Anda di halaman 1dari 24

TUGAS MATA KULIAH ILMU KEPERAWATAN DASAR III

SISTEM SENSORI PENGHIDUAN

DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 4
KELOMPOK 8

PRODI S1 KEPERAWATAN
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN SINT CAROLUS
JAKARTA

0
2019

1
DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 4 DAN 8 :
1. Agung Santoso (201812082)
2. Asima Theodora (201812086)
3. Eko Agusti Wulandari (201812089)
4. Farolina Oktora (201812093)
5. Fitria Esti Ridhowati ( 201812094)
6. Kusnaningsih (201812099)
7. Maria Marinah Wenni Mahanani (201812104)
8. Nuraini (201812110)
9. Rosiana Ikawati (201812116)
10. Rosalinda Bella (201812115)
11. Yeni Wahyuningsih (201812122)

2
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Panca indera pada manusia merupakan sekumpulan reseptor tertentu yang
terlokalisasi dan merupakan paling ujung yang dapat menerima rangsangan – rangsangan
(stimulus) dari lingkungan untuk direspon oleh tubuh (efektor). Terdapat lima panca indera
pada manusia yaitu indera penglihatan, indera pendengar, indera peraba, indera pengecap,
indera penghidu.
Selain itu dikenal pula beberapa reseptor yang berfungsi mengenali perubahan
lingkungan luar yang dikelompokkan sebagai eksoreseptor. Sedangkan kelompok reseptor
yang berfungsi untuk mengenali lingkungan dalam tubuh disebut interoreseptor.
Interoreseptor terdapat diseluruh tubuh manusia. Tubuh kita tersusun atas berbagai macam
reseptor untuk mengetahui bermacam-macam rangsangan dari luar tubuh kita. Alat indera
adalah organ yang berfungsi untuk menerima jenis rangsangan tertentu.
Indera penghidu merupakan fungsi dari nervus olfaktorius, erat hubungannya
dengan indera pengecap yang dilakukan oleh nervus trigeminus, karena keduanya bekerja
bersama – sama. Stimulusnya berupa rangsangan kimiawi. Reseptor organ penghidu
terdapat di region olfaktorius di bagian hidung sepertiga atas. Serabut saraf olfaktorius di
dasar fossa kranii posterior. Anatomi berikut mekanisme (fisiologi) dari indera penghidu
patut diketahui supaya kita dapat mengetahuinya secara lebih rinci. Maka kelompok
tertarik mengambil makalah tentang “Anatomi dan Fisiologi Pada Indera Penghidu /
Penciuman”.

B. TUJUAN PENULISAN
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah :
1. Mengerti dan menjelaskan definisi indera penghidu.
2. Mengerti dan menjelaskan anatomi dan fisiologi indera penghidu.
3. Mengerti dan menjelaskan fungsi indera penghidu.
4. Mengerti dan menjelaskan gangguan pada sistem penghidu

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI
Hidung merupakan pintu masuk pertama udara yang kita hirup. Udara masuk dan
keluar system pernafasan melalui hidung, yaitu terbentuk dari dua tulang hidung dan
beberapa kartilago. Terdapat dua pintu pada dasar hidung – nostril (lubang hidung), atau
nares-eksternal yang dipisahkan oleh ​septum nasal di bagian tengahnya. (Niluh, Christanti,
2004).
Hidung merupakan alat visera (alat dalam rongga badan) yang erat hubungannya
dengan gastrointestinalis. Sebagian rasa berbagai makanan merupakan kombinasi
penciuman dan pengecapan. Reseptor penciuman merupakan kemoreseptor yang
dirangsang oleh molekul larutan di dalam mukus. Reseptor penciuman juga merupakan
reseptor jauh (telereseptor). Jaras penciuman tidak disalurkan dalm talamus dan tidak di
proyeksikan neokorteks bagi penciuman.
Olfaktori adalah organ pendeteksi bau yang berasal dari makanan. Pada manusia,
bau mempunyai muatan afeksi yang bisa menyenangkan atau membangkitkan rasa
penolakan dan keterlibatan memori, selain itu bau juga penting untuk nafsu makan.
Hidung adalah reseptor atau penerima rangsangan yang memiliki kemampuan untuk
memfasilitas serta memberikan berbagai kesulitan keluar tubuh. Indera penghiduan atau
salah satu bagian dari hidung adalah indera yang paling sensitif karna memiliki stuktur sel
yang langsung terkait dengan sistem pernapasan dan juga saluran pernafasan terdiri dari
lubang hidung dan juga rongga hidung dimana rongga hidung ini tersusun atas tulang serta
tengkorak. Didalam rongga hidung ada rambut rambut halus yang berfungsi untuk
menyerap kotoran masuk memalui sistem pernapasan. (Nurachman, E., & Anggraini , R. ,
2011)
Dibagian konka nasal superior ada sel-sel dan juga jaringan saraf penghiduan
(nerfus olfaktorius) yang merupakan dari saraf kranial pertama yang berfungsi untuk
menghubungkan bau bauan yang akan masuk melalui hirupan napas. Tanggung jawab pada

4
sistem penghidu adalah perbandingan molekul – molekul kimia yang dilepaskan diudara
sehingga menghasilkan bau. Molekul kimia diudara dapat dideteksi jika masuk ke reseptor
epitel melalui proses penghirupan.

