Anda di halaman 1dari 18

RANGKUMAN BAB 7

AKUNTANSI FORENSIK & AUDIT INVESTIGATIF

Disusun Oleh:

1) Indah Fatmawati (23216489)


2) Nuryani Purnama S (25216647)
3) Sri Ulina AR (27216148)
4) Tita Nilasari (27216404)
5) Elvira (22215197)

FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS GUNADARMA
TANGERANG
ATA 2019/2020
BAB 7
KORUPSI
Sistem perekonomian dan kelembagaan yang meningkatkan manfaat atau “keuntungan” korupsi
cenderung memiliki empat ciri yaitu:
1. Individu pejabat mempunyai kekuasaan mutlak (substantial monopoly power) atas pengambilan
keputusan.
2. Pejabat yang bersangkutan mempunyai kelonggaran wewenang (discretion) yang besar.
3. Mereka tidak perlu mempertanggung jawabkan (tidak accountable terhadap) tindakan mereka.
4. Mereka beroperasi dalam lingkungan yang rendah tingkat keterbukaan ( an environment of low
transparency).
Keempat ciri ini melahirkan rumus atau persamaan yang berikut:

C = MP + D – A - Tdm
Dimana :
C = corruption (korupsi)
MP = monopoly power (kekuasaan mutlak)
D = discretion (kelonggaran wewenang)
A = accountability (akuntanbilitas)
Tdm = transparency of decision-making (keterbukaan dalam pengambilan keputusan)

Pertanyaan Pertama
Whats is corruption?
Korupsi umumnya didefinisi adalah penyalahgunaan jabatan di sector pemerintahan (misuse of
public office) untuk keuntungan pribadi. Korupsi yang didefinisikan seperti itu meliputi, misalnya
penjualan kekayaan negara secara tidak sah oleh pejabat, kickbacks dalam pengadaan di sector
pemerintahan, penyuapan dan “pencurian” (embezzlement) dana-dana pemerintah. Korupsi tatau lebih
tepat penyuapan, tidak sama dengan rent seeking, sekalipun kedua istilah ini sering digunakan dengan
makna yang sama. Rent seeking adalah upaya menikmati rent dalam segala bentuk, umumnya dengan
rstu pemerintah. (Tollison, 1997) contoh: kenikmatan hasil tol dari jalan yang dibangun negara dengan
utang negara. Pemberian suap secara teknis merupakan transfer dari pemberi ke penerima suap. Tidak
ada definisi yang sempurna untuk menjelaskan fenomena korupsi. Beberapa kegiatan menimbulkan
pertanyaan mengenai legalitas atau keabsahan dari segi hukum, misalnya lobbying, pemberian
sumbangan kampanye partai politik, memberikan jabatan tinggi dengan gaji besar kepada mantan
pejabat dan lain-lain.
Pertanyaan Kedua
Which countries are the most corrupt?
Inti dari pertanyaan ini adalah bagaimana kita mengukur korupsi sedemikian rupa sehingga kita
memperoleh gambaran antar-negara. Kajian mengenai pengukuran korupsi antar negara oleh Knack
dan Keefer (1995) dan Mauro (1995) didasarkan atas indicator korupsi yang dihimpun oleh perusahaan-
perusahaan yang berkecimpung dalam usaha mengukur risiko (private risk assessment firms).
Diantarannya, Internartional Country Risk Guide (ICRG) adalah yang paling poluper, karena ia meliputi
lebih banyak kurun waktu dan negara. Yang kedua adalah Indeks yang menunjukan rata-rata dari
berbagai peringkat oleh sumber-sumber yang menghimpun data mengenai persepsi adanya korupsi,
diantaranya, yang paling popular adalah Corruption Perception Index (CPI). Dan yang ketiga menurut
Kaufmann, Kraay dan Mastruzzi (2003) menghasilkan ukuran yang melengkapi pengukuran tersebut di
atas, yakni Control of Corruption (CoC).

Pertanyaan Ketiga
What are the common characteristics of countries with high corruption?
Kelompok teori pertama memandang mutu Lembaga dan karenanya juga korupsi dibentuk oleh
factor -faktor ekonomi. Secara singkat, perkembangan Lembaga-lembaga merupakan respons terhadap
tingkat pendapatan negara. Kelompok teori ini melihat pendapatan perkapita dan taraf Pendidikan
sebagai penyebab korupsi.
Pandangan kelompok teori kedua, Lembaga-lembaga ekonomi dan politik memengaruhi tingkat
korupsi, khususnya dalam cara-cara dimana Lembaga-lembaga itu membatasi persaingan pasar dan
politik. Variable yang menangkap pembatasan pasar antara lain meliputi keterbukaan pesaingan dari
luar untuk Import (Ades dan Di Tella, 1999) dan banyaknya peraturan mengenai masuknya perusahaan
yang baru mulai (star-up firms).

