Abstract
Indonesia has a variety of modern markets and traditional markets. On the PPID Bandung website,
there are 40 traditional markets in Bandung. Traditional markets have very tight competition with modern
markets. The government should have a very important role to protect traditional traders from being
competitive with modern markets. In this mini research journal, it will be discussed related to
Understanding and Awareness of traditional market traders in the Traditional Market. This journal contains
research that shows Understanding and Awareness of traders regarding trading order that refers to the
Legal Metrology Act (UU No. 2 of 1981), the Consumer Protection Act (UU No. 8 of 1999), and
Government Regulations on Labels and Food Advertising (PP No. 69 of 1999). Data processing techniques
used are interviews directly to the Traditional Market traders.
Keywords : Traditional market, Legal Metrology Act, Consumer Protection Act, and Goverment Regulations
on Label and Food Advertising
Abstraksi
Indonesia memiliki berbagai Pasar modern dan Pasar Tradisional. Dilangsir pada website PPID kota
Bandung, terdapat 40 pasar tradisional yang terdapat pada Kota Bandung. Pasar tradisional memiliki
persaingan yang sangat ketat dengan pasar modern. Pemerintah harusnya memiliki peran yang sangat
penting untuk melindungi pedagang tradisional agar tidak kalah saing dengan pasar modern. Pada jurnal
mini research ini akan dibahas terkait Pemahaman dan Kesadaran pedagang pasar tradisional di Pasar
Sederhana. Jurnal ini berisikan penelitian yang menunjukkan Pemahaman dan Kesadaran pada pedagang
mengenai tertib niaga yang mengacu pada Undang-Undang Metrologi Legal (UU No. 2 Tahun 1981),
Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UU No. 8 tahun 1999), dan Peraturan Pemerintah Label dan Iklan
Pangan (PP No. 69 tahun 1999). Teknik pengolahan data yang digunakan yaitu wawancara secara langsung
kepada pedagang Pasar Sederhana.
Kata kunci : Pasar Tradisional, Undang-Undang Metrologi Legal, Undang-Undang Perlindungan Konsumen,
dan Peraturan Pemerintah Label dan Iklan Pangan
PENDAHULUAN
Pasar sederhana merupakan pasar tradisional yang menjual berbagai macam kebutuhan. Pasar Sederhana
masih menjadi favorit di kalangan masyarakat Bandung karena selain harganya murah, barangnya juga
masih bisa dibilang bagus. Kegiatan timbang-menimbang pun juga tidak asing lagi di tempat ini. Pedagang
di pasar ini harusnya mengetahui tentang pengetahuan seputar metrologi, alat ukur, Undang-Undang
Perlindungan Konsumen, dan Peraturan Pemerintah terkait dengan Label, Iklan, dan Pangan agar
keterjaminan mutu mutu barang tetap terjaga dan konssumen tidak dirugikan. Oleh karena itu survey
wawancara ini sangat penting untuk mengetahui tingkat pemahaman dan kesadaran dari para perdagang di
pasar sederhana.
Era globalisasi sekarang ini terjadi fenomena menjamurnya pasar modern ditengah-tengah keberadaan
pasar tradisional. Hal ini memunculkan persepsi di masyarakat yang beragam. Seperti yang kita ketahui
bersama bahwa saat ini, banyak sekali perdebatan mengenai pasar tradisional melawan pasar modern.
Segalanya bermula ketika banyak pedagang pasar tradisional yang “ngandang” alias gulung tikar diakibatkan
oleh menjamurnya pasar - pasar modern. Banyak pendapat dan pandangan para ahli digulirkan. Peraturan
presiden yang mengatur tentang hal ini pun juga telah dikeluarkan. Yaitu peraturan presiden (Perpres) No
112 Tahun 2007 tentang penataan dan pembinaan pasar tradisional, pusat perbelanjaan, serta toko modern
(biasa disebut perpres pasar modern), akhirnya ditandatangani oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
pada 27 Desember 2007 lalu, dan dalam Peraturan Daerah No 2 Tahun 2002 tentang perpasaran swasta,
sudah diatur bahwa jarak antara pasar tradisional dan modern minimal 2,5 kilometer. Sementara itu, pada
kenyataannya, hampir setiap 500 meter di wilayah pinggiran kota, kita akan sangat mudah menemukan pasar
modern dan supermarket kecil-kecilan. Akan tetapi bukan bararti masalah ini bisa sepenuhnya bisa teratasi.
