Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH AKIDAH AKHLAK

TENTANG MAQAMAT DALAM TASAWUF


“WARA”

Guru Pengajar:
Bapak Muhammad Yunus, M. Pd. I

Disusun oleh:
Achmad Fadillah
Alya Dhea Assyahla
Maulidina Nur Izzatil Hasanah
Nur Baiti Jannah
Siti Nurhaliza (K)

KEMENTERIAN AGAMA
MADRASAH ALIYAH NEGERI 3 BANJARMASIN
SEMESTER GENAP TAHUN PELAJARAN 2019 - 2020
KATA PENGANTAR

َ
‫ِمۡسِب ٱّلله ٱ َلرنَٰمۡح ٱ َلرحهي هم‬

Alhamdulillah, puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Allah Swt. Shalawat dan
salam semoga tercurah kepada junjungan kita Nabi Muhammad Saw., beserta keluarga,
sahabat dan pengikut beliau hingga akhir zaman.
Pada kesempatan ini, penulis bersyukur kepada Allah Swt., sehingga penulis dapat
menyelesaikan tugas makalah ini. Penulisan makalah ini untuk memberikan kemudahan
dalam proses belajar terutama pada mata pelajaran “Akidah Akhlak”, berkaitan dengan sifat
“Wara”.
Penulis berharap semoga makalah ini dapat memenuhi harapan dari Bapak
Muhammad Yunus, M. Pd. I, karena mungkin masih banyak kekurangan, baik itu dari segi
penulisan atau penggunaan kata-kata. Tentunya, penulis nantikan kritik dan saran yang
membangun dari para pembaca agar dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan demi
kesempurnaan makalah ini.
Demikianlah, salah dan khilaf, penulis mohon maaf. Semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi kita semua. Aamiin.

Banjarmasin, 28 Januari 2020


Penulis,

.....................................

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ................................................................................................................. i


Daftar Isi ........................................................................................................................... ii
BAB I: PENDAHULUAN ................................................................................................ 1
A. Latar Belakang ................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .............................................................................................. 1
C. Tujuan Penulisan ................................................................................................ 1
BAB II: PEMBAHASAN ................................................................................................. 3
A. Pengertian Wara’ ................................................................................................ 3
B. Dalil Tentang Wara’ ........................................................................................... 3
C. Tingkatan Wara’ ................................................................................................. 4
D. Ciri-Ciri Orang yang Bersikap Wara’ ................................................................ 5
E. Contoh Sikap Wara’ ........................................................................................... 6
F. Manfaat Wara’ .................................................................................................... 6
BAB III: PENUTUP ......................................................................................................... 7
A. Kesimpulan......................................................................................................... 7
B. Saran ................................................................................................................... 7
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................ 8

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam dunia sufi, tentu erat kaitannya dengan tasawuf, yang mana tasawuf merupakan
satu cabang keilmuan dalam Islam, atau secara keilmuan ia adalah hasil kebudayaan Islam
yang lahir kemudian setelah Rasulullah SAW meninggal dunia.
Sebagaimana bahwa tasawuf adalah bagian dari syari’at islam, maka sudah tentu
semua hal yang berkaitan dengan perilaku sufistik didasarkan kepada al-Qur’an, al-Hadis dan
perilaku sahabat Nabi SAW, baik yang menyangkut tingkatan (maqam) maupun keadaan jiwa
(hal).
Berbicara mengenai tasawuf tidak bisa terlepas dari istilah maqamat. Maqamat
merupakan sarana spiritual seseorang dalam berkomunikasi dengan Tuhan. Maqamat
merupakan cara untuk mencapai tujuan ideal para sufi melalui proses purifikasi jiwa terhadap
kecenderungan materi agar kembali pada cahaya Tuhan.
Dalam salah satu maqamat tasawuf terdapat istilah wara’. Wara ialah meninggalkan
segala sesuatu yang belum jelas hukumnya (subhat), sedangkan dalam tradisi sufi wara
berarti meninggalkan segala hal yang berlebihan, baik berwujud benda maupun perilaku.
Lebih dari itu juga meninggalkan segala hal yang tidak bermanfaat, atau tidak jelas
manfaatnya.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Wara’?
2. Apa dalil tentang Wara’?
3. Apa saja tingkatan Wara’?
4. Bagaimanakah ciri-ciri orang yang bersikap Wara’?
5. Apa saja contoh sikap Wara’?
6. Apa saja manfaat Wara’?

C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui apa yang dimaksud dengan Wara’.
2. Mengetahui dalil tentang Wara’.
3. Mengetahui tingkatan Wara’.