Pertanyaan Keempat
What is the magnitude of corruption?
Peringkat negara-negara yang berdasarkan persepsi tangka korupsi bersifat subjektif. Dalam
beberapa tahun terakhir mulai ada penelitian mengenai berapa besar sesungguhnya korupsi itu.
Svenson (2003) misalnya pada sejumlah perusahaan di Uganda. Survey itu menggambarkan keadaan
suram mengenai kewiraswataan di negara yang berkembang paling cepat di Kawasan sub sahara afrika
dalam 10-15 tahunterakhir. Untuk perusahaan yang melaporkan mereka membayar suap, jumlah
(secara kasar) adalah 8% dari dana yang di alokasikan untuk subsidi beras untuk orang miskin (raskin) di
korupsi. Untuk menentukan jumlah ini, peneliti membandingkan berapa dana yang keluar dari APBN
dengan dana yang sesungguhnya dierima oleh pengelola program tersebut.

Pertanyaan Kelima
Do higher wages of bureaucrats reduce corruption?
Ini adalah pertanyaan yang menarik, yang juga sering kita dengar di Indonesia. Jika gaji para
birokrat dinaikan, apakah kenaikan ini diiringi denga berkurangnya korupsi? Negara-negara donor dan
organisasi internasional sering kali menganjurkan negara berkembang untuk menaikan gaji pegawai
negri mereka. Ini kesimpulang yang paling penting bagi negara berkembang dengan tingkat korupsi yang
tinggi. Tanpa sistem pemantauan yang jujur dan konsisten, kenaikan gaji tidak akan menurunkan tingkat
korupsi.

Pertanyaan Keenam
Can compettion reduce corruption ?
pertanyaan mengenai apakah persaingan dapat menekan korupsi, berkaitan dengan pendekatan
untuk menekan korupsi melalui peningkatkan persaingan. Hubungan antara laba perusahaan dan
korupsi sangatlah kompleks dan secara analitis tidaklah selalu jelas. Penyebab korupsi dengan regulasi
pasar berkaitan kuat adalah kewenangan yang dipunyai sang birokrat. Para pejabat sering kali
mengeluarkan aturan yang menghambat masuknya pesaing (barrier to entry) supaya mereka bisa
korupsi (De Soto,1989;Shleifer dan Vishny, 1993). Jadi, deregulasi bisa mengurangi korupsi bukan karena
ia meningkatkan persaingan, melainkan karena ia mengurangi kewenangan birokrat.

Pertanyaan Ketujuh
Why have there been so few (recent) successful attempts to fight corruption?
Gebrakan-gebrakan sebenernya berasumsi bahwa semakin banyak dan semakin baik penegakan
hukum, semakin besar korupsi bisa dibasmi. Padahal dibanyak negara miskin, Lembaga hukum dan
keuangannya lemah. Menambah sumber daya kepada Lembaga ini seringkali bukan jawabannya. Sampai
hari ini tersedia sedikit bukti yang menunjukan bahwa kalua Lembaga-lembaga pemantau korupsi
diguyur dengan dana dan sumber daya lainnya, mereka akan berhasil menekan korupsi. Hongkong dan
singapura mereka dianggap sebagai pengecualian. Di kedua negara ini, peningkatan sumber daya
dibarengi denga pemerdayaan yang hebat dan Lembaga-lembaga anti korupsi mereka. Di hongkong dan
singapura, pemerdayaan KPK mereka dibarengi dengan berbagai reformasi di bidang administrasi
negara. Masalahnya, di kebanyakan negara berkembang, komitmen inilah yang tidak bisa dihadirkan.
Pertanyaan Kedelapan
Does corruption adversely affect growth?
Di era orde baru, ada pakar dan pengamat yang berargumentasi bahwa korupsi justru
mendorong pertumbuhan ekonomi. Menurut mereka, dengan penyuapan, perusahaan bisa melincinkan
usaha mereka yang tersendat oleh birokrasi yang tidak efisien, akan tetapi hal tersebut menciptakan
distorsi agar bisa mendapat uang suap.