Seiring dengan perkembangan waktu, adanya modernisasi dan meningkatnya kesejahteraan masyarakat,
banyak masyarakat yang berbelanja di pasar modern dan mulai enggan berbelanja di pasar tradisional
(kecuali untuk produk-produk yang tidak ada di supermarket). Tidak sedikit konsumen yang merubah
perilaku belanjanya dari pasar tradisional pindah, coba-coba (trial), dan cari alternatif (switching) ke pasar
modern.
Hal ini wajar karena kondisi pasar tradisional selalu identik dengan becek, semerawut, kurang nyaman.
Kelemahan dari pasar tradisional inilah yang menjadi daya jual bagi pasar modern. Seperti hal nya pada
Supermarket yang menyediakan tempat yang nyaman, teratur, bergengsi, berAC, aman, bersih, dan pembeli
bisa memilih barang dengan leluasa. Menurut Schiffman dan Kanuk (2000) perilaku konsumen adalah proses
yang dilalui oleh seseorang dalam mencari, membeli, menggunakan, mengevaluasi, dan bertindak pasca
konsumsi produk, jasa maupun ide yang diharapkan bisa memenuhi kebutuhannya. Christina (2008)
menyebutkan faktor-faktor yang menjadi penentu keputusan pada seseorang datangnya tidak hanya dari
pengaruh eksternal yang meliputi pengaruh keluarga, kelompok yang dijadikan acuan, dan budaya saja, akan
tetapi juga dipengaruhi oleh faktor internal konsumen yaitu pengaruh pribadi dan pengaruh psikologis
konsumen. Pengaruh pribadi meliputi usia, tahap siklus hidup, pekerjaan, lingkungan ekonomi, gaya hidup
serta kepribadian dan konsep diri. Sedangkan pengaruh psikologis meliputi motivasi, persepsi, pembelajaran
serta keyakinan, sedangkan yang terakhir adalah faktor stimulus yang berupa strategi bauran eceran (retail
mix) yang meliputi produk, harga, promosi, lokasi, personalia, dan presentasi. Secara umum pengertian pasar
adalah kegiatan penjual dan pembeli yang melayani transaksi jual-beli. Pengkategorian pasar tradisional dan
pasar modern sebenarnya baru muncul belakangan ini ketika mulai bermunculannya pasar swalayan,
supermarket, hypermarket dan lain sebagainya.
Pasar tradisional merupakan tempat bertemunya penjual dan pembeli serta ditandai dengan adanya
transaksi penjual pembeli secara langsung, bangunan biasanya terdiri dari kios-kios atau gerai, los dan
dasaran terbuka yang dibuka oleh penjual maupun suatu pengelola pasar. Sedangkan Pasar modernadalah
pasar yang penjual dan pembeli tidak bertransaksi secara langsung melainkan pembeli melihat label harga
yang tercantum dalam barang (barcode), berada dalam bangunan dan pelayanannya dilakukan secara mandiri
(swalayan) atau dilayani oleh pramuniaga (Kotler, 2001). Kotler dan Amstrong (2001) mendifinisikan
retailing sebagai semua kegiatan yang dilibatkan dalam penjualan barang atau jasa langsung pada konsumen
akhir untuk penggunaan pribadi atau non bisnis. Maka, bisnis retail dapat diartikan sebagai kegiatan pasar
yang merancang untuk memberikan kepuasan pada konsumen pemakai dan mempertahankan para pelanggan
melalui program peningkatan kualitas berkelanjutan. Dimensi-dimensi inilah yang mendasari perilaku
konsumen. Hingga proses pemilihan produk, kompleksitas faktor-faktor tersebut harus benar-benar dipahami
pelaku di pasar modern dan pasar tradisional agar dapat mengetahui segala sesuatu yang dibutuhkan dan
diinginkan konsumen, sehingga pihak pemasar dapat menentukan strategi yang tepat untuk mendapatkan dan
mempertahankan pangsa pasar masing-masing.Pengaruh pribadi kerap memainkan peranan penting dalam
pengambilan keputusan konsumen. Setiap kepribadian yang berbeda-beda pada tiap-tiap orang mempunyai
perilaku pembelian orang tersebut. (Kotler, Amstrong. 2003). “Kepribadian adalah karakteristik psikologis
yang membedakan seseorang yang menghasilkan tanggapan secara konsisten dan terus-menerus terhadap
lingkungannya.”