B. SISTEM PENGHIDU
Indera penghidu merupakan fungsi dari nervus olfaktorius, erat hubungannya
dengan indera pengecap yang dilakukan oleh nervus trigeminus, karena keduanya bekerja
bersama-sama. Stimulusnya berupa rangsangan kimiawi. Reseptor organ penghidu terdapat
di regio olfaktorius di bagian hidung sepertiga atas. Serabut saraf olfaktorius berjalan
melalui lubang-lubang pada lamina kribrosa os etmoid menuju ke bulbus olfaktorius di
dasar fossa kranii posterior.
Manusia dapat membedakan berbagai bau bukan karena memiliki banyak reseptor
pembau tetapi, karena kemampuan yang ditentukan oleh prinsip – prinsip komposisi
(prinsip komponen). Organ penghidu hanya memiliki 7 reseptor tetapi, bisa membedakan
lebih dari 600 aroma yang berbeda. Alat penghidu biasa disebut dengan organon olfaktus
yaitu, dapat menerima stimulus benda benda kimia sehingga reseptornya juga disebut
chemoreceptor.
Organ dari bagian atas yaitu pada konka superior dan membrane hanya akan
menerima rangsangan dari benda – benda yang bisa menguap dan membentuk gas. Bagian
bagiannya adalah konka superior, konka medialis, konka inferior dan septum nasi atau
sekat hidung. Organ reseptor penghiduan ada dibagian atas hidung, yang menempel pada
lapisan jaringan berselaput lender dan dikenal sebagai penghiduan mukosa. Selaput lender
tersebut berfungsi untuk melembabkan udara, pada bagian ini terdapat bulu – bulu yang
berfungsi untuk menyaring debu dan kotoran.
Reseptor olfaktori hanya akan mampu berkurang lebih selama 35 hari. Jika mati
baik karena faktor alami maupun dari kerusakan fisik, maka reseptor tersebut akan diganti
oleh reseptor-reseptor baru dengan akson yang berkembang kelapisan olfaktori bulb yang
mendukung atau menargetkan, dan jika sudah tiba pada pengaturan seperti ini, mereka akan
kembali mengakses koneksi sinapsis yang terputus. Kebutuhan hidup bergantung kepada
susunan rongga hidung, variasi fisiologis, spesies, dan konsentrasi besar dalam konsentrasi.

5
C. BAGIAN – BAGIAN SISTEM PENGHIDU
Indera penghidu merupakan bagian dari system pernafasan, berikut adalah bagian dari system
penghidu :
Anatomi Hidung
1. Hidung Luar
Hidung luar berbentuk piramida dengan bagian-bagiannya yaitu pangkal
hidung (bridge), dorsum nasi, puncak hidung, ala nasi, kolumela dan lubang hidung
(nares anterior). Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang
dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk
melebarkan dan menyempitkan lubang hidung. Rangka hidung bagian luar terdiri dari
dua os nasal, prosesus frontal os maksila, kartilago lateralis superior, sepasang
kartilago lateralis inferior (kartilago ala mayor) dan tepi ventral (anterior) kartilago
septum nasi. Tepi medial kartilago lateralis superior menyatu dengan kartilago
septum nasi dan tepi kranial melekat erat dengan permukaan bawah os nasal serta
prosesus frontal os maksila.

Anatomi Hidung Luar

Pada tulang tengkorak, lubang hidung yang berbentuk segitiga disebut


apertura piriformis. Tepi laterosuperior dibentuk oleh kedua os nasal dan prosesus
frontal os maksila. Dasarnya dibentuk oleh prosesus alveolaris maksila. Di garis
tengah ada penonjolan (prominentia) yang disebut spina nasalis anterior.
Bagian luar hidung

6
a. Rongga hidung
Pada rongga hidung ada selaput lender serta rambut tipis (silia). Rongga hidung bekerja
dengan bantuan dari tulang hidung dan tengkorak.
b. Lubang dan bulu hidung.
Fungsinya untuk menyaring serta melindungi rongga hidung terhadap benda yang
masuk seperti debu, asap, dan lain-lain.
c. Ujung Hidung
d. Lekuk bibir atas
e. Punggung hidung
f. Jembatan hidung
Hidung luar berbentuk piramida dengan bagian-bagiannya yaitu pangkal
hidung (bridge), dorsum nasi, puncak hidung, ala nasi, kolumela dan lubang hidung
(nares anterior ). Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang
dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk
melebarkan dan menyempitkan lubang hidung. Rangka hidung bagian luar terdiri dari
dua os nasal, prosesus frontal os maksila, kartilago lateralis superior, sepasang
kartilago lateralis inferior (kartilago ala mayor) dan tepi ventral (anterior) kartilago
septum nasi. Tepi medial kartilago lateralis superior menyatu dengan kartilago
septum nasi dan tepi kranial melekat erat dengan permukaan bawah os nasal serta
prosesus frontal os maksila. Anatomi hidung luar pada tulang tengkorak, lubang
hidung yang berbentuk segitiga disebut aperturapiriformis. Tepi latero superior
dibentuk oleh kedua os nasal dan prosesus frontal os maksila. Dasarnya dibentuk oleh
prosesus alveolaris maksila. Di garis tengah ada penonjolan (prominentia) yang
disebut spina nasalis anterior.

