Anda di halaman 1dari 36

KEGAWATDARURATAN MATERNAL NEONATAL DAN BASIC LIFE

“Resusitasi Bayi Baru Lahir”

Doaen Pengampu : Megawati, S.ST.,M.Keb

Di susun Oleh :

Erlinawati P07124118189

DIPLOMA III KEBIDANAN SEMESTER II B

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES BANJARMASIN

TAHUN 2020

i
Kata Pengantar

Segala puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada kita semua. Shalawat serta salam
semoga tercurah kepada Rasulullah SAW beserta keluarganya . Penulisan
makalah ini dengan judul “RESUSITASI BAYI BARU LAHIR”

Dalam penyusunan makalah ini, kami menyadari sepenuhnya bahwa


makalah ini masih jauh dari kesempurnaan karena pengalaman dan pengetahuan
penulis yang terbatas. Oleh karena itu, kritik dan saran dari semua pihak sangat
kami harapkan demi terciptanya makalah yang lebih baik lagi untuk masa
mendatang.

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL i

KATA PENGANTAR ii

DAFTAR ISI iii

BAB 1 PENDAHULUAN 1

A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 4
C. Tujuan Penulisan 4

BAB II PEMBAHASAN 5

A. Pengertian Resusitasi 5
B. Tujuan Dari Resusitasi 5
C. Stabilisasi Bayi Baru Lahir Di Ruang Persalinan 6
D. Bantuan Resusitasi Difasilitas Sangat Terbatas 7
E. Bantuan Resusitasi Difasilitas Sangat Lengkap 7
F. Tata Laksana Resusitasi 8
G. Langkah-Langkah Stabilisasi Pasca Resusitasi 17

BAB III PENUTUP 29


A. Kesimpulan 29
B. Saran 30

DAFTAR PUSTAKA 31

iii
iv
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Masalah kesehatan ibu dan bayi terutama pada  masa perinatal merupakan
masalah nasional yang perlu mendapat prioritas utama, karena sangat
menentukan kualitas sumber daya manusia pada generasi mendatang. 1
angka kematian perinatal pada tahun 1984 adalah 45 /1000 kelahiran ,1994
adalah 36/1000 kelahiran sedangkan di rumah sakit  besar dan rujukan
dapat lebih tinggi lagi .Penyebab utama kematian adalah aspiksia,
komplikasi BBLR, tetanus neonatorum, dan trauma kelahiran terutama di
negara berkembang .Dengan pemeriksaan  prenatal care yang baik ,hanya
lebih kurang 5% bayi baru lahir memerlukan pertolongan resusitasi  dan ¼
diantaranya memerlukan intubasi.

Angka kematian perinatal di Indonesia masih cukup tinggi,  yaitu 40 per


1000 kelahiran hidup. Banyak faktor yang mempengaruhi angka tersebut,
antara lain penyakit dan perkembangan kesehatan ibu dan janin serta
semua hal yang berkaitan  dengan pelayanan kesehatan baik langsung
maupun tidak langsung.Pemeriksaan antenatal memegang peranan yang
amat  penting untuk dapat mengenal faktor risiko secepatnya sehingga
dapat dihindari kematian atau penyakit yang tidak perlu terjadi. Semua
kendala di atas perlu ditangani melalui konsep pelayanan yang jelas
sehingga masyarakat dapat berperan aktif  dalam usaha menurunkan
kematian perinatal dan meningkatkan mutu generasi yang akan datang.

Resusitasi diperlukan oleh neonatus yang dalam beberapa menit pertama


kehidupannya tidak dapat mengadakan ventilasi efektif dan perfusi
adekuat untuk memenuhi kebutuhan oksigenasi dan eliminasi
karbondioksida, atau bila sistem kardiovaskular tidak cukup dapat
memberi perfusi secara efektif kepada susunan saraf pusat, jantung dan
organ vital lain. (Gregory, 1975)

1
Deteksi dini faktor resiko dan kelainan yang ditemukan pada bayi baru
lahir  bahkan janin ,sangat membantu agar tidak terjadi kerugian 
dikemudian hari. Antisipasi penangganan dini bayi aspeksia dapat
menghindarkan bayi tersebut dari kecacatan dan dampak yang merugikan.
Resusitasi yang memadai dapat mengurangi akibat yang merugikan pada
BBL yang menderita kegawatan napas, karena dampak jangka panjang
aspeksia neonatorum ataupun hipoksia akibat gawat napas tergantung
selain lamanya terjadi aspeksia atau beratnya hipoksia ,lokalisasi
kerusakan gangguan metabolisme  juga tergantung kecepatan penangganan
.Yang paling penting adalah mencegah terjadinya aspeksia dengan
perinatal care yang baik .Sedangkan apabila sudah terjadi aspeksia atau
kegawatan napas yang lain .semakin cepat ,tepat dan akurat 
penangganan ,semakin baik . Oleh karena itu ,kita perlu mengetahui dan
mempelajari cara-cara resusitasi yang benar,untuk menolong bayi baru
lahir dengan kegawatan  napas.

Sebagian besar bayi baru lahir tidak memerlukan bantuan apapun agar
dapat bernapas dengan efektif setelah dilahirkan, dan apabila mereka
memerlukannya, sebagian besar hanya membutuhkan bantuan minimal.
Beberapa memerlukan intubasi dan ventilasi sementara kebutuhan untuk
menggunakan obat dan kompresi dada jarang diperlukan. Kurang lebih
10% dari semua neonatus memerlukan bantuan pada waktu dilahirkan,
hanya 1% yang memerlukan resusitasi lanjut. Diperkirakan asfiksia
perinatal merupakan penyebab seperlima semua kematian neonatal di
seluruh dunia; tindakan resusitasi sederhana dapat mengurangi morbiditas
dan mortalitas yang disebabkan asfiksia perinatal.

