Anda di halaman 1dari 36

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pondok Pesantren Modern


2.1.1 Pengertian Pondok Pesantren
a. Pondok
Menurut Ziemek Manfred (1983) istilah pondok berasal dari kata funduk dari
bahasa arab yang mempunyai arti rumah, penginapan/hotel, juga diartikan
sebagai kamar gubug dan rumah kecil dipakai dalam bahasa Indonesia
dengan menekankan kesederhanaan bangunan.
b. Pesantren
Kata “pesantren” berasal dari kata “santri” yang mendapat awalan “pe” dan
akhiran “an” yang berarti tempat tinggal santri (Zamakhsyari Dhoefier, 1982 :
18). Menurut Arifin (1991) mengartikan pesantren sebagai lembaga
pendidikan Islam dengan sistem asrama atau pondok, di mana kyai sebagai
figur sentralnya, mesjid sebagai pusat kegiatan yang menjiwainya, dan
pengajaran agama islam dibawah bimbingan kyai yang diikuti santri sebagai
kegiatan utamanya.
Secara singkat pesantren bisa juga dikatakan sebagai laboratorium
kehidupan, tempat para santri belajar hidup dan bermasyarakat dalam
berbagai segi dan aspeknya secara teknis, pesantren adalah tempat di mana
santri tinggal. (Abdurrahman Mas’ud, 2002: 17).
2.1.2 Sejarah Perkembangan dan Dinamika Pondok Pesantren
Pondok pesantren berawal dari adanya seorang kyai di suatu tempat, yang
kemudian didatangi santri yang ingin belajar agama kepadanya. Para santri
tersebut mendirikan pondok-pondok di sekeliling rumah kyai dengan maksud
ingin belajar ilmu agama kepada kyai tersebut. Hal ini terus berkembang hingga
semakin banyak santri yang menempati pondok-pondok yang ada di sekitar
rumahh kyai tersebut.

1
Maka munculah istilah pondok pesantren yang semakin berkembang
seiring dengan bertambahnya santri yang ingin belajar ilmu agama.
Pondok Pesantren di Indonesia memiliki peran yang sangat besar
baik bagi kemajuan islam itu sendiri maupun bagi bangsa Indonesia
secara keseluruhan. Berdasarkan catatan yang ada, kegiatan
pendidikan agama di Indonesia telah dimulai sejak tahun 1596.
Kegiatan agama inilah yang kemudian dikenal dengan nama Pondok
Pesantren. Bahkan dalam catatan Howard M. Federspiel salah
seorang pengkaji ke-Islaman di Indonesia, menjelang abad ke-12
pusat-pusat studi di Aceh (pesantren disebut dengan nama Dayah di
Aceh) dan Palembang (Sumatera), di Jawa Timur dan di Gowa
(Sulawesi) telah menghasilkan tulisan-tulisan penting dan telah
menarik santri untuk belajar. (Rochidin Wahab 2004 : 153)
2.1.3 Fungsi dan Peranan Pondok Pesantren
Fungsi Pondok Pesantren menurut Mastuhu (1994) antara lain :
a. Sebagai lembaga pendidikan, pesantren menyelenggarakan
pendidikan formal (madrasah, sekolah umum, dan perguruan
tinggi) dan pendidikan non formal yang secara khusus
mengajarkan agama.
b. Sebagai lembaga sosial, pesantren menampung anak dari segala
lapisan masyarakat muslim tanpa membedakan tingkat sosial
ekonomi orang tuanya.
c. Sebagai lembaga penyiaran agama, masjid pesantren juga
berfungsi sebagai masjid umum, yaitu sebagai tempat belajar
agama dan ibadah bagi masyarakat umum.
2.1.4 Tujuan Pendidikan Pondok Pesantren
Menurut M.Arifin (2008) bahwa tujuan didirikannnya pendidikan
pesantren pada dasarnya terbagi pada dua yaitu :
a. Tujuan Khusus
Yaitu mempersiapkan para santri untuk menjadi orang alim dalam
ilmu agama yang diajarkan oleh kyai yang bersangkutan serta
mengamalkannya dalam masyarakat.

2
b. Tujuan Umum
Yakni membimbing anak didik agar menjadi manusia yang
berkepribadian islam yang sanggup dengan ilmu agamanya
menjadi mubaligh islam dalam masyarakat sekitar dan melalui
ilmu dan amalnya.
2.1.5 Pengertian Pondok Pesantren Modern

Berikut adalah penjelasan tentang Pondok Pesantren Modern :


a. Modern

Arti dari kata Modern yaitu: terbaru, mutakhir, sikap dan cara
berfikir serta cara bertindak sesuai dengan tuntutan jaman
(Kamus Besar Bahasa Indonesia : 2013)
b. Pondok Pesantren Modern
Menurut Wardi Bakhtiar (1990), Pondok Pesantren Modern
adalah lembaga pendidikan agama islam yang mempelajari
kitab-kitab agama islam dan mengajarkan ilmu pengetahuan
yang diajarkan dengan sistem madrasah atau klasikal seperti
halnya sekolah-sekolah umum yang bersifat formal.
Jadi dapat disimpulkan bahwa Pondok Pesantren Modern adalah
suatu lembaga pendidikan agama islam yang mempelajari dan
mengamalkan kitab agama islam yang dielngkapi dengan
fasilitas yang lengkap dan membekali para santri dengan
ketrampilan-ketrampilan yang mendukung dalam menghadapi
tantangan zaman.
Sistem yang digunakan dalam Pondok Pesantren Modern
menurut Rusli Karim (2004) adalah :
1) Mulai akrabnya dengan metodologi ilmiah modern.
2) Semakin berorientasi pada pendidikan dan fungsional, artinya
terbuka atas perkembangan di luar dirinya.
3) Diverivikasikan program dan kegiatan makin terbuka dan
ketergantungannya pun absolut dengan kyai, dan sekaligus
dapat memberi para santri dengan berbagai pengetahuan di
luar mata pelajaran agama, maupun ketrampilan yang
diperlukan dalam lapangan kerja.
4) Dapat berfungsi sebagai pusat pengembangan masyarakat.

3
2.1.6 Pelaku dan Aktifitas Pondok Pesantren Modern
Menurut Mastuhu (1994) pelaku dan aktivitas yang ada di pondok
pesantren modern yaitu :
a. Pelaku
Pelaku utama di dalam sistem pendidikan pondok pesantren ini
terdiri atas, kyai, ustadz dan guru, santri atau siswa serta
pengurus pondok.

1) Kyai : orang yang mempunyai ilmu pengetahuan mendalam


tentang agama islam. Peranan kyai dalam pondok pesantren
modern adalah sebagai tempat mengembalikan
permasalahan serta sebagia direktur yang bertanggung jawab
mengelola pondok.
2) Ustadz atau guru : bertugas sebagai pembantu kyai yang
mengajar pendidikan agama dan guru sebagai pengajar di
bidang pendidikan umum.
3) Santri : Anak didik dalam pendidikan pondok pesantren.
4) Pengurus : orang yang bertugas mengurus segala sesuatu
yang berkaitan dengan kegiatan dalam pondok pesantren.
b. Aktivitas
Aktivitas di dalam pondok pesantren mencerminkan hubungan
antara manusia dengan Tuhan ( Hablumminallah ) dan antara
manusia dengan manusia ( Habluminannas ).

