Anda di halaman 1dari 19

BIOTEKNOLOGI KULTUR SEL DAN JARINGAN

Kultur jaringan (tissue culture) untuk memahami aspek mekanisme kontrol dan diferensiasi fungsi sel
telah berkembang sejak satu abad yang lalu, melalui masa-masa pengembangan yang pada awalnya
sederhana, diikuti fase perkembangan ekspansif pada pertengahan abad yang lalu, dan kini berada pada
fase pengembangan.

Perkembangan ilmu biologi molekuler menyebabkan sulitnya melihat batas pemisah antara biologi
molekuler dan tissue culture. Saling bergantungnya perkembangan masing-masing teknologi ini, sukar
untuk dinyatakan batas berhentinya teknologi tissue culture dan mulai berkembanganya teknologi
biologi molekuler. Meskipun tantangan untuk mendapatkan sel-sel yang tumbuh secara in vitro telah
terjawab dan diversitas jenis sel telah meningkat secara konstan, tissue culture kini sudah semakin
populer dibanding sebelumnya. Untuk beberapa kalangan tissue culture menghadirkan peluang untuk
mengurangi percobaan hewan yang tidak perlu, untuk kalangan lainnya teknologi tissue culture
mendorong kemampuan untuk menghasilkan produk farmasi inovatif yang lebih ekonomis.

Untuk beberapa kalangan tertentu teknologi ini masih menjadi dasar guna mengeksplorasi
permasalahan regulasi sel dan pengembangan intervensi medis. Sangat jelas bahwa penelitian tentang
aktivitas selular padatissue culture akan membawa berbagai manfaat, meski demikian perhatian
diperlukan terhadap berbagai kelemahan teknologi ini. Hal ini penting untuk membangun perhatian
yang lebih besar guna pengembangannya di masa mendatang.

Pengertian Kultur Sel dan Jaringan

Salah satu teknik bioteknologi yang sering digunakan adalah kultur sel dan jaringan. Menurut
Suryowinoto (1991) kultur jaringan dalam bahasa asing disebut sebagai tissue culture, weefsel cultuus,
atau gewebe kultur. Kultur adalah budidaya dan jaringan adalah sekelompok sel yang mempunyai
bentuk dan fungsi yang sama.

Kultur jaringan digunakan sebagai istilah umum yang juga meliputi kultur organ ataupun kultur sel.
Istilah kultur sel digunakan untuk berbagai kultur yang berasal dari sel-sel yang terdispersi yang diambil
dari jaringan asalnya, dari kultur primer, atau dari cell line atau cell strain secara enzimatik, mekanik,
atau disagregasi kimiawi. Terminologi kultur histotypic akan diterapkan untuk jenis kultur jaringan yang
menggabungkan kembali sel-sel yang telah terdispersi sedemikian rupa untuk membentuk kultur
jaringan.

Kultur sel dan jaringan dapat digunakan pada hewan dan tumbuhan. Kultur jaringan hewan merupakan
suatu teknik untuk mempertahankan kehidupan sel di luar tubuh organisme. Lingkungan sel dibuat
sedimikian rupa, sehingga menyerupai lingkungan asal dari sel yang bersangkutan. Sel yang dipelihara
bisa berupa sel tunggal (kultur sel), sel di dalam jaringan (kultur jaringan), maupun sel di dalam organ
(kultur organ) (Listyorini, 2001). Teknik pembuatan kultur primer pada kultur sel, jaringan, dan organ
hewan pada dasarnya sama. Sel, jaringan, atau organ hewan diambil dari tubuh hewan dan mulai
dipelihara di dalam kondisi in-vitro. Selama di dalam kultur primer semua kebutuhan sel baik sebagai sel
tunggal (kultur sel), sebagai bagian dari jaringan (kutur jaringan), maupun sebagai bagian organ (kultur
organ) harus dipenuhi agar sel dapat hidup dan menjalankan fungsi normalnya.

Kultur jaringan pada tumbuhan merupakan salah satu teknik perbanyakan tumbuhan yang
menggunakan sel atau organ atau jaringan tumbuhan Kultur jaringan pada suatu tumbuhan merupakan
suatu cara membudidayakan suatu jaringan tumbuhan menjadi tumbuhan kecil yang mempunyai sifat
seperti induknya (Hendaryono, 1994).

Sejarah dan Perkembangan Kultur Sel dan Jaringan

Kultur jaringan (tissue culture) pertama kali digunakan pada awal abad 20 sebagai suatu metode untuk
mempelajari perilaku sel hewan yang bebas dari pengaruh variasi sistemik yang dapat timbul saat hewan
dalam keadaan homeostasis ataupun dalam pengaruh percobaan atau perlakuan. Kultur jaringan
bukanlah teknik yang baru. Teknologi ini telah berkembang sejak satu abad yang lalu, melalui masa-
masa pengembangan yang pada awalnya sederhana, diikuti fase perkembangan ekspansif pada
pertengahan abad yang lalu. Saat ini kultur jaringan berada pada fase pengembangan khusus untuk
memahami aspek mekanisme kontrol dan diferensiasi fungsi sel. Kendati teknologi kultur jaringan kini
telah berkembang begitu pesat, seperti kultur sel-sel khusus,chromosome painting, dan DNA
fingerprinting, tetapi teknologi dasar yang awal dikembangkan adalah teknik kultur primer, pasase
serial, karakterisasi, preservasi sel dengan prinsip yang masih sama.

Pada saat istilah kultur jaringan diperkenalkan, teknik ini pertama kali dikembangkan dengan
menggunakan fragmen jaringan yang tidak terurai, dan pertumbuhan sel atau jaringan terjadi dengan
bermigrasinya sel fragmen jaringan disertai adanya mitosis di luar pertumbuhan. Kultur sel dari jaringan
explant primer seperti inilah yang mendominasi perkembangan teknik kultur jaringan pada lebih dari
lima puluh tahun perkembangannya, sehingga tidaklah mengherankan jika istilah kultur jaringan sudah
begitu melekat untuk pengembangan teknologi ini. Walaupun demikian, fakta yang terjadi pada saat
percepatan perkembangan teknologi berikutnya pada era setelah tahun 1950 lebih didominasi oleh
penggunaan kultur sel yang terurai dari jaringan (Katuuk, 1989).

Sejarah kultur jaringan tumbuhan sebenarnya sejalan dengan sejarah perkembangan botani. Beberapa
ahli jaman dulu sudah meramalkan bahwa perbanyakan sel in-vitro dapat dilaksanakan. Pemikiran ini
didasarkan pada penemuan para ahli yang mendahului mereka serta penemuan mereka sendiri.

Pada abad 17 seorang ahli matematika Robert Hooke mengatakan bahwa sel-sel dapat disamakan
dengan batu-batu bangunan alamiah. Kemudian pada tahun 1838-1839, seorang ahli Biologi M.V
Schleiden dan Theodore Schwann yang telah menjuruskan perhatiannya pada kehidupan sel,
menemukan satu konsep baru, bahwa satu sel dapat tumbuh sendiri walaupun telah terpisah dari
tumbuhan induknya. Mereka mengemukakan bahwa segala peristiwa rumit yang terjadi dalam tubuh
satu organisme selama hidup, bersumber pada sel. Dari konsep inilah tumbuh pernyataan bahwa satu
sel mempunyai kemampuan untuk berkembang. Sel berkembang dengan jalan regenerasi sehingga pada
suatu saat akan terbentuk tumbuhan sempurna. Kemampuan regenerasi ini disebut totipotensi
(totipotency). Konsep totipotensi yang ditanamkan oleh Schleiden dan Theodore Schwann berkembang
terus sehingga Vouchting pada tahun 1878, walaupun masih belum berhasil baik, sudah mencoba
mengembangkan kalus dari potongan tumbuhan. Kegagalannya dalam mengembangkan potongan
tumbuhan ini disebabkan oleh kekurangan fasilitas pada saat itu. Beberapa ahli yang juga telah bekerja
mengisi sejarah perkembangan botani papa abad ke 19, adalah Charles Darwin, Louis Pasteur, Justus
Van Liebik, Johan Knopp dan Rechinger.

