Anda di halaman 1dari 37

LAPORAN PRAKTIKUM

TEKNOLOGI PENGOLAHAN PANGAN DAN HASIL PERTANIAN

SUHU TINGGI DAN SUHU RENDAH

Disusun Oleh

Nama : Lailatul Aghni Nuzul Firdhausy

NIM : 171710101098

Kelompok/ kelas : 4 / THP B

Asisten : 1. Lilik Krisna Mukti

2. Ika Wahyuni

3. Seno Pratama Putra

4. Afina Desi Wulandari

5. Livia Wahyuni

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERTANIAN


FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
UNIVERSITAS JEMBER
2018
BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Bahan pangan merupakan salah satu kebutuhan manusia tak
terkecuali bagi mikroorganisme. Kalau bahan makanan telah tercemar oleh
mikroorganisme, mikroorganisme tersebut dapat menyebabkan kerusakan bahan
pangan, yakni terjadinya perubahan fisik dan kimia dari bahan tersebut. Hal ini
menyebabkan mutu pangan menjadi turun. Selain itu mikroba juga dapat
menimbulkan penyakit bagi manusia yang mengkonsumsi bahan pangan yang
telah tercemar oleh mikroba.Pengendalian mikroorganis- me dalam bahan
makanan pada prinsipnya bertujuan untuk membuat bahan makanan menjadi
tahan lama, atau dengan perkataan lain bertujuan untuk pengawetan bahan
makanan. Pengendalian mikroorganisme berarti mencegah pertumbuhan mikroor
ganisme yang dapat berarti membunuh atau mengham bat pertumbuhan itu
sendiri. Bahan pangan berdasarkan umur simpannya dibeda kan menjadi tiga jenis
yaitu bahan pangan yang mudah rusak (perishable), bahan pangan semi peris
hable, dan bahan pangan non-perishable. Untuk memperpanja- ng umur daya
simpan bahan pangan maka dilakukan pengawetan. Pengawetan bahan pangan
pangan dapat dilakukan dengan berbagai cara yang umumnya bekerja ataas dasar
mematikan atau menghambat pertumbuhan mikroorganisme guna memperpanjang
daya simpan suatu bahan pangan. Salah satu metode pengawetan bahan pangan
tersebut yaitu dengan pengawetan suhu rendah atau pendinginan (cooling) dan
pembekuan freezing. Penyimpanan pada suhu rendah dapat menghambat
kerusakan makanan, antara lain kerusakan fisiologis, kerusak- an enzimatis
maupun kerusakan mikrobiologis. Pada pengawetan dengan suhu rendah
dibedakan antara pendingan dan pembekuan. Pendinginan dan pembekuan
merupakan salah satu cara pengawetan yang tertua.
Penggunaan suhu rendah berupa pendinginan dan pembekuan dapat
memperlambat proses proses biokimia yang berlangsung dan mengarah pada
kemunduran mutu bahan pangan (Junianto, 2003). Penyimpanan suhu rendah ada
2 macam yaitu pendinginan dan pembekuan dengan prinsip mengurangi atau
menginaktif kan enzim dan bakteri pembusuk dalam tubuh ikan (Afrianto
&Liviawaty, 1991). Metode ini sering digunakan sebagai alternative pengaw-
etankarena bahan pan- gan tidak akan kehilangan nutrisi yang terkandung di
dalamnya ,selain itu rasa dan tekstur dari bahan pangan yang diawetkan dengan
cara ini. Selainitu sifat fisik dan sifat kimia dari bahan pangan tidak akan berubah
seperti pengawetan yang dilakukan melalui proses kimia atau fermentasi.
Penggunaan suhu rendah dalam pengawetan makanan tidak dapat menyebabkan
kematian mikroba sehingga bila bahan pangan dikeluarkan dari tempat
penyimpanan dan dibiarkan mencair kem bali (thawing) pertumbuhan mikroba
pembusuk dapat berjalan dengan cepat.

Selain penggunaan suhu rendah, suhu tinggi merupakan salah satu pengo-
lahan pengolahan atau penyimpanan pada bahan pangan . Pengolahan suhu tinggi
ini bertujuan untuk mematikan mikroorganisme pathogen dan penyebab pembu
suk produk. Pada pengolahan suhu tinggi terdapat beberapa cara yaitu pasteurisasi
dansterilisasi. Namun ada yang menggunakan media yaitu peng gorengan, pengo-
venan dan penyangraian menggunakan udara panas. Proses pengolahan suhu ting-
gi dapat dilakukan untuk berbagai jenis bahan pangan. Namun, tak jarang terdapat
beberapa bahan pangan yangrentan terhadap pengolahan suhu tinggi. ​Proses peng
olahan suhu tinggi dapat dilakukan untuk berbagai jenis bahan pangan. Namun,
tak jarang terdapat beberapa bahan pangan yangrentan terhadap pengolahan suhu
tinggi ( Rohannah, 2002)
1.2 Tujuan

Adapun tujuan dari praktikum ini adalah sebagai berikut.

Praktikkan dapat mengetahui proses pengolahan pangan dengan


menggunakan proses suu tinggi dan suhu rendah yang meliputi pasteurisasi,
sterilisasi, Penggorengan, penyangraian, pendinginan, pembekuan, dan enrobing,
serta mengetahui perubahan kualitas bahan pangan pasca pengolahan.
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Suhu Rendah

2.1.1 Macam- macam Penyimpanan Suhu Rendah

Penyimpanan dengan suhu rendah merupakan salah satu penyimpanan


yangsering dilakukan di masyarakat. Dengan menyimpan bahan makanan pada
suhu rendah maka dapat menghambat penuan pematangan pelunakan dan
perubahan warna serta tekstur, mengurangi kerusakan yang diakibatkan oleh
aktivitasmikroba, dapat mengurangi kegiatan respirasi dan metabolik lain, dan
masih banyak lagi. Penyimpanan suhu rendah merupakan salah satu cara yang
dapat mempengaruhi kecepatan respirasi dan kcepatan dan pembentukan etilen
(Gardjito, 2014). Kedua kecepatan tersebut mengalami penurunan selama penyi-
mpanan pada suhu rendah terhadap sayuran. Untuk berlangsungnya respirasi
diperlukan suhu optimum, yaitu suhu dimana proses metabolisma (termasuk
respirasi) berlangsung dengan sempurna. Pada suhu yang lebih tinggi atau lebih
rendah dari suhu optimum, metabolisma akan berjalan kurang sampurna bahkan
berhenti sama sekali pada suhu yang terlalu tinggi atau terlalu rendah. Setiap
penurunan 8°C pada suhu penyimpanan, metabolisme berkurang setengahnya
(Hudaya, 2008).

Pada pengawetan dengan suhu rendah dibedakan antara pendinginan dan


pembekuan. Pendinginan adalah penyimpanan bahan pangan diatas suhu pembe
kuan bahan yaitu -2 sampai 10 °C. Pendinginan yang biasa dilakukan sehari –hari
dalamlemari es adalah pada suhu 5-8 °C (Winarno, 1993). Pendinginan atau refri
gerasi ialah penyimpanan dengan suhu rata-ratayang digunakan masih di atas titik
beku bahan. Kisaran suhu yang digunakan biasanya antara -1 °C sampai 4°C. Pa-
da Suhu tersebut, pertumbuhan bakteri dan proses biokimia akan terham bat. Pen-
dinginan biasanya akan mengawetkan bahan pangan selama beberapa hari atau
beberapa minggu, tergantung kepada jenis bahan pangannya. Pendinginan yang
biasa dilakukan di rumah-rumah tangga adalah dalam lemari es yang mempunyai
suhu -2°C samapai +16°C (Rusendi dkk,2010). Tujuan penyimpanan suhu dingin
(​cold storage​) adalah untuk mencegah kerusakan tanpa mengakibatkan
pematangan abnormal atau perubahan yang takdiinginkan sehingga mempertahan
kan komoditas dalam kondisi yang dapatditerima oleh konsumen selama mungkin
(Tranggono, 1990).