2. Hidung Dalam
Struktur hidung dalam membentang dari os internum di sebelah anterior
hingga koana di posterior, yang memisahkan rongga hidung dengan nasofaring.
Septum nasi merupakan struktur tulang di garis tengah, secara anatomi membagi
organ menjadi dua hidung. Pada dinding lateral hidung terdapat konka dengan rongga
udara yaitu meatus superior, media dan inferior.
Ujung-ujung saraf olfaktorius menempati daerah kecil pada bagian medial
dan lateral dinding hidung dalam dan ke atas hingga kubah hidung. Deformitas

7
struktur demikian pula penebalan atau edema mukosa berlebihan dapat mencegah
aliran udara untuk mencapai daerah olfaktorius dan dengan demikian dapat
mengganggu penciuman.

a. Selaput lendir (mucus)


Selaput lender (mucus) dipakai sebagai media yang melekekatkan kotoran yang
terbawa udara, fungsinya untuk menghalangi kotoran yang masuk ke dalam
rongga hidung.
b. Saraf pendeteksi bau
Saraf pendeteksi bau sangat peka terhadap kotoran yang paling tipis dan bahkan tak
terlihat oleh mata, dapat mencium bau dari kadar paling rendah sampai yang
menyengat.
c. Tulang rawan (tulang lunak)
Tulang rawan didalam tulang belakang ini terdiri dari kartilago septum / lamika
kuadran gularis, kolumela. Kartilago mengatur bagian pada jaringan beberapa
tulang serta periosteum pada tulang keras. Sementara pada bagian luar
diperbaiki oleh mucus hidung.
d. Membrane Mukosa Olfaktorius
Sel reseptor olfaktorius terletak dibagian mukosa hidung yang khusus, yaitu membrane
mukosa olfaktorius yang berpigmen kekuningan. Pada anjing dan hewan lain
dengan indra penghidu yang sangat berkembang (hewan makrosmatik), cakupan
daerah membrane ini luas; pada hewan mikrosmatik membrane ini kecil. Pada
manusia daeraj ini luasnya 5 cm2 berada di atap rongga hidung dekat septum.
Membrane ini mengandung sel-sel penunjang dan sel-sel calon reseptor
penghidu. Diantara sel ini terdapat 10-20 juta sel reseptor. Setia reseptor

8
penghidu adalah neuron, dan di tubuh, membrane mukosa olfaktorius
merupakan system saraf yang terletak paling dekat dengan dunia luar. Setiap
neuron memiliki dendrite pendek tebal dengan ujung melebar yang disebut
batang olfaktorius. Dari batang ini, timbul tonjolan silia yang merebak
kepermukaan mucus. Silia adalah prosesus tidak bermielin sengan panjang 2µm
dan garis tengah 0,1µm. untuk setiap neuron terdapat 10-20 silia. Akson neuron
reseptor penghidu menembus lamina kribiformis tulang etmiod dan masuk ke
bulbus olfaktorius.

Neuron penghidu, seperti reseptor pengecapan, tidak seperti neuron lainnya, selalu
diperbarui dengan waktu paruh beberapa minggu. Perbaruan sel olfaktorius ini
merupakan proses yang diatur, dana ada bukti bahwa pada proses ini, protein
morfogenik tulang (bone morphogenic protein, BMP) member pengaruh
inhibisi. BMP merupakan golongan factor pertumbuhan yang sebelumnya
disebutkan sebagai zat perangsang (promotor) pertumbuhan tulang, tetapi
sekarng diketahui bekerja pada bermacam-macam jaringan tubuh selama
pertumbuhan, termasuk berbagai sel saraf. Membrane mukosa olfaktorius selalu

9
ditutupi oleh mucus, mucus ini dihasilkan oleh kelenjar Bowman, yang terletak
tepat di bawah lamina basal membrane.
e. Bulbus Olfaktorius
Pada bulbus olfaktorius, akson reseptor bersinap dengan dendrite primer sel mitral dan
tufted cells untuk membentuk sinap globular kompleks yang disebut glomerolus
olfaktorius. Tufted cell (sel berumbai) lebih kecil dari pada sel mitral dan
memilki akson yang tipis, tetapi kedua jenis sel mengirim aksonnya menuju
korteks penghidu serta bagian otak lain, dan tanpaknya merit jika ditinjau dari
segi fungsi. Rata-rata 26.000 akson sel reseptor berkonvergensi pada setiap
glomerolus. Selain sel mitral dan sel tufted, bulbus olfaktorius mengandung sel
periglomeruler, yaitu neuron inhibisi yang menghubungkan satu glomerolus
dengan glomerolus lainya, dan sel granula, yang tidak mempunyai akson dan
membentuk sinaps timbale balik (resiprokal) dengan dendrite lateral sel mitral
dan sel tufted . di sinaps ini, sel mitral dan sel tufted merangsang sel granula
dengan pelepasan glutamate, sedang di sisi sel granula sinaps akan menghambat
sel mitral dan sel tufted dengan mengeluarkan GABA.

