Oleh :
Nurul Fauziyah, S. Kep 131913143036
Agi Putri 131913143037
Kifayatus Sa’adah, S.Kep 131913143038
Sri Wulandari, S. Kep 131913143039
Lely Suryawati, S.Kep 131913143040
Umi Nafiatul Hasanah 131913143042
DISUSUN OLEH :
Nurul Fauziyah
131913143036
TINJAUAN TEORI
1.1 Definisi
Cerebrovascular accident (CVA) atau stroke adalah suatu kondisi yang terjadi ketika
pasokan darah ke suatu bagian pada otak tiba-tiba menjadi terganggu, sehingga jika terjadi
kematian jaringan otak, akan dapat menyebabkan hilangnya fungsi yang dapat dikendalikan
oleh jaringan itu (Muttaqin, 2008). Menurut Corwin (2011) ada dua klasifikasi umum
stroke yaitu iskemik dan hemoragik. Stroke iskemik terjadi akibat penyumbatan aliran darah
arteri yang lama kebagian otak. Stroke hemoragik terjadi akibat perdarahan dalam otak.
Menurut British Medical Association (2013), stroke hemoragik adalah pendarahan di
dalam atau di sekitar otak yang disebabkan baik oleh cidera atau ruptur spontan dari
pembuluh darah. Ada empat kemungkinan dari stroke hemoragi yaitu : subdural, ekstradural,
subarachnoid, dan intraserebral. Ekstradural dan subdural hemoragi biasanya merupakan
hasil dari cidera kepala. Subarachnoid dan perdarahan intraserebral biasanya teradi secara
spontan akibat pecahnya aneurisma atau pembuluh darah kecil di otak. Dari pengertian diatas
dapat disimpulkan stroke hemoragi adalah pendarahan di dalam atau di sekitar otak yang
disebabkan baik oleh cedera atau ruptur spontan dari pembuluh darah di area intraserebrum
(parenkim), intraventrikel, dan perdarahan subarachnoid.
1.2 Etiologi
Menurut Muttaqin (2008) perdarahan intracranial atau intraserebri meliputi
perdarahan di dalam ruang subarachnoid atau di dalam jaringan otak sendiri. Perdarahan ini
dapat terjadi karena aterosklerosis dan hipertensi. Pecahnya pembuluh darah otak
menyebabkan perembesan darah ke dalam parenkim otak yang dapat mengakibatkan
penekanan, pergesaran, dan pemisahan jaringan otak yang berdekatan, sehingga otak akan
membengkak, jaringan otak tertekan sehingga terjadi infark otak, edema, dan mungkin
herniasi otak.
Penyebab perdarahan otak yang paling umum terjadi:
a. Aneurisma (dilatasi pembuluh darah) berry, biasanya defek congenital
b. Aneurisma fusiformis dari aterosklerosis
c. Aneurisma mikotik dari vaskulitis nekrose dan emboli sepsis.
d. Malformasi arteriovena, terjadi hubungan persambungan pembuluh darah arteri,
sehingga darah arteri langsung masuk vena
e. Rupture arteriol serebri, akibat hipertensi yang menimbulkan penebalan dan
degenerasi pembuluh darah.
Faktor risiko pada stroke adalah :
a. Hipertensi
b. Penyakit kardiovaskuler (arteria koronaria, gagal jantung kongestif, fibrilasiatrium,
penyakit jantung kongestif)
c. Kolesterol tinggi, obesitas
d. Peningkatan hematokrit (resiko infark serebral)
e. Diabetes Melitus (berkaitan dengan aterogenesis terakselerasi)
f. Kontrasepasi oral (khususnya dengan disertai hipertensi, merokok, dan kadar estrogen
tinggi)
g. Penyalahgunaan obat (kokain, rokok dan alkohol).
1.3 Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis dari stroke perdarahan ditinjau berdasarkan jenisnya sebagai berikut
1.3.1 Perdarahan Intraserebral
Perdarahan intraserebral ditemukan pada 10% dari seluruh kasus stroke, terdiri dari 80% di
hemisfer otak dan sisanya di batang otak dan serebelum. Gejala klinisnya sebagai berikut :
a. Onset perdarahan bersifat mendadak, terutama sewaktu melakukan aktivitas dan dapat
didahului oleh gejala prodromal berupa peningkatan tekanan darah yaitu nyeri kepala,
mual, muntah, gangguan memori, bingung, perdarahan retina, dan epistaksis.
b. Penurunan kesadaran yang berat sampai koma disertai hemiplegia/hemiparese dan dapat
disertai kejang fokal / umum.
c. Tanda-tanda penekanan batang otak, gejala pupil unilateral, refleks pergerakan bola mata
menghilang dan deserebrasi
d. Dapat dijumpai tanda-tanda tekanan tinggi intrakranial (TTIK), misalnya papiledema dan
perdarahan subhialoid.
1.3.2 Perdarahan Subarachnoid
a. Onset penyakit berupa nyeri kepala mendadak seperti meledak, dramatis, berlangsung
dalam 1 – 2 detik sampai 1 menit.
b. Vertigo, mual, muntah, banyak keringat, mengigil, mudah terangsang, gelisah dan
kejang.
c. Dapat ditemukan penurunan kesadaran dan kemudian sadar dalam beberapa menit
sampai beberapa jam.
d. Dijumpai gejala-gejala rangsang meningen, Perdarahan retina berupa perdarahan
subhialid merupakan gejala karakteristik perdarahan subarachnoid.
e. Gangguan fungsi otonom berupa bradikardi atau takikardi, hipotensi atau hipertensi,
banyak keringat, suhu badan meningkat, atau gangguan pernafasan
1.4 Pemeriksaan Penunjang
1. Angiografi Cerebral
Membantu menentukan penyebab dari stroke secara spesifik seperti perdarahan arteriovena
atau adanya ruptur dan untuk mencari sumber perdarahan seperti aneurism atau
malformasi vaskular.
2. Lumbal Pungsi
Tekanan yang meningkat dan disertai bercak darah pada cairan lumbal menunjukkan adanya
hemoragi pada subarakhnoid atau perdarahan pada intrakranial.
3. CT Scan
Pemeriksaan ini memperlihatkan secara spesifik letak edema, posisi hematoma, adanya
jaringan otak yang infark atau iskemia dan posisinya secara pasti.
4. MRI (Magnetic Imaging Resonance)
Menggunakan gelombang megnetik untuk menentukan posisi dan besar terjadinya
perdarahan otak. Hasil yang didapatkan area yang mengalami lesidan infark akibat dari
hemoragik.
5. EEG
Pemeriksaan ini bertujuan untuk melihat masalah yang timbul dan dampak dari jaringan
yang infrak sehingga menurunnya impuls listrik dalam jaringan otak.
1.5 Komplikasi
Peningkatan tekanan intrakranial dan herniasi adalah komplikasi yang paling ditakutkan
pada perdarahan intraserebral. Perburukan edema serebri sering mengakibatkan deteoriasi
pada 24-48 jam pertama. Perdarahan awal juga berhubungan dengan deteorisasi neurologis,
dan perluasan dari hematoma tersebut adalah penyebab paling sering deteorisasi neurologis
dalam 3 jam pertama. Pada pasien yang dalam keadaan waspada, 25% akan mengalami
penurunan kesadaran dalam 24 jam pertama. Kejang setelah stroke dapat muncul. Selain dari
hal-hal yang telah disebutkan diatas, stroke sendiri adalah penyebab utama dari disabilitas
permanen (Denise, 2010).
Prognosis bervariasi bergantung pada tingkap keparahan stroke dan lokasi serta ukuran
dari perdarahan. Skor dari Skala Koma Glasgow yang rendah berhubungan dengan prognosis
yang lebih buruk dan mortalitas yang lebih tinggi. Apabila terdapat volume darah yang besar
dan pertumbuhan dari volume hematoma, prognosis biasanya buruk dan outcome
fungsionalnya juga sangat buruk dengan tingkat mortalitas yang tinggi. Adanya darah dalam
ventrikel bisa meningkatkan resiko kematian dua kali lipat. Pasien yang menggunakan
antikoagulasi oral yang berhubungan dengan perdarahan intraserebral juga memiliki outcome
fungsional yang buruk dan tingkat mortilitas yang tinggi (Denise, 2010).
1.6 Patofisiologi
Ada dua bentuk stroke hemoragik
1.6.1 Perdarahan Intraserebral
Pecahnya pembuluh darah otak terutama karena hipertensi mengakibatkan darah masuk
ke dalam jaringan otak, membentuk massa atau hematom yang menekan jaringan otak dan
menimbulkan oedema di sekitar otak. Peningkatan TIK yang terjadi dengan cepat dapat
mengakibatkan kematian yang mendadak karena herniasi otak. Perdarahan intra cerebral
sering dijumpai di daerah putamen, talamus, sub kortikal, nukleus kaudatus, pon dan
cerebellum. Hipertensi kronis mengakibatkan perubahan struktur dinding pembuluh darah
berupa lipohyalinosis atau nekrosis fibrinoid.
1.6.2 Perdarahan Subarachnoid
Pecahnya pembuluh darah karena aneurisma atau AVM. Aneurisma paling sering
didapat pada percabangan pembuluh darah besar di sirkulasi wilisi. AVM dapat dijumpai
pada jaringan otak dipermukaan pia meter dan ventrikel otak, ataupun didalam ventrikel otak
dan ruang subarakhnoid. Pecahnya arteri dan keluarnya darah keruang subarakhnoid
mengakibatkan tarjadinya peningkatan TIK yang mendadak, meregangnya struktur peka
nyeri, sehinga timbul nyeri kepala hebat. Sering pula dijumpai kaku kuduk dan tanda-tanda
rangsangan selaput otak lainnya. Peningkatam TIK yang mendadak juga mengakibatkan
perdarahan subhialoid pada retina dan penurunan kesadaran. Perdarahan subarakhnoid dapat
mengakibatkan vasospasme pembuluh darah serebral. Vasospasme ini seringkali terjadi 3-5
hari setelah timbulnya perdarahan, mencapai puncaknya hari ke 5-9 dandapat menghilang
setelah minggu ke 2-5. Timbulnya vasospasme diduga karena interaksi antara bahan-bahan
yang berasal dari darah dan dilepaskan kedalam cairan serebrospinalis dengan pembuluh
arteri di ruang subarakhnoid. Vasospasme ini dapat mengakibatkan disfungsi otak global
(nyeri kepala, penurunan kesadaran) maupun fokal (hemiparese, gangguan hemi sensorik,
afasia dan lain-lain).
Otak dapat berfungsi jika kebutuhan O2 dan glukosa otak dapat terpenuhi. Energi yang
dihasilkan didalam sel saraf hampir seluruhnya melalui proses oksidasi. Otak tidak punya
cadangan O2 jadi kerusakan, kekurangan aliran darah otak walau sebentar akan menyebabkan
gangguan fungsi. Demikian pula dengan kebutuhan glukosa sebagai bahan bakar
metabolisme otak, tidak boleh kurang dari 20 mg% karena akan menimbulkan koma.
Kebutuhan glukosa sebanyak 25 % dari seluruh kebutuhan glukosa tubuh, sehingga bila
kadar glukosa plasma turun sampai 70% akan terjadi gejala disfungsi serebral. Pada saat otak
hipoksia, tubuh berusaha memenuhi O2 melalui proses metabolik anaerob yang dapat
menyebabkan dilatasi pembuluh darah otak.
1.7 Penatalaksanaan
a. Menurunkan kerusakan iskemik cerebral
Infark cerebral terdapat kehilangan secara mantap inti central jaringan otak, sekitar daerah
itu mungkin ada jaringan yang masih bisa diselematkan, tindakan awal difokuskan untuk
menyelematkan sebanyak mungkin area iskemik dengan memberikan O2, glukosa dan
aliran darah yang adekuat dengan mengontrol / memperbaiki disritmia (irama dan
frekuensi) serta tekanan darah.
Dengan meninggikan kepala 15-30 menghindari flexi dan rotasi kepala yang berlebihan,
pemberian dexamethason.
c. Pengobatan
a) Anti koagulan: Heparin untuk menurunkan kecederungan perdarahan pada fase akut.
b) Obat anti trombotik: Pemberian ini diharapkan mencegah peristiwa
trombolitik/emobolik.
c) Diuretika : untuk menurunkan edema serebral
d. Penatalaksanaan Pembedahan
Endarterektomi karotis dilakukan untuk memeperbaiki peredaran darah otak. Penderita yang
menjalani tindakan ini seringkali juga menderita beberapa penyulit seperti hipertensi,
diabetes dan penyakit kardiovaskular yang luas. Tindakan ini dilakukan dengan anestesi
umum sehingga saluran pernafasan dan kontrol ventilasi yang baik dapat dipertahankan.
Faktor Pencetus : Hipertensi, DM, Penyakit Jantung, Kolesterol Tinggi, Aneurisma,
1.8 WOC Arterosklerosis, Obesitas
Stroke Hemoragik
Identitas klien meliputi nama, nomor rekam medis, tempat tanggal lahir, umur, jenis
kelamin, pekerjaan, alamat, agama, suku bangsa, tanggal MRS, diagnosa masuk.
a. Usia, kerentanan terhadap penyakit stroke meningkat seiring bertambahnya usia,
setelah mencapai 55 tahun, resiko stroke meningkat dua kali lipat setiap
pertambahan 10.
b. Jenis kelamin. Diperkirakan insidensi stroke pada perempuan lebih rendah
dibandingkan laki-laki, dengan perbandingan 1,3 : 1. Hal ini terjadi karena
perempuan memiliki hormon estrogen yang berperan dalam mempertahankan
kekebalan tubuh sampai menopause dan sebagai proteksi atau pelindung pada
proses aterosklerosis. Namun setelah menopause, resiko antara laki-laki dan
perempuan menjadi seimbang.
2.1.2 Riwayat Kesehatan
a. Riwayat Kesehatan Dahulu
Biasanya pada klien ini mempunyai riwayat hipertensi, diabetes melitus, penyakit
jantung, anemi, riwayat trauma kepala, kontrasepsi oral yang lama, pengunaan obat-
obat antikoagulan, aspirin dan kegemukan/obesitas.
b. Riwayat Kesehatan Sekarang
Biasanya klien sakit kepala, mual muntah bahkan kejang sampai tak sadarkan diri,
kelumpuhan separoh badan dan gangguan fungsi otak.
c. Riwayat Kesehatan Keluarga
Biasanya ada anggota keluarga yang menderita atau mengalami penyakit serupa dan
penyakit seperti hipertensi, diabetes melitus, penyakit jantung.
2.1.3 Pemeriksaan Fisik
1. B1 (Breathing)
Pada inspeksi didapatkan klien batuk, peningkatan produksi sputum, sesak napas,
penggunaan otot bantu napas, dan peningkatan frekuensi pernapasan. Auskultasi
bunyi napas tambahan seperti ronkhi pada klien dengan peningkatan produksi sekret
dan kemampuan batuk yang menurun yang sering didapatkan pada klien stroke
dengan penurunan tingkat kesadaran koma. Pada klien dengan tingkat kesadaran
composmentis, pengkajian inspeksi pernapasannya tidak ada kelainan. Palpasi toraks
didapatkan taktil premitus seimbang kanan dan kiri. Auskultasi tidak didapatkan
bunyi napas tambahan.