2.1.7 Perbandingan Pondok Pesantren Modern dan Pondok


Pesantren Tradisional
Tabel 2.1 Perbandingan Pondok Pesantren Modern dan Pondok
Pesantren Tradisional
N Pondok Pesantren Pondok Pesantren Modern
o Hal
Tradisional
1. Status Milik pribadi Sistem pendidikan nasional
Miliki institusi
2. Jenis Pesantren Pesantren
Pendidikan Madrasah
Sekolah Umum
Perguruan tinggi
3. Fungsi Lembaga pendidikan Lembaga pendidikan
Lembaga sosial Lembaga sosial
Lembaga penyiaran agama Lembaga penyiaran agama

4
Pondok Pesantren Pondok Pesantren Modern
No Hal
Tradisional
4. Corak Fikih-Sufistik ( tarekat) Fikih-Sufistik & ilmu
Kehidupan Orientasi Ukhrawi Ukhrawi dan duniawi
Sakral Sakral dan profane
Manusia sebagai obyek Manusia sebagai obyek dan
subyek
5. Sumber belajar Kiai/ustadz Kiai/ustadz
Kitab klasik (kitab kuning) Kitab klasik
Kitab kontemporer agama dan
ilmu umum
6. Bahasa Daerah Indonesia
pengantar Arab Daerah
Arab
Inggris
7. Metoda belajar Sorongan Sorongan
Bandongan Bandongan
Halaqah Halaqah
Lalaran Lalaran
Kaya materi, miskin Diskusi, training, seminar
metodologi (menghafal) menuju pengayaan metodologi
8. Ilmu Diperoleh melalui berkah Dicari melalui akal
kyai Kontekstual
Tekstual
9. Ketrampilan Merupakan bagian Merupakan sarana pendidikan
integral dari kehidupan mengembangkan wawasan
santri dan pendidikan keduniawian
10 Perpustakaan, Tidak ada Ada
. dokumentasi & manual Manual, elektronik
alat pendidikan
11 Tujuan Agama (ukhrawi) Agama (duniawi-ukhrawi)
. Mamahami dan Memahami dan
mengamalkannya secara mengamalkannya sesuai
tekstual dengan temoat dan jamannya
(kontekstual)
12 Kurikulum Menurut perjenjangan Menurut perjenjangan kitab
. kitab (pesantren)
Menurut Depag (Madrasah)
Menurut Diknas (Sekolah
Umum)
13 Sumber & Pribadi, masyarakat Pribadi, masyarakat dan
. Pengelolaan Pribadi kyai pemerintah
Dana Yayasan
14 Santri Tidak membayar Membayar
. Memasak dan mencuci Bayar makan mencuci sendiri
sendiri atau binatu
Menerima bekal dari alam Menerima uang kiriman
Mencari nafkah Tidak mencari nafkah
Mengabdi pada kyai dan Mencari ilmu dan jiazah
mencari ilmu
15 Ustadz Mengabdi pada kyai dan Mengabri pada kyai, belajar
. belajar dan mencari nafkah

5
Pondok Pesantren Pondok Pesantren Modern
No Hal
Tradisional
16 Orangtua Menyerahkan anaknya Mengirimkan anaknya untuk
. pada kyai untuk dididik belajar agama agar menjadi
dan memperoleh berkah orang baik dan berkeahlian
kyai
17 Pengurus Mengabdi pada kyai Bertanggungjawab pada unit
. kerjanya
Memberi masukan kepada kyai
18 Kyai Sumber belajar/ moral Bukan merupakan sumber
. tunggal tunggal, namun masih tetap
menjadi tokoh kunci
19 Nilai kunci Berkah kyai Ibadah
. Ikhals Ikhlas
Ibadah Berkah kyai
20 Asrama Hidup bersama Hidup bersama
. Menerima, memiliki ilmu Dialog
dan mengamalkannya Menjadikan ilmu sebagai
pengembangan diri
Sumber : Dinamika Pendidikan Pesantren (1994)

2.1.8 Standar dalam Perencanaan Pondok Pesantren Modern


Berikut merupakan standar-standar Pondok Pesantren Modern
berdasarkan standar Department Agama (2003):
a. Jenis pesantren
1) Tipe A pesantren yang terdapat asrama bersama antara santri
dan kyai. Kurikulum dan cara mengaturnya otoritas kyai.
Pembelajaran secara individu/perorangan. Tidak terdapat
madrasah.
2) Tipe B pesantren yang di dalamnya terdapat madrasah dengan
kurikulum yang ditentukan. Pengajaran dan kyai hanya aplikasi
stadium general pada waktu tertentu. Terdapat asrama
bersama antara santri dan juga kyai.
3) Tipe C merupakan jenis pesantren dimana santri tinggal di
asrama pondok semata-mata belajar agama. Santri belajar di
sekolah umum/madrasah. Fungsi kyai sebagai pelindung
pengawas. Pembina mental dan mengajarkan agama.
4) Tipe D merupakan jenis pesantren menyelenggarakan sistem
pondok sekaligus sekolah/madrasah.
b. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam perencanaan prasarana
fisik dan tata letak bangunan dan perlengkapan pendidikan di
pesantren sebagai berikut :

6
Faktor keindahan, simetris, harm onis (hakekatnya merupakan
pendidkan estetika etika bagi santri dan masyarakat sekitarnya).
1) Faktor sirkulasi udara, sinar matahari, sirkulasi air, pembagian
dan bentuk-bentuk untuk kesehatan jiwwa dan raga.
2) Faktor macam jenis, bentuk dan luas ruangan serta
kelengkapan yang menunjang efektifitas dan produktifitas
pendidikan.
3) Faktor data dan kelengkapan lapangan, balai pertemuan dan
tempat ibadah.
Selain itu juga perlu diperhatikan mengenai fungsi ruang, jumlah
pemakai, standar satuan yang menyatakan ruang gerak minimal
untuk tiap orang dalam melakukan aktifitas, luas ruang, urgensi fungsi
utama dan jumlah ruang yang ditentukan menurut perhitungan efisien
pemakai ruang.
a. Standarisasi lokasi/lahan pondok pesantren
Standar dalam penentuan luas pada lokasi tertentu adalah
sebagai berikut:
1) Dalam kota: 1 ha (70% bangunan bertingkat, 30% pertamanan
dan lapangan serba guna )
2) Pinggir kota : 5 ha (60% bangunan bertingkat, 40% pertamanan
dan lapangan serba guna).
3) Daerah pedesaan; 10-50 ha (45 ha untuk contoh
pengembangan usaha sekaligus sumber logistik).
b. Unit-unit bangunan/ruang yang terdapat pada pondok pesantren
antara lain :

1) Masjid (untuk sholat, pengajian dan kegiatan lain), hendaknya:


a) Mudah dikenal dan aksesibilitas mudah untuk santri dan
masyarakat.
b) Masyarakat luar yang hendak ke masjid, tidak melewati
rumah kyai dan asrama terlebih dahulu.
c) Luas halaman 2500 m2 untuk menampung luapan jamaah
pada waktu sholat id dan sebagainya.

7
d) Luas masjid @ 1 m2/orang dikalikan jumlah jamaah.
e) Bentuk dan corak sesuai dengan kemampuan dan kondisi
daerah, memperhitungkan kekuatan dan konstruksi
bangunan dan estetika.
2) Rumah kyai
a) Teras, ruang tamu depan, kamar tidur (3), ruang tamu
belakang, ruang makan, dapur, kamar mandi, gudang,
tempat jemuran dan kamar kecil.
b) Luas bangunan 60 m2, teras 24 m2, tanah 150 m2.
3) Rumah ustadz
a) Teras, kamar tidur (2), ruang tamu, ruang makan, dapur,
km/wc, tempat cuci.
b) Bentuk kopel.
c) Luas bangunan 45 m2, luas tanah 75 m2.
4) Rumah panong asrama (pengurus)
a) Ruang tamu, ruang makan, kamar tidur, dapur, km/wc,
kamar cuci, tempat jemuran, gudang.
b) Luas bangunan 60 m2.
c) Asrama santri.
d) Ruang kantor (3,5 x 5 m2).
e) Ruang tamu 5x10 m2.
f) Gudang 5x10 m2.
g) Km/wc 1,5 x 2 m2 maks untuk 15 orang
h) Ruang belajar 10x24 m2.
i) Kamar tidur 4x4 m2 untuk 4 orang.
j) Tempat cuci 2x3 m2 maks 15 orang.
k) Dapur 7,5 x 8 m2.
l) Ruang makan 10x18 m2 untuk 100 santri.
m) Ruang istirahat 10x10 m2.
n) Tempat jemur 4x6 m2.
5) Perpustakaan yang mudah dijangkau oleh guru dan santri.
6) Balai pertemuan / aula serbaguna.
a) Untuk rapat, diskusi, latihan kesenian, pertunjukan dan
juga pameran.