Pembekuan merupakan salah satu metode pengawetan pangan, dimana


produk pangan diturunkan suhunya sehingga berada dibawah suhu bekunya.
Selama pembekuan terjadi pelepasan energy (panas ​Sensible dan panas laten).
Pembekuan menurunkan aktivitas air dan mengehntikan aktivitas mikroba(bahkan
beberapa dirusak, reaksi enzimatis, kimia dan biokimia. Dengandemikian produk
beku dapat memiliki daya awet yang lama (Kusnandar, 2010). Selama pembek-
uan, suhu produk pangan menurun hingga di bawah titik bekunya, dan sebagian
dari air berubah wujud dari fase cair ke fase padat dan membentuk kristal es.
Adanya kristalisasi air ini menyebabkan mobilitas air terba-tas sehingga aktivitas
air pun menurun. Penurunan aktivitas air ini berpengaruh pada penghambatan
pertumbuhan mikroba, serta reaksi-reaksi kimia dan biokimia yang mempenga
ruhi mutu dan keawetan produk pangan. Dengan demikian, pengawetan oleh
proses pembekuan disebabkan oleh adanya kombinasi penu-runan suhu dan
penurunan aktivitas air (Kusnandar, 2010). Suhu yang digunakan untuk membeku
kan bahan pangan umumnya dibawah -2°C. Pembekuan bahan pangan biasanya
digunakan untuk pengawetan bahan dan produk olahan yang mudah rusak
(biasanya memiliki kadar air atau aktivitas air yang tinggi) seperti buah, sayur,
ikan, daging dan unggas. Pada suhu beku, sebagian besar air yang ada di dalam
bahan pangan (90%-95%) membeku (Kusnandar, 2010). Proses pembekuan
terjadi secara bertahap dari permukaan sampai pusat bahan. Pada permukaan
bahan, pembekuan berlangsung cepat sedangkan pada bagian yang lebih dalam,
proses pembekuan berlangsung lebih lambat. Pada awal proses pembekuan
terjadi fase ​precooling ​dimana suhu bahan diturunkan dariawal ke suhu titik beku.
Pada tahap ini semua kandungan air bahan berada dalamkeadaan cair. Setelah
tahap ​precooling t​ erjadi tahap perubahan fase, pada tahap initerjadi pemebentukan
kristal es (Rohannah, 2002).
2.2.2 Pengaruh Suhu Terhadap Penyimpanan Bahan Pangan (freezer dan
Refrigerator)
Laju respirasi merupakan petunjuk yang baik untuk daya simpan buah dan
sayuran sesudah dipanen. Intensitas respirasi dianggap sebagai ukuran laju
jalannya metabolisme, oleh karena itu sering dianggap sebagai petunjuk mengenai
potensi daya simpan buah dan sayuran. Laju respirasi yang tinggi biasanya
disertai oleh umur simpan yang pendek. Hal itu juga merupakan petunjuk laju
kemunduran mutu dan nilainya sebagai bahan makanan. Faktor yang sangat
penting yang mempengaruhi respirasi bisa dilihat ​dari segi penyimpanannya yaitu
suhu. Peningkatan suhu antara 0 °C – 35 °C akan meningkatkan laju respirasi
buah-buahan dan sayuran, yang memberi petunjuk bahwa baik proses biologi
maupun proses kimiawi dipengaruhi oleh suhu. Sampai sekarang pendinginan
merupakan satu-satunya cara ekonomis untuk penyimpanan jangka panjang bagi
buah dan sayuran segar. Asas dasar penyimpanan dingin adalah penghambatan
respirasi oleh suhu tersebut (Pantastico, l997). Pengaturan suhu merupakan
faktor yang sangat penting untuk memperpanjang umur simpan dan
mempertahankan kesegaran dari buah. Sedangkan kelembaban (relative humidity)
mempengaruhi kehilangan air, peningkatan kerusakan, beberapa insiden
kerusakan phisiologi, dan ketidakseragaman buah pada saat masak (ripening).
Pengaturan kelembaban yang optimal pada penyimpanan buah antara 85 sampai
dengan 90%. Kemudian komposisi atmosfir dalam hal ini terdiri dari oksigen,
karbondioksida, dan gas etilen dapat menyebabkan pengaruh yang besar terhadap
respirasi dan umur simpan buah. (AAK, 2000). Mutu simpan buah akan lebih
bertahan lama jika laju respirasi rendah dan transpirasi dapat dicegah dengan
meningkatkan kelembaban relatif, menurunkan suhu udara. Pada umumnya
komoditas yang mempunyai umur simpan pendek mempunyai laju respirasi tinggi
atau peka terhadap suhu rendah (Tranggono dan Sutardi, 1990). Pertumbuhan
organisme perusak dapat diperlambat pada suhu penyimpanan rendah, namun
komuditas segar berangsur-angsur kehilangan resistensi alaminya terhadap
pertumbuhan organism perusak. Oleh karena itu lamanya umur simpan ditentukan
oleh interaksi oleh senensensi alami (kehilangan kualitas), pertumbuhan
organisme perubahan dan kepekaan terhadap cacat suhu dingin (Tranggono dan
Sutardi, 1990).

Pendinginan mekanik menggunakan refrigerator, selama pendinginan


bahan melepaskan panassensible. Panas ini akan digunakan refrigerant untuk
melakukan perubahan fase dalam system pendinginan. Pendinginan atau refrig-
erasi ialah penyimpanan dengan suhu rata-ratayang digunakan masih di atas titik
beku bahan. Kisaran suhu yang digunakan biasanya antara -1 °C sampai 4°C.
Pada Suhu tersebut, pertumbuhan bakteri dan proses biokimia akan terhambat.
Pendinginan biasanya akan mengawetkan bahan pangan selama beberapa hari atau
beberapa minggu, tergantung kepada jenis bahan pangannya. Pendinginan yang
biasa dilakukan di rumah-rumah tanggaadalah dalam lemari es yang mempunyai
suhu -2°C samapai +16°C (Rusendi dkk,2010).

