Makalah Dasar-Dasar Pedagogi
Makalah Dasar-Dasar Pedagogi
DI SUSUN OLEH :
ADE RAYA ANGGRIYANI
ADITYANINGRUM
ARFENDA HARUM LUTHFIA
ATIKA KUSUMA WARDHANI
ASSABA’I NIZAR URWANI
DIAN FAJARWATI SUSILANINGRUM
FAIZAL NOER AS’ARI
NUR ADITYA PERDANA PUTRI
NYUNIK SURYANI
RAHMAD ANUNG
SHINTA MAHARANI
TIONTI HAPSARI
PENDIDIKAN BIOLOGI
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan adalah upaya mengembangkan potensi-potensi manusiawi
peserta didik baik potensi fisik potensi cipta, rasa, maupun karsanya, agar potensi
itu menjadi nyata dan dapat berfungsi dalam perjalanan hidupnya. Dasar
pendidikan adalah cita-cita kemanusiaan universal. Pendidikan bertujuan
menyiapkan pribadi dalam keseimbangan, kesatuan. organis, harmonis, dinamis.
guna mencapai tujuan hidup kemanusiaan. Yang sudah tentu dalam menjalankan
kelanjutan pendidikan tersebut harus ada alat sebagai pegangan yang salah
satunya adalah adanya kurikulum.
Kurikulum merupakan inti dari bidang pendidikan dan memiliki
pengaruh terhadap seluruh kegiatan pendidikan. Mengingat pentingnya kurikulum
dalam pendidikan dan kehidupan manusia, maka penyusunan kurikulum tidak
dapat dilakukan secara sembarangan. Penyusunan kurikulum membutuhkan
landasan-landasan yang kuat, yang didasarkan pada hasil-hasil pemikiran dan
penelitian yang mendalam. Penyusunan kurikulum yang tidak didasarkan pada
landasan yang kuat dapat berakibat fatal terhadap kegagalan pendidikan itu
sendiri. Dengan sendirinya, akan berkibat pula terhadap kegagalan proses
pengembangan manusia.
Pendidikan bukan hanya sebuah kewajiban, lebih dari itu pendidikan
merupakan sebuah kebutuhan. Dimana manusia akan lebih berkembang dengan
adanya pendidikan. Tujuan pendidikan itu sendiri beragam, tergantung pribadi
tiap individu memandang pendidikan itu sendiri, ada yang memandang
pendidikan yang baik dapat memperbaiki status kerjanya, sehingga mendapatakan
pekerjaan yang nyaman, ada pula yang memandang pendidikan adalah sebuah alat
transportasi untuk membawanya menuju jenjang itu semua.
2
kebutuhan untuk menyikapi setiap adanya perubahan dan perkembangan di dunia
pendidikan. Sehingga guru dan tenaga kependidikan kedepannya akan mampu
memberikan peranannya dan juga dapat memberikan pelayanan yang prima di
bidang pendidikan baik kepada peserta didik maupun kepada masyarakat
pemerhati pendidikan.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan pedagogi?
2. Apa yang dimaksud Pendidikan?
3. Apa saja dasar – dasar ilmu pendidikan?
4. Apa yang dimaksud dengan kurikulum?
5. Apa saja dasar – dasar pengembangan kurikulum?
6. Bagaimana implikasinya terhadap pendidikan?
C. Tujuan
1. Mengetahui apa yang dimaksud dengan pedagogi, pendidikan, unsur, serta
dasar - dasarnya.
2. Mengetahui apa yang dimaksud dengan kurikulam dan pengembangannya
dalam dunia pendidikan.
3. Mengetahui implikasi dari landasan filsafat pendidikan yang terjadi pada
dunia pendidikan.
3
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN PEDAGOGIK
Pedagogik merupakan ilmu yang mengkaji bagaimana membimbing
anak, bagaimana sebaiknya pendidik berhadapan dengan anak didik, apa tugas
pendidik dalam mendidik anak, apa yang menjadi tujuan mendidik anak.
