DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 3
KELAS: C ( III)
A. Pengertian
Menurut WHO yang dituangkan dalam Global Initiative for Chronic
Obstructive Lung Disease (GOLD) tahun 2001 dan di-update tahun
2005, Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) atau penyakit paru
obstruksi kronik (PPOK) didefenisikan sebagai penyakit yang dikarakteristir
oleh adanya obstruksi saluran pernafasan yang tidak reversibel sepenuhnya.
Sumbatan aliran udara ini umunya bersifat progresif dan berkaitan dengan
responinflamasi abnormal paru-paru terhadap partikel atau gas yang berbahaya.
Beberapa rumah sakit di Indonesia ada yang menggunakan istilah PPOM
(Penyakit Paru Obstruksi Menahun) yang merujuk pada penyakit yang sama.
PPOK adalah penyakit paru kronik yang ditandai oleh hambatan aliran udara di
saluran napas yang bersifat progressif nonreversibel atau reversibel parsial.
PPOK adalah penyakit paru kronik dengan karakteristik adanya hambatan
aliran udara di saluran napas yang bersifat progresif nonreversibel atau
reversibel parsial, serta adanya respons inflamasi paru terhadap partikel atau
gas yang berbahaya (GOLD , 2009).
PPOK terdiri dari Bronchitis kronis dan emfisema atau gabungan keduanya.
Bronchitis kronis adalah kondisi dimana terjadi sekresi mucus berlebihan
kedalam cabang bronkus yang bersifat kronis dan kambuhan, disertai batuk
yang terjadi pada hampir setiap hari selama sedikitnya 3 bulan dalam setahun
untuk 2 tahun berturut-turut. Sedangkan emfisema adalah kelainan paru-paru
yang dikarakterisir oleh pembesaran rongga udara bagian distal sampai
keujung bronkiole yang abnormal dan permanent, disertai dengan kerusakan
dinding alveolus. Pasien pada umumnya mengalami kedua gangguan ini,
dengan salah satunya dominan.
B. Etiologi
Ada beberapa faktor resiko utama berkembangnya penyakit ini, yang
dibedakan menjadi faktor paparan lingkungan dan faktor host.
Beberapa faktor paparan lingkungan antara lain adalah :
a. Merokok
Merokok merupakan penyebab utama terjadinya PPOK, dengan
risiko 30 kali lebih besar pada perokok dibanding dengan bukan
perokok, dan merupakan penyebab dari 85-90% kasus PPOK. Kurang
lebih 15-20% perokok akan mengalami PPOK. Kematian akibat PPOK
terkait dengan banyaknya rokok yang dihisap, umur mulai merokok,
dan status merokok yang terakhir saat PPOK berkembang. Namun
demikian, tidak semua penderita PPOK adalah perokok. Kurang lebih
10 % orang yang tidak merokok juga mungkin menderita PPOK.
Perokok pasif (tidak merokok tetapi sering terkena asap rokok) juga
berisiko menderita PPOK.
b. Pekerjaan
Para pekerja tambang emas atau batu bara, industri gelas dan
keramik yang terpapar debu silika, atau pekerja yang terpapar debu
katun dan debu gandum, toluene diisosianat, dan asbes, mempunyai
risiko yang lebih besar daripada yang bekerja di tempat selain yang
disebutkan di atas.
c. Polusi udara
Pasien yang mempunyai disfungsi paru akan semakin memburuk
gejalanya dengan adanya polusi udara. Polusi ini bisa berasal dari luar
rumah seperti asap pabrik, asap kendaraan bermotor, dll, maupun
polusoi dari dalam rumah misalnya asap dapur.
d. Infeksi
Kolonisasi bakteri pada saluran pernafasan secara kronis
merupakan suatu pemicu inflamasi neurotofilik pada saluran nafas,
terlepas dari paparan rokok. Adanya kolonisasi bakteri menyebabkan
peningkatan kejadian inflamasi yang dapat diukur dari peningkatan
jumlah sputum, peningkatan frekuensi eksaserbasi, dan percepatan
penurunan fungsi paru, yang semua ini meningkatkan risiko kejadian
PPOK.
