Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

Penyakit Parkinson pertama kali ditemukan oleh seorang dokter Inggris bernama

James Parkinson pada tahun 1817. Pada awalnya, James Parkinson mendeskripsikan

penemuannya sebagai paralysis agitans, yang ditandai oleh suatu kondisi penurunan

pergerakan (hipokinesia) yang disertai dengan tremor saat istirahat.1

Pengertian penyakit Parkinson saat terus mengalami perkembangan,1 dan secara

umum didefinisikan sebagai suatu kondisi neurodegeneratif yang bersifat progresif

akibat penurunan atau tidak adanya neuron dopaminergik pada substansia nigra.1

Penyakit Parkinson merupakan gangguan neurodegeneratif yang sering terjadi. 1,3

Berdasarkan data epidemiologis di Scotlandia, penyakit Parkinson berdampak pada 120

hingga 230 dari 100.000 populasi,3 dan insidensi di Inggris berlangsung pada 6-11

orang dari 6000 populasi.1 Prevalensi Parkinson meningkat seiring dengan penambahan

usia serta memiliki angka prevalensi yang lebih tinggi pada pria dibanding wanita.1

Insiden penyakit Parkinson diperkirakan mengalami peningkatan hingga 25-30% pada

25 tahun kedepan.2

Dalam menegakkan diagnosis penyakit Parkinson, tidak ada pemeriksaan

definitif yang dapat dilakukan, sehingga penegakkan diagnosis hanya didasarkan atas

riwayat perjalanan penyakit dan penemuan klinis.1,2

Penyakit Parkinson memiliki dampak kumulatif atau disabilitas luas, baik

terhadap pasien itu sendiri, keluarga, maupun tenaga medis yang merawat pasien,

dimana dampak terhadap pasien selain karena adanya masalah kesehatan, Parkinson

1
juga berdampak terhadap quality of life, dimana terjadi keterbatasan pasien dalam

melakukan kegiatan sehari-harinya. Penyakit Parkinson juga dapat berdampak pada

masalah ekonomi pasien dan keluarga oleh karena membutuhkan penanganan jangka

panjang.1,2 Penanganan penyakit Parkinson saat ini telah berkembang luas dan

membutuhkan penanganan yang komprehensif, namun seringkali sulit untuk

menentukan pengobatan yang tepat dan sesuai dengan pasien. Oleh karena penyakit

Parkinson ditegakkan berdasarkan riwayat perjalanan penyakit dan penemuan klinis,

serta membutuhkan penanganan yang komprehensif, maka penting untuk memahami

kriteria penegakkan diagnosis penyakit, serta pemahaman dan pemilihan terapi yang

tepat dan sesuai untuk pasien dengan penyakit Parkinson

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI

Penyakit Parkinson merupakan suatu kelainan neurodegeneratif yang bersifat

kronik progresif, ditandai dengan adanya kelainan dari segi fungsi motorik dan non-

motorik dalam berbagai derajat (chronic progressive movement disorder).4 Secara

neuropatologi, penyakit Parkinson ditandai oleh berkurangnya neuromelanin yang

mengandung neuron dopaminergik di substansia nigra pars kompakta, dengan

terdapatnya eosinofil, intracytoplasmik, inklusi protein, yang disebut sebagai “Lewy

bodies”.5

B. EPIDEMIOLOGI

Penyakit Parkinson merupakan penyakit neurodegeneratif kedua terbanyak

setelah penyakit Alzheimer.4 Berdasarkan data epidemiologis di Scotlandia, penyakit

Parkinson berdampak pada 120 hingga 230 dari 100.000 populasi,3 dan insidensi di

Inggris berlangsung pada 6-11 orang dari 6000 populasi.1

Penyakit Parkinson merupakan salah satu penyakit neurodegeneratif yang paling

sering terkait dengan usia, dimana prevalensi penyakit meningkat seiring dengan

penambahan usia. Penyakit Parkinson jarang terjadi pada usia dibawah 50 tahun dan

paling banyak ditemukan pada rentang usia 85-90 tahun, serta lebih sering terjadi pada

jenis kelamin laki-laki dibandingkan wanita, dengan rasio perbandingan antara laki-laki

dengan wanita adalah 1,5 : 1.4

3
C. ETIOLOGI DAN FAKTOR RESIKO

Parkinson disebabkan oleh rusaknya sel-sel otak, tepatnya di substansi nigra.

Suatu kelompok sel yang mengatur gerakan-gerakan yang tidak dikehendaki

(involuntary). Akibatnya, penderita tidak bisa mengatur/menahan gerakan-gerakan yang

tidak disadarinya.