Untuk mempelajari teknik dasar kultur jaringan diperlukan pemahaman dasar tentang anatomi,
histologi, fisiologi sel, dan prinsip dasar biokimia. Perkembangan ilmu biologi molekular menyebabkan
sulitnya melihat batas pemisah antara biologi molekular dan kultur jaringan. Saling bergantungnya
perkembangan masing-masing teknologi ini sukar untuk dinyatakan batas berhentinya teknologi kultur
jaringan dan mulai berkembangnya teknologi biologi molekular.

Perkembangan teknologi kultur jaringan kini banyak diarahkan untuk dapat memberikan simulasi proses
biologis yang terjadi pada tubuh makhluk hidup, sehingga tidak hanya digunakan untuk mempelajari
proses atau mekanisme yang terjadi pada sel, namun juga interaksi yang terjadi antara sel dan
lingkungan yang dapat diatur menyerupai berbagai keadaan fisiologis ataupun patologis. Hal ini akan
semakin mengatasi kelemahan teknologi kultur jaringan yang dianggap sebagai teknologi experiment in
vitro, kendati menggunakan sel atau jaringan hidup, dibanding dengan penggunaan hewan percobaan
yang dinilai sebagai experiment in vivo.

Sejalan dengan perkembangan teknologi ini maka perkembangan berbagai referensi yang berkaitan
dengan teknologi kultur jaringan banyak menyajikan berbagai teknologi khusus, sehingga perhatian
terhadap prosedur dasar menjadi banyak terabaikan. Meski banyak berkembang referensi yang
menyajikan teknologi baru, namun masih banyak referensi teknologi dasar yang tetap dipertahankan.

Ilmu pengetahuan dan teknologi modern menjadi semakin bergantung pada teknologi canggih. Prosedur
pewarnaan antibodi, analisis probe molekular, pemeriksaan sitotoksisitas, dan yang lainnya, kini sudah
tersedia dalam bentuk kit. Hal ini memungkinkan penilaian regulasi gen serta produk sel lebih cepat dan
mudah meskipun dengan biaya yang lebih mahal. Keuntungan berkembangnya berbagai kit ini adalah
penghematan waktu dan meningkatkan produktivitas.

Kultur pada Hewan dan Tumbuhan

Kultur pada Hewan

Kultur pada hewan yang dapat digunakan adalah dengan kultur sel, jaringan, dan organ. Kultur sel
adalah teknik pemeliharaan sel di dalam kondisi in-vitro. Seperti halnya pada kultur organ, kultur bakal
organ, maupun kultur jaringan, kultur sel juga mempertahankan karakteristik sel seperti saat sel
tersebut berada di dalam kondisi in-vivo. Sel hewan diisolasi dari organ yang bersangkutan. Selanjutnya,
sel diupayakan untuk terpisah satu dari yang lainnya. Sel hewan dipisahkan secara mekanis dan secara
enzimatis. Sel-sel yang diperoleh sebagian dipelihara di dalam kultur suspensi, dan sebagian dipelihara di
dalam kultur yang melekat. Selanjutnya kultur tersebut dipelihara di dalam medium yang dilengkapi
dengan serum di dalam suhu yang sesuai dengan asalnya. Untuk sel mamalia suhu pemeliharaan adalah
37°C dan untuk sel aves suhu pemeliharaannya adalah 39°C.

Ukuran keberhasilan yang dapat digunakan dalam pembuatan kultur ini adalah tidak adanya
kontaminasi pada kultur, kesehatan sel selama dipelihara di dalam kondisi in-vitro, dan keberhasilan sel
memperbanyak diri. Menurut Listyorini (2001), cara pembuatan kultur sel hewan adalah sebagai berikut.

a. Menyiapkan peralatan kultur yang dipakai, mematikan hewan coba secara mekanis kemudian
mengambil organ atau jaringan yang dikehendaki untuk dibuat kultur selnya, mencuci organ atau
jaringan di dalam larutan garam seimbang kemudian memindahkan ke dalam wadah lain yang berisi
larutan garam seimbang segar, Memindahan bahan yang akan dikultur ke dalam sterile bench,
kemudian melakukan penyiapan sel untuk dikultur.

b. Penyiapan secara mekanis dilakukan dengan memotong organ atau jaringan, mencuci potongan
tersebut menggunakan larutan garam seimbang, memindahkan potongan (ekplan) ke dalam wadah yang
berisi larutan garam seimbang segar, menanam eksplan ke dalam cawan atau botol kultur dan
menambahkan medium kultur yang telah ditambahkan dengan serum dan memelihara kultur di dalam
inkubator CO2 dengan suhu yang sesuai. Fungsi larutan garam seimbang adalah untuk memberikan
lingkungan fisiologis dan fisik yang baik bagi sel selama sel, jaringan atau organ dipersiapkan.

c. Penyiapan secara enzimatis dilakukan dengan memindahkan eksplan ke dalam labu erlenmeyer
dengan adanya larutan tripsin 5% di dalam medium tanpa serum, mengaduk suspensi di atas magnetic
stirrer dengan kecepatan sedang, setelah didapkan suspensi sel, barulah menambahkan medium yang
mengandung serum kemudian melakukan sentrifuge dengan kecepatan 1500 rpm selama 5 menit.
Kemudian membuang supernatan dan mengganti dengan medium segar yang mengandung serum.
Untuk kultur yang melekat menanam sebagian sel ke dalam cawan atau botol kultur untuk kultur
melekat dan menambahkan medium yang mengandung serum 10% dan memelihara kultur sel di dalam
inkubator CO2 dengan suhu yang sesuai.

Kultur jaringan adalah teknik pemeliharaan jaringan di dalam kondisi in-itro. Seperti halnya pada kultur
jaringan juga mempertahankan karakteristik sel seperti saat sel tersebut berada di dalam kondisi in-vivo.
Keberhasilan kultur selain dapat dilihat dari tidak adanya kontaminasi pada kultur, kesehatan jaringan
selama dipelihara di dalam kondisi in-vivo, dan berfungsinya jaringan yang dipelihara sebagaimana
mestinya.

Kultur organ adalah teknik kultur jaringan yang dipakai untuk mempertahankan organ secara utuh dan
mempertahankan struktur serta fungsi organ tersebut. Kultur organ terdiri atas dua macam teknik
kultur, yaitu kultur organ dewasa dan kultur bakal organ. Kultur organ dewasa pada umumnya dipakai
untuk mempertahankan kehidupan organ yang diambil dari tubuh baik yang masih sehat maupun
kehidupan organ yang tidak mungkin dapat bertahan hidup. Kultur bakal organ memelihara jaringan-
jaringan bakal organ untuk dikembangkan di dalam kondisi in-vitro. Indikator keberhasilan kultur organ
hewan sama dengan kultur sel dan jaringan.
Cara-cara dalam pembuatan kultur jaringan pada epitel dari usus embrio ayam diilustrasikan ke dalam
Gambar 1 ini (http://www.kitchenculturekit.com).

Gambar 1. Teknik Kultur Jaringan

Kultur pada Tumbuhan

Kultur jaringan termasuk ke dalam jenis perkembangbiakan vegetatif (Anonim, 2009). Bagian tumbuhan
yang akan dikultur (eksplan) dapat diperoleh dari dari semua bagian tumbuhan seperti pucuk, akar,
meristem, bunga, bahkan serbuk sari.

Kultur jaringan lebih besar presentase keberhasilannya bila menggunakan jaringan meristem
(Hendaryono, 1994). Jaringan meristem adalah jaringan muda yaitu jaringan yang terdiri atas sel-sel
yang selalu membelah, dindingnya tipis, belum mengalami penebalan dari zat pektin, plasmanya penuh
dan vakuolanya kecil-kecil. Kebanyakan jaringan meristem digunakan karena keadannya selalu
membelah sehingga diperkirakan mempunyai zat hormon yang mengatur pembelahan.

