NIM : 6411418128
Kelas : 3C
FRAKTUR
1. Definisi
Fraktur adalah rusaknya kontinuitas dari struktur tulang, tulang rawan dan lempeng
pertumbuhan yang disebabkan oleh trauma dan non trauma. Tidak hanya keretakan atau
terpisahnya korteks, kejadian fraktur lebih sering mengakibatkan kerusakan yang komplit dan
fragmen tulang terpisah. Tulang relatif rapuh, namun memiliki kekuatan dan kelenturan untuk
menahan tekanan. Fraktur dapat diakibatkan oleh cedera, stres yang berulang, kelemahan tulang
yang abnormal atau disebut juga fraktur patologis (Solomon et al., 2010)
Klasifikasi Fraktur
Fraktur dapat dibedakan jenisnya berdasarkan hubungan tulang dengan jaringan disekitar,
bentuk patahan tulang, dan lokasi pada tulang fisis.
a. Berdasarkan hubungan tulang dengan jaringan disekitar
Fraktur dapat dibagi menjadi :
a) Fraktur tertutup (closed),bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan
dunia luar.
b) Fraktur terbuka (open/compound), bila terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan
dunia luar karena adanya perlukaan di kulit. Fraktur terbuka terbagi atas tiga derajat
(menurut R. Gustillo), yaitu:
Derajat I :
Luka 1 cm
Kerusakan jaringan lunak sedikit, tidak ada tanda luka remuk
Fraktur sederhana, transfersal, obligat dan kominutif ringan
Kontaminasi minimal
Derajat II
Leserasi >1 cm
Kerusakan jaringan lunak, tidak luas, flap/ avulsi
Fraktur kominutif sedang
Kontaminasi sedang
Derajat III :
Terjadi kerusakan jaringan lunak yang luas, meliputi struktur kulit, otot, dan
neurovaskular serta kontaminasi derajat tinggi. Fraktur terbuka derajat III terbagi
atas:
Jaringan lunak yang menutupi fraktur tulang adekuat, meskipun terdapat
laserasi luas/flap/avulsi atau fraktur segmental/sangat kominutif yang
disebabkan oleh trauma berenergi tinggi tanpa melihat besarnya ukuran luka.
Kehilangan jaringan lunak dengan fraktur tulang yang terpapar atau
kontaminasi masif.
Luka pada pembuluh arteri/saraf perifer yang harus diperbaiki tanpa melihat
kerusakan jaringan lunak.
b. Berdasarkan bentuk patahan tulang
a) Transversal adalah fraktur yang garis patahnya tegak lurus terhadap sumbu panjang
tulang atau bentuknya melintang dari tulang. Fraktur semacam ini biasanya mudah
dikontrol dengan pembidaian gips.
b) Spiral adalah fraktur meluas yang mengelilingi tulang yang timbul akibat torsi
ekstremitas atau pada alat gerak. Fraktur jenis ini hanya menimbulkan sedikit kerusakan
jaringan lunak.
c) Oblik adalah fraktur yang memiliki patahan arahnya miring dimana garis patahnya
membentuk sudut terhadap tulang.
d) Segmental adalah dua fraktur berdekatan pada satu tulang, ada segmen tulang yang
retak dan ada yang terlepas menyebabkan terpisahnya segmen sentral dari suplai darah.
e) Kominuta adalah fraktur yang mencakup beberapa fragmen, atau terputusnya keutuhan
jaringan dengan lebih dari dua fragmen tulang.
f) Greenstick adalah fraktur tidak sempurna atau garis patahnya tidak lengkap dimana
korteks tulang sebagian masih utuh demikian juga periosterum. Fraktur jenis ini sering
terjadi pada anak – anak.
g) Fraktur Impaksi adalah fraktur yang terjadi ketika dua tulang menumbuk tulang ketiga
yang berada diantaranya, seperti pada satu vertebra dengan dua vertebra lainnya.
h) Fraktur Fissura adalah fraktur yang tidak disertai perubahan letak tulang yang berarti,
fragmen biasanya tetap di tempatnya setelah tindakan reduksi.
c. Berdasarkan lokasi pada tulang fisis
Tulang fisis adalah bagian tulang yang merupakan lempeng pertumbuhan, bagian ini
relatif lemah sehingga strain pada sendi dapat berakibat pemisahan fisis pada anak – anak.