Hingga saat ini etiologi Parkinson primer masih belum diketahui, akan tetapi ada

beberapa faktor resiko (multifaktorial) yang telah diidentifikasi terkait dengan penyakit

Parkinson, yaitu :

1. Usia : Insiden meningkat dari 10 per 10.000 penduduk pada usia 50 tahun, dan

meningkat hingga 200 dari 10.000 penduduk pada usia 80 tahun. Hal ini berkaitan

dengan reaksi mikroglial yang mempengaruhi kerusakan neuronal, terutama pada

substansia nigra pada penyakit parkinson.

2. Genetik : Penelitian menunjukkan adanya mutasi genetik yang berperan pada

penyakit parkinson, yaitu mutasi pada gen a-sinuklein pada lengan panjang

kromosom 4 (PARK1) pada pasien dengan Parkinsonism autosomal dominan. Pada

pasien dengan autosomal resesif parkinson, ditemukan delesi dan mutasi point pada

gen parkin (PARK2) di kromosom 6. Selain itu, juga ditemukan adanya disfungsi

mitokondria. Adanya riwayat penyakit parkinson pada keluarga meningakatkan

faktor resiko menderita penyakit parkinson sebesar 8,8 kali pada usia kurang dari 70

tahun dan 2,8 kali pada usia lebih dari 70 tahun. Meskipun sangat jarang, jika

disebabkan oleh keturunan, gejala parkinsonisme tampak pada usia relatif muda.

3. Faktor Lingkungan

a) Xenobiotik : Berhubungan erat dengan paparan pestisida yang dapat

menimbulkan kerusakan mitokondria.

4
b) Pekerjaan : Lebih banyak pada orang dengan paparan metal yang lebih tinggi

dan lama.

c) Infeksi : Paparan virus influenza intrautero diduga turut menjadi faktor

predesposisi penyakit parkinson melalui kerusakan substansia nigra.

Penelitian pada hewan menunjukkan adanya kerusakan substansia nigra oleh

infeksi Nocardia astroides.

d) Diet : Konsumsi lemak dan kalori tinggi meningkatkan stress oksidatif, salah

satu mekanisme kerusakan neuronal pada penyakit parkinson. Sebaliknya,kopi

merupakan neuroprotektif.

4. Ras : angka kejadian Parkinson lebih tinggi pada orang kulit putih dibandingkan

kulit berwarna.

5. Trauma kepala : Cedera kranio serebral bisa menyebabkan penyakit parkinson,

meski peranannya masih belum jelas benar.

6. Stress dan depresi : Beberapa penelitian menunjukkan depresi dapat mendahului

gejala motorik. Depresi dan stress dihubungkan dengan penyakit parkinson karena

pada stress dan depresi terjadi peningkatan turnover katekolamin yang memacu

stress oksidatif.

D. PATOFISIOLOGI

Secara umum, dapat dikatakan bahwa penyakit Parkinson terjadi karena

penurunan kadar dopamine akibat kematian neuron di substansia nigra pars compacta

(SNc) sebesar 40-50% yang disertai dengan inklusi sitoplasmik eosinofilik (Lewy

bodies) dengan penyebab multifaktor.5

Di striatum, output dari neuron GABAergik bekerja secara langsung pada

5
segmen internal globus pallidus dan pars retikulata substansia nigra yang didominasi

oleh reseptor dopamine D1. Sedangkan reseptor D2 dopamin lebih dominan pada output

neuron GABAergik di segmen eksternal globus pallidus. Dopamine memiliki efek yang

berbeda terhadap reseptor-reseptor diatas, dan oleh karena itu, pada perangsangan

neuron di daerah striatal, akan membangkitkan reseptor D1 (sumber dari jalur langsung

striatopallidal) dan menginhibisi neuron dengan reseptor D2 (sumber dari jalur tidak

langsung striatopallidal). Dalam keadaan normal (non-defisiensi dopamine), terdapat

keseimbangan aktivitas antara jalur langsung dan jalur tidak langsung pada internal

segmen globus pallidus dan pars retikulata substansia nigra.7 Sedangkan pada defisiensi

dopamine menyebabkan kelebihan aktivitas di lengkung ganglia basalis jalur tidak

langsung. Pada saat yang bersamaan, nukleus subthalamikus juga menunjukkan

peningkatan aktivitas sehingga menghambat neuron glutamatergik talamus secara

berlebihan. Efek keseluruhan adalah inhibisi bersih pada keluaran lengkung basal

ganglia, dan dengan demikian terjadi penurunan aktivasi area motorik kortikal,

menyebabkan terjadinya gejala klinis berua akinesia atau bradikinesia dan rigiditas. 8

Degenerasi neuron dopaminergik nigrostriatal ini, akan menghasilkan peningkatan

relatif kegiatan interneuron striatal kolinergik, dimana hal ini menyebabkan terjadinya

gejala klinis berupa tremor.