Gambar 2. Jaringan Tumbuhan

(Sumber: Leavingbio, 2009)

Pelaksanaan teknik kultur jaringan berdasarkan teori sel yaitu mempunyai kemampuan autonom bahkan
mempunyai kemampuan totipotensi. Menurut Suryowinoto (1991), totipotensi adalah kemampuan
setiap sel, dari mana saja sel tersebut diambil, apabila diletakkan dalam lingkungan yang sesuai akan
dapat tumbuh menjadi tumbuhan yang sempurna. Sifat totipotensi merupakan potensi pada setiap sel
penyusun jaringan dewasa untuk mengadakan pembelahan dan membentuk individu baru. Sel-sel
penyusun jaringan dewasa (sel somatis) yang berada di bawah rangsangan tertentu memiliki potensi
untuk mengadakan pembelahan (embrionik) membentuk kalus. Selanjutnya, kalus dibawah rangsangan
tertentu memliki potensi untuk berdiferensiasi menjadi individu baru multiselular melalui diferensiasi
(Haruna, 2009).
Teknik kultur jaringan akan dapat berhasil dengan baik apabila syarat- syarat yang diperlukan terpenuhi.
Syarat-syarat tersebut meliputi pemilihan eksplan sebagai bahan dasar untuk pembentukan kalus,
penggunaan medium yang cocok, keadaan yang aseptik, dan pengaturan udara yang terutama untuk
kultur cair. Meskipun pada prinsipnya semua jenis sel dapat ditumbuhkan, tetapi sebaliknya dipilih
bagian tumbuhan yang masih muda dan mudah tumbuh yaitu bagian meristem, misalnya: daun muda,
ujung akar, ujung batang, keping biji, dan lain-lain (Hendaryono, 1994). Saat ini teknik kultur jaringan
telah semakin luas penggunaannya, antara lain:

1. Meristem culture

Yaitu budidaya jaringan dengan menggunakan eksplan dari jaringan muda atau meristem.

2. Pollen culture/anther culture

Yaitu budidaya jaringan dengan menggunakan eksplan dari pollen atau benang sari.

3. Protoplast culture

Yaitu budidaya jaringan dengan menggunakan eksplan dari protoplas. Protoplas adalah sel hidup yang
telah dihilangkan dinding selnya.

4. Chloroplast culture

Yaitu budidaya jaringan dengan menggunakan kloroplas untuk keperluan protoplas (memperbaiki sifat
tumbuhan dengan membuat varietas baru).

5. Somatic cross

Yaitu menyilangkan dua macam protoplas menjadi satu kemudian dibudidayakan sampai menjadi
tumbuhan kecil yang mempunyai sifat baru. Persilangan ini dapat dilakukan dengan menggunakan zat
kimia.

Komposisi media yang digunakan dalam kultur jaringan dapat berbeda komposisinya. Perbedaan
komposisi media dapat mengakibatkan perbedaan pertumbuhan dan perkembangan eksplan yang
dutumbuhkan secara in vitro. Media Murashige dan Skoog (MS) sering digunakan karena cukup
memenuhi unsur hara makro, mikro dan vitamin untuk pertumbuhan tumbuhan. Nutrien yang tersedia
di media berguna untuk metabolisme, dan vitamin pada media dibutuhkan oleh organisme dalam
jumlah sedikit untuk regulasi. Pada media MS, tidak terdapat zat pengatur tumbuh (ZPT) oleh karena itu
ZPT ditambahkan pada media (eksogen). ZPT atau hormon tumbuhan berpengaruh pada pertumbuhan
dan perkembangan tumbuhan. Interaksi dan keseimbangan antara ZPT yang diberikan dalam media
(eksogen) dan yang diproduksi oleh sel secara endogen menentukan arah perkembangan suatu kultur
(Wikipedia, 2010).

Pelaksanaan kultur jaringan tumbuhan dapat dijabarkan sebagai berikut (Hendaryono, 1994).

1. Sterilisasi Alat Penabur


Entkas sebelum digunakan harus disterilisasi dengan menggunakan hand sprayer berisi spiritus atau
campuran formalin 10% dan alkohol 70% dengan perbandingan 1:1 yang didiamkan selama 10 menit.

2. Sterilisasi Alat dan Medium

Alat-alat yang akan digunakan untuk kultur jaringan setelah dicuci dan dikeringkan kemudian dibungkus
dengan kertas payung dan disterilisasikan di dalam autoklaf dengan suhu 121°C, tekanan 15 lb dalam
waktu 20-30 menit. Botol-botol eksplan yang sudah berisi medium setelah ditutup dengan aluminium
foil kemudian diterilisasikan. Sterilisasi medium memerlukan waktu 15 menit dengan tekanan dan suhu
yang sama pada sterilisasi alat-alat. Teknik pelaksanaan autoklaf adalah autoklaf diisi air sampai batas
kemudian botol eksplan dimasukkan ke dalamnya. Setelah autoklaf ditutup rapat kemudian dinyalakan
dan ditunggu sampai air mendidih dan tekanan menunjukkan angka 15 (15 menit). Setelah autoklaf
menunjukkan angka 0, autoklaf boleh dibuka dan botol-botol di dalamnya dikeluarkan untuk disimpan
sampai saat digunakan.

3. Sterilisasi Eksplan

Sterilisasi dilakukan dengan dua cara, yaitu secara mekanik dan kimia.

a. Secara Mekanis

Cara ini digunakan untuk eksplan yang keras atau berdaging yaitu dengan cara membakar eksplan di
atas lampu spiritus sebanyak tiga kali. Eksplan keras yang disterilisasi dengan cara ini adalah tebu, biji
salak, bung, buah anggrek, dll. Eksplan berdaging adalah wortel, umbi, bawang putih, dll.

b. Secara Kimiawi

Sterilisasi secara kimiawi digunakan untuk eksplan yang lunak (jaringan muda) seperti daun, tangkai
daun, anther dan sebagainya. Bahan-bahan kimia yang sering digunakan adalah:

§ Sodium hipoklorit, konsentrasi tergantung dari kelunakan eksplan, antar 5%-10% dalam waktu 5-10
menit. Cara sterilisasi di dalam laminair air flow adalah memasukkan eksplan ke dalam erlenmeyer yang
berisi larutan clorox, erlenmeyer digoyangkan dengan arah memutar mendatar selama 3 menit.
Kemudian mencuci bersih eksplan menggunakan aquades steril sebanyak 3-5 kali selama 3 menit.
Barulah eksplan diambil menggunakn pinset dan diletakkan di atas petridish yang ada kertas saringnya.

§ Mercuri khlorit, cara perlakuan sterilisasi dengan sublimat sama dengan sterilisasi dengan clorox,
hanya waktunya lebih pendek karena bahan kimia ini sangat keras.

§ Alkohol 70%

4. Menabur Eksplan

Menabur eksplan dilakukan dalam kondisi aseptik. Eksplan yang telah siap ditanam, dipotong-potong
dengan menggunakan skapel di dalam cawan petri. Potongan eksplan dimasukkan ke dalam erlenmeyer
yang berisi media tumbuh hingga permukaan yang teriris bersentuhan dengan medium. Selanjutnya,
erlenmeyer ditutup kembali dengan aluminium foil dan diinkubasikan di dalam ruang inkubator dan
intensitas cahaya disesuaikan dengan yang dikehendaki.

5. Melaksanakan Sub-kultur

Sub-kultur adalah usaha untuk mengganti media tanam kultur jaringan dengan media yang baru
sehingga kebutuhan nutrisi untuk pertumbuhan kalus dapat terpenuhi.

a. Sub-kultur pada media cair

Media cair cepat diserap oleh eksplan, maka empat hari sekali harus diganti dengan media yang baru.

b. Sub-kultur pada media padat

Sub-kultur media padat lebih mudah dilakukan, yaitu hanya dengan meletakkan kalus yang sudah
terbentuk di atas cawan petri kemudian membelah-belah menjadi bagian kecil dan dimasukkan ke
dalam erlenmeyer baru yang berisi media baru.