Terdapat beberapa faktor resiko antepartum dan intrapartum in utero,


seperti hipertensi yang disebabkan kehamilan (PIH), gangguan
pertumbuhan intra uterin (IUGR), prematuritas, perdarahan antepartum
(APH), ruptur membran prematur (PROM), dan sumbatan mekonium
sehingga bayi memerlukan resusitasi. Pada benyak peristiwa, asfiksia
terjadi tanpa diduga, jadi penting untuk memiliki personel yang cukup

2
terlatih dalam hal resusitasi neonatal dengan piranti yang memadai pada
waktu persalinan sedang berlangsung. Bayi lahir namun kesulitan
bernapas dan berat lahir rendah merupakan salah satu faktor penyebab
AKB di Indonesia. bayi lahir kesulitan bernapas menjadi penyebab utama
kematian (AKB), namun saat ini telah menjadi urutan kedua. Urutan
pertama kini berat lahir bayi rendah, karena gizi ibu yang berkurang saat
mengandung,”

Tindakan resusitasi merupakan tindakan yang harus dilakukan dengan


segera sebagai upaya untuk menyelamatkan hidup (Hudak dan Gallo,
1997). Resusitasi pada anak yang mengalami gawat nafas merupakan
tindakan kritis yang harus dilakukan oleh perawat yang kompeten. Perawat
harus dapat membuat keputusan yang tepat pada saat kritis. Kemampuan
ini memerlukan penguasaan pengetahuan dan keterampilan keperawatan
yang unik pada situasi kritis dan mampu menerapkannya untuk memenuhi
kebutuhan pasien kritis (Hudak dan Gallo, 1997).

Angka Kematian Bayi (AKB) bisa ditekan melalui pembekalan dan


pelatihan resusitasi neonatus kepada paramedis di tanah air. “AKB di
Indonesia akan terus menurun dengan adanya pembekalan melalui
pelatihan resusitas neonatus . pembekalan resusitasi neonatus bagi
paramedis itu bertujuan untuk mencegah terjadinya kegagalan saat
membantu proses persalinan, baik di rumah sakit maupun klinik
kebidanan. Data yang dikutip dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia
(KPAI) menyebutkan AKB di Indonesia saat ini masih pada posisi
31/1.000 kelahiran pada 2009. Tercatat sekitar 7.116 paramedis hingga
saat ini telah memperoleh pelatihan dan pembekalan resusitasi bayi gawat
nafas secara nasional. Paramedis itu antara lain terdiri dari dokter spesialis
anak, anestesi, umum dan kebidanan. Dalam kasus persalinan, kesulitan
bernapas saat bayi lahir juga berdampak pada gagalnya proses persalinan,
misalnya terkait dengan perjalanan yang jauh dari praktik kebidanan ke
rumah sakit. “Terkadang masalah perjalanan yang cukup lama dari klinik
bidan ke rumah sakit, sehingga bayi lahir yang seharusnya mendapat

3
pertologan pernapasan segera jadi terlambat,” Oleh karena itu, AKB akibat
faktor kesulitan bernapas itu mencapai sekitar 24 persen, dan berat lahir
rendah 26 persen.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan resusitasi ?
2. Apa tujuan dari resusitasi ?
3. Bagaimana stabilisasi bayi baru lahir di ruang persalinan ?
4. Bagaimana bantuan resusitasi difasilitas sangat terbatas ?
5. Bantuan resusitasi difasilitas sangat lengkap?
6. Apa saja tata Laksana Resusitasi ?
7. Apa saja Langkah-langkah stabilisasi pasca resusitasi ?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan resusitasi
2. Untuk mengetahui tujuan dari resusitasi
3. Untuk mengetahui stabilisasi bayi baru lahir di ruang persalinan
4. Untuk mengetahui bantuan resusitasi difasilitas sangat terbatas
5. Untuk mengetahui Bantuan resusitasi difasilitas sangat lengkap
6. Untuk mengetahui tata Laksana Resusitasi
7. Untuk mengetahui Langkah-langkah stabilisasi pasca resusitasi

8.

4
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Resusitasi
Resusitasi merupakan sebuah upaya menyediakan oksigen ke otak, jantung
dan organ-organ vital lainnya melalui sebuah tindakan yang meliputi
pemijatan jantung dan menjamin ventilasi yang adekuat (Rilantono, 2010).
Tindakan ini merupakan tindakan kritis yang dilakukan pada saat terjadi
kegawatdaruratan terutama pada sistem pernafasan dan sistem kardiovaskuler.
Kegawatdaruratan pada kedua sistem tubuh ini dapat menimbulkan kematian
dalam waktu yang singkat (sekitar 4-6 menit).
Tindakan resusitasi merupakan tindakan yang harus dilakukan dengan
segera sebagai upaya untuk menyelamatkan hidup (Hudak dan Gallo, 2011).
Resusitasi pada anak yang mengalami gawat nafas merupakan tindakan kritis
yang harus dilakukan oleh perawat yang kompeten. Perawat harus dapat
membuat keputusan yang tepat pada saat kritis. Kemampuan ini memerlukan
penguasaan pengetahuan dan keterampilan keperawatan yang unik pada
situasi kritis dan mampu menerapkannya untuk memenuhi kebutuhan pasien
kritis (Hudak dan Gallo, 2011)

B. Tujuan diberikan resusitasi


Tindakan resusitasi diberikan untuk mencegah kematian akibat asfiksia.
Dan bila pada bayi asfiksia berat yang mengalami gangguan system saraf
pusat, misalnya “cerebral palsy”, kelainan jantung misalnya tidak
menutupnya “ductus arterious”.
Tidak semua bayi baru lahir memerlukan resusitasi. Tiga hal penting
sebagai dasar mengambil keputusan melakukan resusitasi lengkap yang harus
diperhatikan, antara lain:
1. Pernafasan : yang perlu diperhatikan adalah : Lihat gerakan dada naik
turun

5
a. Hitunglah jumlah/frekuensi pernafasan selama 1 menit
b. Perhatikan dalamnya pernafasan
c. Jika nafas tersengal-sengal berarti nafas tidak efektif dan perlu
tindakan, misalnya apneu
d. Jika pernafasan telah efektif yaitu biasanya 30-50x/menit dan
menangis, anda bisa melangkah ke penilaian selanjutnya.
2. Frekuensi jantung: frekuensi denyut jantung harus lebih dari 100 kali per
menit. Cara yang termudah dan cepat menghitung frekuensi jantung adalah
dengan menggunakan stetoskop atau meraba denyut tali pusat. Meraba
arteria secara terus menerus. Dihitung selama 6 detik (hasilnya dikalikan
10 = Frekuensi denyut jantung selama 1 menit)
Hasil penilaian:
a. Apabila frekuensi >100 x/menit dan bayi bernafas spontan, dilanjutkan
dengan menilai warna kulit
b. Apabila frekuensi <100 x/menit walaupun bayi bernafas spontan
menjadi indikasi untuk dilakukan VTP (Ventilasi Tekanan Positif)
3. Warna kulit : setelah pernafasan dan frekuensi jantung baik, seharusnya
kulit menjadi kemerahan. Jika masih ada sianosis sentral, oksigen tetap
diberikan. Bila terdapat sianosis perifer, oksigen tidak perlu diberikan,
disebabkan karena peredaran darah yang masih lamban, antara lain karena
sushu ruang bersalin yang dingin.

