Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Cedera traumatik merupakan hampir 10% dari beban penyakit global.
Penyebab utama dari kematian akibat trauma adalah perdarahan pasca-trauma
yang tidak terkontrol. Parameter lain yang perlu dipahami pada trauma adalah
permeabilitas kapiler meningkat, menyebabkan hilangnya cairan intravaskular ke
ruang interstitial. Kesamaan di antara semua jenis cedera traumatis adalah bahwa
tidak hanya waktu onset diketahui, tetapi juga bahwa ada kecenderungan
perdarahan hebat dan hipovolemia berikutnya terjadi, yang jika parah dan tidak
diobati, dapat menyebabkan hipovolemik. 1
Pada syok hipovolemik, tekanan darah sistolik (SBP) 90 mmHg umumnya
digunakan untuk menentukan hipotensi dan syok; Namun, pengiriman oksigen
tergantung pada curah jantung daripada tekanan darah. Homeostasis dengan
vasokonstriksi perifer berperan menjaga tekanan darah bahkan ketika volume
sirkulasi hilang. Hubungan antara curah jantung dan kehilangan darah tidak jelas,
dan hubungan menjadi jelas hanya ketika lebih dari setengah volume sirkulasi
hilang, atau kehilangan cepat. Banyak pasien akan mempertahankan denyut nadi
dan tekanan darahnya bahkan setelah kehilangan banyak darah dan hipoksia
jaringan. 2
Pada pasien trauma dibutuhkan resusitasi cairan. Resusitasi cairan
membantu mengembalikan volume darah yang hilang, mendapatkan kembali
perfusi jaringan, dan mengurangi angka kematian. Resusitasi cairan ditujukan
untuk mengembalikan volume sirkulasi, perfusi jaringan dengan mengoreksi
hemodinamik, kontrol perdarahan, stabilisasi volume sirkulasi, optimalisasi
transpor oksigen  dan bila perlu pemberian vasokonstriktor bila tekanan darah
tetap rendah setelah pemberian loading cairan. 3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Cairan
Hampir sebagian besar tubuh manusia berupa cairan. Jumlah cairan
dalam tubuh ini berbeda-beda, tergantung dari umur, massa tubuh, dan lemak
tubuh. 4
2.1.1 Kompartemen Cairan
Cairan dalam tubuh tersekat dalam beberapa kompartemen yaitu
cairan intraseluler dan ekstraseluler. Cairan ekstraseluler dibagi lagi
menjadi kompartemen intravaskuler dan interstisial. 45
1. Cairan intraseluler (intracellular fluid, ICF). Pada kompartemen ini,
cairan tersekat di dalam sel. Cairan dalam kompartemen ini meliputi 2/3
volume keseluruhan cairan tubuh.
2. Cairan ekstraseluler (extracellular fluid, ECF). Cairan di kompartemen
ini merupakan cairan yang terdapat di luar sel. Terdapat 2 subkompartemen
cairan ekstraseluler, yaitu plasma darah dan cairan interstisial, misalnya
cairan sendi, cairan serebrospinalis, cairan pleura, dan lain-lain.
3. Cairan interstisial. Pada kondisi normal cairan ini dalam bentuk cairan
bebas jumlahnya sangat sedikit. Kebanyakan cairan interstisial terikat
degan proteoglikan ekstraseluler membentuk suatu gel. Kompartemen
interstisial merupakan reservoir untuk penumpukan cairan kompartemen
intervaskuler seperti pada keadaan edema jaringan.
4. Cairan intravascular. atau dikenal dengan plasma, dibatasi oleh endotel
vascular. Kebanyakan elektrolit dapat lewat secara bebas antara plasma dan
interstisium sehingga komposisi elektrolit hampir identik.
Pergerakan acak molekul-molekul akibat adanya energi kinetic
disebut difusi. Difusi berperan dalam sebagian besar pertukaran cairan dan
zat terlarut antara kompartemen. Laju difusi suatu substansi melewati suatu
membrane bergantung pada permeabilitas substansi itu melalui membrane,
perbedaan konsentrasi substansi tersebut antara dua sisi, perbadaan tekanan
antara dua sisi dan potensial elektrik melewati membrane untuk substansi
bermuatan. 456