Menurut Betty (2000), ada 4 cara penyimpanan bahan makanan yaitu:

1. Penyimpanan sejuk (cooling), yaitu suhu penyimpanan 100C – 150C


untuk jenis minuman, buah dan sayur.
2. Penyimpanan dingin (chilling), yaitu suhu penyimpanan 40C – 100C
untuk bahan makanan berprotein yang akan segera diolah kembali. 11
3. Penyimpanan dingin sekali (freezing), yaitu suhu penyimpanan 0 °C – 4
°C untuk bahan berprotein yang mudah rusak untuk jangka waktu sampai
24 jam.
4. Penyimpanan beku (frozen), yaitu suhu penyimpanan < 0 °C untuk bahan
makanan berprotein yang mudah rusak untuk jangka waktu > 24 jam.
2.2.3 Mekanisme Proses Pembekuan

Pembekuan merupakan suatu cara pengawetan bahan pangan dengan cara


membekukan bahan pada suhu di bawah titik beku pangan tersebut, dengan
membekunya sebagian kandungan air bahan atau dengan terbentuknya es
sehingga ketersediaan air menurun, maka kegiatan enzim dan jasad renik dapat
dihambat atau dihentikan sehingga dapat mempertahankan mutu bahan pangan
(Effendi, 2009). Pembekuan pada bahan pangan memiliki pengaruh yang cukup
baik, penurunan suhu akan mengakibatkan penurunan proses kimia, mikrobiologi
dan biokimia yang berhubungan dengan kelayuan, kerusakan, pembusukan dan
lain-lain. Pada suhu dibawah 0°C air akan membeku dan terpisah dari larutan dan
membentuk es yang mirip dalam hal air yang diuapkan pada pengeringan. Apabila
suhu penyimpanan beku cukup rendah, dan perubahan kimiawi selama
pembekuan dan penyimpanan beku dapat dipertahankan sampai batas minimum,
maka mutu makanan beku dapat dipertahankan untuk jangka waktu yang cukup
lama.
Prinsip pembekuan adalah panas pada bahan diambil dan diturunkan hingga
mencapai titik di bawah titik beku bahan sehingga segala mekanisme perubahan
pada bahan dapat dihambat dan masa simpan dapat diperpanjang. Secara umum
mekanisme pembekuan dibagi menjadi 3 tahap. Tahap pertama panas sensible
bahan pangan diambil sehingga suhu menjadi turun sampai titik beku. Tahap
kedua, pada proses pembekuan dilepaskan sejumlah energi panas sehingga bahan
pangan dan air yang terkandung didalamnya membeku. Dan tahap ketiga setelah
terjadi pembekuan energi panas tetap dilepaskan sehingga suhu menurun sampai
suhu tertentu (Kusnandar, 2010). Pembekuan juga memberikan pengaruh terhadap
pertumbuhan mikroorganisme. Pertumbuhan mikroorgananisme dalam makanan
pada suhu di bawah kira-kira -12​o​C belum dapat diketahui dengan pasti. Jadi
penyimpanan makanan beku pada suhu sekita -18​o​C dan di bawahnya akan
mencegah kerusakan mikrobiologis dan perubahan bentuk makanan, dengan
persyaratan tidak pernah terjadi perubahan suhu yang besar (Baturimba, 2011).
2.1.4 Definisi Bahan yang Digunakan
Pisang merupakan tanaman monokotil dan herba perennial dengan tinggi 2-9
m yang mempunyai batang di bawah tanah atau rhizom. Bonggol (Corm)
mempunyai pucuk yang menghasilkan rhizom pendek dan tunas yang berada
dekat induk. Pisang merupakan tanaman partenokarpi yang berkembang biak
dengan rhizom (Nakasone, 1998). Buah pisang mempunyai kandungan gizi yang
baik, antara lain menyediakan energi yang cukup tinggi dibandingkan dengan
buah-buahan yang lain. Pisang kaya mineral seperti kalium, magnesium, besi,
fosfor dan kalsium, juga mengandung vitamin B, B6 dan C serta serotonin yang
aktif sebagai neutransmitter dalam kelancaran fungsi otak. Nilai energi pisang
rata-rata 136 kalori untuk setiap 100 g. Bila dibandingkan dengan jenis makanan
lainnya, mineral pisang khususnya besi dapat seluruhnya diserap oleh tubuh.
Pisang memiliki kandungan pektin sebesar 0,94% (Baker, 1997). Pektin
merupakan senyawa polisakarida yang bisa larut dalam air dan membentuk cairan
kental (jelly) yang disebut mucilage atau mucilagines. Pektin berkaitan erat
dengan tejadinya kerenyahan karena dapat membentuk ikatan menyilang antara
ion divalen kalsium dengan polimer senyawa pektin yang bermuatan negatif pada
gugus karbonil asam galakturonat, Bila ikatan menyilang ini terjadi dalam jumlah
yang cukup besar, maka akan terjadi jaringan molekul yang melebar dan adanya
jaringan tersebut akan mengurangi daya larut senyawa pektin dan semakin kokoh
dari pengaruh mekanis (Be miller dan Huber, 2007). Komposisi kimia buah
pisang bervariasi tergantung pada varietasnya. Pada umumnya daging buah pisang
mengandung energi, protein, lemak, berbagai vitamin serta mineral. Tingkat
kematangan juga mempengaruhi komposisi kimia daging pisang seperti kadar
pati, kadar gula reduksi, kadar sukrosa dan suhu gelatinisasi pati (Aurore et al.,
2009).
2.2 Suhu Tinggi

2.2.1 Definisi Suhu Tinggi


Suhu tinggi atau proses termal adalah metode pengawetan pangan penting
dalam industri pangan dan telah menjadi landasan pada proses pengolahan pangan
di indistri selama berabad-abad. Perhitun-gan proses termal yang termasuk di
dalamnya adalah waktu dan suhu proses dihitung untuk mencapai pada tingkat
inaktivasi mikroba (letal) yang dilakukan secara hati-hati untuk menjamin
keamanan kesehatan publik (Bigelow). Proses termal yang berlebihan harus
dihindari karena proses termal memiliki efek yang merugikan pada kualitas
(faktor dan nutrisi dan sensori) pangan (Sandeep, 2011). Ada tiga model utama
perpindahan panas yang berkontr- ibusi pada proses perpindahan panas dalam
porsi yang berbeda-beda yakni konduksi, konvek- si danradiasi. Konduksi adalah
perpinda han panas dari gerakan molekul pada benda berwujud padat. Konveksi
adalah perpindahan panas melalui aliran fluida yang terjadi karena perbeda- an
densitas dan efek daya apung pada produk dalam wujudfulida. Radiasi adalah
perpindahan panas melalui energy elektromagnetik antaradua benda yang
memiliki suhu yang untuk menetapkan proses termal pada pangan dapat dilakukan
dengan menghitung nilai D dan nilai Z sebagai ukutan inaktivasi mikroba pada
panganspesifik dan pada temperature spesifik (Nelson, 2010).

Pengolahan pangan dengan menggunakan suhu tinggi artinya pengolahan


pangan dengan menggunakan panas, yaitu pengolahan yangdilakukan dengan
pemanasan diatas suhu normal (ruang). Suhu normal atausuhu ruang yang di
maksud adalah suhu yang berkisar antara 27°C sampaidengan 30°C. Pengolahan
pangan dengan menggunakan suhu tinggi bertujuan untuk memperpanjang masa
simpan atau untuk mengawetkan bahan pangan yang disertai dengan pengane
karagaman pangan. Dalam mengawetkan bahan pangan, dengan mengguna kan
suhu tinggi, ada dua halyang perlu diperhatikan yaitu jumlah panas yang diberikan
harus cukup untuk membunuh mikroba pembusuk dan mikroba pathogen serta
jumlah panas yang diberikan tidak boleh menyebabkan terjadinya penurunan
nilaigizi (Koeswardhani, 2006). Proses pengolahan dengan suhu tinggi bertujuan
untuk memperpanjang daya awet produk pangan yang mudah rusak, dan mening-
katkan keamanannya setelah disimpan dalam jangka waktu tertentu. Proses
pengolahan dengan suhu tinggi telah dialikasikan dalam makanan kaleng dan
dapat memperta hankan daya awet produk pangan hingga 0 bulan atau lebih (
Hariyadi, 2000).