Sedangkan faktor risiko yang berasal dari host/pasiennya antara lain :
a. Usia
Semakin bertambah usia, semakian besar risiko menderita PPOK.
Pada pasien yang didiagnosa PPOK sebelum usia 40 tahun,
kemungkinan besar dia menderita gangguan genetik berupa defisiensi
α1-antitripsin.
b. Jenis kelamin
Laki-laki lebih berisiko terkena PPOK daripada wanita, mungkin
ini terkait dengan kebiasaan merokok pada pria. Namun ada
kecendrungan peningkatan prevalensi PPOK pada wanita karena
meningkatnya jumlah wanita yang merokok.
c. Adanya gangguan fungsi paru yang sudah terjadi
Adanya gangguan fungsi paru-paru merupakan faktor risiko
terjadinya PPOK,misalnya defisiensi Immunoglobulin A
(IgA/ hypogammaglubulin) atau infeksi pada masa kanak-kanak seperti
TBC dan bronkiektasis. Orang yang pertumbuhan parunya tidak
normal karena lahir dengan berat badan rendah, ia memiliki risiko lebih
besar untuk mengalami PPOK.
d. Predisposisi genetik, yaitu defisiensi a1-antitripsin (AAT)
Defisiensi AAT ini terutama dikaitkan dengan emfisema, yang
disebabkan oleh hilangnya elastisitas jaringan di dalam paru-paru
secara progresif karena adanya ketidakseimbangan antara enzim
proteolitik dan faktor protektif
C. Tanda & gejala
Gejala klinis yang biasa ditemukan pada penderita PPOK adalah sebagai
berikut :
1. Batuk kronik
Batuk kronik adalah batuk hilang timbul selama 3 bulan dalam 2 tahun
terakhir yang tidak hilang dengan pengobatan yang diberikan. Batuk dapat
terjadi sepanjang hari atau intermiten. Batuk kadang terjadi pada malam
hari.
2. Berdahak kronik
Hal ini disebabkan karena peningkatan produksi sputum. Kadang
kadang pasien menyatakan hanya berdahak terus menerustanpa disertai
batuk. Karakterisktik batuk dan dahak kronik ini terjadi pada pagi hari
ketika bangun tidur.
3. Sesak napas
Terutama pada saat melakukan aktivitas. Seringkali pasien sudah
mengalami adaptasi dengan sesak nafas yang bersifat progressif lambat
sehingga sesak ini tidak dikeluhkan. Anamnesis harus dilakukan dengan
teliti, gunakan ukuran sesak napas sesuai skala sesak .
Tabel skala sesak
Skala Keluhan Sesak Berkaitan dengan Aktivitas
Sesak
0 Tidak ada sesak kecuali dengan aktivitas berat
1 Sesak mulai timbul bila berjalan cepat atau naik tangga
1 tingkat
2 Berjalan lebih lambat karena merasa sesak
3 Sesak timbul bila berjalan 100 m atau setelah beberapa
menit
4 sesak bila mandi atau berpakaian
Tanda fisik pada PPOK jarang ditemukan hingga terjadi hambatan fungsi
paru yang signifikan. Pada pemeriksaan fisik seringkali tidak ditemukan
kelainan yang jelas terutama auskultasi pada PPOK ringan, karena sudah mulai
terdapat hiperinflasi alveoli. Sedangkan pada PPOK derajat sedang dan PPOK
derajat berat seringkali terlihat perubahan cara bernapas atau perubahan bentuk
anatomi toraks.
