Makalah UAS
1
Refleksi Filsafat Machiavelli
Abstrak
Garuda Indonesia, Tbk. (GIA) di bawah masa kepemimpinan Direksi Ari Askhara
menjadi sorotan publik karena dua isu besar yang mempertontonkan perilaku manajemen
yang tidak etis sekaligus governance organisasi yang buruk. Pertama terkait dengan
keputusan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang menyatakan bahwa laporan keuangan yang
disajikan oleh GIA dinyatakan bermasalah dan ada dugaan terjadi manipulasi di dalamnya
(Kompas, 2019).1 Padahal, sebagai salah satu perusahaan milik negara yang menyandang
status go-public, penyajian laporan keuangan yang transparan merupakan hal penting bagi
para investor. Kedua adalah kasus penyelundupan onderdil Harley Davidson serta dua sepeda
Brompton yang menjadi perbincangan publik karena dilakukan oleh Ari Askhara sebagai
Direktur Utama (Kompas, 2019).2
Pihak-pihak yang terlibat dalam dua kasus GIA di atas telah mencederai harapan
publik akan kejujuran yang diharapkan dari pejabat publik. Sementara itu, dalam tradisi ilmu
1
https://kompas.id/baca/utama/2019/06/29/laporan-keuangan-garuda-bermasalah/
2
https://www.kompas.com/tren/read/2019/12/05/210224665/soal-penyelundupan-harley-dan-
brompton-di-garuda-mengapa-orang-malas-bayar?page=all.
2
administrasi, kepatuhan terhadap standar perilaku etis dan moralitas menjadi dasar dalam
memberikan layanan kepada pihak-pihak yang berkepentingan (Cooper, 2012; Perry, 2015).
Masalah ini menjadi penting untuk diangkat karena kejahatan administratif yang terjadi di
GIA menunjukkan ancaman atas nilai etik dan moralitas publik (Adams dan Balfour, 2015).
Dari sisi akademis, terdapat suatu kepentingan bagaimana mengurai potensi ancaman dari
anggota organisasi yang dapat berperilaku secara egosentris dan oportunis yang merugikan
organisasi. Dengan demikian, bahasan mengenai governance dan sistem kontrol untuk
menghindari ancaman perilaku yang disebutkan menjadi relevan.
Pijakan filosofis Machiavelli akan menjadi dasar dari penyusunan makalah ini untuk
menyoroti perilaku egosentris dan oportunitis yang terjadi di tubuh GIA. Kasus GIA secara
kasat mata menunjukkan bagaimana para pucuk pimpinan Garuda Indonesia (utamanya Ari
Askhara) memanfaatkan kekuasaan yang dia miliki untuk memenuhi kepentingan pribadinya
yang bertolak belakang dengan aturan perusahaan maupun moral publik. Gambaran ini sangat
mirip dengan apa yang dituliskan oleh Machiavelli yang mengabaikan nilai etis dan moral
untuk memperbesar dan mempertahankan kekuasaan (Azhary, 1995 dalam Manullang, 2009).
Bahkan, tidak menjadi soal jika sampai harus menyingkirkan orang-orang yang dapat
membahayakan kepentingan yang dituju (Machiavelli, 1995).
2. Metode Analisis
Metode analisis yang digunakan dalam makalah ini adalah analitis empiris dengan
mengunakan pendekatan kualitatif. Dengan demikian, makalah ini hanya menghasilkan data
deskriptif yang berupa kata-kata tertulis, atau lisan dan perilaku dari objek yang dibahas,
Data-data yang digunakan dalam makalah ini berupa kata-kata dan bukan angka. Sehingga
penulis berusaha semaksimal mungkin untuk mendeskripsikan suatu gejala peristiwa atau
masalah-masalah aktual yang dibahas dalam makalah. Analisis dilakukan dengan
menggunakan pendekatan konseptual dana analisis terhadap permasalahan yang diambil
dengan membandingkan data di lapangan dengan konsep-konsep baik dari buku, jurnal,
media, maupun sumber lainnya. Diharapkan melalui pendekatan tersebut, akan diperoleh
gambaran yang mendalam mengenai peristiwa atau fakta yang ada (Maleong, L., 1999).
