Anda di halaman 1dari 11

PENATALAKSANAAN HIPONATREMIA

Jennifer Ji Young Lee, BHSc, Kajiru Kilonzo, MD, Amy Nistico, MD, dan Karen Yeates, MD

Hiponatremia, didefinisikan sebagai turunnya kadar natrium serum di bawah 136 mmol/L.
Hiponatremia merupakan kondisi yang sering terjadi pada pasien rawat inap dan rawat jalan, dan
dapat ditemukan hingga 15% dari populasi pasien yang dirawat di rumah sakit. Hiponatremia
akut (durasi <48 jam) dan penatalaksanaannya dapat menjadi penyebab morbiditas dan
mortalitas utama pada pasien yang dirawat di rumah sakit. Hiponatremia kronis (durasi >48 jam),
yang biasanya terjadi pada pasien rawat jalan yang berusia lebih tua (≥ 65 tahun), juga
berkontribusi terhadap morbiditas karena sering tidak dikenali. Biasanya, koreksi konsentrasi
natrium serum pada pasien dengan hiponatremia akut harus dilakukan dengan lebih cepat
dibandingkan pada pasien dengan hiponatremia kronis karena penurunan kadar natrium serum
dengan cepat pada periode yang singkat akan menimbulkan gejala yang lebih berat.

Menentukan penyebab hiponatremia adalah hal yang penting karena pendekatan terapi
ditentukan oleh jenis hiponatremia yang terjadi. Setelah jenis hiponatremia ditentukan, dokter
harus secara hati-hati menentukan perawatan apa yang paling efektif untuk diberikan kepada
pasien. Seringkali hal ini bersifat membingungkan dan menantang bagi dokter pelayanan primer,
begitu juga dengan dokter spesialis, karena walaupun terdapat banyak ulasan dan publikasi
mengenai terapi hiponatremia, belum ada panduan yang jelas mengenai hal ini.

Dalam ulasan ini, kami membahas literatur-literatur mengenai manajemen hiponatremia.


Terdapat berbagai pendekatan manajemen (baik farmakologis dan nonfarmakologis) dalam
praktik klinis sehari-hari. Kami akan meninjau berbagai randomized controlled trial (RCT) yang
membahas strategi pengobatan hiponatremia. Sebagian besar bukti setingkat RCT berasal dari uji
coba yang disponsori oleh industri farmasi, dan membahas tentang agen farmakologis yang
relatif baru.

Ulasan ini dilakukan secara sistematis, dan metode yang kami lakukan dijelaskan dalam Kotak 1.
Setelah menyelesaikan tinjauan ini, pembaca akan mendapatkan informasi mengenai pendekatan
klinis yang dapat diterapkan dalam praktik sehari-hari. Aplikasi klinis dari hasil tinjauan ini
dapat dilhiat pada Kotak 2.

Kotak 1: Identifikasi studi

Kami melakukan tinjauan sistematis mengenai manajemen hiponatremia melalui pencarian Ovid
Medline (1946 hingga Juni 2011), Embase (1947 hingga Juli 2011) dan database Cochrane.
Pencarian awal dilakukan untuk mengidentifikasi istilah yang relevan dengan hiponatremia,
meliputi "hyponatremia" atau "syndrome of inappropriate ADH" atau "water intoxication" atau
"Schwartz Barter syndrome." Untuk mengidentifikasi desain penelitian yang relevan, kami
melakukan pencarian terhadap istilah "randomized controlled trial" (RCT), dan pada awalnya,
kami menyertakan istilah pencarian "cohort study" dan "case-control study" untuk melihat
berapa banyak studi non-RCT yang ada dalam literatur. Pencarian dilakukan dengan bantuan
seorang pustakawan yang berspesialisasi dalam pencarian literatur. Kami memasukkan penelitian
yang ditulis dalam bahasa Inggris, yang mengikutsertakan pasien berusia 18 tahun atau lebih tua,
dan diagnosis hiponatremia ditetapkan berdasarkan status volume dan penilaian laboratorium
dengan kadar natrium serum kurang dari 135 mmol/L. Kami mengecualikan pendapat ahli,
tinjauan literatur, dan studi yang melibatkan obat yang tidak digunakan di Amerika Utara. Dua
peninjau independen (KY dan JJL) melakukan skrining kelayakan terhadap judul dan abstrak
studi berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi kami. Outcome primer adalah perubahan kadar
natrium serum. Outcome sekunder adalah kematian atau adverse reaction terhadap intervensi.
Kami sebisa mungkin mengikuti protokol Preferred Reporting Items for Systematic reviews and
Meta-Analyses (PRISMA). Dua uji coba tambahan yang diterbitkan setelah Juli 2011
ditambahkan ke dalam ulasan kami setelah pencarian awal. Metode rinci dijelaskan dalam
Lampiran 1 (tersedia di www.cmaj.ca/lookup/suppl/doi:10.1503/cmaj.120887/-/DC1). Kualitas
studi yang diidentifikasi bervariasi (Lampiran 2, tersedia di
www.cmaj.ca/lookup/suppl/doi:10.1503/cmaj.120887/-/DC1).