2. B2 (Blood)
3. B3 (Brain)
Stroke menyebabkan berbagai defisit neurologis, bergantung pada lokasi lesi (pembuluh
darah mana yang tersumbat), ukuran area yang perfusinya tidak adekuat, dan aliran
darah kolateral (sekunder atau aksesori). Lesi otak yang rusak tidak dapat membaik
sepenuhnya. Pengkajian B3 (Brain) merupakan pemeriksaan fokus dan lebih lengkap
dibandingkan pengkajian pada sistem lainnya.
4. B4 (Bladder)
Setelah stroke klien mungkin mengalami inkontinensia urine sementara karena konfusi,
ketidakmampuan mengomunikasikan kebutuhan, dan ketidakmampuan untuk
mengendalikan kandung kemih karena kerusakan kontrol motorik dan postural.
Kadang kontrol sfingter urine eksternal hilang atau berkurang. Selama periode ini,
dilakukan kateterisasi intermiten dengan teknik steril. Inkontinensia urine yang
berlanjut menunjukkan kerusakan neurologis luas.
5. B5 (Bowel)
Didapatkan adanya keluhan kesulitan menelan, nafsu makan menurun, mual muntah pada
fase akut. Mual sampai muntah disebabkan oleh peningkatan produksi asam lambung
sehingga menimbulkan masalah pemenuhan nutrisi. Pola defekasi biasanya terjadi
konstipasi akibat penurunan peristaltik usus. Adanya inkontinensia alvi yang berlanjut
menunjukkan kerusakan neurologis luas.
6. B6 (Bone)
Stroke adalah penyakit saraf motorik atas (UMN) dan mengakibatkan kehilangan kontrol
volunter terhadap gerakan motorik. Oleh karena neuron motor atas menyilang,
gangguan kontrol motor volunter pada salah satu sisi tubuh dapat menunjukkan
kerusakan pada neuron motor atas pada sisi yang berlawanan dari otak. Disfungsi
motorik paling umum adalah hemiplegia (paralisis pada salah satu sisi) karena lesi
pada sisi otak yang berlawanan. Hemiparesis atau kelemahan salah satu sisi tubuh,
adalah tanda yang lain. Pada kulit, jika klien kekurangan 02 kulit akan tampak pucat
dan jika kekurangan cairan maka turgor kulit akan buruk. Selain itu, perlu juga dikaji
tanda-tanda dekubitus terutama pada daerah yang menonjol karena klien stroke
mengalami masalah mobilitas fisik.Adanya kesulitan untuk beraktivitas karena
kelemahan, kehilangan sensori atau paralise/ hemiplegi, serta mudah lelah
menyebabkan masalah pada pola aktivitas dan istirahat.
Diagnosa
No SLKI SIKI
Keperawatan
1. Risiko Perfusi Setelah dilakukanPemantauan Neurologis
Serebral Tidak tindakan keperawatan 1. Observasi
Efektif d.d selama 3x24 jam maka a. Monitor ukuran, bentuk,
stroke (D.0017) perfusi serebral membaik kesimetrisan dan
dengan kriteria hasil: reaktifitas pupil
a. Tingkat kesadaran b. Monitor tingkat
meningkat kesadaran
b. Tekanan intra kranial c. Monitor tingkat orientasi
menurun d. Monitor tanda-tanda vital
c. Nilai tekanan darah e. Monitor status
membaik pernapasan
f. Monitor CPP (Cerebral
Perfusion Pressure)
g. Monitor kesimetrian
wajah
h. Monitor keluhan sakit
kepala
i. Monitor karakteristik
bicara
j. Monitor respons babinski
2. Terapeutik
a. Tingkatkan frekuensi
pemantauan neurologis
b. Hindari aktivitas yang
dapat meningkatkan TIK
2. Gangguan Setelah dilakukanTeknik Latihan Penguatan Sendi
Mobilitas Fisik tindakan keperawatan 1. Observasi
b.d penurunan selama 3x24 jam maka a. Identifikasi keterbatasan
kekuatan otot mobilitas fisik meningkat fungsi dan gerak sendi
d.d kekuatan dengan kriteria hasil: b. Monitor lokasi dan sifat
otot menurun a. Pergerakan ketidaknyamanan atau
(D.0054) ekstremitas rasa sakit selama
meningkat gerakan/aktivitas
b. Kekuatan otot 2. Terapeutik
meningkat a. Lakukan pengendalian
c. Rentang gerak nyeri sebelum memulai
(ROM) meningkat latihan
d. Kaku sendi b. Berikan posisi tubub
menurun optimal untuk gerakan
e. Kelemahan fisik sendi pasif atau aktif
menurun c. Fasilitasi menyusun
jadwal latihan rentang
gerak aktif maupun pasif
d. Berikan penguatan positif
untuk melakukan latihan
bersama
3. Edukasi
a. Jelaskan kepada
pasien/keluarga tujuan
dan rencanakan latihan
bersama
b. Anjurkan duduk di
tempat tidur atau kursi,
sesuai toleransi
c. Ajarkan melakukan
latihan gerak aktif dan
pasif secara sistematis
d. Anjurkan ambulasi,
sesuai toleransi
4. Kolaborasi
a. Kolaborasi dengan
fisioterapi dalam
mengembangkan dan
melaksanakan program
latihan.
3. Pola Napas Setelah dilakukanManajemen Jalan Napas
Tidak Efektif tindakan keperawatan 1. Observasi
b.d selama 3x24 jam maka a. Monitor pola napas
Gangguan pola napas membaik b. Monitor bunyi napas
Neurologis dengan kriteria hasil: tambahan
d.d Pola a. Dispnea menurun c. Monitor sputum
Napas b. Penggunaan otot 2. Terapeutik
Abnormal bantu napas a. Berikan oksigen
(D.0005) menurun b. Pertahankan kepatenan
c. Frekuensi napas jalan napas
membaik 3. Edukasi
a. Ajarkan teknik batuk
efektif
4. Kolaborasi
a. Kolaborasi pemberian
bronkodilator
4. Gangguan Setelah dilakukanPromosi Komunikasi: Defisit Bicara
Komunikasi tindakan keperawatan 1. Observasi
Verbal b.d selama 3x24 jam maka a. Monitor kecepatan,
penurunan komunikasi verbal tekanan, kuantitas,
sirkulasi meningkat dengan kriteria volume dan diksi bicara
serebral d.d hasil: b. Identifikasi perilaku
menunjukkan a. Kemampuan emosional dan fisik
respon tidak berbicara meningkat sebagai bentuk
sesuai (D.0119) b. Pelo menurun komunikasi
2. Terapeutik
a. Gunakan metode
komunikasi alternatif
b. Sesuaikan gaya
komunikasi dengan
kebutuhan
c. Modifikasi lingkungan
untuk meminimalkan
bantuan
d. Berikan dukungan
psikologis
3. Edukasi
a. Anjurkan berbicara
perlahan
DAFTAR PUSTAKA
Adib,M. 2013. Cara Mudah Memahami dan Menghindari Hipertensi, Jantung dan Stroke.
Edisi ke-4.Yogyakarta : Dianloka Printika.
Artini, Ria.2014. Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan Gangguan Sistem Persyarafan,
Jakarta: EGC
Brunner & Suddarth 2008, Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8, Jakarta:EGC.
Denise. 2010. Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Neurologis.
Jakarta:Salemba Medika
Mansjoer, arif, dkk 2009, Kapita Selekta Kedokteran Edisi ketiga Jilid Pertama,
Jakarta:Media Aesculapius Fakultas Kedokteran UI.
Muttaqin, Arif 2008, Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Persyarafan,
Jakarta:Salemba Medika.
Nurarif & Kusuma 2015, Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis dan
NANDA Nic-Noc, Yogyakarta:Mediaction..
Wijaya dan Putri 2013, Keperawatan Medikal Bedah, Keperawatan Dewasa Teori dan
Contoh Askep, Yogyakatra:Nuha Medika.
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN NERS
FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
IDENTITAS
1. Nama Pasien : Tn. A
2. Umur : 60 Tahun
3. Suku/ Bangsa : Jawa/Indonesia
4. Agama : Islam
5. Pendidikan : SMA
6. Pekerjaan : Swasta
7. Alamat : Surabaya
8. Sumber Biaya : BPJS
KELUHAN UTAMA
1. Keluhan utama: Klien mengalami penurunan kesadaran
5. Data tambahan:
Tidak ada
T :...................................................................
2. Sistem Pernafasan (B1)
Jalan Nafas , bebas ya tidak
Obstruksi tidak sebagian total
Benda Asing tidak padat cair
Berupa : …………………..
a. RR: 24 x/menit................................
b. Keluhan: sesak tidak ya nyeri waktu nafas orthopnea
Batuk produktif tidak produktif
a. Sekret: peningkatan produksi sekret Konsistensi :Kental
b. Warna: Putih Bau : Khas
c. Pergerakan dada simetris asimetris
d. Penggunaan otot bantu nafas: tidak ya
f. Irama nafas teratur tidak teratur
g. Pleural Friction rub:........................... ..........................................................................................
h. Pola nafas Dispnoe Kusmaul Cheyne Stokes Biot
i. Suara nafas Vesikuler Bronko vesikuler Cracles
Ronki Wheezing
j. Suara perkusi paru sonor hipersonor redup
k. Alat bantu napas ya tidak
g. Kemampuan berkemih:
Spontan Alat bantu, sebutkan: cateter.......................................................................
Jenis : foley cateter uk 16
Hari ke: 1
h. Produksi urine : 20ml/jam
Warna : Kuning Bau : khas
i. Kandung kemih : Membesar ya tidak
Nyeri tekan ya tidak
j. Intake cairan oral : 800 cc/hari parenteral : 500 cc/hari
IWL: 37,5 cc/hari
Balance cairan: Intake-Output = 1300-1200 = 100cc
k. Data tambahan:
........................................................................................................................................................
........................................................................................................................................................
........................................................................................................................................................
5 2
n. Data tambahan:
.......................................................................................................................................................
o. Pitting edema: +/- grade: tidak ada
p. Ekskoriasis: ya tidak
q. Urtikaria: ya tidak
r. Data tambahan:
.......................................................................................................................................................
.......................................................................................................................................................
PEMERIKSAAN RISIKO JATUH
Morse Fall Scale (MSF)
Faktor Risiko Skala Poin Skor Kesimpulan/
Pasien Masalah
Riwayat Jatuh Ya 25 25
Tidak 0
Diagnosis Sekunder (≥ Ya 15 15
diagnosis medis) Tidak 0
Alat Bantu Perabot 30 30
Tongkat/ Alat Penopang 15
Tidak Ada/ kursi roda/ 0
perawat/ tirah baring
Terpasang Infus Ya 20 20
Tidak 0
Gaya Berjalan Terganggu 20 20
Lemah 10
Normal/ tirah baring/ 0
imobilisasi
Status Mental Sering lupa akan 15
keterbatasan yang
dimiliki
Orientasi baik terhadap 0 0
kemampuan diri sendiri
Catatan Total 110 RT
8. Sistem Endokrin
a. Pembesaran tyroid: ya tidak
b. Pembesaran kelenjar getah bening: ya tidak
c. Hipoglikemia: ya tidak, Nilai:
d. Hiperglikemia: ya tidak, Nilai:
e. Data tambahan:.................. Jelaskan:..................................................
PENGKAJIAN PSIKOSOSIAL
Persepsi klien terhadap penyakitnya:
Klien pasrah dengan penyakitnya
Ekspresi klien terhadap penyakitnya
Murung/diam gelisah tegang marah/menangis
Reaksi saat interaksi kooperati tidak kooperatif curiga
Gangguan konsep diri:
Tidak dapat dikaji karena pasien mengalami penurunan kesadaran
Data tambahan:
...............................................................................................................................
PENGKAJIAN SPIRITUAL
Kebiasaan beribadah
- Sebelum sakit sering kadang- kadang tidak pernah
- Selama sakit sering kadang- kadang tidak pernah
Bantuan yang diperlukan klien untuk memenuhi kebutuhan beribadah: Tidak ada
TERAPI
Head up 30o
Oksigen 6 lpm simple mask
Infus RL 28 TPM
Manitol 125 cc/8jam/IV
Citicolin 500 mg/12jam/IV
Ceftriaxone 1gr/12jam/IV
PCT 1gr/8jam/IV
Ranitidin 50 mg/12jam/IV
Amlodipin 5mg/12jam
Vit K 1amp/24jam/IM
Perdipin 9cc/jam
Omeprazol 40mg/12jam/IV
ANALISIS DATA
Gangguan Mobilitas
5 2
Fisik
RR meningkat,
hiperventilasi
DISUSUN OLEH :
Disusun Oleh :
Kifayatus Sa’adah, S.Kep
NIM. 131913143038
A. DEFINISI
Flail chest adalah area toraks yang melayang (flail) disebabkan karena adanya
fraktur iga multipel yang berurutan lebih dari 2 iga dan memiliki garis fraktur lebih dari
atau sama dengan 2 segmen pada tiap iganya, sehingga terbentuk area flail yang akan
bergerak paradoksal (berkebalikan) dari gerakan mekanik pernapasan dinding dada. Area
tersebut akan bergerak masuk saat inspirasi dan bergerak keluar saat ekspirasi
(Sjamsuhidajat, 2005).
Flail chest adalah patah tulang iga lebih dari 2 segmen dalam 1 iga dan terjadi
pada lebih dari 2 iga sehingga dinding dada tidak lagi mempunyai hubungan dengan
keseluruhan dinding dada karena ada bagian tulang dada yang tidak berkaitan dengan
tulang iga secara keseluruhan (Setyorini et al, 2019).
B. ETIOLOGI
Flail chest dapat disebabkan karena trauma tajam dan trauma tumpul :
1. Trauma tajam : luka tusuk, luka tembak
2. Trauma tumpul : kecelakaan lalu lintas, kecelakaan pejalan kaki, jatuh dari
ketinggian atau pada dasar yang keras, atau akibat
perkelahian
Flail chest sering disebabkan karena trauma tumpul, terutama kasus crush injury
(Setyorini et al, 2019)
C. MANIFESTASI KLINIS
Tanda dan gejala yang dapat terjadi pada kasus flail chest (Setyorini et al, 2019) adalah :
1. Pernapasan paradoksal
2. Distress napas
3. Penggunaan otot bantu napas
4. Saturasi oksigen rendah
5. Nyeri dada
6. Krepitasi pada iga
Flail chest sering terjadi pada iga bagian depan/anterior atau samping/lateral
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan diagnostik / penunjang yang dapat dilakukan pada kasus flail chest
(Setyorini et al, 2019) adalah :
1. Radiologi : X-ray dada atau CT Scan dada
Dengan foto toraks akan lebih jelas karena akan terlihat fraktur iga yang multipel,
akan tetapi terpisahnya sendi costochondral tidak akan terlihat. Sehingga terlihat
lebih jelas dengan pemeriksaan CT Scan dada.
