Anda di halaman 1dari 16

TUGAS HUKUM ISLAM

HUKUM ISLAM DI INDONESIA

DISUSUN OLEH
MANSUR (NIM. 18110039)

DOSEN PEMBIMBING :
M. SARIP, S.Sy, M.SI

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS TAMANSISWA PALEMBANG
2019
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Indonesia memiliki landasan filosofis sebagai dasar dalam praktik
penyelenggaraan negara yaitu Pancasila. Para pendiri bangsa meletakkan sila
Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertama yang menjiwai sila-sila
dibawahnya. Hal ini merupakan bukti bahwa bangsa Indonesia mengakui adanya
Tuhan.
Indonesia mengakui 6 agama yaitu Islam, Kristen, Khatolik, Hindu,
Budha, dan Konghucu. Sekitar 87% penduduk Indonesia beragama Islam. Hal
inilah yang menjadi salah satu dasar diberlakukannya hukum Islam.di Indonesia.
Islam masuk Indonesia dikuti masukya kerajaan-karajaan Islam.Sejak
agama Islam mulai dianut oleh penduduk Indonesia, maka dengan itu hukum
Islam pun mulai berlaku dalam tata kehidupan bermasyarakat, kaidah hukum
diajarkan sebaagai pedoman kehidupan setelah terlebih dahulu mengalami
institusionalisasi dari proses interaksi sosial. Inilah hukum Islam mulai
mangakar menjadi sistem hukum Islam dalam masyarakat.
Penyebaran Islamdi Indonesia yang berlansung secara bertahap
menyebabkan pemberlakuan hukum Islam pun mengalami pentahapan.Selain itu
Masyarakat pada umunya sudah memiliki aturan atau adat istiadat
sendiri,sehingga ketika Islam datang terjadilah akulturasi antara hukum Islam
dengan hukum adat. Perkembangan hukumIIslam juga dipengaruhi oleh
kebijakan pemerintah yang sedang berkuasa.
Dalam makalah ini akan dibahas mengenai perkembangan hukum Islam
dari masa kerajaan Islam hingga masa reformasi.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Sejarah Masuknya Islam di Indonesia