3
3. Refleksi Filsafat Machiavelli
..one should wish to be both, but, because it is difficult to unite them in one person, it
is much safer to be feared than loved, when, of the two, either must be dispensed with
Pernyaannya mengundang kesan sentimen yang begitu dingin dan kejam. Hal ini
dapat dipahami mengingat tulisannya dalam The Prince tidak banyak mengajarkan tentang
bagaimana menjadi dan atau mendapatkan orang yang baik. Sayangnya, orang lebih banyak
menemukan gambaran suram ini dari Machiavelli tentang sifat manusia yang tidak
menyenangkan, sebagai tokoh antagonis (Mannulang, 2019). Pemikirannya inipun bahkan
menjadi salah satu dari tiga bentuk sisi gelap kepribadian manusia (dark triad) yang disebut
Machiavellianism (Williams dan Paulhus, 2002). Machiavellianism diartikan sebagai pribadi
yang dominan, pragmatis, mempertahankan jarak emosional, dan memiliki kepercayaan
bahwa hasil dapat menjadi pembenaran atas cara yang ditempuh. Mereka dianggap sangat
agresif dan manipulatif demi kepentingan dirinya sendiri (Kowalski, 2001). Mereka tidak
merasa canggung melakukan tindakan kontraproduktif yang merugikan pihak lain
(Greenbaum, Hill, Mawritz, dan Quade, 2017).
4
oleh penguasa. Misalnya, Machiavelli merujuk pada manfaat relatif ketika menggunakan
tantara bayaran sebagaimana pernyataannya sebagai berikut :
“Mercenaries and auxiliaries are useless and dangerous; and if one holds his state
based on these arms, he will stand neither firm nor safe; for they are disunited, ambitious and
without discipline, unfaithful, valiant before friends, cowardly before enemies.they have no
other attraction or reason for keeping the field than a trifle of stipend, which is not sufficient
to make them willing to die for you.” (The Prince, 12)
Perilaku oportunis dan egois mencerminkan keyakinan bahwa manusia secara alami
berusaha memperjuangkan kepentingan mereka sendiri, karena mereka ingin bertahan hidup
dan tumbuh. Machiavelli tidak berusaha mendamaikan kepentingan diri sendiri dan kebaikan
bersama. Dia tidak mendukung kebebasan pribadi. Machiavelli hanya berfokus pada
permainan kekuatan dan cara terbaik untuk bertahan hidup secara individu dalam masyarakat
yang kacau. Ego Machiavellian bisa jauh lebih cenderung untuk melakukan tindakan yang
5
tidak etis (buruk), karena dia tidak membuat perbedaan yang jelas antara kebajikan dan sifat
buruk (Dion, 2016).
Salah satu fokus dalam organisasi adalah bagaimana membawa perubahan yang
diinginkan ke dalam organisasi atau meminimalkan potensi ganggung atau kerugian yang
akan ditanggung (Beer dan Nohria, 2000). Manusia adalah unsur utama dalam organisasi,
baik yang mengarahkan maupun menjalankan strategi organisasi sesuai dengan perannya
(Robbins, 2015). Perubahan sosial menurut Machiavelli bukanlah tugas yang mudah, karena
orang yang mendapatkan keuntungan dan hak istimewa dari institusi lama bisa kehilangan
keuntungan yang mereka nikmati, ketika institusi baru akan menggantikan yang lama. Dalam
hal ini Machiavelli pernah menyatakan
“There is nothing more difficult to handle, more doubtful of success, and more dangerous to
carry through, than initiating changes in a state’s constitution. Because the innovator makes
enemies of all those who prospered under the old order; and only lukewarm support is forth
coming from those who would prosper under the new. Their support is lukewarm partly from
fear of their adversaries, who have the existing laws on their side, and partly because men
are generally incredulous, never really trusting new things unless they have tested them by
experience.” (The Prince, 6)
Tulisan Machiavelli ini memberikan sebuah isyarat mengapa sebagian besar usaha
perubahan seringkali gagal. Kondisi ini perlu menjadi perhatian semua organisasi, yang
hendak melakukan perubahan. Mereka perlu berpikir bahwa berbicara tentang perubahan,
sangat erat kaitannya dengan perilaku organisasi yang ditentukan oleh manusia yang ada di
dalamnya (Robbins dan Judge, 2015). Paragraf di atas dan pada beberapa bagian menyangkut
soal perebutan kekuasaan, Machiavelli menunjukkan betapa para sandera atau tawanan
perang (Misal, Ch.14) adalah orang orang yang tidak mempunyai pilihan (merasa terjebak)
dan tidak benar-benar dapat membuat kekacauan. Mereka cenderung menerima kondisi yang
ada dan setia pada penguasa baru (meskipun tidak sepenuh hati) apabila mereka melihat ada
sedikit keuntungan dari penguasa baru. Hal berbeda dialami oleh orang-orang yang telah
mendapatkan kenyamanan dari tatatan yang lama cenderung akan melakukan perlawanan.