Pedagogik berasal dari kata Yunani “paedos”, yang berarti anak laki-laki,
dan “agogos” artinya mengantar, membimbing. Jadi pedagogic secara harfiah
berari pembantu anak laki-laki pada jaman Yunani kuno, yang pekerjaannya
mengantarkan anak majikannya ke sekolah. Kemudian secara kiasan pedagogik
adalah seorang ahli, yang membimbing anak kearah tujuan hidup tertentu.
Menurut Prof. Dr. J. Hoogveld (Belanda) pedagogic adalah ilmu yang
mempelajari masalah membimbing anak kearah tujuan tertentu, yaitu supaya ia
kelak “mampu secara mandiri menyelesaikan tugas hidupnya”. Jadi pedagogic
adalah ilmu pendidikan anak.
Langeveld (1980), membedakan istilah “pedagogic” dengan istilah
“pedagogi”. Pedagogic diartikan dengan ilmu pendidikan, lebih menitik beratkan
kepada pemikiran, perenungan tentang pendidikan. Suatu pemikiran bagaimana
kita membimbing anak, mendidik anak. Sedangkan istilah pedagogi berarti
pendidikan, yang lebih menekankan pada praktek, menyangkut kegiatan
mendidik, kegiatan membimbing anak.
Pedagogic merupakan suatu teori yang secara teliti, krisis dan objektif,
mengembangkan konsep-konsepnya mengenai hakekat manusia, hakekat anak,
hakekat tujuan pendidikan serta hakekat proses pendidikan. Walaupun demikian,
masih banyak daerah yang gelap sebagai “terraincegnita” (daerah tak dikenal)
dalam lapangan pendidikan, karena masalah hakekat hidup dan hakekat manusia
masih banyak diliputi oleh kabut misteri.
Wikipedia, pedagogi: seni atau ilmu untuk menjadi seorang guru;
merujuk pada strategi-strategi pengajaran, atau corak/gaya pengajaran. Pedagogi
juga merupakan penggunaan secara tepat strategi-strategi mengajar. Misalnya,
Paulo Freire merujuk metode mengajar orang dewasanya sebagai "critical
pedagogy". Dalam strategi-strategi mengajar keyakinan-keyakinan filsafati
pengajaran dari guru sendiri berinteraksi dengan latar belakang pengetahuan dan
pengalaman siswa, situasi-situasi personal, dan lingkungan, juga tujuan-tujuan
belajar yang ditetapkan siswa dan guru.
Pedagogi, adalah education (pendidikan), istilah bahasa Inggris saat ini
di belahan dunia pengguna bahasa Inggris yang merujuk pada konteks
keseluruhan dari instruction, learning, dan operasi-operasi aktual yang terlibat
di dalamnya. Di belahan dunia berbahasa Inggris istilah pedagogy merujuk pada
sains atau teori mendidik (the science or theory of educating).
4
B. DASAR-DASAR ILMU PENDIDIKAN
Pendidikan dalam arti khusus hanya dibatasi sebagai usaha orang dewasa
dalam membimbing anak yang belum dewasa untuk mencapai kedewasaannya.
Sedangkan dalam arti luas merupakan usaha manusaia untuk meningkatkan
kesejahteraan hidupnya, yang berlangsung sepanjang hayat.
Tujuan mendidik ingin mencapai kepribadian yang terpadu, yang
terintegrasi, yang sering di rumuskan untuk mencapai kepribadian yang sewasa.
Tujuan pengajaran yang menggarap kehidupan intelektual anak ialah supaya anak
kelak sebagai orang dewasa memiliki kemampuan berpikir seperti yang
diharapkan dari orang dewasa secara ideal, yaitu diantaranya mampu berpikir
seperti abstrak logis, objektif, kritis, sistematis analisis, sintesis, integrative, dan
inovatif. Tujuan latihan ialah untuk memperoleh keterampilan tentang sesuatu.
Pendidikan mengandung tiga unsur, yaitu mendidik, mengajar, dan melatih.
Mendidik menurut Darji Darmodiharjo menunjukan usaha yang lebih
ditunjukan kepada pengembangan budi pekerti, hati nurani, semangat, kecintaan,
rasa kesusilaan, ketaqwaan dan lain-lainnya. Mengajar berarti memberi pelajaran
tentang berbagi ilmu yang bermanfaat bagi perkembangan kemampuan
berfikirnya. Disebut juga pendidikan intelek. Latihan ialah usaha untuk
memperoleh keterampilan dengan melatih sesuatu secara berulang-ulang,
sehingga terjadi mekanismesasi atau pembiasaan.