2.1.1 Teori Gujarat
Teori berpendapat bahwa agama Islam masuk ke Indonesia pada
abad 13 dan pembawanya berasal dari Gujarat (Cambay), India. Dasar dari
teori ini adalah:
a. Kurangnya fakta yang menjelaskan peranan bangsa Arab dalam
penyebaran Islam di Indonesia.
b. Hubungan dagang Indonesia dengan India telah lama melalui jalur
Indonesia – Cambay – Timur Tengah – Eropa.
c. Adanya batu nisan Sultan Samudra Pasai yaitu Malik Al Saleh tahun
1297 yang bercorak khas Gujarat.
Pendukung teori Gujarat adalah Snouck Hurgronye, WF
Stutterheim dan Bernard H.M. Vlekke. Para ahli yang mendukung teori
Gujarat, lebih memusatkan perhatiannya pada saat timbulnya kekuasaan
politik Islam yaitu adanya kerajaan Samudra Pasai. Hal ini juga
bersumber dari keterangan Marcopolo dari Venesia (Italia) yang pernah
singgah di Perlak ( Perureula) tahun 1292. Ia menceritakan bahwa di
Perlak sudah banyak penduduk yang memeluk Islam dan banyak
pedagang Islam dari India yang menyebarkan ajaran Islam.
2.1.2 Teori Makkah
Teori ini merupakan teori baru yang muncul sebagai sanggahan
terhadap teori lamayaitu teori Gujarat. Teori Makkah berpendapat bahwa
Islam masuk ke Indonesia pada abad ke 7 dan pembawanya berasal dari
Arab (Mesir). Dasar teori ini adalah:
a. Pada abad ke 7 yaitu tahun 674 di pantai barat Sumatera sudah
terdapat perkampungan Islam (Arab); dengan pertimbangan bahwa
pedagang Arab sudah mendirikan perkampungan di Kanton sejak abad
ke-4. Hal ini juga sesuai dengan berita Cina.
b. Kerajaan Samudra Pasai menganut aliran mazhab Syafi’i, dimana
pengaruh mazhab Syafi’i terbesar pada waktu itu adalah Mesir dan
Mekkah. Sedangkan Gujarat/India adalah penganut mazhab Hanafi.
c. Raja-raja Samudra Pasai menggunakan gelar Al malik, yaitu gelar
tersebut berasal dari Mesir.
Pendukung teori Makkah ini adalah Hamka, Van Leur dan T.W.
Arnold. Para ahli yang mendukung teori ini menyatakan bahwa abad 13
sudah berdiri kekuasaan politik Islam, jadi masuknya ke Indonesia terjadi
jauh sebelumnya yaitu abad ke 7 dan yang berperan besar terhadap proses
penyebarannya adalah bangsa Arab sendiri.
2.1.3 Teori Persia
Teori ini berpendapat bahwa Islam masuk ke Indonesia abad 13
dan pembawanya berasal dari Persia (Iran). Dasar teori ini adalah
kesamaan budaya Persia dengan budaya masyarakat Islam Indonesia
seperti:
a. Peringatan 10 Muharram atau Asyura atas meninggalnya Hasan dan
Husein cucu Nabi Muhammad, yang sangat di junjung oleh orang
Syiah / Islam Iran. Di Sumatra Barat peringatan tersebut disebut
dengan upacara Tabuik/Tabut. Sedangkan di pulau Jawa ditandai
dengan pembuatan bubur Syuro.
b. Kesamaan ajaran Sufi yang dianut Syaikh Siti Jennar dengan sufi dari
Iran yaitu Al – Hallaj.
c. Penggunaan istilah bahasa Iran dalam sistem mengeja huruf Arab
untuk tandatanda bunyi Harakat.
d. Ditemukannya makam Maulana Malik Ibrahim tahun 1419 di Gresik.
e. Adanya perkampungan Leren/Leran di Giri daerah Gresik. Leren
adalah nama salah satu Pendukung teori ini yaitu Umar Amir Husen
dan P.A. Hussein Jayadiningrat.
Ketiga teori tersebut, pada dasarnya masing-masing memiliki
kebenaran dan kelemahannya. Maka itu berdasarkan teori tersebut
dapatlah disimpulkan bahwa Islam masuk ke Indonesia dengan jalan
damai pada abad ke – 7 dan mengalami perkembangannya pada abad 13.
Sebagai pemegang peranan dalam penyebaran Islam adalah bangsa Arab,
bangsa Persia dan Gujarat (India).