Secara umum pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan hal-hal sebagai
berikut:
1. Inspeksi, yaitu :
a. Bentuk dada: barrel chest (dada seperti tong)
b. Terdapat purse lips breathing (seperti orang meniup)
c. Terlihat penggunaan dan hipertrofi (pembesaran) otot bantu nafas
2. Palpasi , yaitu sel iga melebar
3. Perkusi , yaitu hipersonor
4. Auskultasi , yaitu :
a. Fremitus melemah
b. Suara nafas vesikuler melemah atau normal
c. Ekspirasi memanjang
d. Bunyi jantung menjauh
e. Terdapat mengi waktu bernapas biasa /ekspirasi paksa
D. Anatomi & fisiologi
1. Anatomi sistem respirasi terdiri dari:
a. Saluran nafas bagian atas
Pada bagian ini udara yang masuk ke tubuh dihangatkan, disarung
dan dilembabkan. Saluran pernafasan atas meliputi:
1) Faring
Adalah pipa berotot yang berjalan dari dasar tengkorak sampai
persambungannya dengan oesopagus pada ketinggian tulang rawan
krikoid. Maka letaknya dibelakang hidung (nasofaring) dibelakang
mulut (orofaring) dan dibelakang laring (faring-laringeal)
2) Laring
Laring (tenggorokan) terletak didepan bagian terendah faring
yang memisahkannya dari kolumna vertebra. Berjalan dari faring
sampai ketinggian vertebrae servikalis dan masuk ke dalam trakea
dibawahnya.
Laring terdiri atas kepingan tulang rawan yang diikat bersama
oleh ligamen dan membran. Yang terbesar diantaranya ialah tulang
rawan tiroid, dan disebelah depannya terdapat benjolan subkutaneas
yang dikenal sebagai jakun, yaitu disebelah depan leher. Laring
terdiri atas dua lempeng atau lamina yang bersambung di garis
tengah. Di tepi atas terdapat lekukan berupa V. Tulang rawan
krikoid terletak dibawah tiroid, berbentuk seperti cincin mohor
dengan mohor cincinnya disebelah belakang ( ini adalah tulang
rawan satu-satunya yang berbentuk lingkaran lengkap). Tulang
rawan lainnya ialah kedua tulang rawan aritenoid yang menjulang
disebelah belakang krikoid., kanan dan kiri tulang rawan kuneiform,
dan tulang rawan kornikulata yang sangat kecil.
Terkait di puncak tulang rawan tiroid terdapat epiglotis, yang
berupa katup tulang rawan dan membantu menutup laring sewaktu
menelan. Laring dilapisi jenis selaput lendir yang sama dengan yang
di trakea, kecuali pita suara dan bagian epiglotis yang dilapisi sel
epitelium berlapis.
Pita Suara terletak disebelah dalam laring, berjakan dari tulang
rawan tiroid di sebelah depan sampai dikedua tulang rawan
aritenoid. Dengan gerakan dari tulang rawan aritenoid yang
ditimbulkan oleh berbagai otot laringeal, pita suara ditegangkan atau
dikendurkan. Dengan demikian lebar sela-sela anatara pita-pita atau
rima glotis berubah-ubah sewaktu bernapas dan berbicara.
Suara dihasilkan karena getaran pita yang disebabkan udara yang
melalui glotis. Berbagai otot yang terkait pada laring mengendalikan
suara, dan juga menutup lubang atas laring sewaktu menelan.
3) Trakea
Trakea atau batang teggorokan kira-kira 9 cm panjangnya. Trakea
berjalan dari laring sampai kira-kira ketinggian vertebra torakalis
kelima dan ditempat ini bercabanf menjadi dua bronkus (bronki).
Trakea tersusun atas 16 sampai 20 lingkaran tak sempurna lengkap
berupa cincin tulang rawan yang diikat bersama oleh jaringan
fibrosa dan yang melengkapi lingkaran di sebelah belakang trakea;
selain itu juga memuat beberapa jaringan otot. Trakea dilapisi
selaput lendir yang terdiri atas epitelium bersilia dan sel cangkir.
Silia ini bergerak menuju keatas ke arah laring, maka dengan
gerakan ini debu dan butir-butir halus lainnya yang turut masuk
bersama dengan pernapasan dapat dikeluarkan. Tulang rawan
berfungsi mempertahankan agar trakea tetap terbuka; karena itu,
disebelah belakngnya tidak bersambung, yyaitu di tempat trakea
menempel pada esofagus, yang memisahkannya dari tulang
belakang.
Trakea servikalis yang berjalan melalui leher disilang oleh istmus
kelenjar tiroid, yaitu belahan kelenjar yang melingkari sisi-sisi
trakea. Trakea torasika berjalan melintasi mediastenum (lihat
gambar 5), di belakang sternum, menyentuh arteri inominata dan
arkus aorta. Usofagus terletak dibelakang trakea.