Fraktur fisis dapat terjadi akibat jatuh atau cedera traksi. Fraktur fisis juga kebanyakan
terjadi karena kecelakaan lalu lintas atau pada saat aktivitas olahraga. Klasifikasi yang
paling banyak digunakan untuk cedera atau fraktur fisis adalah klasifikasi fraktur menurut
Salter – Harris :
a) Tipe I : fraktur transversal melalui sisi metafisis dari lempeng pertumbuhan, prognosis
sangat baik setelah dilakukan reduksi tertutup.
b) Tipe II : fraktur melalui sebagian lempeng pertumbuhan, timbul melalui tulang metafisis
, prognosis juga sangat baik denga reduksi tertutup.
c) Tipe III : fraktur longitudinal melalui permukaan artikularis dan epifisis dan kemudian
secara transversal melalui sisi metafisis dari lempeng pertumbuhan. Prognosis cukup
baik meskipun hanya dengan reduksi anatomi.
d) Tipe IV : fraktur longitudinal melalui epifisis, lempeng pertumbuhan dan terjadi melalui
tulang metafisis. Reduksi terbuka biasanya penting dan mempunyai resiko gangguan
pertumbuhan lanjut yang lebih besar.
e) Tipe V : cedera remuk dari lempeng pertumbuhan, insidens dari gangguan pertumbuhan
lanjut adalah tinggi. Untuk lebih jelasnya tentang pembagian atau klasifikasi fraktur
dapat dilihat pada gambar berikut ini :
2. Epidemiologi
1. Distribusi Frekuensi
a. Berdasarkan Orang
Fraktur lebih sering terjadi pada laki – laki daripada perempuan dengan umur
dibawah 45 tahun dan sering berhubungan dengan olah raga, pekerjaan atau luka yang
disebabkan oleh kendaraan bermotor. Mobilisasi yang lebih banyak dilakukan oleh laki
– laki menjadi penyebab tingginya risiko fraktur. Sedangkan pada orang tua, perempuan
lebih sering mengalami fraktur daripada laki – laki yang berhubungan dengan
meningkatnya insidens osteoporosis yang terkait dengan perubahan hormon pada
menopause.
Tahun 2001, di Amerika Serikat terdapat lebih dari 135.000 kasus cedera yang
disebabkan olahraga papan selancar dan skuter. Dimana kasus cedera terbanyak adalah
fraktur 39% yang sebagian besar penderitanya laki – laki dengan umur di bawah 15
tahun.27 Di Indonesia, jumlah kasus fraktur yang disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas
4 kali lebih banyak terjadi pada laki – laki daripada perempuan.
b. Berdasarkan Tempat dan Waktu
Di negara maju, masalah patah tulang pangkal paha atau tulang panggul
merupakan masalah kesehatan masyarakat yang mendapat perhatian serius karena
dampak yang ditimbulkan bisa mengakibatkan ketidakmampuan penderita dalam
beraktivitas. Menurut penelitian Institut Kedokteran Garvan tahun 2000 di Australia
setiap tahun diperkirakan 20.000 wanita mengalami keretakan tulang panggul dan
dalam setahun satu diantaranya akan meninggal karena komplikasi.
Di negara – negara Afrika kasus fraktur lebih banyak terjadi pada wanita karena
peristiwa terjatuh berhubungan dengan penyakit Osteoporosis. Di Kamerun pada tahun
2003, perbandingan insidens fraktur pada kelompok umur 50 – 64 tahun yaitu, pria 4,2
per 100.000 penduduk, wanita 5,4 per 100.000 penduduk. Angka yang lebih tinggi di
Maroko pada tahun 2005 insidens fraktur pada pria 43,7 per 100.000 penduduk dan
wanita 52 per 100.000 penduduk.
