,9%) didapatkan hasil kultur sputum pseudomonas aeruginosa dan
streptococcus pyogenes dengan outcome pasien hidup. Faktor penyerta lain seperti
hiperglikemia pada 7 orang pasien (41,2%), pneumonia pada 8 orang pasien (47.05%),
azotemia pada 3 orang pasien (17,6%), imbalans elektrolit pada 15 orang pasien (88,2%),
anemia pada 2 orang pasien (11,8%). Dari faktor penyerta lain pada pasien dengan
outcome hidup didapatkan 1 orang dengan hiperglikemia (5,9%), 3 orang pneumonia
(17,6%), 2 orang dengan imbalans elektrolit (11,8%), untuk pasien dengan outcome
meninggal dengan faktor penyerta lain didapatkan pasien dengan hiperglikemia sebanyak
6 orang (35,3%), pneumonia 5 orang (29,4%), azotemia 3 orang (17,6%) dan imbalans
elektrolit 13 orang (76,5%) dan anemia 2 orang (11,8%). Dari jumlah seluruhnya 17
pasien, untuk outcome pasien yang hidup sebanyak 5 (29,4%) orang dan meninggal 12
orang (70,6%).

25

Pasien yang dirawat di ICU dengan ventilator berdasarkan jenis kelamin

dirawat di ICU RSUP dr. Kariadi dengan ventilator berdasarka

Laki-laki

Perempuan

47%

53%

Outcome pasien ICU dengan ventilator berdasarkan jenis kelamin


40%
35.3%

35%

35.3%

30%
25%
20%
15%

17.6%

Hidup
Meninggal

11.8%

10%
5%
0%
Laki-laki

Perempuan

26

Pasien yang dirawat di ICU dengan ventilator berdasarkan Umur

asien yang dirawat di ICU dengan ventilator berdasarkan Um


6%

29%
20-30 tahun

24%51-60 tahun

31-40 tahun

41-50 tahun

> 60

41%

Outcome pasien ICU dengan ventilator berdasarkan umur


35%
0.29

30%
0.24

25%
20%

0.18

15%

0.120.12
Hidup

10%

0.06

Meninggal

ur
>

60

ta
hu
n

ta
hu
n

ur
41
-5
0
m
U

ur
31
-4
0

ur
20
-3
0
m
U

ur
51
-6
0

ta
hu
n

ta
hu
n

0%

ta
hu
n

5%

27

Pasien yang dirawat di ICU dengan ventilator berdasarkan jenis stroke

en yang dirawat di ICU dengan ventilator berdasarkan jenis

12%
35%
Stroke Non Hemoragik

Stroke Hemoragik

Perdarahan Subarakhnoid

53%

Outcome pasien ICU dengan ventilator berdasarkan jenis stroke


40%

35.30%

35%

29.40%

30%
25%

17.60%

20%
15%
10%

5.90%

5.90%5.90%

5%

Hidup
Meninggal

Su
ba
ra
kh
no
id
Pe
rd
ar
ah
an

or
ag
ik
H
em
on
N
St
ro
ke

St
ro
ke

H
em

or
ag
ik

0%

28

Pasien yang dirawat di ICU dengan ventilator berdasarkan Apache II score

n yang dirawat di ICU dengan ventilator berdasarkan Apache


6%
6%
Apache II Score 21-30

Apache II Score 11-20

29%

Apache II Score 31-40

59%

Apache II Score > 40

Outcome Pasien yang dirawat di ICU dengan ventilator berdasarkan


Apache II score
35%
30%

0.29
29.40%

29.40%

25%
20%
Hidup
Meninggal

15%
10%
5.90%

5.90%

0 31-40
Skor

0 > 40
Skor

5%
0%
Skor 11-20

0 21-30
Skor

29

Pasien yang dirawat di ICU dengan ventilator berdasarkan GCS

Pasien yang dirawat di ICU dengan ventilator berdasarkan G

GCS 3-8

GCS 9-13

47%

53%

Outcome pasien ICU dengan ventilator berdasarkan GCS saat masuk


50%

47.00%

45%
40%
35%
30%
23.60%
23.50%

25%

Hidup
Meninggal

20%
15%
10%

5.90%

5%
0%
GCS 3-8

GCS 9-13

0.00%
0.00%
GCS 14-15

30

Pasien yang dirawat di ICU dengan ventilator berdasarkan nilai MAP

ien yang dirawat di ICU dengan ventilator berdasarkan nilai

MAP < 75

MAP 75 - 105

35%

MAP > 105

65%

Outcome pasien ICU dengan ventilator berdasarkan nilai MAP saat masuk
45%

41.20%

40%
35%
29.40%

30%

23.50%

25%

Hidup

20%

Meninggal

15%
10%

5.90%

5%
0%

0.00%
MAP 0.00%
< 75

MAP 75-105

MAP > 105

31

Pasien yang dirawat di ICU dengan ventilator berdasarkan diameter pupil saat masuk

dirawat di ICU dengan ventilator berdasarkan diameter pup

29%
Pupil anisokor

Pupil isokor

71%

Outcome pasien ICU dengan ventilator berdasarkan diameter pupil saat masuk
45%

41.20%

40%
35%
30%

29.40%

29.40%

25%

Hidup

20%

Meninggal

15%
10%
5%
0%

0.00%
Anisokor

Isokor

32

Pasien yang dirawat di ICU dengan ventilator dengan babisnky (+)/(-)

yang dirawat di ICU dengan ventilator dengan tanda babisn

35%
Babinsky (+)