Kotak 2: Menerapkan hasil ulasan ini dalam praktik klinis

Pria berusia 60 tahun mengalami dispnea yang meningkat saat aktivitas. Pasien ini memiliki
riwayat penyakit arteri koroner dan gagal jantung kongestif, yang saat ini dikelola dengan
furosemide oral 120 mg/hari. Tekanan darahnya 100/60 mm Hg, tekanan vena jugularisnya 6 cm
di atas angulus sterni. Terdapat pitting edema pada tungkai bawah. Pasien juga memiliki
crackles pada basis parunya. Kadar natrium serum pasien adalah 125 mmol/L.

Pasien mengalami hiponatremia hipervolemik akibat gagal jantung kongestif dekompensata.


Konsentrasi natrium urin pasien adalah 114 mmol/L. Standar perawatan yang diberikan kepada
pasien meliputi restriksi air dan restriksi garam, meskipun intervensi ini tidak didukung oleh
dasar bukti bukti berkualitas tinggi. Pasien memerlukan terapi diuretik loop (misalnya,
furosemide) untuk mengatasi kelebihan volume cairan ekstraseluler yang pasien alami.

Bukti RCT yang dievaluasi dalam ulasan kami menunjukkan bahwa kadar natrium serum pasien
dapat diperbaiki melalui induksi aquaresis dengan penggunaan antagonis reseptor vasopressin.
Namun, manfaat jangka panjang dari intervensi ini tidak begitu jelas karena kurangnya penelitian
dengan outcome yang berfokus pada pasien. Jika intervensi ini akan dilakukan, kami
menyarankan agar intervensi ini dilakukan dalam situasi perawatan akut yang dipantau oleh
dokter yang berpengalaman dalam penggunaan antagonis reseptor vasopressin.
Bagaimana jenis hiponatremia mempengaruhi pengobatan?

Meskipun terdapat banyak pendekatan untuk manajemen hiponatremia, salah satu pendekatan
yang paling sering digunakan oleh dokter non-expert dimulai dengan penilaian status volume
cairan ekstraseluler (extracellular fluid/ECF). Karena diabetes mellitus semakin sering ditemui
pada populasi orang dewasa, dokter harus berhati-hati dalam mengesampingkan diagnosis
hiponatremia hiperosmolar yang disebabkan oleh hiperglikemia sebagai penyebab potensial
hiponatremia. Anamnesis dan pemeriksaan fisik dapat memberikan petunjuk diagnostik penting
yang akan membantu mengklasifikasikan penyebab hiponatremia (hipovolemik, euvolemik, atau
hipervolemik).

