Anda di halaman 1dari 13

MATA KULIAH

FILSAFAT ILMU ADMINISTRASI

Makalah UAS

Oleh: Bagus Adi Luthfi (NPM. 1906413333)

FAKULTAS ILMU ADMINISTRASI


PASCASARJANA ILMU ADMINISTRASI
UNIVERSITAS INDONESIA
TAHUN 2019

1
Refleksi Filsafat Machiavelli

Studi Kasus Pelanggaran Etika Bisnis Garuda Indonesia

Abstrak

Permasalahan etika bisnis di Indonesia akhir-akhir ini mendapatkan perhatian kembali


dengan terjadinya skandal manipulasi laporan keuangan dan penyelundupan oleh manajemen
perusahaan. Filsafat Machiavelli diangkat untuk mendalami lebih lanjut bagaimana kasus ini
terjadi karena relevansinya dengan realitas yang ada. Hasil analisis menunjukkan bagaimana
cara-cara tidak etis dilakukan untuk mencapai kepentingan pribadi dan kelompok. Oleh
karenanya perubahan sosial menjadi tuntutan semua organisasi yang mengalami hal yang
sama dan Machiavelli memberikan petunjuk bagaimana melakukan perubahan itu.

Kata Kunci : Machiavelli, Etika Bisnis, Moral, Perubahan Sosial

1. Latar Belakang Masalah

Garuda Indonesia, Tbk. (GIA) di bawah masa kepemimpinan Direksi Ari Askhara
menjadi sorotan publik karena dua isu besar yang mempertontonkan perilaku manajemen
yang tidak etis sekaligus governance organisasi yang buruk. Pertama terkait dengan
keputusan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang menyatakan bahwa laporan keuangan yang
disajikan oleh GIA dinyatakan bermasalah dan ada dugaan terjadi manipulasi di dalamnya
(Kompas, 2019).1 Padahal, sebagai salah satu perusahaan milik negara yang menyandang
status go-public, penyajian laporan keuangan yang transparan merupakan hal penting bagi
para investor. Kedua adalah kasus penyelundupan onderdil Harley Davidson serta dua sepeda
Brompton yang menjadi perbincangan publik karena dilakukan oleh Ari Askhara sebagai
Direktur Utama (Kompas, 2019).2

Pihak-pihak yang terlibat dalam dua kasus GIA di atas telah mencederai harapan
publik akan kejujuran yang diharapkan dari pejabat publik. Sementara itu, dalam tradisi ilmu

1
https://kompas.id/baca/utama/2019/06/29/laporan-keuangan-garuda-bermasalah/
2
https://www.kompas.com/tren/read/2019/12/05/210224665/soal-penyelundupan-harley-dan-
brompton-di-garuda-mengapa-orang-malas-bayar?page=all.
2
administrasi, kepatuhan terhadap standar perilaku etis dan moralitas menjadi dasar dalam
memberikan layanan kepada pihak-pihak yang berkepentingan (Cooper, 2012; Perry, 2015).
Masalah ini menjadi penting untuk diangkat karena kejahatan administratif yang terjadi di
GIA menunjukkan ancaman atas nilai etik dan moralitas publik (Adams dan Balfour, 2015).
Dari sisi akademis, terdapat suatu kepentingan bagaimana mengurai potensi ancaman dari
anggota organisasi yang dapat berperilaku secara egosentris dan oportunis yang merugikan
organisasi. Dengan demikian, bahasan mengenai governance dan sistem kontrol untuk
menghindari ancaman perilaku yang disebutkan menjadi relevan.

Pijakan filosofis Machiavelli akan menjadi dasar dari penyusunan makalah ini untuk
menyoroti perilaku egosentris dan oportunitis yang terjadi di tubuh GIA. Kasus GIA secara
kasat mata menunjukkan bagaimana para pucuk pimpinan Garuda Indonesia (utamanya Ari
Askhara) memanfaatkan kekuasaan yang dia miliki untuk memenuhi kepentingan pribadinya
yang bertolak belakang dengan aturan perusahaan maupun moral publik. Gambaran ini sangat
mirip dengan apa yang dituliskan oleh Machiavelli yang mengabaikan nilai etis dan moral
untuk memperbesar dan mempertahankan kekuasaan (Azhary, 1995 dalam Manullang, 2009).
Bahkan, tidak menjadi soal jika sampai harus menyingkirkan orang-orang yang dapat
membahayakan kepentingan yang dituju (Machiavelli, 1995).