6. Menumbuhkan Planlet (Tumbuhan Kecil)

Medium yang digunakan untuk menumbuhkan kalus adalah medium induksi kalus. Sedangkan medium
yang digunakan untuk menumbuhkan planlet adalah medium diferensiasi yang komponen-komponen
kimianya agak berbeda. Untuk mendeferensiasikan suatu kalus agar dapat tumbuh akar dan tunas, maka
harus sesuai dengan medium sebelumnya. Bila memakai medium MS maka akan lebih baik bila
konsentrasi medium diferensiasinya separuh dari medium induksi kalus.

Skema teknik kultur jaringan dapat dilihat pada Gambar 3 di bawah ini.

Gambar 3. Skema Kultur Jaringan

Sumber: Haruna, 2009

Salah satu pembudidayaan tumbuhan menggunakan kultur jaringan adalah anggrek. Teknik kultur
jaringan dapat memperbanyak anggrek secara cepat. Adapun langkah kerja yang dilakukan adalah

1. Membakar buah anggrek menggunakan spiritus

2. Menaburkan biji di dalam ruang penabur agar terjaga kondisi steril. Setelah itu baru biji ditabur dalam
media tumbuh yang telah disediakan dengan menggunakan pinset. Media tumbuh yang biasanya
digunakan adalah medium Knudson C atau Vacin and Went (VW).

3. Overplanting dilakukan secara aseptis di dalam ruang penabur, dengan cara: biji anggrek yang telah
ditabur akan berkecambah menjadi planlet dalam waktu 3-4 bulan harus dipindahkan ke dalam medium
baru, mediumoverplanting yang digunakan sama dengan medium lama, di dalam ruang penabur,
anggrek diambil satu-satu dengan menggunakan pinset kemudian langsung dipindah ke dalam medium
baru. Untuk satu botol anggrek biasanya dapat dipindahkan ke dalam tiga botol anggrek baru, botol hasil
overplanting diinkubasi dengan suhu 25°C. Overplanting ini perlu dilakukan dua kali sebelum anggrek
siap dipindahkan ke dalam pot-pot. Ilustrasi cara kultur jaringan anggrek dapat dilihat pada Gambar 4
berikut ini.

Gambar 4. Kultur Jaringan Anggrek

Sumber: http://www.kitchenculturekit.com

Manfaat Kultur Sel dan Jaringan

Manfaat dari kultur sel dan jaringan adalah a) eksplan yang dibutuhkan hanya sedikit dan dapat diambil
dari seluruh bagian tumbuhan, b) sifat genetik yang dihasilkan tetap, sehingga dapat digunakan dalam
pelestarian plasma mutasi, c) tidak bergantung pada musim (pada tumbuhan), d) dapat waktu singkat
dapat diperoleh bibit unggul yang banyak, e) diperoleh bibit yang bebas virus dan penyakit, f) dapat
menghasilkan metabolis sekunder, f) Biaya pengangkutan bibit relatif lebih murah dan mudah, g) dalam
proses pembibitan bebas dari gangguan hama, penyakit, dan deraan lingkungan lainnya.

Kultur jaringan tumbuhan adalah suatu metode atau teknik mengisolasi bagian tumbuhan (protoplasma,
sel, jaringan, dan organ) dan menumbuhkannya pada media buatan dalam kondisi aseptik di dalam
ruang yang terkontrol sehingga bagian-bagian tumbuhan tersebut dapat tumbuh dan berkembang
menjadi tumbuhan lengkap. Saat ini teknik kultur jaringan digunakan bukan hanya sebagai sarana untuk
mempelajari aspek-aspek fisiologi dan biokimia tumbuhan saja, tetapi sudah berkembang menjadi
metode untuk berbagai tujuan seperti:

a. Mikropropagasi (perbanyakan tumbuhan secara mikro)

Teknik kultur jaringan telah digunakan dalam membantu produksi tumbuhan dalam skala besar melalui
mikropropagasi atau perbanyakan klonal dari berbagai jenis tumbuhan. Jaringan tumbuhan dalam
jumlah yang sedikit dapat menghasilkan ratusan atau ribuan tumbuhan secara terus menerus. Teknik ini
telah digunakan dalam skala industri di berbagai negara untuk memproduksi secara komersial berbagai
jenis tumbuhan seperti tumbuhan hias (anggrek, bunga potong, dll.), tumbuhan buah-buahan (seperti
pisang), tumbuhan industri dan kehutanan (kopi, jati, dll). Dengan menggunakan metode kultur jaringan,
jutaan tumbuhan dengan sifat genetis yang sama dapat diperoleh hanya dengan berasal dari satu mata
tunas. Oleh karena itu metode ini menjadi salah satu alternatif dalam perbanyakan tumbuhan secara
vegetatif.

b. Perbaikan tumbuhan

Dalam usaha perbaikan tumbuhan melalui metode pemuliaan secara konvensional, untuk mendapatkan
galur murni diperlukan waktu enam sampai tujuh generasi hasil penyerbukan sendiri maupun
persilangan. Melalui teknik kultur jaringan, dapat diperoleh tumbuhan homosigot dalam waktu singkat
dengan cara memproduksi tumbuhan haploid melalui kultur polen, antera atau ovari yang diikuti
dengan penggandaan kromosom. Tumbuhan homosigot ini dapat digunakan sebagai bahan pemuliaan
tumbuhan dalam rangka perbaikan sifat tumbuhan.

c. Produksi tumbuhan yang bebas penyakit (virus)

Teknologi kultur jaringan telah memberikan kontribusinya dalam mendapatkan tumbuhan yang bebas
dari virus. Pada tumbuhan yang telah terinfeksi virus, sel-sel pada tunas ujung (meristem) merupakan
daerah yang tidak terinfeksi virus. Dengan cara mengkulturkan bagian meristem akan diperoleh
tumbuhan yang bebas virus.

d. Transformasi genetik

Teknik kultur jaringan telah menjadi bagian penting dalam membantu keberhasilan rekayasa genetika
tumbuhan (transfer gen). Sebagai contoh transfer gen bakteri (seperti gen cry dari Bacillus thuringiensis)
ke dalam sel tumbuhan akan terekspresi setelah regenerasi tumbuhan transgeniknya tercapai.

e. Produksi senyawa metabolit sekunder

Kultur sel tumbuhan juga dapat digunakan untuk memproduksi senyawa biokimia (metabolit sekunder)
seperti alkaloid, terpenoid, phenyl propanoid dll. Teknologi ini sekarang sudah tersedia dalam skala
industri. Sebagai contoh produksi secara komersial senyawa shikonin dari kultur sel Lithospermum
erythrorhizon.

Penerapan Teknologi Kultur Sel dan Jaringan

Salah satu penerapan ilmu kultur sel dan jaringan adalah upaya untuk meningkatan produksi azadirahtin
melalui kultur suspensi sel Azadirachta indica A.Juss melalui penambahan skualen. Azadirachta indica
atau tumbuhan nimba adalah salah satu jenis tumbuhan yang menghasilkan berbagai zat aktif, salah
satu bahan aktif tersebut adalah azadirahtin, yaitu suatu senyawa triterpenoid yang berguna sebagai
sumber terbaik untuk biopestisida. Azadirahtin dapat digunakan sebagai biopestisida karena bersifat
antifeedant dan mengganggu pertumbuhan serta reproduksi serangga. Sampai saat ini, produksi
biopestisida dari tumbuhan nimba dilakukan dengan cara mengisolasi langsung dari tumbuhan utuh,
terutama dari biji. Setiap gram biji nimba mengandung 3,6 mg azadirahtin, namun keberadaan nimba di
Indonesia relatif sedikit karena daerah penyebarannya terbatas di Pulau Jawa dan Bali. Eksploitasi
terhadap tumbuhan ini menyebabkan penurunan populasinya di alam yang secara langsung
mengakibatkan berkurangnya sumber biopestisida, khususnya azadirahtin. Eksploitasi terjadi karena
nimba digunakan sebagai sumber obat-obatan dan bahan bangunan. Untuk mengatasi masalah ini
diperlukan metode alternatif, yaitu dengan menggunakan kultur jaringan (Zakiah, 2003).