10
f. Korteks Olfaktorius
Akson sel mitral dan sel tufted berjalan ke posterior melalui stria olfaktorius intermedia
dan stria olfaktorius lateral ke korteks olfaktorius. Akson sel mitral berakhir di
dendrite apical sel pyramid di korteks olfaktorius. Pada manusia, tindakan
mengendus-endus akan menggiatkan korteks piriformis, tetapi menghidu
dengan atau tanpa mengendus-endus menggiatkan girus orbitofrontal lateral dan
anterior dari lobus frontalis. Penggiatan orbitofrontalis pada umumnya lebih
besar pada sisi kanan dari pada sisi kiri. Dengan demikian , representasi
penghidu pada korteks bersifat asimetris. Serat lain menuju ke amigdala, yang
mungkin berperan dalam respon emosi terhadap rangsang penghidu, dan ke
korteks entorinal, yang berperan dalam ingatan penghidu.

Gambar Sirkuit Penghidu

D. FUNGSI HIDUNG

11
Fungsi hidung antara lain untuk jalan nafas, alat pengatur kondisi udara (air conditioning),
penyaring udara, indera penghidu, resonansi suara, membantu proses bicara dan reflek
nasal.
1. Sebagai jalan nafas
Saat inspirasi, udara masuk melalui nares anterior, lalu naik ke atas setinggi konka media
kemudian turun kearah nasofaring, sehingga udara berbentuk lengkungan atau arkus.
Saat ekspirasi, udara masuk melalui koana dan kemudian mengikuti jalan yang sama
seperti saat inspirasi, di bagian depan aliran udara memecah sebagian melalui nares
anterior dan sebagian lagi ke belakang membentuk pusaran dan bergabung dengan
aliran udara nasofaring.
2. Pengatur kondisi udara
Fungsi ini dilakukan dengan cara mengatur kelembaban udara dan mengatur suhu.
3. Sebagai penyaring dan pelindung
Fungsi ini berguna untuk membersihkan udara inspirasi dari debu dan bakteri dan dilakukan
oleh rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi, silia, palut lendir dan enzim yang dapat
menghancurkan beberapa bakteri yang disebut lisozim.
4. Indera penghidu
Hidung bekerja sebagai indera penghidu karena adanya mukosa olfaktorius pada atap rongga
hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas septum nasi. Partikel bau dapat
mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut lendir atau bila menarik nafas
dengan kuat. Epitel olfaktorius adalah epitel berlapis semu berwarna kecoklatan dan
terdiri dari tiga macam sel-sel saraf yaitu sel penunjang, sel basal dan sel olfaktorius.
Lamina propia di daerah olfaktorius mengandung kelenjar olfaktorius Bowman. Sel
penunjang dan kelenjar Bowman (Graziadei) yang menghasilkan mukus cair.
Diantara sel-sel penunjang terdapat sel olfaktorius yang bipolar, sedangkan di bagian puncak
sel terdapat dendrit yang telah berubah bentuk dan melanjutkan diri ke permukaan
epitel, kemudian membentuk bulatan disebut vesikel olfaktorius. Menurut teori
stereokimia untuk penghidu setiap bau dari ketujuh bau-bauan kimia atau dasar, indera
penciuman mempunyai molekul yang ukuran dan bentuknya unik dan bersifat
elektrofilik atau nukleofilik. Epitel olfaktorius diduga mempunyai reseptor-reseptor
yang bentuk dan dimensinya tertentu sehingga satu molekul bau yang spesifik
membutuhkan partikel reseptor tersendiri. Bau-bauan primer seperti bau-bauan eterial,
kamper, “musky”, wangi bunga, bau permen, pedas dan busuk. Bau tambahan