Di Indonesia jumlah kasus fraktur akibat kecelakaan lalu lintas meningkat seiring
pesatnya peningkatan jumlah pemakai kendaraan bermotor. Berdasarkan laporan
penelitian dari Depkes RI tahun 2000, di Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung
terdapat penderita fraktur akibat kecelakaan lalu lintas sebanyak 444 orang.
4. Tanda Gejala
Menurut Smeltzer & Bare (2002), manifestasi klinis fraktur adalah nyeri, hilangnya fungsi,
deformitas, pemendekan ektremitas, krepitus, pembengkakan lokal, dan perubahan warna yang
dijelaskan secara rinci sebagai berikut:
a. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang diimobilisasi. Spasme
otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai alamiah yang dirancang untuk
meminimalkan gerakan antar fragmen tulang.
b. Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian tidak dapat digunakan dan cenderung bergerak secara
alamiah (gerakan luar biasa). Pergeseran fragmen pada fraktur lengan dan tungkai
menyebabkan deformitas (terlihat maupun teraba) ektremitas yang bisa diketahui dengan
membandingkannya dengan ektremitas normal. Ekstremitas tidak dapat berfungsi dengan
baik karena fungsi normal otot tergantung pada integritasnya tulang tempat melekatnya otot.
c. Pada fraktur panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena kontraksi otot
yang melekat di atas dan bawah tempat fraktur. Fragmen sering saling melengkapi satu sama
lain sampai 2,5 sampai 5 cm (1 sampai 2 inci).
d. Saat ekstremitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang dinamakan krepitus
yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu dengan lainnya. Uji krepitus dapat
mengakibatkan kerusakan jaringan lunak yang lebih berat.
e. Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi sebagai akibat trauma dan
perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini biasa terjadi setelah beberapa jam atau hari
setelah cedera.
Tidak semua tanda dan gejala tersebut terdapat pada setiap fraktur. Kebanyakan justru tidak ada
pada fraktur linear atau fisur atau fraktur impaksi (permukaan patahan saling terdesak satu sama
lain). Diagnosis fraktur bergantung pada gejala, tanda fisik, dan pemeriksaan sinar-x pasien.
Biasanya pasien mengeluhkan mengalami cedera pada daerah tersebut.
5. Cara Diagnosis
a. Foto polos
umumnya dilakukan pemeriksaan dalam proyeksi AP dan lateral, untuk menentukan lokasi,
luas dan jenis fraktur.
b. Pemeriksaan radiologi lainnya
Sesuai indikasi dapat dilakukan pemeriksaan berikut, antara lain: radioisotope scanning
tulang, tomografi, artrografi, CT-scan, dan MRI, untuk memperlihatkan fraktur dan
mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak.
c. Pemeriksaan darah rutin dan golongan darah
Ht mungkin meningkat (hemokonsentrasi) atau menurun (perdarahan bermakna pada sisi
fraktur atau organ jauh pada trauma multiple). Peningkatan sel darah putih adalah respon
stress normal setelah trauma. Kreatinin : Trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk
klirens ginjal. Profil koagulasi : perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah.
6. Pengobatan
Jika Anda didiagnosis mengalami patah tulang, rencana perawatan akan tergantung pada jenis
dan area pada tubuh.
a. Menstabilkan patahan tulang
Secara umum, dokter akan mencoba mengembalikan potongan tulang yang patah ke posisi
semula dan menstabilkan tulang-tulang tersebut saat sembuh. Penting untuk menjaga
potongan tulang yang rusak tidak bergerak sampai mereka sembuh. Selama proses
penyembuhan, tulang baru akan terbentuk di sekitar tepi potongan yang patah. Jika tulang
benar-benar selaras dan stabil, tulang baru pada akhirnya akan menghubungkan potongan-
potongan.
b. Penggunaan gips
Dokter Anda mungkin menggunakan gips untuk menstabilkan tulang patah Anda. Gips
Anda kemungkinan besar terbuat dari plester atau fiberglass. Ini akan membantu menjaga
area yang cedera stabil dan mencegah potongan tulang yang rusak bergerak saat patah tulang
sembuh.