KORUPSI-TINJAUAN SOSIOLOGI
Terpisah dari penyuapan, pemerasan atau lain-lainnya yang langsung, pendekatan yang tidak
langsung juga menarik. Contoh-contoh yang diberikan sebagai protes terhadap korupsi dan
penyalahgunaan oleh pegawai-pegawai sipil belanda sekitar abad-abad pemerintahannya di jawa
memberikan ilustrasi menarik kepada kita. Seorang pejabat administrasi junior eropa yang dipindahkan
ke pos yang lain, akan memboyong harta kekayaan untuk dilelang, dan dalam lelang seperti itu sebatang
pena bisa dijual seharga 100 gulden. Pembukuan pertamina harus diserahkan kepada perusahaan asing.
Ia melakukan produksi minyak bumi dan kegiatan-kegiatan pemasaran, di samping melakukan usaha
patungan dan bagi hasil Bersama dengan 34 perusahaan minyak asing. Di antara keganjilan yang dibuat
oleh pertamina adalah tidak membayar, sehingga pada tahun 1967, utang pajak pertamina mencapai
Rp.1.344 miliar. Selama Sembilan tahun, sejak tahun 1958, pertamina tidak menyumbangkan sepeser
pun kepada dan pembangunan.
Kotak 7.3
Pada bulan juni 1970, 165 buah perusahaan mendapat izin penebangan dengan modal sebesar
$106,65 juta dan Rp.285 juta meliputi Kawasan seluas 9 juta hektar. Pada waktu itu usaha perkaryuan
sedang mengalami pasang naik. Kegiatan usaha perkayuan tidak dilaksanakan dengan semestinya.
Pemegang izin yang asli, yang keuntungannya jauh lebih kecil dari pada rekan usaha asingnya, tidak
membayar royalty dan uang izin. Maka pemerintah mengalami kerugian dari sumber ini. Selain itu hutan
menjadi rusak karena penebangan tanpa pilih-pilih dan praktik-praktik lain yag merusak. Berbagai
pelanggaran dan korupsi yang terjadi dalam industry kayu menimbulkan kerugian besar bagi pemerintah
melalui penipuan. Kayu di gergaji sedemikian rupa sehingga jatuh di bawah spesifikasi ekspor dan kayu
juga di ekspor dalam bentuk glondongan sehingga mengurangi penerimaan pemerintah. Singkatnya
walaupun yang di tebang kayu berkualitas tinggi, namun secara resmi pemerintah menerima laporan
angka produksi kualitas kayu dan penjualan yang lebih rendah.
Tahun 1980-an dibentuk Opstib (Operasi Tertib) dan di pusat dikenal sebagai Opstibpus (Operasi
Tertib Pusat). Opstibus melakukan gebrakan-gebrakan, antara lain di pengadilan (Kotak 7.4) termasuk
sidan pengadilan yang tidak wajar (Kotak 7.5).
Kotak 7.4
Luasnya jangkauan korupsi yang merusak terjadi di Indonesia kiranya lebih jelas tercermin
dalam peristiwa pengadilan Jakarta. Ledakan pertama skandal pengadilan berupa keterangan pers
operasi tertib pusat (Opstibpus) pada tanggal 28 januari 1981. Seorang hakim terjebak dan tertangkap
basah pada waktu menerima uang suap di kantornya. Orang yang hendak menyuap itu, seorang nyonya.
Kemudian merasa jumlahnya nya terlalu besar ( 50 juta rupiah). Ia melaporkan persoalannya kepada
Opstibpus, karena ia takut di kurbankan oleh sang hakim apabila ia menarik maksudnya. Opstibpus
kemudian memasang perangkap dengan bantuan nyonya tersebut dan pada tanggal 26 November 1980
sang hakim ditahan tepat sesudah menerima suap sebanyak Rp.1.000.000 dan selembar cek giro senilai
Rp.9.000.000 dikantornya dari nyonya yang bersangkutan. Beberapa bulan kemudian dilaporkan di
sebuah harian Indonesia, bahwa sejak tahun 1977 berpuluh-puluh hakim di copot dari jabatannya di
seluruh Indonesia.
Kotak 7.5
Sidang-sidang dilakukan dikantor hakim, dan masyarakat diantara para hakim, mereka yang
seharusnya ikut-serta tidak hadir. Selanjutnya ada perbedaan antara keputusan yang disampaikan di
dalam sidang sebelumnya. Ketua pengadilan yang baru tidak mau tahu tentang ketua pengadilan yang