Hiponatremia hipovolemik

Hiponatremia hipovolemik terjadi pada kasus kontraksi volume (berkurangnya volume), seperti
yang terlihat dalam kasus muntah dan diare, keringat berlebih, dan penggunaan diuretik. Seorang
pasien dapat mengalami hipotensi, hipotensi postural, atau takikardia. Dalam kondisi ini, terjadi
pelepasan antidiuretic hormone (ADH), yang berfungsi meningkatkan permeabilitas ginjal
terhadap air, dan renin, yang meningkatkan retensi natrium pada ginjal. Kecurigaan terhadap
hiponatremia hipovolemik dapat dikonfirmasikan dengan konsentrasi natrium urin <20 mmol/L,
osmolalitas urin >500 mOsm/kg H20, dan volume urin yang rendah. Namun, dokter harus
menyadari bahwa pasien yang menggunakan diuretik mungkin tidak memiliki kadar natrium urin
yang rendah walaupun mengalami hipovolemia. Selain itu, kondisi hiponatremia pada pasien-
pasien ini dapat diperburuk oleh konsumsi cairan miskin zat terlarut (misalnya, air atau teh).
Pilihan pengobatan yang paling banyak diusulkan untuk pasien hiponatremia hipovolemik adalah
penggantian garam dan air melalui infus solusi natrium klorida intravena. Tinjauan yang kami
lakukan tidak menemukan uji perbandingan head-to-head dari berbagai metode atau jenis cairan
intravena untuk pengobatan hiponatremia hipovolemik. Dalam praktiknya, infus dengan saline
normal (natrium 0,9%) direkomendasikan untuk mengembalikan volume ECF dengan mengganti
garam dan air bebas.

Hiponatremia euvolemik

Hiponatremia euvolemik dibagi menjadi beberapa kelainan yang berhubungan dengan stimulasi
pelepasan ADH yang tidak sesuai, dan yang tidak berhubungan dengan hal tersebut. Untuk
menentukan apakah pasien yang mengalami hiponatremia euvolemik memiliki kelainan
kelebihan air atau kelainan karena kadar ADH yang tidak sesuai, dokter harus mengukur kadar
natrium urin dan osmolalitas urin. Jika pasien mengalami syndrome of inappropriate ADH
release (SIADH), osmolalitas urin >100 mOsm/kg H 20. Konsentrasi natrium urin biasanya >30
mmol/L. Pada gangguan asupan cairan berlebih, osmolalitas urin biasanya <100 mOsm/kg H 20.
Beer drinker potomania (konsumsi cairan miskin zat terlarut), polidipsia psikogenik (konsumsi
air dalam volume besar dalam waktu singkat), insufisiensi adrenal, dan hipotiroidisme adalah
penyebab hiponatremia euvolemik yang tidak terkait dengan pelepasan ADH yang tidak tepat.
Hiponatremia dapat diatasi dengan pengobatan kondisi-kondisi yang mendasari atau penghentian
perilaku yang berkontribusi dalam terjadinya hiponatremia.

Hiponatremia hipervolemik

Hiponatremia hipervolemik biasanya merupakan akibat dari peningkatan volume ECF, seperti
yang terlihat pada gagal jantung kongestif, sirosis, dan sindrom nefrotik. Pasien dengan kondisi
ini cenderung memiliki volume sirkulasi efektif yang rendah yang kemudian dirasakan oleh
ginjal dan menyebabkan retensi natrium dan air. Hasilnya adalah peningkatan total volume air
tubuh secara tidak proporsional dibandingkan dengan natrium tubuh, dan akan menghasilkan
gejala kelebihan volume (misalnya, edema, asites, dan dispnea). Tingkat natrium urin biasanya
<20 mmol/L, kecuali jika pasien menggunakan diuretik (yang mengarah ke natriuresis).
Perawatan pasien-pasien ini meliputi restriksi air menjadi 1-1,5 L/hari dan diet rendah garam.
Diuretik loop (misalnya, furosemide) telah disarankan untuk mempromosikan ekskresi garam
dan air melalui ginjal. Dokter spesialis kardiologi, hepatologi dan nefrologi perlu berkolaborasi
untuk memberikan manajemen yang optimal kepada pasien. Antagonis reseptor vasopressin telah
digunakan dalam uji klinis yang melibatkan pasien hipervolemik dengan hiponatremia.

Apa terapi yang saat ini direkomendasikan untuk mengatasi hiponatremia pada pasien
SIADH?