Uraian diatas mengisyaratkan terhadap dasar-dasar pendidikan bahwa
praktik pendidikan sebagai ilmu yang sekedar rangkaian fakta empiris dan
eksperimental akan tidak lengkap dan tidak memadai. Fakta pendidikan sebagai
gejala sosial tentu sebatas sosialisasi dan itu sering beraspirasi daya serap kognitif
dibawah 100 % (bahkan 60 %). Sedangkan pendidikan nilai-nilai akan menuntut
siswa menyerap dan meresapi penghayatan 100 % melampaui tujuan-tujuan
sosialisasi, mencapai internalisasi (mikro) dan hendaknya juga enkulturasi
(makro). Itulah perbedaan esensial antara pendidikan (yang menjalin aspek
kognitif dengan aspek afektif) dan kegiatan mengajar yang paling-paling menjalin
aspek kognitif dan psikomotor. Dalam praktek evaluasinya kegiatan pengajaran
sering terbatas targetnya pada aspek kognitif. Itu sebabnya diperlukan perbedaan
ruang lingkup dalam teori antara pengajaran dengan mengajar dan mendidik.
Adapun ketercapaian untuk daya serap internal mencapai 100 %
diperlukan tolong menolong antara sesama manusia. Dalam hal ini tidak ada
orang yang selalu sempurna melainkan bisa terjadi kemerosotan yang harus
diimbangi dengan penyegaran dan kontrol sosial.
5
tertentu melainkan dari pengalaman atas manusia secara hakiki. Itu sebabnya
pedagogi dan andragogi memerlukan jalinan antara telaah ilmiah dan telaah
filsafah. Tetapi tidak berarti bahwa filsafat menjadi ilmu dasar karena ilmu
pendidikan tidak menganut aliran atau suatu filsafat tertentu.
Sebaliknya ilmu pendidikan khususnya pedagogic (teoritis) adalah ilmu
yang menyusun teori dan konsep yang praktis serta positif sebab setiap pendidik
tidak boleh ragu dalam menerapkan proses pembelajarannya. Hal ini serupa
dengan ilmu praktis lainnya yang mikro dan makro. Seperti kedokteran, ekonomi,
politik dan hukum. Oleh karena itu pedagogic (dan telaah pendidikan mikro) serta
pedagogic praktis dan andragogi (dan telaah pendidikan makro) bukanlah filsafat
pendidikan yang terbatas menggunakan atau menerapkan telaah aliran filsafat
normative yang bersumber dari filsafat tertentu. Yang lebih diperlukan ialah
penerapan metode filsafah dalam menelaah hakikat peserta didik sebagai manusia
seutuhnya.
6
Karena pedagogic tidak langsung membicarakan perbedaan antara pendidikan
informal dalam keluarga dan dalam kelompok kecil lainnya. Pendidikan formal
dan non formal menjadi tugas dari andragogi dan cabang-cabang lain yang
relevan dari ilmu pendidikan. Itu sebabnya dalam pedagogic terdapat pengkajian
tentang factor pendidikan yang meliputi :
7
normative. Pedagogik mempergunakan pendekatan fenomenologis secara
kualitatif dalam metode penelitiannya :
Pedagogik bersifat filosofis dan empiris. Berfikir filosofis pada satu sisi
dan di pihak lain pengalaman dan penyelidikan empiris berjalan bersama-sama.
Hubungan-hubungan dan gejala yang menunjukkan ciri-ciri pokok dari objeknya
ada yang memaksa menunjuk ke konsekuensi yang filosofis, adapula yang
memaksakan konsekuensi yang empiris karena data yang factual. Pedagogik
mewujudkan teori tindakan yang didahului dan diikuti oleh berfikir filosofis.
Dalam berfikir filosofis tentang data normatif pedagogic didahului dan diikuti
oleh oleh pengalaman dan penyelesaikan empiris atas fenomena pendidikan.
Itulah fenomena atau gejala pendidikan secara mikro yang mengandung keenam
komponen yang menjadi inti dari batang tubuh pedagogic.