lama mengenghadapi utang dan bersikeras agar utang tersebut dilunasi oleh para pegawai pengadilan.
Penipuan di dunai perbankan (Bank Dagang Negara dan Bank Bumi Daya) sudah dikenal. Kedua
bank tersebut bersama Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo) dan Bank Ekspor Impor Indonesia (Bank
Eksim) dikemudia digabungkan menjadi bank yang sekarang bernama Bank Mandiri. Kasusnya masih
bersifat “penyakit kekanak-kanakan”, yang di dunai perbankan disebut L/C fiktif. Bandigkan kasus
perbankan dikotak 7.6 dan kotak 7.7 dengan kasus L/C fiktifnya Bank BNI-Adrian Waworuntu dan Dicky
Iskandardinata, agaknya yang berbeda hanyalah jumlah kerugian negaranya.
Kotak 7.6
Penipuan juga terjadi dengan ekspor kopi dan karet fiktif dari medan, Sumatra utara, oleh
firman orici dan bumi ayu mulia. Semua dokumen ekspor disiapkan melalui korupsi, kecuali daftar muat
barang (bill of landing) yang ditandatangani secara palsu. Cara operasi nya adalah dengan menawarkan
kopi dan karet ke luar negeri, menerima leter of credit, mencairkannya melalui dua bank pemeritah
(Bank Dagang Negara dan Bank Bumi Daya), dan membiarkan para calon pembeli membatalkan
persetujuan transaksi, karena tidak ada barang yang dikirim.
Kotak 7.7
Dalam hal tersebut manipulasi yang sama terjadi melalui ekspor karet fiktif. Bank Bumi Daya
ditipu sebanyak $10.709.283,71. Masyarakat diberi informasi oleh Laksamana Sudomo Panglima
Kopkamtib, bahwa hal ini adalah penipuan berat yang dapat merusak citra Indonesia di luar negeri.
Team Opstibpus berhasil mengembalikan 50 persen lebih sedikit dari uang yang digelapkan itu melalui
penyitaan harta kekayaan kedua perusahaan dan para pejabat bea-cukai. Para pemrakarsa seluruh
penipuan tersebut, kedua orang direktur perusahaan yang bersangkutan, lari ke luar negeri, para
pejabat bank dan bea cukai dianjurkan ke pengadilan. Alatas juga mengutip pers tentang korupsi kelas
kakap dan kelas teri. Semacam “penyakit kekanak-kanakan” atau pencurian terbuka digambarkan dalam
Kotak 7.8.
Kotak 7.8
Korupsi kelas kakap maupun kelas teri melanda semua Lembaga. Salah satu contohnya adalah
sebuah cabang bank pemerintah di Jawa Tengah. 5 orang perantara dan 4 orang tersangka, menunukan
bahwa kepala cabang bank tersebut menerima uang suap (Rp.34.009.400 dari 252 nasabah). Uang
tersebut dibagi-bagi paling tidak diantara delapan orang pegawai cabang bank itu. Atas perintah
pimpinan, dibuatlah jurnal kuintansi palsu untuk pemeliharaan kantor, rumah pejabat, dan mobil
pejabat. Contoh lain yaitu menaikan harga tanah yang dibeli oleh cabang bank tersebut dan
memberikan kelonggaran kepada penerima kredit untuk menunda pembayaran serta kepala cabang
tersebut mengunakan ayah-mertua nya untuk mendapat kredit bagi dirinya sendiri sebanyak tiga kali.
Alatas juga mengutip kasus distribusi pupuk. Suatu perusahaan yang tunjuk untuk menangani
proyek tersebut meninggalkan utang Rp.46,1 miliar dan Opstibpus berhasil mengembalikan Rp.20,5
miliar. Komisi illegal dari distribusi pupuk di jawa barat dan jawa tengah saja, mencapai Rp.1,55 miliar.
Dari kasus-kasus korupsi sekitar tahun 1970-1980-an yang dilaporkan Prof. Alatas , kita dapat
menyimpulkan, antara lain sebagai berikut ini :
1. Tipologi korupsinya tidak banyak berubah. Beberapa diantaranya merupakan penyakit kekanak-
kanakan alias mencuri terang-terangan.
2. Bahkan “pemain” -nya masih yang itu-itu juga (meskipun sudah berganti nama) seperti bank-
bank BUMN yang menjadi Bank Mandiri atau Bank BNI, Pertamina, distributor pupuk, ABRI
(sekarang TNI), dan lain-lain.
3. Gebrakan membawa sukses ”sesaat” seperti terlihat dalam hasil kerja komisi empat, Opstib,
Opstibpus, dan lain-lain.

