DI SUSUN OLEH :
ANADIANAH, AM.KEP
2018
STANDAR ASUHAN KEPERAWATAN
CIDERA KEPALA
A. PENGERTIAN
Cedera kepala adalah keadaan dimana struktur lapisan otak dari lapisan
kulit kepala tulang tengkorak, duramater, pembuluh darah serta otaknya
mengalami cedera baik yang trauma tertutup maupun trauma tembus
(Satyanegara, 2010). Cedera Kepala juga dapat didefinisikan sebagai kerusakan
otak akibat perdarahan atau pembengkakan otak sebagai respon terhadap cedera
dan menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial (Smeltzer, 2000). Sehingga
dapat menimbulkan kelainan struktural dan atau gangguan fungsional jaringan
otak. (Fearnside, 1997).
B. PENYEBAB
Dari kebanyakan kasus trauma yang terjadi, kecalakaan lalu lintas adalah
penyebab terbanyak. Baik itu kecelakaan lalu lintas darat, air dan udara.
f. Benturan kepala pada benda padat yang tidak bergerak (cedera deselerasi)
a. Usia
Usia muda atau remaja dan dewasa lebih berisiko terkena cedera kepala karena
aktivitas yang dilakukannya.
b. Gaya hidup
Risiko laki-laki terkena cedera kepala lebih besar karena aktivitas laki-
laki lebih berisiko terhadap cedera kepala, seperti kecelakaan di jalanan,
kebut-kebutan, dan lain-lain.
C. KLASIFIKASI
GCS > 13
Kehilangan kesadaran atau amnesia lebih dari 30 menit tetapi kurang dari
24 jam
( keluar cairan dari telinga ) atau rinorea ( keluar cairan dari hidung ).
Memar otak lebih serius daripada geger otak, keduanya dapat diakibatkan oleh
pukulan atau benturan pada kepala. Memar otak menimbulkan memar dan
pembengkakan pada otak, dengan pembuluh darah dalam otak pecah dan
perdarahan pasien pingsan, pada keadaan berat dapat berlangsung berhari-hari
hingga berminggu-minggu. Terdapat amnesia retrograde, amnesia
pascatraumatik, dan terdapat kelainan neurologis, tergantung pada daerah yang
luka dan luasnya lesi:
c. Konfusio Serebri
Gangguan fungsi neurologik disertai kerusakan otak yang berat dengan fraktur
tengkorak, massa otak terkelupas keluar dari rongga intrakranial
(Wahjoepramono, 2005).
Sobekan pada jaringan otak karena tekanan atau fraktur dan luka tusukan.
Dapat terjadi perdarahan, hematoma dan edema cerebral. Akibat perdarahan
dapat terjadi ketidaksadaran, hemiplegi dan dilatasi pupil, cerebral laceratio
diklasifikasikan berdasarkan lokasi benturan yaitu : Coup, counter coup lesi
tidak langsung terjadi pada tempat pukulan melainkan terlihat pada bagian
belakangnya (George dkk, 2009)
Trauma ini menyebabkan fraktur pada tulang tengkorak, laserasi durameter, dan
kerusakan otak jika tulang tengkorak menusuk otak.
a. Hematoma epidural
b. Hematoma subdural
d. Hematoma intraserebral
Perdarahan dalam jaringan otak karena pecahnya arteri yang besar di dalam
jaringan otak, sebagai akibat trauma kapitis berat, kontusio berat. Gejala-gejala
yang ditemukan adalah :
Hemiplegi
Papilledema serta gejala-gejala lain dari tekanan intrakranium yang
meningkat.