2. Metode Analisis

Metode analisis yang digunakan dalam makalah ini adalah analitis empiris dengan
mengunakan pendekatan kualitatif. Dengan demikian, makalah ini hanya menghasilkan data
deskriptif yang berupa kata-kata tertulis, atau lisan dan perilaku dari objek yang dibahas,
Data-data yang digunakan dalam makalah ini berupa kata-kata dan bukan angka. Sehingga
penulis berusaha semaksimal mungkin untuk mendeskripsikan suatu gejala peristiwa atau
masalah-masalah aktual yang dibahas dalam makalah. Analisis dilakukan dengan
menggunakan pendekatan konseptual dana analisis terhadap permasalahan yang diambil
dengan membandingkan data di lapangan dengan konsep-konsep baik dari buku, jurnal,
media, maupun sumber lainnya. Diharapkan melalui pendekatan tersebut, akan diperoleh
gambaran yang mendalam mengenai peristiwa atau fakta yang ada (Maleong, L., 1999).

3
3. Refleksi Filsafat Machiavelli

3.1. Filsafat Machiavelli Tentang Moralitas

Dalam ‘The Prince’ Machiavelli mengajukan sebuah pertanyaan dialogis berikut


mengenai bagaimana seorang harus mendapatkan pengaruh di wilayah yang dikuasainya:

. . whether it is better to be loved than feared or feared than loved?

Machiavelli kemudian menanggapi pertanyaannya sendiri dengan mengatakan

..one should wish to be both, but, because it is difficult to unite them in one person, it
is much safer to be feared than loved, when, of the two, either must be dispensed with

Pernyaannya mengundang kesan sentimen yang begitu dingin dan kejam. Hal ini
dapat dipahami mengingat tulisannya dalam The Prince tidak banyak mengajarkan tentang
bagaimana menjadi dan atau mendapatkan orang yang baik. Sayangnya, orang lebih banyak
menemukan gambaran suram ini dari Machiavelli tentang sifat manusia yang tidak
menyenangkan, sebagai tokoh antagonis (Mannulang, 2019). Pemikirannya inipun bahkan
menjadi salah satu dari tiga bentuk sisi gelap kepribadian manusia (dark triad) yang disebut
Machiavellianism (Williams dan Paulhus, 2002). Machiavellianism diartikan sebagai pribadi
yang dominan, pragmatis, mempertahankan jarak emosional, dan memiliki kepercayaan
bahwa hasil dapat menjadi pembenaran atas cara yang ditempuh. Mereka dianggap sangat
agresif dan manipulatif demi kepentingan dirinya sendiri (Kowalski, 2001). Mereka tidak
merasa canggung melakukan tindakan kontraproduktif yang merugikan pihak lain
(Greenbaum, Hill, Mawritz, dan Quade, 2017).

Tholen (2016) menyatakan bahwa pandangan di atas sangat mungkin menimbulkan


salah tafsir dalam menjelaskan konsep moralitas Machiavelli. Ia menganggap bahwa tafsir
amoralitas dalam filsafat Machiavelli dapat ditolak. Ia menjelaskan bahwa, Machiavelli
sendiri tidak membuang nilai dan realitas kebajikan konvensional. Hal ini didukung Skinner
(2002) yang memandang bahwa Machiavelli sendiri mendukung tiga nilai dari empat
kebajikan utama yakni kehati-hatian, kesederhanaan, dan keberanian. Meskipun pada
akhirnya nilai-nilai konvensional bukan satu-satunya pertimbangan yang relevan, dan
terkadang harus ditinggalkan (Skinner, 2002). Perihal pandangan dua peneliti di atas sangat
terlihat jelas dalam apa yang dituliskan Machiavelli mengenai tentara bayaran yang disewa

4
oleh penguasa. Misalnya, Machiavelli merujuk pada manfaat relatif ketika menggunakan
tantara bayaran sebagaimana pernyataannya sebagai berikut :

“Mercenaries and auxiliaries are useless and dangerous; and if one holds his state
based on these arms, he will stand neither firm nor safe; for they are disunited, ambitious and
without discipline, unfaithful, valiant before friends, cowardly before enemies.they have no
other attraction or reason for keeping the field than a trifle of stipend, which is not sufficient
to make them willing to die for you.” (The Prince, 12)