2. Monitoring saturasi oksigen
3. Analisis gas darah
Pemeriksaan analisis gas darah yaitu adanya hipoksia akibat kegagalan pernafasan,
juga membantu dalam diagnosis Flail chest
E. KOMPLIKASI
Terjadi gagal napas yang disebabkan adanya ineffective air movement (tidak
efektifnya pertukaran gas), yang seringkali diperberat oleh edema atau kontusio paru dan
nyeri (Brunicardi, 2010).
F. PATOFISIOLOGI
Flail chest terjadi ketika segmen dinding dada tidak lagi mempunyai kontinuitas
dengan keseluruhan dinding dada. Keadaan tersebut terjadi karena fraktur iga multipel
pada dua atau lebih tulang iga dengan dua atau lebih garis fraktur. Adanya segmen flail
chest (segmen mengambang) menyebabkan gangguan pada pergerakan dinding dada. Jika
kerusakan parenkim paru di bawahnya terjadi sesuai dengan kerusakan pada tulang maka
akan menyebabkan hipoksia yang serius. Kesulitan utama pada kelainan Flail Chest yaitu
trauma pada parenkim paru yang mungkin terjadi (kontusio paru). Ketidakstabilan
dinding dada dapat menimbulkan gerakan paradoksal dari dinding dada pada inspirasi
dan ekspirasi, namun defek ini sendiri saja tidak langsung menyebabkan hipoksia.
Penyebab timbulnya hipoksia pada penderita ini terutama disebabkan nyeri yang
mengakibatkan gerakan dinding dada yang tertahan dan trauma pada jaringan paru.
Flail chest mungkin tidak terlihat pada awalnya, karena splinting (terbelat)
dengan dinding dada. Gerakan pernafasan menjadi buruk dan toraks bergerak secara
asimetris dan tidak terkoordinasi. Palpasi gerakan pernafasan yang abnormal dan
krepitasi iga atau fraktur tulang rawan dapat membantu diagnosis. Akibat dari flail chest,
akan terjadi pernapasan paradoksal yaitu pada saat ekspirasi segmen akan menonjol
keluar dan pada saat inspirasi justru akan masuk ke dalam. kelainan ini akan mengurangi
tidal volume sehingga akan menganggu ventilasi dan menyebabkan ketidakefektifan
pertukaran gas. Apabila ventilasi terganggu, maka pasien akan berisiko terjadi hipoksia.
Selain itu, akibat dari pergerakan segmen tersebut yaitu pasien akan berisiko terjadi
kontusio pulmonal (Setyorini et al, 2019).
G. PENATALAKSANAAN
Terapi awal meliputi pemberian oksigenasi yang adekuat (aliran tinggi),
pemberian analgesik untuk mengurangi nyeri. Apabila terjadi sesak napas yang berat
akibat kerusakan parenkim paru mungkin diperlukan ventilasi tambahan dengan intubasi.
perlu juga monitor saturasi oksigen dan analisis gas darah (Setyorini et al, 2019).
Penatalaksanaan pada flail chest (Brunicardi, 2010) adalah :
1. Sebaiknya pasien dirawat intensif bila ada indikasi atau tanda-tanda kegagalan
pernapasan atau karena ancaman gagal napas yang biasanya dibuktikan melalui
pemeriksaan BGA (Analisa gas darah) berkala dan adanya takipneu
2. Pain control
3. Stabilisasi area flail chest (memasukkan ke ventilator, fiksasi internal melalui
operasi)
4. Bronchial toilet
5. Fisioterapi agresif
6. Tindakan bronkoskopi untuk bronchial toilet
7. Indikasi Operasi atau stabilisasi pada flail chest:
a. Bersamaan dengan thorakotomi karena sebab lain, seperti hematotoraks massif
b. Gagal atau sulit weaning ventilator
c. Menghindari cacat permanen
d. Indikasi relatif Menghindari prolong ICU stay dan prolong hospital stay
Tindakan operasi adalah dengan fiksasi fraktur iga sehingga tidak didapatkan lagi
area yang melayang atau flail.
H. WOC
Trauma tajam : luka tusuk luka tembak Trauma tumpul : kecelakaan, jatuh, crush injury
Gangguan pergerakan dinding dada Adanya segmen yang mengembang (flail) Gangguan pergerakan saat bernapas
Risiko infeksi
TINJAUAN ASUHAN KEPERAWATAN UMUM FLAIL CHEST
A. PENGKAJIAN
1. Identitas Klien
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, suku/bangsa, agama, pendidikan, pekerjaan,
tanggal masuk, tanggal pengkajian, nomor register, diagnosa medis, alamat
2. Identitas Penanggung Jawab
Meliputi nama penanggung jawab, umur, pendidikan, pekerjaan, hubungan
dengan klien, alamat
3. Riwayat Kesehatan
a. Keluhan Utama
Klien biasanya mengeluh sesak napas atau nyeri pada saat bernapas
b. Riwayat Kesehatan Sekarang
Perjalanan penyakit klien dari sebelum MRS, saat MRS, hingga saat dilakukan
pengkajian. Klien saat pengkajian dapat mengalami dyspnea, nyeri saat
bernapas, takikardia, dan gelisah.
c. Riwayat Kesehatan Dahulu
Dikaji apakah klien pernah menderita penyakit lainnya dan apakah ada riwayat
penyakit keturunan seperti diabetes melitus dan hipertensi.
4. Pemeriksaan Fisik
a. Breathing (B1)
Klien dapat mengalami takipnea, dyspnea, peningkatan usaha napas, bunyi
napas abnormal, perkusi dada hipersonor, gerakan dada asimetris, krepitasi
iga, dan penggunaan otot bantu napas
b. Blood (B2)
Klien dapat mengalami takikardia, disritmia, irama jantung gallops, nadi
apical berubah, hipotensi/hipertensi, distensi vena jugularis, dan sianosis
c. Brain (B3)
Klien dapat mengalami gelisah, bingung, kesadaran menurun, dan suhu
meningkat apabila terjadi infeksi
d. Bladder (B4)
Biasanya klien tidak mengalami gangguan pada perkemihan
e. Bowel (B5)
Biasanya klien tidak mengalami gangguan pada pencernaan serta eliminasi
urin dan alvi
f. Bone (B6) dan Skin
Klien biasanya melakukan perilaku distraksi, mengerutkan wajah, kulit pucat
B. DIAGNOSIS KEPERAWATAN
1. Pola napas tidak efektif b.d hambatan upaya napas d.d dyspnea (D.0005)
2. Nyeri akut b.d agen cedera fisik d.d tampak meringis (D.0077)
3. Perfusi perifer tidak efektif b.d penurunan konsentrasi hemoglobin d.d pengisian
kapiler menurun (D.0009)
4. Gangguan integritas kulit/jaringan b.d faktor mekanis d.d nyeri dan kerusakan
jaringan kulit (D.0129)
5. Risiko infeksi d.d tindakan invasive (D.0142)
C. INTERVENSI KEPERAWATAN
1. Pola napas tidak efektif b.d hambatan upaya napas d.d dyspnea (D.0005)
Tujuan : Setelah dilakukan intervensi keperawatan maka diharapkan pola napas
membaik dengan kriteria hasil :
Pola napas (L.01004)
a. Frekuensi napas membaik (12-20 x/menit)
b. Kedalaman napas membaik
c. Penggunaan otot bantu napas menurun
Intervensi :
a. Observasi
1. Monitor pola napas (frekuensi, kedalaman, usaha napas)
2. Monitor bunyi napas tambahan
3. Monitor ada tidaknya sputum
b. Terapeutik
1. Posisikan semi fowler atau fowler
2. Pertahankan kepatenan jalan napas
3. Berikan oksigen, bila perlu
c. Edukasi
1. Anjurkan asupan cairan 2000 ml/hari, jika tidak ada kontraindikasi
2. Ajarkan teknik napas dalam
d. Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian bronkodilator, ekspektoran, mukolitik bila perlu
2. Nyeri akut b.d agen cedera fisik d.d tampak meringis (D.0077)
Tujuan : Setelah dilakukan intervensi keperawatan maka diharapkan tingkat nyeri
menurun dengan kriteria hasil :
Tingkat nyeri (L.08066) :
a. Keluhan nyeri menurun
b. Tampak meringis menurun
c. Kesulitan tidur menurun
d. Frekuensi nadi membaik (60-100 x/menit)
Intervensi :
a. Observasi :
1. Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, dan intensitas
nyeri
2. Identifikasi skala nyeri
3. Identifikasi respon nyeri non verbal
4. Identifikasi faktor yang memperberat dan memperingan nyeri
5. Monitor efek samping penggunaan analgesic
b. Terapeutik :
1. Berikan teknik non farmakologis untuk mengurangi nyeri (teknik distraksi
dan relaksasi)
2. Fasilitasi istirahat dan tidur
c. Edukasi
1. Jelaskan penyebab, pemicy, dan periode nyeri
2. Jelaskan strategi Pereda nyeri
3. Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri
d. Kolaborasi
Kolaborasi pemberian analgesik
3. Perfusi perifer tidak efektif b.d penurunan konsentrasi hemoglobin d.d
pengisian kapiler menurun (D.0009)
Tujuan : Setelah dilakukan intervensi keperawatan maka diharapkan perfusi
perifer meningkat dengan kriteria hasil :
Perfusi perifer (L.02011)
a. Pengisian kapiler membaik
b. Akral dingin membaik
c. Warna kulit pucat menurun
Intervensi :
a. Observasi
1. Periksa sirkulasi perifer (nadi perifer, pengisisan kapiler, warna, suhu)
2. Identifikasi faktor risiko gangguan sirkulasi
b. Terapeutik
1. Lakukan hidrasi
c. Edukasi
1. Anjurkan mengikuti program perawatan untuk memperbaiki sirkulasi
2. Informasikan tanda dan gejala darurat yang harus dilaporkan (rasa sakit
yang tidak hilang saat istirahat)
4. Gangguan integritas kulit/jaringan b.d faktor mekanis d.d nyeri dan
kerusakan jaringan kulit (D.0129)
Tujuan : Setelah dilakukan intervensi keperawatan maka diharapkan perfusi
perifer meningkat dengan kriteria hasil :
Integritas kulit dan jaringan (L.14125)
a. Kerusakan jaringan menurun
b. Kerusakan lapisan kulit menurun
c. Perfusi jaringan meningkat
d. Hidrasi meningkat
Intervensi : Perawatan Integritas Kulit (I.11353)
a. Observasi
1. Identifikasi penyebab gangguan integritas kulit
b. Terapeutik
1. Lakukan perawatan luka setiap hari
2. Lakukan pemijatan pada area penonjolan tulang, jika perlu dan mampu
c. Edukasi
1. Anjurkan minum air yang cukup
2. Anjurkan meningkatkan asupan nutrisi
DAFTAR PUSTAKA
Brunicardi, F.,C., et al. 2010. Schwartz’s Principle of Surgery 9th Edition. United States of
America: The McGraw-Hill Companies.
Edwar, Pesta PM, et al. 2018. Kesulitan “Weaning” pada Kasus Flail Chest Akibat Fraktur
Sternum yang Tidak Teridentifikasi. Jurnal Anestisiologi Indonesia.
Setyorini, Ika, et al. 2019. Buku Ajar Keperawatan Pertolongan Pertama Gawat Darurat
(PPGD). Malang : UB Press.
Sjamsuhidajat. 2010. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi II. Jakarta : EGC.
Tim Pokja DPP PPNI. 2016. Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia. Jakarta: Dewan
Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia.
Tim Pokja DPP PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia. Jakarta: Dewan
Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia.
Tim Pokja DPP PPNI. 2018. Standar Luaran Keperawatan Indonesia. Jakarta: Dewan
Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia.
Format Proses Keperawatan KRITIS
IDENTITAS
9. Nama Pasien : Tn. P
10. Umur : 30 tahun
11. Suku/ Bangsa : Jawa
12. Agama : Islam
13. Pendidikan : Tamat SMA
14. Pekerjaan : Kuli bangunan
15. Alamat : Surabaya
16. Sumber Biaya : BPJS
KELUHAN UTAMA
Keluhan utama: Klien mengeluh nyeri pada dada sebelah kiri
5 5
PENGKAJIAN PSIKOSOSIAL
Persepsi klien terhadap penyakitnya:
Klien menerima penyakitnya dengan pasrah
Data tambahan:
Tidak ditemukan masalah keperawatan
PENGKAJIAN SPIRITUAL
Kebiasaan beribadah
- Sebelum sakit sering kadang- kadang tidak pernah
- Selama sakit sering kadang- kadang tidak pernah
TERAPI
01 April 2020 :
- Infus NaCl 0,9 % 1000 ml / 24 jam
- Ceftriaxone 500 mg (Inj) per 12 jam
- Codein paracetamol (oral) per 4 jam
- Oksigen masker rebreathing 8 lpm
- Rencana BGA secara berkala
- Rencana operasi untuk fiksasi costae
Tidak ada
(Kifayatus Sa’adah)
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN NERS
FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
ANALISIS DATA
Sesak napas
Nyeri akut
6. Pola napas tidak efektif b.d hambatan upaya napas d.d dyspnea (D.0005)
7. Nyeri akut b.d agen cedera fisik d.d tampak meringis (D.0077)
8. Perfusi perifer tidak efektif b.d penurunan konsentrasi hemoglobin d.d pengisian
kapiler menurun (D.0009)
9. Gangguan integritas kulit/jaringan b.d faktor mekanis d.d nyeri dan kerusakan jaringan
kulit (D.0129)
RENCANA INTERVENSI
Rabu 09.30 Gangguan integritas kulit/jaringan b.d faktor Perawatan Integritas Kulit (I.11353)
01 April 2020 mekanis d.d nyeri dan kerusakan jaringan kulit
d. Observasi
(D.0129)
2. Identifikasi penyebab gangguan integritas kulit
Tujuan : Setelah dilakukan intervensi e. Terapeutik
keperawatan maka diharapkan perfusi perifer 3. Lakukan perawatan luka setiap hari
meningkat dengan kriteria hasil : 4. Lakukan pemijatan pada area penonjolan tulang,
jika perlu dan mampu
Integritas kulit dan jaringan (L.14125)
f. Edukasi
e. Kerusakan jaringan menurun 3. Anjurkan minum air yang cukup
f. Kerusakan lapisan kulit menurun 4. Anjurkan meningkatkan asupan nutrisi
g. Perfusi jaringan meningkat
h. Hidrasi meningkat
LAPORAN PENDAHULUAN
DIAGNOSIS MEDIS FRAKTUR VERTEBRA
DI RUANG BEDAH A RSUD DR. SOETOMO SURABAYA
Oleh :
Sri Wulandari, S.Kep
NIM. 131913143040
A. Anatomi – Fisiologi
Vertebra merupakan tulang tak beraturan yang membentuk
punggung dan mudah digerakan. Fungsinya yaitu
menahan kepala dan anggota tubuh yang lain,
melindungi organ-organ vital, sebagai tempat
melekatnya tulang iga dan tulang panggul, serta
menentukan sikap tubuh.