2.2.2 Definisi Bahan yang Digunakan


A. Nanas
Nanas, nenas, atau ananas adalah sejenis tumbuhan tropis yang berasal
dari Brazil, Bolivia, dan Paraguay. Tumbuhan ini termasuk dalam famili
nanas-nanasan (Famili Bromeliaceae). Nenas merupakan tanaman buah berupa
semak yang memiliki nama ilmiah Ananas comosus. Perawakan nenas (habitus)
tumbuhannya rendah, herba (menahun) dengan 30 atau lebih daun yang panjang,
berujung tajam, tersusun dalam bentuk roset mengelilingi batang yang tebal.
Buahnya dalam bahasa Inggris disebut sebagai pineapple karena bentuknya yang
seperti pohon pinus. Pada abad ke-16 orang Spanyol membawa nanas ini ke
Filipina dan Semenanjung Malaysia, masuk ke Indonesia pada abad ke-15, pada
tahun 1599. Di Indonesia pada mulanya hanya sebagai tanaman pekarangan, dan
meluas dikebunkan di lahan kering (tegalan) di seluruh wilayah nusantara.
Tanaman ini kini dipelihara di daerah tropik dan sub tropik (Rosyidah, 2010).
Kerabat dekat spesies nanas cukup banyak, terutama nanas liar yang biasa
dijadikan tanaman hias, misalnya A. braceteatus (Lindl) Schultes, A.
Fritzmuelleri, A. erectifolius L.B. Smith, dan A. ananassoides (Bak) L.B. Smith.
Berdasarkan habitus tanaman, terutama bentuk daun dan buah dikenal 4 jenis
golongan nanas, yaitu : Cayene (daun halus, tidak berduri, buah besar), Queen
(daun pendek berduri tajam, buah lonjong mirip kerucut), Spanyol/Spanish (daun
9 panjang kecil, berduri halus sampai kasar, buah bulat dengan mata datar) dan
Abacaxi (daun panjang berduri kasar, buah silindris atau seperti piramida).
Varietas cultivar nanas yang banyak ditanam di Indonesia adalah golongan
Cayene dan Queen. Golongan Spanish dikembangkan di kepulauan India Barat,
Puerte Rico, Mexico dan Malaysia. Golongan Abacaxi banyak ditanam di
Brazilia. Dewasa ini ragam varietas atau kultivar nanas yang dikategorikan unggul
adalah nanas Bogor, Subang dan Palembang (Rosyidah, 2010).
Pada umumnya buah nanas memiliki bagian-bagian yang bersifat buangan,
bagian-bagian tersebut antara lain daun, kulit luar, mata dan hati (bonggol). Pada
bagian kulit merupakan bagian terluar, memiliki tekstur yang tidak rata, dan
banyak terdapat duri kecil pada permukaannya. Bagian mata memiliki bentuk
yang agak rata dan banyak terdapat lubang-lubang kecil menyerupai mata. Bagian
terakhir yang juga merupakan bahan buangan adalah bonggol yaitu bagian tengah
dari buah nanas, memiliki bentuk memanjang sepanjang buah nanas, memiliki
tekstur yang agak keras dan rasanya agak manis (Tahir dkk, 2008). Selain itu,
buah Nanas merupakan buah yang kaya akan karbohidrat, terdiri atas beberapa
gula sederhana misalnya sukrosa, fruktosa, dan glukosa, serta enzim gromelin
yang dapat merombak protein menjadi asam amino agar mudah diserap tubuh,
Nanas merupakan buah yang terdiri dari sebagian besar daging buah yang banyak
mengandung gula, vitamin A, vitamin C dan mengandung mineral yang
diperlukan tubuh (Collins, 1960).
B. Bayam
Bayam merupakan tumbuhan yang biasa ditanam untuk dikonsumsi
daunya sebagai sayuran hijau. Sayuran ini dikenal dengan nama ilmiah
Amaranthus sp. Saat ini, ada dua jenis bayam yang kita kenal yaitu bayam liar dan
bayam budi daya. Bayam liar terdiri dari dua jenis yaitu bayam tanah dan bayam
berduri. Sedangkan, bayam budidaya terdiri dari bayam cabut dan bayam sekul.
Bayam budidaya inilah yang sering kita konsumsi (Sulihandari, 2013). Di dalam
sayur bayam banyak terdapat senyawa organik seperti vitamin A, B1, B2, C, dan
niasin, juga mineral seperti zat besi, kalsium, mangan, dan fosfor. Selain itu,
bayam mengandung banyak serat dan di dalam daunnya terdapat karotein,
klorofil, dan saponin. Pada batangnya ditemukan alkaloid, flavonoid, dan
polifenol. Kandungan besi pada bayam relatif lebih tinggi daripada sayuran daun
lain, sehingga berguna bagi penderita anemia. Kandungan asam folat dan asam
oksalat membuat bayam dapat digunakan untuk membantu menurunkan kadar
kolesterol, mencegah sakit gusi, asma, untuk perawatan kulit wajah, kulit kepala,
dan rambut.

Sayur bayam mengandung purin sehingga tidak dianjurkan bagi penderita


asam urat dan rematik. Di dalam tubuh, purin akan mengalami metabolisme asam
urat (Kalake, 2012). Selain itu, Bayam merupakan sumber zat besi paling tinggi
untuk tubuh, tetapi ketika bayam banyak bereaksi dengan udara, maka zat besi
tersebut akan berubah menjadi senyawa ferro, maka zat ferro ini bersifat racun
(oksidan) bagi tubuh. Sayur Bayam tidak boleh dikonsumsi dalam jangka waktu
lama setelah dimasak dan tidak boleh dimakan apabila sudah dipanaskan
berulang-ulang karena akan menimbulkan efek yang berbahaya bagi tubuh.
Bahaya sayur bayam ini terjadi karana peristiwa oksidasi yang terjadi antara udara
dan bayam. Salah satu penyakit yang berbahaya yang disebabkan konsumsi
bayam yang tidak benar adalah penyakit sianosis, yaitu ketidakmampuan
hemoglobin untuk mengikat oksigen, sehingga seluruh jaringan tubuh akan terasa
lemas karena kekurangan oksigen (mansoor, 2015).Oleh karena itu sayur bayam
harus diperhatikan dan tidak boleh dipanaskan ulang atau didiamkan dalam waktu
lama, karena zat- zat yang ada dalam bayam bisa berubah menjadi racun (Girsang,
2011).

C. Telur Ayam Tanpa Cangkang

Telur adalah salah satu bahan makanan asal ternak yang bernilai gizi tinggi
karena mengandung zat-zat makanan yang sangat dibutuhkan oleh tubuh manusia
seperti protein dengan asam amino yang lengkap, lemak, vitamin, mineral, serta
memiliki daya cerna yang tinggi. Telur merupakan bahan makanan yang bernilai
gizi tinggi, hal ini ditandai dengan rendahnya zat yang tidak dapat diserap setelah
telur dikonsumsi (Mulyantini, 2010). Salah satu jenis telur yang sering
dikonsumsi masyarakat yaitu telur ayam. Ada dua jenis telur ayam yang banyak
terdapat di pasaran, yaitu telur ayam kampung dan telur ayam broiler (ayam
petelur). Warna telur ayam bervariasi, ada yang kecoklatan dan ada juga yang
putih. Warna 7 cangkang telur biasanya ditentukan dari jenis ayam. Telur ayam
boiler biasanya berwarna kecoklatan sedangkan telur ayam kampung biasanya
berwarna putih. Berat telur ayam yang berukuran medium biasanya berkisar 50 g.
Telur juga termasuk salah satu bahan makanan asal hewan yang bernilai gizi
tinggi karena mengandung zat-zat makanan yang dibutuhkan oleh tubuh seperti
protein, vitamin, dan mineral serta memiliki daya cerna yang tinggi. Sarwono,
(1994).