c. Penggunaan katrol
Dalam kasus yang jarang terjadi, Anda mungkin memerlukan daya tarik untuk menstabilkan
area yang cedera. Traksi meregangkan otot dan tendon di sekitar tulang Anda. Dokter Anda
akan merawat patah tulang menggunakan sistem katrol dan bobot diposisikan dalam bingkai
logam di atas tempat tidur Anda. Sistem ini akan menghasilkan gerakan menarik lembut
yang dapat digunakan dokter untuk menstabilkan area yang cedera.
d. Pembedahan
Untuk fraktur kompleks, Anda mungkin perlu pembedahan. Dokter mungkin menggunakan
reduksi terbuka, dan fiksasi internal atau fiksasi eksternal untuk menjaga agar tulang tidak
bergerak. Dalam reduksi terbuka dan fiksasi internal, dokter Anda akan mengubah posisi
atau “mengurangi” potongan tulang yang patah ke dalam garis normal tulang. Kemudian
mereka akan menghubungkan atau memperbaiki tulang yang patah. cara ini dilakukan
dengan menggunakan sekrup, pelat logam, atau keduanya. Dalam beberapa kasus, dokter
mungkin memasukkan batang melalui pusat tulang Anda. Dalam fiksasi eksternal, dokter
akan menaruh pin atau sekrup ke tulang di atas dan di bawah area fraktur. Dokter akan
menghubungkan pin atau sekrup ini ke batang penstabil logam yang diposisikan di bagian
luar kulit Anda. Batang akan menahan tulang di tempatnya saat penyembuhan.
e. Obat patah tulang
Dokter mungkin juga akan meresepkan obat patah tulang untuk mengontrol rasa sakit,
melawan infeksi, atau mengelola gejala atau komplikasi lain. Setelah tahap perawatan awal,
dokter dapat merekomendasikan terapi fisik atau prosedur lain untuk membantu Anda
menyembuhkan fraktur.
7. Komplikasi
Komplikasi Awal
a. Kerusakan Artery
Pecahnya arteri karena trauma bisa ditandai dengan tidak adanya nadi, CRT menurun,
cyanosis bagian distal, hematoma yang lebar, dan dingin pada ekstrimitas yang
disebabkan oleh tindakan emergensi splinting, perubahan posisi pada yang sakit,
tindakan reduksi, dan pembedahan.
b. Kompartement Syndrom
Komplikasi ini terjadi saat peningkatan tekanan jaringan dalam ruang tertutup di otot,
yang sering berhubungan dengan akumulasi cairan sehingga menyebabkan hambatan
aliran darah yang berat dan berikutnya menyebabkan kerusakan pada otot. Gejala –
gejalanya mencakup rasa sakit karena ketidakseimbangan pada luka, rasa sakit yang
berhubungan dengan tekanan yang berlebihan pada kompartemen, rasa sakit dengan
perenggangan pasif pada otot yang terlibat, dan paresthesia. Komplikasi ini terjadi lebih
sering pada fraktur tulang kering (tibia) dan tulang hasta (radius atau ulna).
c. Fat Embolism Syndrom
Merupakan keadaan pulmonari akut dan dapat menyebabkan kondisi fatal. Hal ini
terjadi ketika gelembung – gelembung lemak terlepas dari sumsum tulang dan
mengelilingi jaringan yang rusak. Gelombang lemak ini akan melewati sirkulasi dan
dapat menyebabkan oklusi pada pembuluh – pembuluh darah pulmonary yang
menyebabkan sukar bernafas. Gejala dari sindrom emboli lemak mencakup dyspnea,
perubahan dalam status mental (gaduh, gelisah, marah, bingung, stupor), tachycardia,
demam, ruam kulit ptechie.
d. Infeksi
System pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada trauma orthopedic
infeksi dimulai pada kulit (superficial) dan masuk ke dalam. Ini biasanya terjadi pada
kasus fraktur terbuka, tapi bisa juga karena penggunaan bahan lain dalam pembedahan
seperti pin dan plat.
e. Avaskuler Nekrosis
Avaskuler Nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke tulang rusak atau terganggu
yang bisa menyebabkan nekrosis tulang dan diawali dengan adanya Volkman’s
Ischemia. Nekrosis avaskular dapat terjadi saat suplai darah ke tulang kurang baik. Hal
ini paling sering mengenai fraktur intrascapular femur (yaitu kepala dan leher), saat
kepala femur berputar atau keluar dari sendi dan menghalangi suplai darah. Karena
nekrosis avaskular mencakup proses yang terjadi dalam periode waktu yang lama,
pasien mungkin tidak akan merasakan gejalanya sampai dia keluar dari rumah sakit.
