Anda di halaman 1dari 6

LEMBAR TUGAS MAHASISWA

Matakuliah Asas-Asas Hukum Dagang


Kelas Asas-Asas Hukum Dagang A

Oleh:
R.Muhammad Ilham Wildatama Wardhana
NPM : 1706072222
Program Sarjana Paralel

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS INDONESIA
Depok
2019
Syarat Sahnya Perjanjian Dalam Hukum Dagang
Dalam KUHPerdata disebutkan dalam Pasal 1320 BW, syarat sahnya perjanjian adalah:
1) Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
2) Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
3) Suatu hal tertentu
4) Suatu sebab yang halal

Syarat yang pertama dan kedua disebut sebagai syarat subjektif


Syarat ketiga dan keempat disebut sebagai syarat objektif.
 Terlanggarnya syarat subjektif berakibat pada dapat dibatalkannya oleh salah
satu pihak yaitu pihak yang tidak cakap atau pihak yang memberian perizinannya
secara tidak bebas.
 Terlanggarnya syarat objektif berdampak pada suatu perjanjian batal demi
hukum, yang berarti perjanjian tersebut dianggap tidka pernah ada dan tidak
tidak memiliki kekuatan hukum.

Syarat pertama adalah kesepakatan


Kesepakatan dilandasi oleh asas konsensualisme. Konsensualisme berarti perjanjian sudah
mengikat para pihak sesaat tercapainya kata sepakat dari hal-hal pokok dalam perjanjian.
Para pihak dalam memberikan persetujuannya harus dalam keadaan yang bebas. Keadaan
bebas diukur dari tidak adanya:
 Paksaan (dwang)
Paksaan terjadi ketika seseorang memberikan persetujuannya karena takut saat
dihadapkan dengan ancaman. Unsur paksaan dapat pula menjadi alasan dibatalkannya
perjanjian, apabila pihak ketiga yang tidak ada hubungannya dengan perjanjian (Pasal
1323 BW). Ancaman dianggap ada hanya apabila yang diancam adalah orang yang
berakal sehat (Pasal 1324 BW). Paksaan yang dimaksud dalam hal ini adalah paksaan
secara psikis, bukan karena paksaan fisik. Paksaan ini juga mencakup ancaman yang
diberikan kepada istri dan sanak saudara dalam garis keatas maupun kebawah (Pasal
1325 BW).
 Kekhilafan (dwaling)
Kekhilafan terjadi apabila salah satu pihak khilaf tentang sifat-sifat penting dari objek
perjanjian, ataupun mengenai dengan siapa pihak yang khilaf mengadakan perjanjian.
Kekhilafan yang dimaksud adalah yang 1.) Dapat mengubah niat seseorang dan 2.)
Pihak lawan mengetahui bahwa pihak yang khilaf melakukan kekhilafan. Kekhilafan
dapat mengenai barang dan orang.
 Penipuan (bedrog)
Penipuan dinilai ada apabila salah satu pihak secara aktif menjerumuskan pihak
lawannya dengan memberikan keterangan palsu yang disertai dengan rangkaian
kebohongan atau tipu muslihat, agar pihak lawan memberikan persetujuannya.
Contoh:
A tidak akan membeli sebidang tanah milik B jika B tidak menawarkannya kepada A – atau
bahkan jika A menawarkan kepada B tapi B menolaknya. Kesepakatan baru muncul saat
detik diterimanya suatu penawaran setelah B menerima tawaran A untuk membeli sebidang
tanah miliknya

Syarat kedua adalah syarat kecakapan


Pada prinsipnya sesuai Pasal 1329 BW, seluruh pribadi kodrati adalah cakap dalam membuat
perikatan, asalkan ia tidak tergolong dalam golongan yang dinyatakan tidak cakap. Golongan
yang dinyatakan tidak cakap adalah: (Pasal 1330 BW)
 Orang-orang yang belum dewasa
 Mereka yang dibawah pengampuan
 Perempuan yang bersuami dalam perbuatan hukum tertentu (dicabut
dengan Surat Edaran Mahkamah Agung No. 3/1963)
Berdasarkan pasal 330 KUHPerdata, seseorang dianggap dewasa jika dia telah berusia 21
tahun atau kurang dari 21 tahun tetapi telah menikah. Kemudian berdasarkan pasal 47 dan
Pasal 50 Undang-Undang No 1/1974 menyatakan bahwa kedewasaan seseorang ditentukan
bahwa anak berada di bawah kekuasaan orang tua atau wali sampai dia berusia 18 tahun.
Berkaitan dengan perempuan yang telah menikah, pasal 31 ayat (2) UU No. 1 Tahun
1974 menentukan bahwa masing-masing pihak (suami atau isteri) berhak melakukan
perbuatan hukum.
Contoh:
A seorang laki laki yang berusia 25 tahun yang tidak di bawah pengampuan melakukan suatu
perjanjian yang dilaksanakan menurut hukum.