C. Stabilisasi bayi baru lahir di ruang persalinan


Penanganan bayi baru lahir di ruang persalinan perlu dilakukan secara cepat
dan tepat. Penanganan di ruang persalinan dapat berupa persiapan alat,
teamwork dan komunikasi, pemotongan tali pusat, pembebasan jalan napas,
mempertahankan lingkungan suhu yang neutral, suplementasi oksigen yang
sesuai, bantuan respirasi yang tidak invasif dan waktu pemberian surfaktan
yang tepat.

6
D. Bantuan resusitasi di fasilitas yang sangat terbatas.
The First Golden Minutes: Helping Babies Breathe
Helping babies breathe (HBB) merupakan kunci dalam edukasi
berdasarkan evidence-based medical yang dirancang untuk meningkatkan
resusitasi nenonatus terutama untuk fasilitas terbatas.
Sepuluh persen bayi membutuhkan bantuan pernapasan dalam satu menit
pertama (The Golden Minute). Bantuan pernapasan (HBB) untuk fasilitas
terbatas dapat kita lihat pada gambar di bawah ini.

7
E. Bantuan resusitasi di fasilitas yang lebih lengkap.
Penanganan resusitasi di fasilitas lengkap, dapat menggunakan The
International Liaison Committee on Resuscitation (ILCOR) Consensus on
Cardiopulmonary Resuscitation 2015. Dibawah ini adalah gambar skema
resusitasi neonatus 2015.

8
F. Tata Laksana Resusitasi
1. Manajemen tali pusat: Penundaan menjepit tali pusat.
2010:
Semakin banyak bukti, manfaat dari menunda penjepitan tali pusat
selama minimal 1 menit pada bayi cukup bulan dan prematur yang
tidak memerlukan resusitasi. Belum ada cukup bukti untuk mendukung
atau menolak rekomendasi penundaan menjepit tali pusat pada bayi
yang membutuhkan resusitasi.

2015:
Menunda penjepitan tali pusat 30 detik disarankan untuk bayi
cukup bulan dan bayi prematur yang tidak memerlukan resusitasi.
Belum ada cukup bukti untuk mendukung atau menolak rekomendasi
penundaan menjepit tali pusat pada bayi yang membutuhkan
resusitasi.6
Dari penelitian meta-analisis; 15 penelitian uji klinis (1912 bayi),
penundaan penjepitan tali pusat paling sedikit 2 menit memberi
keuntungan pada bayi usia 2-6 bulan berupa hematokrit yang tinggi,
peningkatan status zat besi, pengurangan risiko anemia, tetapi
mempunyai risiko untuk terjadi polisitemia asimtomatik.
Rabe dkk, mendapatkan bahwa penundaan penjepitan tali pusat
meningkatkan volume darah, mengurangi kebutuhan transfusi, insiden
Necrotizing enterocoloitis (NEC), dan perdarahan intraventrikular.
Bhatt S dkk melakukan penelitian pada binatang, dengan menunda
penjepitan tali pusat selama 3-4 menit. Dari penelitian ini didapatkan
hasil peningkatan fungsi kardiovaskular dengan meningkatnya aliran
darah paru.
2. Membersihkan/menghisap cairan amnion yang bercampur
meconium pada bayi yang lahir tidak bugar.
2010:

9
Belum ada bukti yang cukup untuk merekomendasikan perubahan
dalam melakukan endotracheal suctioning pada bayi tidak bugar
dengan cairan meconium.

2015:
Jika bayi lahir melalui cairan ketuban yang bercampur meconium,
menunjukkan tonus otot yang jelek dan upaya pernapasan tidak
adekuat, langkah awal resusitasi harus diselesaikan di bawah radiant
warmer.
Ventilasi tekana positif (VTP) harus dimulai jika bayi tidak
bernapas atau denyut jantung kurang dari 100 kali per menit setelah
langkah awal selesai. Anggota tim yang terampil dalam intubasi harus
hadir di ruang bersalin.
Penghisapan rutin intrapartum orofaring dan nasofaring untuk bayi
baru lahir yang tidak ada cairan amnion atau meconium tidak lagi di
rekomendasikan.
Carrasco dkk11, melakukan penelitian pada 30 bayi cukup bulan
yang normal. Pada 15 bayi tersebut dilakukan penghisapan
orofaringeal sebagai prosedur rutin. Dari penelitian tersebut didapatkan
penghisapan rutin orofaringeal mengurangi saturasi oksigen, terutama
dalam 1-6 menit pertama kelahiran. Selain itu terdapat perbedaan yang
bermakna lamanya waktu untuk mencapai saturasi 86% dan saturasi
92% lebih singkat pada bayi yang tidak dilakukan penghisapan lendir.

Nonsuctioned Suctioned
(n=15) (n=15) p
Berat lahir (gm)* 3265 ± 262 3192 ± 438 NS
Usia gestasi (minggu)* 39±1 40±1 NS
Jenis kelamin (P/L) 6/9 8/7 NS
pH arteri umbilikus* 7.27 ± 0.09 7.27 ± 0.06 NS
Menit hingga ke
saturasi 86%* 5.0 ± 1.2 8.2 ± 3.3 <0.05

10
Menit hingga ke
saturasi 92%* 6.8 ± 1.8 10.2 ± 3.3 <0.05
NS: Not significant
*Nilai
mempresentasikan
mean

Gambar 4: SaO2 pada dua kelompok bayi baru lahir, yang menerima
penghisapan oronasofaringeal dan yang tidak pada 20 menit pertama
kehidupan

Bayi lahir bugar yang mulai bernapas dalam waktu 10-15 detik tidak
memerlukan penghisapan oronasofaring secara rutin. Penghisapan yang
terlalu dalam sebaiknya dihindari terutama dalam 5 menit pertama kehidupan,
karena dapat merangsang apnoe, bradikardi dan bronkospasme.

Bila memerlukan penghisapan lendir selalu lakukan penghisapan pada


mulut terlebih dahulu, baru penghisapan hidung untuk meminimalkan risiko
aspirasi.Penghisapan cairan meconium dengan melakukan endotracheal
suctioning sudah tidak dianjurkan pada pedoman resusitasi neonatal 2015.