8
(b) Luas 2x ruang belajar, luas 10x16 m2.

(c) Standar 0,5 m2/orang.


(d) Tinggi langit-langit minimal 4,5 m.
(e) Bentuk bangunan memiliki ciri khas
tersendiri.
7) Poliklinik / balai kesehatan
a) Kamar tidur 8x7 m2
b) Kamar perawat 6x4 m2
c) Kamar tamu 6x4 m2
d) Kamar obat 6x4 m2
e) Ruang pakaian 3x3 m2
8) Lapangan olahraga
9) Tempat latihan keterampilan terdiri atas ruang
latihan 12x8
m2, ruang instruktur 3x3 m2, gudang 3x3 m2,
ruang pakaian 3x3 m2.
10) Training ground ( lahan praktik pertanian,
pertukangan dan lain-lain ) dengan standar
ideal 100 x 150 m2.
11) Koperasi
a) Gedung koperasi (toko, mini market)
mudah dijangkau konsumen, mudah
memasarkan barang.
b) Kantor koperasi (administrasi)
c) Gudang koperasi, kokoh, ventilasi baik,
menjaga kesehatan lingkungan.
12) Sekolah penyedia tergantung dengan program
dan kebutuhan pesantren.
a) Tipe A (jumlah kelas untuk SD 12, SMP
27, SMA 27 ruang kelas)
b) Tipe B (jumlah kelas untuk SD 6, SMP 18,
SMA 18 ruang kelas)
c) Tipe C (jumlah kelas untuk SD 3, SMP 9,
SMA 9 ruang kelas)

9
2.2 Tinjauan Tunanetra
2.2.1 Pengertian Anak Tunanetra

Anak tunanetra adalah anak yang memiliki


hambatan dalam penglihatan/tidak berfungsinya indera
penglihatan. (Sam Isbani dan Ravik Karsidi, 1998:74).
Anak tunanetra memiliki keterbatasan dalam
penglihatan antara lain:
a. Tidak dapat melihat gerakan tangan pada jarak
kurang dari 1 (satu) meter.
b. Ketajaman penglihatan 20/200 kaki yaitu
ketajaman yang mampu melihat suatu benda
pada jarak 20 kaki.
c. Bidang penglihatannya tidak lebih luas dari 20º.
(Heather Mason and Stephen Mc. Call, 1998:45)
Pengertian tunanetra menurut Rusli Ibrahim
(2005: 20) ialah “seluruh anak yang terganggu
kemampuan penglihatannya, sehingga tidak mampu
lagi menggunakan matanya untuk membaca, walaupun
menggunakan kacamata.”
Menurut Munawir Yusuf (2005: 6), “siswa
tunanetra adalah seseorang yang karena sesuatu hal
tidak dapat menggunakan matanya sebagai saluran
utama dalam memperoleh informasi dari
lingkungannya.” Ibrahim Hasmi (2002: 25)
menjelaskan bahwa, “siswa tunanetra adalah mereka
yang penglihatannya terganggu, sehingga
menghalangi dirinya untuk berfungsi dalam pendidikan
tanpa menggunakan alat khusus, material khusus,
latihan khusus dan atau bantuan lain secara khusus.”
Berdasarkan pendapat di atas, dapat diambil
kesimpulan bahwa siswa tunanetra yaitu mereka yang
mengalami gangguan penglihatan, sehingga tidak
dapat menggunakan penglihatannya sebagai saluran
utama dalam proses belajar mengajar dan atau
memperoleh informasi dari lingkungannya tanpa
menggunakan alat khusus material khusus, latihan
khusus dan atau bantuan lain secara khusus.
10
Keadaan fisik siswa tunanetra tidak berbeda
dengan siswa sebaya lainnya. Perbedaan nyata
diantara mereka hanya terdapat pada organ
penglihatannya. Gejala tunanetra yang dapat diamati
dari segi fisik diantaranya: mata juling, sering berkedip,
menyipitkan mata, kelopak mata merah, mata infeksi,
gerakan mata tak beraturan dan cepat, mata selalu
berair (mengeluarkan air mata), dan pembengkakan
pada kulit tempat tumbuh bulu mata.

2.2.2 Klasifikasi Tunanetra


Menurut Mohammad Efendi (2006: 31), jenjang
kelainan ditinjau dari ketajaman untuk melihat
bayangan benda dapat dikelompokkan menjadi:
a. Anak yang mengalami kelainan penglihatan yang
mempunyai kemungkinan dikoreksi dengan
penyembuhan pengobatan atau alat
optik tertentu.
b. Anak yang mengalami kelainan penglihatan,
meskipun dikoreksi dengan pengobatan atau alat
optik tertentu masih mengalami kesulitan mengikuti
kelas reguler sehingga diperlukan kompensasi
pengajaran untuk mengganti kekurangannya.
c. Anak yang mengalami kelainan penglihatan yang
tidak dapat dikoreksi dengan pengobatan atau optik
apapun, karena anak tidak mampu latih
memanfaatkan indra penglihatannya.
Menurut Irham Hosni yang dikutip Rusli Ibrahim
(2005: 23) bahwa “Tunanetra (visually impaired) adalah
mereka yang penglihatannya meng- hambat untuk
memfungsikan dirinya dalam pendidikan, tanpa
menggunakan material khusus, latihan khusus atau
bantuan lainnya secara khusus”.
Menurut Irham Hosni yang dikutip Rusli Ibrahim
(2005: 23), ditinjau dari keterbatasan penglihatan,
anak tunanetra dikelompokkan menjadi:
a. Mereka yang mengenal bentuk atau obyek dari

11
berbagai jarak.
b. Mereka yang dapat menghitung jari dari berbagai
jarak.
c. Mereka yang tidak dapat atau tidak mengenal tangan
yang digerakkan.
Ditinjau berdasarkan kelompok yang
mengalami keterbatasan penglihatan yang berat,
yaitu:
a. Mereka yang mempunyai persepsi cahaya (light
perception).
b. Mereka yang tidak memiliki persepsi cahaya (no
light perception).
Berdasarkan pengelompokan keterbatasan penglihatan
tersebut di atas, siswa tunanetra dapat dikelompokkan
menjadi:
a. Mereka yang mampu membaca cetakan standart.
b. Mereka yang mampu membaca cetakan standart
dengan memakai
alat pembesar (magnification devices)
c. Mereka yang hanya mampu membaca cetakan
besar (font 28).
d. Mereka yang mampu membaca kombinasi
antara cetakan
besar/regular print
e. Mereka yang mampu membaca cetakan besar
dengan menggunakan
alat pembesar.
f. Mereka yang hanya mampu dengan braille tapi
masih bisa melihat
cahaya (sangat berguna bagi mobilitas).
g. Mereka yang hanya menggunakan braille tetapi
sudah tidak mampu
melihat cahaya.
Klasifikasi anak tunanetra ditinjau dari kondisi
siswa, fisik anak tunanetra tidak berbeda dengan
anak sebaya lainnya. Perbedaan nyata diantara
mereka hanya terdapat pada organ penglihatannya.

12
Gejala tunanetra yang dapat diamati dari segi fisik
diantaranya:
a. Mata juling
b. Sering berkedip
c. Menyipitkan mata
d. Kelopak mata merah
e. Mata infeksi
f. Gerakan mata tak beraturan dan cepat
g. Mata selalu berair (mengeluarkan air mata)
h. Pembengkakan pada kulit tempat tumbuh bulu mata.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan
bahwa kasifikasi gangguan penglihatan meliputi
kelompok gangguan penglihatan ringan, kelompok
low vision, dan kelompok buta total.