1. Landasan Filosofis
Filsafat memegang peranan penting dalam pengembangan kurikulum.
Sama halnya seperti dalam Filsafat Pendidikan, kita dikenalkan pada berbagai
aliran filsafat, seperti: perenialisme, essensialisme, eksistesialisme, progresivisme,
dan rekonstruktivisme. Dalam pengembangan kurikulum pun senantiasa berpijak
pada aliran – aliran filsafat tertentu, sehingga akan mewarnai terhadap konsep dan
implementasi kurikulum yang dikembangkan.
2. Landasan Psikologis.
8
Nana Syaodih Sukmadinata (1997) mengemukakan bahwa minimal
terdapat dua bidang psikologi yang mendasari pengembangan kurikulum yaitu:
(1) psikologi perkembangan dan (2) psikologi belajar. Psikologi perkembangan
merupakan ilmu yang mempelajari tentang perilaku individu berkenaan dengan
perkembangannya. Dalam psikologi perkembangan dikaji tentang hakekat
perkembangan, pentahapan perkembangan, aspek-aspek perkembangan, tugas-
tugas perkembangan individu, serta hal-hal lainnya yang berhubungan
perkembangan individu, yang semuanya dapat dijadikan sebagai bahan
pertimbangan dan mendasari pengembangan kurikulum. Psikologi belajar
merupakan ilmu yang mempelajari tentang perilaku individu dalam konteks
belajar. Psikologi belajar mengkaji tentang hakekat belajar dan teori-teori belajar,
serta berbagai aspek perilaku individu lainnya dalam belajar, yang semuanya
dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan sekaligus mendasari pengembangan
kurikulum.
3. Landasan Sosial-Budaya
Kurikulum dapat dipandang sebagai suatu rancangan pendidikan.
Sebagai suatu rancangan, kurikulum menentukan pelaksanaan dan hasil
pendidikan. Kita maklumi bahwa pendidikan merupakan usaha mempersiapkan
peserta didik untuk terjun ke lingkungan masyarakat. Pendidikan bukan hanya
untuk pendidikan semata, namun memberikan bekal pengetahuan, keterampilan
serta nilai-nilai untuk hidup, bekerja dan mencapai perkembangan lebih lanjut di
masyarakat.Peserta didik berasal dari masyarakat, mendapatkan pendidikan baik
formal maupun informal dalam lingkungan masyarakat dan diarahkan bagi
kehidupan masyarakat pula. Kehidupan masyarakat, dengan segala karakteristik
dan kekayaan budayanya menjadi landasan dan sekaligus acuan bagi
pendidikan.Dengan pendidikan, kita tidak mengharapkan muncul manusia –
manusia yang menjadi terasing dari lingkungan masyarakatnya, tetapi justru
melalui pendidikan diharapkan dapat lebih mengerti dan mampu membangun
kehidupan masyakatnya. Oleh karena itu, tujuan, isi, maupun proses pendidikan
harus disesuaikan dengan kebutuhan, kondisi, karakteristik, kekayaan dan
perkembangan yang ada di masyakarakat. Setiap lingkungan masyarakat masing-
masing memiliki sistem-sosial budaya tersendiri yang mengatur pola kehidupan
dan pola hubungan antar anggota masyarakat. Salah satu aspek penting dalam
sistem sosial budaya adalah tatanan nilai-nilai yang mengatur cara berkehidupan
dan berperilaku para warga masyarakat. Nilai-nilai tersebut dapat bersumber dari
agama, budaya, politik atau segi-segi kehidupan lainnya.
Sejalan dengan perkembangan masyarakat maka nilai-nilai yang ada dalam
masyarakat juga turut berkembang sehingga menuntut setiap warga masyarakat
untuk melakukan perubahan dan penyesuaian terhadap tuntutan perkembangan
yang terjadi di sekitar masyarakat. Israel Scheffer (Nana Syaodih Sukamdinata,
1997) mengemukakan bahwa melalui pendidikan manusia mengenal peradaban
masa lalu, turut serta dalam peradaban sekarang dan membuat peradaban masa
yang akan datang.Dengan demikian, kurikulum yang dikembangkan sudah
seharusnya mempertimbangkan, merespons dan berlandaskan pada perkembangan
9
sosial – budaya dalam suatu masyarakat, baik dalam konteks lokal, nasional
maupun global.