6
E. GEJALA KLINIS

Terdapat empat tanda klinis kardinal dari penyakit Parkinson, yang disingkat

menjadi TRAP, yaitu Tremor at rest, Rigidity, Akinesia (atau bradykinesia), dan

Postural Instability. Sebagai tambahan, terdapat gejala lain berupa flexed posture, dan

freezing (motor blocks) yang juga dimasukan sebagai penemuan klinis klasik

parkinsonism, dan umumnya paling sering terjadi pada penyakit Parkinson.4

1) Bradikinesia4

Bradikinesia berarti kelambanan dalam pergerakan, dan merupakan manifestasi

klinik penyakit Parkinson yang karakteristik, meskipun bradikinesia juga dapat

dijumpai pada penyakit lain, termasuk depresi. Bradikinesia merupakan hal yang

patognomonik, yang menunjukkan kerusakan pada basal ganglia, yang meliputi

kesulitan dalam merencanakan dan menyelenggarakan gerakan, memulai gerakan dan

kesulitan dalam melaksanakan gerakan secara simultan. Manifestasi awal sering diawali

dengan kelambanan dalam melakukan aktifitas sehari-hari (Activity of Daily Living) dan

perlambatan pergerakan serta respon time yang menurun. Hal ini termasuk kesulitan

dalam melakukan gerak motorik halus seperti membuka kancing baju, dan

menggunakan perkakas. Manifestasi lain bradikinesia adalah hilangnya pergerakan dan

langkah spontan, air liur yang menetes dikarenakan gangguan menelan akibat

bradikinesia mengenai daerah orofaring, monotonik dan hipofonik disartria, kehilangan

ekspresi wajah (hipomimia), muka menjadi seperti topeng, dan penurunan kedipan

mata, pengurangan ayunan tangan sehingga cara berjalan tidak lagi melenggang.

Bradikinesia merupakan gejala dari penyakit Parkinson yang paling mudah untuk

dikenali, dan mungkin terlihat jelas walaupun belum dilakukan pemeriksaan neurologis.

7
Pada bradikinesia juga dapat ditemukan gejala tambahan seperti gerakan cepat,

berulang, pergerakan tangan bergantian (ketukan jari, menggenggan-genggam tangan,

pronasi-supinasi tangan). Serta ketukan tumit tidak hanya lambat tetapi juga amplitudo

yang melemah, dan bila tangan yang dominan terlibat, maka tulisan secara gradual

menjadi kecil dan rapat, disebut sebagai mikrografia.

Meskipun patofisiologi dari bradikinesia masih belum dapat digambarkan

dengan baik, gejala ini tetap menjadi gejala utama yang mengemukakan kaitan penyakit

dengan tingkat defisiensi dopamine. Hal ini didukung dengan dilakukannya observasi

terhadap penurunan jumlah neuron di substansia nigra pada pasien usia tua dengan

gejala parkinsonism yang akhirnya di diagnosa sebagai penyakit Parkinson. Disamping

itu, positron emission tomografi pada pasien dengan penyakit Parkinson menunjukkan

penurunan pengambilan F-fluorodopa di striatum dan accumbens-caudate kompleks

yang proporsional (berbanding lurus) dengan derajat keparahan bradikinesia.

2) Tremor 4

Tremor saat istirahat “tremor at rest” merupakan gejala tersering dan mudah

dikenali pada penyakit Parkinson. Tremor bersifat unilateral, dengan frekuensi antara 4

sampai 6 Hz, dan hampir selalu terdapat di extremitas distal. Tremor pada tangan

digambarkan sebagai gerakan supinasi-pronasi (“pill-rolling”) yang menyebar dari satu

tangan ke tangan yang lain. Resting tremor pada pasien penyakit Parkinson juga dapat

mengenai bibir, dagu, rahang dan tungkai. Namun, tidak seperti tremor pada umumnya,

tremor pada penyakit Parkinson jarang mengenai leher atau kepala dan suara.

Karakteristik resting tremor adalah tremor akan menghilang ketika penderita melakukan

gerakan, juga selama tidur. Beberapa pasien mengatakan adanya “internal” tremor yang

8
tidak dikaitkan dengan tremor yang terlihat.

Beberapa pasien dengan penyakit Parkinson memiliki riwayat tremor postural,

yang dapat diidentikkan dengan tremor essential, selama beberapa tahun atau dekade

sebelum onset parkinsonian tremor atau gejala lain penyakit Parkinson timbul.

Beberapa pasien penyakit Parkinson juga memiliki postural tremor yang dirasa

lebih utama dan lebih mengganggu dibandingkan resting tremor dan mungkin

merupakan manifestasi awal penyakit. Parkinson dengan adanya postural tremor (“re-

emergent tremor”), berbeda dari tremor essential, dimana tremor menghilang setelah

pasien membentangkan tangannya dalam posisi horizontal. Karena “re-emergent

tremor” terjadi dalam frekuensi yang sama seperti halnya resting tremor, dan juga

memiliki respon terhadap terapi dengan obat-obatan dopaminergik, maka re-emergent

tremor dapat dianggap sebagai varian dari resting tremor. Ada beberapa petunjuk dalam

mendiagnosa tremor essential pada pasien dengan penyakit Parkinson. Termasuk

didalamnya adalah anamnesa mengenai lamanya tremor terjadi, riwayat keluarga

dengan tremor, tremor pada region kepala dan suara, dan tremor yang tidak berhenti

dengan dilakukannya pembentangan kedua tangan di depan tubuh ke arah horizontal,

ada tidaknya rasa gemetar saat menulis dan memilin, juga adanya tremor yang

bertambah dengan konsumsi alcohol dan beta bloker.