Maka dari itu, di dalam suatu perjanjian, terhadap pribadi individu para pihak, dicantumkan
Nomor KTP, yang membuktikan kecakapan pihak untuk membuat suatu perjanjian. Apabila
pihak tersebut adalah badan hukum misal PT, maka Direktur PT sebagai orang yang
mewakili PT dalam tindakannya melakukan kepengurusan.

Syarat ketiga adalah perjanjian harus mengenai suatu hal atau objek perjanjian yang
cukup jelas
Pasal 1333 KUHPerdata menentukan bahwa suatu perjanjian harus mempunyai pokok
suatu benda (zaak)yang paling sedikit dapat ditentukan jenisnya. Suatu perjanjian harus
memiliki objek tertentu dan suatu perjanjian haruslah mengenai suatu hal tertentu (certainty
of terms), berarti bahwa apa yang diperjanjikan, yakni hak dan kewajiban kedua belah pihak.
Barang yang dimaksudkan dalam perjanjian paling sedikit dapat ditentukan jenisnya
(determinable)
Dengan syarat perihal tertentu dimaksudkan bahwa suatu kontrak haruslah berkenaan
dengan hal yang tertentu, jelas dan dibenarkan oleh hukum. Mengenai hal ini dapat kita
temukan dalam pasal 1332 ddan1333 KUH Perdata.
Pasal 1332 KUH Perdata menentukan bahwa “Hanya barang-barang yang dapat
diperdagangkan saja dapat menjadi pokok suatu perjanjian” Sedangkan pasal 1333 KUH
Perdata menentukan bahwa “Suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok suatu barang
yang paling sedikit ditentukan jenisnya. Tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah barang
tidak tentu, asal saja jumlah itu terkemudian dapat ditentukan / dihitung”.
Contoh:
A melakukan sebuah perjanjian kepada B, B sudah sepakat karena A menunjukan objek yang
diperjanjikan yaitu A ingin menjual mobil Avanza hitam yang berpelat B 1332 UAA yang
sedang berada dirumahnya .

Syarat keempat adalah perjanjian harus dilandasi oleh sebab yang halal
Syarat sahnya perjanjian yang keempat adalah adanya kausa hukum yang halal. Jika
objek dalam perjanjian itu illegal, atau bertentangan dengan kesusilaan atau ketertiban umum,
maka perjanjian tersebut menjadi batal. Sebagai contohnya, perjanjian untuk membunuh
seseorang mempunyai objek tujuan yang illegal, maka kontrak ini tidak sah.
Menurut Pasal 1335 jo 1337 KUHPerdata menyatakan bahwa suatu kausa dinyatakan
terlarang jika bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum. Suatu
kausa dinyatakan bertentangan dengan undang-undang, jika kausa di dalam perjanjian yang
bersangkutan isinya bertentangan dengan undang-undang yang berlaku. Untuk menentukan
apakah suatu kausa perjanjian bertentangan dengan kesusilaan (geode zeden)
bukanlah hal yang mudah, karena istilah kesusilaan tersebut sangat abstrak, yang isinya bisa
berbeda-beda antara daerah yang satu dan daerah yang lainnya atau antara kelompok
masyarakat yang satu dan lainnya. Selain itu penilaian orang terhadap kesusilaan dapat pula
berubah-ubah sesuai dengan perkembangan jaman.
Maksudnya adalah bahwa suatu kontrak haruslah dibuat dengan maksud / alasan yang
sesuai hukum yang berlaku. Jadi tidak boleh dibuat kontrak untuk melakukan hal-hal yang
bertentangan dengan hukum. Dan isi perjanjian tidak dilarang oleh undang-undang atau tidak
bertentangan dengan kesusilaan / ketertiban umum (Pasal 1337 KUH Perdata). Selain itu
pasal 1335 KUH Perdata juga menentukan bahwa suatu perjanjian yang dibuat tanpa sebab
atau dibuat karena suatu sebab yang palsu atau terlarang adalah tidak mempunyai kekuatan
hukum.
Sebab yang tidak halal adalah:
 Dilarang Undang Undang
 Berlawanan dengan kesusilaan
 Melanggar ketertiban umum
Contoh:
A membuat suatu perjanjian kesepakatan bersama B untuk menjalankan bisnis bersama
dimana bisnis tersebut dilaksanakan legal dan tidak bertentangan dengan Undang Undang
yang berlaku maksud diberlakukan perjanjian ini adalah untuk memperoleh keuntungan
bersama dalam menjalankan bisnis makanan yang direncanakan oleh A dan ditawarkan
kepada B
DAFTAR PUSTAKA

 http://rechthan.blogspot.com/2015/10/4-syarat-sahnya-perjanjiankontrak.html
 http://www.sindikat.co.id/blog/syarat-sahnya-perjanjian
 http://www.legalakses.com/kesepakatan-dalam-perjanjian/

Anda mungkin juga menyukai