12
termasuk bau amandel, merupakan kombinasi yang ditimbulkan oleh pertautan
molekul-molekul dengan dua atau lebih reseptor primer.
Teori lain berpendapat bahwa kualitas molekul yang dianggap sebagai bau adalah interaksi
antara vibrasi dengan organ reseptor. Kemungkinan besar, permulaan perjalanan
impuls pada nervus olfaktorius adalah rangsangan pada batang olfaktorius atau silia,
mungkin oleh larutan partikel bau-bauan dalam lendir. Pada perangsangan sel reseptor,
akan timbul perubahan potensial listrik yang menghasilkan penjalaran impuls ke
bulbus olfaktorius untuk merangsang sel mitral. Bulbus olfaktorius mempunyai
aktivitas listrik yang menetap dan terus-menerus.
Ujung proksimal sel olfaktorius menipis sampai hanya berbentuk filamen setebal 1
mikrometer, yakni akson. Bersama-sama akson lainnya berkumpul membentuk
gabungan 20 filamen disebut fila olfaktoria, yang berjalan melalui lubang pada lamina
kribrosa dan memasuki bulbus olfaktorius di otak. Fila ini tidak bermielin. Di dalam
bulbus olfaktorius akson dari nervus olfaktorius akan berhubungan dengan sel-sel
mitral dan akson ini meninggalkan bulbus untuk membentuk traktus olfaktorius yang
berjalan sepanjang dasar lobus frontalis untuk kemudian masuk ke korteks piriformis,
komisura anterior, nukleus kaudatus, tuberkulus olfaktorius dan limbus anterior
kapsula interna dengan hubungan sekunder.

5. Resonansi suara
Resonansi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan menyanyi. Sumbatan
hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang, sehingga terdengar suara
sengau (rinolalia).
6. Proses bicara
Hidung membantu proses pembentukan kata-kata. Kata dibentuk oleh lidah, bibir dan palatum
mole. Pada pembentukan konsonan nasal (m, n, ng) rongga mulut tertutup dan hidung
terbuka, palatum mole turun untuk aliran udara.
7. Refleks nasal
Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan saluran cerna,
kardiovaskuler dan pernafasan. Contoh : iritasi mukosa hidung menyebabkan refleks

13
bersin dan nafas berhenti. Rangsangan bau tertentu menyebabkan sekresi kelenjar liur,
lambung dan pankreas.

E. PROSES PENCIUMAN
Di dalam rongga hidung terdapat selaput lendir yang mengandung sel- sel pembau.
Pada sel-sel pembau terdapat ujung-ujung saraf pembau atau saraf kranial (nervus
alfaktorius),yang selanjutnya akan bergabung membentuk serabut-serabut saraf pembau
untuk menjalin dengan serabut-serabut otak (bulbus olfaktorius). Zat-zat kimia tertentu
berupa gas atau uap masuk bersama udara inspirasi mencapai reseptor pembau.

Gambar 6. Arus Proses Penciuman

Zat ini dapat larut dalam lendir hidung, sehingga terjadi pengikatan zat dengan
proteinmembran pada dendrit. Kemudian timbul impuls yang menjalar ke akson-akson.
Beribu-ribu akson bergabung menjadi suatu bundel yang disebut saraf I otak (olfaktori).
Saraf otak ke Iini menembus lamina cribosa tulang ethmoid masuk ke rongga hidung
kemudian bersinapsdengan neuron-neuron tractus olfactorius dan impuls dijalarkan ke
daerah pembau primerpada korteks otak untuk diinterpretasikan.

F. FISIOLOGI PENGHIDU
Fisiologi eksitasi pada sel olfaktorius : Reseptor penghidu terletak pada superior
nostril, yaitu pada septum superior pada struktur yang disebut membrane olfaktorius.
Bagian dari saraf penghidu yang berkaitan langsung dengan odoran, molekul penghidu :
yaitu silia dari sel olfaktori. Sebelum dapat menempel dengan silia olfaktori, odoran

14
tersebut harus dapat larut dalam mucus yang melapisi silia tersebut. Odoran yang hidofilik
dapat larut dalam mucus dan berikatan dengan reseptor pada silia tersebut, yaitu pada
protein reseptor pada membran silia sel olfaktori. Pengikatan antara reseptor dengan odoran
menyebabkan aktivasi dari protein G, yang kemudian mengaktivasi enzim adenil siklase
dan mengaktifkan cAMP. Pengaktifan cAMP ini membuka kanal Na+ sehingga terjadi
influks natrium dan menyebabkan depolarisasi dari sel olfaktorius. Depolarisasi ini
kemudian menyebabkan potensial aksi pada saraf olfaktorius dan ditransmisikan hingga
sampai ke korteks serebri.

Pada keadaan istirahat, resting potential dari sel olfaktori yaitu sebesar -55mV.
Sedangkan, pada keadaan terdepolarisasi, membrane potential sel olfaktori yaitu sebesar
-30mV. Graded potential dari sel olfaktori menyebabkan potensial aksi pada sel mitral dan
tufted yang terdapat pada bulbus olfaktorius.
Pada membran mukus olfaktori, terdapat ujung saraf bebas dari saraf trigeminus
yang menimbulkan sinyal nyeri. Sinyal ini dirangsang oleh odoran yang bersifat iritan,
seperti peppermint, menthol, dan klorin. Perangsangan ujung saraf bebas ini menyebabkan
bersin, lakrimasi, inhibisi pernapasan, dan refleks respons lain terhadap iritan hidung.
Terdapat tiga syarat dari odoran tersebut supaya dapat merangsang sel olfaktori,
yaitu :