TINJAUAN TEORI
1. Pasar Tradisional
Pengertian tentang pasar tradisional dapat melihat Permendag No. 53/M-DAG/PER/12/2008 pasal 1 ayat
2 yang berbunyi “pasar tradisional adalah pasar yang dibangun dan dikelola oleh Pemerintah, Pemerindah
Daerah, Swasta, Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah termasuk kerjasama dengan
swasta dengan tempat usaha berupa toko, kios, los dan tenda yang dimiliki/dikelola oleh pedagang kecil,
menengah, swadaya masyarakat atau koperasi dengan usaha skala kecil, modal kecil dan dengan proses jual
beli barang dagangan melalui tawar menawar.”
Banyak dasar hukum yang menyatakan pendirian pasar tradisional yaitu pada pasal 2 ayat 1 dan 2, pasal
2, pasal 3 ayat 1, 2, 3, 4, 5, dan 6., dan pasal 4 ayat 1 dan 2. Salah satu dari banyaknya dasar, penentuan
lokasi untuk Pasar Tradisional dapat melihat Pasal 2 ayat 1 yang berbunyi “Lokasi untuk Pendirian Pasar
Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern wajib mengacu pada Rencana Tata Ruang Wilayah
Kabupaten/Kota dan Rencana Detail Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota, termasuk peraturan zonasinya.”
Untuk jenis dan kewenangan penerbitan izin terdapat pada pasal 10 dan pasal 12 ayat 1, 2, 3, 4, 5 dan 10.
Pasal 10 menyatakan bahwa “Pelaku usaha yang akan melakukan kegiatan usaha di bidang Pasar
Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern, wajib memiliki: (a) IUP2T untuk Pasar Tradisional; (b)
IUPP untuk Pertokoan, Mall, Plaza, dan Pusat Perdagangan; (c) IUTM untuk Minimarket, Supermarket,
Departemen Store, Hypermarket dan Perkulakan”.
Pemberdayaan pasar tradisional untuk pasar tradisional terdapat pada pasal 17 ayat 1 dan 2. Pasal 17 ayat
1 berbunyi “Pengelolaan Pasar Tradisional dapat dilakukan oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN),
Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), koperasi, swasta, pemerintah, maupun pemerintah daerah.”
Perlindungan Konsumen adalah bentuk perlindungan yang diberikan oleh pemerintah kepada
konsumen di Pasar Sederhana Kota Bandung. Perlindungan konsumen yang dimaksud adalah
berdasarkan UU No. 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal pada Pasal 22 ayat 1, Pasal 29 ayat 3
dan Pasal 30.
Pada pasal 22 ayat 1, barang-barang dagangan dalam keadaan terbungkus harus menyatakan ukuran,
berat bersih, isi bersih atau jumlah sebenarnya bagi barang-barang yang dijual yang bukan makanan atau
barang lain yang mudah basi (tidak tahan lebih lama dari 7 hari) agar memudahkan konsumen untuk
mengetahui secara pasti mengenai ukuran, berat bersih dan isi bersih makanan atau barang yang dijual dalam
keadaan terbungkus.
Pada pasal 29 ayat 3, keseragaman penulisan dan penyebutan satuan dan lambing satuan ukuran
haruslah berdasarkan Satuan Sistem International, dimaksudkan untuk mencegah persaingan tidak jujur
antara produsen dalam negeri mengenai ukuran. Selain itu, juga dimaksudkan untuk melindungi konsumen
agar dapat memilih kebutuhannya secara ekonomis.