11
3. Penilaian Denyut Jantung
2010:
Meskipun penggunaan EKG tidak disebutkan pada tahun 2010,
beberapa cara menilai denyut jantung dapat berupa
a. Auskultasi denyut jantung secara intermiten.
b. Saat denyut terdeteksi, palpasi nadi tali pusat juga dapat
memberikan perkiraan denyut nadi secara cepat dan hasilnya lebih
akurat dibandingkan palpasi di tempat lain.
c. Pulse oksimeter dapat memberikan penilaian denyut jantung
berkelanjutan tanpa adanya gangguan dari tindakan resusitasi,
namun alat oksimeter memakan waktu 1 hingga 2 menit untuk
memperoleh hasil denyut jantung dan saturasi, dan mungkin tidak
berfungsi saat perfusi kurang baik.

2015
Selama resusitasi pada bayi cukup bulan dan bayi prematur,
penggunaan 3-lead EKG dapat menunjukkan hasil yang cepat dan
akurat dari denyut jantung bayi baru lahir. Penggunaan EKG tidak
menggantikan kebutuhan pulse oximetry untuk mengevaluasi
oksigenasi bayi yang baru lahir.6

4. Pemberian oksigen kepada bayi prematur


2010:
Hal yang wajar saat memulai resusitasi dengan udara ruangan (FiO 2
21%). Pemberian oksigen dapat diberikan dan dititrasi untuk mencapai
target saturasi oksigen preduktal. Sebagian besar data target saturasi
berasal dari bayi cukup bulan yang tidak diresusitasi, dan satu
penelitian dari bayi prematur yang membutuhkan resusitasi.

12
2015:
Resusitasi bayi prematur <35 minggu harus dimulai dengan oksigen
rendah (FiO2 21%-30%), dan konsentrasi oksigen harus dititrasi untuk
mencapai saturasi oksigen preduktal mendekati kisaran interkuartil
yang diukur pada bayi sehat setelah kelahiran pervaginam. Memulai
resusitasi pada bayi prematur yang baru lahir dengan oksigen yang
tinggi (FiO2 65% atau lebih besar) tidak dianjurkan. Rekomendasi ini
mencerminkan preferensi untuk tidak mengekspos bayi baru lahir
prematur dengan pemberian oksigen.6
Solberg R dkk12 menyatakan bahwa pemberian oksigen berpotensi
toksik yang mengakibatkan produksi radikal bebas yang berlebihan
sehingga mengakibatkan stress oksidatif.
Dari penelitian meta-analisis didapatkan bahwa tidak ada
perbedaan mortalitas antara penggunaan FiO2 yang tinggi dan yang
rendah pada bayi prematur.13

Gambar : Mortalitas dan nilai gabungan yang membandingkan


penggunaan fraksi inspirasi awal oksigen rendah (0.21-0.30)
dengan yang tinggi (0.60-1.00) untuk resusitasi/stabilisasi bayi
prematur dengan usia gestasi ≤32 minggu di ruang bersalin. RR
<1 mendukung kadar oksigen yang rendah.13

13
5. Penanganan hipotermi pasca resusitasi
2010:
Bila bayi lahir dengan usia >36 minggu atau lebih disertai
ensefalopati hipoksik-iskemik sedang hingga berat harus ditawarkan
terapi hipotermia. Terapi hipotermia harus diberikan dibawah
protokol yang jelas sesuai dengan yang digunakan dalam uji klinis
yang sudah dipublikasi dan di fasilitas dengan kemampuan perawatan
multidisiplin dan pemantauan jangka panjang
2015:
Penggunaan terapi hipotermia pada sumber daya yang terbatas (yaitu,
kurangnya staf yang berkualitas, peralatan yang tidak adekuat, dll)
dapat dipertimbangkan dan ditawarkan protokol yang sesuai dengan
yang digunakan dalam uji klinis yang telah dipublikasi dan di
fasilitas dengan kemampuan perawatan multidisiplin dan pemantauan
jangka panjang.
Terapi pada ensefalopati hipoksik-iskemik berpusat pada meredam
atau memblokir jalur biokimia yang menyebabkan kematian sel
neuron. Penurunan suhu tubuh 3°C hingga 5°C dari suhu tubuh
normal dapat mengurangi cedera otak. Pada Rumah Sakit Mount
Sinai, Toronto, target terapi hipotermi adalah untuk mencapai
temperatur rektal 33°C–34°C dan protokol dimulai dalam 6 jam
setelah bayi lahir. Hipotermia dipertahankan selama 72 jam,
kemudian bayi dihangatkan secara bertahap hingga ke suhu tubuh
normal 36.8°C–37°C.
Syarat untuk whole-body therapeutic hypothermia (WBTH)
adalah:14 Bayi dengan usia gestasi 35 minggu ditambah minimal 6
hari atau lebih dan terdapat dua dari kriteria sebagai berikut: y Skor
Apgar <5 saat usia 10 menit
a. pH tali pusat atau pH analisis gas darah <7 dalam usia 1 jam
b.Base deficit >16 mEq/L pada analisis gas darah dalam usia 1 jam
Setidaknya 10 menit ventilasi tekanan positif

14
6. Mempertahankan lingkungan suhu yang netral
Proses konduksi, konveksi, evaporasi maupun radiasi dapat
menyebabkan hipotermi atau hipertermi oleh karena itu keadaan yang
dapat memengaruhi efektivitas termoregulasi selama resusitasi harus
dicegah. Untuk mencegah keadaan tersebut maka perlu menjaga suhu
tubuh bayi antara 36,5–37,5°C.15 Adapun upaya untuk pengaturan
suhu antara lain:15 y Suhu ruangan yang hangat (24–26°C)
a. Tidak meletakkan bayi di bawah pendingin ruangan
b. Infant warmer dihangatkan terlebih dahulu sebelum bayi lahir
(untuk menghangatkan matras, kain, topi, dan selimut bayi)
c. Gunakan kain yang hangat dan kering saat mengeringkan bayi
d. Gunakan plastik bening untuk membungkus bayi dengan berat
<1500gram
e. Memakaikan topi pada kepala bayi
f. Gunakan matras penghangat untuk bayi <1000 gram
g. Gunakan inkubator transport yang sudah dihangatkan atau
transportasi dengan kontak skin-to-skin (metode kangguru)
pada fasilitas terbatas saat memindahkan bayi dari ruang
bersalin ke ruang perawatan

7. Bantuan respirasi di ruang persalinan


Pendekatan apa yang paling baik untuk menstabilkan bayi prematur
yang mempunyai risiko untuk berkembang menjadi sindrom distres
pernapasan:
a. Apakah kita menggunakan sustain inflation dan/atau positive end-
expiratory pressure (PEEP)?
Sustained inflation adalah strategi alternatif untuk mendukung
aerasi paru dengan cara menahan perpanjangan tekanan
mengembang untuk mencapai fungsi kapasitas residual.16
Dengan melakukan sustained inflation terjadi perubahan gas di
paru yang dapat kita lihat pada gambar dibawah ini. Masih

15
dibutuhkan penelitian yang lebih lanjut untuk menerapkannya
secara luas.