Babinsky (-)

65%

Outcome pasien ICU dengan ventilator berdasarkan tanda babinsky saat masuk
45%

41.20%

40%
35%
29.40%

30%

23.50%

25%

Hidup

20%

Meninggal

15%
10%

5.90%

5%
0%
Babinsky (+)

Babinsky (-)

33

Hasil kultur sputum pasien yang dirawat di ICU dengan ventilator

man hasil kultur sputum pasien yang dirawat di ICU dengan


acinetobacter baumannii

14%

E.Coli ESBL

14%
klebsiella pneumoniae

57%

pseudomonas aeruginosa dan streptococcus pyogenes

14%

Outcome pasien ICU dengan ventilator berdasarkan hasil kultur sputum


14%
12%

0.12
11.80%

10%
8%

5.90%

6%

5.90%

0.06

4%
Hidup

2%

Meninggal

0%

0
pn
eu
m

on
ia
e

0.00%

kl
eb
si
el
la

ac
in
et
ob
ac
te
r

ba
um

an
ni
i

34

Faktor penyerta lain pada pasien yang dirawat di ICU dengan ventilator

or penyerta lain pada pasien yang dirawat di ICU dengan ven


21%
hiperglikemia

pneumonia

azotemia

45%

imbalance elektrolit

24%
9%

Outcome pasien ICU dengan ventilator yang disertai faktor penyerta lain
90%
76.50%

80%
70%
60%
50%
35.30%

29.40%
17.60%

20%

0.00%

11.80%

Meninggal

ba
la
ns

ia

on
ia
Pn
eu
m

H
ip
er
gl
ike
m

0%

11.80%

el
ek
tro
lit

5.90%

Hidup

Im

10%

17.60%

An
em
ia

30%

Az
ot
em

40%

35

Outcome pasien yang dirawat di ICU dengan ventilator

Outcome pasien yang dirawat di ICU dengan ventilator

29%
Meninggal

Hidup

71%

36

BAB V
PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN

V.1. PEMBAHASAN
Dari hasil penelitian terhadap pasien yang dirawat di ICU RSUP. Dr. Kariadi
dengan ventilator periode Maret 2014 Maret 2015 sebanyak 17 orang berdasarkan jenis
kelamin didapatkan jumlah lebih kurang sama yaitu laki-laki 47% dan perempuan 53%.
Untuk outcome pasien yang hidup berdasarkan jenis kelamin didapatkan jumlah yang
hampir sama yaitu perempuan 3 orang (17,6%) dan laki-laki 2 orang (11,8%), jumlah
pasien yang meninggal sama antar laki-laki dan perempuan masing-masing 6 orang
(35,3%). Dari segi usia yang terbanyak adalah usia 51 60 tahun sebanyak 41,2%.
Outcome pasien yang hidup berdasarkan usia didapatkan umur 41 50 tahun 2 orang
(11,8%) dan umur 51 60 tahun 3 orang (17,6%). Untuk outcome pasien meninggal
berdasarkan umur didapatkan umur terbanyak yaitu umur > 60 tahun 5 orang (29,4%)
Untuk jenis stroke terbanyak adalah stroke non hemoragik sebanyak 53%. Untuk
outcome pasien hidup berdasarkan jenis stroke yang terbanyak adalah 3 orang stroke non
hemorrhage (SNH) (17,6%), dan outcome pasien meninggal berdasarkan jenis stroke
terbanyak adalah lebih kurang sama antara stroke hemoragik dan stroke non hemoragik
yaitu 5 orang (29,4%) dengan intracerebral hemorrhage (ICH), 6 orang stroke non
hemorrhage (SNH) (35,3%). Nilai skor Apache II terbanyak adalah rentang 11 20
sebanyak 58,8%. Untuk outcome pasien yang hidup berdasarkan skor Apache II saat
masuk ICU adalah skor Apache II dengan nilai 11 20 sebanyak 5 orang (29,4%) dan
untuk outcome pasien yang meninggal dengan skor Apache II terbanyak saat masuk ICU
adalah skor Apache II dengan nilai 11 20 sebanyak 5 orang (29,4%), skor Apache II
dengan nilai 21 30 sebanyak 5 orang (29,4%). GCS pasien saat masuk yang terbanyak
adalah 3 8 sebanyak 53%, dari nilai GCS ini disimpulkan bahwa pasien yang masuk
ICU dengan keadaan penurunan kesadaran berat. Untuk pasien dengan outcome hidup
didapatkan GCS saat masuk terbanyak adalah GCS 9 13 sebanyak 4 pasien (23,6%)
dan jumlah pasien dengan outcome meninggal terbanyak berdasarkan GCS saat masuk
ICU adalah pasien dengan nilai GCS 3 8 sebanyak 8 orang (47%). Untuk nilai MAP
terbanyak > 105 sebesar 64,7% ini menunjukkan pasien yang masuk ICU dengan
hemodinamik yang tidak stabil dengan tingginya nilai MAP di atas normal yaitu 75 105
37