15
1. Bersifat larut dalam udara, sehingga odoran tersebut dapat terhirup hidung
2. Bersifat larut air/hidrofilik, sehingga odoran tersebut dapat larut dalam mukus dan
berinteraksi dengan silia sel olfaktorius
3. Bersifat larut lemak/lipofilik, sehingga odoran tersebut dapat berikatan dengan
reseptor silia sel oflaktorius
Ambang rangsang dari sel olfaktori berbeda - beda terhadap masing - masing tipe
odoran. Beberapa odoran tersebut yaitu :

Penghidu pada manusia dapat mendeteksi berbagai jenis odoran yang berbeda,
namun sulit untuk dapat membedakan intensitas odoran yang berbeda. Untuk dapat
membedakan intensitas tersebut, perlu terdapat perbedaan konsentrasi odoran sebesar 30%.
Kemampuan penghidu untuk dapat membedakan berbagai odoran yang berbeda diperankan
oleh glomerulus yang terdapat pada bulbus olfaktorius. Terdapat sekitar 1000 dari protein
reseptor untuk odoran yang berbeda, yang masing-masing reseptor tersebut terdapat pada
satu sel olfaktori. Terdapat sekitar 2 juta sel olfaktori yang masing-masingnya berproyeksi
pada dua dari 1800 glomeruli. Hal ini menyebabkan adanya proyeksi yang berbeda-beda
untuk setiap odoran.

ADAPTASI
Sel olfaktori mengalami adaptasi yang cepat pada detik pertama, yaitu sekitar 50%
adaptasi terjadi. Sedangkan, 50% adaptasi sisanya terjadi dalam waktu yang lambat.
Adaptasi ini diperankan oleh sel-sel pada glomerulus di bulbus olfaktorius dan sistem saraf
pusat. Pada glomerulus, terdapat sel periglomerular dan sel granul. Kedua sel tersebut
berperan dalam inhibisi lateral yang dicetuskan oleh sinyal pada sel mitral dan sel tufted.

16
Sel mitral dan sel tufted yang teraktivasi kemudian melepaskan neurotransmiter glutamat
dan menyebabkan eksitasi sel granul. Sel granul tersebut kemudian melepaskan GABA dan
menginhibisi sel mitral dan sel tufted. Sel periglomerular dan sel granul tersebut juga
berespon terhadap feedback dari sel saraf pusat yang menginhibisi sel olfaktorius, sehingga
terjadi penekanan pada transmisi sinyal yang menuju bulbus olfaktorius. Selain itu,
adaptasi ini juga diperankan oleh aktivasi ion Ca2+ melalui kanal ion CNG (cyclic
nucleotide-gated) yang mengaktivasi kalmodulin. Ion Ca2+ ini menyebabkan adaptasi dari
mekanisme transduksi dan penurunan respons terhadap stimulus. Sedangkan, adaptasi yang
diperankan oleh sistem saraf pusat memiliki peran yang lebih besar dibandingkan adaptasi
pada glomerulus.2,3,4

JARAS OLFAKTORIUS
Sinyal pada sel mitral dan sel tufted pada bulbus olfaktorius menjalar menuju
traktus olfaktorius. Traktus olfaktorius kemudian menuju area olfaktorius primer pada
korteks serebral, yaitu pada lobus temporalis bagian inferior dan medial. Aktivasi pada area
ini menyebabkan adanya kesadaran terhadap odoran tertentu yang dihirup. Selain itu,
traktus tersebut menuju dua area, yaitu area olfaktorius medial dan area olfaktorius
lateral.1,3

17
1. Area Olfaktorius Medial
Area ini terdiri atas sekumpulan nukleus yang terletak pada anterior dari hipotalamus.
Nukleus pada area ini merupakan nukleus septal yang kemudian berproyeksi ke
hipotalamus dan sistem limbik. Area ini berperan dalam ekspresi respons primitif
terhadap penghidu seperti salivasi.
2. Area Olfaktorius Lateral
Area ini terdiri atas korteks prepiriformis, korteks piriformis, dan nukleus amygdala bagian
korteks. Dari area ini, sinyal diteruskan ke sistem limbik dan hipokampus. Proyeksi
tersebut berperan dalam pembelajaran terhadap respon dari odoran tertentu, seperti
respon mual atau muntah terhadap odoran yang tidak disukai.

Jaras pada kedua area tersebut tidak melewati talamus, seperti jaras pada saraf
sensori lainnya. Namun, terdapat satu jaras olfaktori yang melewati talamus, yaitu nukleus
talamus dorsomedial, dan bersinaps di korteks orbitofrontal kuadran lateroposterior. Jaras
ini berperan pada analisis sadar dari odoran tertentu.