Syndrome of inappropriate ADH release adalah diagnosis klinis yang diduga pada pasien dengan
hiponatremia euvolemik yang tidak memiliki salah satu diagnosis yang disebutkan di atas (beer-
drinker potomania, polidipsia psikogenik, dan insufisiensi adrenal). SIADH memiliki banyak
penyebab, yang meliputi keganasan, patologi intrakranial, dan obat-obatan tertentu. SIADH
adalah diagnosis eksklusi dan mengimplikasikan fungsi ginjal, tiroid, dan adrenal yang normal.
Pengobatan yang diusulkan untuk SIADH meliputi penanganan kelainan yang mendasari atau
penghentian obat menyebabkan kondisi ini. Namun, reversal gangguan awal yang mendasar
tidak selalu dapat dilakukan. Dalam kasus tersebut, dan dalam kasus di mana penyebab yang
mendasari sedang dievaluasi, terapi awal yang dapat dilakukan adalah membatasi asupan cairan
hingga kurang dari 1–1,5 L/hari. Meskipun telah dilakukan restriksi cairan, beberapa pasien
SIADH membutuhkan rejimen terapi tambahan yang memiliki berbagai tingkat efikasi dan
belum semua didukung oleh bukti setingkat RCT. Obat-obatan ini termasuk demeclocycline,
diuretik loop yang dikombinasikan dengan peningkatan asupan garam, dan antagonis reseptor
vasopressin.

Demeclocycline, suatu obat golongan tetrasiklin yang menghambat efek intraseluler ADH pada
sel tubular ginjal, dapat digunakan dengan dosis 600 mg/hari. Alexander et al. melakukan uji
coba cross-over double-blind yang dikontrol plasebo yang melibatkan 9 pasien dengan gangguan
psikiatri kronis yang mengalami hiponatremia. Setelah demeclocycline diberikan selama 21 hari,
dilakukan pemeriksaan kadar natrium. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa kadar
natrium pasien dalam kelompok intervensi tidak berbeda secara statistik dengan pasien yang
mendapatkan plasebo. Kami tidak dapat menemukan studi lain yang memenuhi syarat dalam
pencarian kami.

Beberapa penulis berpendapat bahwa asupan garam yang tinggi dikombinasikan dengan
furosemide dapat digunakan untuk mengganggu respon tubulus ginjal terhadap ADH.
Furosemide dapat diberikan dalam dosis 20 mg/hari. Dokter harus berhati-hati karena pemberian
larutan natrium klorida 0,9% intravena biasanya memperburuk tingkat hiponatremia pada pasien
dengan SIADH. Hal ini disebabkan oleh hipo-osmolaritas dari saline normal (osmolalitas 308
mOsm/kg H20) dibandingkan dengan osmolalitas urin pada pasien dengan SIADH (biasanya
>450 mOsm/kg H20). Akibatnya, terjadi perpindahan cairan ke ruang intravaskular, yang
memperburuk hiponatremia.

Apa peran antagonis reseptor vasopressin dalam mengobati hiponatremia?

Antagonis reseptor vasopressin (sering disebut obat golongan "vaptan") menghambat ADH
dengan menempel pada reseptor vasopressin ginjal dan menginduksi aquaresis, sehingga
memungkinkan peningkatan konsentrasi natrium serum secara terkontrol melalui ekskresi air
bebas. Pencarian kami menemukan enam uji klinis conivaptan, enam uji coba tolvaptan, tiga uji
coba satavaptan, dan satu uji coba lixivaptan. Karakteristik masing-masing uji coba ditunjukkan
dalam Lampiran 3 (tersedia di www.cmaj.ca/lookup/suppl/doi:10.1503/cmaj.120887/-/DC1).