KORUPSI-TINJAUAN SOSIOLOGIS ADITJONDRO


George Junus Aditjondro adalah pengajar dan peneliti mengenai sosiologi korupsi di Uiversitas
New Castle, Jurusan Sosiologi dan Antropologi. Ia menerima penghargaan lingkungan hidup, Kalpataru,
dari (pada waktu itu presiden) Soeharto. Sepuluh tahun kemudian penghargaan itu dikembalikan
sebagai protes atas pelanggaran HAM dan lingkungan oleh rezim soeharto, tulisannya tercecer
mengenai korupsi oleh para mantan presiden, keluarga dan kroninya dibukukan dengan judul “korupsi
kepresidenan”. Bagian pertama yang dikutip dari tulisannya adalah bagaimana nasib para diktaktor yang
merangkap sebagai kleptocrat dan pemerkosa HAM (Kotak 7.9).
Kotak 7.9
NASIB SOEHARTO : SUATU ANOMALI DIBANDINGKAN DENGAN NASIB BANYAK DIKTATOR LAIN
Mohammad Reza Pahlevi, atau shah Iran, yang sesame berkuasa sangat ditakuti orang Iran-
karena kekejaman SAVAK, tantara rahasia, setelah”Revolusi Islam” tahun 1978-1979 harus melarikan diri
keluar negeri (Giddens,1993:477-489;Aquino 1999:28). Tahun 1997, Mobutu Sese Seko dipaksa hegkang
dari Zaire, setelah berkuasa sebagai dictator selama 32 tahun (Rose-Ackerman, 1999:116-117), praktis
sama lamanya seperti Soeharto. Kasus terbaru adalah larinya mantan presiden Ekuador, Luis Guterrez,
pada hari Minggu 24 April 2005, keBrazilia, ibu kota negara tetangga. Setelah itu pada mulanya
ditentang oleh banyak orang Ekuador, yang menginginkan Guterrez di adili di negerinyakarena
kepemimpinannya yang otoriter. Tapi akhirnya, hari minggu itu ia diizinkan melarikan diri, setelah brazil
mengabulkan permintaan suaka sang manta presiden.
Dari contoh-contoh diatas Aditjondro menyimpulkan proses pergantian rezim secara
revolusioner yang ditandai tiga hal. Di sini ia menemukan anomaly, kalua pola tadi diterapkan kepada
nasib soeharto (kotak 7.10).
Kotak 7.10
PERGANTIAN REZIM DITANDAI TIGA HAL
Pergantian rezim ditandai oleh tiga hal yaitu pertama, para pemimpin negara yang digulingka
oleh aksi massa, dan bukan oleh pemilihan umum bahkan sering kali dipaksa angkat kaki dari negaranya
( seperti Shah Iran, Marcos, Mobutu, dan Benaser Bhutto), dipenjarakan oleh mereka yang
menggulingkannya (seperti Soekarno dan Estrada), atau dibunuh melalui pengadilan rakyat (seperti
Caesescu). Kedua, seteah digulingkan, dibunuh, atau melarikan diri, aparatur plitik yang menjadi basis
kekuasaannya dipreteli atau rontok kekuasaanya ; dan ketiga, kekayaannya disita oleh penguasa baru
( seperti Soekarno, Marcos, dan Mobutu).
Kasus kejatuhan soeharto merupakan pengecualian dari ketiga hal itu. Ia boleh tetap dengan
tenang menikmati hari tuanya di rumah pribadinya. Golkar dan militer yang merupakan basis
kekuasaannya tidak dipreteli atau rontok kekuasaanya. Kekayaan keluarga besar Soeharto dan kroni-
kroni mereka tidak mengalami pengurangan yang berarti. Bahkan, sudah ada tanda-tanda mereka akan
Kembali menguasai ekonomi negeri ini.
Secara rinci Aditinjo mendokumentasikan metode korupsi mantan-mantan presiden Soeharto,
Habibie, Gus Dur, dan Megawati beserta keluarga dan konco-konco mereka. Ia menjelaskan metodologi
penelitianya (Kotak 7.11). bagi akuntan forensic penjelasan mengenai metodologi penelitiannya ini