4) Kedua bronkus
Yang terbentuk dari belahan dua trakea pada ketinggian kira-kira
vertebra torakalis kelima mempunyai struktur serupa dengan trakea
dan dilapisi oleh jenis sel yang sama. Bronkus-bronkus itu berjalan
ke bawah dan kesamping ke arah tampak paru-paru. Bronkus kanan
lebih pendek dan lebih lebar dari pada yang kiri; sedikit lebih tinggi
daripada arteri pulmonalis dan mengeluarkan sebuah cabang yang
disebut bronkus lobus atas; cabang kedua timbul setelah cabang
utama lewat dibawah arteri, disebut bronkus lobus bawah.
Bronkus kiri lebih panjang dan lebih langsing daripada yang
kanan, dan berjalan dibawah arteri pulmonalis sebelum dibelah
menjadi beberapa cabang yang berjalan ke lobus atas dan bawah.
c. Alveoli
Terjadi pertukaran gas anatara O2 dan CO2
d. Sirkulasi paru
Pembuluh darah arteri menuju paru, sedangkan pembuluh darah
vena meninggalkan paru.
e. Paru, terdiri dari :
1) Saluran nafas bagian bawah
2) Alveoli
3) Sirkulasi paru
f. Rongga Pleura
Terbentuk dari dua selaput serosa, yang meluputi dinding dalam
rongga dada yang disebut pleura parietalis, dan yang meliputi paru atau
pleura veseralis
g. Rongga dan Dinding Dada
Merupakan pompa muskuloskeletal yang mengatur pertukaran gas
dalam proses respirasi. Batas-Batas yang membentuk rongga di dalam
toraks :
1) Sternum dan tulang rawan iga-iga di depan,
2) Kedua belas ruas tulang punggung beserta cakram antar ruas
( diskus intervertebralis) yang terbuat dari tulang rawan di belakang.
3) Iga-Iga beserta otot interkostal disamping
4) Diafragma di bawah
5) Dasar leher di atas,
Sebelah kanan dan kiri rongga dada terisi penuh oleh paru-paru
beserta pembungkus pleuranya. Pleura ini membungkus setiap belah,
dan memebentuk batas lateral pada mediastinum.
Mediastinum adalah ruang di dalam rongga dada diantara kedua
paru-paru. Isinya jantung dan pembuluh-pembuluh dara besar, usofagus,
duktus torasika, aorta descendens, vena kava superior, saraf vagus dan
frenikus dan sejumlah besar kelenjar limfe.
2. Fisiologi
Fungsi paru – paru ialah pertukaran gas oksigen dan karbon
dioksida.Pada pernapasan melalui paru-paru atau pernapasan eksterna,
oksigen dipungut melalui hidung dan mulut pada waktu bernapas; oksigen
masuk melalui trakea dan pipa bronkial ke alveoli, dan dapat berhubungan
erat dengan darah di dalam kapiler pulmonaris. Hanya satu lapis membran,
yaitu membran alveoli-kapiler, yang memisahkan oksigen dari darah.
Oksigen menembus membran ini dan dipungut oleh hemoglobin sel darah
merah dan dibawa ke jantung. Dari sini dipompa di dalam arteri ke semua
bagian tubuh. Darah meninggalkan paru – paru pada tekanan oksigen 100
mm Hg dan pada tingkat ini hemoglobinnya 95 persen jenuh oksigen.
Di dalam paru-paru, karbon dioksida, salah satu hasil buangan
metabolisme, menembus membran alveoler-kapiler dari kapiler darah ke
alveoli dan setelah melalui pipa bronkial dan trakea, dinapaskan keluar
melalui hidung dan mulut.
Mekanisme pernafasan diatur dan di kendalikan dua faktor utama,(a)
pengendalian oleh saraf, dan (b). Kimiawi. Beberapa faktor tertentu
merangsang pusat pernafasan yang terletak di dalam mendula oblongata,
dan kalau dirangsang, pusat itu mengeluarkan impuls yang disalurkan saraf
spinalis ke otot pernafasan yaitu otot diafragama dan otot interkostalis.
a. Pengendalaian oleh saraf
Pusat pernafasan ialah suatu pusat otomatik di dalam medula
oblongata yang mengeluarkan impuls eferen ke otot pernapasan.