Kolumna vertebralis dibentuk oleh 33 vertebrae
(cervical 7, thorakal 12, lumbal 5, sacral 5 dan
coccygeus 4).
Setiap vertebra terdiri dari:
1. Corpus/body
2. Pedikel
3. Prosessus artikularis superior dan inferior
4. Prosessus transversus
5. Prosessus spinosus
Diantara vertebra ditemui
diskus intervertebralis
(Jaringan fibrokartillagenous),
yang berfungsi sebagai shock
absorber. Dikus ini terdiri dan
bagian:
a. Luar: jaringan fibrokartillago
yang disebut anulus fibrosus.
b. Dalam: cair yang disebut nukleus
pulposus. Pada setiap vertebra
ada 4 jaringan ikat sekitarnya:
Lig longitudinale anterior
(membatasi gerakan
ektensi).
Lig longitudinale posterior
(membatasi gerakan fleksi).
Lig kapsulare, antara proc
sup dan inferior.
Lig intertransversale.
Lig flava (yellow hg) diantara 2 laminae.
Lig supra dan interspinosus.
Di dalam susunan tulang tersebut terangkai pula rangkaian syaraf-syaraf, yang bila
terjadi cedera di tulang belakang maka akan mempengaruhi syaraf-syaraf tersebut
(Mansjoer, Arif, 2014).
B. Definisi
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai
jenis dan luasnya ( Bruner & Suddart, 2013).
Fraktur vertebra adalah gangguan kontinuitas jaringan tulang yang terjadi jika
tulang dikenai stres yang lebih besar dari yang diabsorsinya yang terjadi pada ruas-ruas
tulang pinggul karena adanya trauma/benturan yang dapat menyebabkan tulang patah
dapat berupa trauma langsung atau tidak langsung (Mansjoer, 2014)
C. Etiologi
a. Kecelakaan lalu lintas
b. Kompresi atau tekanan pada tulang belakang akibat jatuh dari ketinggian
c. Kecelakaan sebab olah raga (penunggang kuda, pemain sepak bola, penyelam, dll)
d. Luka jejas, tajam, tembak pada daerah vertebra
e. Gangguan spinal bawaan atau cacat sejak kecil atau kondisi patologis yang
menimbulkan penyakit tulang atau melemahnya tulang. (Harsono,2000).
D. Patofisologi
Tulang belakang yang mengalami gangguan trauma (kecelakaan mobil, jatuh dari
ketinggian, cedera olahraga, dll) atau penyakit (Transverse Myelitis, Polio, Spina
Bifida, Friedreich dari ataxia, dll) dapat menyebabkan kerusakan pada medulla spinalis,
tetapi lesi traumatic pada medulla spinalis tidak selalu terjadi karena fraktur dan
dislokasi. Efek trauma yang tidak langsung bersangkutan tetapi dapat menimbulkan lesi
pada medulla spinalis disebut “whiplash”/trauma indirek. Whiplash adalah gerakan
dorsapleksi dan anterofleksi berlebihan dari tulang belakang secara cepat dan
mendadak.
Trauma whiplash terjadi pada tulang belakang bagian servikalis bawah maupun
torakalis bawah misal; pada waktu duduk dikendaraan yang sedang berjalan cepat
kemudian berhenti secara mendadak, atau pada waktu terjun dari jarak tinggi,
menyelam yang dapat mengakibatkan paraplegia.
Trauma tidak langsung dari tulang belakang berupa hiperekstensi, hiperfleksi,
tekanan vertical (terutama pada T.12sampai L.2), rotasi. Kerusakan yang dialami
medulla spinalis dapat bersifat sementara atau menetap.Akibat trauma terhadap tulang
belakang, medula spinalis dapat tidak berfungsi untuk sementara (komosio medulla
spinalis), tetapi dapat sembuh kembali dalam beberapa hari. Gejala yang ditimbulkan
adalah berupa oedema, perdarahan peri vaskuler dan infark disekitar pembuluh darah.
Pada kerusakan medulla spinalis yang menetap, secara makroskopis kelainannya dapat
terlihat dan terjadi lesi, contusio, laserasio dan pembengkakan daerah tertentu di
medulla spinalis.
Laserasi medulla spinalis merupakan lesi berat akibat trauma tulang belakang
secara langsung karena tertutup atau peluru yang dapat mematahkan /menggeserkan
ruas tulang belakang (fraktur dan dislokasi). Lesi transversa medulla spinalis tergantung
pada segmen yang terkena (segmen transversa, hemitransversa, kuadran transversa).
Hematomielia adalah perdarahan dlam medulla spinalis yang berbentuk lonjong dan
bertempat disubstansia grisea.trauma ini bersifat “whiplash “ yaitu jatuh dari jarak
tinggi dengan sifat badan berdiri, jatuh terduduk, terdampar eksplosi atau fraktur
dislokasio.kompresi medulla spinalis terjadi karena dislokasi, medulla spinalis dapat
terjepit oleh penyempitan kanalis vertebralis.
Suatu segmen medulla spinalis dapat tertekan oleh hematoma ekstra meduler
traumatic dan dapat juga tertekan oleh kepingan tulang yang patah yang terselip diantara
duramater dan kolumna vertebralis.gejala yang didapat sama dengan sindroma kompresi
medulla spinalis akibat tumor, kista dan abses didalam kanalis vertebralis. Akibat
hiperekstensi dislokasio, fraktur dan whislap radiks saraf spinalis dapat tertarik dan
mengalami jejas/reksis.pada trauma whislap, radiks colmna 5-7 dapat mengalami hal
demikian, dan gejala yang terjadi adalah nyeri radikuler spontan yang bersifat
hiperpatia, gambaran tersbut disebut hematorasis atau neuralgia radikularis traumatik
yang reversible. Jika radiks terputus akibat trauma tulang belakang, maka gejala defisit
sensorik dan motorik yang terlihat adalah radikuler dengan terputusnya arteri radikuler
terutama radiks T.8 atau T.9 yang akan menimbulkan defisit sensorik motorik pada
dermatoma dan miotoma yang bersangkutan dan sindroma sistema anastomosis anterial
anterior spinal.
E. WOC
Kerusakan jalur
simpatik desenden
Kelumpuhan
otot pernafasan
F. Manifestasi Klinis
Menurut Mansjoer, Arif (2014) manifestasi klinis sebagai berikut:
a. Deformitas (perubahan struktur dan bentuk) disebabkan oleh ketergantungan
fungsional otot pada kestabilan otot.
b. Bengkak atau penumpukan cairan/darah karena kerusakan pembuluh darah,
berasal dari proses vasodilatasi, eksudasi plasma dan adanya peningkatan leukosit
pada jaringan di sekitar tulang.
c. Spasme otot karena tingkat kecacatan, kekuatan otot yang sering di sebabkan
karena tulang menekan otot.
d. Nyeri karena kerusakan jaringan dan perubahan struktur yang meningkat karena
penekanan sisi-sisi fraktur dan pergerakan bagian fraktur.
e. Kurangnya sensasi yang dapat terjadi karena adanya gangguan saraf, dimana saraf
ini dapat terjepit atau terputus oleh fragmen tulang.
f. Hilangnya atau berkurangnya fungsi normal karena ketidakstabilan tulang, nyeri
atau spasme otot.
g. Pergerakan abnormal.
h. Krepitasi, sering terjadi karena pergerakan bagian fraktur sehingga menyebabkan
kerusakan jaringan sekitarnya.
I. Penatalaksanaan Medis
a. Penanganan Cedera Akut Tanpa Gangguan Neorologis
Penderita dengan diagnose cervical sprain derajat I dan II yang sering karena
“wishplash Injury” yang dengan foto AP tidak tampak kelainan sebaiknya dilakukan
pemasangan culiur brace untuk 6 minggu. Selanjutnya sesudah 3-6 minggu post
trauma dibuat foto untuk melihat adanya chronik instability. Kriteria radiologis untuk
melihat adanya instability adalah:
J. Komplikasi
Komplikasi menurut (Mansjoer, Arif, et al. 2014) sebagai berikut :
a. Syok hipovolemik
akibat perdarahan dan kehilangan cairan ekstrasel ke jaringan yang rusak sehingga
terjadi kehilangan darah dalam jumlah besar akibat trauma.
b. Mal union,
gerakan ujung patahan akibat imobilisasi yang jelek menyebabkan mal union,
sebab-sebab lainnya adalah infeksi dari jaringan lunak yang terjepit diantara
fragmen tulang, akhirnya ujung patahan dapat saling beradaptasi dan membentuk
sendi palsu dengan sedikit gerakan (non union).
c. Non union
adalah jika tulang tidak menyambung dalam waktu 20 minggu. Hal ini diakibatkan
oleh reduksi yang kurang memadai.
d. Delayed union
adalah penyembuhan fraktur yang terus berlangsung dalam waktu lama dari proses
penyembuhan fraktur.
e. Tromboemboli, infeksi, kaogulopati intravaskuler diseminata (KID).
Infeksi terjadi karena adanya kontaminasi kuman pada fraktur terbuka atau pada
saat pembedahan dan mungkin pula disebabkan oleh pemasangan alat seperti plate,
paku pada fraktur.
f. Emboli lemak Saat fraktur, globula lemak masuk ke dalam darah
karena tekanan sumsum tulang lebih tinggi dari tekanan kapiler. Globula lemak
akan bergabung dengan trombosit dan membentuk emboli yang kemudian
menyumbat pembuluh darah kecil, yang memasok ke otak, paru, ginjal, dan organ
lain.
g. Sindrom Kompartemen
Masalah yang terjadi saat perfusi jaringan dalam otot kurang dari yang dibutuhkan
untuk kehidupan jaringan. Berakibat kehilangan fungsi ekstermitas permanen jika
tidak ditangani segera.
ASUHAN KEPERAWATAN PADA FRAKTUR VERTEBRA
A. Anamnesa
1. Identitas Klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa yang dipakai, status
perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi, golongan darah, no. register, tanggal
MRS, diagnosa medis.
2. Keluhan Utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa nyeri. Nyeri tersebut
bisa akut atau kronik tergantung dan lamanya serangan. Untuk memperoleh
pengkajian yang lengkap tentang rasa nyeri klien digunakan:
Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi yang menjadi faktor
presipitasi nyeri.
Quality of Pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau digambarkan klien.
Apakah seperti terbakar, berdenyut, atau menusuk.
Region : radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda, apakah rasa sakit
menjalar atau menyebar, dan dimana rasa sakit terjadi.
Severity (Scale) of Pain: seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan klien, bisa
berdasarkan skala nyeri atau klien menerangkan seberapa jauh rasa sakit
mempengaruhi kemampuan fungsinya.
Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah buruk pada
malam hari atau siang hari.
3. Riwayat Penyakit Sekarang
Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab dari fraktur, yang
nantinya membantu dalam membuat rencana tindakan terhadap klien. Ini bisa
berupa kronologi terjadinya penyakit tersebut sehingga nantinya bisa ditentukan
kekuatan yang terjadi dan bagian tubuh mana yang terkena. Selain itu, dengan
mengetahui mekanisme terjadinya kecelakaan bisa diketahui luka kecelakaan yang
lain .
4. Riwayat Penyakit Dahulu
Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab fraktur dan memberi
petunjuk berapa lama tulang tersebut akan menyambung. Penyakit-penyakit
tertentu seperti kanker tulang dan penyakit paget’s yang menyebabkan fraktur
patologis yang sering sulit untuk menyambung. Selain itu, penyakit diabetes dengan
luka di kaki sanagt beresiko terjadinya osteomyelitis akut maupun kronik dan juga
diabetes menghambat proses penyembuhan tulang.
5. Riwayat Penyakit Keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang merupakan salah satu
faktor predisposisi terjadinya fraktur, seperti diabetes, osteoporosis yang sering
terjadi pada beberapa keturunan, dan kanker tulang yang cenderung diturunkan
secara genetik .
6. Riwayat Psikososial
Merupakan respons emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan peran klien
dalam keluarga dan masyarakat serta respon atau pengaruhnya dalam kehidupan
sehari-harinya baik dalam keluarga ataupun dalam masyarakat .
7. Pola Persepsi dan Tata Laksana Hidup Sehat
Pada kasus fraktur akan timbul ketidakutan akan terjadinya kecacatan pada dirinya
dan harus menjalani penatalaksanaan kesehatan untuk membantu penyembuhan
tulangnya. Selain itu, pengkajian juga meliputi kebiasaan hidup klien seperti
penggunaan obat steroid yang dapat mengganggu metabolisme kalsium,
pengkonsumsian alkohol yang bisa mengganggu keseimbangannya dan apakah
klien melakukan olahraga atau tidak.
8. Pola Nutrisi dan Metabolisme
Pada klien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi melebihi kebutuhan sehari-harinya
seperti kalsium, zat besi, protein, vit. C dan lainnya untuk membantu proses
penyembuhan tulang. Evaluasi terhadap pola nutrisi klien bisa membantu
menentukan penyebab masalah muskuloskeletal dan mengantisipasi komplikasi
dari nutrisi yang tidak adekuat terutama kalsium atau protein dan terpapar sinar
matahari yang kurang merupakan faktor predisposisi masalah muskuloskeletal
terutama pada lansia. Selain itu juga obesitas juga menghambat degenerasi dan
mobilitas klien.
9. Pola Eliminasi
Untuk kasus fraktur humerus tidak ada gangguan pada pola eliminasi, tapi
walaupun begitu perlu juga dikaji frekuensi, konsistensi, warna serta bau feces pada
pola eliminasi alvi. Sedangkan pada pola eliminasi uri dikaji frekuensi,
kepekatannya, warna, bau, dan jumlah. Pada kedua pola ini juga dikaji ada
kesulitan atau tidak.
10. Pola Tidur dan Istirahat
Semua klien fraktur timbul rasa nyeri, keterbatasan gerak, sehingga hal ini dapat
mengganggu pola dan kebutuhan tidur klien. Selain itu juga, pengkajian
dilaksanakan pada lamanya tidur, suasana lingkungan, kebiasaan tidur, dan
kesulitan tidur serta penggunaan obat tidur.
11. Pola Aktivitas
Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka semua bentuk kegiatan klien
menjadi berkurang dan kebutuhan klien perlu banyak dibantu oleh orang lain. Hal
lain yang perlu dikaji adalah bentuk aktivitas klien terutama pekerjaan klien.
Karena ada beberapa bentuk pekerjaan beresiko untuk terjadinya fraktur dibanding
pekerjaan yang lain .
12. Pola Hubungan dan Peran
Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan dalam masyarakat. Karena klien
harus menjalani rawat inap .
13. Pola Persepsi dan Konsep Diri
Dampak yang timbul pada klien fraktur yaitu timbul ketidakutan akan kecacatan
akibat frakturnya, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas
secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan body image).
