Anda di halaman 1dari 17

PENGEMBANGAN INSTRUMEN EVALUASI KEMAMPUAN BERPIKIR

KREATIF SISWA SMP DALAM PEMECAHAN MASALAH IPA

Hanif Rafika Putri1


1&2
Dosen Program Studi Pendidikan Anak Usia Dini IKIP PGRI Jember
e-mail:rafika.putri13@co.id

ABSTRAK
Kemampuan berpikir kreatif perlu dilatihkan mengingat tantangan di masa
depan akan semakin sulit. Apalagi mengingat sekarang sudah zaman revolusi
industri 4.0, sehingga hanya orang yang mampu mengaktualisasikan dirinya
secara kreatif yang bisa bertahan. Seseorang yang mampu berpikir kreatif akan
mampu menemukan alternatif solusi dari segala permasalahan. Maka dari itu,
sejak anak masih usia SMP perlu dilatihkan kemampuan berpikir kreatif.
Pengambilan data pada penelitian ini dilakukan pada 20 siswa kelas VIII MTs
Darus Salam, Pondok Pesantren Darus Salam Kalisat Jember. Kemampuan
berpikir kreatif cocok jika dilatihkan kepada para santri dilingkungan pondok
pesantren. Hal ini bertujuan untuk membekali santri agar mampu bersaing dan
bertahan di masyarakat, terutama untuk memberi solusi permasalahan yang
muncul. Untuk melatihkan kemampuan berpikir kreatif, maka instrumen
evaluasinya juga perlu dikembangkan. Pengembangan instrumen ini
menggunakan model 4D. Tujuan penelitian ini adalah menghasilkan instrumen
berpikir kreatif dalam pemecahan masalah IPA dan melatihkan kemampuan
berpikir kreatif bagi siswa di pondok pesantren. Penelitian ini dilakukan secara
kuantitatif dan kualitatif. Data dianalisis dengan metode deskriptif dan kualitatif,
dengan hasil: (a) Instrumen kemampuan berpikir kreatif dengan kategori valid (b)
Kemampuan berpikir kreatif siswa terlatih (skor post test 66,5 yang berarti cukup
kreatif dengan N-gain 0,66);

Kata kunci: Instrumen penilaian, pemecahan masalah IPA, berpikir kreatif.