10
Agar pendidikan dalam praktek terbebas dari keragu-raguan, maka objek
formal ilmu pendidikan dibatasi pada manusia seutuhnya di dalam fenomena atau
situasi pendidikan. Didalam situasi sosial manusia itu sering berperilaku tidak
utuh, hanya menjadi makhluk berperilaku individual atau makhluk sosial yang
berperilaku kolektif. Hal itu dapat diterima terbatas pada ruang lingkup
pendidikan makro yang berskala besar mengingat adanya konteks sosio-budaya
yang terstruktur oleh sistem nilai tertentu. Akan tetapipada latar mikro, sistem
nilai harus terwujud dalam hubungan inter dan antar pribadi yang menjadi syarat
mutlak bagi terlaksananya mendidik dan mengajar. Hal itu terjadi mengingat
pihak pendidik yang berkepribadiaan sendiri secara utuh memperlakukan peserta
didiknya secara terhormat sebagai pribadi pula, terelpas dari factor umum, jenis
kelamin ataupun pembawaanya.
Jika pendidik tidak bersikap afektif utuh akan terjadi mata rantai yang
hilang (the missing link) atas faktor hubungan serta didik-pendidik atau antara
siswa-guru. Dengan begitu pendidikan hanya akan terjadi secar kuantitatif
sekalipun bersifat optimal, misalnya hasil Tes Hasil Belajar summatif, NEM
(Nilai Ebtanas Murni) atau pemerataan pendidikan yang kurang mengajarkan
demokrasi, juga menjadi kurang berdemokrasi. Sedangkan kualitas manusianya
belum tentu utuh.
11
Kemanfaatan teori pendidikan tidak hanya perlu sebagai ilmu yang
otonom tetapi juga diperlukan untuk memberikan dasar yang sebaik-baiknya bagi
pendidikan sebagai proses pembudayaan manusia secara beradab. Oleh karena itu
nilai ilmu pendidikan tidak hanya bersifat intrinsik sebagai ilmu seperti seni untuk
seni, melainkan juga nilai ekstrinsik dan ilmu untuk menelaah dasar-dasar
kemungkinan bertindak dalam praktek melalui kontrol terhadap pengaruh yang
negatif dan meningkatkan pengaruh yang positif dalam pendidikan. Dengan
demikian ilmu pendidikan tidak bebas nilai, mengingat hanya terdapat batas yang
sangat tipis antar pekerjaan ilmu pendidikan dan tugas pendidik sebagi
pendamping dalam pembelajaran. Pendidikan sebagai bidang yang sarat nilai, itu
sebabnya pendidikan memerlukan teknologi pula tetapi pendidikan bukanlah
bagian dari iptek. Diakui pula bahwa ilmu pendidikan belum jauh
pertumbuhannya dibandingkan dengan kebanyakan ilmu sosial dan ilmu prilaku.
Implikasinya ialah bahwa ilmu pendidikan lebih dekat kepada ilmu
prilaku kepada ilmu-ilmu sosial.
1. Dasar antropologis ilmu pendidikan
Pendidikan yang intinya mendidik dan mengajar ialah pertemuan antara
pendidik sebagai subjek dan peserta didik sebagai subjek pula dimana terjadi
pemberian bantuan kepada pihak yang belakangan dalam upayanya belajar
mencapai kemandirian dalam batas-batas yang diberikan oleh dunia disekitarnya.
Atas dasar pandangan filsafah yang bersifat dialogis ini maka 3 dasar antropologis
berlaku universal yaitu: sosialitas, individualita, moralitas.
Untuk di Indonesia apabila dunia pendidikan nasional didasarkan atas
kebudayaan nasional yang menjadi konteks dari sistem pengajaran nasional
disekolah, tentu akan diperlukan juga dasar antropologis pelengkap yaitu (4)
religiusitas, yaitu pendidik dalam situasi pendidikan sekurang-kurangnya secara
mikro berhamba kepada kepentingan terdidik sebagai bagian dari pengabdian
lebih besar kepada Tuhan Yang Maha Esa.