Cangkang telur merupakan lapisan luar dari telur yang berfungsi


melindungi semua bagian telur dari luka atau kerusakan. Cangkang telur ayam
yang membungkus telur umumnya beratnya 9-12% dari berat telur total. Warna
kulit telur ayam bervariasi, mulai dari putih kekuningan sampai cokelat. Warna
cangkang luar telur ayam ras (ayam boiler) ada yang putih, ada yang cokelat.
Bedanya pada ketebalan cangkang, yang berwarna cokelat lebih tebal daripada
yang berwarna putih (Wirakusumah, 2011). Cangkang telur tersusun atas struktur
berlapis tiga, yaitu lapisan kutikula, lapisan sponge (busa) dan lapisan lamellar.
Komposisi utama dalam cangkang ini adalah kalsium karbonat (CaCO3) sebesar
94% dari total bobot keseluruhan cangkang, kalsium fosfat (1%), bahan-bahan
organik (4%) , dan magnesium karbonat (1%) (Rivera, 1999). Berdasarkan hasil
penelitian, serbuk cangkang telur ayam mengandung kalsium sebesar 401 ± 7,2
gram atau sekitar 39% kalsium, dalam bentuk kalsium karbonat. Selain itu,
kandungan kalsium karbonat dari cangkang telur dapat digunakan sebagai sumber
kalsium yang efektif untuk metabolisme tulang (Rivera,1999).
2.2.3 Jenis Pengolahan Suhu tinggi

1. Penggorengan

Penggorengan merupakan pengolahan pangan yang umum dilakukan


untuk mempersiapkan makanan dengan jalan memanaskan makanan dalam​ pan
yang berisi minyak. Proses ini bertujuan untuk menghasilkan produk yang
mengembang dan renyah, selain itu untuk meningkatkan citarasa, warna, gizi dan
daya awet produk akhir. Penggorengan dapat mengubah eating quality suatu
makanan dan memberikan efek preservasi akibat dekstruksi termal
mikroorganisme dan enzim serta mengurangi kadar air sehingga daya simpan
menjadi lebih baik (Ketaren, 1986).
Pada proses penggorengan ​minyak merupakan bagian yang terpenting
dalam proses ini dan minyak harus dijaga kualitasnya (kebersihannya dari
degradasi). Degradasi dapat menyebabkan minyak tengik karena mengandung free
fatty acid (asam lemak bebas) yang dapatmenimbulkan bau, warna, dan rasa yang
tidak disukai (Gould, 1996). Penggorengan yang dilakukan dapat menimbulkan
berbagai akibat,antara lain: rasa gurih pada bahan pangan bertambah karena ada
minyak yang berikatan dengan bahan pangan, bahan pangan menjadi lebih kering
sehingga Aw pada bahan pangan menjadi turun dan pertumbuhan mikroor
ganisme terhambat, warna pada bahan mengalami perubahan karena terjadi
perubahan komponen kompleks menjadi komponen lebih sederhana yang
berwarna hitam atau gelap, flavor bahan pangan berubah (Winarno dkk, 1980).

2. Penyangraian

Roasting merupakan proses penyangraian biji yang tergantung padawaktu


dan suhu yang ditandai dengan perubahan kimiawi yang signifikan. Terjadi
kehilangan berat kering terutama gas dan produk pirolisis volatillainnya.
Kebanyakan produk pirolisis ini sangat menentukan citarasa. Kehilangan berat
kering terkait erat dengan suhu penyangraian (Varnam and Sutherland,1994).
Tujuan penyangraian adalah mengembangkan cita rasa, menurunkan kadar air,
mematikan mikroba, menggelembungkan kulit biji hingga mudah dipisahkan dari
nib, dan membuat nib lebih renyah sehingga memudahkan penghancuran dan
penghalusan (Wahyudi, 2008). ​Penyangrai bisa berupa oven yang beroperasi
secara batch ataucontinous. Pemanasan dilakukan pada tekanan atmosfer dengan
media udara panas atau gas pembakaran. Pemanasan dapat juga dilakukan dengan
melakukan kontak dengan permukaan yang dipanaskan, dan pada beberapadesain
pemanas, hal ini merupakan faktor penentu pada pemanasan. Desain paling umum
yang dapat disesuaikan baik untuk penyangraian secara batchmaupun continuous
yaitu berupa drum horizontal yang dapat berputar (Ciptadi dan Nasution, 1985).

2.3.3 Pasteurisasi
Pasteurisasi adalah suatau proses pemanasan yang dilakukan padasuhu
krang dari 100°C, tetapi dengan waktu yang bervariasi dari beberapadetik sampai
beberapa menit tergantung pada tingginya suhu yangdigunakan. Proses ini sering
diikiuti dengan teknik lain misalnya pendinginan atau pemberian gula dengan
kosentrasi tinggi. Pasteurisai bertujuan untuk menonaktifkan enzim- enzim,
memperpanjang daya simpan, membunuh mikroorganisme seperti bakteri, kapang
dan khamir yang bersifat patogen dan todak membentuk spora (Setya, 2012).
Semakin tinggi suhu pasteurisasi, makin singkat watu yang dibutuhkan untuk
pemanasannya. Tujuan utama dari proses pasteurisasi adalah untuk
menginaktifkan sel-sel vegetative mikroba patho gen, mikroba pembentuk toksin
maupun mikroba pe-mbusuk. Pemanasan dalam proses pasteurisasi dapat dila
kukan dengan menggu nakan uap air, air panas atauudara panas. Tinggi suhu dan
lamanya waktu pemana san yang dibutuhkandalam proses pasteurisasi tergantung
dari ketahanan mikroba terhadap panas. Namun perlu diperhatikan juga sensi
vitas bahan pangan yang bersangkutan terhadap panas. Pada prinsipnya,
paste-urisasi memadukan antara suhu dan lamanya waktu pemanasan yang
terbaik untuk suatu bahan pangan. Pasteurisasi dapat dilakukan dengan dua cara,
yaitu metode 1) ​LowTemperature Long atau disingkat LTLT dan 2) ​High
Temperature ShortTime ​yang disingkat HTST. Metode LTLT dilakukan pada
suhu 62,8°C selama 30 menit, sedangkan HTST dilakukan pada suhu 71,7°C
selama 15detik (Koeswardhani, 2006).

3. Sterilisasi

Sterilisasi merupakan salah satu cara pengolahan bahan pangan


yang bersifat mengawetkan. Sterilisasi juga merupakan istilah untuk setiap
prosesyang menghasilkan kondisi steril dalam bahan pangan. Jadi, sterilisasi
adalah cara atau langkah atau usaha yang dilakukan untuk membunuhsemua
mikroba yang dapat hidup dalam bahan pangan (Koeswardhani,2006). ​Sterilisasi
adalah pembebasan suatu material bahan ataupun alat dari berbagai
mikroorganisme hidup atau stadium istirahatnya. Sel –sel vegetatif bakteri dan
fungi dapat dimatikan pada suhu 60 °C dan dalam waktu 5 – 10 menit. Namun
spora fungi dapat mati pada suhu di atas 80 °C dan spora bakteri baru mati di atas
suhu 120 °C selama 15 menit. Sterilisasi dan pasteurisasi dapat di capai dengan
cara pemanasan lembab, pemanasan kering, filtrasi, penyinaran, atau bahan kimia.
Semakin tinggi tingkat kontaminasi mikroorganisme pada suatu alat ataupun
bahan maka jumlah spora semakin banyak yang termos resisten sehingga di
perlukan waktu pemanasan yang lebih lama (Schlegel, 1994). Dalam proses
sterilisasi, semakin rendah suhu yang digunakan makasemakin lama waktu yang
dibutuhkan. Namun, waktu pemanasan yangcukup lama, lebih-lebih pada suhu
tinggi, akan berakibat menurunnya nilaigizi. Sterilisasi tersebut dikenal dengan
istilah Ultra High Temperature ataudisingkat UHT, yaitu pemanasan yang
dilakukan pada suhu sekitar 135°C-140°C selama 6 - 10 detik atau 140°C-150°C
selama 2 - 4 detik(Koeswardhani, 2006).