3. Apakah di ruang persalinan perlu dilakukan intubasi dan pemberian


surfaktan profilaksis dan dilanjutkan dengan dukungan ventilator? Dalam
penelitian the Surfactant, Positive Pressure, and Pulse Oximetry
Randomized Trial (SUPPORT) study group of the Eunice Kennedy
Shriver National Institute of Child Health and Human Development
(NICHD) Neonatal research network yang melakukan penelitian pada
1316 bayi dengan usia gestasi 24-27 minggu. Bayi tersebut di
randomisasi untuk mendapat intubasi dan surfaktan atau continuous
positive airway pressure (CPAP) dalam 1 jam pertama setelah lahir. Dari
penelitian ini didapatkan kelompok yang diintubasi dan surfaktan lebih
Apakah di ruang persalinan melakukan intubasi dan pemberian surfaktan
profilaksis tanpa dilanjutkan dengan bantuan ventilator?
Sandri dkk19, CURPAP study group melakukan penelitian pada 208
bayi usia gestasi 25-28 minggu yang di randomisasi kedalam kelompok
CPAP atau intubasi dan diberikan surfaktan kemudian di extubasi ke
CPAP dalam 30 menit. Dari penelitian ini didapatkan hasil bahwa 78%
bayi tidak mengalami displasia bronkopulmonal pada kedua kelompok
sehingga surfaktan profilaksis tidak lebih superior dibandingkan CPAP
dini dan rescue surfaktan (surfaktan yang terindikasi).

Rojas dkk20 melakukan Cochrane meta-analisis membandingkan


antara surfaktan profilaksis versus rescue surfactant (surfaktan
terindikasi) pada bayi prematur yang mengalami distress pernapasan
dengan luaran berupa penyakit paru kronik dan kematian. Dari meta-
JHanalisis ini didapatkan bahwa penyakit paru kronik atau kematian lebih
sedikit pada yang mendapat surfaktan terindikasi dibandingkan surfaktan
profilaksis.

Profilaksis surfaktan sebaiknya dihindari oleh karena surfaktan


membutuhkan intubasi. Sering setelah pemberian surfaktan profilaksis
bayi mendapat ventilasi tekanan positif dan ventilasi mekanik. Dari

16
penelitian menunjukkan bahwa keuntungan pemberian surfaktan
profilaksis terjadi diera dimana penggunaan antenatal steroid rendah dan
penggunaan CPAP yang minimal.

G. Langkah-langkah stabilisasi pasca resusitasi

Program S.T.A.B.L.E dirancang sebagai sumber informasi tentang stabilisasi


neonatus untuk semua kalangan fasilitas kesehatan. Tujuannya adalah sebagai
referensi tindakan stabilisasi yang telah dilakukan pasca resusitasi /pre-
transport pada bayi yang sakit. Tujuan lainnya adalah memperbaiki
keselamatan pasien, dengan melakukan standariasi prosedur, mendukung
kerja tim, mengidentifikasi kesalahan yang terjadi dan mengurangi kondisi
merugikan yang dapat dicegah

1. S-Sugar and safe care (kadar gula darah dan perawatan yang aman)
Pasca resusitasi bayi rentan mengalami hipoglikemia.22 Risiko
hipoglikemia dapat terjadi pada bayi kecil masa kehamilan, bayi besar
masa kehamilan, bayi dengan hipotermia, bayi dari ibu diabetik, bayi dari
ibu yang memperoleh pengobatan propranolol, obat hipoglikemia oral,
atau infus glukosa saat persalinan. Bayi sakit butuh dipuasakan untuk
mencegah aspirasi, mengurangi kejadian cedera iskemik terkait
penurunan aliran darah ke usus, serta adanya obstruksi usus dan berisiko
mengalami hipoglikemia saat dipuasakan.22,23 Pada neonatus kadar
glukosa harus dipertahankan dalam rentang normal (50-110 mg/dL).
Pemeriksaan kadar gula darah dilakukan dalam 30-60 menit
setelah lahir terutama pada bayi yang sakit atau bayi dengan risiko
hipoglikemia. Pemeriksaan dapat diulang dalam 1-3 jam sesuai hasil
pemeriksaan kadar gula darah dan kondisi bayi.
Bayi sakit yang dipuasakan dengan kadar gula darah <50mg/dL
harus diterapi dengan cairan glukosa intravena dengan langkah sebagai
berikut:
a. Berikan bolus Dextrose 10% (D10) sebanyak 2 mL/kg dengan
kecepatan 1mL per menit. Hindari pemberian bolus D25 atau D50
karena dapat menyebabkan hiperglikemia dan hipoglikemia rebound.

17
b. Pada pemeliharaan berikan infus D10 sebanyak 60-80 mL/kg/hari
(GIR 4.2-5.5 mg/kg/menit). Periksa kembali kadar gula darah 15-
30 menit setelah pemberian bolus atau setiap peningkatan
kecepatan infus glukosa.

c. Dokumentasikan hasil terapi.


d. Bila kadar gula darah tetap <50 mg/dL, ulangi bolus D10 2 mL/kg.
e. Bila kadar gula darah tetap < 50 mg/dL setelah 2 kali bolus D10,
ulangi bolus (jumlah glukosa intravena ditingkatkan hingga 100-
120mL/kg/ hari atau konsentrasi glukosa intravena ditingkatkan
menjadi D12,5 atau D15.
f. Evaluasi kadar gula darah setiap 30-60 menit hingga mencapai
>50mg/ dL, lakukan minimal 2 kali pemeriksaan berurutan.
g. Apabila didapatkan kadar gula darah >150mg/dL pada 2
pemeriksaan berurutan, pertimbangkan stres atau prematuritas
sebagai penyebab. Kadar gula darah >250 mg/dL yang tidak
membaik memerlukan pemberian insulin dan butuh konsultasi
kepada ahli neonatologi atau endokrinologi.
h. Cairan dekstrosa >12,5% harus diberikan melalui vena umbilikal.
i. pemberian minum secara dini dalam 30-60 menit setelah lahir yang
dilanjutkan minimal setiap 3 jam atau lebih sering
j. mulai pemberian infus dekstrosa 10% sebanyak 60 mL/kg/hari bila
pemberian nutrisi secara enteral tidak memungkinkan.