2.2 Perkembangan Hukum Islam Di Indonesia


2.2.1 Masa Kerajaan Islam di Nusantara
Akar sejarah hukum Islam di kawasan nusantara menurut sebagian
ahli sejarah telah dimulai pada abad pertama hijriah, atau sekitar abad
ketujuh dan kedelapan Masehi. Sebagai gerbang masuk ke dalam kawasan
nusantara, di kawasan utara pulau Sumatra lah yang dijadikan sebagai titik
awal gerakan dakwah para pendatang muslim. Dan secara perlahan
gerakan dakwah itu kemudian membentuk masyarakat Islam pertama di
Peureulak, Aceh Timur. Berkembanganya komunitas muslim di wilayah
itu kemudian diikuti dengan berdirirnya kerajaan Islam pertama sekitar
abad ketiga belas yang dikenal dengan Samudera Pasai, terletak di wilayah
aceh utara.
Dengan berdirinya kerajaan Pasai itu, maka pengaruh Islam
semakin menyebar dengan berdirirnya kerajaan lainnya seperti kesultanan
Malaka yang tidak jauh dari Aceh. Selain itu ada beberapa yang ada di
jawa antara lain kesulatanan demak, mataram, dan cirebon. Kemudian di
daerah sulawesi dan maluku yang ada kerajaan gowa dan kesultanan
ternate serta tidore.
Hukum Islam pada masa ini merupakan sebuah fase penting dalam
sejarah hukum Islam di Indonesia. Dengan adanya kerajaan-kerajaan Islam
menggantikan kerajaan Hindu-Budha berarti untuk pertama kalinya hukum
Islam telah ada di Indonesia sebagai hukum positif. Hal ini terbukti dengan
fakta-fakta dengan adanya literatur-literatur fiqih yang ditulis oleh para
ulama’ nusantara pada abad 16 dan 17 an. Zaman para penguasa ketika itu
memposisikan hukum Islam sebagi hukum Negara.
Hukum Islam di berlakukan oleh raja-raja di Indonesia dengan cara
mengangkat ulama-ulama untuk menyelesaikan sengketa. Bentuk
peradilannya berbeda-beda tergantung dengan bentuk peradilan adat.
Karena palaksanaan peradilan yang bercorak Islam  dilakukan dengan cara
mencampurkan (mengawinkan) dengan bentuk peradilan Adat di
Indonesia pada kerajaan-kerajaan di jawa pada pelaksanaannya ahli hukum
Islam memliki tempat yang terhomat yang kemudian di kenal dengan
sebutan penghulu di mana tugasnya disamping sebagai ulama juga
menyelesaikan perkara-perkara perdata, perkawinan, dan kekeluargaan,
proses penyelesaian (peradilan) di selesaikan di manjid.
Secara yuridis raja-raja di Indonesia memberlakukan hukum Islam
akan tetapi tidak dalam konteks peraturan atau perundang-undangan
kerajaan. Hukum Islam di berlakukan dalam kontek ijtihad ulama,
permasalahan-permaslahan yang terjadi terkadang tidak bias di selesaikan
oleh perundanga-undangan kerajaan maka terkadang di tanyakan kepada
Ulama. Saat itulah ulama melakukan ijtihad atau menyandarkan
pendapatnya kepada kitab-kitab fiqh. Dengan pola ini mazhab imam 4
syafii’I, Hanafi, Maliki,  dan Hambali berkembang di Indonesia hingga
saat ini. Sistem hokum Islam terus berjalan bersamaan dengan system
hokum adat di Indonesia hingga masuknya kolonialisasi yang dilakukan
oleh Negara-negar barat di Indonesia. Semula pedagang dari Portugis,
Kemudian Spayol, di susul oleh Belanda, dan Inggris.
Pada masa Kerajaan/kesultanan Islam di Nusantarahukum Islam
dipraktekkan oleh masyarakat dalam bentuk yang hampir bisa dikatakan
sempurna (syumul), mencakup masalah mu’amalah, ahwal al-syakhsiyyah
(perkawinan, perceraian dan warisan), peradilan, dan tentu saja dalam
masalah ibadah.
Hukum Islam juga menjadi sistem hukum mandiri yang digunakan
di kerajaan-kerajaan Islam nusantar. Tidaklah berlebihan jika dikatakan
pada masa jauh sebelum penjajahan belanda, hukum Islam menjadi hukum
yang positif di nusantara.
Islam menjadi pilihan bagi masyarakat karena secara teologis
ajarannya memberikan keyajinan dan kedamaian bagi penganutnya.
Masyarakat pada periode ini dengan rela dan patuh, tunduk dan mengikuti
ajaran-ajaran Islam dalam berbagai dimensi kehidupan. Namun keadaan
itu kemudian menjadi terganggu dengan datangnya kolonialisme barat
yang membawa misi tertentu, mulai dari misi dagang, politik bahkan
sampai misi kristenis