G. GANGGUAN SISTEM PENGHIDU


Gangguan pada sistem olfaktorius dapat bersifat konduktif atau sensorineural. Pada
gangguan konduktif, terjadi kelainan pada transmisi stimulus odoran menuju reseptor pada
silia sel olfaktorius. Sedangkan, pada gangguan sensorineural, terjadi kelainan pada jaras
saraf yang menghantarkan impuls odoran menuju sistem saraf pusat. Beberapa etiologi dari
gangguan tersebut yaitu :
1. Gangguan penghidu konduktif dapat disebabkan oleh :
a. Inflamasi, seperti pada rinitis, alergi, rinosinusitis
b. Adanya massa yang memblok ruang nasal, seperti polip hidung, papiloma, dan
keganasan

18
c. Kelainan kongenital, seperti kista dermoid, ensefalokel
d. Riwayat laringektomi atau trakeoktomi, yang menyebabkan penurunan dari
aliran udara yang menuju hidung dan melewati membran olfaktorius.
2. Gangguan penghidu sensorineural dapat disebabkan oleh:
a. Adanya inflamasi pada saraf olfaktorius, seperti infeksi virus yang merusak sel
olfaktori, sarkoidosis, granulomatosis Wegener, dan multiple sclerosis
b. Kelainan kongenital yang menyebabkan tidak terbentuknya jaras saraf tertentu
c. Gangguan endokrin
d. Trauma kepala
e. Obat-obatan yang mempengaruhi saraf olfaktori, seperti alkohol, nikotin, dan
garam Zinc
f. Usia tua, yang menyebabkan penurunan jumlah sel mitral pada bulbus
olfaktorius
g. Penyakit degeneratif pada sistem saraf pusat, seperti penyakit Parkinson,
penyakit Alzheimer, dan lain-lain

Beberapa gangguan dari sistem penghidu dapat berupa :


1. Anosmia
Anosmia merupakan hilangnya kemampuan untuk menghidu, dan dapat bersifat parsial atau
total. Hal ini dapat disebabkan oleh kongesti nasal atau terhambatnya hidung dalam
membaui, sehingga udara yang berisi odoran tidak dapat larut dalam membran mukus
dan berikatan dengan reseptor pada silia sel olfaktorius. Beberapa penyebab dari
anosmia yaitu :
a. Alergi
b. Penyakit flu
c. Polip nasal
d. Deformitas septum nasal
e. Tumor nasal
f. Penyakit Alzheimer
g. Kelainan sistem endokrin
h. Gangguan saraf
i. Gangguan nutrisi
j. Obat-obatan

19
k. Penggunaan dekongestan nasal yang terlalu sering
Terganggunya kemampuan menghidu ini berperan besar dalam interpretasi
merasakan rasa makanan. Sebenarnya, kemampuan lidah dalam mengecap tidak
berkurang. Namun, penghidu berperan besar dalam menentukan enak atau tidaknya
makanan sehingga penurunan fungsi penghidu menyebabkan kenikmatan terhadap
makanan berkurang.
2. Hiposmia
Hiposmia merupakan penurunan sensitivitas menghidu. Biasanya, hiposmia merupakan tanda
awal dari penyakit Parkinson.
3. Parosmia
Parosmia adalah perubahan persepsi pembauan meskipun terdapat sumber bau, biasanya bau
tidak enak.
4. Agnosmia
Agnosmia adalah tidak bisa menyebutkan atau membedakan bau, walaupun penderita dapat
mendeteksi bau.
5. Disosmia
Disosmia merupakan kesalahan persepsi dari odoran yang dihirup. Terdapat dua jenis
disosmia, yaitu :
a. Troposmia, merupakan kesalahan persepsi terhadap suatu odoran. Etiologi dari
troposmia ini masih belum diketahui secara pasti. Terdapat hipotesis di mana
adanya gangguan fungsi pada sel olfatori atau gangguan interpretasi pada sistem
saraf pusat.
b. Pantosmia, merupakan adanya persepsi terhadap odoran namun molekul odoran
tersebut tidak ada. Pantosmia dapat disebabkan oleh sel saraf abnormal yang
menimbulkan sinyal abnormal yang menuju otak sehingga terjadi persepsi
adanya odoran, atau adanya gangguan fungsi sel inhibisi olfaktori. Pantosmia
ini biasanya merupakan tanda-tanda sebelum kejang muncul.

Gangguan pembauan dapat bersifat total (seluruh bau), parsial (hanya sejumlah
bau), atau spesifik (hanya satu atau sejumlah kecil bau). Pada manusia telah h ditemukan
beberapalusin jenis anosmia yang berbeda; kelainan-kelaina ini diperkirakan desebabkan
oleh tidak adanya atau gangguan fungsi salah satu dari banyak kelompok reseptor bau.

20
Ambang penghidu meningkat seiring dengan bertambahnya usia, dan lebih dari 75% orang
berusia diatas 80 tahun mengalami gangguan mengidentifikasi bau.

BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Indera penghidu merupakan fungsi dari nervus olfaktorius, erat hubungannya
dengan indera pengecap yang dilakukan oleh nervus trigeminus, karena keduanya bekerja
bersama-sama. Manusia dapat membedakan berbagai bau bukan karena memiliki banyak
reseptor pembau tetapi, karena kemampuan yang ditentukan oleh prinsip – prinsip
komposisi (prinsip komponen). Organ penghidu hanya memiliki 7 reseptor tetapi, bisa
membedakan lebih dari 600 aroma yang berbeda. Sistem penghidu merupakan bagian dari
system pernafasan, bagian dari system penghidu adalah hidung luar dan hidung dalam.
Hidung merupakan alat visera (alat dalam rongga badan) yang erat hubungannya
dengangastrointestinalis. Olfaktori adalah organ pendeteksi bau yang berasal dari makanan.
Anatomi hidung manusia terbagi menjadi dua, yaitu hidung luar dan hidung dalam.
Fisiologi hidung manusia antara lain refleks nasal, proses bicara, resonansi suara,
indera penghidu, sebagai penyaring dan pelindung, pengatur kondisi udara, dan sebagai
jalannafas.Kelainan pada indera penghidu antara lain anosmia, hiposmia, disosmia,
parosmia,phantosmia, agnosia
Hidung luar terdiri dari rongga hidung, lubang dan bulu hidung, ujung hidung,
lekuk bibir atas, punggung hidung, jembatan hidung. Sedangkan hidung dalam terdiri dari
selaput lender (mucus), saraf pendeteksi bau, tulang rawan, membrane mukosa
olfaktorius,bulbus olfaktorius dan korteks olfaktorius. Fungsi hidung itu sendiri antara lain
untuk jalan nafas, alat pengatur kondisi udara, penyaring udara, indera penciuman, resonasi
suara, membantu proses bicara dan reflek nasal.
Fisiologis sel olfaktorius yaitu reseptor penghidu berkaitan langsung dengan
odoran, molekul penghidu. Sebelum dapat menempel dengan silisa olfaktori, odoran
tersebut harus dapat larut dalam mucus yang melapisi silia. Pengikatan antara reseptor
dengan odoran menyebabkan aktifasi dari protein G, yang kemudian mengaktivasi enzim
adenil siklase dan mengaktifkan cAMP. Pengaktifan Camp ini membuka kanal Na+
sehingga terjadi influks natrium dan menyebabkan depolarisasi dari sel olfaktorius.

21
Depolarisasi ini kemudian menyebabkan potensial aksi pada saraf olfaktorius dan
ditransmisikan hingga sampai ke korteks serebri.

DAFTAR PUSTAKA

A.K, E. L. (2016, Agustus 25). Penginderaan. ​Fisiologi Penghidu,​ p. 6.

Effendy, C., & Asih, N. G. (2004). ​Keperawatan Medikal Bedah : Klien Dengan Gangguan
Sistem Pernafasan.​ Jakarta: EGC.

Lesmana, R., Goenawan, H., & Abdullah, R. (2017). ​Fisiologi Dasar Untuk Mahasiswa
Farmasi, Keperawatan, Kebidanan.​ Yogyakarta: CV Budi Utama.

Nurachman, E., & Anggraini , R. (2011). ​dasar-dasar anatomi dan fisiologi adaptasi indonesia
dari Ross and Wilson Anatomy and Psysiologi in health and illness . jakarta : penerbit
salemba medika.

Pearce, E. (2009). ​Anatomi Dan Fisiologi Untuk Paramedis.​ Jakarta: PT. Gramedia.

​Ballenger, JJ. 1994.Hidung dan Sinus Paranasal dalam: Penyakit Telinga Hidung Tenggorok
Kepala dan Leher. Jakarta: Binarupa Aksara.Dhingra, PL. 2007.

Disease of Ear, Nose and Throat. Th ed. India: Elsevier.Despopoulos, Agamemnon et al. 2003.

Color Atlas of Physiology 5thEd. New York: Thieme. Encarta.Anatomy of The Nose

http://www.encarta.msn.com/Anatomy of The Nose.html. [diakses tanggal 24 November


2012].Greenstein, Ben. 2000.

Color Atlas of Neurosciences, Neuroanatomy and Neurophysiology. NewYork: Thieme.Hilger,


PA. 1997.

22
Hidung: Anatomi dan Fisiologi Terapan dalam: Boeis Buku Ajar Penyakit THT

Adam, Boeis, Highler (eds). Jakarta: EGC.Mangunkusumo, E. 2001.

Gangguan Penghidu dalam: Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala
Leher. Soepardi EA, Iskandar N (ed). Jakarta: Balai PenerbitFKUI.

Soetjipto, D., Mangunkusumo, E. 2001.

Sumbatan Hidung dalam: Buku Ajar Ilmu KesehatanTelinga Hidung Tenggorok Kepala Leher.
Soepardi EA, Iskandar N (ed). Jakarta: BalaiPenerbit FKUI.Vander. 2001.

Human Physiology - The Mechanism of Body Function, 8th ed. New York:McGraw-Hill.

23

Anda mungkin juga menyukai