1
4. Mengetahui ciri-ciri orang yang bersikap Wara’.
5. Mengetahui contoh sikap Wara’.
6. Mengetahui manfaat Wara’.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Wara’
Wara’ berarti shalih, menjauhkan diri dari perbuatan dosa atau menjauhi hal-hal yang
tidak baik. Dalam pengertian sufi, wara’ adalah meninggalkan segala yang di dalamnya
terdapat keragu-raguan antara halal dan haram (syubhat). Hal ini berlaku pada segala hal atau
aktifitas kehidupan manusia, baik yang berupa benda maupun perilaku seperti makanan,
minuman, pakaian, pembicaraan, perjalanan, duduk, berdiri, bersantai bekerja dan lain-lain.
Disamping meninggalkan segala sesuatu yang belum jelas hukumnya, dalam tradisi sufi
wara’ juga berarti meninggalkan segala sesuatu yang berlebihan, baik berwujud benda
maupun perilaku. Lebih dari itu meningglkan segala segala sesuatu yang tidak bermanfaat,
atau tidak jelas manfaatnya.
Seorang sufi yang wara’ akan senantiasa menjaga kesucian baik jasmani maupun
rohaninya dengan mengendalikan segala perilaku aktifitas kesehariannya. Ia hanya akan
melakukan sesuatu jika sesuatu itu bermanfaat, baik untuk dirinya sendiri maupun orang lain.
Dan ia tidak akan menggunakan sesuatu hal yang belum jelas statusnya. Dengan demikian
maka raga dan jiwanya senantiasa terjaga dari hal-hal yang tidak dirdhai Allah swt.

B. Dalil Tentang Wara’


1) Diriwayatkan oleh Abu Dzar Al-Ghiffari, bahwa Rasulullah SAW bersabda:
ً ُ َ َ ْ َ ْ
‫لم ْر هء ت ْرك ُه ًما ًل ًي ْعن هيْه‬‫م ْهن ُح ْس هن ا هسال هم ا‬.ِ
Artinya: “Sebagian dari kebaikan tindakan keislaman seseorang adalah ia menjauhi
segala sesuatu yang tidak berarti.” (HR. Malik bin Anas, Tirmidzi dan Ibnu Majah)
2) Diriwayatkan oleh Abu Hurairah, bahwa Rasulullah SAW bersabda:
ْ َ ُ َ ً ُ
‫ك ْن َو َراع تك ْن أع َب َد انلًّ ه‬.
‫اس‬
Artinya: “Bersikaplah wara’ niscaya kamu akan menjadi orang yang paling taat
beribadah diantara ummat manusia.” (HR. Ibnu Majah, Thabrani dan Baihaqi)
3) Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim:
ُْ َُ ََ َ َ َْ َ ُ َ َ ُْ ُ َ ُ ْ َ َ َ ْ َ ْ َُ ْ َ ْ َ ْ َ ُ ِ َ َ َ َْ َ
‫ س همعت رسول اّلله صل اّلل عليهه وسلم يقول‬: ‫ان ابن بشه ْي قال‬ ‫إهن اْلالل ب هّي عن أ هِب عب هد اّلله انلع ه‬
َ َ َ ْ َ َ ْ ُ َ ََُْ َ ُ َِ ََ َ ْ َ
َ ْ ‫ًل َي ْعل ُم ُه َن كث‬
‫اس‬‫هْي م َهن انلَ ه‬ ‫ِإَون اْلرام ب هّي وبينهما مشتبههات‬.
Artinya: Abu Abdullah Nu’man ibn Bayir meriwayatkan bahwasanya Rosullallah
bersabda, “Sesungguhnya perkara yang halal itu jelas, dan perkara yang haram itu itu

3
jelas, dan diantara keduanya terdapat perkara-perkara subhat yang tidak diketahui
oleh kebanyakan manusia.”
4) Al-Hasan ibn Ali RA berkata:
َ َ َ َ ْ َ َ َ ُ َ َ ْ
‫ دع َما يُ هريْ ُبك إهَل َما ًل يُ هريْ ُبك‬: ‫اّلل َعليْهه َو َسل َم‬ ‫ َحفهظت م ْهن َر ُس ْو هل اّلله صل‬.
Artinya: Aku telah menghafal sabda Rasulullah SAW, “Tinggalkanlah apa-apa yang
meragukanmu dan kerjakanlah apa-apa yang tidak meragukanmu.”