3) Rigidity 4

Rigiditas ditandai dengan adanya peningkatan tahanan otot, biasanya disertai

oleh adanya “cogwhell phenomenon” yang secara khusus dihubungkan dengan adanya

tremor, terdapat melalui pergerakan pasif extremitas baik flexi, extensi atau rotasi sendi.

Rigiditas dapat terjadi di tubuh bagian proximal maupun bagian distal. “Foment’s

9
maneuver” merupakan manuver yang biasa digunakan untuk memeriksa adanya

rigiditas. Keistimewaan manuver ini dapat mendeteksi rigiditas yang masih ringan.

Rigiditas dapat disertai dengan nyeri, dan nyeri pada bahu adalah satu hal yang

tersering yang merupakan manifestasi dini penyakit Parkinson. Meskipun seringkali

terjadi misdiagnosis, sebagai arthritis, bursitis atau cedera pada otot-otot rotator cuff.

Sebuah prospektif studi yang dilakukan pada 6038 orang (usia rata-rata 68,5 tahun),

dimana tidak terdapat demensia ataupun gejalan Parkinsonism, ditemukan adanya

kekakuan, tremor dan ketidakseimbangan yang diasosiasikan dengan peningkatan resiko

terjadinya penyakit Parkinson. Melalui penelitian dengan kohort, dengan follow up

selama 5,8 tahun, ditegakkan diagnosis 56 kasus penyakit Parkinson.

4) Postural Instability 4

Instabilitas postural yang disebabkan oleh hilangnya refleks postural merupakan

manifestasi umum dari penyakit Parkinson tahap lanjut dan biasanya terjadi setelah

tanda klinis lainnya terjadi. Pemeriksaan berupa pull test, dimana penderita diberikan

dorongan ke depan atau ke belakang secara cepat pada bahu, digunakan untuk

menentukan derajat retropulsi atau propulsi. Bila pasien mundur dua langkah atau sama

sekali kehilangan respon postural, mengindikasikan adanya abnormalaitas respon

postural.

Instabilitas postural (bersamaan dengan freezing gait) merupakan penyebab

tersering terjatuhnya penderita Parkinson dan berkontribusi secara signikan terhadap

resiko fraktur panggul. Onset latensi yang panjang membedakan penyakit Parkinson

dengan kelainan neurodegeneratif lainnya, seperti progressive supranuclear palsy (PSP)

dan multiple system atrophy (MSA). Beberapa faktor mempengaruhi kejadian

10
instabilitas postural pada penderita Parkinson, seperti hipotensi ortostatik, perubahan

sensorik terkait usia, dan kemampuan mengintegritaskan visual, vestibularm dna input

sensorik propioseptif (kinesthesia). Kejadian jatuh pada penyakit Parkinson akibat

instabilitas postural, dapat berdampak pada kontrol keseimbangan. Pada sebuah studi,

38% pada penderita yang dievaluasi mengalami kejadian terjatuh, 13% diantaranya

sering terjatuh lebih dari satu kali dalam seminggu, sehingga dikatakan bahwa frekuensi

terjatuhnya penderita berhubungan dengan tingkat keparahan penyakit.

5) Freezing 4

Freezing, yang juga berarti motor block, merupakan suatu bentuk akinesia

(hilang pergerakan) dan merupakan gejala disabilitas paling penting pada penyakit

Parkinson. Meskipun freezing merupakan gejala klinik yang khas, gejala ini tidak selalu

terdapat pada pasien dengan penyakit Parkinson. Gejala ini lebih sering terdapat pada

laki-laki dibandingkan pada wanita, dan frekuensinya lebih sedikit terjadi pada pasien

dengan gejala utama berupa tremor. Freezing paling sering mengenai tungkai saat

berjalan, tetapi lengan dan kelopak mata juga dapat terkena. Manifestasi klinik dapat

terjadi secara mendadak dan bersifat sementara (biasanya kurang dari 10 detik),

sehingga dapat terjadi kesulitan dalam berjalan. Dalam hal ini, mungkin meliputi

kesulitan untuk memulai berjalan atau terjadi secara tiba-tiba saat sedang berjalan

melintasi jalanan yang padat dan ramai. Freezing merupakan penyebab tersering

terjadinya trauma.