2.1.2 Komposisi Cairan Tubuh


Pada dasarnya, komposisi cairan tubuh terdiri atas air dan zat
penyusunnya. Adanya zat penyusun ini memungkinkan cairan berpindah
dari satu kompartemen ke kompartemen lainnya. Zat penyusun tersebut
dapat dibagi menjadi elektrolit dan nonelektrolit. Tubuh mempunyai
senyawa atau garam logam yang berperan sebagai elektrolit karena
bermuatan listrik. Senyawa logam ini terdisosiasi dalam air menjadi ion-
ion, termasuk garam anorganik, senyawa yang bersifat asam atau basa, dan
beberapa protein. Partikel jenis elektrolit ini memiliki kekuatan osmotik
karena dapat terdisosiasi dalam air. Ion-ion yang terdisosiasi akan
berperan dalam pergerakan air air dalam tubuh dari satu kompartemen ke
kompartemen yang lain. Elektrolit tersebar pada hamper di semua
kompartemen cairan tubuh.5
Pada kompartemen ekstrasel, kation (bermuatan positif) terbanyak
adalah natrium, sedangkan anion (bermuatan negatif) terbanyaj adalah
klorida. Pada kompartemen intraseluler, kation terbanyak adalah kalium
dan anion terbanyak adalah senyawa fosfat.5

2.1.3 Pergerakan Cairan


Dalam tubuh, cairan mengalami pergeseran dari satu kompartemen
ke kompartemen yang lain. Pergerakan ini disebabkan adanya gradien
perbedaan tekanan osmotic, transport aktif, atau perbedaan konsentrasi
dari zat penyusun cairan.56
Pergeseran cairan dari plasma menuju interstisium dapat
disebabkan oleh tekanan hidrostatik. Tekanan hidrostatik timbul karena
danya pemompaan darah oleh jantung. Pada kondisi ini, bagian plasma
yang bebas protein terpompa keluar menuju kompartemen interstisial.
Kejadian sebaliknya yaitu reabsorpsi cairan kembali menuju plasma
melalui proses osmosis. Osmosis adalah bergeraknya pelarut melalui
membran semipermeable dari larutan yang berkonsentrasi lebih rendah ke
konstrasi yang lebih tinggi. Pengaruh terbesar dari tekanan osmotic koloid
dalam plasma disebabkan oleh albumin, merupakan komponen utama
yang menjaga tekanan koloid plasma.56
Pergesaran cairan dari ruang interstisial menuju ruang intraseluler
terjadi karena pergeseran ion. Kejadian ini bergantung pada permeabilitas,
selektivitas, dan transport aktif membrane sel. Air pada kedua
kompartemen ini dapat dengan bebas berpindah secara dua arah dari satu
ruang ke ruang lainnya. Perpindahan nutrient seperti glukosa, asam amino,
gliserol, gas pernafasan dan hasil sisa metabolisme biasanya terjadi satu
arah.567

2.1.4 Laruran Pengganti Caniran


1. Kristaloid
Kristaloid dibagi menjadi larutan garam hipertonik, hipotonik,
isotonic dan seimbang. Pembagian tersebut digolongkan
berdasarkan jumlah elektrolit yang terkandung di dalamnya. Cairan
kristaloid akan berpindah dari intravascular menuju ruang
interstisial dan hanya 1/3 yang tersisa di intravascular.56
a. Larutan Garam Seimbang
Komposisi elektrolit pada larutan garam seimbang menyerupai
komposisi elektrolit pada cairan ekstraseluler, contohnya adalah
larutan ringer laktat. Berdasarkan konsentrasi ion natrium nya,
larutan ini bersifat hipotonik. Kandungan buffer di dalamnya akan
di metabolisme in vivo menghasilkan bikarbonat. Hindari
penggunaan larutan ringer laktat sebagai pelarut packed red blood
cells (PRC) karena ringer laktat mengandung kalsium. 56
b. Salin Normal
Larutan salin normal (NaCl 0,9%) bersifat hipertonik dengan
konsentrasi seimbang antara Na dan Cl. Dibandingkan dengan
larutan lainnya, Salin normal lebih sering digunakan sebagai
larutan resusitasi. Penggunaan salin normal untuk resusitasi dinilai
berhubungan signifikan dengan peningkatan kejadian asidosis
metabolic dan kebutuhan terapi pengganti ginjal pasca resusitasi
dibandingkan dengan penggunaan larutan kristaloid seimbang.
Pada pasien sehat tidak akan terjadi gangguan klinis yang
signifikan. Salin normal umumnya digunakan untuk melarutkan
packed red blood cells (PRC). 56
c. Salin Hipertonik
Larutan salin hipertonik digunakan terbatas untuk kebutuhan
tertentu saja, seperti pengendalian tekanan darah intracranial atau
kebutuhan resusitasi intravaskuler cepat. Pada pasien dengan
kecenderungan untuk mengalami edema jaringan, oenggunaan
larutan hipertonik dapat memberikan keuntungan. Waktu paruh
dari larutan hipertonik serupa dengan waktu paruh pada larutan
isotonic.
d. Dextrosa 5%
Larutan ini serupa dengan air bebas karena dekstrosa akan di
metabolisme. Larutan ini sangan iso-osmotik dan tidak
menyebabkan hemolysis. Stres saat operasi dapat menyebabkan
kadar gula darah pasien meningkat. Pemberian larutan dekstrosa
intraoperasi dapat menyebabkan hiperglikemia yang berdampak
pada pengeluaran akhir yang buruk. 56
2. Koloid
Larutan koloid, albumun dan starch mengandung zat berbobot
molekular besar sehingga dapat tetap bertahan di dalam ruang
intravascular jauh lebih lama dibandingkan kristaloid. Starch
sintetik memiliki risiko infeksi yang kecil atau tidak sama sekali,
namun reaksi alergi tetap dapat muncul. Koloid umumnya lebih
mahal dibandingkan kristaloid namun lebih murah dan lebih sedikit
risikonya dibandingkan dengan penggantian darah atau produk
darah. 56
a. Albumin
Hadir dalam bentuk larutan 5% atau 25%. Albumin terdiri dari
sekitar 50% protein plasma. Volume distribusi awal sama dengan
volume plasma dan tetap berada dalam ruang intravaskuler untuk
durasi yang jauh lebih lama dibandingkan kristaloid. 56
b. HES (Hydroxyethyl Starch)
adalah derivate starch tidak terionisasi yang merupakan
polisakarida alami. Semakin besar berat molekul dan substitusi
molar yang dimilikinya, semakin Panjang durasi peningkatan
volume intravascular yang ditimbulkannya dan semakin banyak
efek yang timbul. 56