Arteriografi karotius dapat memperlihatkan suatu peranjakan dari arteri
perikalosa ke sisi kontralateral serta gambaran cabang-cabang arteri
serebri media yang tidak normal.
e. Fraktura basis kranii
Hanya suatu cedera kepala yang benar-benar berat yang dapat menimbulkan
fraktur pada dasar tengkorak. Penderita biasanya masuk rumah sakit dengan
kesadaran yang menurun, bahkan tidak jarang dalam keadaan koma yang dapat
berlangsung beberapa hari. Dapat tampak amnesia retrigad dan amnesia
pascatraumatik. Gejala tergantung letak frakturnya:
Darah keluar beserta likuor serebrospinal dari hidung atau kedua mata
dikelilingi lingkaran “biru” (Brill Hematoma atau Racoon’s Eyes), rusaknya
Nervus Olfactorius sehingga terjadi hyposmia sampai anosmia.
D. MANIFESTASI KLINIK
Menurut Ginsberg (2005), gejala klinis trauma kepala adalah seperti berikut:
Tanda dan gejala cidera kepala menurut letak yang ditemukan antara lain
(Muttaqin, 2009) :
Epidural Hematoma
Terkumpulnya darah antara durameter dan jaringan otak, dapat terjadi akut
dan kronik. Terjadi akibat pecahnya pembuluh darah vena / jembatan vena yang
biasanya terdapat diantara durameter, perdarahan lambat dan sedikit. Tanda-
tanda dan gejalanya adalah :
Nyeri kepala
Bingung
Mengantuk
Menarik diri
Berfikir lambat
Kejang
Oedem pupil
Nyeri kepala
Penurunan kesadaran
Komplikasi pernapasan
Hemiplegia kontra lateral
Dilatasi pupil
Perubahan tanda-tanda vital
Perdarahan Subarachnoid
E. PATOFISIOLOGI
Karena bagian ini banyak mengandung pembuluh darah, kulit kepala berdarah
bila mengalami cedera dalam. Kulit kepala juga merupakan tempat masuknya
infeksi intrakranial. Trauma dapat menimbulkan abrasi, kontisio, laserasi atau
avulsi.
Fraktur tengkorak
Cidera otak
Komosio
Kontusio
Hemoragi cranial
Hematoma ( pengumpulan darah ) yang terjadi dalam tubuh kranial adalah
akibat paling serius dari cedera kepala. Ada 3 macam hematoma
2. hematoma subdural
hematoma subdural adalah pengumpulan darah diantara dura dan dasar otak,
yang pada keadaan normal diisi oleh cairan. Hemoragi sub dural lebih sering
terjadi pada vena dan merupakan akibat putusnya pembuluh darah kecil yang
menjembatani ruang subdural. Hematoma subdural dapat terjadi akut, sub akut
atau kronik tergantung pada ukuran pembuluh darah yang terkena dan jumlah
perdarahan yang ada. Hematoma subdural akut: dihubungkan dengan cedera
kepala mayor yang meliputi kkontusio atau laserasi. Hematoma subdural
subakut: sekrela kontusio sedikit berat dan dicurigai pada bagian yang gagal
untuk menaikkan kesadaran setelah trauma kepala. Hematoma subdural kronik:
dapat terjadi karena cedera kepala minor dan terjadi paling sering pada lansia.
Lansia cenderung mengalami cedera tipe ini karena atrofi otak, yang
diperkirakan akibat proses penuaan.
F. PENATALAKSANAAN
a. Menilai jalan nafas : bersihkan jalan nafas dari debris dan muntahan,
lepaskan gigi palsu, pertahankan tulang servikal segaris dengan badan
dengan memasang kolar servikal, pasang guedel bila dapat ditolerir, jika
cedera orofasial mengganggu jalan nafas, bila pasien harus diintubasi.
b. Menilai penafasan: tentukan apakah pasien bernafas sepontan atau tidak.