11
12
Gejala Non-motorik4,9

Disadari bahwa berkurang atau hilangnya neuromelanin yang mengandung

neuron dopaminergik di substansia nigra pars kompakta merupakan penanda

neuropatologis terpenting pada penyakit Parkinson, sehingga manifestasi klinis berupa

gangguan motorik utama akibat berkurangnya dopamin menjadi fokus utama pada

penyakit Parkinson. Namun demikian, perubahan neuropatologi pada penyakit

Parkinson berkembang dan meluas hingga diluar sistem nigrostriatal.9

Gejala non-motorik yang dimaksud meliputi disfungsi otonom, gangguan

kognitif atau neurobehavioral, gangguan sensorik dan tidur.

1) Disfungsi Otonom

Gangguan fungsi otonom dapat menjadi penanda klinis dari penyakit Parkinson,

meskipun secara tipikal lebih sering dihubungkan dengan multiple systemic atrophy

(MSA). Gejalanya antara lain; hipotensi ortostastik, disfungsi dalam sekresi keringat,

disfungsi proses miksi dan disfungsi ereksi.4

2) Abnormalitas Fungsi Kognitif dan Neurobehaviour

Gangguan neuropsikiatrik dapat mengganggu sama halnya seperti gejala

motorik. Studi yang dilakukan oleh Sydney Multicenter of Parkinson Disease

menunjukkan bahwa 84% pasien mengalami penurunan fungsi kognitif, 48%

diantaranya memenuhi kriteria diagnosis untuk demensia yang setelah diikuti selama 15

tahun. Prospektif studi lainnya menunjukkan bahwa pasien penyakit Parkinson memiliki

resiko enam kali lipat lebih besar untuk terjadinya demensia di kemudian hari. Penyakit

Parkinson yang dihubungkan dengan terjadinya demensia juga dihubungkan

13
komorbiditas neuropsikiatri. Diantara 537 pasien, depresi (58%), apatis (54%), anxietas

(49%) dan halusinasi (44%) merupakan hal yang tersering dilaporkan. Sehubungan

dengan disfungsi afektif dan kognitif, banyak pasien dengan penyakit Parkinson

dilaporkan memiliki tingkah laku obsesif-kompulsif dan impulsive. Gejala tingkah laku

ini terkadang merupakan gejala “hedonistic homeostatic dysregulation”. Disfungsi

kognitif dan tingkah laku pada pasien penyakit Parkinson, belum dapat dimengerti

sepenuhnya.4

3) Gangguan Tidur

Meskipun gangguan tidur (misalnya; tidur yang berlebihan, serangan tidur)

untuk sebagian besar dianggap berasal dari efek terapi farmakologis, beberapa klinikus

saat ini percaya bahwa hal ini merupakan satu bagian integral dari penyakit Parkinson.

Hal ini didukung oleh adanya suatu observasi yang menunjukkan adanya rapid eye

movement (REM) dalam gangguan tidur, yang terdapat setidaknya pada 1/3 (sepertiga)

pasien dengan penyakit Parkinson. Gangguan tidur REM, saat ini telah dianggap

sebagai pre-parkinsonian state, yang ditandai dengan peningkatan mimpi buruk; seperti

bicara dalam tidur, berteriak, menyumpah, memukul, menendang dan hal lainnya yang

melibatkan aktifitas motorik. Insomnia, juga terdapat (dengan prevalensi > 50%) dalam

frekuensi yang berbeda-beda di setiap pasien.4

4) Abnormalitas Sistem Sensorik

Gejala sensorik seperti disfungsi olfaktorik, nyeri, parestesi, akathisia, nyeri

daerah mulut dan nyeri pada regio genitalia merupakan gangguan terbanyak namun

sekaligus sering tidak dikenali sebagai gejala Parkinsonian. Dalam salah satu studi

ditemukan bahwa disfungsi sistem olfaktori (hiposmia) mungkin merupakan tanda dini

14
dari penyakit Parkinson, hal ini dikorelasikan dengan meningkatnya resiko sebanyak

10% terhadap terjadinya penyakit dalam 2 tahun kemudian. Telah didalilkan bahwa

disfungsi olfaktori dihubungkan dengan hilangnya neuron di area kortikomedial

amigdala, atau hilangnya neuron dopaminergik di bulbus olfaktorius.4

Hingga saat ini, terdapat beberapa skala penilaian untuk menilai dan

mengevaluasi adanya disfungsi motorik pada pasien penyakit Parkinson. Namun

sebagian besar dari skala penilaian tersebut, tidak memiliki hasil yang valid dan tidak

sepenuhnya dapat dipercaya.4

Skala menurut Hoehn dan Yahr merupakan skala penilaian yang paling sering

digunakan untuk menggambarkan progresifitas penyakit.

Tabel Skala Hoehn dan Yahr

15
F. DIAGNOSIS

Penegakkan diagnosis penyakit Parkinson dapat berdasarkan kriteria:

1) Secara klinis

- Didapatkan 2 dari 3 tanda kardinal gangguan motorik : tremor, rigiditas,

bradikinesia, atau

- 3 dari 4 tanda motorik : tremor, rigiditas, bradikinesia dan

ketidakstabilan postural.