C. Tingkatan Wara’
Wara’ ada empat tingkatan, yaitu:
1) Wara’ orang awam
Yakni wara’ orang kebanyakan, yaitu menahan diri dari melakukan hal-hal yang
dilarang Allah SWT.
2) Wara’ orang saleh
Yaitu menahan diri dari menyentuh atau memakan sesuatu yang mungkin akan jatuh
kepada haram, misalnya memakan sesuatu yang tidak jelas hukumnya (subhat).
3) Wara’ muttaqin
Yaitu menahan diri dari sesuatu yang tidak diharamkan dan tidak syubhat karena takut
jatuh kepada yang haram. Nabi SAW bersabda, yang artinya: “Seorang hamba tidak
akan mencapai derajat muttaqin sehingga dia meninggalkan apa yang tidak berdosa
karena takut akan apa yang dapat menimbulkan dosa.” (HR. Ibn Majah)
4) Wara’ orang benar
Wara’ orang benar ialah menahan diri dari apa yang tidak berdosa sama sekali dan
tidak khawatir jatuh kedalam dosa, tapi dia menahan diri melakukannya karena takut
tidak ada niat untuk beribadah kepada Allah atau karena dapat membawanya kepada
sebab-sebab yang memudahkannya jatuh kepada yang makruh atau maksiat. Menahan
diri melakukan sesuatu yang tidak dilarang karena takut tidak ada niat untuk beribadah
kepada Allah.

Lebih lanjut para ahli tasawuf membagi wara’ pada dua bagian, yaitu wara’ yang
bersifat lahiriyah dan wara’ batiniyah. Wara’ lahiriyah berarti meninggalkan segala hal yang
tidak diridhai Allah, sedangkan wara’ batiniyah berarti tidak mengisi atau menempatkan
sesuatu di hatinya kecuali Allah.

4
D. Ciri-Ciri Orang yang Bersikap Wara’
Menurut Al-Faqih, bukti adanya wira'i (wara') dalam diri seseorang adalah jika dalam
diri orang tersebut telah ada sepuluh kewajiban, yaitu:
1) Memelihara lisan, tidak sampai ghibah atau menggunjing. Firman Allah SWT dalam
surah al-Hujurat ayat 12 yang artinya, "Janganlah setengah di antara kamu
menggunjing terhadap setengah lainnya."
2) Tidak buruk sangka. Firman Allah SWT dalam surah al-Hujurat ayat 12 yang artinya,
"Hindarkanlah prasangka buruk, karena setengahnya adalah dosa."Dalam hadits Nabi
SAW dijelaskan yang artinya, "Hati-hatilah kamu dari prasangka buruk, karena hal itu
adalah perkataan paling bohong."
3) Tidak menghina (merendahkan) orang lain. Firman Allah SWT dalam surah al-
Hujurat ayat 11 yang artinya, "Janganlah suatu kaum menghina kaum lainnya, boleh
jadi kaum yang dihina itu adalah lebih baik dari pada kaum yang menghina."
4) Memelihara pandangan mata dari yang haram. Firman Allah SWT dalam surah Nur
ayat 30 yang artinya, "Katakanlah, ada orang-orang mukmin agar memejamkan
pandangan matanya dari yang haram."
5) Berbicara benar. Firman Allah SWT dalam surah al-An'am ayat 152 yang artinya,
"Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil."
6) Mengingat nikmat Allah SWT yang telah diberikan kepadanya agar tidak
sombong. Firman Allah SWT dalam surah al-Hujurat ayat 17 yang artinya, "Bahkan
Allah-lah yang memberi karunia kepadamu ketika kau diberi petunjuk, sehingga kau
beriman. Jika kau benar-benar beriman."
7) Menggunakan hartanya dalam jalan kebenaran, bukan pada kebatilan. Firman
Allah SWT dalam surah al-Furqan ayat 67 yang artinya, "Orang-orang yang
membelanjakan hartanya tiada berlebihan dan tiada kikir, mereka tengah-tengah
(berlaku sedang) dalam hal itu."
8) Tidak ambisi kedudukan dan tidak pula berlaku sombong. Firman Allah SWT
dalam surah al-Qashash ayat 83 yang artinya, "Negeri akhirat sengaja Kami sediakan
bagi mereka yang tidak ambisi kedudukan dunia dan tidak pula suka merusak."
9) Memelihara (waktu) sholat dan menyempurnakan ruku’ dan sujudnya. Firman
Allah SWT dalam surah al-Baqarah ayat 238 yang artinya, "Peliharalah (waktu-waktu)
sholat, terutama sholat pertengahan, tegakkanlah dengan khusyu', diam bermunajat."
10) Istiqomah mengikuti sunnah Rasul dan jamaah umat Islam. Firman Allah SWT
dalam surah al-An'am ayat 153 yang artinya, "Inilah ajaran yang menuju kepada
5
keridhoan-Ku (jalan lurus-benar), lalu ikutilah, jangan mengikuti jalan-jalan lain, (jika
demikian), pasti menyimpang jauh dari jalan Allah. Demikianlah pesan Dia kepadamu
agar kamu bertakwa."