Pada pasal 30 Undang-Undang Metrologi Legal tertulis bahwa para pemakai barang (konsumen)
dapat dimaklumi jika berkehendak untuk mendapatkan barang dalam ukuran, isi, berat atau jumlah yang
tepat
6
5
4
3
2
1
0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Pertanyaan
Ya Tidak Ragu-ragu
Aspek UUPK
10
9
8
7
6
Responden
5
4
3
2
1
0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Pertanyaan
Ya Tidak Ragu-ragu
Sebanyak 8 responden pedagang (80%) mengatakan bahwa penjual memberikan informasi mengenai
barang yang dijual hanya ketika pembeli bertanya, sebagian lain (20%) mengatakan bahwa tidak
memberikan informasi apapun. Hal ini mengidentifikasikan bahwa sebagian besar pedagang tidak
mengetahui peraturan yang mengatur tentang perlindungan konsumen yang salah satunya memberikan hak
bagi konsumen untuk mengetahui informasi mengenai barang yang akan dibeli. Pedagang yang ada di Pasar
Sederhana Kota Bandung dengan 5 responden menyatakan bahwa pembeli tidak diperbolehkan mencoba
barang dagangannya akan tetapi diperbolehkan untuk mengecek kondisi barang yang akan dibeli. Meskipun
telah melakukan pengecekan dapat dipastikan bahwa dari semua barang yang ada terdapat barang yang
memeliki kekurangan dan terkadang kekurangan tersebut diketahui pada saat setelah melakukan transaksi,
untuk itu undang-undang perlindungan konsumen bekerja. Dari 10 responden 6 diantaranya
memperbolehkan konsumen mengembalikan barang yang telah dibeli ketika diketahui terdapat kekurangan
pada barang tersebut. Sebagian besar (60%) responden yang dalam hal ini adalah penjual menjual barang
dagangan yang telah memilik label halal. Selain pentingnya label halal pada kemasan hal penting lain yang
harus ada yaitu tanggal kadaluarsa. Tujuh dari sepuluh responden memastikan bahwa barang yang dijual
mencantumkan tanggal kadaluarsa, hal ini mengidentifikasikan bahwa tingkat pemahaman pedagang akan
hal ini cukup tinggi.
Sebanyak 4 responden (40%) menyatakan bahwa saat melakukan promosi barang dagangannya penjual
mengatakan keadaan sebenarnya dari barang tersebut, akan tetapi sebagian besar pedagang mengaku tidak
pernah mempromosikan dagangannya karena responden percaya bahwa pembeli akan datang dengan
sendirinya. Seluruh responden yang terdapat di Pasar Sederhana menyatakan bahwa tidak menjual barang
dagangannya dengan sistem obral karena barang akan selalu habis setiap harinya sehingga tidak diperlukan
sistem obral untuk menjualnya, hal ini membuat pedagang tidak perlu memutar otak untuk menarik minat
pembeli datang untuk membeli barang dagangannya. Seluruh responden juga mengatakan bahwa tidak
pernah memasukkan unsur pemaksaan dalam menarik simpatik ataupun minat pembeli.
C. Aspek Ketahanan Pangan
Tabel 3. Aspek peraturan pemerintah Label, Iklan Pangan
Aspek PPLIP
10
9
8
7
Responden
6
5
4
3
2
1
0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Pertanyaan
Ya Tidak Ragu-ragu
Gambar 3. Aspek PP LIP
Sebanyak 8 responden pedagang (80%) mengatakan tidak mengetahui peraturan yang mengatur tentang
label dan iklan pangan. Hal ini mengindikasikan bahwa responden pedagang sebagian besar tidak
mengetahui peraturan yang mengatur tentang label dan iklan pangan. Pedagang yang ada di Pasar Sederhana
kota Bandung dengan 9 responden tidak memproduksi produk pangan dalam kemasan (90%). Maknanya,
sebagian responden pedagang yang diwawancarai di pasar Sederhana tidak memproduksi produk pangan
dalam kemasan. Meskipun 9 responden tidak memproduksi pangan dalam kemasan, namun seluruh
responden (100%) yang di wawancarai tidak memberikan label pada produk kemasan tersebut. Seluruh
responden (100%) yang diwawancarai juga tidak mengetahui ketika memproduksi produk pangan dalam
kemasan diwajibkan mencantumkan label. Terdapat 6 responden (60%) tidak mengetahui minimal yang
harus tertulis pada label. Hal ini memberikan makna sebagian besar responden pedagang tidak mengetahui
apa saja yang harus tertulis pada label.