2) Berdasarkan UK Parkinson’s Disease Society Brain Bank (UKPDSBB)


Clinical Diagnostic Criteria1

G. PENATALAKSANAAN

Saat ini, terapi obat terhadap penyakit Parkinson merupakan simptomatis.

Mengingat obat-obat ini mempunyai efek samping jangka pendek dan jangka panjang

yang dapat mengganggu, dianjurkan untuk tidak memulai terapi bila penyakit Parkinson

16
yang diderita belum mengakibatkan halangan atau gangguan. Banyak teori yang

mengemukakan baik-buruknya obat-obat tertentu dalam menangani penyakit Parkinson,

namun kebanyakan teori ini didasarkan atas eksperimen dan penelitian di lapangan yang

masih terbatas.11

a. Medikamentosa

1) Obat dopaminergik12

 Prekursor dopamine

Levodopa atau L-dopa merupakan prekursor dopamine. Pada terapi Parkinson,

tidak dapat secara langsung diberikan dopamin eksogen sebab dopamin dalam darah

tidak dapat menembus blood brain barier. Hal ini berbeda dengan levodopa, dimana

levodopa yang diserap dalam saluran cerna melalui transport aktif menuju darah, dan

mampu menembus blood brain barier. Kemudian levodopa dikonversi menjadi

dopamine di otak dengan bantuan enzim dopa dekarboksilase. 12 Lebih dari 90%

levodopa dimetabolisme menjadi dopamine oleh dekarboksilase dopa perifer (diluar

SSP) dan kadar yang sampai ke otak kurang dari 2%, sehingga levodopa perlu diberikan

dalam dosis tinggi. Akan tetapi, kadar dopamine yang tinggi di perifer dapat

menyebabkan efek samping otonomik yang hebat. Efek samping otonomik yang hebat

ini dapat dikurangi dengan pemberian bersama-sama dengan inhibitor enzim dopa

dekarboksilase perifer, yaitu karbidopa.13

Berdasarkan gambaran gejala klinis, pasien dengan PD dikelompokkan ke dalam

3 kategori dasar yaitu kategori ringan, sedang dan berat. Pada tingkat ringan (3-5 tahun

pertama setelah diagnosis), respon terhadap levodopa masih baik dan efek yang

menguntungkan ini menetap walaupun dosis yang diberikan tidak bersifat individual.13

Pada tingkat sedang biasanya setelah 5-10 tahun di diagnosa, biasanya 50-70% pasien

17
memperlihatkan komplikasi motorik yang diinduksi oleh obat (drug induce) berupa

periode “on” dan “off”. Waktu periode “on” pasien tampak berrespon terhadap obat tapi

waktu periode “off” gejala parkinson kembali kambuh.13 Pada kategori ketiga (berat)

pasien PD yang lanjut sudah terjadi kerusakan motorik yang progresif meskipun telah

mendapat terapi levodopa, dan tidak berespon secara baik terhadap pengobatan yang

menyebabkan timbulnya komplikasi motorik seperti fluktuasi dan diskinesia dan

mungkin sulit diobati, bahkan tidak mungkin dapat dikontrol dengan terapi obat. 14

Untuk mencegah timbulnya efek samping dari penggunaan levodopa tersebut, saat ini

strategi penundaan pemberian levodopa lebih diterapkan.12 Levodopa diberikan ketika

gejala parkinson pada pasien sudah mulai menyebabkan gangguan fungsional dalam

kehidupan sehari-hari.12

 Dopa dekarboksilase inhibitor

Karbidopa dan benserazid merupakan dopa dekarboksilase inhibitor pada

jaringan perifer, tetapi tidak masuk susunan saraf pusat. Karena tidak dapat melewati

blood brain barier, sebagai hasilnya karbidopa menurunkan kadar dopamine di perifer,

tetapi tidak di susunan saraf pusat.12

 Dopamin agonis

Oleh karena perlunya penundaan pemberian levodopa pada tahap awal penyakit

Parkinson, para ahli parkinsonologist merekomendasikan pemberian obat-obat

dopamine agonis sebagai terapi awal atau inisial dari golongan obat dopaminergik.