Gambar 5. Azadirachta indica (Sumber: Halim, 2009)

Tipe kultur yang dapat digunakan untuk menghasilkan metabolit sekunder pada tumbuhan adalah kultur
sel. Salah satu cara untuk meningkatkan kandungan metabolit sekunder dalam kultur jaringan adalah
dengan penambahan prazat. Penambahan prazat ke dalam medium kultur dapat merangsang aktivitas
enzim tertentu yang terlibat dalam jalur biosintesis sehingga dapat meningkatkan produksi metabolit
sekunder. Prazat yang dapat digunakan untuk meningkatkan kandungan senyawa triterpen secara in
vitro adalah skualen, yang merupakan senyawa triterpen linear tak jenuh dan prazat untuk semua
triterpen. Penambahan skualen sebagai prazat ke dalam kultur sel A. indica diharapkan dapat
meningkatkan kandungan azadirahtin secara in vitro.

Penelitian yang dilakukan oleh Zakiah, dkk (2003) bertujuan untuk mengetahui umur kultur yang
optimum untuk memperoleh produksi azadirahtin tertinggi dalam kultur suspensi sel A. indica dan
pengaruh penambahan skualen terhadap produksi azadirahtin di dalam kultur suspensi sel A. indica.
Bahan dan metode yang digunakan dalam penelitian tersebut adalah sebagai berikut.

1. Kultur kalus

Kalus diinduksi dari potongan eksplan daun majemuk kedua dan ketiga tumbuhan A. indica yang
diperoleh. Eksplan ditanam pada medium padat MS yang ditambah zat pengatur tumbuh (ZPT) dengan
komposisi 0,5; 5,0; 7,5μM asam 2,4-diklorofenoksi asetat (2,4-D) yang dikombinasikan dengan 0,1; 1,0;
5,0μM benzilaminopurin (BAP).

2. Kultur suspensi sel

Kalus meremah terbaik yang diperoleh dari kultur kalus diinokulasikan ke dalam medium cair MS yang
ditambah ZPT berupa 0,1; 0,5; 1,0 μM 2,4-D yang dikombinasikan dengan 0,1; 0,5; 1,0μM BAP, dan
sebagai kontrol digunakan medium tanpa penambahan ZPT. Kombinasi konsentrasi 2,4-D dan BAP yang
menghasilkan pertumbuhan terbaik, yaitu kultur dengan berat massa sel tertinggi akan digunakan untuk
pembuatan kurva pertumbuhan sel, kurva kandungan azadirahtin dan perlakuan prazat.

a. Kurva pertumbuhan sel


Kurva pertumbuhan dibuat untuk melihat pengaruh waktu (umur kultur) terhadap berat kering. Berat
kering diperoleh setelah sel dikeringkan dengan freeze dryer hingga mencapai berat konstan. Sampling
untuk pengukuran berat kering dilakukan setiap dua hari sampai pertumbuhan mengalami penurunan.

b. Kurva kandungan azadirahtin

Kurva kandungan azadirahtin ditentukan dari hasil pengukuran kandungan azadirahtin di dalam massa
sel dan medium dengan menggunakan Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT). Pengukuran dilakukan
setiap dua hari sekali hingga umur kultur 20 hari. Pengukuran ini bertujuan untuk mengetahui
kandungan azadirahtin pada setiap fase pertumbuhan suspensi sel, sehingga waktu penambahan prazat
dapat ditentukan.

c. Penambahan prazat

Prazat yang digunakan adalah skualen dengan konsentrasi 10, 100 dan 1000 μM. Penambahan skualen
ke dalam suspensi sel dilakukan pada saat kandungan azadirahtin sedang meningkat. Pemanenan
dilakukan setiap dua hari sampai kultur berumur 12 hari dari waktu penambahan skualen.

Ekstraksi dilakukan dengan metode maserasi. Bahan kering (sel) yang telah digerus ditimbang sebanyak
0,1 g, lalu diekstrak dengan 10 mL metanol teknis dalam labu erlenmeyer yang diagitasi dengan alat
pengocok pada kecepatan 120 rpm selama 48 jam. Selanjutnya ekstrak disaring dengan kertas saring
Whatman no.1. Residu dibilas dua kali dengan 5 mL metanol teknis, filtratnya kemudian diuapkan
dengan vaccum rotary evaporatorsampai semua pelarut menguap. Ekstrak kasar yang terbentuk
dikeringkan dengan desikator, lalu ditimbang, kemudian dilarutkan dengan 2 mL metanol Kromatografi
Cair Kinerja Tinggi (KCKT).

Medium sebanyak 10 mL dikeringkan dengan freeze dryer untuk menghilangkan kandungan airnya,
diekstrak dengan 10 mL metanol teknis, dan dilanjutkan dengan penyaringan menggunakan kertas
saring Whatman no.1, residunya dibilas dua kali dengan 5 mL metanol teknis. Selanjutnya filtrat
diuapkan dengan vaccum rotaryevaporator sampai semua pelarut menguap. Ekstrak kasar yang
terbentuk dikeringkan dengan desikator, lalu ditimbang dan dilarutkan dengan 2 mL metanol KCKT.

Analisis kualitatif dan kuantitatif azadirahtin dilakukan dengan menggunakan KCKT dengan jenis kolom
Shim-pack CLC-ODS (C18, Ø 6,0 mm x 0,15 mm). Elusi dilakukan dengan menggunakan metanol:air (6:4)
secara isokratik dengan kecepatan aliran 1 mL/menit dan diamati pada UV λ 214 nm.

Analisis kualitatif dilakukan dengan membandingkan waktu retensi puncak (peak) pada sampel dengan
azadirahtin standar (SIGMA). Analisis kuantitatif dilakukan dengan cara mengkonversi luas area sampel
dengan luas area standar. Kurva standar diperoleh dari data luas area berbagai konsentrasi larutan
azadirahtin standar, kemudian dibuat hubungan luas area dengan kandungan azadirahtin.

Tekstur kalus yang dihasilkan berupa kalus kompak dan kalus meremah. Perlakuan yang menghasilkan
kalus yang paling meremah adalah pada medium dengan penambahan penambahan zat pengatur
tumbuh berupa 0,5µM asam 2,4-diklorofenoksi asetat (2,4-D) dan 1,0µM benzilamino purin (BAP) atau
0,5 μM 2,4-D + 1,0 μM BAP. Tekstur pada kalus dapat bervariasi dari kompak hingga meremah,
tergantung pada jenis tumbuhan yang digunakan, komposisi nutrien medium, zat pengatur tumbuh dan
kondisi lingkungan kultur. Pertumbuhan in vitro sangat ditentukan oleh interaksi dan keseimbangan
antara zat pengatur tumbuh yang ditambahkan ke dalam medium dan zat pengatur tumbuh endogen
yang dihasilkan oleh sel yang dikultur.

Pertumbuhan kultur suspensi terbaik dengan berat kering sel tertinggi diperoleh pada medium dengan
penambahan 0,1 μM 2,4-D + 1,0 μM yaitu 0,259 ± 0,087g. Pertumbuhan sel yang stabil dapat
membentuk populasi sel dengan aktivitas fisiologi yang homogen, yaitu dalam mensintesis metabolit
sekunder dan dalam pembentukan vakuola sebagai tempat penyimpanan metabolit sekunder.