6
Sementara para pembaharu, merupakan pihak-pihak yang diidamkan karena memiliki
komitmen yang kuat pada tatanan yang hendak dirubah.
Di sisi lain, terkait dengan perubahan, Machiavelli menjelaskan dalam bukunya The
Prince bahwa tentara bayaran akan tetap berada di pihak majikan, namun mereka tidak segan
meninggalkan majikannya jika mendapati hal yang menurut mereka tidak menguntungkan.
Mereka (tentara bayaran), sama sekali tidak memiliki loyalitas dan membahayakan.
Pandangan ini dinyatakan Machiavelli dalam kalimat berikut
..They are ready enough to be your soldiers whilst you do not make war,
but if war comes they take themselves off or run from the foe..(The Prince, 12)
“Itu ada detali-detail yang harus dipenuhi, apakah suatu transaksi itu bisa diakui sebagai
pendapatan, itu kriterianya, Kalau pendapatan belum dibayar secara cash ya otomatis
dianggap sebagai piutang. Jadi dua-duanya dicatat, bukan piutang misalnya 'itu kan piutang
tidak boleh diakui sebagai pendapatan' tidak begitu. Bisa dicatat bersamaan, namanya double
entry kalau ada debetnya, ada kreditnya, (Direktur Penilaian Keuangan Perusahaan Sektor
Jasa OJK, Nur Sigit Warsidi)”3
Penjelasan dari pejabat OJK permasalahan laporan keuangan GIA Tahun 2018
memberikan paradox terkait dengan perilaku manajemen di perusahaan tersebut. GIA sendiri
merupakan salah satu perusahaan BUMN dimana pengangkatan Direksi harus dilakukan
melalui fit and proper test yang mengukur dimensi integritas dan kapasitas sosio-teknis
dalam menjalankan roda organisasi berdasarkan Peraturan Menteri BUMN No.3 Tahun 2015.
3
https://money.kompas.com/read/2019/05/02/140200226/ini-kata-ojk-soal-laporan-garuda-
indonesia-yang-ditolak-komisarisnya
7
Dengan demikian, dapat diartikan bahwa hanya orang-orang yang professional dan
berintegritas yang dapat menduduki pos-pos Direksi di lingkungan Kementerian BUMN.
Faktanya, justru mereka berkomitmen melakukan kejahatan keuangan. Bahkan OJK
menyatakan bahwa GIA terindikasi melakukan earning management setelah ditemukan
pembukuan kerugian yang seharusnya Rp. 2,45 triliun menjadi untung Rp. 11,3 miliar.4
Perilaku manajemen di atas dapat dikategorikan sebagai perbuatan yang kontra-
produktif dimana tindakan yang muncul dinilai bertentangan dengan kepentingan organisasi
dan pegawai yang legal (Gonzales, Mount, dan Oh, 2014). Berdasarkan keterangan ini,
manajemen GIA telah melakukan pelanggaran atas standar akuntansi keuangan yang legal
demi mendapatkan kesan kinerja yang baik. Pada poin ini, tindakan kontra-produktif
didorong oleh motif pribadi dan bersifat illegal dengan melanggar kode etik yang mungkin
dimaksudkan untuk menguntungkan organisasi karena dianggap memajukan bisnis dengan
jalan memanipulasi laporan keuangan dan penyembunyian informasi publik (Umphress dan
Bingham, 2011). Hal ini semakin memperjelas bagaimana manajemen GIA dengan fasih
menjalankan salah satu prinsip yang diajarkan Machiavelli bahwa hasil dapat menjadi
pembenaran atas cara yang ditempuh. Mereka melakukan manipulasi yang diduga
dimaksudkan untuk kepentingan dirinya sendiri (Kowalski, 2001).