Dalam perspektif ini Machiavelli menjelaskan bagaimana seharusnya majikan tidak


bergantung terlalu besar pada tentara bayaran karena mungkin tidak akan pernah
mendapatkan sisi terbaik dari model orang seperti mereka dibandingkan dengan tentara
reguler yang lebih loyal dan memiliki komitmen tinggi. Dengan demikian, organisasi yang
efektif sangat bergantung pada sumber daya manusia yang mereka miliki, apakah sebagian
besar dari mereka adalah orang baik atau sebaliknya (Kearns, 2009).

3.2. Dasar Filosofis Machiavelli Tentang Perilaku Oportunis

Dion (2016) menjelaskan bahwa Machiavelli tidak memberikan pandangan


antropologis tentang sifat manusia. Dia hanya mengamati bahwa dalam kehidupan sehari-
hari, manusia biasanya jahat dan tidak baik. Machiavelli tidak membuat perbedaan mendasar
antara kebajikan dan sifat buruk. Keadaan bisa mengubah kebajikan dalam sifat buruk, dan
sifat buruk dalam kebajikan. Machiavelli tidak peduli dengan dimensi moral kebajikan dan
sifat buruk. Dia lebih percaya bahwa pilihan tindakan yang diberikan selalu merupakan
keputusan pragmatis. Machiavelli percaya bahwa dalam urusan politik, penampilan jauh lebih
penting daripada kenyataan, karena setiap orang menilai orang dari apa yang mereka
tampaknya daripada dari apa mereka sebenarnya

Perilaku oportunis dan egois mencerminkan keyakinan bahwa manusia secara alami
berusaha memperjuangkan kepentingan mereka sendiri, karena mereka ingin bertahan hidup
dan tumbuh. Machiavelli tidak berusaha mendamaikan kepentingan diri sendiri dan kebaikan
bersama. Dia tidak mendukung kebebasan pribadi. Machiavelli hanya berfokus pada
permainan kekuatan dan cara terbaik untuk bertahan hidup secara individu dalam masyarakat
yang kacau. Ego Machiavellian bisa jauh lebih cenderung untuk melakukan tindakan yang

5
tidak etis (buruk), karena dia tidak membuat perbedaan yang jelas antara kebajikan dan sifat
buruk (Dion, 2016).

3.3. Filsafat Machiavelli dan Perubahan Sosial

Salah satu fokus dalam organisasi adalah bagaimana membawa perubahan yang
diinginkan ke dalam organisasi atau meminimalkan potensi ganggung atau kerugian yang
akan ditanggung (Beer dan Nohria, 2000). Manusia adalah unsur utama dalam organisasi,
baik yang mengarahkan maupun menjalankan strategi organisasi sesuai dengan perannya
(Robbins, 2015). Perubahan sosial menurut Machiavelli bukanlah tugas yang mudah, karena
orang yang mendapatkan keuntungan dan hak istimewa dari institusi lama bisa kehilangan
keuntungan yang mereka nikmati, ketika institusi baru akan menggantikan yang lama. Dalam
hal ini Machiavelli pernah menyatakan

“There is nothing more difficult to handle, more doubtful of success, and more dangerous to
carry through, than initiating changes in a state’s constitution. Because the innovator makes
enemies of all those who prospered under the old order; and only lukewarm support is forth
coming from those who would prosper under the new. Their support is lukewarm partly from
fear of their adversaries, who have the existing laws on their side, and partly because men
are generally incredulous, never really trusting new things unless they have tested them by
experience.” (The Prince, 6)

Tulisan Machiavelli ini memberikan sebuah isyarat mengapa sebagian besar usaha
perubahan seringkali gagal. Kondisi ini perlu menjadi perhatian semua organisasi, yang
hendak melakukan perubahan. Mereka perlu berpikir bahwa berbicara tentang perubahan,
sangat erat kaitannya dengan perilaku organisasi yang ditentukan oleh manusia yang ada di
dalamnya (Robbins dan Judge, 2015). Paragraf di atas dan pada beberapa bagian menyangkut
soal perebutan kekuasaan, Machiavelli menunjukkan betapa para sandera atau tawanan
perang (Misal, Ch.14) adalah orang orang yang tidak mempunyai pilihan (merasa terjebak)
dan tidak benar-benar dapat membuat kekacauan. Mereka cenderung menerima kondisi yang
ada dan setia pada penguasa baru (meskipun tidak sepenuh hati) apabila mereka melihat ada
sedikit keuntungan dari penguasa baru. Hal berbeda dialami oleh orang-orang yang telah
mendapatkan kenyamanan dari tatatan yang lama cenderung akan melakukan perlawanan.