2.2 Trauma
2.2.1 Koagulopati Pada Trauma
Koagulopati yang tidak dikontrol mungkin memiliki banyak efek
samping lainnya, termasuk syok hipovolemik persisten, peningkatan risiko
disfungsi organ, keadaan inflamasi persisten, meningkatkan risiko sepsis,
dan kegagalan manajemen nonoperatif, yang mengarah ke peningkatan
morbiditas pasca operasi. Gangguan koagulasi pada trauma memiliki
patofisiologi yang kompleks termasuk aktivasi atau disfungsi generasi
fibrin atau keduanya, disfungsi trombosit dan endotelium, penghambatan
relatif pembentukan gumpalan yang stabil oleh jalur antikoagulan dan
fibrinolitik serta konsumsi atau penghambatan protease koagulasi.
Pergeseran cairan yang terkait dengan kehilangan darah, infus kristaloid,
dan transfusi sel darah merah (RBC) berkontribusi terhadap koagulopati
dilusional. Hipotermia dan asidosis juga berkontribusi terhadap
koagulopati dan kehilangan darah yang berlanjut. Syok setelah kehilangan
darah akut atau RBC tampaknya menjadi faktor paling penting dalam
pengembangan koagulopati. 48

2.2.2 Kontrol Kerusakan


1. Pembedahan
Strategi bedah yang bertujuan mengembalikan fisiologi normal
daripada integritas anatomi. Hanya ketika pasien telah menjadi
stabil secara fisiologislah operasi terapi terakhir dimulai. Proses ini
berfungsi untuk membatasi paparan fisiologis ke lingkungan yang
tidak stabil, memungkinkan resusitasi dan hasil yang lebih baik
pada pasien trauma kritis. 48
Tujuan operasi pengendalian kerusakan meliputi:
a. Identifikasi cepat semua cedera.
b. Reseksi atau pengemasan cedera organ padat untuk mencapai
hemostasis.
c. Ligasi atau pintasan cedera vaskular.
d. Kontrol tumpahan gastrointestinal kotor dengan reseksi dan /
atau
drainase, biasanya meninggalkan pasien di gastrointestinal
sementara pemegatan.
e. Penutupan luka sementara (biasanya dengan sistem vakum
tekanan negatif).
2. Resusitasi Cairan
Resusitasi kendali kerusakan adalah strategi resusitasi yang telah
berkembang bersama dengan operasi pengendalian kerusakan. Ini
adalah perubahan paradigma dari masa resusitasi berbasis
kristaloid atau buatan koloid dan sebagai gantinya menggunakan
strategi resusitasi berbasis produk darah untuk tidak hanya
memberikan dukungan hemodinamik tetapi juga memperbaiki
koagolopati pasien dan keadaan syok. Prinsip utama dari resusitasi
pengendalian kerusakan termasuk minimalisasi kristaloid,
hipotensi permisif, transmisi rasio yang seimbang dari produk
darah, dan koreksi koagulopati yang diarahkan pada tujuan. Istilah
"lethal triad" digunakan untuk menggambarkan kombinasi
koagulopati akut, hipotermia, dan asidosis yang terus-menerus
melanggeng yang terlihat pada pasien trauma exsanguinating.
Hipoperfusi menyebabkan penurunan pengiriman oksigen,
peralihan ke metabolisme anaerob, produksi laktat, dan asidosis
metabolik. Metabolisme anaerob membatasi produksi panas
endogen, memperburuk hipotermia yang disebabkan oleh paparan
dan pemberian cairan resusitasi dingin dan darah secara tidak
benar. 48