Obat-obat dopamine agonis bekerja dengan mengaktivasi reseptor dopamine secara

langsung, dimana berdasarkan studi penemuan klinis dan eksperimental menemukan

bahwa aktivasi reseptor dopamin yang penting adalah reseptor dopamin D2 dalam

memediasi efek antiparkinsonian dari dopamine agonis. Akan tetapi, beberapa

18
penelitian saat ini juga menyatakan bahwa stimulasi reseptor D1 dan D2 dibutuhkan

terhadap peningkatan optimal efek terhadap fungsi fisiologis dan perilaku.12

Dopamine agonis terdiri atas derivat ergot (bromocriptine, cabergoline, lisuride

and pergolide) dan derivat non-ergot (pramipexole and ropinirole). Derivat non-ergot

memiliki resiko komplikasi yang lebih rendah dibandingkan derivat ergot. Komplikasi

yang terjadi dapat berupa ulkus peptikum, efek vasokonstriktif, fibrosis retroperitoneal,

penyakit katup jantung, dan reaksi serosal berupa efusi pleura, perikardial, dan

peritoneal. Oleh karena obat-obat derivat ergot berpotensi cukup kuat terhadap kejadian

penyakit jantung katup, penggunaan obat golongan ini sudah sangat terbatas.1,12

Pramiprexole merupakan obat yang aman dan efektif apabila digunakan sebagai

monoterapi pada tahap awal Parkinson. Pramiprexole juga digunakan sebagai

neuroprotektif dan dapat meningkatkan aktivitas neurotropik pada dopaminergik

mesensefali. Penggunaan ropirinole juga merupakan obat yang aman dan efektif pada

tahap awal penyakit Parkinson, hanya saja ropirinole berisko lebih tinggi terhadap

kejadian hipotensi dan somnolen.12

 MAO-B Inhibitor

Selegilline dan rasagiline merupakan obat golongan MAO-Inhibitor. MAO-B

Inhibitor memblok metabolisme dopamine sehingga kadarnya tetap meningkat di

striatum.1

 COMT Inhibitor

Entacapon dan tolcapon merupakan obat golongan COMT-Inhibitor. Obat

golongan COMT Inhibitor menghambat degradasi dopamine menjadi 3-O-methyldopa

oleh enzim COMT, terutama di perifer da meningkatkan jumlah levodopa yang

19
melewati sawar darah otak.1, 12 Tolcapon kini sudah tidak digunakan di negara Eropa

setelah 3 pasien meninggal akibat toksisitas hepar terhadap obat tersebut. 12 Entacapom

mengurangi waktu “off” dari dosis levodopa, dan mengurangi-sedang-gangguan

motorik dan disabilitas.11

2) Obat Non-dopaminergik

 Antikolinergik

Triheksifenidil dan benztropine merupakan obat antikolinergik. Obat ini

menghambat sistem kolinergik di ganglia basal dengan menghambat aksi

neurotransmitter asetilkolin, sehingga mampu membantu dalam menjaga keseimbangan

antara dopamine dan asetilkolin, sehingga dapat mengurangi gejala tremor.1, 12

Efek samping obat antikolinergik perifer mencakup pandangan menjadi kabur,

mulut kering, retensi urin. Piridostigmin, sampai 60 mg, 3x sehari, dapat membantu

mengatasi mulut kering dan kesulitan miksi. Efek samping sentral terutama adalah

pelupa dan menurunnya memori jangka pendek. Kadang-kadang dapat dijumpai

halusinasi dan psikosis, terutama apda kelompok usia lanjut, sehingga dapat digunakan

obat antikolinergik yang lebih lemah, seperti difenhidramin (Benadryl), orfenadrin

(Norflex), amitriptilin.11

 Amantadin

Bekerja dengan membebaskan dopamin dari vesikel prasinaptik.12

Pertimbangan yang perlu diperhatikan dalam menangani penyakit Parkinson

stadium dini adalah:

20
1) Tingkat disabilitas pasien

Bila pasien mengalami hambatan yang signifikan dalam aktivitas

kesehariannya, atau kemampuan kerjanya terganggu, maka levodopa

diindikasikan.

2) Prevensi fluktuasi

Penggunaan agonis dopamin sebagai obat inisiasi atau pemula dapat

mengurangi resiko timbulnya diskinesia, wearing off dan on-fluctuations.

3) Usia pasien

Pasien penyakit Parkinson usia muda (<65 tahun) umumnya lebih mampu

mentoleransi medikasi dan resiko terjadinya efek samping lebih rendah. [asoen

berusia lanjut mengalami kesulitan dengan efek samping kognitif fan

psikiatrik. Pada kelompok usia lanjyt, obat antikolinergik dan amantadin

digunakan secara hati-hati. Agonis dopamin mungkin juga disertai efek

samping yang lebih banyak pada usia lanut.

4) Profil efek-samping obat

Bila pasien takut akan kemungkinan ia mengantuk dan dapat membahayakan

bila ia mengendarai, atau ia tidak dapat mentolerir gangguan kognisi, maka

agonis dopamin bukanlah pilihan yang baik.

Terapi simptomatik didasarkan atas kebutuhan pasien dan harus direevaluasi

secara berkala, sesuai dengan progresivitas penyakit. Berikut merupakan algoritma

penatalaksanaan penyakit Parkinson:15

21
a. Nonmedikamentosa15

1) Edukasi

Pasien serta keluarga diberikan pemahaman mengenai penyakitnya, misalnya

pentingnya meminum obat teratur dan menghindari jatuh. Menimbulkan rasa simpati

dan empati dari anggota keluarganya sehingga dukungan fisik dan psikis menjadi

maksimal.