Dalam bidang kesehatan, kultur sel dapat digunakan untuk mengobati penyakit tertentu. Kultur sel atau
yang biasa disebut sebagai stem sel atau sel induk adalah sel yang dalam perkembangan embrio menjadi
sel awal yang tumbuh menjadi berbagai organ. Sel ini belum terspesialisasi dan mampu berdeferensiasi
menjadi berbagai sel matang dan mampu meregenerasi diri sendiri. Stem cell adalah sel yang tidak atau
belum terspesialisasi dan mempunyai kemampuan (potensi) untuk berkembang menjadi berbagai jenis
sel-sel yang spesifik yang membentuk berbagai jaringan tubuh (Jusuf, 2008).

Gambar: stem cell (Sumber: Rismaka, 2009)

Embryonic stem cells adalah sel yang diambil dari inner cell mass (suatu kumpulan sel yang terletak di
satu sisi blastokista) embrio berumur 5 hari dan terdiri dari 100 sel. Sel ini mempunyai sifat dapat
berkembang biak secara terus menerus dalam media kultur optimal dan dalam keadaan tertentu dapat
diarahkan untuk berdifferensiasi menjadi berbagai sel yang terdifferensiasi seperti sel jantung, sel kulit,
neuron, hepatosit dan sebagainya, sehingga dapat dipakai untuk transplantasi jaringan yang rusak.

Sumber lain adalah sel stem dewasa, yakni sel induk yang terdapat di semua organ tubuh, terutama di
dalam sumsum tulang dan berfungsi untuk memperbaiki jaringan yang mengalami kerusakan. Tubuh
mengalami perusakan oleh berbagai faktor dan semua kerusakan yang mengakibatkan kematian
jaringan dan sel akan dibersihkan. Sel stem dewasa dapat diambil dari fetus, sumsum tulang, dan darah
tali pusat.

Sel induk embrionik maupun sel induk dewasa sangat besar potensinya untuk mengobati berbagai
penyakit degeneratif, seperti infark jantung, stroke, parkinson, diabetes, berbagai macam kanker;
terutama kanker darah dan osteoarthritis. Sel stem embrionik sangat plastis dan mudah dikembangkan
menjadi berbagai macam jaringan sel sehingga dapat dipakai untuk transplantasi jaringan yang rusak.

Keuntungan sel induk dari embrio di antaranya adalah mudah didapat dari klinik fertilitas dan bersifat
pluripoten sehingga dapat berdiferensiasi menjadi segala jenis sel dalam tubuh. Pada kultur sel ini dapat
berpoliferasi beratus kali lipat sehingga berumur panjang, Namun, sel induk ini berisiko menimbulkan
kanker jika terkontaminasi, berpotensi menimbulkan penolakan, dan secara etika sangat kontroversial.

Sementara sel induk dewasa dapat diambil dari sel pasien sendiri sehingga menghindari penolakan
imun, sudah terspesialisasi sehingga induksi jadi lebih sederhana dan secara etika tidak ada masalah.
Kerugiannya, sel induk dewasa ini jumlahnya sedikit, sangat jarang ditemukan pada jaringan matur,
masa hidupnya tidak selama sel induk dari embrio, dan bersifat multipoten sehingga diferensiasinya
tidak seluas sel induk dari embrio. Stem cells dapat digunakan untuk keperluan baik dalam bidang riset
maupun pengobatan. Adapun penggunaan kultur stem cells adalah sebagai berikut.

1. Terapi gen

Stem cells khususnya hematopoetic stem cells digunakan sebagai pembawa transgen kedalam tubuh
pasien dan selanjutnya dilacak apakah jejaknya apakah stem cells ini berhasil mengekspresikan gen
tertentu dalam tubuh pasien. Adanya sifat self renewing pada stem cell menyebabkan pemberian stem
cells yang mengandung transgen tidak perlu dilakukan berulang-ulang. Selain itu hematopoetic stem
cells juga dapat berdifferensiasi menjadi bermacam-macam sel sehingga transgen tersebut dapat
menetap diberbagai macam sel.

2. Penelitian untuk mempelajari proses-proses biologis yang terjadi pada organisme termasuk
perkembangan organisme dan perkembangan kanker

3. Penelitian untuk menemukan dan mengembangkan obat-obat baru terutama untuk mengetahui efek
obat terhadap berbagai jaringan

4. Terapi sel (cell based therapy). Stem cell dapat hidup di luar tubuh manusia, misalnya di cawan petri.
Sifat ini dapat digunakan untuk melakukan manipulasi pada stem cells yang akan ditransplantasikan ke
dalam organ tubuh untuk menangani penyakit-penyakit tertentu tanpa mengganggu organ tubuh.

Kesimpulan

a. Kultur sel dan jaringan merupakan budidaya dan jaringan adalah sekelompok sel yang mempunyai
bentuk dan fungsi yang sama. Kultur yang berasal dari sel-sel yang terdispersi yang diambil dari jaringan
asalnya, dari kultur primer, atau dari cell line atau cell strain secara enzimatik, mekanik, atau disagregasi
kimiawi.

b. Kultur jaringan (tissue culture) pertama kali digunakan pada awal abad 20 sebagai suatu metode
untuk mempelajari perilaku sel hewan yang bebas dari pengaruh variasi sistemik yang dapat timbul saat
hewan dalam keadaan homeostasis ataupun dalam pengaruh percobaan atau perlakuan. Kultur sel dan
jaringan hingga saat ini tetap berkembang.

c. Kultur pada hewan yang dapat digunakan adalah dengan kultur sel, jaringan, dan organ. Kultur
jaringan termasuk ke dalam jenis perkembangbiakan vegetatif.

d. Manfaat dari kultur sel dan jaringan adalah a) eksplan yang dibutuhkan hanya sedikit dan dapat
diambil dari seluruh bagian tumbuhan, b) sifat genetik yang dihasilkan tetap, sehingga dapat digunakan
dalam pelestarian plasma mutasi, c) tidak bergantung pada musim (pada tumbuhan), d) dapat waktu
singkat dapat diperoleh bibit unggul yang banyak, e) diperoleh bibit yang bebas virus dan penyakit, f)
dapat menghasilkan metabolis sekunder, f) Biaya pengangkutan bibit relatif lebih murah dan mudah, g)
dalam proses pembibitan bebas dari gangguan hama, penyakit, dan deraan lingkungan lainnya.

e. Penerapan teknologi kultur sel dan jaringan antara lain dapat digunakan sebagai sumber biopestisida
dan pengobatan penyakit.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2009. Kultur Jaringan (online), (http://ennotech.blogspot.com, diakses tanggal 26 April 2010).

Achmad, Tri Hanggono. 2008. Satu Abad Kultur Sel dan Jaringan: Perkembangan Teknologi dan
Implementasinya, (Online), Vol.40, No.3, (http://www.mkb-online.org.htm, diakses tanggal 8 Februari
2010).

Haruna. 2009. Totipotensi dan Kultur Jaringan (online), (http://curhat-coret.blogspot.com, diakses


tanggal 10 April 2010).

Hendaryono, Daisy P. Sriyanti. 1994. Teknik Kultur Jaringan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Jusuf, Ahmad Aulia. 2008. Aspek Dasar Sel Punca Embrionik (Embryonic Stem Cells) dan Potensi
Pengembangannya. Jakarta: makalah tidak diterbitkan.

Katuuk, Jeanette R.P. 1989. Tekhnik Kultur Jaringan dalam Mikropropagasi Tanaman. Jakarta:
Depdikbud.

Leavingbio, 2010. Cell Diversity (online), (http://leavingbio.net, diakses tanggal 28 April 2010).

Listyorini, Dwi. 2001. Kultur Jaringan Hewan. Malang: FMIPA UM.

Rismaka. 2009. Kultur Sel Sebagai Teknik Pengobatan di Masa Depan (Online), (http://okebanget.net,
diakses tanggal 28 April 2010).

Wikipedia. 2010. Kultur Jaringan (online), (http://id.wikipedia.org, diakses tanggal 10 April 2010).