2.2.3 Penyebab Tunanetra

“Timbulnya ketunanetraan disebabkan oleh faktor


endogen dan faktor eksogen. Ketunanetraan karena
faktor endogen, seperti keturunan (herediter), atau
karena faktor eksogen seperti penyakit, kecelakaan,
obat-obatan dan lain- lainnya” (Mohammad Efendi,
2006: 34). Demikian pula dari kurun waktu terjadinya
ketunanetraan dapat terjadi pada saat anak masih
berada dalam kandungan, saat dilahirkan, maupun
sesudah kelahiran.
Menurut National Suciety fot the Prevention
Blindness yang dikutip Mohammad Efendi (2006: 35),
bahwa: Ketunanetraan yang terjadi disebabkan oleh
epidemi penyakit infeksi (rubella, toxoplasmosis), luka
dan keracunan karena kesalahan perlakuan yang
sistematis (eksesif oksigen), neoplasma, penyakit
umum (kerusakan sistem saraf pusat) dan beberapa
yang tidak terdeteksi.
Faktor-faktor penyebab seseorang menjadi
tunanetra sebetulnya masih banyak sekali
kemungkinannya. Begitu pula dalam hal waktu
terjadinya ketunanetraan, bisa terjadi pada waktu

13
dalam kandungan, waktu dilahirkan, setelah
dilahirkan atau setelah dewasa.
Pada dasarnya faktor penyebab seseorang
menjadi tunanetra dapat dikelompokkan menjadi
empat penyebab, yaitu:
a. Faktor penyakit
Penyakit yang dialami oleh seorang ibu yang
sedang mengandung atau penyakit yang dialami
seseorang sesudah lahir. Penyakit-penyakit itu
misalnya: syphylis, gonerchea, trachoma, cataract,
onccerciaris, glukoma, radang kornea, penyakit
cacingan.
b. Faktor kecelakaan
Kecelakaan bisa terjadi pada waktu dilahirkan.
Misalnya karena seorang ibu kesulitan dalam
melahirkan, biasanya sering menggunakan alat- alat,
sehingga menganggu organ-organ mata atau
syaraf-syaraf mata yang menyebabkan
ketunanetraan, misalnya akibat jatuh, sehingga
organ-organ mata atau syarat mata tunanetra.
c. Deficiency vitamin A (aserofid)
Deficiency vitamin A merupakan salah satu
penyebab ketunanetraan secara tidak langsung.
Seperti kita ketahui bahwa vitamin A diperlukan
untuk pertumbuhan sel-sel epitel dan proses oksidasi
dalam tubuh, serta mengatur kepekaan rangsangan
sinar pada syaraf mata. Kekurangan vitamin A pada
seseorang akan didahului dengan adanya gejala-
gejala kurang jelas dalam penglihatan pada waktu
senja hari yang disebut rabun ayam atau
Hemeralopia. Kemudian diikuti dengan kerusakan-
kerusakan pada sel-sel epitel dan kulit. Jika hal ini
dibiarkan terus-menerus, maka akan menimbulkan
kelainan dalam penglihatan.
d. Faktor genetik
Yaitu faktor penyebab dari keturunan yang berasal
dari salah satu atau kedua orang tua. Misalnya

14
gangguan penglihatan presbiopia, myopia, dan
hipermetropia.

2.2.4 Karakteristik Tunanetra


Menurut beberapa ahli, karakteristik anak
tunanetra terdapat berbeda pendapat, tetapi pada
dasarnya memiliki maksud yang sama. Berbagai
pendapat tersebut antara lain menurut Frampton yang
dikutip Rusli Ibrahim (2005: 25) menjelaskan bahwa
“masalah psikologis dari ketunanetraan yaitu
menyangkut masalah kecerdasan dan kepribadian”.
Sementara Lowenfeld yang dikutip Rusli Ibrahim
(2005: 25) menetapkan empat aspek, yaitu “fungsi
kognitif, mobilitas, kepribadian dan faktor sosial”.
Sedangkan menurut Thomas D. Cutsfroth yang
dikutip Rusli Ibrahim (2005: 25) menjelaskan dua
faktor akibat ketunanetraan yaitu “masalah
kepribadian dan masalah sosial.” Sementara T.
Sutjihati S. dalam Rusli Ibrahim (2005: 25)
berpendapat bahwa “anak tunanetra memiliki
karakteristik kognitif, sosial, emosi, motorik dan
kepribadian yang sangat bervariasi.
Jadi dari keempat pendapat di atas dapat
disimpulkan bahwa masalah- masalah psikologis
yang diakibatkan oleh ketunanetraan itu meliputi:
aspek kognitif atau pengamatan, motorik/gerak,
kepribadian, sosial dan emosional.
2.2.5 Low Vision
Dikalangan umum memang istilah low vision
belum begitu memasyarakat, mereka menyebutnya
dengan anak kurang awas atau kurang melihat. Akan
tetapi didalam dunia PLB istilah low vision sudah
menjadi istilah baku dan biasa di kenal.The low vision
service of the united of America menyatakan bahwa
anak low vision adalah “anak yang mengalami
penurunan ketajaman penglihatan dan atau lapangan
pandangan yang tidak normal akibat adanya

15
penyimpangan pada sistem visual” (widjajatin &
Hitipeuw, 1995 : 200)
Kemudian The World Health Organization (WHO)
mendefinisikan anak low vision sebagai berikut:
A person with low vision is one has impairment of
visual function even after treatment and/or standart
refractive correction, and has a visual acuity of less
then 6/18 (20/60) to light perception or visua field of
less than 10 degree from the point of fixation, but who
uses or is potentially able to use, vision for the planning
and/or execution of a tak (tarsidi, 200:04)
Pengertian WHO diatas dapat diartikan bahwa
anak low vision adalah mereka yang telah dikoreksi
secara optimal dengan kacamata atau dengan lensa
kontak, ketajaman penglihatan mereka 618 (20/60)
atau lantang pandang mereka tidak lebih dari 10
derajat, dapat menggunakan atau berpotensi untuk
menggunakan sisa penglihatannya dalam
merencanakan dan melakukan tugas sehari- hari.
Menurut Kirk dan Galagher (widjajatin &
Hitipeuw, 1995 : 201), A child scores between 20/70
and 20/200 on visual acuty, with correction, is legally
partially sighted or low vision. Pernyataan tersebut
dapat diartikan bahwa mereka yang ketajaman
penglihatannya antara 20/70 dan 20/200 setelah
mendapatkan perbaikan disebut kurang lihat atau low
vision.
Dari pernyataan tersebut dapat disimpulkan
bahwa anak low vision adalah anak yang mengalami
kerusakan dan gangguan dalam ketajaman
penglihatan, lantang pandang, masih memiliki sisa
penglihatan yang dapat dioptimalkan. Oleh karena itu
anak low vision masih bisa mengoptimalkan sisa
penglihatannya untuk membaca tulisan awas.

2.2.6 Data Penglihatan Low Vision

16
a.The international Clasification of Disease, 9 th
revision, clinical
modification (ICD-9-CM) membagi low vision atas 5
kategori
1) Moderate visual impairment. Tajam penglihatan
yang paling baik dapat dikoreksi kurang dari 20 /
60 sampai 20 / 160.
2) Severe visual impairment. Tajam penglihatan
yang paling baik dapatdikoreksi kurang dari
20/160 sampai 20/400 atau diameter lapang
pandangan adalah 20 derajat atau kurang
(diameter terbesar dari isopter goldman adalah
III$e, 3/100, objek putih)
3) Profound visual impairment. Tajam penglihatan
yang paling baik. Dapat dikoreksi kurang dari
20400 sampai 200/1000, atau
diameter lapang pandangan adalah 10 derajat
atau kurang.
4) Near- total vision loss. Tajam penglihatan yang
paling baik dapat dikoreksi 20/1250 atau kurang.
5) Total blindness. No light perception.
b. Klasifikasi cacat penglihatan
1) Penglihatan normal
Mata normal
Penglihatan dengan ketajaman 6/6-6/7,5 atau
95-100%
Penglihatan mata normal dan sehat
2) Hampir normal
Penglihatan 69 – 6/21 atau 75 – 90%
Tidak ada masalah gawat
Perlu diketahui penyebab yang mungkin dapat
diperbaiki
3) Low vision sedang
Penglihatan 6/60 – 6120 atau 10 – 20%
Masih mungkin orientasi dan mobilitas umum
Mendapat kesukaran berlalulintas dan
melihat nomor mobil

17
Membaca perlu memakai lensa kuat dan
membaca menjadi lambat
4) Low vision nyata
Penglihatan 6/240 atau 5%
Gangguan masalah orientasi dan mobilitas
Perlu tongkat putih untuk berjalan
Umumnya memerlukan sarana baca dengan
huruf braille, radio
dan pustaka kaset.
5) Hampir buta
Penglihatan menghitung jari kurang empat kaki
Penglihatan tidak bermanfaat bagi orientasi
mobilitas
Harus memakai alat non visual
6) Buta total
Tidak mengenal adanya rangsangan sinar
Seluruhnya tergantung pada alat indera selain
mata.