Oleh karena itu, edukasi pada pasien merupakan hal yang penting. Perawat harus
menyuruh pasien supaya melaporkan nyeri yang bersifat intermiten atau nyeri yang
menetap pada saat menahan beban
f. Shock
Shock terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya permeabilitas kapiler
yang bisa menyebabkan menurunnya oksigenasi. Ini biasanya terjadi pada fraktur.
g. Osteomyelitis
Adalah infeksi dari jaringan tulang yang mencakup sumsum dan korteks tulang dapat
berupa exogenous (infeksi masuk dari luar tubuh) atau hematogenous (infeksi yang
berasal dari dalam tubuh). Patogen dapat masuk melalui luka fraktur terbuka, luka
tembus, atau selama operasi. Luka tembak, fraktur tulang panjang, fraktur terbuka yang
terlihat tulangnya, luka amputasi karena trauma dan fraktur – fraktur dengan sindrom
kompartemen atau luka vaskular memiliki risiko osteomyelitis yang lebih besar
Komplikasi Dalam Waktu Lama
a. Delayed Union (Penyatuan tertunda)
Delayed Union merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai dengan waktu yang
dibutuhkan tulang untuk menyambung. Ini disebabkan karena penurunan supai darah ke
tulang.
b. Non union (tak menyatu)
Penyatuan tulang tidak terjadi, cacat diisi oleh jaringan fibrosa. Kadang –kadang
dapat terbentuk sendi palsu pada tempat ini. Faktor – faktor yang dapat menyebabkan
non union adalah tidak adanya imobilisasi, interposisi jaringan lunak, pemisahan lebar
dari fragmen contohnya patella dan fraktur yang bersifat patologis..
c. Malunion
Kelainan penyatuan tulang karena penyerasian yang buruk menimbulkan deformitas,
angulasi atau pergeseran.
8. Pencegahan
a. Pencegahan Primer
Pencegahan primer dapat dilakukan dengan upaya menghindari terjadinya trauma benturan,
terjatuh atau kecelakaan lainnya. Dalam melakukan aktifitas yang berat atau mobilisasi yang
cepat dilakukan dengan cara hati – hati, memperhatikan pedoman keselamatan dengan
memakai alat pelindung diri.
b. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder dilakukan untuk mengurangi akibat – akibat yang lebih serius dari
terjadinya fraktur dengan memberikan pertolongan pertama yang tepat dan terampil pada
penderita. Mengangkat penderita dengan posisi yang benar agar tidak memperparah bagian
tubuh yang terkena fraktur untuk selanjutnya dilakukan pengobatan. Pemeriksaan klinis
dilakukan untuk melihat bentuk dan keparahan tulang yang patah. Pemeriksaan dengan foto
radiologis sangat membantu untuk mengetahui bagian tulang yang patah yang tidak terlihat
dari luar. Pengobatan yang dilakukan dapat berupa traksi, pembidaian dengan gips atau
dengan fiksasi internal maupun eksternal
c. Penceghan Tersier
Pencegahan tersier pada penderita fraktur yang bertujuan untuk mengurangi terjadinya
komplikasi yang lebih berat dan memberikan tindakan pemulihan yang tepat untuk
menghindari atau mengurangi kecacatan. Pengobatan yang dilakukan disesuaikan dengan
jenis dan beratnya fraktur dengan tindakan operatif dan rehabilitasi. Rehabilitasi medis
diupayakan untuk mengembalikan fungsi tubuh untuk dapat kembali melakukan mobilisasi
seperti biasanya. Penderita fraktur yang telah mendapat pengobatan atau tindakan operatif,
memerlukan latihan fungsional perlahan untuk mengembalikan fungsi gerakan dari tulang
yang patah. Upaya rehabilitasi dengan mempertahankan dan memperbaiki fungsi dengan
mempertahankan reduksi dan imobilisasi antara lain meminimalkan bengkak, memantau
status neurovaskuler, mengontrol ansietas dan nyeri, latihan dan pengaturan otot, partisipasi
dalam aktivitas hidup sehari-hari, dan melakukan aktivitas ringan secara bertahap.