Antagonis reseptor vasopressin telah dipelajari dalam situasi hiponatremia hipervolemik dan
euvolemik (misalnya, SIADH). Ada beberapa RCT yang membandingkan vaptan dengan plasebo
untuk pengobatan SIADH. Sebagian besar uji coba juga melibatkan pasien dengan hipervolemia.
Hal tersebut membuat penerapannya pada pasien dengan SIADH euvolemik menjadi lebih sulit.
Satu studi tentang penggunaan vaptan yang melibatkan 34 pasien yang didiagnosis dengan
SIADH melaporkan beberapa peningkatan dalam konsentrasi natrium serum dengan pemberian
satavaptan. Saat ini, hanya tolvaptan yang telah dilisensikan di Kanada dengan indikasi
"hiponatremia non-hipovolemik yang signifikan secara klinis."

Dalam ulasan kami, kami menemukan satu RCT yang membandingkan tolvaptan dengan
restriksi cairan. Outcome primer penelitian tersebut adalah normalisasi atau peningkatan natrium
serum 10% dari baseline. Pada akhir percobaan, tolvaptan tampaknya sedikit lebih efektif
daripada restriksi cairan dalam pengobatan hiponatremia. Keterbatasan penelitian ini adalah
ukuran sampelnya yang kecil, sampel terdiri dari pasien hiponatremia euvolemik dan
hiponatremia hipervolemik, serta penggunaan natrium serum sebagai outcome (bukannya
menggunakan outcome yang lebih relevan secara klinis berdasarkan tanda atau gejala).
Berdasarkan keterbatasan ini, kegunaan tolvaptan atau vaptan lain pada pasien hiponatremia
euvolemik masih belum jelas. Tidak ada RCT mengenai perbandingan restriksi cairan dan
intervensi lain yang ditemukan.

Conivaptan

Conivaptan adalah antagonis reseptor AVP V1A/V2 yang baru. Kami mengidentifikasi enam
RCT. Annane et al. dan Ghali et al. menyelidiki efektivitas conivaptan oral; sisanya berfokus
pada penggunaan pemberian intravena pada pasien hiponatremia euvolemik atau hipervolemik.
Kedua studi conivaptan oral (menggunakan dosis mulai dari 40 mg/hari sampai 80 mg/hari)
menunjukkan efikasi yang signifikan dalam memperbaiki kadar natrium dibandingkan dengan
plasebo. Ghali et al. juga melaporkan bahwa waktu rata-rata untuk mencapai peningkatan
natrium serum 4 mmol/L atau lebih dari baseline secara signifikan lebih singkat pada kelompok
conivaptan dibandingkan pada kelompok plasebo.

Conivaptan tidak tersedia untuk digunakan di Kanada. FDA mengizinkan penggunaan loading
dose (20 mg) yang diberikan secara intravena lebih dari 30 menit diikuti dengan infus kontinu
20-40 mg/hari untuk pasien hiponatremia euvolemik atau hipervolemik yang dirawat di rumah
sakit. Verbalis et al. mengevaluasi efikasi dan tolerabilitas infus conivaptan dan menemukan
bahwa dosis 40 mg/hari dan 80 mg/hari dapat meningkatkan kadar natrium serum selama empat
hari dan secara umum dapat ditoleransi dengan baik oleh 56 pasien. Temuan serupa ditemukan
pada studi Zeltser et al. yang terdiri dari 84 pasien, yang juga menemukan bahwa perbedaan
antara dosis tidak signifikan secara statistik.

Conivaptan dianggap aman dan ditoleransi dengan baik di sebagian besar studi. Efek samping
yang paling umum dilaporkan dengan pemberian intravena adalah reaksi di tempat infus, seperti
eritema dan nyeri. Dosis conivaptan yang lebih tinggi akan menimbulkan reaksi efek samping
yang lebih tinggi.