6
Sementara para pembaharu, merupakan pihak-pihak yang diidamkan karena memiliki
komitmen yang kuat pada tatanan yang hendak dirubah.

Di sisi lain, terkait dengan perubahan, Machiavelli menjelaskan dalam bukunya The
Prince bahwa tentara bayaran akan tetap berada di pihak majikan, namun mereka tidak segan
meninggalkan majikannya jika mendapati hal yang menurut mereka tidak menguntungkan.
Mereka (tentara bayaran), sama sekali tidak memiliki loyalitas dan membahayakan.
Pandangan ini dinyatakan Machiavelli dalam kalimat berikut

..They are ready enough to be your soldiers whilst you do not make war,

but if war comes they take themselves off or run from the foe..(The Prince, 12)

Dengan demikian, Machiavelli berusaha memberikan pandangan bagaimana sebaiknya


organisasi mampu mengelola orang-orang di dalam organisasi dengan situasi dan kondisi
yang berbeda-beda agar mampu mengelola perubahan yang direncanakan. Mereka harus
mengisolasi orang-orang yang melakukan perlawanan, mewaspadai tentara bayaran, serta
merangkul para pembaharu (Kearns, 2009).

4.1. Analisis Empiris Perilaku Oportunis

“Itu ada detali-detail yang harus dipenuhi, apakah suatu transaksi itu bisa diakui sebagai
pendapatan, itu kriterianya, Kalau pendapatan belum dibayar secara cash ya otomatis
dianggap sebagai piutang. Jadi dua-duanya dicatat, bukan piutang misalnya 'itu kan piutang
tidak boleh diakui sebagai pendapatan' tidak begitu. Bisa dicatat bersamaan, namanya double
entry kalau ada debetnya, ada kreditnya, (Direktur Penilaian Keuangan Perusahaan Sektor
Jasa OJK, Nur Sigit Warsidi)”3

Penjelasan dari pejabat OJK permasalahan laporan keuangan GIA Tahun 2018
memberikan paradox terkait dengan perilaku manajemen di perusahaan tersebut. GIA sendiri
merupakan salah satu perusahaan BUMN dimana pengangkatan Direksi harus dilakukan
melalui fit and proper test yang mengukur dimensi integritas dan kapasitas sosio-teknis
dalam menjalankan roda organisasi berdasarkan Peraturan Menteri BUMN No.3 Tahun 2015.