14. Pola Sensori dan Kognitif
Pada klien fraktur daya rabanya berkurang terutama pada bagian distal fraktur,
sedang pada indera yang lain tidak timbul gangguan. begitu juga pada kognitifnya
tidak mengalami gangguan. Selain itu juga, timbul rasa nyeri akibat fraktur.
15. Pola Reproduksi Seksual
Dampak pada klien fraktur yaitu, klien tidak bisa melakukan hubungan seksual
karena harus menjalani rawat inap dan keterbatasan gerak serta rasa nyeri yang
dialami klien. Selain itu juga, perlu dikaji status perkawinannya termasuk jumlah
anak, lama perkawinannya .
B. Pemeriksaan Fisik
1. B1 (Breathing)
Pernapasan meningkat, dispneu, pergerakan dada simetris, suara nafas normal
tidak ada suara nafas tambahan seperti stridor dan ronchi.
2. B2 (Blood)
Hipertensi (kadang – kadang terlihat sebagai respons terhadap nyeri/ansietas)
atau hipotensi (kehilangan darah), takikardia (respon stress, hipovolemia).
Penurunan/tak ada nadi pada bagian distal yang cedera; pengisian kapiler
lambat, pucat pada bagian yang terkena. Pembengkakan jaringan atau massa
hematoma pada sisi cidera.
3. B3 (Brain)
hilang gerakan / sensasi, spasme otot. Kebas / kesemutan (parestesis),
deformitas local; angulasi abnormal, pemendekan, rotasi, krepitasi (bunyi
berderit), spasme otot, terlihat kelemahan/hilangnya fungsi, angitasi
(mungkin berhubungan dengan nyeri/ansietas atau trauma lain).
4. B4 (Bladder)
Tidak ada kelainan sistem perkemihan
5. B5 (Bowel)
Tidak ada kelainan defekasi
6. B6 (Bone)
a. Edema, deformitas, krepitasi, kulit terbuka atau utuh, ada/tidak adanya nadi
di sebelah distal patahan, hematoma, kerusakan jaringan lunak, posisi
ekstremitas abnormal
b. Keadaan Lokal
Harus diperhitungkan keadaan proksimal serta bagian distal terutama
mengenai status neurovaskuler (untuk status neurovaskuler à 5 P yaitu Pain,
Palor, Parestesia, Pulse, Pergerakan). Pemeriksaan pada sistem
muskuloskeletal adalah:
1) Look (inspeksi)
Perhatikan apa yang dapat dilihat antara lain:
a) Cicatriks (jaringan parut baik yang alami maupun buatan seperti
bekas operasi).
b) Cape au lait spot (birth mark).
c) Fistulae.
d) Warna kemerahan atau kebiruan (livide) atau hyperpigmentasi.
e) Benjolan, pembengkakan, atau cekungan dengan hal-hal yang
tidak biasa (abnormal).
f) Posisi dan bentuk dari ekstrimitas (deformitas)
g) Posisi jalan (gait, waktu masuk ke kamar periksa)
2) Feel (palpasi)
Pada waktu akan palpasi, terlebih dahulu posisi penderita diperbaiki
mulai dari posisi netral (posisi anatomi). Pada dasarnya ini
merupakan pemeriksaan yang memberikan informasi dua arah, baik
pemeriksa maupun klien. Hal yang perlu dicatat adalah:
a) Perubahan suhu disekitar trauma (hangat) dan kelembaban kulit.
Capillary refill time à Normal 3 – 5 “
b) Apabila ada pembengkakan, apakah terdapat fluktuasi atau
oedema terutama disekitar persendian. Apabila ada benjolan
maka sifat benjolan perlu dideskripsikan permukaannya,
konsistensinya, pergerakan terhadap dasar atau permukaannya,
nyeri atau tidak, dan ukurannya.
c) Nyeri tekan (tenderness), krepitasi, catat letak kelainan (1/3
proksimal, tengah, atau distal)
3) Move (pergerakan terutama lingkup gerak)
Setelah melakukan pemeriksaan feel, kemudian diteruskan dengan
menggerakan ekstrimitas dan dicatat apakah terdapat keluhan nyeri
pada pergerakan. Pencatatan lingkup gerak ini perlu, agar dapat
mengevaluasi keadaan sebelum dan sesudahnya. Gerakan sendi
dicatat dengan ukuran derajat, dari tiap arah pergerakan mulai dari
titik 0 (posisi netral) atau dalam ukuran metrik. Pemeriksaan ini
menentukan apakah ada gangguan gerak (mobilitas) atau tidak.
Pergerakan yang dilihat adalah gerakan aktif dan pasif.
C. PERENCANAAN KEPERAWATAN
- Pergerakan ekstremitas T:
Brunner, Suddarth. 2013. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Ed 8. Alih Bahasa,
Mansjoer, Arif, et al. 2000. Kapita Selecta Kedokteran. Ed 2, Jakarta: Media Aesculapius
Setiati, siti, dkk. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid 3 edisi 6. Jakarta: Interna
Publishing.
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia. 1st ed.
Tim Pokja SIKI DPP PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia. Definisi dan
IDENTITAS
17. Nama Pasien : Tn. F
18. Umur : 32 tahun
19. Suku/ Bangsa : jawa/ indonesia
20. Agama : islam
21. Pendidikan : SMA
22. Pekerjaan : Swasta
23. Alamat : Surabaya
24. Sumber Biaya : BPJS
KELUHAN UTAMA
Keluhan utama: klien mengeluh nyeri pada daerah leher, lengan kanan atas dan merasa sesak
PENGKAJIAN PSIKOSOSIAL
Persepsi klien terhadap penyakitnya:
Pasrah dan mengikuti pengobatan yang dilakukan agar klien sembuh
Data tambahan:
...............................................................................................................................
PENGKAJIAN SPIRITUAL
Kebiasaan beribadah
- Sebelum sakit sering kadang- kadang tidak pernah
- Selama sakit sering kadang- kadang tidak pernah
Bantuan untuk memenuhi kebutuhan, contohnya berwudhu, klien hanya dapar berdzikir
CT scan : di dapatkan luka di daerah vertebra/ tulang belakang dan daerah leher
TERAPI
infus NaCl 90%
Oksigen 3 lpm nasal cannul
Metamizole 500 mg/iv
Tidak ada
Surabaya, 01 April2020
( Sri Wulandari )
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN NERS
FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
ANALISIS DATA
Hipoventilasi
3 5
5 5 Terputus jaringan saraf
di medulla spinalis
- Terpasang gipis di
lengan kanan atas Kelemahan fisik umum
- Terpasang collar
brace dan traksi Paralisis dan paraplegia
Gangguan mobilitas
fisik
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN NERS
FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
3. Gangguan mobilitas fisik b.d gangguan muskulokeletal d.d rentang gerak (ROM) menurun
(D.0054)
RENCANA INTERVENSI
Oleh :
Lely Suryawati, S.Kep
NIM. 131913143040
1. 1 Definisi Hidrosefalus
Hidrosefalus berasal dari kata “hidro” yang berarti air dan “chepalus” yang berarti
kepala. Meskipun hidrosefalus dikenal sebagai “air di otak”, “air" ini sebenarnya cairan
serebrospinal (CSS) yaitu cairan bening yang mengelilingi otak dan sumsum tulang belakang.
Dari istilah medis, hidrosefalus dapat diartikan sebagai penumpukan cairan serebrospinal (CSS)
secara aktif yang menyebabkan dilatasi sistem ventrikel otak dimana terjadi akumulasi CSS yang
berlebihan pada satu atau lebih ventrikel atau ruang subarachnoid. Keadaan ini disebabkan oleh
karena terdapat ketidak seimbangan antara produksi dan absorpsi dari CSS. Bila akumulasi CSS
yang berlebihan terjadi diatas hemisfer serebral, keadaan ini disebut higroma subdural atau
koleksi cairan subdural (National Health Service UK, 2017).
1. 2 Klasifikasi
Hidrosefalus dapat dikelompokkan berdasarkan dua kriteria besar yaitu secara patologi dan
secara etiologi (Sivagnanam & Jha, 2012) :
1.2.1 Hidrosefalus patologi dapat dikelompokkan sebagai berikut
1) Obstruktif (non-communicating) yaitu yang terjadi akibat penyumbatan
sirkulasi CSS yang disebabkan oleh kista, tumor, pendarahan, infeksi, cacat
bawaan dan paling umum, stenosis aqueductal atau penyumbatan saluran
otak.
2) Non–obstruktif (communicating) yaitu disebabkan oleh gangguan
keseimbangan CSS, dan juga oleh komplikasi setelah infeksi atau komplikasi
hemoragik.
1.2.2 Hidrosefalus Etiologi dapat dikelompokkan sebagai berikut
1) Bawaan (congenital) - sering terjadi pada neonatus atau berkembang selama
intra-uterin.
2) Diperoleh (acquired) – disebabkan oleh pendarahan subarachnoid,
pendarahan intraventrikular, trauma, infeksi (meningitis), tumor, komplikasi
operasi atau trauma hebat di kepala.
1. 3 Etiologi
Menurut Khalilullah (2011), Pembentukan CSS yang terlalu banyak dengan
kecepatan absorpsi yang normal akan menyebabkan terjadinya hidrosefalus. Penyebab
penyumbatah aliran CSS yang sering pada kasus Hidrosefalus yaitu kelainan bawaan,
infeksi, neoplasma dan perdarahan.
1) Kelainan bawaan
a) Stenosis akuaduktus Sylvius (penyebab terbanyak 60-90% pada bayi
dan anak-anak).
Umumnya terlihat sejak lahir atau progresif dengan cepat pada bulan-
bulan pertama setelah lahir
b) Spina bifida dan cranium bifida
Hidrosefalus oleh obstruksi mekanis yang dapat terjadi di setiap tempat aliran
CSS. Pada anak, kasus terbanyak yang menyebabkan penyumbatan ventrikel
IV dan akuaduktus Sylvius bagian terakhir biasanya suatu glioma yang
berasal dari serebelum, sedangkan penyumbatan bagian depan ventrikel III
biasanya disebabkan suatu kraniofaringioma.
4) Perdarahan
Perdarahan sebelum dan sesudah lahir dalam otak dapat menyebabkan fibrosis
leptomeningen pada daerah basal otak, selain penyumbatan yang terjadi
akibat organisasi dari darah itu sendiri.
1. 4 Manifetasi Klinis
2) Kaki dan tangan berkontraksi terus, sehingga terlihat kaku dan sulit digerakkan.
4) Kepala bayi terlihat lebih besar, juga bertambah besar jika dibandingkan dengan
anak seusianya.
5) Kulit kepala bayi tipis dan pembuluh darahnya dapat terlihat dengan jelas.
3) Muntah proyektil.
5) Kejang berulang.
1. 5 Patofisiologi
Menurut teori hidrosefalus terjadi akibat dari tiga mekanisme yaitu; produksi
cairan yang berlebihan, peningkatan resistensi aliran cairan, peningkatan tekanan sinus
venosa. Konsekuensi dari tiga mekanisme diatas adalah peningkatan tekanan
intrakranial sebagai upaya mempertahankan keseimbangan sekresi dan absorbsi.
Mekanisme terjadinya dilatasi ventrikel masih belum dipahami dengan jelas. Dilatasi ini
terjadi sebagai akibat dari:
1) Kompensasi sistem serebrovaskular
2) Redistribusi dari liquor serebropinal atau cairan ekstraseluler atau keduanya
dalam susunan sistem saraf pusat.
3) Perubahan mekanis dari otak (peningkatan elastisitas otak, gangguan
viskoelastisitas otak,kelainan turgor otak)
4) Efek tekanan denyut liquor serebrospinal
5) Hilangnya jaringan otak
6) Pembesaran volume tengkorak (pada penderita muda) akibat adanya regangan
abnormal pada sutura cranial.
Produksi cairan yang berlebihan hampir semua disebabkan oleh tumor pleksus
khoroid (papiloma dan karsinoma). Adanya produksi yang berlebihan akan
menyebabkan tekanan intracranial meningkat dalam mempertahankan keseimbangan
antara sekresi dan absorbsi liquor, sehingga akhirnya ventrikel akan membesar. Adapula
beberapa laporan mengenai produksi liquor yang berlebihan tanpa adanya tumor pada
pleksus khoroid, di samping juga akibat hipervitaminosis. Gangguan aliran liquor
merupakan awal dari kebanyakan dari kasus hidrosefalus. Peningkatan resistensi yang
disebabkan oleh gangguan aliran akan meningkatkan tekanan cairan secara proporsional
dalam upaya mempertahankan resorbsi yang seimbang.
1. 6 Pemeriksaan Penunjang
1) Pemeriksaan funduskopi: didapatkan papilledema bilateral ketika tekanan
intracranial meningkat.
2) Foto polos kepala lateral: tampak kepala membesar dengan disporposi
kraniofasial, tulang menipis dan sutura melebar.
3) Pemeriksaan cairan serebrospinal: Dilakukan pungsi ventrikel melalui foramen
frontanel mayor. Dapat menunjukkan tanda peradangan dan berdarahan baru
atau lama. Juga dapat menentukan tekanan ventrikel.
4) CT Scan kepala: CT scan kepala dapat memberi gambaran hidrosefalus, edema
serebral, atau lesi massa seperti kista koloid dari ventrikel ketiga atau thalamic
atau pontine tumor.
5) MRI: memberikan gambaran dilatasi ventrikel atau adanya lesi.
1. 7 Penatalaksanaan (Lawrence, 2019).
1) Terapi konservatif medikamentosa
Untuk membatasi evolusi hidrosefalus melalui upaya mengurangi sekresi cairan dan
pleksus choroid (asetazolamit 100 mg/kgBB/hari; furosemid 1,2 mg/kgBB/hari)
atau upaya meningkatkan resorpsinya (isorbid). Terapi diatas hanya bersifat
sementara sebelum dilakukan terapi defenitif diterapkan atau bila ada harapan
kemungkinan pulihnya gangguan hemodinamik tersebut; sebaliknya terapi ini
tidak efektif untuk pengobatan jangka panjang mengingat adanya resiko
terjadinya gangguan metabolik.
2) Ventriculoperitoneal shunting
Strategi penanganan terbaik; seperti antara lain; pengontrolan kasus yang mengalami
intoksikasi vitamin A, reseksi radikal lesi massa yang mengganggu aliran liquor,
pembersihan sisa darah dalam liquor atau perbaikan suatu malformasi. Pada
beberapa kasus diharuskan untuk melakukan terapi sementara terlebih dahulu
sebelum diketahui secara pasti lesi penyebab; atau masih memerlukan tindakan
operasi shunting karena kasus yang mempunyai etiologi multifaktor atau
mengalami gangguan aliran liquor skunder
1. 8 Komplikasi
1) Kerusakan pada Otak
2) Retardasi mental
3) Meningitis
4) Ventrikularis
5) Kerusakan jaringan saraf, dll (Bal'afif, 2013)
1. 9 WOC
Terbentuknya
jaringan parut Mengganggu aliran
& reabsobsi CSS
MK: Bersihan
Akumulasi sekret Jalan napas tidak
meningkat efektif D.0001
ASUHAN KEPERAWATAN
PADA PASIEN DENGAN HIDROSEFALUS
1. Pengkajian
1. 1 Anamnesa:
a. Identitas Klien:
Umur: hidrosepalus banyak terjadi pada bayi dan anak yaitu sebanyak 60%
dibandingkan pada orang dewasa (40%).