4. Teknik enrobing pada produk pangan

Fellows (1990) menyatakan coating dan enrobing adalah kegiatan


setelah proses yang dilakukan dengan menyalut makanan dengan edible coating.
Menurut Krochta (1992) edible coating adalah lapisan tipis yangterbuat dari bahan
yang dapat dimakan, serta dapat berfungsi sebagai penahan (barrier) perpindahan
massa (seperti kelembaban, oksigen, lemak, dan larutan), atau sebagai pembawa
bahan makanan dan tambahan (aditif) juga untuk meningkatkan kemudahan
penanganan makanan. Sedangka nmenurut Gennadios dan Weller (1990), edible
coating merupakan lapisantipis yang dapat dimakan, yang digunakan pada
makanan dengan cara pembungkusan, pencelupan, dan penyikatan agar terjadi
penahan (barrier) yang selektif untuk menghambat perpindahan gas, uap air, dan
bahanterlarut, sekaligus memberikan perlindungan mekanis. Ketebalan dari
coating dan enrobing ditentukan oleh viskositas bahan.Semakin tinggi viskositas
bahan akan semakin tebal bumbu yang menyelimuti bahan makanan (Alsuhendra,
2003). Proses coating dan enrobing menghasilkan perubahan pada warna, rasa,
tekstur, dan juga flavor. Warna memberikan petunjuk mengenai perubahan kimia
pada makanan, seperti reaksi browning.Tekstur merupakan faktor penentu mutu
makanan daripada warna dan rasa.Ciri dari tekstur adalah renyah, berminyak,
rapuh, empuk, bersari,menepung, dan mengeripik. Flavor merupakan kombinasi
bau, rasa, danmouthfeel (Garnida, 1989).
BAB 3. METODOLOGI PRAKTIKUM

3.1 Alat dan bahan

3.1.1 Alat

1. Timbangan analitik
2. Wajan
3. Kompor
4. Piring
5. Freezer
6. Plastik

3.1.2 Bahan

1. Nanas
2. Bayam
3. Telur Ayam tanpa cangkang
4. Pisang
5. Minyak
3.2 Skema Kerja

3.2.1 Pembekuan
3.2.2 Penggorengan
BAB 4 HASIL PENGAMATAN DAN PERHITUNGAN

4.1 Hasil Pengamatan


4.1.1 Enrobing tanpa coating
Perlakuan
Sampel Parameter
Sampel Segar Setelah digoreng

isang Barlin Berat 27,7019 gram 22,2187 gram

Warna Kuning pucat klatan, sedikit gosong

Aroma Khas pisang pisang goreng, manis

Tekstur Sedikit keras Lembut

Rasa - Manis

Gambar
4.1.1 Pembekuan
Perlakuan
Sampel arameter
Sampel Segar Setelah digoreng

Berat 22,8800 gram 22,5147 gram

Warna Kuning cerah Kuning pekat

Aroma Segar, khas nanas Segar, khas nanas

s dibungkus Tekstur Keras Keras


dan
Rasa Manis Lebih manis
disealing

Gambar

Berat 18,3379 gram 18,9217 gram

Warna Hijau cerah Hijau tua

Aroma Khas bayam Busuk


m dibungkus
Tekstur Segar Layu, berair
dan
disealing Rasa Pahit -

Gambar

Berat 55,641 gram 56,0535 gram


r ayam utuh
dibungkus Warna Putih telur: bening Putih telur: keruh
dan ning telur: kuning cerah Kuning telur: orange
disealing
Aroma Amis, khas telur Sedikit amis

Tekstur Sedikit kental Kental

Rasa Tidak berasa -

Gambar
BAB 5. PEMBAHASAN

5.1 Skema Kerja dan Fungsi Perlakuan

5.1.1 Pembekuan
Pada pengolahan suhu rendah proses yang dilakukan yaitu pembekuan.
Pada proses pembekuan, tahap pertama yang dilakukan adalah pengambilan
sampel dan penyiapan alat-alat yang akan digunakan. Pada proses pembekuan ini
bahan yang digunakan ada 3 yaitu Nanas, Bayam, dan telur ayam tanpa cangkang.
Selanjutnya dilakukan pengamatan berat/ volume, kesegaran, aroma, warna, dan
tekstur. Setelah itu, bahan dimasukkan ke dalam plastik dan disealing, kemudian
disimpang didalam frezeer selama 3 hari. ​Freezer​ ​umumnya terdiri dari dua jenis,
yaitu deep freezer dan chest freezer. Keduanya sama-sama menyediakan beberapa
slot untuk membekukkan makanan dan minuman. Tujuan dari freezer ini adalah
untuk mengawetkan makanan atau minuman dalam jangka waktu yang lama.
Setelah dibekukan selama 3 hari, kemudian dilakukan pengamatan kembali berat/
volume, kesegaran, aroma, warna dan teksturnya.

5.1.2 Penggorengan

Pada penggorengan tahap pertama yang dilakukan yaitu penimbahangan


pada sampel yang akan digunakan. Pada proses ini sampel yang digunakan yaitu
kacang tanah.Selanjutnya diamati warna, aroma, tekstur sampel sebelum
penggorengan. Setelah dilakukan pengamatan, kemudian sampel dimasukkan
kedalam minyak yang sudah dipanaskan dan digoreng selama 5 menit.
Penggorengan ini bertujuan untuk mengubah eating quality bahan pangan dan
pengawetan karena dekstruksi mikroorganisme dan enzim, serta penurunan aw
pada sampel. Setelah digoreng dilakukan penirisan pada sampel, dan kemudian
ditimbang. Selanjutnya pada tahap akhir, dilakukan pengamatan warna, aroma,
tekstur, dan rasa sampel setelah digoreng.

5.2 Analisis Data

5.2.1 Penggorengan tanpa enrobing/ coating

Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan diperoleh datasebagai


berikut. Berat pisang yang digoreng tanpa perlakuan coating/enrobing mengalami
penurunan sebesar 1.67 gram. Hal itu diakibatkan karena pada saat coating/
enrobing tidak terjadi penambahan berat akibat pelapis berupa tepung. Selain
itu, penurunan berat juga terjadi akibat penguapan uap air yang ada pada bahan.
Warna pisang coating/enrobing berubah menjadi coklat kekuning-kuningan.Hal
itu karena pada saat penggorengan terjadi reaksi browning yang mengakibatkan
pisang berubah warna menjadi kecoklatan. Aroma pisang juga berubah menjadi
tidak beraroma pisang akibat senyawa volatile yang ada pada pisang menguap
akibat kontak panas. Tekstur pisang berubahmenjadi lebih lunak, hal itu karena
tidak adanya pelapisan menggunakan tepung terigu. Menurut bouchon (2005),
pada proses penggorengan kadar produk air akan menurun akibat penguapan
selama penggorengan. Produk hasil penggorengan juga mengandung minyak yang
sebagian besar meresap setelah penggorengan.Pada rasa juga terjadi perubahan
yaitu semakin lama waktu penggorengan semakin gurih rasa produk yang
digore-ng dan semakin lama waktu penggorengan semakin aroma produk semakin
manis.