Seluruh responden pedagang (100%) yang di wawancarai tidak mengetahui bahwa pada label dilarang
untuk mencantumkan pertanyaan atau keterangan bahwa pangan yang bersangkutan dapat berfungsi sebagai
obat. Antara produk yang dijual oleh responden, seluruh responden pedagang (100%) tidak ada yang menjual
produk pangan yang mencantumkan keterangan dapat berfungsi sebagai obat. Setelah diwawancarai terkait
larangan produk pangan dalam kemasan yang dilarang mencantumkan keterangan dapat berfungsi sebagai
obat, seluruh responden pedagang (100%) tidak menjual produk tersebut. Ketika membahas label, terdapat 8
responden pedagang (80%) tidak mengetahui isi label terkait nama produk, berat bersih, dan juga nama pihak
produsen. Terdapat 9 produsen pedagang (90%) produk pangan dalam kemasan yang dijual memiliki label
berbahasa Indonesia, angka arab, dan huruf latin.
70
62
60
54
Jumlah Responden
50
UUML
40 UUPK
34
PPLIP
30
22 21
20 17
12
10
2
0
Ya Tidak Ragu-ragu
Indikator
Terdapat 10 responden telah memberikan pendapatnya tentang pemahaman dan kesadaran masyarakat
terhadap ketentuan tertib niaga dengan 3 aspek yaitu Undang-Undang Metrologi Legal (UUML), Undang-
Undang Perlindungan Konsumen (UUPK), dan Peraturan Pemerintah Label, dan Iklan Pangan (PP LIP).
Untuk masing-masing aspek terdapat 10 pertanyaan. Maka dari itu terdapat 100 jawaban responden untuk
masing-masing aspek, dengan kata lain terdapat 300 jawaban responden untuk seluruh aspek.
Ketika melihat indikator “Ya” pada gambar 4, UUML mendapatkan 62 jawaban responden pedagang
(62%). Hal ini mengindikasikan responden pedagang di Pasar Sederhana yang diwawancarai mengerti betul
terkait UUML daripada UUPK (34 jawaban responden) dan PP LIP (22 jawaban responden). Dengan kata
lain terdapat 118 jawaban responden. Responden pedagang yang memberikan pendapatnya lebih paham pada
UUML, maka responden pedagang yang diwawancarai telah melaksanakan peraturan UU No. 2 tahun 1981
tentang metrologi legal agar terciptanya perdagangan yang jujur dan bertanggung jawab dengan salah satu
tujuan penting pengaturan, pembinaan, dan pengawasan dibidang UTTP yang dimiliki oleh para pedagang.
Akan tetapi tidak begitu paham mengenai UUPK, apalagi PP LIP.
Ketika melihat indikator “tidak” pada gambar 4, PP LIP mendapatkan 76 jawaban responden pedagang
(76%). Hal ini mengindikasikan bahwa responden pedagang di Pasar Sederhana yang diwawancarai tidak
memahami betul terkait Peraturan PP LIP daripada UUPK (54 jawaban responden) dan UUML (21 jawaban
responden). Dengan kata lain terdapat 151 jawaban responden. Banyak indikator mengapa responden
pedagang tidak memahami PP LIP, diantaranya tidak mengetahui adanya peraturan yang mengatur label,
iklan dan pangan, tidak memproduksi produk pangan dalam kemasan sendiri, tidak mengetahui apa saja yang
harus tercantum pada label, tidak mengetahui jika pada label dilarang untuk mencantumkan keterangan dapat
berfungsi sebagai obat, serta tidak mengetahui apakah produk kemasan yang dijual terdapat nama produk,
berat bersih, dan juga nama pihak produsen. Sebagian besar produk pangan dalam kemasan yang dijual oleh
pedagang mendapatkan dari pihak ke-3.
Ketika melihat indikator “ragu-ragu” pada gambar 4, terdapat 31 responden jawaban dimana UUML
mendapatkan 17 jawaban responden pedagang, 12 responden jawaban UUPK, dan 2 responden jawaban PP
LIP. Hal ini disebabkan responden pedagang yang memiliki alat UTTP tidak yakin ketika tidak memenuhi
syarat yang tidak bisa diperbaiki apakah dapat digunakan kembali, dan tidak mengetahui tentang justir dan
siapa yang melakukan perbaikan alat ukur. Hal ini dikarenakan pedagang tidak mengetahui proses tera/tera
ulang yang dilaksanakan di Pasar Sederhana. Tera/tera ulang dilakukan dengan cara mengambil UTTP milik
pedagang, lalu dilakukan di suatu ruangan. Ketika telah dilakukan tera/tera ulang oleh petugas penera, UTTP
langsung digunakan kembali oleh pedagang tanpa memberikan saran yang harus dilakukan oleh pedagang.