Jika tidak beri oksigen melalui masker oksigen. Jika pasien bernafas
spontan, selidiki dan atasi cedera dada berat seperti pneumotoraks,
pneumotoraks tensif, hemopneumotoraks. Pasang oksimeter nadi,jika
tersedia, dengan tujuan menjaga satutasi oksigen minimum 95%. Jika
jalan nafas pasien tidak terlindungi bahkan terancam atau memperoleh
oksigen yang adekuat ( PaO2 > 95 mmHg dan PaCO2 < 40 mmHg serta
saturasi O2 > 95 % ) atau muntah maka pasien harus diintubasi oleh ahli
anestesi.
c. Menilai sirkulasi: Otak yang rusak tidak mentolerir hipotensi. Hentikan
semua perdarahan dengan menekan arterinya. Perhatikan secara khusus
adanya cedera intraabdomen atau dada. Ukur dan catat frekuensi denyut
jantung dan tekanan darah, pasang alat pemantau dan EKG bila tersedia.
Pasang alur intravena yang besar, ambil darah vena untuk pemeriksaan
darah perifer lengkap, ureum, elektrolit, glukosa, dan analisis gas darah
arteri. Berikan larutan koloid. Sedangkan larutan kristaloid ( dekstrosa
atau dekstrosa dalam salin) menimbulkan eksaserbasi edema otak
pascacedera kepala. Keadaan hipotensi, hipoksia, dan hiperkapnia
memperburuk cedera kepala.
d. Obati kejang: kejang konvulsif dapat terjadi setelah cedera kepala dan
harus diobati. Mula-mula berikan diazepam 10 mg intravena perlahan-
lahan dan dapat diulangi sampai 3 kali bila masih kejang. Bila tidak
berhasil dapat diberikan fenitoin 15 mg/kgBB diberika intravena
perlahan-lahan dengan kecepatan tidak melebihi 50 mg/menit.
Pedoman Penatalaksanaan
a. Pada semua pasien dengan cedera kepala dan/atau leher, lakukan
foto tulang belakang servikal ( proyeksi antero-posterior, lateral,
dan odontoid ), kolar servikal baru dilepas setelah dipastikan
bahwa seluruh tulang servikal C1-C7 normal.
b. Pada semua pasien dengan cedera kepalasedang dan berat, lakukan
prosedur berikut :
Pasang jalur interavena dengan larutan salin normal ( NaCl 0,9% ) atau
larutan Ringer laktat: cairan isotonis lebih efektif mengganti volume
intravaskuler daripada cairan hipotonis, dan larutan lain tidak menambah
edema serebri.
Lakukan pemeriksaan: hematokrit, periksa darah perifer lengkap,
trombosit, kimia darah: glukosa, ureum, dan kreatinin, masa protrombin
atau masa tromboplastin parsial skrining toksikologi dan kadar alkohol
bila perlu.
Hematoma epidural
Darah dalam subaranoid dan intraventrikel
Kontusio dan perdarahan jaringan otak
Edema serebri
Obliterasi sisterna perimesensefalik
Pergeseran garis tengah
Fraktur cranium, cairan dalam sinus, dan pneumosefalus
a. Pada pasien yang koma ( skor GCS < 8 ) atau pasien dengan tanda-
tanda herniasi, lakukan tindakan sebagai berikut:
Penatalaksanaan Khusus
a. Cedera kepala ringan : pasien dengan cedera kepala ini umumnya
dapat dipulangkan kerumah tanpa perlu dilakukan pemerikasaan CT
Scan bila memenuhi kreteria berikut:
Cedera kepala berat: setelah penilaian awal dan stabilisasi tanda vital
keputusan segera pada pasien ini adalah apakah terdapat indikasi
intervensi bedah saraf segera ( hematoma intracranial yang berat ). Jika
ada indikasi, harus segera dikonsulkan ke bedah saraf untuk tindakan
operasi. Penatalaksanaan cedera kepala berat seyogyanya dilakukan
diunit rawat intensif. Walaupun sedikit sekali yang dapat dilakukan untuk
kerusakan primer akibat cedera, tetapi setidaknya dapat mengurangi
kerusakan otak sekunder akibat hipoksia, hipotensi, atau tekanan
intracranial yang meningkat.