2.2.2 Masa Kolonial ( Abad XVIII-pertengahan abad XX )


Bangsa asing yang pernah menjajah Indonesia adalah Portugis,
Belanda, Inggris dan Jepang. Dari keempatnya, Belanda yang paling lama
dan memberikan pengaruh yang cukup besar dalam berbagai sistem
kehidupan masyarakat, termasuk dalam hukum Islam.
Sejarah perkembangan hukum Islam pada masa kolonial terbagi
dalam dua periode, yaitu periode in complexu dan periode receptie.
Pereiode pertama terjadi pada abad ke-17 higgga akhir abad 18, yaitu pada
saat awal pemerintahan Belanda. Periode ini disebut juga dengan
pemberlakuan hukum Islam sepenuhnya bagi orang Islam. Misalnya
hukum keluarga Islam, terutama yang menyangkut perkawinan dan
kewarisan diaplikasikan sepenuhnya.
Bahkan pada tanggal 25 Mei 1670 Belanda memberikan pengakuan
atas kedudukan hukum Islam sebagai hukum yang berlaku. Melalui VOC,
dikeluarkanlah Resolute de Indieshe Regeering yang berisi pemberlakuan
hukum waris dan perkawinan Islam pada pengadilan VOC bagi orang
Indonesia. Resolusi ini dikenal dengan nama Compendium Freijer, yang
merupakan legislasi hukum Islam pertama di Indonesia.
Legislasi lainnya adalah pepakem Cirebon yang dibuat atas usul
residen Cirebon, Mr.P.C.Hosselaar. Aturan ini merupakan kompilasi kitab
hukum Jawa Kuno. Aturan ini dipakai sebagai pedoman dalam
memutuskan perkara perdata dan pidana di wilayah Kesultanan Cirebon.
Pepakem ini kemudian diadopsi oleh Sultan Bone dan Goa untuk dijadikan
undang-udang.Kebijakan adopsi terhadap hukum Islam berlangsung
hingga masa pemerintahan Gubernur Jendral Daendels (1808-1811).
Periode kedua ditandai dengan munculnya kebijakan yang bersifat
intervensionis terhadap hukum Islam dan hukum adat. Masa inilah terjadi
represi dan eliminasi terhadap pemberlakuan hukum Islam. Periode ini di
mulai ketika terjadi transfer kekuasaan dari VOC kepada pemerintah
kerajaan Belanda. Pemerintah kerajaan belanda melakukan represi
terhadap hukum Islam dengan cara mengonfrontasikannya dengan hukum
adat. Kebijakan-kebijakan hukum pemerintah Belanda ditujukan untuk
meminimalisir dan mengeliminir peran hukum Islam. Pada masa ini
muncul peraturan-peratutan yang mensubordinasikan hukun Islam di
bawah Hukum adat.
Upaya pertama Belanda untuk mengurangi fungsi dan peran sistem
hukum Islam adalah dengan memperlemah institusi peradilannya. Pada
tahun 1824 fungsi penghulu sebagai penasehat hukum dihapus. Pada
tanggal 24 Januari 1882 Belanda mengeluarkan Stbl 1882 No.152 tentang
berdirinya peradilan agama di Jawa dan Madura. Pengadilan ini dipimpin
oleh seorang penghulu dan dibantu oleh para ulama. Berdirinya lembaga
ini menjukkan adanya pengakuan yuridis pemerintah Belanda terhadap
keberadaan hukum Islam.
Akibat dari pelembagaaan peradilan Islam adalah, bahwa setiap
keputusan harus diratifikasikan kepada pengadilan umum sebelm
diimplementasikan. Hal ini jelas merugikan penghulu, karena pada
kenyataannya nasehat-nasehat dari penghulu sering dikesampingkan.
Akibatnya terjadi ketegangan antara umat Islam dengan pemerintah