penting untuk mengetahui bagaimana informasi ini dapat dan tidak dapat digunakan sebagai bukti di
pengadilan. Banyak gejala dalam kehidupan sehari-hari seperti pelanggaran berat HAM (meninggalnya
Zubchan ZE dan Munir, peristiwa Tanjung Priok, dan lain-lain), pertikaian dengan kedok agama, dan lain-
lain yang kelihatannya terlepas dari kekuatan oligarki, oleh Aditjondro dijelaskan keterkaitannya. Ada
beberapa kesimpulan yang dibuat Aditjondro mengenai korupsi kepresidenan di Indonesia, yang perlu
diketahui akuntan forensik:
1. Bentuk oligarki berkaki tiga (Istana, Tangsi, dan Partai Penguasa) yang melanggengkan dan
mewariskan korupsi kepada pemerintahan penerus.
2. Oligarki yang dipimpin oleh istri (Nyonya Tien Soeharto) atau suami (Taufiq Kiemas) presiden atau
spouse-led oligarchi. Aditjondro menambahkan bahwa itulah sebabnya sejumlah penulis
mengingatkan Taufiq Kiemas, suami Megawati Soekarnoputri, untuk menarik pelajaran dari kasus
Mike Arroyo (suami Gloria Macapagal Arroyo) dan dari Asif Zardari (suami Benazir Bhutto).
3. Oligarki dan jejaring bisnis dan politik yang membentengi kepentingan mantan penguasa dengan
segala cara “pemindahan kekayaan”. Aditjondro menganalisis dan memprediksi secara sosiologi
tentang korupsi di Indonesia. Dengan menggabungkan analisis Aditjondro dan Alatas kita melihat
kurun waktu yang lebih panjang tentang ke mana kita berjalan dalam upaya pemberantasan
korupsi. Sementara itu dalam penggalan waktu yang lebih pendek kita melihat penguasa dengan
segala cara "pemindahan kekayaan" gejala-gejala yang digambarkan Aditjondro, ini dibahas dalam
bagian berikut. Mengamati Pemilu 2009, George Aditjondro menganalisis rahasia di balik
kemenangan Partai Demokrat. Menurut Aditjondro, penggalangan dana yang luar biasa, serta
besarnya pembelian suara (rote buying) oleh para kadernya, memainkan peranan dalam
melonjaknya angka pemilih Partai Demokrat dan calon presidennya (SBY). Aditjondro mencatat
resistensi Partai Demokrat terhadap penggunaan hak angket DPR untuk mengungkapkan skandal
Bank Century, dan keinginan petinggi-petinggi partai untuk menutupi hal-hal yang mencurigakan
dalam pemberian dana talangan yang jauh melebihi yang sudah disepakati oleh parlemen.
Aditjondro menemukan dukungan dana pebisnis besar kepada kelompok media yang dekat dengan
Partai Demokrat dan SBY sejak 2006-2009, dan pergeseran ke pengusaha- pengusaha yang dekat
dengan keluarga Cikeas, di bawah koordinasi Gatot Mudiantoro Suwondo, yang kebetulan Direktur
Utama BNI. Aditjondro melihat kebutuhan akan dana kampanye yang semakin meningkat, karena
biaya "pencitraan" SBY melalui media dan meluasnya jangkauan "kedermawanan" yayasan- yayasan
yang berlindung di balik penguasa. Semuanya menjadi pembuka jalan bagi korporasi- korporasi
raksasa untuk mendapat kemudahan dari pemerintah, seperti di masa Orde Baru. Dalam Pemilu
2004, secara terpisah Siti Adi Trigandari dan Sri-Edi Swasono memperkirakan seorang calon
presiden membutuhkan dana sekitar Rp20 triliun untuk biaya kampanye. Siti Adi Trigandari
memastikan, sebagian besar dana kampanye capres berasal darn sumber ilegal.