Jenis Kelamin: insiden hidrosepalus sama banyak antara laki-laki dan perempuan.
Suku Bangsa: insiden hidrosepalus sama banyak antara kulit putih dan kulit
hitam.
Pekerjaan, dll
b. Keluhan Utama: klien mengeluh nyeri kepala yang hebat dan muntah.
c. Riwayat Penyakit;
Riwayat penyakit sekarang: Klien mengeluh nyeri kepala yang hebat dan muntah.
Riwayat penyakit dahulu: Antenatal: perdarahan, prenatal: bayi premature,
perdarahan melahirkan dan riwayat infeksi.
Riwayat penyakit keluarga: Adanya keluarga yang memiliki riwayat penyakit
hidrosefalus.
1. 2 Pemeriksaan fisik
Nyeri Akut b.d agen Setelah dilakukan tindakan Manajemen Nyeri (I.08238)
keperawatan selama 1x24 jam 1) Identifikasi lokasi,
pencedera fisiologis
diharapkan tidak terjadi nyeri karakteristik, durasi,
(neoplasma) d.d dengan kriteria hasil: frekuensi, kualitas dan
Tingkat Nyeri (L.08066) intesitas nyeri.
mengeluh nyeri
1) Keluhan nyeri menurun 2) Identifikasi skala nyeri.
(D.007). (5) 3) Kontrol lingkungan
2) Pola tidur membaik (5-8 yang memperberat
jam/hari) nyeri.
3) Sikap prtektif menurun 4) Fasilitasi istirahat dan
(5) tidur.
5) Kolaborasi penggunaan
analgesic.
Daftar Pustaka
Jurnal Kedokteran Brawijaya, Vol. 27, No. 3, Februari 2013; Korespondensi: Farhad Bal'afif.
Laboratorium Bedah Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya Malang, Jl. Jaksa
Agung Suprapto No.2 Malang.
Said Alfin Khalilullah (2011). Review Article Hidrosefalus. RSUD dr.Zainoel Abidin Fakultas
Kedokteran Universitas Syiah Kuala Banda Aceh.
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia. 1 st ed. Jakarta:
DPP PPNI.
Tim Pokja SLKI DPP PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia. Definisi dan
Tindakan Keperawatan. 1st ed. Jakarta: DPP PPNI
Tim Pokja SIKI DPP PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia. Definisi dan
Tindakan Keperawatan. 1st ed. Jakarta: DPP PPNI
FORMAT PENGKAJIAN KEPERAWATAN KRITIS
Tanggal MRS : 27 Maret 2020 Jam Masuk : 10 WIB
Tanggal Pengkajian : 01 April 2020 No. RM : 12.06.xxxx
Jam Pengkajian : 08.00 WIB Diagnosa Medis : Hidrosefalus + Post OP Vp shunt
Hari rawat ke :6
IDENTITAS
25. Nama Pasien : Tn. A
26. Umur : 50 tahun
27. Suku/ Bangsa : Jawa/ Indonesia
28. Agama : Islam
29. Pendidikan : SLTA
30. Pekerjaan : Supir
31. Alamat : Surabaya
32. Sumber Biaya : BPJS
KELUHAN UTAMA
Keluhan utama: Klien mengalami penurunan kesadaran post pemasangan Vp Shunt
TD = 130/80 mmHg, N= 90x/menit, suhu= 37,4C, ICP= 15mmHg, terpasang ETT dan oksigen 10 lpm.
*
Sikulasi perifer: normal menurun
JVP :..normal...............................
CVP :..normal..............................
CTR :.................................
ECG & Interpretasinya: tidak ada
Data tambahan: Tidak ada
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN NERS
FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
PENGKAJIAN PSIKOSOSIAL
Persepsi klien terhadap penyakitnya: Klien mengalami penurunan kesadaran sehingga tidak bisa dikaji
PENGKAJIAN SPIRITUAL
Kebiasaan beribadah
- Sebelum sakit sering kadang- kadang tidak pernah
- Selama sakit sering kadang- kadang tidak pernah
TERAPI
Ringer Lactat 1500cc/24 jam
Ketorolac 10 mg 2 x 1 ampul intravena
Ondansentron 5 mg 1x1 ampul intravena
Furosemid 1x50 mg intravena
Cefotaxone 2x500mg intravena
ANALISIS DATA
Penurunan kapasitas
adaptif intracranial.
01/04/2020 Ds: - Hidrosefalus Bersihan jalan napas
Do: tidak efektif
- RR: 26x menit Peningkatan TIK D.0001
- Terpasang ETT
- Terpasang oksigen 10 lpm Desakan pada pusat
- Hasil Auskultasi terdengar pernapasan (medulla
bunyi ronchi di paru kanan oblongatan dan pons)
Fungsi pernapasan
terganggu
Pemasangan ETT
Penumpukan Sekret
pada saluran
pernapasan
Kemerahan pada
punggung
Rabu, 09.30 WIB Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 Manajemen jalan napas (I.010011)
01/04/2020 jam diharapkan bersihan jalan napas meningkat dengan 7) Monitor pola napas (frekuensi, kedalaman, dan usaha napas)
kriteria hasil: 8) Monitor bunyi napas tambahan.
Bersihan jalan napas (L.01001) 9) Monitor sputum.
6) Produksi sputum menurun (5) 10) Posisikan semi fowler.
7) Dispnea menurun (5) 11) Lakukan penghisapan lendir/suctioning <15 detik.
8) Sianosis membaik (5) 12) Kolaborasi pemberian bronkodilator, ekspetoran dan mukolitik.
9) Frekuensi napas membaik (16-20x/menit)
10) Pola napas membaik (5)
Rabu, 10.00 WIB Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 Pencegahan Luka Tekan (I.14543)
01/04/2020 jam diharapkan integritas kulit dan jaringan meningkat 1) Periksa adanya luka tekan.
dengan kriteria hasil: 2) Monitor area memerah.
Integritas Kulit dan Jaringan (L.14125) 3) Monitor mobilitas dan aktivitas individu.
1) Kemerahan menurun (5) 4) Ubah posisi dengan hati-hati setiap 1-2 jam
2) Kerusakan jaringan kulit menurun (5) 5) Berikan bantalan pada titik tekan atau tonjolan tulang
3) Pigmentasi abnormal menurun (5) 6) Jaga sprei tetap kering, bersih dan tidak ada lipatan.
7) Gunakan Kasur khusus
8) Pastikan asupan makanan yang cukup terutama protein, vitamin B
dan C, zat besi, dan kalori.
LAPORAN PENDAHULUAN
Oleh:
Umi Nafiatul Hasanah
(131913143042)
A-2015
sekum yang dapat berupa massa polipoid yang besar dan dapat tumbuh ke dalam lumen
dengan cepat meluas ke sekitar usus melalui proses invasif atau menginfiltrasi jaringan lain,
dan bermetastasis (Price & Wilson, 2006). Karsinoma sekum merupakan salah satu dari
keganasan pada kolon dan rektum yang khusus menyerang bagian sekum yang terjadi akibat
2. Etiologi
Penyebab kanker caecum sama seperti kanker lain pada umumnya masih
belum jelas sampai saat ini, namun telah dikenali beberapa factor predisposisi. Faktor-
faktor yang berperan antara lain: hereditas, diet, penyakit kolon nonkarsinoma, dan
lainnya seperti defisiensi molybdenum, konsumsi aspirin atau NSAID yang terus
menerus (Price & Wilson, 2006; Black & Hwaks, 2009; Desen, 2011).
Resiko terkena kanker caecum untuk generasi pertama meningkat menjadi tiga
kali. Familial adenomatous polyposis (FAP) adalah kelainan yang diturunkan secara
autosomal dominan yang ditandai oleh ratusan hingga ribuan adenoma kolorektal
pada usia 20-30 tahun (Half, 2009). Hereditary nonpolyposis colorectal cancer
(HNPCC) merupakan kelainan yang dturunkan secara autosomal dominan dan
ditandai oleh gangguan pada DNA mismatch repair. Karakteristik HNPCC adalah
onset yang lebih awal pada usia 50 tahun, lokasi pada kolon proksimal, dan adanya
tumor diluar kolon yang bervariasi lokasinya (Robinson, 2006; Black & Hawks,
2009).
Penyakit usus besar non karsinoma seperti kolitis kronis, poliposis dan
adenoma diperkiran sekitar 3-5% dapat menimbulkan kanker. Karsinoma kolon yang
berawal dengan poliposis dengan prekanker 5-20 tahun mencapai 15-40%
kemungkinan menderita kanker caecum. Paparan lingkungan yang dimaksud adalah
rokok, asbes, dan radiasi. Perokok mengalami peningkatan risiko kanker caecum
sebanyak dua sampai tiga kali lipat (Desen, 2011).
a. Usia
Adanya polip pada kolon, khususnya polip jenis adenomatosa. Jika polip ini langsung
dihilangkan pada saat ditemukan, tindakan penghilangan tersebut akan bisa
mengurangi risiko terjadinya kanker caecum di kemudian hari.
c. Riwayat kanker
Seseorang yang pernah terdiagnosis mengidap kanker caecum (bahkan pernah dirawat
untuk kanker caecum) berisiko tinggi terkena kanker caecum lagi dikemudian
hari. Wanita yang pernah mengidap kanker ovarium (indung telur), kanker uterus,
dan kanker payudara juga memiliki risiko yang lebih besar untuk terkena kanker
caecum.
d. Faktor keturunan / genetika
Sejarah adanya kanker caecum dalam keluarga, khususnya pada keluarga dekat.
Orang yang keluarganya punya riwayat penyakit FAP ( Familial Adenomatous
Polyposis) atau polip adenomatosa familial memiliki risiko 100% untuk terkena
kanker caecum sebelum usia 40 tahun bila FPA-nya tidak diobati. Penyakit lain
dalam keluarga adalah HNPCC (Hereditary Non Polyposis Colorectal Cancer),
yakni penyakit kanker caecum nonpolip yang menurun dalam keluarga, atau
sindrom Lynch.
e. Penyakit colitis ulseratif yang tidak diobati.
f. Kebiasaan merokok
Perokok memiliki risiko jauh lebih besar untuk terkena kanker caecum dibandingkan
dengan yang bukan perokok.
g. Terlalu banyak mengonsumsi makanan yang mengandung pewarna, apalagi jika
pewarnanya adalah pewarna nonmakanan.
h. Terlalu banyak mengonsumsi makanan makanan yang mengandung bahan
pengawet.
i. Kurangnya aktivitas fisik
Orang yang beraktivitas lebih banyak memiliki risiko lebih rendah untuk terkena
kanker caecum.
j. Infeksi virus tertentu seperti HPV (Human Papiloma Virus) turut andil dalam
terjadinya kanker caecum.
k. Kontak dengan zat-zat kimia tertentu. Misalnya logam berat, toksin, dan ototoksin
serta gelombang elektromagnetik.
3. Patofisiologi
Kanker caecum dan rektum (95 %) adenokarsinoma (muncul dari lapisan
epitel usus). Dimulai sebagai polip jinak tetapi dapat menjadi ganas dan menyusup
serta merusak jaringan normal serta meluas kedalam struktur sekitarnya. Sel kanker
dapat terlepas dari tumor primer dan menyebar kebagian tubuh yang lain (paling
sering ke hati) (Japaries, 2013). Pertumbuhan kanker menghasilkan efek sekunder,
meliputi penyumbatan lumen usus dengan obstruksi dan ulserasi pada dinding usus
serta perdarahan. Penetrasi kanker dapat menyebabkan perforasi dan abses, serta
timbulnya metastase pada jaringan lain. Prognosis relativ baik bila lesi terbatas pada
mukosa dan submukosa pada saat reseks dilakukan, dan jauh lebih jelek telah terjadi
mestatase ke kelenjr limfe (Japaries, 2013). Menurut Diyono (2013), tingakatan
kanker caecum dari duke sebagai berikut :
a. Stadium 1 : terbatas hanya pada mukosa kolon (dinding rektum dan kolon).
b. Stadium 2 : menembus dinding otot, belum metastase.
c. Stadium 3 : melibatkan kelenjar limfe.
d. Stadium 4 : metastase ke kelenjar limfe yang berjauhan dan ke organ lain.
Kanker caecum merupakan salah satu kanker usus yang dapat tumbuh secara
lokal dan bermetastase luas. Adapun cara penyebaran ini melalui beberapa cara.
Penyebaran secara lokal biasanya masuk kedalam lapisan dinding usus sampai
keserosa dan lemak mesentrik, lalu sel kanker tersebut akanmengenai organ
disekitarnya. Adapun penyebaran yang lebih luas lagi didalam lumen usus yaitu
melalui limfatik dan sistem sirkulasi. Bila sel tersebut masuk melalui sistem sirkulasi,
maka sel kanker tersebut dapat terus masuk ke organ hati, kemudian metastase ke
orgab paru-paru. Penyebaran lain dapat ke adrenal, ginjal, kuli, tulang, dan otak. Sel
kanker pu dapat menyebar ke daerah peritoneal pada saat akan dilakukan reseksi
tumor (Diyono, 2013).
Hampir semua kanker caecum ini berkembang dari polip adenoma jenis
villous, tubular, dan viloutubular. Namun dari ketiga jenis adenoma ini, hanya jenis
villous dan tubular yang diperkirakan akan menjadi premaligna. Jenis tubular
berstruktur seperti bola dan bertangkai, sedangkan jenis villous berstuktur tonjolan
seperti jari-jari tangan dan tidak bertangkai. Kedua jenis ini tumbuh menyerupai
bunga kol didalam kolon sehingga massa tesebut akan menekan dinding mukosa
kolon. Penekanan yang terus-menerus ini akan mengalami lesi-lesi ulserasi yang
akhirnya akan menjadi perdarahan kolon. Selain perdarahan, maka obstruksi pun
kadang dapat terjadi. Hanya saja lokasi tumbuhnya adenoma tersebut sebagai acuan.
Bila adenoma tumbuh di dalam lumen luas (ascendens dan transversum), maka
obstruksi jarang terjadi. Hal ini dikarenakan isi (feses masih mempunyai konsentrasi
air cukup) masih dapat melewati lumen tersebut dengan mengubah bentuk
(disesuaikan dengan lekukan lumen karena tonjolan massa). Tetapi bila adenoma
tersebut tumbuh dan berkembang di daerah lumen yang sempit (descenden atau
bagian bawah), maka obstruksi akan terjadi karena tidak dapat melewati lumen yang
telah terdesak oleh massa. Namun kejadian obstruksi tersebut dapat menjadi total atau
parsial (Diyono, 2013).