Penilaian ulang jalan nafas dan ventilasi: umumnya, pasien dengan stupor
atau koma ( tidak dapat mengikuti perintah karena derajat kesadaran
menurun ) harus diintubasi untuk proteksi jalan nafas. Jika tidak ada bukti
tekanan intrakranial meninggi, parameter ventilasi harus diatur sampai
pCO2 40 mmHg dan pO2 90-100 mmHg.
Monitor tekanan darah: jika pasien memperlihatkan tanda ketidakstabilan
hemodinamik ( hipotensi atau hipertensi ), pemantauan paling baik
dilakukan dengan keteter arteri. Karena autoregulasi sering terganggu
pada cedera kepal akut, maka tekanan arteri rata-rata harus dipertahankan
untuk menghindarkan hipotensi ( < 70 mmHg ) hipertensi ( > 130
mmHg ). Hipotensi dapat menyebabkan iskemia otak sedangkan
hipertensi dapat mengeksaserbasi serebri.
Pemasangan alat monitor tekanan intracranial pada pasien dengan skor
GCS < 8, bila memungkinkan.
Penatalaksanaan cairan: hanya larutan isotonis ( salin normal atau Ringer
laktat ) yang diberikan kepada pasien dengan cedera kepala karena air
bebas tambahan dalam salain 0,45% atau dekstrosa 5 % dalam air (D5W)
dalam menimbulkan eksaserbasi edema serebri.
Nutrisi: cedera kepala berat menimbulkan respons hipermetabolik dan
katabolik, dengan keperluan 50-100% lebih tinggi dari normal.
Pemberian makanan enteral melalui pipa nasogastrik atau nasoduodenal
harus
G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
I. PENGKAJIAN
Pengkajian primer
a. Airway
Kaji adanya obstruksi jalan antara lain suara stridor, gelisah karena hipoksia,
penggunaan otot bantu pernafasan, sianosis
b. Breathing
Inspeksi frekuensi nafas, apakah terjadi sianosis karena luka tembus dada, fail
chest, gerakan otot pernafasan tambahan. Kaji adanya suara nafas tambahan
seperti ronchi, wheezing.
c. Sirkulasi
Kaji adanya tanda-tanda syok seperti: hipotensi, takikardi, takipnea,
hipotermi,pucat, akral dingin, kapilari refill>2 detik, penurunan produksi urin.
d. Disability
Kaji tingkat kesadaran pasien serta kondisi secara umum.
e. Eksposure
Buka semua pakaian klien untuk melihat adanya luka.
Pengkajian sekunder
a. Aktivitas/Istirahat
Gejala : Merasa lemah, lelah, kaku, hilang keseimbangan.
Tanda : Perubahan kesalahan, letargi, hemisparase, quadriplegia, ataksia
cara berjalan tak tegap, masalah dalam keseimbangan, cedera (trauma)
ortopedi, kehilangan tonus otot, otot spastik.
b. Sirkulasi
Gejala : Perubahan tekanan darah atau normal (Hipertensi), perubahan
frekuensi jantung (bradikardia, takikardia, yang diselingi dengan
bradikardia, distritmia).
c. IntegritasEgo
Gejala : Perubahan tingkah laku atau kepribadian (tenang atau dramatis).
Tanda : Cemas, mudah tersinggung, Delirium, Agitasi, bingung, depresi
dan impulsif.
d. Eliminasi
Gejala : Inkontinensia kandung kemih/usus atau mengalami gangguan
fungsi.
e. Makanan/Cairan
Gejala : Mual/muntah dan mengalami perubahan selera.
Tanda : Muntah (mungkin proyektil), gangguan menelan (batuk, air liur
keluar, dispagia), berkeringat, penurunan berat badan, penurunan massa
otot/lemak subkutan.
f. Neurosensori
Gejala : Kehilangan kesadaran sementara, Amnesia seputar kejadian,
Vertigo, Sinkope, tinnitus, kehilangan pendengaran, tingling, baal pada
ekstrimitas, perubahan pola dalam penglihatan seperti ketajamannya,
diplopia, kehilangan sebagian lapang pandang, fotofobia, gangguan
pengecapan dan penciuman
Tanda : Perubahan kesadaran bisa sampai koma, perubahan status mental,
perubahan pupil (respon terhadap cahaya simetris/deviasi pada mata,
ketidakmampuan mengikuti).