Tolvaptan

Tolvaptan adalah satu-satunya vaptan yang tersedia di Kanada dan merupakan antagonis oral
selektif dari reseptor V2, yang menyebabkan peningkatan urin encer secara dose-dependent.
Kami mengidentifikasi enam RCT dalam ulasan kami. Tolvaptan telah digunakan untuk
hiponatremia euvolemik dan hipervolemik. Dua RCT, terkontrol plasebo, double-blind fase tiga
(SALT-1 dan SALT-2; n = 448) menunjukkan efektivitas tolvaptan oral dibandingkan dengan
plasebo dalam meningkatkan konsentrasi natrium serum dalam 30 hari terapi pada pasien dengan
gagal jantung kongestif, sirosis atau SIADH. Percobaan menemukan bahwa pasien yang berada
dalam kelompok tolvaptan (dosis berkisar dari 15 mg/hari sampai 60 mg/hari) memiliki
konsentrasi natrium serum yang secara signifikan lebih tinggi daripada pasien yang berada dalam
kelompok plasebo sejak saat perawatan pertama hingga perawatan terakhir, dan kadar natrium
serum normal dicapai dengan lebih cepat. Setelah menghentikan obat, tidak ada perbedaan
statistik dalam penurunan kadar natrium serum antara kedua kelompok. Verbalis et al. dan
Cárdenas et al. menganalisis masing-masing sub kelompok SIADH dan sirosis, dalam uji coba
SALT dan menemukan hasil yang sama. Sebuah studi open label lanjutan, empat tahun dari
percobaan SALT, yang dikenal sebagai SALTWATER, menemukan bahwa peningkatan kadar
natrium serum dipertahankan selama periode waktu yang lebih lama. Josiassen et al. berfokus
secara khusus pada hiponatremia idiopatik pada pasien skizofrenia dan melaporkan temuan
serupa. Gheorghiade et al. menunjukkan dalam studinya (n = 28) menunjukkan bahwa tolvaptan
lebih unggul daripada restriksi cairan dalam koreksi kadar natrium serum setelah 27 hari
pengobatan dan selama 65 hari tindak lanjut.

Tolvaptan juga dianggap aman dan ditoleransi dengan baik dalam berbagai penelitian. Adverse
event meliputi rasa haus atau mulut kering, kontraksi volume ECF, hipotensi, infeksi saluran
kemih, hiperglikemia, hiperkalemia, pusing, dan sakit kepala. Hanya 4% peserta dalam uji coba
SALT yang keluar dari penelitian karena mengalami efek samping, dan terdapat jumlah
kematian yang serupa pada kelompok plasebo dan kelompok intervensi.

Satavaptan

Satavaptan adalah antagonis reseptor V2 oral yang sangat selektif. Satavaptan telah dipelajari
pada pasien SIADH, pasien sirosis dengan asites, dan yang terbaru pada pasien gagal jantung
kongestif. Semua penelitian melaporkan efek menguntungkan pada tingkat natrium serum.
Soupart et al. menilai efektivitas satavaptan jangka pendek dan jangka panjang pada pasien
SIADH, dan menemukan bahwa terdapat peningkatan kadar natrium yang signifikan
dibandingkan dengan kelompok plasebo. Peningkatan kadar natrium ini bertahan selama 12
bulan pengobatan. Penelitian Ginès et al. melibatkan 110 pasien sirosis yang mengalami asites;
mereka melaporkan bahwa satavaptan secara signifikan meningkatkan kontrol asites,
mengurangi lingkar perut, dan meningkatkan kadar natrium. Aronson et al. menemukan bahwa
dosis satavaptan 50 mg memiliki tingkat respons yang secara signifikan lebih tinggi
dibandingkan dengan plasebo. Dosis 25 mg tidak memiliki efek klinis yang signifikan, walaupun
pada pasien dengan gagal jantung kongestif, pemberian satavaptan pada dosis ini tampaknya
menghasilkan beberapa efek.

Adverse event yang dilaporkan meliputi kehausan, fibrilasi atrium, interval QTc yang
berkepanjangan, hipotensi, hipertensi, dan pireksia. Lebih banyak efek samping dilaporkan pada
dosis yang lebih tinggi.

Lixivaptan

Satu studi menilai efikasi dan keamanan lixivaptan, suatu antagonis reseptor vasopressin V2 oral
selektif, pada pasien dengan sirosis dan hiponatremia hipervolemik. Gerbes et al. menemukan
bahwa lixivaptan terkait dengan respons dose-dependent (100 mg/hari vs 200 mg/hari) dalam
normalisasi kadar natrium serum. Efek samping yang dilaporkan meliputi kehausan, dehidrasi,
dan gangguan ginjal (peningkatan kreatinin serum> 200 umol/L).