mmHg dapat memperburuk keadaan umum pasien. Untuk pasien dengan outcome hidup
berdasarkan nilai MAP terbanyak saat masuk adalah nilai MAP > 105 sebanyak 4 orang
(23,5%), pasien dengan outcome meninggal didapatkan nilai MAP masuk terbanyak
adalah MAP > 105 sebanyak 7 orang (41,2%). Pasien dengan pupil isokor sebanyak
70,6% lebih banyak daripada pupil anisokor 29,4%. Untuk pasien dengan outcome hidup
didapatkan pupil isokor saat masuk ICU sebanyak 5 orang (29,4%), dan pada pasien
dengan outcome meninggal didapatkan pupil isokor saat masuk ICU sebanyak 7 orang
(41,2%). Tidak didapatkan pasien dengan outcome hidup dengan pupil anisokor saat
masuk ICU, dan pada pasien dengan outcome meninggal didapatkan pupil anisokor saat
masuk ICU sebanyak 7 orang (41,2%). Tanda babinsky pada pasien didapatkan hanya
sebanyak 35,3%. Tanda babinsky lebih banyak didapatkan pada pasien dengan outcome
meninggal yaitu sebanyak 5 orang (29,4%). Dari hasil kutur sputum pasien dengan
ventilator paling banyak didapatkan kuman acinetobacter baumannii sebanyak 23,5%.
Untuk pasien dengan outcome hidup dan meninggal berdasarkan hasil kultur sputum
dengan acinetobacter baumannii didapatkan jumlah yang sama yaitu masing-masing
sebanyak 2 orang pasien (11,8%). Hasil kultur sputum E.Coli ESBL, klebsiella
pneumoniae masing-masing didapatkan pada 1 orang pasien dengan outcome meninggal,
dan untuk hasil kultur sputum pseudomonas aeruginosa dan streptococcus pyogenes
didapatkan pada 1 orang pasien dengan outcome hidup. Untuk faktor penyerta lain yang
dapat memperberat keadaan umum pasien yang paling banyak adalah imbalance
elektrolit sebanyak 88,2%. Dan outcome pasien ICU yang dirawat dengan ventilator
didapatkan pasien meninggal sebanyak 70,6% dan yang hidup 29,4%.

V.2. KESIMPULAN
Dapat disimpulkan bahwa outcome pasien yang dirawat di ICU dengan ventilator masih
memberikan hasil yang kurang memuaskan dengan dipengaruhi oleh berbagai macam
faktor antara lain umur > 60 tahun, keadaan umum yang jelek saat pasien masuk dengan
penurunan kesadaran GCS 3 8, nilai MAP saat masuk >105, pupil anisokor, disertai
dengan faktor lain yang memperberat yaitu imbalans elektrolit ditambah dengan
terdapatnya pneumonia akibat pemakaian ventilator dengan kuman terbanyak
acinetobacter baumannii.

38

DAFTAR PUSTAKA

1. Steiner T, Mendoza G, De Georgia M, Schellinger P. Prognosis of stroke patients


requiring mechanical ventilation in a neurological critical care unit. AHA/ASA J.
1997;28:711-15
2. Mayer SA, Copeland D, Bernardini GL. Cost and outcome of mechanical
ventilation for life threatening stroke. Stroke J. 2000;31:2346-353
3. Berrouschot J, Rossler A, Kosster J, Schneider D. Mechanical ventilation in
patients with hemispheric ischemic stroke. Crit Care Med. 2000;28:2956-961
4. Gofir A. Manajemen stroke evidence based medicine. Yogyakarta: Pustaka
Cendikia Press; 2009
5. Kernan WN, Ovbiagele B, Black HR. Guideline for the prevention of stroke in
patients with stroke and transient ischemic attack. AHA/ASA J. 2010;45
6. Sacco RL, Kasner SE, Broderick JP. An update definition of stroke for the 21th
first century. AHA/ASA J. 2013;44:2064-89
7. Misbach J. Stroke aspek diagnosis, patofisiologi, manajemen. Jakarta: Badan
Penerbit FKUI; 2011
8. Kementrian Kesehatan RI. Riset kesehatan dasar riskesdas 2013. Jakarta: Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan RI; 2013
9. Snell RS. Neuroanatomi klinik. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2009
10. Sukardi E. Neuroananotmia medica. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia;
1985
11. PERDOSSI. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Stroke. Kementrian
Kesehatan RI; 2015
12. Misbach J, Lamsudin R,Aliah A. Guideline stroke tahun 2011. Jakarta: Perdossi;
2011
13. Amitai A, Mosenifar Z. Ventilator management. Medscape. 2013. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/810126-overview
14. Byrd RP, Mosenifar Z. Mechanical ventilation. Medscape 2014. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/304068-overview

39

Anda mungkin juga menyukai