5.2.2 Pembekuan
Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan diperoleh data tentang
proses suhu rendah menggunakan pembekuan. Pada proses pembekuan ini
menggunakan tiga bahan sebagai sampel yaitu nanas, bayam, dan telur tanpa
cangkang. Parameter yang diamati antara lain, berat, warna, aroma, tekstur, dan
rasa. Pada pengamatan nanas didapatkan berat nanas sebelum digoreng yaitu
22,5147 gram dan setelah digoreng 22,5147 gram. Pada pengengamatan warna,
nanas sebelum digoreng memiliki warna kuning cerah dan setelah digoreng
menjadi kuning pekat. Pada pengamatan aroma dan tekstur nanas sebelum
digoreng dan setelah digoreng sama yaitu beraroma segar khas nanas dan
teksturnya keras. Pada pengamatan rasa, nanas sebelum digoreng memiliki rasa
yang manis, namun setelah digoreng rasa nanas menjadi lebih manis.

Pada pengamatan bayam parameter yang digunakan juga sama dengan


nanas. Pada pengamatan bayam didapatkan berat sebelum digoreng yaitu 18,3379
gram dan setelah digoreng 18,9217. Pada pengamatan warna, bayam yang masih
belum digoreng berwarna hijau cerah dan setelah digoreng menjadi hijau tua.
Pada pengamatan aroma, aroma bayam sebelum digoreng beraroma khas bayam,
namun setelah digoreng aromanya seperti bayam busuk. Pada pengamatan tekstur
dan rasa bayam sebelum digoreng memiliki tekstur segar dan setelah digoreng
teksturnya menjadi layu, dan berair, serta memiliki rasa yang pahit.

Pada pengamatan telur ayam utuh yang yang dibungkus dan disealing
parameter yang digunakan juga sama dengan pengamatan bayam dan nanas. Pada
pengamatan telur ayam didapatkan berat sebelum digoreng 55, 641 gram dan
setelah digoreng 56, 0535 gram. Pada pengamatan warna, telur ayam sebelum
digoreng putih telur berwarna bening dan kuning telur berwarna cerah, namaun
setelah digoreng putih telur berwarna keruh dan kuning telur berwarna orange.
Pada pengamatan Aroma, sebelum digoreng aroma telur ayam amis dan khas
telur, namun setelah digoreng aromanya berubah menjadi sedikit amis. Pada
pengamatan tekstur, sebelum digoreng teksturnya sedikit kental dan setelah
digoreng menjadi kental. Pada pengamatan rasa, sebelum digoreng telur ayam
tidak memiliki rasa dan setelah digoreng tidak dilakukan uji rasa pada parameter
ini.

Berdasarkan data diatas dapat disimpulkan bahwa buah yang mempunyai


kandungan air yang lebih banyak seperti nanas akan ​mengalami penurunan berat
yang diakibat penguapan uap air yang ada pada bahan. Pada penggorengan terjadi
perubahan warna, hal ini dikarenakan lama waktu yang digunakan dalam
penggorengan. Hal ini sesuai apa yang dikatakan Bouchon (2005), pada proses
penggorengan kadar produk air akan menurun akibat penguapan selama
penggorengan. Produk hasil penggorengan juga mengandung minyak yang
sebagian besar meresap setelah penggorengan. Pada rasa juga terjadi perubahan
yaitu semakin lama waktu penggorengan semakin gurih rasa produk yang
digore-ng dan semakin lama waktu penggorengan semakin aroma produk semakin
manis.

Menurut Kusnandar (2010), bahwa ​selama pembekuan, suhu produk


pangan menurun hingga di bawah titik bekunya, dan sebagian dari air berubah
wujud dari fase cair ke fase padat dan membentuk kristal es. Adanya kristalisasi
air ini menyebab kan mobilitas air terba-tas sehingga aktivitas air pun menurun.
Penurunan aktivi tas air ini berpengaruh pada penghambatan pertumbuhan
mikroba, serta reaksi-reaksi kimia dan biokimia yang mempengaruhi mutu dan
keawetan produk pangan. Dengan demikian, pengawetan oleh proses pembekuan
disebabkan oleh adanya kombinasi penurunan suhu dan penurunan aktivitas air
Pembekuan bahan pangan biasanya digunakan untuk pengawetan bahan dan
produk olahan yang mudah rusak (biasanya memiliki kadar air atau aktivitas air
yang tinggi) seperti buah, sayur, ikan, daging dan unggas. Pada suhu beku, sebagi
an besar air yang ada di dalam bahan pangan (90%-95%) membeku. Proses
pembekuan terjadi secara bertahap dari permukaan sampai pusat bahan. Pada
permukaan bahan, pembekuan berlangsung cepat sedangkan pada bagian yang
lebih dalam, proses pembekuan berlangsung lebih lambat. Pada awal proses
pembekuan terjadi fase ​precooling ​dimana suhu bahan diturunkan dari awal ke
suhu titik beku. Pada tahap ini semua kandungan air bahan berada dalamkeadaan
cair (Kusnandar, 2010).

BAB 6. PENUTUP

6.1 Kesimpulan

Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan, dapat disimpulkan yaitu:


1. Semakin tinggi suhu pasteurisasi, makin singkat watu yang dibutuhkan
untuk pemanasannya
2. Dalam proses sterilisasi, semakin rendah suhu yang digunakan
makasemakin lama waktu yang dibutuhkan
3. Penggorengan dapat mengubah eating quality suatu makanan dan
memberikan efek preservasi akibat dekstruksi termal mikroorganisme dan
enzim serta mengurangi kadar air sehingga daya simpan menjadi lebih
baik
4. penyangraian dapat mengembangkan cita rasa, menurunkan kadar air,
mematikan mikroba, menggelembungkan kulit biji hingga mudah
dipisahkan dari nib, dan membuat nib lebih renyah sehingga memudahkan
penghancuran dan penghalusan
5. Pendinginan atau refri gerasi ialah penyimpanan dengan suhu
rata-ratayang digunakan masih di atas titik beku bahan dan pembekuan
merupakan suatu cara pengawetan bahan pangan dengan cara
membekukan bahan pada suhu di bawah titik beku pangan tersebut,
dengan membekunya sebagian kandungan air bahan atau dengan
terbentuknya es sehingga ketersediaan air menurun, maka kegiatan enzim
dan jasad renik dapat dihambat atau dihentikan sehingga dapat
mempertahankan mutu bahan pangan
6. Pada proses enrobing/ coating, semakin tinggi viskositas bahan akan
semakin tebal bumbu yang menyelimuti bahan makanan

6.2 Saran
Berdasarkan praktikum pengolahan suhu tinggi dan suhu rendah
diharapkan untuk kedepannya dilakukan pembagian yang terstruktur serta untuk
menyiapkan alat yang memadai sehingga praktikum dapat berjalan dengan lancar
dan teliti.
DAFTAR PUSTAKA

Aksi Agraris Kanisius (AAK). 2000. ​Petunjuk Praktik Bertanam Buah dan Sayur​.
Jakarta: Kanisius.

Alsuhendra. 2011. ​Pengaruh Penggunaan Edible Coating Terhadap Susut Bobot,


Ph, dan Karakteristik Organoleptik Buah Potong Pada Penyajian
Hidangan Dessert​. Skripsi. Jakarta: Teknik Universitas Negeri Jakarta.