3
https://money.kompas.com/read/2019/05/02/140200226/ini-kata-ojk-soal-laporan-garuda-
indonesia-yang-ditolak-komisarisnya
7
Dengan demikian, dapat diartikan bahwa hanya orang-orang yang professional dan
berintegritas yang dapat menduduki pos-pos Direksi di lingkungan Kementerian BUMN.
Faktanya, justru mereka berkomitmen melakukan kejahatan keuangan. Bahkan OJK
menyatakan bahwa GIA terindikasi melakukan earning management setelah ditemukan
pembukuan kerugian yang seharusnya Rp. 2,45 triliun menjadi untung Rp. 11,3 miliar.4
Perilaku manajemen di atas dapat dikategorikan sebagai perbuatan yang kontra-
produktif dimana tindakan yang muncul dinilai bertentangan dengan kepentingan organisasi
dan pegawai yang legal (Gonzales, Mount, dan Oh, 2014). Berdasarkan keterangan ini,
manajemen GIA telah melakukan pelanggaran atas standar akuntansi keuangan yang legal
demi mendapatkan kesan kinerja yang baik. Pada poin ini, tindakan kontra-produktif
didorong oleh motif pribadi dan bersifat illegal dengan melanggar kode etik yang mungkin
dimaksudkan untuk menguntungkan organisasi karena dianggap memajukan bisnis dengan
jalan memanipulasi laporan keuangan dan penyembunyian informasi publik (Umphress dan
Bingham, 2011). Hal ini semakin memperjelas bagaimana manajemen GIA dengan fasih
menjalankan salah satu prinsip yang diajarkan Machiavelli bahwa hasil dapat menjadi
pembenaran atas cara yang ditempuh. Mereka melakukan manipulasi yang diduga
dimaksudkan untuk kepentingan dirinya sendiri (Kowalski, 2001).
Bentuk manipulasi yang paling mungkin dalam kasus ini adalah earning management
karena terlihat sekali keuntungan GIA yang jauh dari fakta sebenarnya (menderita kerugian
yang besar). Earning management sangat mungkin dilakukan untuk menunjukkan bahwa
manajemen GIA dapat menjalankan bisnis dengan baik yang diindikasikan dari laba yang
diperoleh. Sangat mungkin tindakan ini dilakukan oleh manajemen GIA dalam rangka untuk
mendapatkan tantiem (bonus). Dalam PER-06/MBU/06/2018 yang diterbitkan oleh
Kementerian BUMN, laba merupakan salah satu unsur utama dalam menentukan tantiem
yang didapatkan oleh Dewan Direksi. Manajemen perusahaan berupaya untuk meningkatkan
pelaporan laba untuk mencapai target maksimum berupa bonus (Gaver, Gaver, Austin,1995).
Kasus manipulasi keuangan ini memperkuat pandangan Machiavelli mengenai
tindakan dan keputusan pragmatis tanpa menilai baik dan buruknya tindakan tersebut. Hal ini
dilakukan, mungkin, di bawah kesadaran bahwa penampilan jauh lebih penting daripada
kenyataan, karena setiap orang menilai orang dari apa yang mereka tampaknya daripada dari
apa mereka sebenarnya. Penyelundupan onderdil Harley Davidson dan sepeda Brompton

4
https://money.kompas.com/read/2019/07/26/183300726/kasus-laporan-keuangan-garuda-
lunasi-denda-ke-ojk
8
yang terjadi di penghujung tahun 2019 menambah keyakinan bagaimana manajemen GIA
tidak mengindahkan moral publik untuk memuaskan kepentingannya. Dalam kasus yang
terakhir ini, perilaku oportunis dan egois dengan memanfaatkan kekuasaan legal formal
sebagai Direksi dimanfaatkan untuk memperjuangkan kepentingan mereka sendiri (Dion,
2016).

4.2. Akar Amoralitas


Permasalahan GIA merupakan masalah multidimensi yang melibatkan tidak hanya level
individu, namun juga kelompok, dan tata kelola organisasi. Faktor individu menjelaskan
bagaimana perilaku yang tidak etis dan amoral disebabkan oleh karakteristik yang melekat
dalam diri individu seperti filosofi moral dan tipe kepribadian. Sebagai contoh, individu yang
memiliki karakteristik “dark triad” dicirikan dengan memiliki tingkat empati yang rendah
(psikopat), memanfaatkan peluang untuk merasionalisasi perilaku tidak etis
(machiavellianisme), dan egosentris (narsisme) cenderung melakukan pelanggaran norma dan
etika di tempat kerja (Harrison, Summers, dan Mennecke, 2016). Mereka tidak merasa malu
melakukan penipuan dan bahkan menikmatinya untuk memenuhi kepentingan dirinya sendiri
(Paulhus dan Williams, 2002). Hal ini sangat terlihat jelas dalam perilaku yang ditunjukkan
oleh manajemen GIA.
Pada level kelompok, hal yang unik dari kasus GIA ini adalah adanya kesan
kesepakatan berkelompok, secara khusus pada kasus terakhir (penyelundupan). Dalam
penyelidikan awal yang dilakukan, terdapat pihak-pihak yang mencoba untuk melindungi
kepentingan pribadi maupun kelompok (Direksi GIA) atas tindakannya yang tidak etis.5 Hal
ini sekaligus mnejadi contoh, iklim dan budaya organisasi yang buruk dalam pengambilan
keputusan etis berdampak pada buruknya praktik etika di dalam organisasi (Mayer, 2014).
Dalam perspektif ilmiah hal ini dapat dijelaskan melalui perspektif identitas sosial, dimana
anggota kelompok akan meniru contoh tidak etis dari aktor anggota kelompoknya. Bahkan
mereka juga merasionalisasi ketidakjujuran mereka karena menciptakan manfaat bagi orang
lain (Gino, Ayal, Ariely, 2013). Emosi empati antar anggota kelompok cenderung menuntun