3. Hipotensi Permisif

Tujuan dari hipotensi permisif adalah untuk mencapai tekanan


darah minimum yang diperlukan untuk mempertahankan perfusi
dengan asumsi bahwa peningkatan tekanan darah yang tidak perlu
akan membahayakan bekuan darah dan memperburuk perdarahan
sebelum hemostasis bedah telah dicapai. Untuk perdarahan yang
tidak terkontrol dengan tidak adanya TBI, target resusitasi ke SBP
7-90 mmHg, mentasi normal dan denyut nadi tepi teraba (tingkat
bukti III). Darah harus memungkinkan pengiriman oksigen yang
cukup ke jaringan yang dipastikan dengan memantau kadar laktat
serum dan saturasi oksigen vena sentral. 48

4. Pemanfaatan Darah

Tujuan dari resusitasi adalah untuk mencapai perfusi dan


oksigenasi jaringan yang memadai sambil memperbaiki
koagolopati. Sel-sel darah merah yang dikemas, dan sampai batas
tertentu pembawa oksigen berbasis hemoglobin (HBOCs),
membantu untuk mencapai yang pertama sementara komponen
terapi mencoba untuk menangani koagulopati. 48

5. Pemberian Whole Blood

Penggunaan awal darah dan produk darah sebagai cairan resusitasi


primer untuk mengobati koagulopati traumatik akut intrinsik dan
untuk mencegah perkembangan koagulopati dilusional. Ini dimulai
dalam beberapa menit setelah kedatangan di unit gawat darurat.
Resusitasi pertama terbatas untuk menjaga tekanan darah pada 90
mmHg, mencegah pendarahan baru dari pembuluh yang baru saja
menggumpal. Kedua, restorasi volume intravaskular dilakukan
dengan menggunakan plasma yang dicairkan cairan resusitasi
primer dengan perbandingan setidaknya 1: 1 dengan sel darah
merah. 48

6. Goal-Directed Resuscitation

Konsep goal directed resucitation saat ini memiliki banyak variasi


tetapi secara umum mengasumsikan tidak perlu untuk pemberian
cairan perawatan, sebagai gantinya menggunakan variabel
hemodinamik seperti volume stroke, curah jantung, indeks jantung,
dan tekanan darah arteri rerata untuk menentukan respon volume
dan untuk memandu pemberian cairan dengan bolus. 48

7. Resusitasi pasien dengan TBI

Setiap pasien trauma dengan tingkat kesadaran yang berubah harus


dianggap memiliki cedera otak traumatis (TBI) sampai terbukti
sebaliknya. Kehadiran atau kecurigaan TBI mengamanatkan
perhatian untuk mempertahankan tekanan perfusi otak dan
oksigenasi selama semua aspek perawatan. Alat penilaian klinis
yang paling dapat diandalkan dalam menentukan signifikansi TBI
pada pasien yang tidak lumpuh dan tidak lumpuh adalah Glasgow
Coma Scale. Hematoma subdural akut adalah cedera otak paling
umum yang membutuhkan intervensi bedah saraf darurat dan
dikaitkan dengan mortalitas tertinggi. 48

2.3 Resusitasi Pada Pasien Trauma

Klasifikasi perdarahan I hingga IV, resusitasi


kontrol kerusakan, dan operasi kontrol kerusakan adalah
istilah yang dengan cepat menyampaikan informasi
penting, menggunakan pemahaman umum tentang berbagai
intervensi yang mungkin diperlukan untuk menyadarkan
kembali trauma atau pasien bedah yang mengalami
perdarahan yang mengancam jiwa.4

1. Perdarahan kelas I adalah volume darah yang bisa hilang


tanpa konsekuensi hemodinamik. Denyut jantung tidak
berubah dan tekanan darah tidak menurun dengan volume
kehilangan darah ini. Dalam sebagian besar keadaan,
jumlah darah ini mewakili kurang dari 15% volume darah
yang bersirkulasi. Orang dewasa biasa memiliki volume
darah yang setara dengan 70 mL / kg. Untuk pasien 100 kg,
volume darah yang beredar hampir 7 L. Anak-anak
dianggap memiliki 80 mL / kg volume darah dan bayi, 90
mL / kg. Resusitasi intravena tidak diperlukan jika
perdarahan segera dikontrol, seperti pada prosedur bedah
elektif minor.