KESIMPULAN
Kesimpulan yang dapat diambil adalah:
1. Terdapat 10 responden dengan 3 aspek yaitu aspek Undang-Undang Metrologi Legal (UUML), Undang-
Undang Perlindungan Konsumen (UUPK), dan Peraturan Pemerintah Label, Iklan dan Pangan dimana
setiap aspek terdapat 10 pertanyaan. Maka terdapat 300 jawaban responden untuk 3 aspek.
2. Untuk aspek UUML, data dapat melihat tabel 1 dan grafik dapat melihat gambar 1. Ada beberapa faktor
yang dapat disimpulkan:
a. Sebanyak 90% responden pedagang memiliki alat ukur, akan tetapi terdapat 70% responden tidak
mengetahui mengenai antara Tera dan tera ulang. Meskipun tidak mengetahui Tera dan tera ulang,
terdapat 70% melakukan tera dan tera ulang yang dimiliki responden ketika terdapat sidang pasar
oleh petugas kemetrologian. Setelah dilakukan tera atau tera ulang, sebanyak 70% tidak mengetahui
apakah alat ukur tidak memenuhi syarat masih dapat digunakan kembali atau tidak serta seluruh
responden tidak mengetahui apakah alat ukur tersebut perlu diperbaiki atau tidak.
b. Seluruh responden pedagang (100%) menjual BDKT, Namun hanya terdapat 70% responden yang
menjual dengan singkat, benar dan jelas.
3. Untuk aspek UUPK, data dapat melihat tabel 2 dan grafik dapat melihat gambar 2. Ada beberapa faktor
yang perlu diperhatikan:
a. Sebanyak 80% responden memberikan informasi mengenai barang yang dijual hanya ketika pembeli
bertanya. Dimana sebanyak 50% responden pedagang tidak memperbolehkan mencoba barang
dagangannya.
b. Terdapat 60% responden memperbolehkan konsumen untuk mengembalikan barang yang telah
dibeli ketika tidak sesuai dengan harapan.
c. Sebanyak 60% responden pedagang telah memiliki label halal.
d. Terdapat 40% menyatakan bahwa saat melakukan promosi mengatakan kondisi barang yang
sesungguhnya.
e. Seluruh responden pedagang tidak menjual barang dagangannya dengan sistem obral.
4. Untuk aspek PP LIP, data dapat melihat tabel 3 dan grafik dapat melihat gambar 3. Ada beberapa faktor
yang perlu diperhatikan:
a. Sebanyak 80% responden pedagang tidak mengetahui peraturan yang mengatur tentang label dan
iklan pangan.
b. Terdapat 90% responden tidak memproduksi produk pangan dalam kemasan. Meskipun tidak
memproduksi produk pangan, seluruh responden juga tidak mengetahui bahwa wajib pemberian
label pada produk pangan dalam kemasan.
c. Terdapat 80% responden tidak mengetahui isi label terkait nama produk, berat bersih dan juga nama
pihak produsen.
DAFTAR PUSTAKA
1. Peraturan Menteri Perdagangan No. 53/M-DAG/PER/12/2008 (sumber:
http://sipo.kemendag.go.id/upload/syarat/70fdbe65ee6b7c6d8f77f1901cc1284a.pdf diakses pada 30
Oktober 2019 pukul 10.00 WIB)
2. Undang – Undang No. 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal (sumber:
http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/inc/buka.php?
czoyNDoiZD0xOTAwKzgxJmY9dXUyLTE5ODEucGRmIjs= diakses pada 01 September 2019 pukul
17.57 WIB)
3. Undang – Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (sumber:
http://www.bpkp.go.id/uu/filedownload/2/44/378.bpkp diakses pada 01 September 2019 pukul 17.58
WIB)
4. Peraturan Pemerintah No. 69 Tahun 1999 tentang Label, Iklan dan Pangan (sumber:
http://jdih.pom.go.id/showpdf.php?u=md1timWV1ag%2FNfd10VzBZ96HyEpHaWr5rQnOBOKnHoI
%3D diakses pada 01 september 2019 pukul 17.59 WIB)