PENDAHULUAN
Pada era revolusi industri 4.0 ini, dibutuhkan orang-orang yang mampu
berpikir kreatif agar tetap bisa bertahan eksistensinya. Semakin maju IPTEK,
maka masalah yang dihadapi manusia juga akan semakin besar dan sulit. Oleh
karenia itu, dibutuhkan manusia yang tangguh untuk mengatasi segala macam
tantangan yang ada. Manusia yang kreatif dan inovatif diperlukan agar dapat
bertahan hidup dan menjadi manusia yang bermanfaat bagi masyarakat luas
(Munandar, 1999).
Guru memiliki fungsi sebagai fasilitator yang menuntun siswa agar menjadi
pribadi yang kreatif dan inovatif. Dalam prakteknya di lapangan, guru diharapkan
mampu melatihkan kepada siswa kemampuan berpikir kreatif, yakni; sensitif dengan
masalah-masalah; mencari informasi dari berbagai sumber eksternal; mencari
alternatif solusi dari permasalahan sehari-hari; menduga, menguji beberapa solusi
tersebut; dan mengkomunikasikan hasilnya (Torrence, 1965). Ada empat karakter
berpikir kreatif menurut Torrance (Filasaime, 2008), yakni (1) Originality yakni
keunikan dari ide yang diungkapkan; (2) Fluency yakni kemampuan untuk
menciptakan ide sebanyak-banyaknya; (3) Flexibility yakni kemampuan untuk
mengatasi rintangan mental saat mengeluarkan ide; (4) Elaboration ditunjukkan
oleh sejumlah tambahan dan detail pada setiap ide sehingga stimulus sederhana
menjadi lebih kompleks.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh para ahli menunjukkan betapa
pentingnya berpikir kreatif, namun pembelajaran di sekolah masih belum
memperhatikan hal ini. Pengembangan kemampuan berpikir kreatif di sekolah
masih sangat memprihatinkan (Munandar, 1999). Terutama di sekolah tempat
pengbambilan data. Berdasarkan hasil observasi awal yang dilakukan oleh
peneliti; (1) siswa belum permah dilatihkan kemampuan berpikir kreatif (2)
pembelajaran lebih sering berjalan searah, yakni terpusat pada guru (4)
keterbatasan waktu dan sumber daya guru IPA untuk mengembangkan perangkat
pembelajaran IPA serta instrumen penilaiannya (3) banyak siswa yang belum
berani mengungkapkan ide mereka karena takut salah dan dimarahi oleh guru.
Pengambilan data dilakukan di MTs Darus Salam Kalisat dalam naungan
pondok pesantren Darus Salam yang terletak di desa Gumuksari Kec. Kalisat
Kabupaten Jember. Pesantren ini masih dalam proses rintisan, terletak di desa
yang jauh dari kota dan belum menjadi pesantren yang modern. Pembelajaran
yang dilakukan hanyalah sebatas penyampaian materi dari guru dan siswa tinggal
menerima, jarang terjadi interaksi atau juga umpan balik. Terkadang, karena
kekurangan SDM tenaga pengajar maka guru yang bukan lulusan sarjana
pendidikan IPA mengajar IPA. Sehingga mereka kesulitan untuk mengembangkan
perangkat pembelajaran IPA beserta instrumen penilaiannya. Selain itu, dengan
latar belakang pendidikan siswa di pondok pesantren yang kental dengan metode
salaf, maka rasa malu siswa untuk mengungkapkan pendapat jauh lebih besar.
Mereka hanya mau mengungkapkan ide mereka saat mereka ditunjuk oleh guru.
Dan itupun jarang dilakukan karena biasanya pembelajaran yang dilakukan hanya
satu arah saja, yakni sering berpusat pada guru. Oleh karena itu, agar siswa
mampu menjadi generasi islami yang bisa bertahan dan bermanfaat bagi
masyarakat, perlu dilatihkan kemampuan berpikir kreatif.
Untuk melatihkan kemampuan berpikir kreatif pada siswa, maka juga
diperlukan instrumen evaluasi yang mendukung hal tersebut. Instrumen evaluasi
yang dikembangkan haruslah memenuhi kriteria valid oleh para ahli sebelum
digunakan. Instrumen ini harus mampu mengukur 4 aspek dalam berpikit kreatif,
yakni originality, fluency, dan flexibility serta elaboration (Filasaime, 2008).
Pembelajaran IPA cocok digunakan untuk melatihkan berpikir kreatif (Tim
IPA Terpadu, 2010). Pembelajaran IPA mendorong siswa tanggap terhadap
lingkungannya, sehingga bisa memacu siswa melatih keterampilan berpikir
kreatifnya untuk digunakan dalam memberi solusi masalah yang terdapat di
lingkungan dan kehidupan sehari-hari (Audrey, 2012).
Dari uraian yang disebutkan di atas, maka dilakukan penelitian dengan judul
“Pengembangan Instrumen Evaluasi Kemampuan Berpikir Kreatif Siswa SMP
dalam Pemecahan Masalah IPA”.