DISLOKASI
1. Definisi
Dislokasi adalah terlepasnya kompresi jaringan tulang dari kesatuan sendi. Dislokasi ini
dapat hanya komponen tulangnya saja yang bergeser atau terlepasnya seluruh komponen tulang
dari tempat yang seharusnya (dari mangkuk sendi). Seseorang yang tidak dapat mengatupkan
mulutnya kembali sehabis membuka mulutnya adalah karena sendi rahangnya terlepas dari
tempatnya. Dengan kata lain: sendi rahangnya telah mengalami dislokasi.
Dislokasi yang sering terjadi pada olahragawan adalah dislokasi sendi bahu dan sendi
pinggul (paha). Karena terpeleset dari tempatnya, maka sendi itupun menjadi macet. Selain
macet, juga terasa nyeri. Sebuah sendi yang pernah mengalami dislokasi, ligamen-ligamennya
biasanya menjadi kendor. Akibatnya, sendi itu akan gampang dislokasi lagi.
Keadaan dimana tulang-tulang yang membentuk sendi tidak lagi berhubungan,secara
anatomis (tulang lepas dari sendi) (Brunner & Suddarth)Keluarnya (bercerainya) kepala sendi
dari mangkuknya, dislokasi merupakan suatu kedaruratan yang membutuhkan pertolongan
segera.(Arif Mansyur, dkk. 2000)Patah tulang di dekat sendi atau mengenai sendi dapat
menyebabkan patah tulang disertai luksasi sendi yang disebut fraktur dis lokasi.( Buku Ajar Ilmu
Bedah, hal 1138) Berpindahnya ujung tulang patah, karena tonus otot, kontraksi cedera dan
tarikan Dislokasi adalah terlepasnya kompresi jaringan tulang dari kesatuan sendi.
Dislokasi dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
a. Dislokasi congenital
Terjadi sejak lahir akibat kesalahan pertumbuhan
b. Dislokasi patologik
Akibat penyakit sendi dan atau jaringan sekitar sendi. misalnya tumor, infeksi, atau
osteoporosis tulang. Ini disebabkan oleh kekuatan tulang yang berkurang
c. Dislokasi traumatic.
Kedaruratan ortopedi (pasokan darah, susunan saraf rusak dan mengalami stress berat,
kematian jaringan akibat anoksia) akibat oedema (karena mengalami pengerasan). Terjadi
karena trauma yang kuat sehingga dapat mengeluarkan tulang dari jaringan disekeilingnya
dan mungkin juga merusak struktur sendi, ligamen, syaraf, dan system vaskular.
Kebanyakan terjadi pada orang dewasa.
Berdasarkan tipe kliniknya dibagi
a. Dislokasi Akut
Umumnya terjadi pada shoulder, elbow, dan hip. Disertai nyeri akut dan pembengkakan di
sekitar sendi
b. Dislokasi Berulang.
Jika suatu trauma Dislokasi pada sendi diikuti oleh frekuensi dislokasi yang berlanjut
dengan trauma yang minimal, maka disebut dislokasi berulang. Umumnya terjadi pada
shoulder joint dan patello femoral joint.Dislokasi biasanya sering dikaitkan dengan patah
tulang / fraktur yang disebabkan oleh berpindahnya ujung tulang yang patah oleh karena
kuatnya trauma, tonus atau kontraksi otot dan tarikan.