2.2.7 Dampak Ketunanetraan Terhadap Motorik dan


Mobilitas
Rogow (Hadi, 2005) mengemukakan bahwa anak
tunanetra memiliki kesulitan gerak berupa:
1. Spasticity yang ditunjukkan oleh lambatnya
bergerak, kesulitan,
dan koordinasi gerak yang buruk.
2. Dyskinesia yaitu adanya aktivitas gerak yang tak
disengaja, gerak
athetoid,gerak tak terkontrol, tak beraturan, gerakan
patah-patah,
dan berliku-liku.
3. Ataxia yaitu koordinasi yang buruk pada
keseimbangan postur
tubuh, orientasi terbatas, oleh akibat kekakuan
atau
ketidakmampuan dalam menjaga keseimbangan.

18
4. Mixed Types merupakan kombinasi pola-pola
gerak dyskitenik,
spastic, dan ataxic.
5. Hypotonia ditunjukkan oleh kondisi lemahnya
otot-otot dalam
Merespon stimulus dan hilangnya gerak reflex.
Jan et al. (Kingsley, 1999) mengemukakan bahwa anak-
anak yang mengalami ketunanetraan yang parah dengan
sistem saraf yang sehat, yang belum pernah diberi
kesempatan cukup memadai untuk belajar keterampilan
motorik, sering mengalami keterlambatan dalam
perkembangannya. Sering kali mereka lemah, daya
koordinasinya buruk, berjalannya goyah, dan kedua belah
kakinya senantiasa "bertukar tempat". Apabila berjalan
kakinya diseret dan tangannya menjulur ke depan. Maka perlu
disediakan alat untuk memegang atau railing agar
memudahkan anak tersebut dalam berjalan.
Best (1992) mengemukakan bahwa anak-anak tunanetra
tidak dapat dengan mudah memantau mobilitasnya
(gerakannya) dan oleh karenanya dapat mengalami kesulitan
dalam memahami apa yang terjadi bila mereka
menggerakkan atau merentangkan anggota tubuhnya,
membungkukkan atau memutar tubuhnya. Karena mereka
tidak dapat melihat gerakan orang lain dengan jelas, mereka
tidak bisa mengamati bagaimana orang duduk, berdiri, dan
berjalan serta kemudian menirukannya. Maka mereka akan
memiliki lebih sedikit kerangka acuan/pola (term of
reference), dan mungkin tidak akan menyadari apa artinya
"duduk tegak", berjalan kaki melangkah dan tangan diayun,
sehingga terjadi keserasian gerak antara kaki, tangan, dan
tubuh ketika sedang berjalan.
Dampak lain ketunanetraan dapat dilihat pada postur
tubuh dan gaya jalan. Akibat ketunanetraan biasanya ia
berjalan dengan kaki diseret karena ingin menditeksi jalan
yang berlubang, tangan menjulur ke depan karena kalau
menabrak sesuatu lebih baik tangan dulu yang menabrak.

19
2.3 Tinjauan Sekolah Luar Biasa Tunanetra
2.3.1 Sejarah Sekolah Luar Biasa
Pada pertengahan abad ke-18 sesudah Perang
Salib, para tunanetra ditampung dalam suatu asylum.
Asylum pertama kali didirikan di Perancis pada tahun
1254 yang diselenggarakan oleh badan keagamaan
(Katolik), yaitu Congregasi Quinze Vingt. Asylum
tersebut dikenal dengan nama Asylum “The
Congregasi of the three hundred”. Nama ini diberikan
sehubungan dengan penampungan 300 orang cacat
veteran Perang Salib yang menjadi tunanetra.
Selanjutnya asylum pertama di Inggris didirikan
dekat kota London yang dikenal dengan nama “Elsing
Spittle”. Asylum ini bubar dalam masa reformasi,
karena rumah- rumah perawatan harus berdasarkan
faham keagamaan.
Pada tahun 1790- 1791 di Liverpool didirikan
sebuah lembaga pendidikan tunanetra yang pertama
di Inggris oleh Henry Dannet B dan John Smyth.
Kemudian tahun 1793 didirikan “Blind Asylum” di
Edinburg Scotlandia oleh Dr. Robert Johnston dan
David Miller. Sedangkan dikota Dublin didirikan
Richmond National Institution pada tahun 1810. Di
Amerika Serikat, Asylum pertama Asylum for the Blind
didirikan tahun 1892 dikota Biston. (Marsono Welfry
Marsel Sitohang, makna sekolah bagi Tuna Netra :
2009)
Lembaga-lembaga atau Asylum di Inggris dan di
Amerika tersebut belum merupakan suatu lembaga
pendidikan atau sekolah khusus bagi anak- anak
tunanetra karena fungsinya ialah menampung orang
tunanetra dewasa.
Adapun sekolah bagi anak tunanetra yang
pertama didirikan di Perancis pada tahun 1784 oleh
Valentin Hauy, seorang dermawan. Oleh Institution
National des jeunes Aveugles. Sekolah ini juga
menerima murid yang awas, dengan maksud untuk

20
tidak mengucilkan anak tunanetra. Keberhasilan Hauy
ini mendorong dibukanya sekolah sejenis di Eropa.
dengan judul Idiocy an Its Treatment by Psychological
Methods pada tahun 1866.
Beberapa konsep yang dikemukakan dalam buku
tersebut antara lain:
1. Pendidikan anak secara utuh
2. Pembelajaran secara individual
3. Memulai pembelajaran sesuai dengan tingkat
kemampuan anak
4. Hubungan yang erat antara murid dengan guru.
Pada tahun 1901, dibukalah suatu lembaga
pendidikan untuk anak tunanetra di Bandung atas
inisiatif Dr. Westhoff, seorang Belanda yang memberi
modal pendirian lembaga tersebut yang kemudian
membentuk suatu yayasan untuk orang-orang
tunanetra. Usaha ini dimulai dengan mengumpulkan
orang-orang tunanetra, baik dewasa maupun anak-
anak, ditampung disuatu tempat/asrama. Untuk
memberikan kegiatan, dibuatlah suatu bengkel kerja
terbimbing, atau ‘Shetered Workshop’. Kemudian dirasa
perlu untuk membuka sekolah bagi anak-anak
tunanetra lainnya. Pada tahun 1961, lembaga swasta
ini diserahkan ke Departemen Sosial, pada tahun
1962 diserahkan pula ke Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, yang selanjutnya berubah menjadi
Sekolah Luar Biasa Negeri. (www.mitranetra.com)

2.3.2 Pengertian Pendidikan Luar Biasa

Pendidikan Luar Biasa atau Sekolah Luar Biasa


(SLB) merupakan pendidikan bagi peserta didik yang
memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses
pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental
sosial, tetapi memiliki potensi kecerdasan dan bakat
istimewa. (Suparno:2007)
Dalam Encyclopedia of Disability tentang
pendidikan luar biasa dikemukakan sebagai berikut:

21
“Special education means specifically designed
instruction to meet the unique needs of a child with
disability”. Pendidikan luar biasa berarti pembelajaran
yang dirancang secara khusus untuk memenuhi
kebutuhan yang unik dari anak kelainan fisik.
Ketika seorang anak diidentifikasi mempunyai
kelainan, pendidikan luar biasa sewaktu-waktu
diperlukan. Hal itu dikemukakan karena siswa
berkebutuhan pendidikan khusus tidak secara otomatis
memerlukan pendidikan luar biasa. Pendidikan luar
biasa akan sesuai hanya apabila kebutuhan siswa
tidak dapat diakomodasi dalam program pendidikan
umum. Singkat kata, pendidikan luar biasa adalah
program pembelajaran yang disiapkan untuk
memenuhi kebutuhan unik dari individu siswa. Mungkin
mereka memerlukan penggunaan bahan-bahan,
peralatan, layanan, dan/atau strategi mengajar yang
khusus. Sebagai contoh, seorang anak yang kurang
lihat memerlukan buku yang hurufnya diperbesar,
seorang siswa dengan kelainan fisik mungkin
memerlukan kursi dan meja belajar yang dirancang
khusus, seorang siswa dengan kesulitan belajar
mungkin memerlukan waktu tambahan untuk
menyelesaikan pekerjaannya. Contoh yang lain,
seorang siswa dengan kelainan pada aspek
kognitifnya mungkin akan memperoleh keuntungan
dari pembelajaran kooperatif yang diberikan oleh satu
atau beberapa guru umum bersama-sama dengan
guru pendidikan luar biasa. Pendidikan luar biasa
merupakan salah satu komponen dalam salah satu
sistem pemberian layanan yang kompleks dalam
membantu individu untuk mencapai potensinya secara
maksimal.
Pendidikan luar biasa diibaratkan sebagai
sebuah kendaraan dimana siswa berkebutuhan
pendidikan khusus, meskipun berada disekolah umum,
diberi garansi untuk mendapatkan pendidikan yang

22
secara khusus dirancang untuk membantu mereka
mencapai potensi maksimalnya.
Pendidikan luar biasa tidak dibatasi oleh tempat
khusus. Pemikiran modern menyarankan bahwa
layanan sebaiknya diberikan di lingkungan yang lebih
alamiah dan normal yang sesuai dengan kebutuhan
anak. Seting seperti itu bisa dilakukan dalam bentuk
program layanan di rumah bagi anak-anak
berkebutuhan pendidikan khusus prasekolah, kelas
khusus di sekolah umum, atau sekolah khusus untuk
siswa-siswa yang memiliki keberbakatan. Pendidikan
luar biasa bisa diberikan di kelas-kelas pendidikan
umum. Individu-individu berkebutuhan pendidikan
khusus hendaknya dipandang sebagai individu yang
sama bukannya berbeda dari temanteman sebaya
lainnya.

2.3.3 Pengertian Tunanetra


Aqila Smart, Rose (2014:36-37), Tunanetra
merupakam sebutan untuk individu yang mengalami
gangguan pada indra penglihatan. Pada dasarnya,
tunanetra dibagi menjadi dua kelompok, yaitu
a. Buta Total dan Kurang Penglihatan (Low Vision). Buta
Total bila tidak dapat melihat dua jari dimukanya
atau hanya melihat sinar atau cahaya yang lumayan
dapat dipergunakan untuk orientasi mobilitas. Mereka
tidak bisa menggunakan huruf lain selain huruf Braille.
b. Low Vision adalah mereka yang bila melihat sesuatu,
mata harus didekatkan atau mata harus dijauhkan dari
objek yang dilihatnya, atau mereka yang memiliki
pandangan kabur ketika melihat objek. Untuk
mengatasi permasalahan penglihatannya, para
penderita Low Vision ini menggunakan kacamata atau
kontak lensa.
Ada beberapa klasifikasi lain pada anak
tunanetra. Salah satunya berdasarkan kelainan-
kelainan yang terjadi pada mata, yaitu: Myopia:

23
Penglihatan jarak dekat, bayangan tidak terfokus, dan
jatuh dibelakang retina. Penglihatan akan menjadi jelas
jika objek didekatkan. Untuk membantu proses
penglihatan, pada penderita myopia digunakan
kacamata koreksi dengan lensa negative. Hyperopia:
Penglihatan jarak jauh, bayangan tidak terfokus, dan
jatuh didepan retina. Penglihatan akan menjadi jelas
jika objek dijauhkan. Untuk membantu proses
penglihatan, pada penderita hyperopia digunakan
kacamata koreksi dengan lensa positif. Astigmatisme:
penyimpangan atau penglihatan kabur yang
disebabkan ketidakberesan pada korneamata atau
pada permukaan lain ada bola mata sehingga
bayangan benda, baik jarak dekat maupun jauh, tidak
terfokus jatuh pada retina. Untuk membantu proses
penglihatan, pada penderita astigmatisme digunakan
kacamata koreksi dengan lensa silindris.

2.3.4 Fungsi dan Tujuan Sekolah Luar Biasa


Tunanetra
a. Fungsi
1) Mengasuh, meski tinggal di asrama, anak anak
tunanetra berhak
mendapatkan lingkungan yang kondusif, penuh
kedamaian, kesejukan, dan ketenangan lahir
batin untuk membina kepribadiannya agar
menjadi sumber daya manusia yang berkualitas.
Sehingga memiliki keterampilan hidup yang
memungkinkan agar anak mampu menjalankan
berbagai fungsi dalam kehidupannya.
2) Mendidik, Sekolah Luar Biasa adalah lembaga
yang dipercayakan untuk mendidik anak
tunanetra hingga menuju arah kedewasaan. Ada
kekhususan pada pendidikan SLB dimana murid
murid akan dididik dengan menguasai berbagai
keterampilan tertentu. Misalnya keterampilan

24
memijat, menganyam, bermain musik, menyanyi
dll.
3) Memberdayakan, upaya peningkatan sumber
daya manusia melalui berbagai pelatihan dan
keterampilan terhadap semua aspek yang
prinsipil dari manusia dan lingkungannya yang
bisa dikembangkan menjadi aspek sosial,
ekonomi, politik, keamanan dan lingkungan.
4) Membimbing, merupakan bantuan yang diberikan
kepada siswa/i untuk menghindari atau
mengatasi kesulitan dalam hidupnya, agar anak
tersebut dapat mencapai kesejahteraan hidup.
b.Tujuan Sekolah Luar Biasa Tunanetra
1) Meningkatkan keterampilan bagi tunanetra.
2) Meningkatkan rasa percaya diri
3) Meningkatkan kemampuan bersoialisasi maupun
komunikasi.

2.3.5 Kebutuhan dan Layanan Pendidikan bagi


Tunanetra
Anak tunanetra sebagaimana anak lainnya,
membutuhkan pendidikan untuk mengembangkan
potensi yang dimilikinya secara optimal. Oleh karena
adanya gangguan penglihatan, anak tunanetra
membutuhkan layanan khusus untuk merehabilitasi
kelainannya, yang meliputi: latihan membaca dan
menulis huruf Braille, penggunaan tongkat,
orientasi dan mobilitas, serta latihan
visual/fungsional penglihatan.
Tabel 2.2 Alat- alat kebutuhan dan layanan tunanetra
N Nama Alat Deskripsi Gambar
o Adalah buku yang memiliki
Buku dan Alquran tekstur not braille, yaitu
1
Braille
kode khusus tuna netra
Digunakan sebagai alat
Tongkat khusus Tuna untuk mobilitas tuna netra
2
netra

25
Berfungsi untuk
3 Mesin ketik braille menghasilkan tulisan
dengan keyboard braille
Alat menulis untuk tuna
4 Reglet, pen netra

Alat bantu yang digunakan


5 Papan huruf untuk membaca huruf bagi
tuna netra
Alat yang digunakan
sebagai media untuk
6 Cubaritmo
menghitung

Kalkulator yang
menghasilkan bunyi, untuk
7 Speech Calculator
memudahkan tuna netra
dalam belajar perhitungan
Sempoa
8 Abacus, sempoa

Gambar yang memiliki


tekstur sehingga
9 Gambar timbul
mempermudah tuna netra
mempelajari gambar.
Perangkat lunak
1 khusus tuna netra
Peranti lunak JAWS
0