KAJIAN PUSTAKA
Dalam belajar IPA siswa diarahkan untuk membandingkan hasil prediksi
siswa dengan teori melalui kegiatan observasi dan eksperimen dengan
menggunakan metode ilmiah. Pendidikan IPA di sekolah diharapkan dapat
menjadi sarana bagi siswa untuk mempelajari diri sendiri, alam sekitarnya serta
menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari, sesuai dengan metode ilmiah.
Hakikat IPA meliputi empat unsur utama, meliputi:
1. Sikap ; rasa ingin tahu tentang benda, fenomena alam, makhluk hidup serta
hubungan sebab akibat yang menimbulkan masalah baru yang dapat
dipecahkan melalui prosedur yang benar.
2. Proses; prosedur pemecahan masalah melelui metode ilmiah.
3. Produk; berupa fakta, konsep, teori, prisip dan hukum.
Aplikasinya berupa penerapan metode ilmiah dan konsep IPA dalam
kehidupan sehari-hari (Mariana, 2009). Dalam proses pembelajaran IPA di
sekolah, hakikat IPA harus muncul agar siswa dapat memahami kejadian alam
yang muncul dalam kehidupan sehari-hari serta dapat memecahkan masalah di
lingkungan mereka melalui metode ilmiah. Pembelajaran IPA di sekolah
diharapkan mampu melatih siswa melakukan pengematan empiris untuk menguji
hipotesis, memberikan pengalaman pada siswa, melatihkan keterampilan berpikir
dan memecahkan masalah IPA. Agar dapat mewujudkan pembelajaran yang IPA
yang demikian, maka guru dituntut untuk lebih aktif, kreatif serta melakukan
berbagai inovasi pembelajaran tanpa meninggalkan isi kurikulum.
Menurut Perkins (1988) dalam Starko (2010) mendeskripsikan kreativitas
sebagai :
a. Hasil kreatif adalah sebuah hasil yang asli dan layak.
b. Orang yang kreatif adalah orang dengan kreativitas, yakni orang yang secara
rutin memproduksi hasil kreatif.
Untuk menjadi kreatif, ide atau produk haruslah baru dan berifat orisinil atau
asli dari pencetusnya. Faktor penting untuk menetukan kelayakan adalah konteks
budaya dimana kreativitas itu didasarkan. Berpikir kreatif memiliki tujuan untuk
mengupayakan agar sesuatu dapat bekerja, untuk menjadikan sesuatu lebih baik,
lebih bermakna, dan lebih indah (Starko 2010). Tujuan dari berpikir kreatif adalah
untuk berkomunikasi dan mencari solusi untuk memecahkan masalah yang ada
dalam kehidupan sehari-hari.
Kreativitas dirumuskan dalam istilah 4P, yakni Person, Process, Product dan
Press (Munandar, 1999). Menurut Sternberg (1988) dalam Munandar (1999),
berpikir kreatif merupakan titik pertemuan yang khas antara tiga atribut
psikologis, meliputi intelegensi, gaya kognitif dan kepribadian atau motivasi.
Ketiga atribut psikologis ini menunjukkan apa yang meletarbelakangi seseorang
berpikir kreatif.
Berpikir kreatif muncul dari interaksi pribadi dengan lingkungannya jika
ditinjau dari aspek person (pribadi). Ciri orang yang kreatif menurut berbagai
macam peneliti meliputi imajinatif, inisiatif, keterbukaan, obyektivitas,
fleksibilitas, kelancaran, sensitivitas pada stimulus indera, memiliki minat yang
luas, memiliki keingintahuan, mandiri dalam berpikir, kepercayaan diri dengan
idenya, bersedia mengembil resiko, kemauan mencoba ide yang baru, kemampuan
sintesis, penuh energi sehingga mampu bekerja intensif dalam periode waktu yang
lama (Filasaime, 2008).
Definisi tentang berpikir kreatif sebagai proses (process) menurut Torrance
adalah sensitif dengan masalah-masalah; mencari informasi dari berbagai sumber
eksternal; mencari beberapa solusi; menduga, menciptakan alternatif-alternatif
untuk menyelesaikan masalah, menguji dan menguji kembali beberapa alternatif
tersebut; menyempurnakannya dan akhirnya mengkomunikasikan hasilnya
(Filasaime, 2008).
Razik (1966) dalam Filasaime (2008) mendefinisikan arti berpikir kreatif
sebagai sebuah proses. Berpikir kreatif melibatkan kemampuan untuk
memproduksi ide-ide orisinil, membangun sebuah rangkaian yang unik diantara
faktor-faktor yang nampaknya tidak saling berkaitan. Berpikir kreatif tidak hanya
melibatkan satu jenis perilaku. Setiap orang memiliki daya berpikir kreatif, tetapi
tingkatannya berbeda-beda.

Ada 4 tahap dalam proses kreatif menurut Wallas, yakni:


a. Preparation (Persiapan)

Selama tahap ini, masalah di deteksi, kemudian mengumpulkan


informasi yang relevan dengan masalah yang dihadapi. Pada tahap ini, ide yang
paling bagus juga dimunculkan (Starko, 2010).
b. Incubation (Inkubasi)
Selama masa inkubasi, individu yang sedang menghadapi masalah tidak
harus memikirkan masalahnya secara terus menerus, melainkan melakukan
aktivitas atau pekerjaan seperti biasanya, seperti mandi, atau juga memasak dan
mencuci mobil. Tetapi, selama melakukan aktivitas seperti biasanya, masalah
akan masuk ke dalam pikiran alam bawah sadar. Usaha untuk menyelesaikan
masalah harus diikuti dengan menyelam ke dalam pikiran bawah sadar dan
membiarkan pikiran bawah sadar tersebut mengatasinya.
c. Illumination (Iluminasi)

Illuminnasi merupakan saat dimana tiba-tiba ide dan solusi untuk


masalah yang dihadapi muncul.
d. Verification (Verifikasi)