kolonial. Menyadari situasi ini pada tahun 1889 dibentuk Kantor Urusan
Pribumi yang diharapkan mampu meningkatkan saling pengertian
antarapenjajah dengan masyarakat jajahan.
Direktur pertama dari kantor ini adalah Dr. Christian Snouck
Hurgronje ( 1867-1936 ). Tugas dari lembaga ini adalah memberikan advis
kepada pemerintah Belanda dalam merumuskan kebijakan terhadap umat
Islam. Berdasarkan penelitiannya Snouck menemukan metode yang
menjadi dasar kebijakan pemerintah yaitu toleransi dalam kehidupan
agama dan kehati-hatian dalam menghadapi perluasan control politik
Islam. Menurut Snouck, hukum Islam baru berlaku bila diterima atau
dikehendaki oleh hukum adat.
Upaya mengontrol operasionalisasi hukum Islam juga dilakukan
Belanda. Pada tahun 1929 muncul undang-undang perkawinan yang
menempatkan penghulu sebagai pejabat pemerintah yang berada di bawah
kontrol bupati. Keadaan ini memudahkan Belanda untukmenguasai dan
mengintervensi pelaksanaan hukum Islam.
Pada tahun 1931 keluar Stbl No.53 tahun 1931 yang berisi 3 hal,
yaitu: (1) priesterred akan dihapuskan dan diganti dengan pengadilan
penghulu, (2) penghulu berstatus sebagai abdi pemerintah dan
mendapatkan gaji tetap, (3) pengadilan banding akan dibentuk untuk
mereview keputusan-keputusan dari pengadilan penghulu. Namun
peraturan ini tidak pernah dilakanakan karena Belanda mengalami
kesulitan keuangan. Untuk mengobati kekecewaan uma Islam pada tahun
1937 dikeluarkan Stbl No.610 tentang pembenukan Hof voor Islamietische
Zaken atau Mahkamah Tinggi untuk menerima perkara banding. Melalui
Stlb. No. 116 tahun 1937,pemerintah memindahkan penyelesaib masalah
kewarisan dari peradilan Islam ke peradilan umum, dimana perkara
tersebut diselesaikand dengan hukm adat. Alasannya hukm Islam belum
sepenuhnya diterima oleh hukum adat. Di sini terjadi perebutan supremasi
hukum antara hukum adat yang diunggulkan Belanda dengan hukum
Islam.
Reaksi pihak Islam terhadap campur tangan Belanda dalam
masalah hukum Islam banyak ditulis dalam buku dan surat kabar. Jelas
bahwa polotik hukum yang menjauhkan umat Islam dari ketentuan-
ketentuan agamanya adalah taktik Belanda untuk meneguhkan
kekusaannya di Indonesia. Apapun dilakukan Belanda untuk menguatkan
posisi hukum adar dan melemahkan hukum Islam di Indinesia.
Pada masa Jepang tidak ada perubahan substantive terhadap
peradilan hukum Islam dan hkum Isla. Jepang hanya mengubah nama
lembaga peradilan Islam dari priesterrad menjadi Sooryoo Hooin dan
Pengadilan Banding dari Hof voor Islamietsche menjadi Kaikyoo Kootoo
Hooin. Di Jawa dan Madura, lembaga ini menjalankan tugas menangani
kasus-kasus perkawinan, dan kadang member nasehat dalam bidang
kewarisan.
2.2.3 Masa Kemerdekaan(1945 – 1998) ( Orde Lama dan Orde Baru )
Berakhirnya kolonialisme di Indonesia sekaligus juga
mengakhiri fase represi dan eliminasi terhadap pemberlakuan hukum
islam. Kedudukan hukum islam pada masa kemerdekaan mengalami
kemajuan yang berarti. Meskipun mayoritas masyarakat Indonesia adalah
muslim, tetapi bukan hal yang mudah untuk memberlakukan hukum islam