2) Terapi rehabilitasi

Tujuan rehabilitasi medik adalah untuk meningkatkan kualitas hidup penderita

dan menghambat bertambah beratnya gejala penyakit serta mengatasi masalah-masalah

sebagai berikut :

 Abnormalitas gerakan

 Kecenderungan postur tubuh yang salah

 Gejala otonom

 Gangguan perawatan diri (Activity of Daily Living – ADL)

22
 Perubahan psikologik.

Untuk mencapai tujuan tersebut diatas, dapat dilakukan tindakan sebagai

berikut:

a) Terapi fisik : ROM (Range Of Movement)

 Peregangan

 Koreksi postur tubuh

 Latihan koordinasi

 Latihan jalan (gait training)

 Latihan buli-buli dan rektum

 Latihan kebguaran kardiopulmoner

 Edukasi dan program latihan dirumah

b) Terapi okupasi

c) Terapi wicara

d) Psikoterapi

e) Terapi sosial medik

H. PROGNOSIS

Dengan pengobatan levodopa didapatkan kemajuan dalam harapan hidup pada

penderita penyakit Parkinson, namun penyakit ini masih mengurangi harapan hidup

pada sebagian besar pasien, terutama yang menderita bentuk umum, berusia antara 50-

60 tahun. Penyakit Parkinson adalah penyakit degenratif, hilangnya sel-sel neuron tetap

berlanjut, walaupun didapat respons terhadap pengobatan. Akhirnya respons terhadap

obat akan mengurang dan keadaan pasien memburuk, tidak mampu mobilisasi, tinggal

di tempat tidur, dan dapat meninggal oleh komplikasi infeksi.11

23
DAFTAR PUSTAKA

1. Grant R, Varney S, Lockhart I, Bakhshi L, Richards A, Ingham J, et al. Parkinson’s

disease: National clinical guideline for diagnosis and management in primary and

secondary care. London: Royal College of Physicians; 2006.

24
2. National Institute for Health and Clinical Excellence. Parkinson's disease:

Diagnosis and management in primary and secondary care. London: National

Institute for Health and Clinical Excellence (NICE); 2006.

3. Ballantine J, Biggs M, Coleman R, Colledge N, Davies S, Ferries C, et asl.

Diagnosis and pharmacological management of Parkinson’s disease: A national

clinical guideline. United Kingdom: Scottish Intercollegiate Guidelines Network

(SIGN); 2010.

4. Jankovic J. Parkinson’s disease: clinical features and diagnosis. USA: J Neurol

Neurosurg Psychiatry; 2008; 79:368-376.

5. Thomas B, Beal Flint M. Parkinson’s disease. USA: Human Molecular Genetics;

2007; Vol.16; p.183-94.

6. Benjamin LC, Joseph KC. Epidemiology of Parkinson’s disease. United Kingdom:

British Columbia Medical Journal (BCMJ); 2001; Vol.43 (3); p.133-7.

7. Siderowf A, Stern M. Update on Parkinson’s disease. Annals of internal medicine;

2003; Vol.138; p.651-9.

8. Baehr M, Frotscher M. Diagnosis topik neurologi DUUS: Anatomi, fisiologi, tanda,

dan gejala. Jakarta: EGC; 2010; p.292-301.

9. Nutt John G, Wooten G. Frederick. Diagnosis and Initial Management of

Parkinson’s Disease. England: The New England Journal of Medicine; 2005; 353;

p.1021-7.

10. Lim SY, Susan H, Lang AE. Overview of the extranigral aspect of Parkinson’s

disease. America: Arch Neurol JAMA; 2009; Vol.66 (2); p.167-71.

11. Lumbantobing SM. Sindrom Parkinson. In: Gangguan gerak. Jakarta: Balai

penerbit FKUI; 2005; p.67-110.

25
12. Jankovic J, Aguilar LG. Current approaches to the treatment of Parkinson’s disease.

USA: Neurophsyciatric disease and treatment; 2008; Vol.4 (4); p.743-57.

13. Munaf Sjamsuir. Obat antiparkinson. In: Kumpulan kuliah farmakologi. Ed.2.

Jakarta: Penerbit buku kedokteran EGC; 2009; p.487-92.

14. Basjiruddin A. Manajemen dari penyakit Parkinson lanjut. Sumatera Barat:

Fakultas kedokteran universitas Andalas; 2012; p.1-16.

15. Muis A, Joesof AA, Agoes A, Sudomo A, Shahab A, Husni A, dkk. Konsensus

tatalaksana penyakit Parkinson. Surabaya: Perhimpunan dokter spesialis saraf

Indonesia (PERDOSSI); 2000; p.8-17.

26

Anda mungkin juga menyukai