12
Oleh karena itu maka semua keputusan serta perbuatan instruksional serta non-
instruksional dalam rangka penunaian tugas-tugas seorang guru dan tenaga
kependidikan harus selalu dapat dipertanggungjawabkan secara pendidikan.
Dimuka juga telah dikemukakan bahwa pendidik dan subjek peserta
didik melakukan pemanusiaan diri ketika mereka terlihat di dalam masyarakat
profesional yang dinamakan pendidikan atau pelatihan. Pendidikan atau pelatihan
hanyalah tahap proses pemanusiaan yang berbeda diantara keduanya, yaitu
pendidik dan subjek peserta didik.
Kelebihan yang dimiliki seorang pendidik seperti pengalaman,
keterampilan dan wawasan yang dimiliki guru semata-mata bersifat kebetulan dan
sementara, bukan hakiki. Oleh karena itu maka kedua belah pihak diberikan
kesempatan belajar baik untuk tenaga pendidik maupun tenaga kependidikan.
Khusus untuk guru dan tenaga kependidikan, mendapat kepercayaan dan juga
tanggungjawab tambahan menyediakan serta mengatur kondisi untuk
membelajarkan subjek peserta didik, mengoptimalkan kesempatan bagi subjek
peserta didik untuk menemukan dirinya sendiri, untuk menjadi dirinya sendiri.
Hanya individu-individu yang demikianlah yang mampu membentuk masyarakat
belajar, yaitu masyarakat yang siap menghadapi perubahan-perubahan yang
semakin lama semakin maju tanpa kehilangan dirinya.
Apabila demikianlah keadaannya maka sekolah sebagai lembaga
pendidikan formal hanya akan mampu menunaikan fungsinya serta tidak
kehilangan hak hidupnya didalam masyarakat, kalau ia dapat menjadikan dirinya
sebagai pusat pembudayaan, yaitu sebagai tempat bagi manusia untuk
meningkatkan martabatnya. Dengan perkataan lain, sekolah harus menjadi pusat
pendidikan. Menghasilkan tenaga kerja, melaksanakan sosialisasi, membentuk
penguasaan ilmu dan teknologi, mengasah otak dan mengerjakan tugas-tugas
persekolahan, tetapi yang paling hakiki adalah pembentukan kemampuan dan
kemauan untuk meningkatkan martabat kemanusiaan seperti telah diutarakan di
muka dengan menggunakan cipta, rasa, karsa dan karya yang dikembangkan dan
dibina.
Segala ketentuan prasarana dan sarana di sekolah pada hakekatnya adalah
bentuk yang diharapkan mewadahi hakekat proses pembudayaan subjek peserta
didik. Sarana dan prasarana yang dibangun di sekolah merupakan pendukung
untuk membentuk budaya pendidikan yang sehat dan dinamis. Walaupun sarana
dan prasarana telah memadai namun tidak diimbangi dengan proses penanaman
budaya pendidikan yang seimbang maka perkembangan dan pembudayaan dalam
peserta didik tidak akan tercapai dengan baik.
Seperti telah diisyaratkan dimuka, pemberian bobot yang berlebihan
kepada kedaulatan subjek didik akan melahirkan anarki sedangkan pemberian
bobot yang berlebihan kepada otoritas pendidik akan melahirkan penjajahan dan
penjinakan. Kedua orientasi yang ekstrim itu tidak akan menghasilkan
pembudayaan manusia.