di Indonesia. Pelan tapi pasti, terjadi formatisasi terhadap hukum islam,
sebagai konsekuensi dipilihnya Pancasila sebagai Ideologi negara.
Pada fase hukum islam mengalami dua periode, yaitu periode
persuasive-source dan authoritative-source. Periode persuasive adalah
periode penerimaan hukum islam sebagai persuasive, yaitu sumber yang
terhadapnya orang harus yakin dan menerimanya. Semua hasil sidang
BPUPKI adalah sumber persuasive bagi groundwetinterpretatie UUD
1945, sehingga Piagam Jakarta juga merupakan persuasive-source UUD
1945. Meskipun dalam UUD 1945 tidak dimuat tujuh kata piagam Jakarta,
namun hukum islam berlaku bagi bangsa Indonesia yang beragama islam
berdasarkan pasal 29 ayat (1) dan (2).
Periode kedua, authoritative-source dimulai ketika piagam Jakarta
ditempatkan dalam dekrit presiden RI tahun 1959. Dalam konsiderans
dekrit presiden disebutkan “bahwa kami berkeyakinan bahwa piagam
Jakarta bertanggal 22 juni 1945 menjiwai UUD 1945 dan adalah
merupakan suatu rangkaian kesatuan dalam konstitusi tersebut.” Dengan
demikian dasar hukum piagam Jakarta dan UUD 1945 ditetapkan dalam
satu peraturan perundangan, yaitu Dekrit Presiden. Menurut hukum tata
negara Indonesia, keduanya memiliki kedudukan hukum yang sama.
Ketentuan di atas kemudian diwujudkan dalam politik hukum
sebagaimana dirumuskan dalam ketetapan MPRS No. 11/MPRS/1960.
Ketetapan itu berbunyi bahwa penyempurnaan hukum perkawinan dan
hukum waris hendaknya juga memperhatikan faktor-faktor agama. Namun
hingga tahun 1968, batas waktu berlakunya ketetapan MPRS No.
11/MPRS/1960 tidak satupun muncul undang-undang dalam bidang
hukum perkawinan dan kewarisan.
Memasuki orde baru, pembangunan nasional dalam bidang terus
diupayakan, termasuk dalam bidang hukum. Dalam rumusan Garis Garis
Besar Haluan Negara, yang merupakan haluan pembangunan nasional,
menghendaki terciptanya hukum baru Indonesia. Hukum tersebut harus
sesuai dengan cita-cita hukum pancasila dan UUD 1945 serta mengabdi
kepada kepentingan nasional. Hukum baru Indonesia harus memuat
ketentuan-ketentuan hukum yang menampung dan memasukkan hukum
agama (termasuk hukum islam) sebagai unsur utamanya. Inilah dasar
yuridis bagi upaya formatisasi hukum islam dalam hukum nasional.
Formatisasi hukum islam dilakukan dengan upaya
mentransformasikan hukum islam ke dalam aturan perundangan. Dalam
peraturan perundang-undangan kedudukan hukum islam semakin jelas.
Dari sinilah kemudian muncul legislasi hukum islam yang bersifat
nasional, yaitu UU No. 1/1974 tentang Perkawinan dan UU No.28/1977
tentang Perwakafan Tanah Milik. Pasal 2 ayat (2) UU No.1/1974
menetapkan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut
hukum agama masing-masing. Dengan ketentuan ini berarti terjadi
perubahan hukum dari yang rasial etnis (masa kolonial) kepada hukum
yang berdasar keyakinan agama.
Institusi peradilan islam juga menenpati posisi yang kuat
berdasarkan UU No.14/1970 tentang kekuasaan Kehakiman. Dalam pasal
10 ayat (1) ditetapkan bahwa kekuasaan kehakiman di Indonesia dilakukan
oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama,
peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara. Jenis peradilan tersebut
meliputi peradilan tingkat pertama dan tingkat pembanding. Dengan
demikian peradilan agama merupakan peradilan negara, yaitu peradilan
resmi yang dibentuk oleh pemerintah dan berlaku khusus untuk umat
islam.
Keberadaan Peradilan Agama semakin jelas dengan ditetapkannya
UU No.7/1989 tentang kekuasaan Peradilan Agama. Kompetensi Peradilan
Agama memiliki dua ukuran, yaitu asas personalitas dan bidang hukum
perkara tertentu. Dalam Bab II Pasal 49-53 kewenangan peradilan agama
meliputi bidang-bidang hukum perdata antara lain: perkawinan, kewarisan,
wasiat, hibah, wakaf dan sadaqah. Dari bidang-bidang tersebut dapat
dikatakan bahwa jurisdiksi Peradilan Agama adalah biadang hukum
keluarga (ahwal al-syakhsiyah).
Berdasarkan kompetensinya, maka diperlukan hokum materil
sebagai pedoman bagi para hakim peradilan Agama dalam menjalankan
tugasnya. Dalam menangani perkara, hakim peradilan Agama
menggunakan kitab fikih klasik sebagai dasar putusannya. Kitab fikih yang
digunakan antara satu peradilan agama dengan peradilan agama yang lain
tidak sama. Hal ini mengakibatkan adanya putusan yang berbeda dalam
masalah yang sama.
Berdasarkan pertimbangan di atas, dikeluarkanlah keputusan
bersama Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Agama tanggal 21 Maret
1985 No.07/KMA/1985 dan No.25/1985 tentang penunjukan pelaksanaan
pengembangan hukum Islam. Proyek ini dikenal dengan Kompilasi
Hukum Islam di Indonesia. Pelaksanaannya dilakukan melalui empat jalur,
yaitu jalur fikih, wawancara, jurisprudensi dan studi komparatif ke negara-
negara yang penduduknya mayoritas islam. Hal ini dimaksudkan untuk
mengkaji kitab-kitab fikih yang digunakan sebagai dasar putusan hakim
dan menyesuaikannya dengan perkembangan masyarakat Indonesia
menuju hukum nasional. Format KHI terbagi kedalam tiga buku. Buku
satu berisi tentang hukum perkawinan, buku dua tentang hukum kewarisan
dan buku tiga tentang hukum perwakafan.
Pemberlakuan hukum islam semakin menguat dan melebar ke
berbagai bidang. Dalam hal obat dan makanan diwajibkan memiliki
sertifikat halal yang dikeluarkan oleh Lembaga Pengkajian Produk Obat
dan Makanan (LPPOM) Majelis Ulama Indonesia. Disamping itu, muncul
perundang-undangan yang mendukung terlaksananya hukum islam, seperti
UU.No.17/1999 tentang Penyelenggaraan Haji dan UU.No38/1999 tentang
Pengelolaan Zakat.
Berdasarkan deskripsi diatas, formatisasi hukum agama Islam
dalam hukum nasional dapat berupa hukum umum yang berlaku nasional
atau menjadi hukum khusus yang berlaku bagi umat islam saja. Hukum
islam yang berlaku nasional tercermin dalam UU No.1/1974 tentang
perkawinan, PP No.28/1977 Tentang Perwakafan, dan UU No.7/1992
Tentang Perbankan, di mana di dalamnya diakui keberadaan Bank Islam.
Formatisasi yang berupa hukum khusus terlihat dalam inpres No.1/1991
tentang Kompilasi Hukum Islam, UU No.17/1999 tentang
Penyelenggaraan Haji, dan UU No.38/1999 tentang Pengelolaan Zakat.