LAPORAN KHUSUS TIME TENTANG SOEHARTO INC.


Setelah lengsernya Soeharto, penerbitan mengenai kekayaannya, baik di dalam maupun luar
negeri bermunculan dengan bebas. Pemberitaan di dalam negeri umumnya masih terbatas pada
kekayaan yayasan-yayasan yang didirikan dan/atau dipimpin Soeharto. Sedangkan pemberitaan asing
mengarah kepada tuduhan penjarahan (looting), penguasa merangkap maling (kleptocrat), dan
pencucian uang (money laundering).
Di antara terbitan luar negeri yang selalu menjadi referensi mengenai korupsi iklan Soeharto
adalah tulisan-tulisan Aditjondro di berbagai media massa internasional, dan suatu laporan khusus dari
majalah Time (Asia edition) tanggal 24 Mei 1999. Laporan Time yang itu, diterbitkan dengan judul
"Socharto, Inc" dan dengan cover gambar uang kertas dolar Amerika Serikat dengan muka Soeharto.
Dalam bagian yang berjudul The Family Firm, Time menulis: “A Time investigation into the
wealth of Indonesia's Soeharto and his children uncovers a $15 billion fortune in cash, property, art,
jewelry and jets." ("Investigasi yang dilakukan Time terhadap kekayaan Soeharto dan anak-anaknya
sebesar $15 miliar dalam bentuk uang, properti, benda seni, perhiasan, dan pesawat jet.")
Time melukiskan suasana mahasiswa dan masyarakat yang turun ke jalan melengserkan
Soeharto diiringi tentara yang menembaki mereka dengan peluru dan gas air mata. Sementara itu sang
Jenderal berbintang lima kelíhatan sayu menyaksikan penggantinya B.J. Habibie yang disumpah.
Dalam bulan Juli 1998 bermunculan laporan bahwa uang dalam jumlah besar yang terkait
dengan Indonesia mengalir dari suatu bank di Swiss ke bank lain di Austria. Departemen Keuangan
Amerika Serikat yang menelusuri pergerakan uang tersebut melakukan penelitian melalui jalur
diplomatik. Sebagai bagian dari penelitian selama empat bulan di 11 negara, Time mengetahui adanya
pergeseran uang Soeharto sebanyak $9 miliar dari Swiss ke Austria.
Menurut Time, hanyalah sebagian dari kekayaan yang dihimpun Soeharto dan keluarga selama
tiga dasawarsa melalui perusahaan-perusahaan, monopoli, dan penguasaan sektor-sektor ekonomi
mulai dari ekspor minyak bumi sampai perjalanan haji. Berdasarkan data Badan Pertanahan Nasional,
majalah Properti Indonesia melaporkan bahwa tanah yang dikuasai keluarga Soeharto mencapai 3,6 juta
hektar tanah real estat.
Di Indonesia, keturunan Soeharto memiliki saham dalam sedikitnya 564 perusahaan. Time
memperkirakan, dalam kurun waktu 30 tahun, penguasaan atas berbagai perusahaan mencapai $73,24
miliar yang pada saat ini bernilai $15 juta (jumlah ini berkurang karena anjloknya nilai rupiah pada krisis
keuangan 1998).
Dalam tahun 1950 Soeharto diduga terlibat dalam penyelundupan gula dan kegiatan lainnya
yang mengakibatkon ia kehilangan jabatan komandan daerah militer (Divisi) Diponegoro. Soeharto
sendiri dalam autobiografinya mengklarifikasi bahwa upaya itu dilakukannya untuk mencegah
kelangkaan gula dan bahwa ia tidak menikmati keuntungan pribadi.
Dalam bagian lain dari laporan khusus Time, Jeffrey Winters (guru besar ekonomi politik di
Northwestern University, Amerika Serikat) menulis dengan judul It Pays to Think Big, dan menambahkan
sub judul History favors dictators who take billions, not millions. Sejarah berpihak kepada diktator yang
mengambil miliaran (dolar), bukan jutaan. Winters menunjukkan betapa berhasilnya Soeharto
membentuk citra orang sederhana. Belakangan citra korup pindah kepada anak-anak Soeharto.
Soeharto berhasil mengesankan citra "bersih” sampai ia lengser.
Sekalipun bukti terus berdatangan mengenai pengumpulan kekayaannya, Soeharto dengan
tenang meraih mikrofon dan mengumumkan dengan datar bahwa ia tidak punya uang sesen pun di luar
negeri. Menurut Winters, ketika penguasa melakukan kejahatan, salah satu pelajaran dari sejarah
adalah bahwa mereka yang menjarah dalam jumlah yang luar biasa besarnya, justru yang selamat. Oleh
karena biasanya kebanyakan orang meragukan kebenaran cerita tentang penjarahan besar-besaran.