E. Contoh Sikap Wara’


a) Sufyan Al-Tsauri
Bila tidak menemukan makanan yang halal dan bersih, Dia kadang-kadang rela untuk
tidak makan berhari-hari.
b) Ibn Al-Mubarak
Kembali ke Khurasan ke Syam hanya karena lupa mengembalikan pulpen yang Ia
pinjam dari temannya.
c) Ibrahim bin Adham
Kembali dari Al-Quds (Palestina) ke Basrah (Irak) hanya untuk mengembalikan satu
kurma yang ada pada kurma yang dibeli, karena satu biji kurma itu tidak termasuk yang
ditimbang dan dibelinya.
d) Umar bin Abdul Aziz
Kehati-hatiannya terhadap syubhat, tidak pernah menerima hadiah sama sekali dari para
pejabatnya maupun dari ahlu dzimmah karena takut hal itu termasuk suap, enggan
menggunakan harta kaum muslimin, bahkan lampu di rumahnya dibedakan antara
keperluan kaum muslimin dan keperluan pribadinya.

F. Manfaat Wara’
1) Terhindar dari adzab Allah, pikiran menjadi tenang dan hati menjadi tentram.
2) Menahan diri dari hal yang dilarang.
3) Tidak menggunakan waktu untuk hal-hal yang tidak bermanfaat.
4) Mendatangkan cinta Allah karena Allah mencintai orang-orang yang wara’.
5) Membuat doa dikabulkan, karena manusia jika mensucikan makanan, minuman dan
bersikap wara’, lalu mengangkat kedua tangan nya untuk berdoa, maka doa nya akan
segera dikabulkan.
6) Mendapatkan keridhaan Allah dan bertambahnya kebaikan.
7) Terdapat perbedaan tingkatan manusia didalam surga sesuai dengan perbedaan
tingkatan wara’ mereka.

6
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Secara lughawi wara’ artinya hati-hati. Secara istilah wara’ adalah sikap menahan diri
agar hatimu tidak menyimpangkap sekejap pun dari mengingat Allah. Sufi yang lain
mengemukakan bahwa wara’ adalah seorang hamba tidak berbicara melainkan dalam
kebenaran, baik dalam keadaan rida maupun dalam keadaan marah.
Tingkatan Wara’ ada empat tingkatan, yaitu: wara’ orang ‘awam, wara’ orang saleh,
wara’ muttaqin, dan wara’ orang benar.
Menurut Al-Faqih, bukti adanya wara' dalam diri seseorang adalah jika dalam diri
orang tersebut telah ada sepuluh kewajiban, yaitu: memelihara lisan, tidak buruk sangka,
tidak menghina (merendahkan) orang lain, memelihara pandangan mata dari yang haram,
berbicara benar, mengingat nikmat Allah swt, menggunakan hartanya dalam jalan kebenaran,
tidak ambisi kedudukan dan tidak pula berlaku sombong, memelihara (waktu) sholat dan
menyempurnakan ruku dan sujudnya, istiqomah mengikuti sunnah Rasul dan jamaah umat
Islam
Manfaat Wara’ diantaranya: Terhindar dari adzab Allah, pikiran menjadi tenang dan
hati menjadi tentram, menahan diri dari hal yang dilarang, tidak menggunakan waktu untuk
hal-hal yang tidak bermanfaat, mendatangkan cinta Allah, membuat doa dikabulkan,
mendapatkan keridhaan Allah dan bertambahnya kebaikan.

B. Saran
Dalam penulisan makalah ini, penulis menyadari bahwa makalah diatas banyak sekali
kesalahan dan jauh dari kesempurnaan. Penulis akan memperbaiki makalah tersebut dengan
berpedoman pada banyak sumber yang dapat dipertanggung-jawabkan. Maka dari itu penulis
mengharapkan kritik dan saran mengenai pembahasan makalah dalam kesimpulan di atas.
Semoga makalah yang kami susun dapat bermanfaat dalam menambah potensi dan
gairah baru untuk lebih memahami sikap Wara’.

7
DAFTAR PUSTAKA

Usman dan Ida Inayahwati, Ayo Mengkaji Aqidah dan Akhlak, (Jakarta: Penerbit Erlangga,
2017).
https://serpihanberkas.blogspot.com/2017/03/wara-tasawuf.html
https://dianprase.blogspot.com/2016/12/makalah-al-wara-tasawuf.html
http://kumbangilmiah.blogspot.com/2015/04/makalah-maqamat-wara-dalam-tasawwuf.html
http://makalahcenters.blogspot.com/2016/04/makalah-tasawuf.html
https://brainly.co.id/tugas/10390827

Anda mungkin juga menyukai