2. T-Temperatur
Pemeliharaan suhu tubuh normal harus menjadi prioritas baik untuk bayi
sehat atau sakit. Pada bayi cukup bulan yang sehat, kegiatan untuk
mencegah hipotermia termasuk mengganti linen basah, menutup tubuh
bayi dengan selimut hangat, meletakkan bayi di dada ibu, tutup kepala
bayi dengan topi dan bayi diberi pakaian. Pada bayi sakit atau prematur,
prosedur perawatan normal diganti dengan kegiatan resusitasi dan
stabilisasi. Selama resusitasi dan stabilisasi, risiko stres dingin dan

18
hipotermia meningkat oleh karena itu perawatan ekstra harus dilakukan
untuk mencegah hipotermia.
Suhu aksila normal pada bayi baru lahir berkisar antara 36,5–37,5°C.
Pemantauan suhu dilakukan setiap 15-30 menit hingga bayi dapat
mencapai suhu normal dan minimal setiap jam hingga bayi dipindahkan.
Bayi yang memiliki risiko lebih besar untuk mengalami hipotermia
adalah bayi kurang bulan, bayi berat lahir rendah (terutama <1500 gram)
dan bayi kecil masa kehamilan. Hal ini disebabkan karena rasio
permukaan tubuh dibanding massa tubuh yang lebih luas, jumlah lemak
yang lebih sedikit, kulit tipis, kemampuan vasokonstriksi rendah, tonus
dan kemampuan fleksi rendah, serta simpanan lemak coklat yang lebih
sedikit. Risiko hipotermia juga dimiliki oleh bayi:
a. Bayi yang embutuhkan resusitasi berkepanjangan (terutama jika
disertai hipoksia)
b. Bayi dengan penyakit akut (infeksi, masalah jantung, neurologi,
endokrin, dan yang memerlukan pembedahan terutama dengan defek
dinding tubuh)
c. Bayi yang kurang aktif atau hipotoni akibat obat sedatif, analgesik,
paralitik, atau anestesi.
d. Suhu ruangan ditingkatkan menjadi 25–28°C dan tidak meletakkan
bayi di bawah pendingin ruangan.
e. Posisikan bayi di bawah infant warmer selama resusitasi atau tindakan
pada bayi.
f. Menghangatkan benda yang akan bersentuhan dengan bayi (tempat
tidur, stetoskop, selimut, dan tangan pemeriksa)
g. memakaikan topi.
h. membungkus bayi (< 1500 gram) dengan plastik bening, jangan
sampai menutup wajah atau menghambat jalan napas.
i. Oksigen yang akan diberikan dihangatkan dan dilembabkan dahulu.
j. Menghangatkan inkubator sebelum meletakkan bayi di dalamnya.
k. Menggunakan inkubator transport yang telah dihangatkan atau kontak
skin-to-skin saat pemindahan bayi dari kamar bersalin

19
20
3. A-Airway (Jalan napas)
Distres napas merupakan sebuah alasan utama bayi membutuhkan
perawatan. Evaluasi distres napas harus dilakukan selama
stabilisasi. Komponen yang dievaluasi mencakup:22,23
a. Laju napas
Laju napas normal bayi berkisar antara 40-60 kali per menit. Tanda
bayi mengalami kelelahan bernapas adalah bila napas kurang dari
30 kali per menit disertai dengan penggunaan otot napas tambahan.
b. Usaha napas
Termasuk penilaian air entry, retraksi, merintih, napas cuping
hidung, dan apnea.
c. Kebutuhan oksigen
Kebutuhan oksigen harus disesuaikan dengan kondisi klinis bayi
dan saturasi oksigen. Oksigen dititrasi untuk mempertahankan
target saturasi oksigen.
d. Saturasi oksigen
Saturasi oksigen dipertahankan antara 88-92% dan pengukuran
saturasi sebaiknya dilakukan pada pre-duktal (tangan kanan) dan
postduktal (salah satu kaki). Perbedaan saturasi preduktal dan
postduktal yang lebih dari 10% menandakan adanya pirau.
e. Gas darah
Pemeriksaan analisis gas darah dilakukan jika bayi membutuhkan
oksigen atau kemungkinan mengalami syok. Penilaian ini penting
untuk menentukan derajat distres napas serta membantu diagnosis
dan tatalaksana distres napas. Hasil analisis gas darah arteri yang
normal pada bayi baru lahir adalah:

21
Arteri Kapiler
pH 7.30 7.30-7.45
pCO2 35-45 mmHg 35-50 mmHg
pO2 (dalam udara
ruangan) 50-80 mmHg 35-45 mmHg
Bikarbonat (HCO3) 19-26 mEq/L 19-26 mEq/L
Base excess -4 sampai +4 -4 sampai +4

Penilaian derajat gangguan napas pada bayi baru lahir dapat


dilakukan dengan menggunakan skor Downe (Downe score). Skor
ini yang dapat digunakan pada berbagai kondisi dan usia gestasi.
Distres napas adalah suatu manifestasi klinis yang disebabkan oleh
berbagai kelainan yang melibatkan paru maupun organ selain paru.
Jika laju napas > 60kali/menit disertai pCO2 yang tinggi maka
penyebab distres napas bisa berasal dari paru seperti sindrom gawat
napas, pneumonia, aspirasi, perdarahan paru, obstruksi jalan napas,
serta pneumotoraks, sedangkan jika pCO2 rendah maka distres
napas mungkin disebabkan oleh organ di luar paru.

4. B-Blood pressure (Tekanan darah)


Kegagalan untuk segera mengenali dan mengatasi keadaan syok
(hipovolemik, kardiogenik, septik) dapat menyebabkan kegagalan
multi organ dan bahkan kematian pada bayi baru lahir, sehingga
pengobatan harus cepat dan agresif.
Langkah pertama dalam pengobatan syok adalah untuk
mengidentifikasi sumbernya. Langkah kedua adalah mengidentifikasi
dan memperbaiki masalah yang terkait atau yang mendasari yang
dapat mengganggu.