Kanker dapat menginvasi seluruh dinding usus dan organ sekitar seperti
kandung kemih, prostat, uterus, hati, lambung, dan pancreas. Penyebaran secara
limfogen terjadi melalui jaringan limfatik submucosa menembus dinding usus menuju
ke kelenjar limfe prakolon yang selanjutnya ke kelenjar limfe media dan pada
akhirnya menuju ke kelenjar limfe sentral (Desen, 2011).
4. Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala dari kanker caecum sangat bervariasi dan tidak
spesifik. Keluhan utama pasien pasien dengan kanker caecum berhubungan
dengan besar dan lokasi dari tumor. Tumor yang berada pada kolon kanan,
dimana isi kolon berupa cairan, cenderung tetap tersamar hingga lanjut sekali
sedikit kecenderungan menyebabkan obstruksi karena lumen usus lebih besar
dari feses masih encer. Gejala klinis sering brupa rasa penuh, nyeri abdomen,
perdarahan dan symptomatik anemia (menyebabkan kelemahan, pusing dan
penurunan berat badan). Tumor yang berada pada kolon kiri cenderung
mengakibatkan perubahan pola defekasi sebagai akibat iritasi dan respon
refleks, perdarahan, mengecilnya ukuran feses, dan komplikasi karena lesi
kolon kiri yang cenderung melingkar mengakibatkan obstruksi. Tumor pada
rektum atau sigmoid bersifat lebih infiltratif pada waktu diagnosis dari leksi
proksimal, maka prognosisnya lebih jelek (Kumar dkk, 2010). Menurut
Japaries (2013) Kanker usus besar dibagi menajadi dua stadium yaitu :
a. Stadium dini
1) Tanda iritasi usus dan perubahan kebiasaan defekasi : sering buang air besar,
diare atau obstipasi, kadang kala obstipasi dan diare silih berganti, tenesmus,
anus turun tegang, sering terdapat nyeri samar abdomen. Pasien lansia
bereaksi tumpul dan lamban, tidak peka nyeri, kadang kala setelah terjadi
perforasi tumor, peritonitis baru merasakan nyeri dan berobat.
2) Hematokezia : tumor luka ulserasi berdarah, kadang kala merah segar atau
merah gelap, biasanya tidak banyak, intermitan. Jika posisi tumor agak tinggi,
darah dan feses becampur menjadikan feses mirip selai. Kadang kala keluar
lendir berdarah.
3) Ileus : ileus merupakan tanda lanjut kanker caecum. Ileus kolon sisi kiri sering
ditemukan . kanker caecum tipe ulseratif atau hiperplstik menginvasi kesekitar
dinding usus membuat lumen usus menyempit hingga ileus, sering berupa
ileus mekanik nontotal kronis, mula-mula timbul perut kembung, rasa tidak
enak perut intermiten, borborigmi, obstipasi atau feses menjadi kecil (seperti
pensil atau tahi kambing) bahkan tak dapat buang angin atau feses. Sedangkan
ileus akut umumnya disebabkan karsinoma kolon tipe infiltratif. Tidak jarang
terjadi intususepsi dan ileus karena tumor pada pasien lansia, maka pada lansia
dengan intususepsi harus memikirkan kemungkinan karsinoma kolon. Pada
ileus akut maupun kronik, gejala muntah tidak menonjol, bila terdapat muntah,
mungkin usus kecil (khususnya proksimal) sudah terinvasi tumor.
4) Massa abdominal. Ketika tumor tumbuh hingga batas tertentu didaerah
abdomen dapat diraba adanya massa, sering ditemukan pada koon belahan
kanan. Pasien lansia umumnya mengurus, dinding abdomen relatif longgar,
massa mudah diraba. Pada awalnya massa bersifat mobil, setelah menginvasi
sekitar menjadi infeksi.
5) Anemia, badan menjadi kurus, demam, astenia dan gejala toksik sistemik lain.
Karena pertumbuhan tumor menghabiskan nutrisi tubuh, perdarahan kronis
jangka panjang menyebabkan anemia; infeksi sekunder tumor menyebabkan
demam dan gejala toksik.
b. Stadium lanjut
Selain gejala lokal tersebut diatas, dokter harus memperhatikan tumor adalah penyakit
sistemik, pada fase akhir progresi kanker usus besar timbul grjala stadium lanjut
yang sesuai. Misal, invasi luas tumor dalam kavum pelvis menimbulkan nyeri
daerah lumbosakra, iskialgia dan neuralgia obturatoria; ke anterior menginvasi
mukosa vagina dan vesika urinaria menimbulkan perdarhan pervaginam atau
hematuria, bila parah dapat timbul fistel rektovaginal, fistel rektovesikel; obstruksi
ureter bilateral menimbulkan anuria, uremia; tekanan pada retra menimbulkan
retensi urin; asites, hambatan saluran limfatik atau tekanan pada vena iliaka
menimbulkan udem tungkai, skrotal, labial; perforasi menimbulkan peritonitis
akut, abses abdomen; metastasis ke paru menimbulkan batuk, nafas memburu,
hemoptisis; metastasis ke otak menyebabkan koma; metastasis tulang
menimbulkan nyeri tulang, pincang dll. Akhirnya dapat timbul kakeksia,
kegagalan sistemk (Japaries, 2013).
5. Klasifikasi Stadium
Pembagian stadium berdasarkan pengelolaan dengan metode
klasifikasi kanker caecum menurut Dukes terbagi menjadi stadium A, B, C,
C1, C2, dan D. Stadium A kedalaman invasi kanker belum menembus tunika
muskularis dan tidak ada metastase kelenjar limfe. Stadium B kanker sudah
menembus tunika muskularis dalam, dapat menginvasi tunika serosa, di luar
serosa atau jaringan perirektal, namun tidak terjadi metastase kelenjar limfe.
Stadium C menunjukkan kanker sudah terjadi metastase ke kelenjar limfe.
Berdasarkan lokasi kelenjar limfe yang terkena terbagi menjadi stadium C1
dan C2. Stadium C1 kanker sudah bermetastase ke kelenjar limfe samping
usus dan masenterium, sedangkan stadiem C2 kanker sudah metastase ke
kelenjar limfe di pangkal arteri masenterium. Stadium D kanker sudah
bermetastase ke organ yang jauh, atau metastase luas kelenjar limfe sehingga
paska reseksi tidak mungkin kuratif atau nonresektabel (Desen, 2011).
Pembagian stadium sistem TNM pada kanker caecum berdasarkan
tiga kategori yaitu; T (tumor primer), N (Nodul kelenjar limfe), dan M
(metastase). Masing-masing kategori tersebut dibagi lagi menjadi sub
kategori untuk menggambarkan masing-masing kategori dengan cara
memberi indeks angka dan huruf didepan T, N, dan M. Kategori T atau tumor
primer terdiri dari Tx yang artinya tumor primer tidak dapat dinilai, Tis
karsinoma insitu dan tumor terbatas pada intraepitel atau hanya, mengenai
tunika propia mukosa, pada T0 adalah tidak ada bukti tumor primer dan T1
tumor menginvasi sampai tunika submukosa. Tumor menginvasi sampai
tunika sampai tunika muskularis propria terjadi pad T2, T3 Tumor menembus
sampai tunika sampai tunika muskularis propria mencapai subserosa atau
mengenai kolon ekstraperitoneal, sedangkan T4 tumor langsung meninvasi
organ atau struktur lain atau menembus pars veseralis peritonium.
Kategori N atau kelenjar limfe regional, pada kategori Nx kondisi
kelenjar limfe tidak dapat dinilai, N0 tidak ada metastase kelenjar limfe
regional, N1 terjadi metastase 1-3 buah kelenjar limfe regional dan N3 telah
terjadi metastase lebih dari 4 kelenjar limfe regional. Pada kategori M atau
metastase jauh terdiri dari Mx, tidak dapat dinilai ada tidaknya metastase
jauh, M0 tidak ditemukan adanya metastase jauh dan M1 sudah ada
metastase jauh. Menurut situasi pertumbuhan tumor pada tahun 2002 UICC
menetapkan klasifikasi stadium klinis 0-IV untuk kanker caecum.
Stadium Tumor KGB Regional Metastasis Stadium Dukes
Stadium 0 Tis N0 M0 A
Stadium I T1-T2 N0 M0 A
Stadium II T3-T4 N0 M0 B
Stasium IIIA T1-T2 N1 M0
Stadium IIIB T3-T4 N1 M0 C
Stadium IIIC Semua T N2 M0
Stadium IV Semua T Semua N M1 D
6. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Casciato (2004) ada beberapa macam pemeriksaan
penunjang yang dapat dilakukan untuk mendeteksi kanker caecum yaitu :
a. Biopsi
CEA adalah sebuah glikopretein yang terdapat pada permukaan sel yang masuk ke
dalam peredaran darah, dan digunakan sebagai marker serologi untuk memonitor
status kanker caecum dan untuk mendeteksi rekurensi dini dan metastase ke hepar.
CEA terlalu insensitif dan nonspesifik untuk bisa digunakan sebagai screening
kanker caecum. Meningkatnya nilai CEA serum, bagaimanapun berhubungan
dengan beberapa parameter. Tingginya nilai CEA berhubungan dengan tumor
grade 1 dan 2, stadium lanjut dari penyakit dan kehadiran metastase ke organ
dalam. Meskipun konsentrasi CEA serum merupakan faktor prognostik
independen. Nilai CEA serum baru dapat dikatakan bermakna pada monitoring
berkelanjutan setelah pembedahan (Casciato, 2004).
Meskipun keterbatasan spesifitas dan sensifitas dari tes CEA, namun tes ini sering
diusulkan untuk mengenali adanya rekurensi dini. Tes CEA sebelum opersai
sangat berguna sebagai faktor prognosa dan apakah tumor primer berhubungan
dengan meningkatnya nilai CEA. Peningkatan nilai CEA preoperatif berguna
untuk identifikasi awal dari dari metastase karena sel tumor yang bermetastase
sering mengakibatkan naiknya nilai CEA (Casciato, 2004).
c. Digital Rectal Examination
Pada pemeriksaan ini dapat dipalpasi dinding lateral,posterior, dan anterior, serta
spina iskiadika, sakrum dan coccygeus dapat diraba dengan mudah. Metastasis
intraperitoneal dapat teraba pada bagian anterior rektum dimana sesuai dengan
posisi anatomis kantong douglas sebagai akibat infiltrasi sel neoplastik. Meskipun
10 cm merupakan batas eksplorasi jari yang mungkin dilakukan, namun telah
lama diketahui bahwa 50% dari kanker caecum dapat dijangkau oleh jari,
sehingga Rectal examination merupakan cara yang tidak dapat begitu saja
diabaikan (Schwartz, 2005).
d. Barium Enema
Teknik yang sering digunakan adalah dengan memakai double kontras varium enema,
yang sensitifitasnya mencapai 90% dalam mendeteksi polip yang berukuran >1
cm. Teknik ini jika digunakan bersama-sama fleksibel sigmoidoskopi merupakan
cara yang hemat biaya sebagai alternatif pengganti kolonoskopi untuk pasien yang
tidak dapat mentoleransi kolonoskopi, atau digunakan sebagai pemantauan jangka
panjang pada pasien yang mempunyai riwayat polip atau kanker yang telah di
eksisi. Risiko perforasi dengan menggunakan barium eneme sangat rendah, yaitu
sebesar 0,02% jika terdapat kemungkinan perforasi, maka sebuah kontras larut air
harus digunakan dari pada barium enema. Barium peritonitis merupakan
komplikasi yang sangat serius yang dapat mengakibatkan berbagai infeksi dan
peritoneal fibrosis. Tetapi sayangnya sebuah kontras larut air tidak dapat
menunjukan detail yang penting untuk menunjukam lesi kecil pada mukosa kolon
(Schwartz, 2005).
e. Endoskopi
Tes tersebut diindikasikan untuk menilai seluruh mukosa kolon karena 3% dari pasien
mempunyai synchronous kanker dan berkemungkinan untuk mempunyai polip
premaligna (Casciato, 2004).
f. Kolonoskopi
Kolonoskopi dapat digunakan untuk menunjukan gambaran seluruh mukosa kolon
dan rectum. Sebuah standar kolonoskopi panjangnya dapat mencapai 160 cm.
Kolonoskopi merupakan cara yang paling akurat untuk dapat menunjukan polip
dengan ukuran kurang dari 1 cm dan keakuratan dari pemeriksaan kolonoskopi
sebesar sebesar 94%, lebih baik dari pada barium enema yang keakuratannya
hanya sebesar 67% (Depkes, 2006). Sebuah kolonoskopi juga dapat digunakan
untuk biopsi, polipektomi, mengontrol perdarahan dan dilatasi dari struktur.
Kolonoskopi merupakan prosedur yang sangat aman dimana komplikasi utama
(perdarahan, komplikasi anestesi dan perforasi) hanya muncul kurang dari 0,2%
pada pasien. Kolonoskopi merupakan cara yang sangat berguna untuk
mendiagnosis dan manajemen dari Inflamatory Bowel Disease, non akut
divertikulitis, sigmoid volvulus, gastrointestinal bleeding, megakolon non toksik,
struktur kolon dan neoplasma. Komplikasi lebih sering terjadi pada kolonoskopi
terapi daripada diagnostik kolonoskopi, perdarahan merupakan komplikasi utama
dari kolonoskopi terapeutik, sedangkan perforasi merupakan komplikasi utama
dari kolonoskopi diagnostik (Schwartz, 2005).
g. Pemeriksaan Radiologi
8. Penatalaksanaan Kasus
Terapi primer untuk pengobatan kanker caecum adalah dengan
pembedahan. Terapi kemoterapi digunakan sebagai tambahan untuk menjaga
tumor tidak tumbuh lagi. Kemoterapi digunakan untuk menghilangkan atau
menekan pertumbuhan tumor yang ada di hepar. Radiasi dan kemoterapi
dapat diberikan sendiri-sendiri atau bersama-sama. Terapi kombinasi dapat
meningkatkan survival pasien kanker caecum (Black & Hawks, 2009).
a. Pembedahan
Pembedahan adalah satu satunya cara yang telah secara luas diterima sebagai
penangan kuratif untuk kanker caecum. Pembedahan kuratif untuk kaker
kolorektal. Pembedahan kuratif harus mengeksisi dengan batas yang luas dan
maksimal regional lymphadenektomi sementara mempertahankan fungsi dari
kolon sebisanya. Untuk lesi diatas rektum, reseksi tumor dengan minimum margin
5 cm bebas tumor (Casciato, 2004). Menurut Haryono (2012), pembedahan
merupakan tindakan primer pada kira-kira 75% pasien dengan kanker caecum.
Pembedahan dapat bersifat kuratif atau palliative. Kanker yang terbatas pada satu
sisi dapat diangkat dengan kolonoskop. Kolosotomi laparoskopik dengan
polipektomi, suatu prosedur yang baru dikembangkan untuk meminimalkan
luasnya pembedahan pada beberapa kasus. Laparoskop digunakan sebagai
pedoman dalan membuat keputusan dikolon massa tumor kemudian dieksisi.