Afrianto E, dan Evi Liviawaty. (1991). ​Pengaruh Suhu dan Lama Blansing
Terhadap Penurunan Kesegaran Filet Tagih Selama Penyimpanan Suhu
Rendah. Jurnal Akuatika​. Vol. V No.1, hlm:45-54.

Alsuhendra. 2011​. Pengaruh Penggunaan Edible Coating Terhadap Susut Bobot,


Ph, dan Karakteristik Organoleptik Buah Potong Pada Penyajian
Hidangan Dessert.​ Skripsi. Jakarta: Teknik Universitas Negeri Jakarta.

Aurore, G., B. Parfait dan L. Fahrasmane. 2009. ​Bananas, raw materials for
making processed food products.​ Trends in Food Science & Technology
20 : 78-91.

Baker, R.A., 1997. ​Reassessment of Some Fruit and Vegetable Pectin Levels.
Journal of Food Science.​ 62(2): 165-172.
Baturimba, Age. 2011. ​Teknologi Pengolahan Makanan Beku.​ Makalah. Bogor:
Fakultas Teknologi Pertanian IPB.

Be miller, J.N. and K.C Huber. 2007. ​Carbohydrate ​in Food Chemistry 4th
edition. Edited by srinivasm, D, K.L. Bocaracton : Perkin, O.R Fennema,
CCR Press.

Betty. 2000. ​Cemaran mikroba terhadap telur dan daging ayam. Padang: Dinas
Peternakan Provinsi Sumatera Barat.

Bouchon, P. (2005). ​Structure Oil-Absorption Relationships During Deep-Fat


Frying. J​ ournal of Food Science Vol. 68, No. 9, 2005.

Ciptadi dan MZ Nasution. 1985. ​Pengolahan Kopi.​ Bogor: Agro Industri Press.

Collins, J. L. 1960. ​The Pineapple. World Corps Series​. London: Leonard Hill
Interscience Publ. Inc.

Effendi, M.I 2009. ​Pengantar Akuakultur.​ Jakarta: Penebar Swadaya.

Fellows, P. 1990. ​Dehydration. In Encyclopedia of Food Science and Technology.


New York: Volume 1. Jhon Willey and Son, Inc.

Gardjito, Murdianto. 2014. ​Fisiologi dan Teknologi Pasca Panen Buah dan
Sayur ​ Yogyakarta: Gajah Mada University Press

Garnida, Y. 2006. Pembuatan ​bahan edible coating dari sumber karbohidrat,


protein, dan lipid untuk aplikasi pada buah terolah minimal.​ J
INFOMATEK 8(4): 207-220.

Gennadios, A. And CC. L. Weller, 1990. ​Edible Film and Coatings from Wheat
and Corn Protein.​ J. Food Technology. 44:63

Girsang, D. 2011. ​Pengaruh Penambahan Pupuk Urea terhadap Kandungan


Nitrit pada Tanaman Bayam (Amaranthus L.) Setelah Dimasak Selama
Lima Menit.​ Medan: Universitas Sumatera Utara.

​ aryland: CTI
Gould, W.A. (1996). Unit ​Operations for the Food Industries. M
Publications. Inc.
Hudaya, S. 2008.​ Pengawetan Dengan Menggunakan Suhu Rendah​. Jakarta:
Gramedia.

Junianto. 2003. ​Teknik Penanganan Ikan. Jakarta:​ Penebar Swadaya.

Kaleka, Nobertus. 2012. ​Budi Daya Sayuran Hijau.​ Surakarta: Arcita.

Ketaren, S. 1986​. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan.​ Jakarta : UI


Press

Koeswardhani, M. (2006). ​Dasar-dasar teknologi pangan. Jakarta: Universitas


Terbuka.

Kusnandar,Feri. 2010​. Pembekuan.​ Artikel. USU digital library.

Mansoor, Nizam. 2015. ​Tahukah Anda Fakta Makanan dan Minuman yang
Berbahaya.​ Jakarta: Dunia Sehat.

Mulyantini, MGA. 2010. ​Ilmu Manajemen Ternak Unggas.​ Yogyakarta: Gajah


Mada, University Press.

Nakasone, H. Y., dan R. E. Paull. 1998. ​Tropical Fruit. CAB Internasional


London​. 445 halm.

Pantastico, E. R. D. (1993). ​Fisiologi Pasca Panen Penanganan dan Pemanfaatan


BuahBuahan dan Sayur-Sayuran Tropika dan Subtropika. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.

Rivera, Eric M., dkk. 1999. ​Sintesis Hidroksiapatit dari Kulit Telur. Elsevier Ilmu.​
Bahan Surat 4: 128–134

Rohanah, Ainun. 2002. ​Pembekuan​. Medan: Fakultas Pertanian Universitas


Sumatera Utara.

Rosyidah, E. 2003. ​Pengaruh Penambahan Ekstark Nenas (Ananas comosus) dan


Kalsium Clorida (CaCl2) Terhadap Kualitas Keju​. Malang: Universitas
Muhamadiyah.
Rusendi, Dadi. Sudaryanto. Nurjannah, Sarifah. Widyasanti, Asri.
Rosalinda,S.2010. ​Penuntun Praktikum MK. ​ andung:
B Teknik
Penanganan Hasil Pertanian.Unpad.

Sandeep, C., S.N. Rashmi, V. Sharmila, R. Surekha, R. Tejaswini dan C.K Suresh.
Growth Response of Amaranthus gangeticus to Azotobacter
chroococcum Isolated from Different Agroclimatic Zones of Karnataka.
Journal of Phytology 2011, 3 (7). Hal 29-34.

Sarwono, B. 1994. ​Pengawetan dan Pemanfaatan Telur. Jakarta: Penebar


Swadaya

Schlegel. 1994. ​Mikrobiologi Umum.​ Yogyakarta: UGM Press.

Setya, A. W. 2012. ​Teknologi Pengolahan Susu.​ Surakarta: Fakultas Teknologi


Pertanian Universitas Slamet Riyadi.

Sulihandari, H. 2013. ​Herbal, Satyur, & Buah Ajaib.​ Yogyakarta: Trans Idea
Publishing.

Tahir, Iqmal. Sumarsih, Sri. Astuti, Shinta Dwi. ​“Kajian Penggunaan Limbah
Buah Nenas Lokal (Ananas comosus, L) Sebagai Bahan Baku Pembuatan
Nata”.​ Yogyakarta: Jurusan Kimia FMIPA UGM. hal 2-3. 2008.

Tranggono dan Sutardi, 1990. ​Biokimia dan Teknologi Pasca Panen​. Yogyakarta:
Pusat Antar Universitas Pangan Dan Gizi, Gadjah Mada University
Press.

Varnam, H.A. dan Sutherland J.P. (1994). ​Beverages (Technology, Chemistry and
Microbiology).​ London: Chapman and Hall.

Wahyudi, T. dan Yusianto. 2008. ​Kakao Manajemen agribisnis dari Hulu hingga
Hilir.​ Jakarta: Penebar Swadaya.

Winarno, F.G., Srikandi F dan Dedi F. 1980​. Pengantar Teknologi Pangan.


Gramedia. Jakarta

Wirakusumah, Emma S. 2011. ​Menikmati Telur​. Jakarta: PT Gramedia Pustaka


Utama
DOKUMENTASI

A. Penggorengan Tanpa Coating


Bahan (Pisang) Penimbangan bahan Penggorengan

Bahan setelah Penimbangan bahan


penggorengan setelah penggorengan

B. Pembekuan

Nanas Bayam Telur ayam

Penimbangan bahan Sealing Pembekuan

Anda mungkin juga menyukai