2.Perdarahan Kelas II adalah volume darah yang, ketika


hilang, memicu respons simpatik untuk mempertahankan
perfusi, dan mewakili hilangnya 15% hingga 30% volume
darah yang bersirkulasi. Tekanan darah diastolik akan
meningkat karena vasokonstriksi dan denyut jantung akan
meningkat untuk mempertahankan curah jantung.
Penggantian cairan intravena diindikasikan untuk
kehilangan darah dari volume ini. Transfusi mungkin
diperlukan jika perdarahan berlanjut, menunjukkan
perkembangan ke perdarahan kelas III.

3. Perdarahan Kelas III merupakan kehilangan 30% hingga


40% dari volume darah yang bersirkulasi, yang secara
konsisten menyebabkan penurunan tekanan darah.
Mekanisme kompensasi vasokonstriksi dan takikardia tidak
cukup untuk mempertahankan perfusi jaringan untuk
memenuhi permintaan metabolisme, dan asidosis metabolik
akan terdeteksi pada analisis gas darah arteri. Transfusi
darah diperlukan untuk mengembalikan perfusi dan
oksigenasi jaringan yang memadai.

4. Perdarahan kelas IV yang mengancam jiwa mewakili


lebih dari 40% kehilangan volume darah yang bersirkulasi.
Pasien akan menjadi tidak responsif dan sangat hipotensi,
dan kontrol cepat perdarahan dan resusitasi berbasis darah
yang agresif (kerusakan kontrol resusitasi) diperlukan untuk
mencegah kematian. Pasien yang mengalami perdarahan
derajat ini akan mengalami beberapa elemen koagulopati
yang diinduksi trauma (TIC), membutuhkan transfusi darah
masif (lebih dari 10 unit sel darah merah dalam periode 24
jam), dan berisiko tinggi terhadap kematian. Respons
terhadap perdarahan akibat ini harus resusitasi kontrol
kerusakan dan operasi kontrol kerusakan.
BAB III

KESIMPULAN

3.1 Kesimpulan

Berdasarkan penjelasan yang sudah dipaparkan dapat dibuat kesimpulan

1. Resusitasi cairan pada pasien trauma ditujukan untuk mengembalikan


volume sirkulasi, perfusi jaringan dengan mengoreksi hemodinamik, kontrol
perdarahan, stabilisasi volume sirkulasi, optimalisasi transpor oksigen,

2. Kontrol kerusakan pada pasien trauma meliputi pembedahan, resusitasi,


minimalisasi kristaloid, hipotensi permisif, pemanfaatan darah, pemberian
Whole Blood, Goal Directed Resuscitation, dan resusitasi pasien dengan TBI
(Traumatic Brain Injury).
DAFTAR PUSTAKA

1. Wise, Robert, et al. "Strategies for intravenous fluid resuscitation in trauma


patients." World journal of surgery 41.5 (2017): 1170-1183.

2. Mizushima, Yasuaki, et al. "Fluid resuscitation of trauma patients: How much


fluid is enough to determine the patient's response?." The American journal of
emergency medicine 35.6 (2017): 842-845.

3. Chatrath, Veena, Ranjana Khetarpal, and Jogesh Ahuja. "Fluid management in


patients with trauma: Restrictive versus liberal approach." Journal of
anaesthesiology, clinical pharmacology 31.3 (2015): 308.

4. Morgan, G Edward, S Mikhail. Clinical Anesthesiology. New York: MC Graw


Hill; 2006.

5. Pramono, Ardi.Buku kuliah anestesi. Jakarta: EGC (2017)

6. Rehatta NM, et all. Anestesiologi dan Terapi Intensif.Jakarta : KATI-


PERDATIN (2019)

7. Dobson, Michael B. Penuntun Praktis Anestesi. Jakarta: EGC; (2012)Svensen


CH. Fluid Therapy For Surgical Patient. U.S.A : CRC Press ; (2018)

8. Svensen CH. Fluid Therapy For Surgical Patient. U.S.A : CRC Press ; (2018)

Anda mungkin juga menyukai