Pada tahap ini, solusi dari masalah yang telah ditemukan diuji untuk
mengetahui apakah solusi tersebut cocok untuk menyelesaikan masalah. Tahap
ini merupakan sebuah tahap yang penting karena kemampuan untuk mengenal
ketika sebuah solusi cocok dengan masalah merupakan aspek penting dari
berpikir kreatif (Filsaime, 2008).
Definisi produk kreatif (product) menekankan bahwa produk kreatif
merupakan hasil dari proses kreatif yakni sesuatu yang baru, orisinil dan
bermakna (Munandar, 2009). Produk kreatif merupakan sebuah objek fisik,
sebuah benda, atau sistem teoritis yang nyata, baru dan merupakan hasil dari
individu yang berinteraksi dengan lingkungannya. Kriteria untuk produk kreatif
antara lain produk itu harus nyata; produk itu harus baru; produk tersebut
merupakan hasil dari kualitas unik individu dalam interaksi dengan
lingkungannya.
Jadi, definisi berpikir kreatif adalah proses yang melibatkan kemampuan
seseorang untuk membuat atau menciptakan sesuatu yang baru, memproduksi
ide-ide yang orisinil, lebih baik, dan berguna bagi kemanusiaan. Setiap orang
memiliki kemampuan untuk berpikir kreatif, tetapi tingkatannya berbeda-beda.
Berpikir kreatif merupakan salah satu perkembangan puncak dalam tahap-tahap
pertumbuhan seseorang.
Ada empat karakter berpikir kreatif menurut Torrance (Filasaime, 2008), yakni :
a. Orisinalitas (Orisinality)
Berpikir kreatif bukan memproduksi kembali, tetapi membawa sesuatu
yang baru (Europan University Association, 2007). Kategori ini mengacu pada
keunikan dari respon apapun yang diberikan. Orisinalitas ditunjukkan dengan
sebuah respon yang tidak biasa, unik dan jarang terjadi. Stimulasi dari ide-ide
yang orisinil dapat diperoleh dengan cara berpikir tentang masa depan.
b. Elaborasi (Elaboration)
Elaborasi merupakan jembatan bagi seseorang untuk
mengkomunikasikan ide kreatifnya kepada masyarakat. Elaborasi ditunjukkan
oleh sejumlah tambahan dan detail yang bisa membuat stimulus sederhana
menjadi lebih kompleks.
c. Kelancaran (Fluency)
Kelancaran merupakan kemampuan untuk menciptakan ide sebanyak
-banyaknya. Kelancaran merupakan salah satu indikator yang kuat dari berpikir
kreatif. Semakin banyak ide, semakin besar kemungkinan untuk mendapatkan
ide yang signifikan.
d. Fleksibilitas (Flexibility)
Fleksibilitas merupakan karakteristik yang menggambarkan kemampuan
seseorang untuk mengatasi rintangan mental, mengubah pendekatan untuk
sebuah masalah.
Ada dua langkah untuk melatihkan kemampuan berpikir kreatif kepada siswa,
meliputi :
a. Menghilangkan beberapa penghalang dari daya berpikir kreatif siswa.
b. Mendorong kreativitas yang dimiliki oleh siswa

Jadi, cara melatihkan berpikir kreatif kepada siswa adalah dengan cara

menghilangkan beberapa penghalang berpikir kreatif dan mendorong berpikir

kreatif yang dimiliki siswa dalam kelas, yakni dengan cara mendorong siswa

berpikir divergen, toleransi terhadap perbedaan pendapat, mendorong siswa


percaya pada penilaian mereka sendiri, memberikan penekanan bahwa setiap

orang mampu berpikir kreatif dalam beberapa bentuk, dan memberikan waktu dan

ruang untuk proyek kreatif.

Tujuan paling penting dari tes kreativitas adalah untuk mengidentifikasi

potensi kreatif seorang anak. Kreativitas sangat penting dan bermakna dalam

hidup, sehingga guru dan orang tua ingin memberikan pengalaman pengayaan

kepada anak yang berbakat kreatif. Ada lima alasan penting untuk mengukur

potensi kreatif yakni untuk tujuan pengayaan (enrichment), perbaikan (remedial),

bimbingan kejuruan, penilaian program pendidikan dan mengkaji berbagai tahap

kehidupan (Munandar, 1999).

Instrumen penilaian berpikir kreatif yang digunakan dalam penelitian ini

menggunakan tes Guilford. Tes berpikir kreatif dari Guilford ini mengukur

kemampuan berpikir divergen terutama digunakan untuk populasi remaja dan

orang dewasa, ada juga untuk anak-anak kelas 4 sampai kelas 6 sekolah dasar.

Allternate Uses (juga dikenal sebagai Guilford’s Alternate Uses) merupakan revisi

dan format perbaikan dari tes Unusual Uses, yang versi aslinya dirancang

(Wilson, Guilford, Christensen & Lewis, 1954) untuk merepresentasikan suatu

faktor yang diharapkan dari “flexibility of thinking” dalam suatu penyelidikan

tentang berpikir kreatif. Salah satu contoh butir soal dalam tes ini adalah terdapat

nama benda yang dikenal dengan baik oleh siswa, mislanya surat kabar. Peserta

tes menuliskan sebanyak enam penggunaan dari surat kabar yang tidak biasa,

dalam waktu yang ditentukan. Batasan waktu penting pada tes Guilford karena

penentuan waktu merupakan hal yang penting untuk pengetesan yang cermat
(Munandar, 2009). Skor Alternate Use itu berhubungan dengan originality,

fluency, flexibility, elaboration (Nur, 2014).

METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian pengembangan (developmental research),
yakni dengan mengembangkan instrumen penilaian berpikir kreatif. Instrumen
yang telah dikembangkan ini selanjutnya akan diimplementasikan di kelas.
Penelitian ini dilakukan di MTs Darus Salam di bawah naungan lembaga Yayasan
Pondok Pesantren Darus Salam Gumuksari Kalisat Jember.
Tahapan dalam penelitian ini ada dua, yakni tahap pengembangan dan tahap
kedua yakni implementasi instrumen pada siswa kelas VIII MTs Darus Salam
Kalisat. Tema pembelajaran IPA terintegrasi yang dipilih adalah Roket Air.
Model pengembangan instrumen penilaian dalam penelitian kali ini mengadaptasi
model 4D (four D models) yang terdiri dari empat tahap, yaitu tahap pendefinisian
(define), perancangan (design), pengembangan (develop) dan penyebaran
(disseminate) (Thiagarajan et al, 1974). Penelitian ini hanya sampai ke tahap
ketiga pada model 4D, yaitu pengembangan (develop). Adaptasi model 4D
ditunjukkan pada Gambar 1.
Analisis Kebutuhan

Analisis Siswa Pendefinisian


(define)

Analisis Tugas Analisis Konsep

Perumusan Tujuan
Pembelajaran

Penyusunan Perangkat
Pembelajaran dan Tes
Perancangan
(design)

Perancangan Awal Perangkat


Pembelajaran Draft 1

Validasi

Revisi Draft 2

Pengembangan
Ujicoba 1 (ujicoba terbatas) (develop)

Revisi 2 Draft 3

Ujicoba 2

Perumusan
Analisis Naskah Akhir

Laporan Akhir
Gambar 1. Diagram Alir Pengembangan Perangkat Pembelajaran Model 4D
(Diadaptasi dari Ibrahim, 2002)

HASIL DAN PEMBAHASAN


A. Validitas Instrumen Penilian Kemampuan Berpikir Kreatif

Tabel 1. Hasil validasi instrumen kemampuan berpikir kreatif siswa

Aspek yang dinilai


No. Validasi Isi Validasi Bahasa
Butir
Soal Penilaian Rerat R Penilaian Rerata R
K K
V1 V2 a Skor (%) V1 V2 Skor (%)
1 4 3 3,5 SV 86 4 4 4 V 100
2 4 3 3,5 SV 86 4 4 4 V 100
3 4 4 4 SV 100 3 4 3,5 V 86
4 4 3 3,5 SV 86 4 4 4 V 100
5 4 3 3,5 SV 86 4 4 4 V 100

Keterangan:
V1: Validator 1 V2: Validator 2 K: Kriteria
SV: Sangat Valid V: Valid R : Reliabilitas

Instrumen penilaian kemampuan berpikir kreatif siswa yang telah


dikembangkan dapat dinyatakan valid dan dapat diimplementasikan. Hasil
validasi instrumen yang mendapat kategori valid dan sangat valid dengan
reliabilitas antara 86% dan 100%. Instrumen yang dikembangkan ini mengacu
kepada instrumen tes berpikir kreatif Guilford (1967). Instrumen ini mengukur
karaktersitik berpikir kreatif anak meliputi aspek tes berpikir kreatif mengukur
kemampuan berpikir divergen terutama digunakan untuk populasi remaja dan
orang dewasa. Batasan waktu penting pada tes Guilford karena penentuan waktu
merupakan hal yang penting untuk pengetesan yang cermat (Munandar, 2009).
B. Hasil Kemampuan Berpikir Kreatif Siswa
Tes yang berupa Guilford Alternate Use digunakan untuk menilai
kemampuan berpikir kreatif siswa. Skor dari Guilford Alternate Use yang
digunakan berhubungan dengan originality, fluency, flexibility, yang merupakan
karakteristik dari berpikir kreatif (Nur, 2014).