Dalam ponpes modern nanti perlu dikaji


tinjauan yang tepat terhadap pendidikan untuk tuna
netra guna memberikan pelayanan maksimal terhadap
karakteristik tuna netra seperti yang telah dijelaskan
diatas, menurut web dan blog dan disesuaikan
dengan persepsi penulis maka didapatkan pendidikan
sebagai berikut :
a. Layanan pendidikan bagi anak tunanetra dapat
dilaksanakan melalui sistem segregasi yaitu secara
terpisah dari anak awas dan integrasi atau terpadu
dengan anak awas di sekolah biasa. Tempat
pendidikan dengan sistem segregasi, meliputi:
sekolah khusus (SLB-A), SDLB, dan kelas
jauh/kelas kunjung. Bentuk-bentuk keterpaduan yang
26
dapat diikuti oleh anak tunanetra yang mengikuti
sistem integrasi, meliputi: kelas biasa dengan guru
konsultan, kelas biasa dengan guru kunjung, kelas
biasa dengan ruang-ruang sumber, dan kelas
khusus.
b. Strategi pembelajaran bagi anak tunanetra; pada
dasarnya sama dengan strategi pembelajaran bagi
anak awas, hanya dalam pelaksanaannya
memerlukan modifikasi sehingga pesan atau materi
pelajaran yang disampaikan dapat
diterima/ditangkap oleh anak tunanetra melalui
indera- indera yang masih berfungsi.
c. Dalam pembelajaran anak tunanetra, terdapat
prinsip-prinsip yang harus diperhatikan,antara lain
prinsip: individual, kekonkritan/pengalaman
penginderaan, totalitas, dan aktivitas mandiri
(selfactivity).
d. Menurut fungsinya, media pembelajaran dapat
dibedakan menjadi: media untuk menjelaskan
konsep (alat peraga) dan media untuk membantu
kelancaran proses pembelajaran (alat bantu
pembelajaran). Alat bantu pembelajaran, antara lain
meliputi: alat bantu menulis huruf Braille (reglet, pen
dan mesin ketik Braille); alat bantu membaca huruf
Braille (papan huruf dan optacon); alat bantu
berhitung (cubaritma, abacus/sempoa, speech
calculator), serta alat bantu yang bersifat audio
seperti tape-recorder.
e. Evaluasi terhadap pencapaian hasil belajar pada
anak tunanetra pada dasarnya sama dengan yang
dilakukan terhadap anak awas, namun ada sedikit
perbedaan yang menyangkut materi tes/soal dan
teknik pelaksanaan tes. Materi tes atau pertanyaan
yang diajukan kepada anak tunanetra tidak
mengandung unsur-unsur yang memerlukan
persepsi visual; apabila menggunakan tes tertulis,
soal hendaknya diberikan dalam huruf braille atau
27
menggunakan reader (pembaca) apabila
menggunakan huruf awas.
f. Media pembelajaran
Karena tunanetra memiliki keterbatasan dalam indra
penglihatan maka proses pembelajaran menekankan
pada alat indra yang lain yaitu indra peraba dan
indra pendengaran. Oleh karena itu prinsip yang
harus diperhatikan dalam memberikan pengajaran
kepada individu tunanetra adalah media yang
digunakan harus bersifat taktual dan bersuara,
contohnya adalah penggunaan tulisan braille,
gambar timbul, benda model dan benda nyata.
sedangkan media yang bersuara adalah tape
recorder dan peranti lunak JAWS. Untuk membantu
tunanetra beraktivitas di sekolah luar biasa mereka
belajar mengenai Orientasi dan Mobilitas. Orientasi
dan Mobilitas diantaranya mempelajari bagaimana
tunanetra mengetahui tempat dan arah serta
bagaimana menggunakan tongkat putih (tongkat
khusus tunanetra yang terbuat dari alumunium).
Dalam pembelajaran kesenian, anak disuruh
meraba bentuk-bentuk alat musik yang telah
disediakan serta guru menjelaskan nama dan cara
penggunaan alat musik tersebut dan not-not yang
dipergunakan dalam bermain musik juga
menggunakan not Braille. Jadi, baik dalam teori
maupun yang ada dilapangan, media yang
digunakan untuk Anak Tuna Netra lebih spesifik
atau lebih mengutamakan daripada kepala, perut ke
depan agar dapat menopang tubuh secara
keseluruhan. Kondisi seperti ini akan membentuk
Gaya jalan dan postur tubuh yang jelek, dada dan
bahu menyempit, postur tubuh bungkuk, kaki
bengkok, dll. Secara psikologis akan menimbulkan
rasa tidak percaya diri.

2.3.6 JENJANG PENDIDIKAN PADA SLB-A

28
Jenjang pendidikan bagi anak tunanetra menurut
DEPDIKNAS terdiri dari:
a. Taman Kanak-kanak Luar Biasa
(TKLB)
1) Program Kegiatan Belajar:
(a) Program umum: pembentukan perilaku melalui
pengembangan Pancasila, agama, disiplin,
perasaan/emosi dan kemampuan
bermasyarakat, serta pengembangan
kemampuan berbahasa, daya pikir, daya cipta,
keterampilan dan jasmani.
(b) Program khusus: Orientasi dan Mobilitas.
2) Susunan Program
Pengajaran:
Kegiatan belajar 3 jam perhari. Setiap jam pelajaran
lamanya 30
menit.
1) Lama Pendidikan: berlangsung selama satu sampai
tiga tahun
2) Usia: sekurang-kurangnya berusia 3 tahun
3) Rasio guru dan murid: 1 guru membimbing 5 peserta
didik.
4) Sistem guru:
(a) Guru kelas, kecuali untuk bidang pengembangan
Orientasi dan
Mobilitas.
(b)Team teaching
b. Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB)
a) Kurikulum:
(1) Program Umum: Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan, Pendidikan Agama, Bahasa
Indonesia, Matematika, Ilmu Pengetahuan
Alam, Ilmu Pengetahuan, Sosial,Kerajian
Tangan dan Kesenian,Pendidikan, Jasmani dan
Kesehatan.

(2) Program Khusus: Orientasi dan Mobilitas, dan


Braille.

29
(3) Program Muatan Lokal antara lain: bahasa
Daerah, bahasa Inggris, Kesenian Daerah atau
lainnya yang telah ditetapkan oleh Dinas
Pendidikan Daerah setempat.
b) Susunan Program Pengajaran:
Kegiatan belajar sekurang-kurangnya 30 sampai 42
jam pelajaran tiap minggu. Untuk kelas I dan II
setiap jam pelajaran lamanya 30 menit, kelas III
sampai dengan VI setiap jam pelajaran lamanya 40
menit.

c) Lama Pendidikan: berlangsung selama sekurang-


kurangnya 6 tahun.
d) Usia: sekurang-kurangnya berusia 6 tahun
e) Rasio guru dan murid: 1 guru mengajar maksimal 12
siswa.
f) Sistem guru:
(1) Guru kelas, kecuali untuk mata pelajaran
Orientasi dan Mobilitas, pendidikan Agama,
pendidikan jasmani dan Kesehatan.
(2) Team teaching
(3) Mengembangkan program pendidkan individual
bagi siswa tunanetra yang membutuhkan
layanan tertentu.
c.Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa (SMPLB)
1) Kurikulum:
a) Program Umum: pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan, Pendidikan Agama, Bahasa
Indonesia, Matematika, Ilmu Pengetahuan Alam,
Ilmu Pengetahuan Sosial, pendidikan Jasmani
dan Kesehatan, Bahasa Inggris.
b) Program Khusus: Orientasi dan Mobilitas, dan
Braille.
c) Program Muatan Lokal: bahasa Daerah, Kesenian
Daerah atau lainnya yang telah ditetapkan oleh
Dinas Pendidikan Daerah setempat.