Reseksi usus diindikasikan untuk kebanyakan lesi kelas A dan semua kelas B serta
lesi C. Pembedahan kadang dianjurkan untuk mengatasi kanker caecum D. Tujuan
pembedahan dalam situasi ini adalah palliative. Apabila tumor telah menyebar dan
mencangkup struktur vital sekitarnya, maka operasi tidak dapat dilakukan.
1) Perawatan Pre Operasi
Setelah pasien keluar dari ruang operasi atau ICU dan dikirim ke ruang
perawatan, perawat tetap melakukan pengkajian dan intervensi seperti pada
ruang perawatan intensif. Pengkajian dan intervensi pada keadaan post
anestesi general dapat menyebabkan komplikasi sehingga tetap memerlukan
monitoring sistem respiratori, kardiovaskular, renal dan cairan elektrolit.
Perawat harus melakukan monitoring output dan melakukan perwatan khusus
stoma terutama menjaga kontaminasi bakteri ke luka insisi. Pengkajian stoma
apakah stoma mengalami iskemia. Stoma harus dalam keadaan merah dan
lembab, seandainya stoma gelap dan kehitam-hitaman maka segara laporkan
ke dokter bedah untuk dilakukan tindakan secepatnya. Jika dilakukan
abdominoperineal reseksi dengan kolostomi dan drain maka penggantian
dressing dan memonitor output drain harus dilakukan dengan baik. Diagnosa
keperawatan pada kondisi seperti ini adalah resiko injuri dan efektifitas
managemen terapi regimen (Black & Hawks, 2009).
b. Terapi Radiasi
Tindakan operasi reseksi pada kanker caecum dan rektum yang disertai
dengan prosedur tindakan laparotomi sering diakhiri dengan pembuatan stoma.
Stoma merupan suatu tindakan dengan membuat lubang pada dinding perut atau
abdomen yang berfungi sebagai tempat untuk mengeluarkan kotoran feses atau
urin (Kozier & Erb, 2009; Black & Hawks, 2009). Terdapat banyak tipe dan
macam dari enterostoma. Setiap tipe memiliki ciri masing-masing, misalnya
ileostomi cenderung menghasilkan output yang lebih cair dibandingkan dengan
kolostomi yang menghasilkan output yang lebih padat menyerupai feses yang
sebenarnya Hal ini dikarenakan oleh fungsi kolon adalah untuk menyerap air
(Black & Hawks, 2009; Rasjidi, 2011). Lokasi kolostomi menentukan konsistensi
tinja baik padat ataupun cair. Pada kolostomi transversum umumnya
menghasilkan feses lebih padat. Lokasi kolostomi ditentukan oleh masalah medis
pasien dan kondisi umum. Ada 3 jenis kolostomi, yaitu; kolostomi loop atau loop
colostomy, biasanya dilakukan dalam keadaan darurat, end colostomy, terdiri dari
satu stoma dibentuk dari ujung proksimal usus dengan bagian distal saluran
pencernaan. End colostomy adalah hasil pengobatan bedah kanker caecum,
double-barrel colostomy terdiri dari dua stoma yang berbeda stoma bagian
proksimal dan stoma bagian distal (Perry & Potter, 2005).
e. Pendidikan Kesehatan
Setelah pasien keluar dari ruang operasi atau ICU dan dikirim ke ruang
perawatan, perawat tetap melakukan pengkajian dan intervensi seperti pada ruang
perawatan intensif. Pengkajian dan intervensi pada keadaan post anestesi general
dapat menyebabkan komplikasi sehingga tetap memerlukan monitoring sistem
respiratori, kardiovaskular, renal dan cairan elektrolit. Perawat harus melakukan
monitoring output dan melakukan perwatan khusus stoma terutama menjaga
kontaminasi bakteri ke luka insisi. Pengkajian stoma apakah stoma mengalami
iskemia. Stoma harus dalam keadaan merah dan lembab, seandainya stoma gelap
dan kehitam-hitaman maka segara laporkan ke dokter bedah untuk dilakukan
tindakan secepatnya. Jika dilakukan abdominoperineal reseksi dengan kolostomi
dan drain maka penggantian dressing dan memonitor output drain harus dilakukan
dengan baik. Diagnosa keperawatan pada kondisi seperti ini adalah resiko injuri
dan efektifitas managemen terapi regimen (Black & Hawks, 2009).
f. WOC
g.
Merokok Faktor Kolitis ulseratif, Kanker Payudara, Obesitas Konsumsi
genetik penyakit Crohn rahim, atau ovarium makanan yang
sekarang atau di masa rendah serat,
lalu banyak lemak
Kontak agen Polip
karsinogenik adenomatosa
Perubahan metasplasia pada
dinding Caecum
Gangguan Citra
Kerusakan jaringan Tubuh (D.0083)
Intoleransi Aktivitas
vascular lokal Ca Caecum
(D.0056)
Kolostomi permanen
Invasi jaringan dan efek
Perdarahan intestinal kompresi oleh tumor
Anemia
feses bercampur darah Resiko Jatuh (D.0143)
Gejala : ansietas, ketakutan, emosi kesal, misal : perasaan tak berdaya/tak ada
harapan. Faktor stress akut/kronis : misal hubungan dengan keluarga /
pekerjaan, pengobatan yang mahal. Tanda : menolak, perhatian yang
menyempit, depresi.
g) Eliminasi
Gejala : tekstur feses bervariasi dan bentuk lunak sampai bau. Episode diare
berdarah tak dapat diperkirakan, hilang timbul, sering tak dapat dikontrol
(sebanyak 20-30 kali/hari), perasaan tidak nyaman/tidak puas, deteksi
berdarah/ mukosa dengan atau tanpa keluar feses.
Tanda : menurunnya bising usus, tidak ada peristaltik atau adanya peristaltik
yang dapat dilihat, oliguria.
h) Makan / Cairan
2. Diagnosis Keperawatan
a. Nyeri Kronis b.d infiltrasi tumor d.d mengeluh nyeri, wajah tampak meringis
(D.0078)
b. Defisit Nutrisi b.d tidak mampu mengabsorbsi makanan d.d berat badan turun >10%,
tampak kurus (D.0019)
c. Intoleransi Aktivitas b.d anemia d.d mengeluh lemas (D.0056)
d. Ansietas b.d krisis situasional d.d merasa khawatir dengan akibat dari kondisi yang
dihadapi (D.0080)
3. Intervensi Keperawatan
2. Terapeutik
3. Edukasi
4. Kolaborasi
o Kolaborasi pemberian
analgetik, jika perlu
2. Defisit Nutrisi b.d Setelah dilakukan tindakan Manajemen Nutrisi (I. 03119)
tidak mampu keperawatan klien tidak
1. Observasi
mengabsorbsi mengalami deficit nutrisi
o Identifikasi status nutrisi
makanan d.d berat dengan kriteria hasil:
badan turun >10%, Status nutrisi (L. 03030) o Identifikasi alergi dan intoleransi
tampak kurus - Porsi makan yang makanan
(D.0019) dihabiskan
o Identifikasi makanan yang disukai
meningkat
- Perasaan cepat o Identifikasi kebutuhan kalori dan jenis
2. Terapeutik
3. Edukasi
4. Kolaborasi
3. Edukasi
o Anjurkan tirah baring
4. Kolaborasi
3. Edukasi
4. Kolaborasi
Asmorohadi, Aries. (2014). Analisis Asuhan Keperawatan pada Kanker Kolon dengan
Pendekatan Teori Peaceful End of Life dan Edukasi Perawatan Kolostomi
Berdasarkan Evidence Based Nursing Di RSKD Jakarta. Depok: Universitas
Indonesia
Black, J.M., Hawks, J.H. (2009). Medical Surgical Nursing. Ed 8. Sauder Elsevier
Carville, K. (2007). Wound Care Manual. 5edition. Australia: Silver Chain Foundation
Desen Wan. (2011). Onkologi Klinik. Ed.2. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Half, E., Bercovich, D., Rozen, P. (2009). Familial Adenomatous Polyposis. Orphanet
Journal oF Rare Diseases. Vol 4. No 22.
Kozier, B., Erb, G., Snyder S., Berman, A. (2009). Buku Ajar Praktik Keperawatan
Klinis. Ed.5. EGC. Jakarta
Lewis, SL., Dirksen, SR., Heitkemper, MM, and Bucher, L. (2014). Medical surgical
Nursing. Mosby: ELSIVER
Tim Pokja SLKI DPP PPNI, (2018), Standar Luaran Keperawatan Indonesia (SLKI),
Edisi 1, Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia
Format Proses Keperawatan KRITIS
IDENTITAS
33. Nama Pasien : Ny. Y
34. Umur : 64 tahun
35. Suku/ Bangsa : Jawa / Indonesia
36. Agama : Islam
37. Pendidikan : Tamat SLTP
38. Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
39. Alamat : Surabaya
40. Sumber Biaya : BPJS
KELUHAN UTAMA
Keluhan utama: Klien mengeluh nyeri pada perut kanan bawah
T : nyeri dirasa lebih dari 3 bulan, muncul sewaktu-waktu dengan durasi yang tidak
menentu.
34. Sistem Pernafasan (B1)
Jalan Nafas , bebas ya tidak
Obstruksi tidak sebagian total
Benda Asing tidak padat cair
Berupa : …………………..
a. RR: 20x/menit
n. Keluhan:: sesak tidak ya nyeri waktu nafas orthopnea
Batuk produktif tidak produktif
a. Sekret:…….. Konsistensi :......................
b. Warna:.......... Bau :..................................
o. Pergerakan dada simetris asimetris
p. Penggunaan otot bantu nafas: tidak ya
e. Jenis:.............................................................................................................................................
f. Irama nafas teratur tidak teratur
g. Pleural Friction rub:.....................................................................................................................
jj. Pola nafas Dispnoe Kusmaul Cheyne Stokes Biot
kk. Suara nafas Vesikuler Bronko vesikuler Cracles
Ronki Wheezing
ll. Suara perkusi paru sonor hipersonor redup
mm. Alat bantu napas ya tidak
Jenis................................................ Flow..............lpm
Ventitalor tidak ya
Mode :
FiO2 :
PEEP :
SaO2 :
Vol. Tidal:
I:E Ratio:
Data tambahan:
n. Data tambahan:
klien mengatakan tidak mampu beraktivitas seperti biasanya, mudah lelah, dan segala
aktivitasnya dibantu oleh keluarga
o. Pitting edema: +/- grade:................
bb. Ekskoriasis: ya tidak
cc. Urtikaria: ya tidak
dd. Data tambahan:
Tidak ada
PENGKAJIAN PSIKOSOSIAL
Persepsi klien terhadap penyakitnya:
Klien mengatakan pasrah dan berharap dapat segera sembuh
Data tambahan:
...............................................................................................................................
...............................................................................................................................
...............................................................................................................................
Klien mengeluh lemas mengeluh lemas dan segala aktivitasnya dibantu oleh keluarga
Klien diseka 2x/hari, ganti baju 1x/hari, keramas 2-3hari sekali, sikat gigi 1x/hari
PENGKAJIAN SPIRITUAL
Kebiasaan beribadah
- Sebelum sakit sering kadang- kadang tidak pernah
- Selama sakit sering kadang- kadang tidak pernah
P 11 – 14,7
RBC 3,06 106/uL 3,69 – 5,46
P 35,2 – 46,7
MONO% 7 % 4,3 - 10
PLT 444 103/uL 150 - 450
P 11 – 14,7
P 35,2 – 46,7
MCV 81,8 fL 86,7 – 102,3
TERAPI
Terapi PPN dengan total kalori 1800 kkal, 50g protein
ANALISIS DATA
- Klien mengatakan ↓
nyeri pada perut
Kompresi tumor pada
bagian bawah
dinding kolon
- P : Nyeri terasa saat
pasien beraktivitas ↓
maupun istirahat
- Q : Nyeri terasa Kompresi ujung saraf
seperti tertusuk benda nyeri
tajam ↓
- R : Nyeri terasa di
perut bagian bawah Nyeri abdominal
- S : Skala nyeri 5
↓
- T : nyeri dirasa lebih
dari 3 bulan, muncul Nyeri >3 bulan
sewaktu-waktu
↓
dengan durasi yang
tidak menentu. Nyeri kronis
DO :
- Klien tampak
meringis
- Pasien tampak
memegangi perutnya
bagian bawah
Hasil TTV
S : 120/80 MmHg
N : 105x/menit
T : 36oC
RR : 20x/menit
31 Maret 2020 DS : Ca caecum Defisit Nutrisi
- Klien mengatakan ↓
nafsu makan
Kompresi tumor pada
menurun
dinding kolon
- Pasien mengatakan
nyeri perut ↓
DO :
Anoreksia
A:
- TB 157 cm ↓
- BB : 47 Kg
Asupan nutrisi tidak
- IMT : 19,06
adekuat
- Interpretasi :
kurus ↓
- LILA : 24 cm
Ketidakseimbangan
B:
nutrisi kurang dari
- WBC : 8,34 kebtuhan tubuh
[10^3/uL]
↓
- NEUT : 6,09
[10^3/uL] Defisit Nutrisi
- LYMPH : 4,7
[10^3/uL]
- HGB : 9,4 [g/dL]
- HCT : 22,5 [%]
C:
Klien tampak kurus,
konjungtiva anemis,
CRT 2 detik
D:
- Klien mengatakan ↓
tidak mampu
Kompresi tumor pada
beraktivitas seperti
biasanya dinding kolon
- Klien mengatakan ↓
mudah lelah
- Klien mengatakan Kerusakan jaringan
segala aktivitasnya pembuluh darah
dibantu oleh keluarga ↓
- Klien mengatakan
beberapa bulan Pecahnya pembuluh
terakhir BAB disertai darah
darah.
↓
Perdarahan intestinal
DO :
↓
- Wajah klien tampak
pucat Anemia
- Konjungtiva anemis
↓
- Pasien tampak lemas
dan berbaring di
tempat tidur Keletihan
↓
Hasil TTV
Intoleransi Aktivitas
S : 120/80 MmHg
N : 105x/menit
T : 36oC
RR : 20x/menit
Hasil Pemeriksaan
laboratorium tanggal :
27/03/2020
- WBC : 8,34
[10^3/uL]
- NEUT : 6,09
[10^3/uL]
- LYMPH : 4,7
[10^3/uL]
- HGB : 9,4 [g/dL]
- HCT : 22,5 [%]
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN NERS
FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
4.
5.
6.
RENCANA INTERVENSI
6. Terapeutik
8. Kolaborasi
6. Terapeutik
7. Edukasi
o Anjurkan posisi duduk, jika mampu
8. Kolaborasi
o Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori dan jenis
nutrient yang dibutuhkan, jika perlu
Selasa / 31 11.00 WIB Setelah dilakukan tindakan keperawatan Manajemen Energi (I. 05178)
Maret 2020
klien tidak mengalami intoleransi aktivitas
5. Observasi
dengan kriteria hasil:
o Monitor kelelahan fisik dan emosional
o Fasilitas duduk di sisi tempat tidur, jika tidak dapat berpindah atau berjalan
7. Edukasi