Berdasarkan tempat terjadinya :
a. Dislokasi sendi rahang
Pergeseran kaput humerus dari sendi glenuhumeral berada dianterior dan medial glenoid
(dislokasi anterior,posterior,inferior )
b. Dislokasi sendi siku
Merupakan mekanisme cidera biasanya trejadi pada tangan yang menyebabkan dislokasi
sendi siku ke arah posterior dengan jelas siku berubah bentuk dengan kerusakan tonjolan-
tonjolan tulang siku
c. Dislokasi sendi jari
Sendi jari mudah mengalami dislokasi dan apabila tidak ditolong dg segara,sendi tersebut
akan menjadi kaku kelak.Sendi jari dapat mengalami dislokasi kearah telapak tangan dan
punggung tangan.
d. Dislokasi sendi Methacarpopalangeal dan interpalangeal
Dislokasi yang disebabkan karena hiperekstensi ekstensi persendian
e. Dislokasi Panggul
Bergesernya caput femur dari sendi pamggul berada dianterior dan atas
acetabulum(dislokasi posterior), di anterior acetabulum (dislokasi anterior), dan caput femur
menembus acetabulum (dislokasi sentra).
f. Dislokasi Patella
- Paling sering terjadi ke arah lateral.
- Reduksi dicapai dengan memberikan tekanan ke arah medial pada sisi lateral patella
sambil mengekstensikan lutut perlahan-lahan
- Apabila dislokasi dilakukan berulang-ulang diperlukan stabilisasi secara bedah.
2. Epidemiologi
Berdasarkan data epidemiologi, dislokasi bahu adalah jenis dislokasi sendi besar yang
paling sering ditemukan di instalasi gawat darurat. Pasien dengan riwayat dislokasi bahu
sebelumnya akan cenderung lebih mudah mengalami redislokasi karena jaringan sekitar bahu
yang tidak sembuh sempurna atau menjadi lebih longgar akibat dislokasi pertama. Pada sebuah
kohort retrospektif di Amerika Serikat (AS), rasio insidensi 10 tahun dislokasi bahu pada tentara
AS sekitar 3,13 per 1000 person-years dengan total 15.426 kasus dan persentase rekurensi
28,7%.
Sebuah studi di Taiwan melaporkan insidensi tahunan dislokasi bahu sebesar 15,3 per 100.000
populasi. Studi di Oslo melaporkan insidensi dislokasi bahu sebesar 56,3 per 100.000 orang-
tahun. Indonesia belum ada pencatatan epidemiologi dislokasi bahu di Indonesia.
5. Cara diagnosis
Pemeriksaan penunjang
a. Sinar-X (Rontgen)
Pemeriksaan rontgen merupakan pemeriksaan diagnostik noninvasif untuk membantu
menegakkan diagnosa medis. Pada pasien dislokasi sendi ditemukan adanya pergeseran
sendi dari mangkuk sendi dimana tulang dan sendi berwarna putih.
b. CT scan
CT-Scan yaitu pemeriksaan sinar-X yang lebih canggih dengan bantuan komputer,
sehingga memperoleh gambar yang lebih detail dan dapat dibuat gambaran secara 3
dimensi. Pada psien dislokasi ditemukan gambar 3 dimensi dimana sendi tidak berada
pada tempatnya.
c. MRI
MRI merupakan pemeriksaan yang menggunakan gelombang magnet dan frekuensi
radio tanpa menggunakan sinar-X atau bahan radio aktif, sehingga dapat diperoleh
gambaran tubuh (terutama jaringan lunak) dengan lebih detail. Seperti halnya CT-Scan,
pada pemeriksaan MRI ditemukan adanya pergeseran sendi dari mangkuk sendi.
6. Pengobatan
Medis
a. Farmakologi (ISO Indonesia 2011-2012)
1) Pemberian obat-obatan : analgesik non narkotik
a) Analsik yang berfungsi untuk mengatasi nyeri otot, sendi, sakit kepala, nyeri
pinggang. Efek samping dari obat ini adalah agranulositosis. Dosis: sesudah
makan, dewasa: sehari 3×1 kapsul, anak: sehari 3×1/2 kapsul.
b) Bimastan yang berfungsi untuk menghilangkan nyeri ringan atau sedang,
kondisi akut atau kronik termasuk nyeri persendian, nyeri otot, nyeri setelah
melahirkan. Efek samping dari obat ini adalah mual, muntah, agranulositosis,
aeukopenia. Dosis: dewasa; dosis awal 500mg lalu 250mg tiap 6 jam.