Zakiah, Zulfa, Marwani, E., Siregar, Arbayah, H. 2003. Peningkatan Produksi Azadirahtin dalam Kultur
Suspensi Sel Azadirachta indica A.Juss melalui Penambahan Skualen. Jurnal Matematika dan Sains Vol. 8,
No. 4, Desember 2003, hal 141 – 146, (online), (http://www.fp.unud.ac.id/biotek/wp-content, diakses
tanggal 10 April 2010).

Sumber : http://goth-id.blogspot.com/2012/04/bioteknologi-kultur-sel-dan-jaringan.html diaskes


tanggal 04 Juli 2014
BIOTEKNOLOGI KULTUR SEL DAN JARINGAN
Kultur jaringan (tissue culture) untuk memahami aspek mekanisme kontrol dan diferensiasi
fungsi sel telah berkembang sejak satu abad yang lalu, melalui masa-masa pengembangan yang
pada awalnya sederhana, diikuti fase perkembangan ekspansif pada pertengahan abad yang lalu,
dan kini berada pada fase pengembangan. 
Perkembangan ilmu biologi molekuler menyebabkan sulitnya melihat batas pemisah antara
biologi molekuler dan tissue culture. Saling bergantungnya perkembangan masing-masing
teknologi ini, sukar untuk dinyatakan batas berhentinya teknologi tissue culture dan mulai
berkembanganya teknologi biologi molekuler. Meskipun tantangan untuk mendapatkan sel-sel
yang tumbuh secara in vitro telah terjawab dan diversitas jenis sel telah meningkat secara
konstan, tissue culture kini sudah semakin populer dibanding sebelumnya. Untuk beberapa
kalangan tissue culture menghadirkan peluang untuk mengurangi percobaan hewan yang tidak
perlu, untuk kalangan lainnya teknologi tissue culture mendorong kemampuan untuk
menghasilkan produk farmasi inovatif yang lebih ekonomis. 
Untuk beberapa kalangan tertentu teknologi ini masih menjadi dasar guna mengeksplorasi
permasalahan regulasi sel dan pengembangan intervensi medis. Sangat jelas bahwa penelitian
tentang aktivitas selular padatissue culture akan membawa berbagai manfaat, meski demikian
perhatian diperlukan terhadap berbagai kelemahan teknologi ini. Hal ini penting untuk
membangun perhatian yang lebih besar guna pengembangannya di masa mendatang. 
  

Pengertian Kultur Sel dan Jaringan 


Salah satu teknik bioteknologi yang sering digunakan adalah kultur sel dan jaringan. Menurut
Suryowinoto (1991) kultur jaringan dalam bahasa asing disebut sebagai tissue culture, weefsel
cultuus, atau gewebe kultur. Kultur adalah budidaya dan jaringan adalah sekelompok sel yang
mempunyai bentuk dan fungsi yang sama. 
Kultur jaringan digunakan sebagai istilah umum yang juga meliputi kultur organ ataupun kultur
sel. Istilah kultur sel digunakan untuk berbagai kultur yang berasal dari sel-sel yang terdispersi
yang diambil dari jaringan asalnya, dari kultur primer, atau dari cell line atau cell strain secara
enzimatik, mekanik, atau disagregasi kimiawi. Terminologi kultur histotypic akan diterapkan
untuk jenis kultur jaringan yang menggabungkan kembali sel-sel yang telah terdispersi
sedemikian rupa untuk membentuk kultur jaringan. 
Kultur sel dan jaringan dapat digunakan pada hewan dan tumbuhan. Kultur jaringan hewan
merupakan suatu teknik untuk mempertahankan kehidupan sel di luar tubuh organisme.
Lingkungan sel dibuat sedimikian rupa, sehingga menyerupai lingkungan asal dari sel yang
bersangkutan. Sel yang dipelihara bisa berupa sel tunggal (kultur sel), sel di dalam jaringan
(kultur jaringan), maupun sel di dalam organ (kultur organ) (Listyorini, 2001). Teknik
pembuatan kultur primer pada kultur sel, jaringan, dan organ hewan pada dasarnya sama. Sel,
jaringan, atau organ hewan diambil dari tubuh hewan dan mulai dipelihara di dalam kondisi in-
vitro. Selama di dalam kultur primer semua kebutuhan sel baik sebagai sel tunggal (kultur sel),
sebagai bagian dari jaringan (kutur jaringan), maupun sebagai bagian organ (kultur organ) harus
dipenuhi agar sel dapat hidup dan menjalankan fungsi normalnya. 
Kultur jaringan pada tumbuhan merupakan salah satu teknik perbanyakan tumbuhan yang
menggunakan sel atau organ atau jaringan tumbuhan Kultur jaringan pada suatu tumbuhan
merupakan suatu cara membudidayakan suatu jaringan tumbuhan menjadi tumbuhan kecil yang
mempunyai sifat seperti induknya (Hendaryono, 1994). 
Sejarah dan Perkembangan Kultur Sel dan Jaringan 
Kultur jaringan (tissue culture) pertama kali digunakan pada awal abad 20 sebagai suatu metode
untuk mempelajari perilaku sel hewan yang bebas dari pengaruh variasi sistemik yang dapat
timbul saat hewan dalam keadaan homeostasis ataupun dalam pengaruh percobaan atau
perlakuan. Kultur jaringan bukanlah teknik yang baru. Teknologi ini telah berkembang sejak satu
abad yang lalu, melalui masa-masa pengembangan yang pada awalnya sederhana, diikuti fase
perkembangan ekspansif pada pertengahan abad yang lalu. Saat ini kultur jaringan berada pada
fase pengembangan khusus untuk memahami aspek mekanisme kontrol dan diferensiasi fungsi
sel. Kendati teknologi kultur jaringan kini telah berkembang begitu pesat, seperti kultur sel-sel
khusus,chromosome painting, dan DNA fingerprinting, tetapi teknologi dasar yang awal
dikembangkan adalah teknik kultur primer, pasase serial, karakterisasi, preservasi sel dengan
prinsip yang masih sama. 
Pada saat istilah kultur jaringan diperkenalkan, teknik ini pertama kali dikembangkan dengan
menggunakan fragmen jaringan yang tidak terurai, dan pertumbuhan sel atau jaringan terjadi
dengan bermigrasinya sel fragmen jaringan disertai adanya mitosis di luar pertumbuhan. Kultur
sel dari jaringan explant primer seperti inilah yang mendominasi perkembangan teknik kultur
jaringan pada lebih dari lima puluh tahun perkembangannya, sehingga tidaklah mengherankan
jika istilah kultur jaringan sudah begitu melekat untuk pengembangan teknologi ini. Walaupun
demikian, fakta yang terjadi pada saat percepatan perkembangan teknologi berikutnya pada era
setelah tahun 1950 lebih didominasi oleh penggunaan kultur sel yang terurai dari jaringan
(Katuuk, 1989). 
Sejarah kultur jaringan tumbuhan sebenarnya sejalan dengan sejarah perkembangan botani.
Beberapa ahli jaman dulu sudah meramalkan bahwa perbanyakan sel in-vitro dapat dilaksanakan.
Pemikiran ini didasarkan pada penemuan para ahli yang mendahului mereka serta penemuan
mereka sendiri. 
Pada abad 17 seorang ahli matematika Robert Hooke mengatakan bahwa sel-sel dapat disamakan
dengan batu-batu bangunan alamiah. Kemudian pada tahun 1838-1839, seorang ahli Biologi
M.V Schleiden dan Theodore Schwann yang telah menjuruskan perhatiannya pada kehidupan
sel, menemukan satu konsep baru, bahwa satu sel dapat tumbuh sendiri walaupun telah terpisah
dari tumbuhan induknya. Mereka mengemukakan bahwa segala peristiwa rumit yang terjadi
dalam tubuh satu organisme selama hidup, bersumber pada sel. Dari konsep inilah tumbuh
pernyataan bahwa satu sel mempunyai kemampuan untuk berkembang. Sel berkembang dengan
jalan regenerasi sehingga pada suatu saat akan terbentuk tumbuhan sempurna. Kemampuan
regenerasi ini disebut totipotensi (totipotency). Konsep totipotensi yang ditanamkan oleh
Schleiden dan Theodore Schwann berkembang terus sehingga Vouchting pada tahun 1878,
walaupun masih belum berhasil baik, sudah mencoba mengembangkan kalus dari potongan
tumbuhan. Kegagalannya dalam mengembangkan potongan tumbuhan ini disebabkan oleh
kekurangan fasilitas pada saat itu. Beberapa ahli yang juga telah bekerja mengisi sejarah
perkembangan botani papa abad ke 19, adalah Charles Darwin, Louis Pasteur, Justus Van Liebik,
Johan Knopp dan Rechinger. 
Untuk mempelajari teknik dasar kultur jaringan diperlukan pemahaman dasar tentang anatomi,
histologi, fisiologi sel, dan prinsip dasar biokimia. Perkembangan ilmu biologi molekular
menyebabkan sulitnya melihat batas pemisah antara biologi molekular dan kultur jaringan.
Saling bergantungnya perkembangan masing-masing teknologi ini sukar untuk dinyatakan batas
berhentinya teknologi kultur jaringan dan mulai berkembangnya teknologi biologi molekular. 
Perkembangan teknologi kultur jaringan kini banyak diarahkan untuk dapat memberikan
simulasi proses biologis yang terjadi pada tubuh makhluk hidup, sehingga tidak hanya digunakan
untuk mempelajari proses atau mekanisme yang terjadi pada sel, namun juga interaksi yang
terjadi antara sel dan lingkungan yang dapat diatur menyerupai berbagai keadaan fisiologis
ataupun patologis. Hal ini akan semakin mengatasi kelemahan teknologi kultur jaringan yang
dianggap sebagai teknologi experiment in vitro, kendati menggunakan sel atau jaringan hidup,
dibanding dengan penggunaan hewan percobaan yang dinilai sebagai experiment in vivo. 
Sejalan dengan perkembangan teknologi ini maka perkembangan berbagai referensi yang
berkaitan dengan teknologi kultur jaringan banyak menyajikan berbagai teknologi khusus,
sehingga perhatian terhadap prosedur dasar menjadi banyak terabaikan. Meski banyak
berkembang referensi yang menyajikan teknologi baru, namun masih banyak referensi teknologi
dasar yang tetap dipertahankan. 
Ilmu pengetahuan dan teknologi modern menjadi semakin bergantung pada teknologi canggih.
Prosedur pewarnaan antibodi, analisis probe molekular, pemeriksaan sitotoksisitas, dan yang
lainnya, kini sudah tersedia dalam bentuk kit. Hal ini memungkinkan penilaian regulasi gen serta
produk sel lebih cepat dan mudah meskipun dengan biaya yang lebih mahal. Keuntungan
berkembangnya berbagai kit ini adalah penghematan waktu dan meningkatkan produktivitas.