Bentuk manipulasi yang paling mungkin dalam kasus ini adalah earning management
karena terlihat sekali keuntungan GIA yang jauh dari fakta sebenarnya (menderita kerugian
yang besar). Earning management sangat mungkin dilakukan untuk menunjukkan bahwa
manajemen GIA dapat menjalankan bisnis dengan baik yang diindikasikan dari laba yang
diperoleh. Sangat mungkin tindakan ini dilakukan oleh manajemen GIA dalam rangka untuk
mendapatkan tantiem (bonus). Dalam PER-06/MBU/06/2018 yang diterbitkan oleh
Kementerian BUMN, laba merupakan salah satu unsur utama dalam menentukan tantiem
yang didapatkan oleh Dewan Direksi. Manajemen perusahaan berupaya untuk meningkatkan
pelaporan laba untuk mencapai target maksimum berupa bonus (Gaver, Gaver, Austin,1995).
Kasus manipulasi keuangan ini memperkuat pandangan Machiavelli mengenai
tindakan dan keputusan pragmatis tanpa menilai baik dan buruknya tindakan tersebut. Hal ini
dilakukan, mungkin, di bawah kesadaran bahwa penampilan jauh lebih penting daripada
kenyataan, karena setiap orang menilai orang dari apa yang mereka tampaknya daripada dari
apa mereka sebenarnya. Penyelundupan onderdil Harley Davidson dan sepeda Brompton
4
https://money.kompas.com/read/2019/07/26/183300726/kasus-laporan-keuangan-garuda-
lunasi-denda-ke-ojk
8
yang terjadi di penghujung tahun 2019 menambah keyakinan bagaimana manajemen GIA
tidak mengindahkan moral publik untuk memuaskan kepentingannya. Dalam kasus yang
terakhir ini, perilaku oportunis dan egois dengan memanfaatkan kekuasaan legal formal
sebagai Direksi dimanfaatkan untuk memperjuangkan kepentingan mereka sendiri (Dion,
2016).
5
https://www.suara.com/bisnis/2019/12/05/221633/terungkap-sas-pegawai-garuda-awalnya-
klaim-beli-harley-davidson-dari-ebay
9
mereka untuk melindungi sesama anggota kelompoknya yang melakukan tindakan amoral
dan tidak etis (Kogut dan Ritov, 2005).
Kemungkinan terakhir adalah konteks organisasi yang menggambarkan perilaku apa
yang dapat diterima di dalam organisasi. Sebagai contoh dalam bisnis yang memiliki tingkat
persaingan yang tinggi dan tuntutan capaian kinerja yang ambisius cenderung mempengaruhi
perilaku tidak etis yang dimaksudkan untuk mencapai target yang ditetapkan. Tindakan
indisipliner atau pelanggaran norma organisasi tidak dintindak dengan tegas selama
menguntungkan organisasi (Chen, Chen, dan Seldon, 2016). Tindakan manipulasi laporan
keuangan mungkin juga merupakan tuntutan bisnis dari stakeholder terkait.
10
para pembaharu, karena eksistensi mereka yang mengancam tatanan yang lama membuat
mereka seringkali disingkirkan karena dianggap menganggu. Jika kemudian diduga konteks
organisasi yang menjadi pemicu, organisasi dapat mengatur kembali struktur dan mekanisme
tata kelola yang berlaku apabila dirasa tidak efektif.