13
Tidaklah berlebihan kiranya bila dikatakan bahwa di Indonesia kita
belum punya teori tentang pendidikan guru dan tenaga kependidikan. Hal ini tidak
mengherankan karena kita masih belum saja menyempatkan diri untuk
menyusunnya. Bahkan salahsatu prasaratnya yaitu teori tentang pendidikan
sebagimaana diisyaratkan pada bagian-bagian sebelumnya, kita masih belum
berhasil memantapkannya. Kalau kita terlibat dalam berbagai kegiatan
pembaharuan pendidikan selama ini maka yang diperbaharui adalah peralatan
luarnya bukan bangunan dasarnya. Hal diatas itu dikemukakan tanpa samasekali
didasari oleh anggapan bahwa belum ada diantara kita yang memikirkan masalah
pendidikan guru itu. Pikiran-pikiran yang dimaksud memang ada diketengahkan
orang tetapi praktis tanpa kecuali dapat dinyatakan sebagi bersifat fragmentaris,
tidak menyeluruh. Misalnya, ada yang menyarankan masa belajar yang panjang
(atau, lebih cepat, menolak program-program pendidikan guru yang lebih pendek
terutama yang diperkenalkan didalam beberapa tahun terakhir ini) ; ada yang
menyarankan perlunya ditingkatkan mekanisme seleksi calon guru dan tenaga
kependidikan; ada yang menyoroti pentingnya prasarana dan sarana pendidikan
guru; dan ada pula yang memusatkan perhatian kepada perbaikan sistem imbalan
bagi guru sehingga bisa bersaing dengan jabtan-jabatan lain dimasyarakat. Tentu
saja semua saran-saran tersebut diatas memiliki kesahihan, sekurang-kurangnya
secara partial, akan tetapi apabila di implementasikan, sebagian atau seluruhnya,
belum tentu dapat dihasilkan sistem pendidikan guru dan tenaga kependidikan
yang efektif.
14
15
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
16
Adapun aspek realitas yang dijangkau teori dan ilmu pendidikan melalui
pengalaman panca indra yaitu dunia pengalaman manusia secara empiris. Objek
materil ilmu pendidikan ialah manusia seutuhnya, manusia yang lengkap aspek-
aspek kepribadiannya, yaitu manusia yang berakhlak mulia dalam situasi
pendidikan atau diharapkan melampaui manusia sebagai makhluk sosial
mengingat sebagai warga masyarakat ia mempunyai ciri warga yang baik. Agar
pendidikan dalam praktek terbebas dari keragu-raguan, maka objek formal ilmu
pendidikan dibatasi pada manusia seutuhnya di dalam fenomena atau situasi
pendidikan.
2. Dasar epistemologis ilmu pendidikan
Dasar epistemologis diperlukan oleh pendidikan atau pakar ilmu
pendidikan demi mengembangkan ilmunya secara produktif dan bertanggung
jawab.
3. Dasar aksiologis ilmu pendidikan
Kemanfaatan teori pendidikan tidak hanya perlu sebagai ilmu yang
otonom tetapi juga diperlukan untuk memberikan dasar yang sebaik-baiknya bagi
pendidikan sebagai proses pembudayaan manusia secara beradab.
4. Dasar antropologis ilmu pendidikan
Atas dasar pandangan filsafah yang bersifat dialogis ini maka 3 dasar
antropologis berlaku universal yaitu: sosialitas, individualita, moralitas
17
LAMPIRAN
1. RIFA
Bagaimana hubungan dan perbedaan antar aksiologi dan epistomologi?
Jawab: perbedaannya ialah jika aksiologi itu pendidikan tidak hanya perlu sebagai
ilmu yang otonom tetapi juga diperlukan untuk memberikan dasar yang sebaik-
baiknya bagi pendidikan sebagai proses pembudayaan manusia secara beradab.
Jika epistemologis diperlukan oleh pendidikan atau pakar ilmu pendidikan demi
mengembangkan ilmunya secara produktif dan bertanggung jawab.
2. CITRA
Apa yang dimaksud dengan deskriptif eksperimental?
3. BERLIYANA
Jawab: Kurikulum yang ada sekarang ini tentu masih berkiblat pada kurikulum
terdahulu serta perkembangan IPTEK yang ada. Perkembangan IPTEK pun sangat
mempengaruhi landasan pengembangan kurikulum yang ada sekarang. Misalnya
saja, pada masa lampau media pembelajaran hanyalah dari guru, buku catatan dan
papan tulis saja. Namun sekarang setiap guru harus dapat mengoprasikan laptop,
menggunakan LCD, mengakses internet dan lain sebagainya. Serta penghapusan
beberapa mata pelajaran dan digantikan oleh mata pelajaran yang baru. Semisal
penghapusan mata pelajaran budi pekerti dan muncul mata pelajaran komputer era
2000-an ini.
18
Daftar Pustaka
19