Melalui beberapa radiks saraf servikalis impuls ini di antarrkan ke
diafragma oleh saraf frenikus: Dibagian yang lebih rendah pada
sumsum belakang ,impulsnya berjalan dari daerah toraks melalui
saraf interkostalis untuk merangsang otot interkostalis. Impuls ini
menimbulkan kontraksi ritmik pada otot diafragma dan interkostal
yang berkecepatan kira-kira lima belas setiap menit.
Impuls aferen yang dirangsang pemekaran gelembung udara
diantarkan saraf vagus ke pusat pernapasan di dalam medula.
b. Pengendalian secara kimiawi
Faktor kimiawi ini adalah faktor utama dalam pengendalian dan
pengaturan frekuensi, kecepatan,& kedalaman gerakan pernapasan.
Pusat pernapasan di dalam sumsum sangat peka pada reaksi: kadar
alkali daah harus dipertahankan. Karbon dioksida adalah produksi
asam dari metabolisme, dan bahan kimia yang asam ini merangsang
pusat pernapasan untuk mengirim keluar impuls saraf yang bekerja
atas otot pernapasan.
Kedua pengendalian, baik melalui saraf maupun secara kimiawi, adalah
penting. Tanpa salah satunya orang tak dapat bernapas terus. Dalam hal
paralisa otot pernapasan ( interkostal dan diafragma) digunakan ventilasi
paru-paru atau suatu alat pernapasan buatan yang lainnya untuk
melanjutkan pernapasan, sebab dada harus bergerak supaya udara dapat
dikeluarmasukkan paru-paru.
Faktor tertentu lainnya menyebabkan penambahan kecepatan dan
kedalaman pernapasan. Gerakan badan yang kuat yang memakai banyak
oksigen dalam otot untuk memberi energi yang diperlukan dalam pekerjaan
akan menimbulkan kenaikan pada jumlah karbon dioksida di dalam darah
dan akibatnya pembesan ventilasi paru-paru.
Emosi, rasa sakit,dan takut,misalnya, menyebabkan impuls yang
merangsang pusat pernapasan dan menimbulkan penghirupan udara secara
kuat-hal yang kita ketahui semua.
Impuls aferen dari kulit mengasilkan efek serupa—bila badan di celup
dalam air dingin atau menerima guyuran air dingin, penarikan pernapasan
kuat menyusul.
Pengendalian secara sadar atas gerakan pernapasan mungkin, tetapi
tidak dapat dijalankan lama karena gerakannya otomatik. Suatu usaha
untuk menahan napas dalam waktu lama akan gagal karena pertambahan
karbon dioksida yang melebihi normal di dalam darah akan menimbulkan
rasa tak enak.
E. Patofisologi
Fungsi paru mengalami kemunduran dengan datangnya usia tua yang
disebabkan elastisitas jaringan paru dan dinding dada makin berkurang. Dalam
usia yang lebih lanjut, kekuatan kontraksi otot pernapasan dapat berkurang
sehingga sulit bernapas.
Fungsi paru-paru menentukan konsumsi oksigen seseorang, yakni jumlah
oksigen yang diikat oleh darah dalam paru-paru untuk digunakan tubuh.
Konsumsi oksigen sangat erat hubungannya dengan arus darah ke paru-paru.
Berkurangnya fungsi paru-paru juga disebabkan oleh berkurangnya fungsi
sistem respirasi seperti fungsi ventilasi paru.
Faktor-faktor risiko tersebut diatas akan mendatangkan proses inflamasi
bronkus dan juga menimbulkan kerusakan apda dinding bronkiolus terminalis.
Akibat dari kerusakan akan terjadi obstruksi bronkus kecil (bronkiolus
terminalis), yang mengalami penutupan atau obstruksi awal fase ekspirasi.