Kultur pada Hewan dan Tumbuhan 


Kultur pada Hewan 
Kultur pada hewan yang dapat digunakan adalah dengan kultur sel, jaringan, dan organ. Kultur
sel adalah teknik pemeliharaan sel di dalam kondisi in-vitro. Seperti halnya pada kultur organ,
kultur bakal organ, maupun kultur jaringan, kultur sel juga mempertahankan karakteristik sel
seperti saat sel tersebut berada di dalam kondisi in-vivo. Sel hewan diisolasi dari organ yang
bersangkutan. Selanjutnya, sel diupayakan untuk terpisah satu dari yang lainnya. Sel hewan
dipisahkan secara mekanis dan secara enzimatis. Sel-sel yang diperoleh sebagian dipelihara di
dalam kultur suspensi, dan sebagian dipelihara di dalam kultur yang melekat. Selanjutnya kultur
tersebut dipelihara di dalam medium yang dilengkapi dengan serum di dalam suhu yang sesuai
dengan asalnya. Untuk sel mamalia suhu pemeliharaan adalah 37°C dan untuk sel aves suhu
pemeliharaannya adalah 39°C. 
Ukuran keberhasilan yang dapat digunakan dalam pembuatan kultur ini adalah tidak adanya
kontaminasi pada kultur, kesehatan sel selama dipelihara di dalam kondisi in-vitro, dan
keberhasilan sel memperbanyak diri. Menurut Listyorini (2001), cara pembuatan kultur sel
hewan adalah sebagai berikut. 
a. Menyiapkan peralatan kultur yang dipakai, mematikan hewan coba secara mekanis kemudian
mengambil organ atau jaringan yang dikehendaki untuk dibuat kultur selnya, mencuci organ atau
jaringan di dalam larutan garam seimbang kemudian memindahkan ke dalam wadah lain yang
berisi larutan garam seimbang segar, Memindahan bahan yang akan dikultur ke dalam sterile
bench, kemudian melakukan penyiapan sel untuk dikultur. 
b. Penyiapan secara mekanis dilakukan dengan memotong organ atau jaringan, mencuci
potongan tersebut menggunakan larutan garam seimbang, memindahkan potongan (ekplan) ke
dalam wadah yang berisi larutan garam seimbang segar, menanam eksplan ke dalam cawan atau
botol kultur dan menambahkan medium kultur yang telah ditambahkan dengan serum dan
memelihara kultur di dalam inkubator CO2 dengan suhu yang sesuai. Fungsi larutan garam
seimbang adalah untuk memberikan lingkungan fisiologis dan fisik yang baik bagi sel selama
sel, jaringan atau organ dipersiapkan. 
c. Penyiapan secara enzimatis dilakukan dengan memindahkan erlenmeyer dengan adanya
larutan tripsin 5% di dalam medium tanpa serum, mengaduk suspensi di atas magnetic
stirrer dengan kecepatan sedang, setelah didapkan suspensi sel, barulah menambahkan medium
yang mengandung serum kemudian melakukan sentrifuge dengan kecepatan 1500 rpm selama 5
menit. Kemudian membuang supernatan dan mengganti dengan medium segar yang
mengandung serum. Untuk kultur yang melekat menanam sebagian sel ke dalam cawan atau
botol kultur untuk kultur melekat dan menambahkan medium yang mengandung serum 10% dan
memelihara kultur sel di dalam inkubator CO2 dengan suhu yang sesuai. 
Kultur jaringan adalah teknik pemeliharaan jaringan di dalam kondisi in-itro. Seperti halnya pada
kultur jaringan juga mempertahankan karakteristik sel seperti saat sel tersebut berada di dalam
kondisi in-vivo. Keberhasilan kultur selain dapat dilihat dari tidak adanya kontaminasi pada
kultur, kesehatan jaringan selama dipelihara di dalam kondisi in-vivo, dan berfungsinya jaringan
yang dipelihara sebagaimana mestinya. 
Kultur organ adalah teknik kultur jaringan yang dipakai untuk mempertahankan organ secara
utuh dan mempertahankan struktur serta fungsi organ tersebut. Kultur organ terdiri atas dua
macam teknik kultur, yaitu kultur organ dewasa dan kultur bakal organ. Kultur organ dewasa
pada umumnya dipakai untuk mempertahankan kehidupan organ yang diambil dari tubuh baik
yang masih sehat maupun kehidupan organ yang tidak mungkin dapat bertahan hidup. Kultur
bakal organ memelihara jaringan-jaringan bakal organ untuk dikembangkan di dalam kondisi in-
vitro. Indikator keberhasilan kultur organ hewan sama dengan kultur sel dan jaringan. 
Cara-cara dalam pembuatan kultur jaringan pada epitel dari usus embrio ayam diilustrasikan ke
dalam Gambar 1 ini (http://www.kitchenculturekit.com). 
Gambar 1. Teknik Kultur Jaringan 
eksplan ke dalam labu

Anda mungkin juga menyukai