Sebuah uji klinis besar yang dikenal sebagai studi THE BALANCE baru-baru ini dilakukan.
Studi ini melibatkan 650 pasien yang dirawat di rumah sakit dengan gagal jantung dan
hiponatremia. Hanya desain uji klinis yang dipresentasikan, sedangkan hasilnya belum.

Kapan dokter harus memberikan saline hipertonik?

Setiap pasien yang mengalami gejala neurologis atau kejang akibat hiponatremia membutuhkan
koreksi kadar natrium serum dengan segera, terlepas dari tingkat penurunan kadar natrium.
Koreksi dilakukan dengan menggunakan natrium klorida hipertonik intravena, biasanya pada
konsentrasi 3%, 1-2 mL/kg/jam dan dipantau secara ketat. Penyebab hiponatremia harus
ditentukan dari anamnesis dan pemeriksaan fisik. Pasien harus dikelola berdasarkan status
volume.

Kami menemukan satu RCT awal yang membandingkan pemberian salin hipertonik (3%) oral
dan intravena pada pelari ultramarathon dengan hiponatremia asimptomatik yang berhubungan
dengan olahraga. Penelitian ini menemukan bahwa pemberian intravena segera dari 100 mL
bolus saline 3% terkait dengan normalisasi konsentrasi natrium serum, sedangkan efek serupa
tidak ditemukan pada pemberian dosis yang sama secara oral.

Apa peran terapi lain yang jarang diberikan seperti hidrokortison, demeclocycline, dan
desmopresin asetat pada hiponatremia?

Kami mengidentifikasi satu RCT yang membandingkan hidrokortison dengan plasebo.


Hiponatremia akibat natriuresis berlebihan sering terjadi pada pasien dengan perdarahan
subaraknoid. Hidrokortison terbukti meningkatkan retensi natrium dalam ginjal. Katayama et al.
secara acak membagi 71 pasien perdarahan subaraknoid ke dalam kelompok plasebo atau
kelompok yang diberikan hidrokortison 1.200 mg/hari selama 10 hari. Outcome primer dalam
penelitian ini adalah pencegahan hiponatremia. Hidrokortison terbukti menjaga kadar natrium
serum selama 14 hari dan mencegah sekresi natrium berlebih. Namun, hidrokortison tidak secara
signifikan mengurangi kejadian vasospasme otak simtomatik. Hidrokortison juga tidak
meningkatkan outcome keseluruhan. Mengingat kurangnya peningkatan dalam outcome
keseluruhan dan sifat spesifik penggunaan hidrokortison dalam penelitian ini (pasien dengan
perdarahan subaraknoid), kami tidak dapat merekomendasikan penggunaan hidrokortison pada
populasi umum pasien yang mengalami hiponatremia.

Seperti yang telah dibahas sebelumnya, pencarian kami menghasilkan satu RCT yang
membandingkan demeclocycline dengan plasebo pada sembilan pasien skizofrenia yang
mengalami hiponatremia dan polidipsia intermiten. Efek dari demeclocycline tidak signifikan
dalam semua analisis. Selain itu, tidak ada perbedaan yang signifikan dalam jumlah episode
kadar natrium serum kurang dari 125mmol/L selama periode pengobatan dibandingkan plasebo.
Mengingat bahwa penelitian ini relatif kecil dan bahwa hasil penelitian tidak menunjukkan
adanya manfaat yang signifikan dibandingkan dengan plasebo, kami tidak merekomendasikan
penggunaan obat ini.

Pencarian kami tidak menemukan RCT mengenai terapi desmopresin asetat dalam pengobatan
hiponatremia. Karena kurangnya penggunaan desmopressin dan tidak adanya bukti observasi
yang dipublikasikan, kami tidak dapat merekomendasikan bahwa desmopresin asetat aman untuk
digunakan dalam pengobatan hiponatremia.

Apa aturan yang diterima untuk koreksi natrium?