Kehilangan pengindraan seperti pengecapan, penciuman dan
pendengaran, wajah tidak simetris, genggaman lemah, tidak seimbang,
reflex tendon dalam tidak ada atau lemah, apraksia, quadriplegia, kejang,
sangat sensitif terhadap sentuhan dan gerakan, kehilangan sensasi
sebagian tubuh
g. Nyeri/kenyamanan
Gejala : Sakit kepala intensitas dan lokasi yang berbeda, biasanya lama.
Tanda : Wajah menyeringai, respon menarik pada rangsangan nyeri yang
hebat, gelisah tidak dapat beristirahat, merintih.
h. Pernafasan
Tanda : Perubahan pola nafas (apnoe yang diselingi oleh hiperventilasi),
nafas berbunyi stridor, tersedak, ronkhi, mengi positif. (kemungkinan
adanya aspirasi).
i. Keamanan
Gejala :Trauma baru/trauma karena kecelakaan.
Tanda :Fraktur/dislokasi, gangguan penglihatan.
Kulit : laserasi, abrasi, perubahan warna, seperti “raccoon eye” tanda
battle disekitar telinga (merupakan tanda adanya trauma), adanya aliran
(drainage) dari telinga/hudung (CSS), gangguan kognitif, gangguan
rentang gerak, tonus otot hilang, kekuatan secara umum mengalami
pralisis, demam dan gangguan dalam regulasi suhu tubuh.
j. InteraksiSosial
Tanda : Afasia motorik atau sensorik, berbicara tanpa arti, bicara
berulang-ulang,disartria.
k. Penyuluhan/pembelajaran
Gejala : Penggunaan alkohol atau obat lain.
Rencana pemulangan : membutuhkan bantuan pada perawatan diri,
ambulasi, transportasi, menyiapkan makan, belanja, perawatan,
pengobatan, tugas-tugas rumah tangga, perubahan tata ruang, dan
pemanfaatan fasilitas lainnya di rumah sakit.
J. DIAGNOSA KEPERAWATAN
K. RENCANA TINDAKAN
Intervensi :
2. Diagnosa : Pola nafas tidak efektif b.d kerusakan neuro muskuler (cedera
pada pusat pernafasan otak, kerusakan persepsi /kognitif
Intervensi :
intervensi :
intervensi :
Auskultasi bunyi nafas, catat adanya bunyi nafas misal krekels, mengi,
ronchi
Kaji frekuensi pernafasan
Tinggikan posisi kepala tempat tidur sesuai dengan indikasi
Lakukan penghisapan lendir bila perlu, catat warna lendir yang keluar
Kolaburasi : monitor AGD
tujuan : tidak terjadi cedera pada pasien selama kejang, agitasi atu postur
refleksif
intervensi :
Pasang pipa lambung sesuai indikasi, periksa posisi pipa lambung setiap
akan memberikan makanan
Tinggikan bagian kepala tempat tidur setinggi 30 derajat untuk mencegah
terjadinya regurgitasi dan aspirasi
Catat makanan yang masuk
Kaji cairan gaster, muntahan
Kolaburasi dengan ahli gizi dalam pemberian diet yang sesuai dengan
kondisi pasien
Laksanakan program medic
DAFTAR PUSTAKA
Arif Mansjoer dkk. (2000). Trauma Susunan Saraf dalam Kapita Selekta
Kedokteran edisi Ketiga jilid 2. Jakarta : Media Aesculapius.
SGeorge Dkk. (2009). Panduan Diagnosis dan Tata Laksana Penyakit Syaraf.
EGC : Jakarta