5
https://www.suara.com/bisnis/2019/12/05/221633/terungkap-sas-pegawai-garuda-awalnya-
klaim-beli-harley-davidson-dari-ebay
9
mereka untuk melindungi sesama anggota kelompoknya yang melakukan tindakan amoral
dan tidak etis (Kogut dan Ritov, 2005).
Kemungkinan terakhir adalah konteks organisasi yang menggambarkan perilaku apa
yang dapat diterima di dalam organisasi. Sebagai contoh dalam bisnis yang memiliki tingkat
persaingan yang tinggi dan tuntutan capaian kinerja yang ambisius cenderung mempengaruhi
perilaku tidak etis yang dimaksudkan untuk mencapai target yang ditetapkan. Tindakan
indisipliner atau pelanggaran norma organisasi tidak dintindak dengan tegas selama
menguntungkan organisasi (Chen, Chen, dan Seldon, 2016). Tindakan manipulasi laporan
keuangan mungkin juga merupakan tuntutan bisnis dari stakeholder terkait.

4.3. Strategi Perubahan Sosial


Menyelesaikan permasalahan di tubuh GIA di bawah perspektif Machiavelli
bermakna memahami konteks organisasi. Tidak ada jawaban tunggal untuk memberangus
perilaku yang melanggar moral dan etika organisasi, yang paling penting adalah memahami
mengapa perilaku tersebut muncul dan bertindak dari sana. Analisis pertama yang dapat
dilakukan dapat dimulai dari peta individu yang ada di dalamnya. Menentukan pihak-pihak
mana saja yang terlibat dalam perbuatan tidak etis dan yang memiliki komitmen atas nilai-
nilai kebajikan. Karakteristik individu yang masuk dalam tipikal Machiavellianism yang
tinggi perlu diantisipasi melalui fit and proper test tidak hanya aspek rasionalitas teknis saja.
Dalam hal ini kemampuan mengelola bisnis saja tidak cukup, mereka juga harus memiliki
nilai moral yang tinggi.
Kasus GIA sendiri sepertinya cenderung lebih besar bersifat permufakatan kelompok
untuk kepentingan mereka masing-masing. Dalam hal ini, perilaku tidak etis berasal dari
faktor sosial di dalam organisasi. Pihak-pihak yang terlibat terkesan melindungi satu sama
lain yang ada di kelompoknya. Hal ini merupakan bentuk inversi moral yang mereka anggap
sebagai sesuatu yang legal. Dalam kondisi seperti ini, kita dapat mencari tahu politik
organisasi seperti apa yang mendominasi organisasi dan bagaimana jaringan kelompoknya.
Machiavelli memberikan gambaran bagaimana pihak-pihak yang merasa terancam
kehilangan keuntungan ketika tatanan yang baru datang akan bersikap seperti tawanan yang
bersiap melawan atau tentara bayaran yang hanya mementingkan urusan pribadinya
dibandingkan tujuan yang lebih besar.
Organisasi dapat melakukan perubahan dengan cara yang radikal jika diperlukan (mis.
memecat semua jejaring pelaku tindakan tidak etis). Hal yang paling sulit adalah menemukan

10
para pembaharu, karena eksistensi mereka yang mengancam tatanan yang lama membuat
mereka seringkali disingkirkan karena dianggap menganggu. Jika kemudian diduga konteks
organisasi yang menjadi pemicu, organisasi dapat mengatur kembali struktur dan mekanisme
tata kelola yang berlaku apabila dirasa tidak efektif.

5. Kesimpulan
Pelanggaran moral dan etik dalam dunia bisnis tetap akan menjadi masalah yang perlu
diperhatikan dan tentu saja tidak boleh ditoleransi. Memaafkan pelanggaran moral dan etika
hanya akan memperkuat pemahaman bahwa etika hanya prioritas kedua setelah mendapatkan
keuntungan. Keberanian untuk menantang perilaku buruk tersebut dapat membawa pada
peningkatan dampak ekonomi dan sosial bagi organisasi. Machiavelli menjelaskan
bagaimana pada prinsipnya orang tidak memperdulikan cara yang ditempuh untuk mencapai
hasil yang diinginkan. Kecenderungan oportunistik merupakan sifat dasar manusia yang
menihilkan pertimbangan baik dan buruk dalam melakukan tindakan. Oleh karenanya,
memahami bagaimana Machiavelli menjelaskan kondisi ini, memberikan sinyal bagi
organisasi untuk memperkuat tata kelolanya sebagai bentuk pencegahan risiko yang tidak
diinginkan.
.