30
d) Program Pilihan: paket keterampilan Rekayasa,
Pertanian, Usaha dan Perkantoran,
Kerumahtanggaan, dan Kesenian.
2) Susunan Program
Pengajaran: Kegiatan belajar sekurang- kurangnya 42
jam pelajaran tiap minggu. Setiap jam pelajaran
lamanya 45 menit. Alokasi waktu program umum,
program khusus dan muatan lokal kurang lebih 48%,
sedangkan alokasi waktu program pilihan kurang lebih
52%.
3) Lama Pendidikan:
berlangsung selama sekurang-kurangnya 3 tahun.
4) Siswa: telah tamat Sekolah
Dasar Luar Biasa atau satuan pendidikan yang
sederajat/setara.
5) Rasio guru dan murid: 1 guru
mengajar maksimal 12 siswa.
6) Sistem guru: guru mata
pelajaran
b. Sekolah Menengah Luar Biasa (SMLB)
1) Kurikulum:
(a) Program Umum: pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan, pendidikan Agama, Bahasa
Indonesia, Matematika, Ilmu Pengetahuan Alam,
Ilmu Pengetahuan Sosial, pendidikan Jasmani
dan Kesehatan Bahasa Inggris.
(b) Program Khusus: Braille
(c) Program Pilihan: paket keterampilan Rekayasa,
Pertanian, Usaha dan Perkantoran,
Kerumahtanggaan, dan Kesenian.
2) Susunan Program
Pengajaran:
Kegiatan belajar sekurang-kurangnya 42 jam
pelajaran tiap minggu. Setiap jam pelajaran lamanya
45 menit. Alokasi waktu program umum kurang lebih
38%, sedangkan alokasi waktu program pilihan
kurang lebih62%.

31
3) Lama Pendidikan: berlangsung selama sekurang-
kurangnya 3 tahun.
4) Siswa: telah tamat Sekolah Menengah Pertama
atau yang
sederajat / setara.
5) Rasio guru dan murid: 1 guru mengajar maksimal 12
siswa.
6) Sistem guru: Guru mata pelajaran

2.3.7 PENDIDIK DALAM SEKOLAH LUAR BIASA


TUNANETRA
Di dalam suatu Sekolah Luar Biasa (SLB) Tunanetra
ada beberapa pendidik, meliputi :
a. Seorang guru Pembimbing Khusus (Guru PLB)
b. Sebuah ruangan khusus yang dilengkapi dengan
alat pendidikan bagi anak yang berkebutuhan
khusus . Ruangan khusus ini dibuat dengan tujuan
apabila anak yang berkebutuhan khusus tersebut
mengalami kesulitan di dalam kelas, maka ia
dibawa ke ruang khusus untuk diberi pelayanan
dan bimbingan oleh guru pembimbing khusus.
c. Guru Kunjung
Di dalam sistem Pendidikan Luar Biasa terdapat
sebuah model pelayanan pendidikan bagi anak
yang berkebutuhan khusus yaitu dengan model
Guru Kunjung. Model guru kunjung ini dilakukan
dalam upaya pemerataan pendidikan bagi anak
yang berkebutuhan khusus usia sekolah. Oleh
karena sesuatu hal, anak tsb tidak dapat belajar di
sekolah khusus atau sekolah lainnya, seperti:
1) Tempat tinggal yang sulit dijangkau akibat dari
kemampuan mobilitas yang terbatas
2) Jarak sekolah dan rumah terlalu jauh
3) Kondisi anak tunanetra yang tidak
memungkinkan untuk berjalan.
4) Menderita penyakit yang berkepanjangan dll.

32
Pelayanan pendidikan dengan model guru
kunjung ini bias dilaksanakan di beberapa tempat,
diantaranya:
1) Rumah anak tunanetra sendiri
2) Pada sebuah tempat yang dapat menampung
beberapa anak
tunanetra
3) Rumah sakit
4) Dll.

2.3.8 PRINSIP-PRINSIP PENGAJARAN BAGI ANAK


LOW VISION
Ada beberapa prinsip yang harus diperhatikan dalam
memberikan layanan pendidikan bagi anak kurang lihat.
Hal-hal yang perlu mendapat perhatian dalam melayani
pendidikan bagi low vision adalah:
a. Cahaya/penerangan
Ruangan belajar hendaknya mendapat cahaya.
Cahaya yang datang tidak langsung dari depan
tetapi dari samping atau biarkanlah anak dapat
memilih keadaan cahaya yang sesuai dengan
kondisinya. Pemberian cahaya diusahakan tidak
menimbulkan rasa silau. Bahkan sebaliknya, harus
dapat meningkatkan kekontrasan tulisan pada
halaman buku. Anak albino sangat peka terhadap
cahaya. Maka mereka memerlukan perhatian
khusus. Perhatian dalam pengontrolan cahaya alami
maupun cahaya lampu. Kelas dan perpustakaan
dapat menimbulkan masalah bila tidak terdapat
pengontrolan cahaya. Maka perlu pengaturan
pencahayaan dengan arahan dari para ahli mata.
b. Warna
Dengan kondisi penglihatannya, maka kontras warna
sangat dibutuhkan.
c. Bentuk

33
Berikut beberapa tinjuan bentuk berdasarkan tuntutan
ruang tunanetra.
1) Lingkaran
Bentuk lingkaran bersifat memusat pada suatu titik
atau menyebar. Bagi tunanetra tidak
menguntungkan karena lingkaran tidak memiliki
patokan awal dan akhir. Semakin banyak arah, maka
semakin kompleks dan sukar dihafalkan.
2) Segi banyak beraturan (memiliki sisi dan sudut sama)
Hampir sama dengan lingkaran, bahwa bentuk ini
akan menimbulkan pergerakan ke beberapa arah
yang mempersulit tunanetra untuk mengenal ruang
dan berorientasi dalam ruang tersebut.
3) Segitiga
Akan menyebabkan pergerakan menyerong (kurang
dari 90 derajat) yang kurang menguntungkan bagi
tunanetra.
4) Segi empat
Segi empat murni menunjukan sesuatu yang rasionil,
murni, dan bentuk yang statis, netral dan tidak
memiliki arah tertentu. Bentuk segi empat lainnya
adalah variasi bentuk bujur sangkar yang berubah
dengan penambahan tinggi atau lebarnya awal dan
akhir. Semakin banyak arah, maka semakin
kompleks dan sukar dihafalkan.
d. Ukuran
Ukuran benda yang diberikan pada anak sebagai
latihan kepekaan indra raba haruslah diperhatikan
sehingga akan mempermudah dalam mengikuti
pelajaran.
e. Waktu
Waktu yang dibutuhkan low vision dalam mengikuti
pelajaran akan lebih banyak bila dibanding dengan
anak awas. Dalam membaca, mereka memerlukan
waktu untuk mengerti. Disamping itu masih
memerlukan ketajaman penglihatan untuk menafsirkan
gambar. Sehingga guru harus memperhatikan faktor

34
kelelahan anak. Namun perlu diwaspadai, tidak harus
setiap saat perlu penyesuaian waktu. Sebab suatu
saat akan menimbulkan hal-hal yang melampaui batas.
Melampaui batas dalam hal yang menyangkut
ketidakmampuan anak. Misal: minta dimengerti bila
suatu ketika dia berprestasi buruk. Dalam hal ini perlu
meyakinkan anak bahwa dia mempunyai kesempatan
untuk mengembangkan ketrampilan dan kebiasaan
kebiasaan yang baik. Pelajaran akan lebih banyak bila
dibanding dengan anak awas. Dalam membaca,
mereka memerlukan waktu untuk mengerti.
Disamping itu masih memerlukan ketajaman
penglihatan untuk menafsirkan gambar. Sehingga
guru harus memperhatikan faktor kelelahan anak.
Namun perlu diwaspadai, tidak harus setiap saat
perlu penyesuaian waktu. Sebab suatu saat akan
menimbulkan hal-hal yang melampaui batas.
Melampaui batas dalam hal yang menyangkut
ketidakmampuan anak. Namun perlu diwaspadai, tidak
harus setiap saat perlu penyesuaian waktu.

35

Anda mungkin juga menyukai