b. Pembedahan
1) Operasi ortopedi
Operasi ortopedi merupakan spesialisasi medis yang mengkhususkan pada
pengendalian medis dan bedah para pasien yang memiliki kondisi-kondisi arthritis
yang mempengaruhi persendian utama, pinggul, lutut dan bahu melalui bedah
invasif minimal dan bedah penggantian sendi. Prosedur pembedahan yang sering
dilakukan meliputi Reduksi Terbuka dengan Fiksasi Interna atau disingkat ORIF
(Open Reduction and Fixation).Berikut dibawah ini jenis-jenis pembedahan
ortopedi dan indikasinya yang lazim dilakukan :
Reduksi terbuka : melakukan reduksi dan membuat kesejajaran tulang yang
patah setelah terlebih dahulu dilakukan diseksi dan pemajanan tulang yang
patah.
Fiksasi interna : stabilisasi tulang patah yang telah direduksi dengan skrup,
plat, paku dan pin logam.
Graft tulang : penggantian jaringan tulang (graft autolog maupun heterolog)
untuk memperbaiki penyembuhan, untuk menstabilisasi atau mengganti tulang
yang berpenyakit.
Amputasi : penghilangan bagian tubuh.
Artroplasti: memperbaiki masalah sendi dengan artroskop(suatu alat yang
memungkinkan ahli bedah mengoperasi dalamnya sendi tanpa irisan yang
besar) atau melalui pembedahan sendi terbuka.
Menisektomi : eksisi fibrokartilago sendi yang telah rusak.
Penggantian sendi: penggantian permukaan sendi dengan bahan logam atau
sintetis.
Penggantian sendi total: penggantian kedua permukaan artikuler dalam
sendidengan logam atau sintetis.
Non medis
a. Dislokasi reduksi: dikembalikan ketempat semula dengan menggunakan anastesi jika
dislokasi berat.
RICE
R : Rest (istirahat)
I : Ice (kompres dengan es)
C : Compression (kompresi/ pemasangan pembalut tekan)
E : Elevasi (meninggikan bagian dislokasi)
7. Komplikasi
a. Komplikasi dini
Cedera saraf : saraf aksila dapat cedera, pasien tidak dapat mengkerutkan otot deltoid
dan mungkin terdapat daerah kecil yang mati rasa pada otot tesebut
Cedera pembuluh darah : Arteri aksilla dapat rusak
Fraktur disloksi
b. Komplikasi lanjut.
Kekakuan sendi bahu:Immobilisasi yang lama dapat mengakibatkan kekakuan sendi
bahu, terutama pada pasien yang berumur 40 tahun.Terjadinya kehilangan rotasi lateral,
yang secara otomatis membatasi abduksi
Dislokasi yang berulang: terjadi kalau labrum glenoid robek atau
Kapsul terlepas dari bagian depan leher glenoid
Kelemahan otot
8. Pencegahan
Untuk mencegah terjadinya cedera yang dapat mengakibatkan dislokasi, antara lain dengan:
Selalu berhati-hati dan waspada ketika melakukan aktivitas.
Selalu berpegangan pada sisi tangga setiap naik atau turun
Memindahkan kabel listrik di lantai ke lokasi yang aman agar tidak tersandung.
Menggunakan perlengkapan pelindung ketika berolahraga.
Tidak berdiri di atas tempat-tempat yang tidak stabil, misalnya kursi.
Menutupi lantai dengan karpet yang tidak licin.
Melakukan latihan kebugaran secara rutin untuk meningkatkan keseimbangan dan
memperkuat otot-otot tubuh.
Memeriksakan kesehatan mata secara teratur dan memastikan rumah memiliki
pencahayaan yang cukup.
Sedangkan pada anak-anak, risiko cedera dan dislokasi dapat ditekan dengan cara:
Memastikan rumah aman bagi anak.
Memerhatikan dan mengawasi anak-anak ketika bermain.
Mengajari mereka mengenai perilaku aman ketika bermain atau beraktivitas.
Memasang pintu pengaman di tangga untuk mencegah anak jatuh.
DAFTAR PUSTAKA