Hiponatremia dapat berkembang secara akut atau kronis dari minggu ke bulan. Koreksi
konsentrasi natrium yang cepat (terutama pada kasus kronis) dapat menyebabkan sindrom
demielinasi osmotik, cedera otak, dan kematian. Oleh karena itu, koreksi natrium serum dengan
salin normal atau melalui pemberian antagonis reseptor vasopressin tidak boleh dilakukan lebih
dari 0,5 mmol/jam, atau lebih dari 12 mmol/hari. Pasien harus selalu dalam pemantauan.
Penggunaan antagonis reseptor vasopressin mungkin tidak banyak diketahui oleh banyak dokter,
dan pertimbangan penundaan pemberian antagonis reseptor vasopressin harus dilakukan oleh
dokter spesialis yang berpengalaman. Jika pasien memiliki gejala hiponatremia yang serius
(misalnya kejang), maka koreksi yang lebih cepat melalui pemberian saline hipertonik mungkin
diperlukan untuk mencegah edema serebral.

Kesenjangan dalam pengetahuan

Tinjauan sistematis kami menyoroti kurangnya bukti setingkat RCT untuk manajemen
hiponatremia. Banyaknya RCT yang mengevaluasi antagonis reseptor vasopressin hanya
berfungsi untuk menekankan kurangnya studi yang kuat untuk mengevaluasi semua jenis
manajemen lain yang saat ini dianggap sebagai standar perawatan untuk pasien dengan
hiponatremia. Terdapat risiko bias publikasi yang cukup besar dalam bukti untuk pengobatan
hiponatremia karena sejumlah besar RCT yang disponsori industri farmasi mengevaluasi
antagonis reseptor vasopressin, serta kurangnya RCT lain untuk mengevaluasi intervensi lain.

Terlepas dari risiko bias publikasi, secara historis ada "standar perawatan" atau "konsensus"
tentang pengelolaan hiponatremia meskipun tidak ada basis bukti yang kuat. Selain itu, harus
ditekankan bahwa semua RCT yang membandingkan antagonis reseptor vasopressin dengan
plasebo (atau restriksi cairan) semuanya menggunakan titik akhir pengganti dari perubahan
konsentrasi natrium serum, dan tidak ada yang memiliki hasil primer yang berfokus pada pasien.
Sulit bagi kita untuk mengevaluasi apa signifikansi klinis dari perubahan natrium serum 2-5
mmol/L (seperti yang dilaporkan dalam banyak studi antagonis reseptor vasopressin). Saat ini,
bukti dari uji klinis untuk antagonis reseptor vasopressin menunjukkan bahwa obat ini aman
untuk diberikan, serta memiliki sedikit efek samping; Namun, kurangnya hasil yang berfokus
pada pasien menunjukkan bahwa obat ini belum dapat digunakan secara luas sampai bukti yang
lebih meyakinkan dapat menunjukkan efikasi dalam meningkatkan outcome. Selain itu, biaya
terkait penggunaan antagonis reseptor vasopressin (dibandingkan dengan terapi standar saat ini)
juga dapat dilihat sebagai penghalang potensial untuk penyerapan intervensi ini. Selain itu, harus
ditekankan bahwa tidak ada penelitian yang menunjukkan bahwa antagonis reseptor vasopressin
secara signifikan dapat mengurangi angka kematian.

Poin-poin penting

 Hiponatremia sering terjadi dan sulit untuk ditangani.


 Evaluasi status cairan pasien penting dalam menentukan jenis hiponatremia, yang akan
mengarahkan jenis manajemen yang diperlukan.
 Terdapat sedikit bukti mengenai berbagai intervensi yang biasa digunakan untuk
mengobati hiponatremia.
 Bukti dari berbagai RCT sebagian besar berpusat pada studi antagonis reseptor
vasopressin dengan ukuran outcome pengganti.
 Koreksi hiponatremia dengan cepat sangat berbahaya pada kasus hiponatremia kronis.
Koreksi hiponatremia harus dilakukan pada situasi yang memudahkan pasien untuk selalu
dipantau, dengan observasi ketat dari kadar natrium serum.

Anda mungkin juga menyukai