22
Secara umum syok dibedakan menjadi 3 bentuk yaitu:

a. Syok hipovolemik adalah disfungsi sirkulasi yang disebabkan oleh volume


sirkulasi darah yang rendah. Penyebabnya dapat berupa perdarahan
maupun yang bukan perdarahan (misal kebocoran kapiler, dehidrasi,
hipotensi fungsional)
b. Syok kardiogenik adalah disfungsi sirkulasi yang disebabkan oleh fungsi
otot-otot jantung yang lemah (gagal jantung). Kondisi ini dapat terjadi
pada bayi dengan asfiksia, hipoksia dan/ atau asidosis metabolik, infeksi,
gangguan napas berat (membutuhkan bantuan ventilasi), hipoglikemia
berat, kelainan metabolik dan/ atau gangguan elektrolit berat, aritmia, dan
penyakit jantung bawaan.
c. Syok septik adalah disfungsi sirkulasi yang disebabkan oleh reaksi
sistemik kompleks sebagai respons terhadap infeksi berat. Syok septik
sering memberikan respons yang kurang baik terhadap resusitasi cairan
sehingga bayi membutuhkan obat inotropik atau vasopresor untuk
mengatasi tekanan darah yang rendah.
5. E-Emotional support (Dukungan emosional)
Emosi yang orang tua alami ketika bayi mereka sakit dan atau
prematur adalah rasa bersalah, marah, tidak percaya, perasaan gagal,
ketidakberdayaan, ketakutan, menyalahkan, dan depresi. Pada
umumnya, pada periode awal setelah onset penyakit bayi, orang tua
mungkin tidak mengekspresikan emosi tertentu, tetapi mungkin
muncul “mati rasa”. Mereka mungkin tidak tahu pertanyaan apa yang
harus ditanyakan, atau apa yang harus dilakukan dalam situasi yang
mereka tidak harapkan atau siap. Rasa bersalah dan rasa tanggung
jawab untuk situasi ini mungkin yang pertama dialami oleh ibu. Bila
memungkinkan, berikan dukungan dan bantuan untuk membantu
keluarga mengatasi krisis ini dan kesedihan mereka.

23
Orangtua/ keluarga sebaiknya diberi dukungan sejak awal hingga bayi
menjalani perawatan meliputi :
a. Mengijinkan ibu untuk melihat bayi.
b. Memberikan ucapan selamat atas kelahiran bayi dan memanggil
bayi dengan nama yang sudah dipersiapkan oleh keluarga.
c. Mengambil foto dan jejak kaki bayi.
d. Menawarkan dukungan tambahan dari pihak lain seperti kerabat atau
pemuka agama.
e. Memberikan penjelasan yang sederhana namun akurat kepada
orangtuaterkait kondisi bayi dan rencana tatalaksana yang akan
diberikan.
f. Memberikan kesempatan kepada orangtua untuk bertanya mengenai
kondisi bayi.
g. Melibatkan peran orangtua dalam perawatan bayi dan pengambilan
keputusan terkait tatalaksana.

24
PENUNTUN BELAJAR KETERAMPILAN
RESUSITASI PADA BAYI BARU LAHIR
Langkah- Keterangan
langkah/Kegiatan
Persiapan awal

Periksa semua kelengkapan alat

Langkah awal
1. Letakkan bayi di bawah pemancar panas yang telah
dinyalakan sebelumnya.
2. Letakkan bayi dengan kepala sedikit tengadah/sedikit ekstensi.
3. Hisap mulut kemudian hidung
4. Keringkan tubuh dan kepala dari cairan amnion
5. Singkirkan kain basah.
6. Perbaiki posisi kepala bayi agar leher agak tengadah.
Buka jalan napas
1. Bersihkan mulut dan hidung bayi dengan penghisap.
2. Posisikan bayi terlentang, kepala posisi tengadah jangan
melakukan ekstensi yang berlebihan
3. Berikan ganjal punggung dengan kain setebal 2.5 cm bila
kepala bayi besar atau occiputnya menonjol.
4. Jika pernapasan dangkal atau tersengal-sengal segera hisap
lendir mulai dari mulut kemudian hidung. Pengisapan jangan
terlalu lama (6 detik).
5. Evaluasi pernapasan, frekuensi jantung, dan warna kulit.
6. Jika ketuban keruh atau bercampur meconium kental bila
bayi menunjukkan usaha napas yang baik, tonus otot yang
baik, dan frekuensi jantung lebih dari 100 kali/menit, anda
cukup membersihkan sekret dan mekonium dari mulut dan
hidung dengan menggunakan balon penghisap
yang biasa digunakan atau kateter penghisap berukuran 12F

25
atau 14F.
Rangsangan taktil
Cara rangsang taktil yang aman :
1. Menepuk / menyentil telapak kaki
2. Menggosok punggung/perut/dada/ekstremitas
Evaluasi kondisi bayi
1. Nilai pernapasan bayi dengan melihat pengembangan dada
dan warna kulit. Dengaran suara napas di seluruh lapangan
paru dengan stetoskop.
2. Nilai denyut jantung dengan mendengar irama jantung
dengan stetoskop. Hitung frekwensi denyut jantung
3. Nilai warna kulit apakah kemerahan/sianosis perifer atau
sianosis
sentral.
Pemberian napas bantu
1. Jika pernapasan tetap tersengal atau apnu setelah rangsangan
singkat, segera berikan pernapasan buatan atau ventilasi
tekanan positif dengan oksigen 100 %.
2. Posisikan kepala bayi sedikit ekstensi atau ganjal bahu
3. Bersihkan sekret terlebih dahulu dan pastikan jalan napas
bersih.
4. Pasang pipa orofaring
5. Letakkan sungkup di wajah bayi dengan rapat agar tidak
bocor melalui sisi sungkup
6. Berikan tekanan positip melalui bag-valve-mask (ambubag)
dengan lembut sambil melihat pengembangan dada bayi.
7. Selanjutnya evaluasi lagi pernapasan dan denyut jantung
secara simultan.
8. Bila ventilasi tekanan positip tidak efektif dapat dilakukan
intubasi
endotrakeal.
Pijat Jantung (penekanan dada)
1. Indikasi pijat jantung bila setelah 30 detik dilakukan VTP