Tabel 2. Hasil tes kemampuan berpikir kreatif dan skor N-Gain

Niliai Niliai
Inisial N-
Kriteria Kriteria Kategori
Siswa Gain
Post-
Pre-Test
Test
S1 40 KK 66 CK 0,65 Sedang
S2 43 CK 59 CK 0,43 Rendah
S3 44 CK 67 CK 0,64 Sedang
S4 50 CK 70 K 0,67 Sedang
S5 49 CK 74 K 0,81 Tinggi
S6 43 CK 83 K 1,08 Tinggi
S7 47 CK 61 CK 0,42 Sedang
S8 46 CK 76 K 0,88 Tinggi
S9 51 CK 76 K 0,86 Tinggi
S10 41 CK 74 K 0,85 Tinggi
S11 40 KK 66 CK 0,65 Sedang
S12 36 KK 56 CK 0,45 Sedang
S13 51 CK 79 K 0,97 Tinggi
S14 39 CK 67 K 0,68 Sedang
S15 44 CK 67 CK 0,64 Sedang
S16 43 CK 59 CK 0,43 Rendah
S17 34 KK 57 CK 0,50 Sedang
S18 40 KK 66 CK 0,65 Sedang
S19 24 KK 50 CK 0,46 Sedang
S20 36 KK 56 CK 0,45 Sedang

Keterangan:
KK : Kurang Kreatif
CK : Cukup Kreatif
K : Kreatif
SK : Sangat Kreatif
Berdasarkan Tabel 2 di atas, data hasil tes kemampuan berpikir kreatif
siswa pada pre-test diperoleh rerata 42,05 dengan kategori cukup kreatif dan pada
post-test diperoleh rerata 66,45 dengan kategori cukup kreatif. Perhitungan N-
gain menunjukan rata-rata 0,66 dengan kriteria sedang.
Setelah dilakukan analisis, indikator kemampuan berpikir kreatif yang
mengalami peningkatan paling signifikan antara pre test dan post test adalah
aspek kelancaran (fluency) dan fleksibilitas (Flexibility). Fluency adalah
kemampuan mengungkapkan ide sebanyak-banyaknya. Semakin banyak ide,
semakin besar kemungkinan untuk mendapatkan ide yang signifikan. Indikator ini
mengalami peningkatan skor yang paling signifikan karena peneliti sering
mengajak siswa melakukan sesi curah pendapat untuk menyelesaikan
permasalahan merangsang siswa untuk aktif mengungkapkan ide ide mereka.
Selain itu, pada saat dilaksanakan penelitian, peneliti juga aktif memberi motivasi
agar siswa tidak malu mengungkapkan pendapat mereka. Sehingga, dengan
kegiatan ini dilaksanakan, maka menjadikan siswa terbiasa untuk mengungkapkan
ide sebanyak-banyaknya (Nur, 2014).
Fleksibilitas adalah karakteristik yang menggambarkan kemampuan seseorang
untuk mengatasi rintangan mental, mengubah pendekatan untuk sebuah masalah.
Fleksibilitas menunjukkan kemampuan siswa dalam mengungkapkan ide yang
berbeda untuk menyelesaikan masalah. Selama proses pembelajaran, peneliti
memberikan penekanan kepada siswa bahwa setiap orang mampu
mengungkapkan ide kreatif mereka dalam beberapa bentuk.
Indikator yang memiliki perbedaan skor yang rendah antara pre test dan
pos test adalah indikator elaborasi (elaboration) dan keaslian (originality).
Elaborasi ditunjukkan oleh sejumlah tambahan dan detail yang bisa membuat
stimulus sederhana menjadi lebih kompleks (Curtis, 2003). Elaborasi menjadi
salah satu indikator berpikir kreatif yang memiliki perbedaan skor yang tidak
signifikan antara pre test dan post test karena masih banyak siswa yang belum
bisa menghubungkan wawasan atau konsep yang mereka miliki untuk
memperjelas ide yang mereka ungkap untuk menyelesaikan masalah. Keaslian
(originality) merupakan indikator yang paling sulit dilatihkan kepada siswa, ini
karena siswa terpaku dan terpengaruh oleh beberapa hal yang dijelaskan di buku
siswa dan contoh dari peneliti.
Tetapi, secara keseluruhan terdapat peningkatan kemampuan berpikir
kreatif siwa pada implementasi terhadap 20 siswa kelas VIII MTs Darus Salam
Kalisat, seperti yang disajikan pada Tabel 2.
Dari hasil yang telah diuraikan di atas, maka produk instrumen evaluasi
berpikir kreatif berpengaruh terhadap kemampuan berpikir kreatif siswa. Hasil
penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Hadzigeorgiou dan
Audrey pada tahun 2012 yang menyatakan bahwa pembelajaran IPA dapat
melatihkan kemampuan berpikir kreatif siswa karena imajinasi dan kreativitas
merupakan hal pokok yang dipertimbangkan dalam perkembangan natural
science atau IPA .