Udara yang mudah masuk ke alveoli pada saat inspirasi, pada saat ekspirasi
banyak terjebak dalam alveolus dan terjadilah penumpukan udara (air
trapping). Hal inilah yang menyebabkan adanya keluhan sesak napas dengan
segala akibatnya. Adanya obstruksi pada awal ekspirasi akan menimbulkan
kesulitan ekspirasi dan menimbulkan pemanjangan fase ekspirasi. Fungsi-
fungsi paru: ventilasi, distribusi gas, difusi gas, maupun perfusi darah akan
mengalami gangguan (Brannon, et al, 1993).
F. Penatalaksanaan umum & medis
a. Penatalaksanaan umum
1. Meniadakan faktor etiologi/presipitasi, misalnya segera menghentikan
merokok, menghindari polusi udara.
2. Membersihkan sekresi bronkus dengan pertolongan berbagai cara.
3. Memberantas infeksi dengan antimikroba. Apabila tidak ada infeksi
antimikroba tidak perlu diberikan. Pemberian antimikroba harus tepat
sesuai dengan kuman penyebab infeksi yaitu sesuai hasil uji sensitivitas
atau pengobatan empirik.
4. Mengatasi bronkospasme dengan obat-obat bronkodilator. Penggunaan
kortikosteroid untuk mengatasi proses inflamasi (bronkospasme) masih
kontroversial.
5. Pengobatan simtomatik.
6. Penanganan terhadap komplikasi-komplikasi yang timbul.
7. Pengobatan oksigen, bagi yang memerlukan. Oksigen harus diberikan
dengan aliran lambat 1 - 2 liter/menit.
b. Penatalaksanaan medis
1. Pencegahan : Mencegah kebiasaan merokok, infeksi, dan polusi udara
2. Terapi eksaserbasi akut di lakukan dengan :
a) Antibiotik, karena eksaserbasi akut biasanya disertai infeksi Infeksi
ini umumnya disebabkan oleh H. Influenza dan S. Pneumonia, maka
digunakan ampisilin 4 x 0.25-0.56/hari atau eritromisin 4×0.56/hari
Augmentin (amoksilin dan asam klavulanat) dapat diberikan jika
kuman penyebab infeksinya adalah H. Influenza dan B. Cacarhalis
yang memproduksi B. Laktamase Pemberiam antibiotik seperti
kotrimaksasol, amoksisilin, atau doksisiklin pada pasien yang
mengalami eksaserbasi akut terbukti mempercepat penyembuhan dan
membantu mempercepat kenaikan peak flow rate. Namun hanya
dalam 7-10 hari selama periode eksaserbasi. Bila terdapat infeksi
sekunder atau tanda-tanda pneumonia, maka dianjurkan antibiotik
yang kuat.
b) Terapi oksigen diberikan jika terdapat kegagalan pernapasan karena
hiperkapnia dan berkurangnya sensitivitas terhadap CO2
c) Fisioterapi membantu pasien untuk mengelurakan sputum dengan
baik.
d) Bronkodilator, untuk mengatasi obstruksi jalan napas, termasuk di
dalamnya golongan adrenergik b dan anti kolinergik. Pada pasien
dapat diberikan salbutamol 5 mg dan atau ipratopium bromida 250
mg diberikan tiap 6 jam dengan nebulizer atau aminofilin 0,25 - 0,56
IV secara perlahan.
3. Terapi jangka panjang di lakukan :
a) Antibiotik untuk kemoterapi preventif jangka panjang, ampisilin
4×0,25-0,5/hari dapat menurunkan kejadian eksaserbasi akut.
b) Bronkodilator, tergantung tingkat reversibilitas obstruksi saluran
napas tiap pasien maka sebelum pemberian obat ini dibutuhkan
pemeriksaan obyektif dari fungsi faal paru.
c) Fisioterapi
4. Latihan fisik untuk meningkatkan toleransi aktivitas fisik
5. Mukolitik dan ekspektoran
6. Terapi oksigen jangka panjang bagi pasien yang mengalami gagal napas
tipe II dengan PaO2 (7,3Pa (55 MMHg)
7. Rehabilitasi, pasien cenderung menemui kesulitan bekerja, merasa
sendiri dan terisolasi, untuk itu perlu kegiatan sosialisasi agar terhindar
dari depresi.