26
dengan 100% O2 , FJ tetap < 60 kali / menit
2. Diperlukan 2 orang : 1 orang yang melakukan pijat jantung dan 1
orang yang terus melanjutkan ventilasi.
Pelaksana kompresi : menilai dada & menempatkan posisi tangan
dengan benar
Pelaksana ventilasi : menempatkan sungkup wajah secara efektif
& memantau gerakan dada.
3. Penekanan dada dilakukan pada sepertiga bagian tengah sternum,
dibawah garis imajiner yang menghubungkan papilla mammae.
4. Teknik ibu jari :
a. Kedua ibu jari menekan tulang dada
b. Kedua tangan melingkari dada dan jari-jari tangan
menopang bagian belakang bayi
5. Teknik dua jari :
a. Ujung jari tengah dan jari telunjuk atau jari manis
dari satu tangan digunakan untuk menekan tulang
dada
b. Tangan yang lain digunakan untuk menopang bagian belakang
bayi.
6. Lokasi untuk kompresi dada :
a. Gerakkan jari sepanjang tepi bawah iga sampai mendapatkan
sifoid
Letakkan ibu jari atau jari-jari lain pada tulang dada, tepat diatas
sifoid dan pada garis yang menghubungkan kedua puting susu.
7.Tekanan saat kompresi dada :
a. Kedalaman + 1/3 diameter antero-posterior dada
b. Lama penekanan lebih singkat dari pada lama pelepasan
c. Jangan mengangkat ibu jari atau jari-jari tangan dari
dada di antara penekanan.
8. Frekuensi : ”satu-dua-tiga-pompa-...”
Satu siklus kegiatan terdiri atas tiga kompresi + satu
ventilasi. Rasio 3 :1 →1 siklus ( 2detik)

27
 1½ detik : 3 kompresi dada
 ½ detik : 1 ventilasi
 90 kompresi + 30 ventilasi dalam 1 menit
9. Setelah 30 detik kompresi dada dan ventilasi , periksa
frekuensi
jantung. Jika frekuensi jantung :
a. Lebih dari 60 kali/menit, hentikan kompresi dan
lanjutkan
ventilasi dengan kecepatan 40-60 kali pompa/menit.
b. lebih dari 100 kali/menit, hentikan kompresi dada dan
hentikan ventilasi secara bertahap jika bayi bernapas
spontan.
kurang dari 60 kali/menit, lakukan intubasi pada bayi jika belum
dilakukan, dan berikan epinefrin, lebih disukai dengan cara intravena.
Intubasi menyediakan cara yang lebih terpercaya untuk melanjutkan
ventilasi

28
DIAGRAM ALUR RESUSITASI NEONATUS
(sesuai Pedoman AAP/AHA 2006)

29
Perawdan Rutin
Cukup bulan† Berikan kehangatan
Air ketuban Y Bersihkan jalan napas
jemih† a - Iteringkan
Nilai warna kulii
Tonus otot baik7
BAB III
PENUTUP
Berikan kehangaan†
Posisikan, bersihkan
A. Kesimpulan
jalan napas ” (bila perlu)
Xeringkan, rangsang, reposisi
Resusitasi merupakan sebuah upaya menyediakan oksigen ke otak, jantung dan
organ-organ vital lainnya melalui sebuah tindakan yang meliputi pemijatan
jantung dan menjamin ventilasi yang adekuat (Rilantono,
* Bernapas Perawa
2010). Tindakan ini
Evaluasi pemapasan, FJ,
dan tindakan kritis yang dilakukan
merupakan rJ > pada saattanterjadi kegawatdaruratan
warna kulit 100, Observ
terutama pada sistem pernafasan dan sistem kardiovaskuler.
Kemera
asi Kegawatdaruratan
Apnu
pada kedua sistem dapat han
tubuh ini 02
Beri tambahan menimbulkan kematian dalam waktu yang
^'^u FJ
« f00
singkat (sekitar 4-6 menit).
1. Kebanyakan bayi prematur memerlukan stabilisasi atau resusitasi.
Perawatan Pasca
2. Penghisapan lendir tidak direkomendasikan secara rutin, membersihkan
Resusitasi
mulut dan hidung sudah cukup.
3. Penundaan penjepitan tali pusat direkomendasikan hingga napas pertama.
4. Pengaturan suhu sangatlah penting, bungkus bayi usia gestasi sangat kecil
dengan plastik bening.
5. Resusitasi bayi cukup bulan dengan oksigenasi awal 21% dan bayi dengan
usia gestasi sangat kecil dengan FiO2 21-30%
6. Ventilasi dengan CPAP dini kemudian pemberian surfaktan
jikadiperlukan lebih efisien daripada pemberian surfaktan kemudian
CPAP. y Resusitasi masih memerlukan penelitian, dengan teknik yang
menjanjikan.
7. Stabilisasi perlu dilakukan dengan melaksanakan program STABLE
(Sugar, Temperature, Airway, Blood pressure, Laboratorium work up,
Emotional support).

30
B. Saran

1. Tenaga kesehatan harus dapat mengetahui tanda dan gejala secara dini
agar dapat melakukan penanganan segera

2. Dengan asuhan kebidanan yang diberikan, diharapkan dapat memberi


gambaran pengalaman bahwa segera akan memberikan damapak yang
tidak merugikan untuk di masa yang akan datang .

3. Meningkatkan upaya-upaya untuk KIA, Promotif, preventive, kuratif, dan


rehabilitatif, kepada masyarakat, sehingga ikut berperan serta dalam upaya
menurunkan  Angka Kematian Bayi.

4.

31
DAFTAR PUSTAKA

Makene CL, Plotkin M, Currie S, Bishanga D, Ugwi P, Louis H, et al.


Improvements in newborn care and newborn resuscitation following a
quality improvement program at scale: results from a before and after
study in Tanzania. BMC Pregnancy and Childbirth 2014, 09:38

American Heart Association. Web-based Integrated Guidelines for


Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care –
Part 13: Neonatal Resuscitation. 2015. Diunduh dari
ECCguidelines.heart.org.

Saugstad OD, Aune D, Aguar M, Kapadia V, Finer N, Vento M. Systematic


review and meta-analysis of optimal initial fraction of oxygen levels in
the delivery room at ≤32 weeks. Acta Paediatr 2014;103(7):744-51

Foglia EE, Kirpalani H. Sustained Inflation. Neoreviews 2016;17. Diunduh


dari http://neoreviews.aappublications.org/content/17/1/e8

UKK Rohsiswatmo R, Rundjan L. Resusitasi Neonatus. UKK Neonatologi IDAI


2014.

32

Anda mungkin juga menyukai