5. Kesimpulan
Pelanggaran moral dan etik dalam dunia bisnis tetap akan menjadi masalah yang perlu
diperhatikan dan tentu saja tidak boleh ditoleransi. Memaafkan pelanggaran moral dan etika
hanya akan memperkuat pemahaman bahwa etika hanya prioritas kedua setelah mendapatkan
keuntungan. Keberanian untuk menantang perilaku buruk tersebut dapat membawa pada
peningkatan dampak ekonomi dan sosial bagi organisasi. Machiavelli menjelaskan
bagaimana pada prinsipnya orang tidak memperdulikan cara yang ditempuh untuk mencapai
hasil yang diinginkan. Kecenderungan oportunistik merupakan sifat dasar manusia yang
menihilkan pertimbangan baik dan buruk dalam melakukan tindakan. Oleh karenanya,
memahami bagaimana Machiavelli menjelaskan kondisi ini, memberikan sinyal bagi
organisasi untuk memperkuat tata kelolanya sebagai bentuk pencegahan risiko yang tidak
diinginkan.
.
Daftar Pustaka
Beer, M. dan Nohria, N. (2000). Cracking the Code of Change. Harvard Business Review
11
Chen, M., Chen, C.C. dan Sheldon, O.J. (2016) Relaxing moral reasoning to win: how
organizational identification relates to unethical pro-organizational behavior. Journal of
Applied Psychology. Vol 101, No 8. pp1082–96
Dion, M. (2016). Agency theory dan financial crime: the paradox of the opportunistic
executive, Journal of Financial Crime, Vol. 23 Iss 3 pp
Gaver, J.J Gaver, K.M; Austin J. R, 1995. Additional Evidence on Bonus Plan dan
Income Management. Journal of Accounting dan Economic,Vol.19: 3-28.
Gino , F. , Ayal, S. , dan Ariely, D. (2009) . Self-Serving Altruism? The Lure of Unethical
Actions That Benefit Others. Journal of Economic Behavior & Organization 93 : 285 – 92 .
Gonzalez-Mule, E., Mount, M.K. dan Oh, I.S. (2014). A meta-analysis of the relationship
between general mental ability dan nontask performance. Journal of Applied Psychology.
Vol 38, No 3.
Greenbaum, R.L., Hill, A., Mawritz, M.B. dan Quade, M.J. (2017). Employee
Machiavellianism to unethical behavior: the role of abusive supervision as a trait activator.
Journal of Management. Vol 43, No 2. pp585–609
Harrison, A., Summers, J. dan Mennecke, B. (2016) The effects of the dark triad on unethical
behavior. Journal of Business Ethics.
Kearns, P. (2009). HR Strategy (2nd Edition) Creating Business Strategy with Human
Capital. Butterworth-Heinemann
Kogut, T., dan Ritov, I (2005). The “Identified Victim” Effect: An Identified Group, or Just a
Single Individual?. Journal of Behavioral Decision Making 18 ( 3 ): 157 – 67
Lexy Maleong, Metode penelitian Kualitatif (Bdanung: PT. Remaja Rosdakarya, 1999)
Mannulang, E.F.M. (2009). Nicollo Machiavelli: Sang Bells Politik? Suatu Refleksi Dan
Kritik Filosofis Terhadap Gagasan Politik Machiavelli Dalam II Principe (Jurnal Hukum dan
Pembangunan Tahun ke-40 No,4)
12
Mayer, D.M. (2014) A review of the literature on ethical climate dan culture. In: Schneider,
B. dan Barbera, K.M. (eds) The Oxford hdanbook of organizational climate dan culture.
Oxford: Oxford University Press, p415
Nicolo Machiavelli, The Prince (1532), transl. George Bull., Penguin Classics, fourth printing
(1995)
Paulhus, D.L. dan Williams, K.M. (2002) The dark triad of personality: narcissism,
machiavellianism, dan psychopathy. Journal of Research in Personality. Vol 36. pp556–63.
Robbins, S. dan Judge, T.A. (2015). Organizational Behavior (16th Ed). Pearson Education
Tholen, B. (2016). Machiavelli’s Lessons for Public Administration, Administrative Theory &
Praxis, 38:2, 101-114,
Umphress, E.E. dan Bingham, J.B. (2011) When employees do bad things for good reasons:
examining unethical pro-organizational behaviors. Organization Science. Vol 22, No 3.
13