G. Penatalaksanaan Keperawatan
A. PENGKAJIAN
Identitas
- Nama : Tn. P
- Umur : 59 tahun
- Agama : Islam
- Pekerjaan : Petani
- Pendidikan : SMP
Riwayat Penyakit
1) Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke RS dengan keluhan sesak nafas , sejak 2 hari sebelum masuk RS
pasien sesak terus menerus, dan sering batuk. Keadaan umum Compos mentis, GCS :
E4,V5,M6, suhu : 37C, T : 130/80mmHg, N : 104 x/menit, RR: 28x/menit Pernafasan
melalui : hidung + terpasang 02 kanule ( 2 liter/menit ). Trachea tidak ada pembengkokan
Cyanosis (-), dyspnea (+), batuk lendir putih, darah( )Whezeeng (+) / (+), Ronchi (+) / (+) dada
simetris. Eliminasi urin : 400-500cc/hari, warna kuning, jernih, khas amoniak. Ekstremitas
atas tangan kiri terpasang infus RL 7 Tetes/menit. Spiritual Klien mengharapkan dengan
perawatan yang diberikan bisa sembuh dan yakin dengan pertolongan Tuhan bisa sembuh,
persepsi penyakitnya sebagai cobaan dalam hidup. Tetapi pasien tidak dapat melakukan
sholat di RS. Pemeriksaan Lab AGD : - PH : 7,359 ( 7,35-7,45 ), PCO2 : 46,0 ( 35-45 ),
PO2 : 115,0 ( 80-104 ), HCO3 : 25, Sputum : BTA (-)
Therapi. Infus RL : Dex.5% 1:1/ 24 jam ( 7 tts/menit ), Aminophylin 1 amp / 24 jam, -
Tarbutalin 4x0,025 mg, Ciprofloxasin 2x500 mg, Nebulezer 4x ( Atroven : Agua ) =
1:1, Oksigen 2 liter / menit Diet TKTP
2) Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien mengatakan pernah mengalami sesak nafas sejak 5 tahun yang lalu
3) Riwayat Penyakit Keluarga
Pasien mengatakan di keluarganya tidak ada yang mengalami sakit seperti ini
C. Pemeriksaan Fisik
2. Kepala
a. Kepala : mesosephal
d. konjungtiva tidak anemis, palpebra dekstra udem dan spasme, oedem pada kornea
dekstra.
h. Leher : Tidak ada pembesaran kelenjar tiroid dan tidak ada pembengkakan pada trakhea
i. h. Ektremitas : tidak ada oedem pada kedua ekstremitas atas dan bawah.
3. Dada
a. Paru
D. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium
AGD
a) PH = 7,359 (7,35-7,45)
b) PCO2 = 46,0 (35-45)
c) PO2 = 115,0 (80-104)
d) HCO3 = 25
Sputum BTA ( - )
2. Terapi
a) Terapi infus : RL Dextro 5 % 1:1/24 jam (7 tetes/menit)
b) Terapi injeksi :
Aminiphylin 1 amp/24 jam
Tarbulatin 4x0,025mg Ciproflaxosin 2x 500 mg
c) Terapi Oksigen
Nebulizer 4x (atroven : agua) = 1:1 ,O2 2L/menit
d) Diet TKTP
E. ANALISIS DATA
NO DATA FOKUS ETIOLOGI PROBLEM
1 DS : Pasien mengatakan sesak Hiperventilasi Ketidakefektifan Pola
Nafas
nafas sejak 5 tahun yang lalu.
nafas/dispneu , tampak
Gangguan
DS : pasien mengatakan kesulitan
pertukaran gas
3 nafas Suplai Oksigen
G. INTERVENSI KEPERAWATAN
Airway Management
Setelah dilakukan tindakan
Ketidakefektifan pola 1. Posisikan pasien untuk
2 nafas bd hiperventilasi keperawatan 2x24 jam memaksimalkan ventilasi
masalah ketidakefektifan pola 2. Lakukanfisioterapi dada
nafas teratasi jika perlu
3. Keluarkan sekret dengan
Kriteria :
batuk atau suction
1. RR normal 16-24
4. Auskultasi suara nafas,
2. Adanya kesimetrisan catat adanya suara
ekspansi dada tambahan
5. Atur intake untuk cairan
3. Tidak menggunakan
Mengoptimalkan
otot nafas tambahan keseimbangan.