SIMPULAN
A. Simpulan
Simpulan dari penelitian ini adalah produk yang berupa instrumen evaluasi
kemampuan berpikir kreatif siswa layak untuk digunakan dalam pembelajaran
sehari-hari dan dapat digunakan untuk melatih kemampuan berpikir kreatif siswa
SMP.

DAFTAR PUSTAKA
Anderson, L.W. & Krathwol, D.R. (2001). A Taxonomy for Learning, Teaching
and Assessing: A Revision of Bloom’s Taxonomy of Educational
Objectives. New York. Logman.
Arends, Richard. (2008). Learning to Teach. Seventh Edition. New York:
McGraw-Hill.
Arikunto, Suharsimi. (2006). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik.
Jakarta: Rineka cipta.
Borich, G. D. (1994). Observation Skill For Effective Teaching. New York: Mac
Millan Publishing Company.
BSNP. (2006). Panduan Penyusunan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta: Badan Standar
Nasional Pendidikan.
BSNP. (2007). Standart Proses Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah.
Jakarta: Badan Standar Nasional Pendidikan.
Bungin, Burhan. (2007). Penelitian Kualitatif. Jakarta: Kencana Jakarta
Cain & Evans, 1990. Sciencing: An Involvement Approach to Elementary Science
Methods 3rd Edition. Toronto: Merril Publishing Company.
Campbell, N.A & J.B. Reece. (2008). Biologi Edisi Kedealapan Jilid 3.
Jakarta: Erlangga.
Carin, Arthur A., and Sund, Robert B. (1989). Teaching Science Throught
Discovery. Colombus: Merill Pubishing Company.
Carin. A. A. (1993). Teaching Modern Science Sixth Edition. New York:
Macmillan Publishing company.
Collette & Chiappetta, 1994. Science Instruction in The Middle and Scondary
School. New York: Macmilian Publishing.
Conant, J. 1951. Science and common sense. New Haven, CT: Yale University
Press.
Depdiknas. (2007). Panduan Pengembangan Pembelajaran IPA Terpadu. Jakarta:
Puskur, Balitbang Depdiknas.
Dharma, (2008). Kreativitas. Jakarta: Direktorat Tenaga Kependidikan, Direktorat
Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan tenaga Kependidikan
Departemen Pendidikan Nasional.
Dimyanti dan Mudjiono. (2009). Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka
Cipta.
Europan University Association. (2007). Creativity in Higher Education Report
on the EUA Creativity Project 2006-2007. Brussel Belgium: Europan
University Association.
Filasaime, Dennis, K. (2008). Menguak Rahasia bepikir Kritis dan Kreatif.
Jakarta; Prestasi Pustakaraya.
Fogarty, R. 1991. The Mindful School: How To Integrate The Curicula. Palatine:
IRI/Skylight Publishing, Inc.
Gagne, Briggs dan Wager, (1988). Principles of Instructional Design. Toronto:
Holt, Rinehart and Winstons, Inc.
Giancoli.(2001). Fisika Jilid I. Jakarta: Erlangga.
Gronlund, N. E.and Linn, R. L.(1995). Measurement and assesment in
teaching(7th ed). New Jersey: Merril Englewood Cliffs.
Hadzigeorgiou, Yannis. (2012). Thinking about Creativity in Science Education.
Scientific Research: Creativity Education.
Hake. (1999). Analyzing change/gain scores. (Online). Tersedia http://www.
physicsindiana.edu/sdi/Analyzing-Change-Gain. pdf.
Hodson, D. (1996). Laboratory work as scientific method: Three decades of
confusion and distortion. Journal of Curriculum Studies.
(Online),http://65.54.113.26/Publication/3305623/laboratory-work-as-
scientific-method-three-decades-of-confusion-and-distortion, diakses pada
tanggal 11 Januari 2014
Ibrahim, M. (2010). Dasar-dasar Proses Belajar Mengajar. Surabaya: Unesa:
University Press.
Ibrahim, M. (2002). Pengembangan Perangkat Pembelajaran. Modul Disajikan
pada Pelatihan Terintegrasi Berbasis Kompetensi Guru mata Pelajaran
Biologi SLTP. Jakarta : Dirjen Dikdasmen Depdiknas
Ibrahim M. (2005). Asesmen Berkelanjutan: Konsep Dasar, Tahapan
Pengembangan dan Contoh. Surabaya: Unesa Unirvesity Press.
Johnson, David, W., Roger, T., Johnson. (2002). Meaningfull Assessment. USA:
Allyn and Baccon.