2.2.4 Masa Reformasi (1998 - sekarang)


Ketika masa reformasi menggantikan orde baru (tahun 1998),
keinginan mempositifkan hukum islam sangat kuat. Perkembangan hukum
islam pada masa ini mengalami kemajuan. Secara riil hukum islam mulai
teraktualisasikan dalam kehidupan sosial. Wilayah cakupannya menjadi
sangat luas, tidak hanya dalam masalah hukum privat atau perdata tetapi
masuk dalam ranah hukum publik. Hal ini dipengaruhi oleh munculnya
undang-undang tentang Otonomi Daerah. Undang-undang otonomi daerah
di Indonesia pada mulanya adalah UU No.22/1999 tentang pemerintah
daerah, yang kemudian diamandemen melalui UU No.31/2004 tentang
otonomi daerah. Menurut ketentuan Undang-undang ini, setiap daerah
memiliki kewenangan untuk mengatur wilayahnya sendiri termasuk dalam
bidang hukum.
Akibatnya bagi perkembangan hukum islam adalah banyak daerah
menerapkan hukum islam. Secara garis besar, pemberlakuan hukum islam
di berbagai wilayah Indonesia dapat dibedakan dalam dua kelompok, yaitu
penegakan sepenuhnya dan penegakan sebagian. Penegakan hukum islam
sepenuhnya dapat dilihat dari provinsi Nangroe Aceh Darussalam.
Penegakan model ini bersifat menyeluruh karena bukan hanya menetapkan
materi hukumnya, tetapi juga menstruktur lembaga penegak hukumnya.
Daerah lain yang sedang mempersiapkan adalah Sulawesi selatan
(Makassar) yang sudah membentuk Komite Persiapan Penegak Syari’at
Islam (KPPSI), dan kabupaten Garut yang membentuk Lembaga
Pengkajian, Penegakan, dan Penerapan Syari’at Islam (LP3SyI).
Provinsi Nangroe Aceh Darussalam merupakan daerah terdepan
dalam pelaksanaan hukum islam di Indonesia. Dasar hukumnya adalah UU
No.44 tahun 1999 tentang Keistimewaan Provinsi Nangroe Aceh
Darussalam. Keistimewaan tersebut meliputi empat hal, diantaranya ialah:
a. Penerapan syari’at islam diseluruh aspek kehidupan beragama,
b. Penggunaan kurikulum pendidikan berdasarkan syari’at Islam tanpa
mengabaikan kurikulum umum.
c. Pemasukan unsur adat dalam sistem pemerintah desa, dan
d. Pengakuan peran ulama dalam penetapan kebijakan daerah.
Tindak lanjut dari Undang-undang di atas adalah ditetapkannya UU
No.18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Nangroe Aceh Darussalam.
Fenomena pelaksanaan hukum islam juga merambah daerah-daerah
lain di Indonesia, meskipun polanya berbeda dengan Aceh. Berdasarkan
prinsip otonomi daerah, maka munculah perda-perda bernuansa syari’at
Islam di wilayah tingkat I maupun tingkat II. Daerah-daerah tersebut
antara lain: provinsi Sumatera barat, kota Solok, Padang pariaman,
Bengkulu, Riau, Pangkal Pinang, Banten, Tanggerang, Cianjur, Gresik,
Jember, Banjarmasin, Gorontalo, Bulukumba, dan masih banyak lagi.
Materi perda syaria’at Islam tidak bersifat menyeluruh, tetapi
hanya menyangkut masalah-masalah luar saja. Jika dikelompokkan
berdasarkan aturan yang tercantum dalam perda-perda syari’at, maka
isinya mencakup masalah: kesusilaan, pengelolaan Zakat, Infaq dan
Sadaqah, Penggunaan busana muslimah, pelarangan peredaran dan
penjualan minuman keras, pelarangan pelacuran, dan sebagainya.
BAB III
KESIMPULAN

Sejarah masuknya Agama Islam ke Indonesia ada 3 teori yaitu Teori


Gujarat, Teori Mekkah, dan Teori Persia. Persamaan dari ketiga teori tersebut adalah
penyebaran agama Islam melalui jalur perdagangan.
Perkembangan hukum Islam di Indonesia dipengaruhi oleh bermacam-
macam faktor, seperti penguasa dan masyarakat pada era itu sendiri. Pada masa
kerajaan Islam, hukum Islam diterapkan dalam berbagai hal tata negara dan
hubungan bermasyarakat. Pada masa penjajahan hukum Islam berlaku lebih
dikhususkan untuk orang Islam saja, dan seiring perkembangan Belanda bahakan
berusaha menghapus sedikit demi sedikit hukum Islam.
Pada masa setelah kemerdekaan (orde lama, orde baru dan reformasi)
Hukum Islam mulai diterapkan kembali, meskipun secara tidak langsung. Pemerintah
dalam membuat kebijakan dan peraturan tidak boleh yang bertentangan dengan
syariat Islam. Hal ini juga dipengaruhi bahwa keadaan bangsa Indonesia yang 87%
penduduknya beragama Islam.
DAFTAR PUSTAKA
http://books.google.co.id
http://buihkata.blogspot.com/2013/01/teori-teori-masuknya-islam-ke-nusantara.html
http://fhiqar.blogspot.com/2012/04/perkembangan-hukum-islam-di-indonesia.html
http://mohamsholihulwafi.blogspot.com/2013/01/Perkembangan-hukum-islam-
Indonesia.html

Anda mungkin juga menyukai