4. Tidak ada pernafasan 6. Monitor respirasi dan
status O2
cuping hidung saat
7. Berikanbronkodilator bila
beraktifitas
perlu (amonophilin 1
5. Tidak ada nafas amp/24 jam)
pendek
1) Kaji frekuensi kedalaman
pernafasan, catat
penggunaan otot
aksesori, nafass bibir,
ketidakmampuan bicara /
Gangguan pertukaran Setelah dilakukan tindakan
berbincang.
gas bd suplai oksigen keperawatan 2x24 jam masalah
3 2) Tinggikan kepala tempat
gangguan pertukaran gas dapat
tidur, bantu pasien untuk
teratasi
memilih posisi yang
Kriteria : mudah untuk bernafas.
3) Dorong mengeluarkan
1) Menunjukkan perbaikan
sputum : Penghisapan
ventilasi dan oksigenasi
bila diindikasikan.
2) Berpartisipasi dalam
4) Kaji / awasi secara rutin
program pengobatan
kulit dan warna membran
dalam tingkat
mukos.
kemampuan / situasi.
5) Awasi tanda vital dan
irama jantung
6) Kolaborasi : Awasi /
gambaran seri GDA dan
nadi, oksimetri
7) Berikan oksigen
tambahan yang sesuai
dengan indikasi hasil
GDA dan toleransi
H. EVALUASI KEPERAWATAN
N DX/TGL EVALUASI KET
O
1 1 S: Pasien mengatakan dada terasa sesak
12/3/09 O:
Pasien tampak lemah
Pasien tampak gelisah
Pasien tampak batuk-batuk
RR 32 X/menit
Tampak penggunaan otot-otot bantu
pernapasan
A: Tujuan belum tercapai
P: Intervensi dilanjutkan
- Membantu memposisikan pasien
dengan posisi semi fowler
- Melakukan auscultasi paru sebelum
dan sesudah klien batuk
- Membantu melakukan perawatan
mulut
- Mengobservasi warna dan
karakeristik sputum; spuitm kental
warna putih kekuning-kuningan
- Memberikan obat sesuai dengan
advis dokter
2 1
13/3/19 S: Pasien mengatakan dada terasa sesak
O:
Pasien tampak lemah
Pasien tampak gelisah
Pasien tampak batuk-batuk
RR 28 X/menit
Tampak penggunaan otot-otot bantu
pernapasan
A: Tujuan belum tercapai
P: Intervensi dilanjutkan
- Membantu memposisikan pasien
dengan posisi semi fowler
- Melakukan auscultasi paru sebelum
dan sesudah klien batuk
- Membantu melakukan perawatan
mulut
- Mengobservasi warna dan
karakeristik sputum; spuitm kental
warna putih kekuning-kuningan
- Memberikan obat sesuai dengan
advis dokter
Daftar pustaka
Caepenito Lynda Juall (1997) Buku Saku Diagnosa Keperawatan, alih bahasa:
Yasmin Asih, edisi 6, Jakarta: EGC
Ikawati, Z., 2011, Penyakit Sistem Pernapasan dan Terapinya, Bursa Ilmu,
Yogyakarta.
Long Barbara C. (1996) Perawatan medical Bedah Suatu pendekatan Proses
keperawatan, alih bahasa: Yayasan Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan
Padjajaran Bandung, Bandung.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003, Penyakit Paru Obstruktif Kronik
(PPOK) Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan Di Indonesia.
Sukandar, Ellin Yulinah. et al, 2008, ISO Farnakoterapi, PT. ISFI Penerbitan,
Jakarta.
Tjay, T.H dan Kirana, R., 2007, Obat-Obat Penting edisi Keenam, Elex Media
Komputindo, Jakarta.
https://www.scribd.com/doc/288654115/Makalah-PPOK-lengkap-doc
https://www.academia.edu/11893008/PPOK_Penyakit_Paru_Obstruksi_Kroni
k_
https://www.academia.edu/9820966/laporan_pendahuluan_PPOK
https://www.academia.edu/31575319/Anatomi_fisiologi_dan_patofisiologi_sist
em_pernapasan