Kemendikbud. (2013). KURIKULUM 2013. Jakarta: Badan Penelitian dan
Pengembangan.
Khanafiyah, S & Rusilowati, A.(2010). Penerapan pendekatan modified free
inquiry sebagai upaya meningkatkan kreativitas mahasiswa calon guru
dalam mengembangkan jeensi eksperimen dan pemahaman terhadap materi
fisika. Jurnal Pendidikan FMIPA Universitas Negeri Semarang.
Krathwohl, D. R. (2002). A revision of Boom’s Taxonomy: An Overview.
Diambil dari jurnal Theory into Practice Vol. 41 diunduh pada tanggal
21 November 2014.
Majid, Abdul. (2008). Perencanaan Pembelajaran. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Mariana, I Made Alit. (2009). Hakikat IPA dan Pendidikan IPA. Bandung:
PPPPTK IPA.
Mitarlis dan Sri Mulyaningsih. (2009). Pembelajaran IPA Terpadu. Surabaya:
Unesa
Mulyasa, H. E. (2013). Pengembangan dan Implementasi Kurikulum 2013.
Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Munandar, Utami. (1999). Kreativtas dan Keterbakatan Strategi mewujudkan
Potensi Kreatif dan Bakat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Munandar, Utami. (2009). Pengembangan Kreativitas Anak Berbakat Jakarta:
Rineka Cipta.
Nanuru, F. Ricardo. (2013). Progresivisme Pendidikan dan Relevansinya di
Indonesia. Jurnal UNIERA Volume 2 Nomor 2; ISSN 2086-0404
Nur, M. (2011). Modul Keterampilan-keterampilan Proses dan Hakikat Sains.
Surabaya: PSMS Unesa.
Nur, M. (2014). Berpikir Kreatif Surabaya: Penelitian Unggulan Perguruan Tinggi
UNESA.
Ott, jack. (2002). Penilaian Unjuk Kerja (disarikan oleh kusrini & tatag YES).
Surabaya: Pusat Sains dan Matemarika Sekolah Unesa.
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. (2013). Tentang Kerangka Dasar
Dan Struktut Kurikulum Sekolah Menengah Pertama/Madrasah
Tsanawiyah. Jakarta: Depdiknas
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 58. (2014). Tentang
Kerangka Dasar Dan Struktut Kurikulum Sekolah Menengah
Pertama/Madrasah Tsanawiyah. Jakarta: Depdiknas
Prastowo, A. (2012). Bahan Ajar Inovatif. Yogyakarta: Diva Press.
Pusat Kurikulum, Balitbang, Depdiknas. (2007). Panduan Pengembanagn
Pembelajaran IPA Terpadu, SMP/MTs.
Ratumanan dan Lauren. (2011). Evaluasi Hasil Belajar pada Tingkat satuan
Pendidikan Edisi 2. Surabaya. Unesa University Press.
Riduwan. (2010). Skala Pengukuran Variabel-Variabel Penelitian cetakan ke VII.
Bandung: Alfabeta.
Rule, Audrey C. (2012). Creativity and Thinking Skills Integrated into a Science
Enrichment Unit on Flooding. Scientific Research: Creativity Education
Salirawati, Das. (2007). Pembelajaran IPA Terpadu untuk Mendukung
Kreativitas Siswa. Makalah Lokakarya Metode Pembelajaran Inovatif dan
Sistem Penilaiannya. Yogyakarta : FMIPA UNY.
Serway, A. R.and Jewett, W. J. (2014).Physics for scientists and engineers with
modern physics. United States of America: Cengage Learning.
Slavin, Robert E. 2011. Psikologi Pendidikan Teori dan Praktik Edisi Kesembilan
Jilid 1 : Teori dan Praktik.. Jakarta : PT Indeks.
Starko, Alan, Jordan. (2010). Creativity in The Classroom.New Jersey: LEA
Publishers.
Thiagarajaan, S., Semmel.D.S. & Semmel,M.I. (1974). Instructional Development
for training teacher of Exceptional Children a Sourcebook. Bloomington:
Center for Innovation on teaching the Handicaped.
Tim IPA Terpadu. 2010. Draft Panduan Pengembangan Pembelajaran IPA
Secara Terpadu. Jakarta : Kementerian Pendidikan Nasional Direktorat
Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat
Pembinaan Sekolah Menengah Pertama.
Torrence, E. Paul. (1965). Scientific Views of Creativity and Factors Affecting
it’s Growth. Daedalus, Vol. 94, No. 3, Creativity and Learning
(Summer, 1965), pp. 663-681. American Academy of Arts & Sciences:
The MIT Press.
Varelas, M and Ford M. 2009. The scientific method and scientific inquiry:
Tensions in teaching and learning. USA: Wiley InterScience.

Anda mungkin juga menyukai