Daftar Pustaka

Azhary. Negara Hukum Indonesia: Analisis Yuridis Normatif tentang Unsur-Unsurnya.


Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1995 dalam Mannulang, E.F.M. (2009). Nicollo
Machiavelli: Sang Bells Politik? Suatu Refleksi Dan Kritik Filosofis Terhadap Gagasan
Politik Machiavelli Dalam II Principe (Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-40 No,4)

Beer, M. dan Nohria, N. (2000). Cracking the Code of Change. Harvard Business Review

11
Chen, M., Chen, C.C. dan Sheldon, O.J. (2016) Relaxing moral reasoning to win: how
organizational identification relates to unethical pro-organizational behavior. Journal of
Applied Psychology. Vol 101, No 8. pp1082–96

Dion, M. (2016). Agency theory dan financial crime: the paradox of the opportunistic
executive, Journal of Financial Crime, Vol. 23 Iss 3 pp

Gaver, J.J Gaver, K.M; Austin J. R, 1995. Additional Evidence on Bonus Plan dan
Income Management. Journal of Accounting dan Economic,Vol.19: 3-28.

Gino , F. , Ayal, S. , dan Ariely, D. (2009) . Self-Serving Altruism? The Lure of Unethical
Actions That Benefit Others. Journal of Economic Behavior & Organization 93 : 285 – 92 .

Gonzalez-Mule, E., Mount, M.K. dan Oh, I.S. (2014). A meta-analysis of the relationship
between general mental ability dan nontask performance. Journal of Applied Psychology.
Vol 38, No 3.

Greenbaum, R.L., Hill, A., Mawritz, M.B. dan Quade, M.J. (2017). Employee
Machiavellianism to unethical behavior: the role of abusive supervision as a trait activator.
Journal of Management. Vol 43, No 2. pp585–609

Harrison, A., Summers, J. dan Mennecke, B. (2016) The effects of the dark triad on unethical
behavior. Journal of Business Ethics.

Kearns, P. (2009). HR Strategy (2nd Edition) Creating Business Strategy with Human
Capital. Butterworth-Heinemann

Kogut, T., dan Ritov, I (2005). The “Identified Victim” Effect: An Identified Group, or Just a
Single Individual?. Journal of Behavioral Decision Making 18 ( 3 ): 157 – 67

Kowalski, R. M. (Ed.). (2001). Behaving badly: Aversive behaviors in interpersonal


relationships. American Psychological Association

Lexy Maleong, Metode penelitian Kualitatif (Bdanung: PT. Remaja Rosdakarya, 1999)

Mannulang, E.F.M. (2009). Nicollo Machiavelli: Sang Bells Politik? Suatu Refleksi Dan
Kritik Filosofis Terhadap Gagasan Politik Machiavelli Dalam II Principe (Jurnal Hukum dan
Pembangunan Tahun ke-40 No,4)

12
Mayer, D.M. (2014) A review of the literature on ethical climate dan culture. In: Schneider,
B. dan Barbera, K.M. (eds) The Oxford hdanbook of organizational climate dan culture.
Oxford: Oxford University Press, p415

Nicolo Machiavelli, The Prince (1532), transl. George Bull., Penguin Classics, fourth printing
(1995)

Paulhus, D.L. dan Williams, K.M. (2002) The dark triad of personality: narcissism,
machiavellianism, dan psychopathy. Journal of Research in Personality. Vol 36. pp556–63.

Robbins, S. dan Judge, T.A. (2015). Organizational Behavior (16th Ed). Pearson Education

Skinner, Q. (2002). Visions of politics: Vol. 2. Renaissance virtues. Cambridge, UK:


Cambridge University Press

Tholen, B. (2016). Machiavelli’s Lessons for Public Administration, Administrative Theory &
Praxis, 38:2, 101-114,

Umphress, E.E. dan Bingham, J.B. (2011) When employees do bad things for good reasons:
examining unethical pro-organizational behaviors. Organization Science. Vol 22, No 3.

13

Anda mungkin juga menyukai