Kalau sekadar jutaan dolar, orang menganggapnya masih masuk akal. Psikologi inilah yang membuat
keluarga Salinas yang tadinya berkuasa di Meksiko, terkena musibah karena korupsinya tanggung-
tanggung. Sebaliknya, penjarahan dalam jumlah yang sangat besar justru merupakan "jaminan" bahwa
ia tidak akan bisa dituntut. Strateginya adalah mencuri miliaran dolar. Strategi yang lebih baik lagi,
adalah mencuri puluhan miliar dolar, sekadar untuk jaga-jaga, tulis Winters.
Namun, alasan mengapa begitu sulit untuk sekadar menginvestigasi Soeharto lebih dari alasan
psikologi itu. Dari awalnya, Orde Barunya Soeharto diuntungkan oleh sistem perbankan internasional
yang berpihak kepada para kleptokrat, yakni melalui ketentuan perbankan yang tidak ketat untuk
memerangi rahasia bank. Bank-bank diuntungkan dari simpanan hasil jarahan yang dibentengi oleh
rahasia bank. Kolusi antara bank dengan penguasa membuat investigasi, apalagi penuntutan, tidak akan
berjalan. Oleh karena itu, langkah kunci dalam menuntut para diktator dengan tuduhan kejahatan,
khususnya apabila kekayaan mereka akan disita adalah jangan sekadar lengserkan mereka, tapi juga usir
mereka dari negara mereka. Dalam istilah Winters, the crucial first step in going after their assets, is
much easier if the ruler gets pushed not only out of office but also out of the country. Berbeda dengan
Shah Iran, Duvalier di Haiti, Somoza di Nicaragua, Mobutu di Congo dan Marcos dari Filipina, Soeharto
tetap berada di negaranya di mana pengaruhnya masih kuat. Winters mengambil contoh Jaksa Agung
Andi Muhammad Ghalib, yang kalau ditanya wartawan mengenai kekayaan keluarga Soeharto, secara
agresif menolak untuk melakukan investigasi. Ia bahkan menuduh laporan pers yang tidak andal dan
berargumen bahwa adalah tanggung jawab mereka yang menuduh Soeharto korupsi untuk mengajukan
kasusnya.
Stephen Vickers, Executive Managing Director di Asia dari Kroll Associates ikut menyumbang
tulisannya dalam edisi khusus Time tersebut. Kalau Indonesia memang bertekad mengejar kekayaan
keluarga Soeharto, inilah caranya tulis Vickers. Kesalahan pertama yang dilakukan investigator adalah
meneliti catatan-catatan (accounts and ledgers) dengan mengorbankan apa yang betul-betul realitas.
Dalil terutama adalah jangan pernah mengandalkan integritas dari dokumen apapun kecuali sesudah
ada verifikasi secara independen.
Langkah pertama adalah membuat strategi. Kami bekerja dengan tim kecil yang ditunjuk oleh
pemerintah, untuk menyusun prioritas dari cakupan yang akan dikerjakan. Keamanan hurus ketat.
Lawan kita tidak henti-hentinya memindahkan kekayaan met (apakah dalam bentuk transfer dari satu
bank ke bank lain, ganti nama, jual pura-pura de harga murah, dan lain-lain).
Langkah kedua, investigator mulai mengumpulkan dan menganalisis yang ada. Tim investigator
dan akuntan forensik meneliti catatan pajak dan dokumen bank dan mengidentifikasi perusahaan,
yayasan, perusahaan nominee yang dapat dibekukan. Tujuannya adalah menemukan kekayaan yang
benar-benar dapat diambil alih dan bernilai serta membentuk kekuatan melawan Lembaga-lembaga dan
perorangan yang terlibat dalam menyebunyikan kekayaan itu. Penyitaan rekening bank merupakan
modal kerja untuk melanjutkan perburuan.
Langkah ketiga adalah mengidentifikasi orang-orang dekat dengan sang target, keluarga, dan
kroninya. Ini meliputi siapa saja, dari sopir sampai pengacara hingga partner bisnis. Cari rekening atau
tagihan telepon, faksimile dan computer records. Meskipun pemiliknya telah menghapus file di
komputernya, ia masih meninggalkan jejak. Tujuannya adalah mencari orang orang kunci yang mungkin
mau buka mulut. Pejabat negara lain harus didekati atas dasar hubungan G to G atau government-to-
government basis yang dapat mencairkan ketentuan rahasia perbankan. Dalam upaya mencari kekayaan
Saddam Hussein, Kroll menemukan pengacaranya di Swiss. Ini merupakan kunci keberhasilan yang
selanjutnya membawa Kroll ke Prancis di mana Saddam menyimpan miliaran dolar dalam saham
perusahaatn media.
Langkah terakhir adalah mulai melakukan likuidasi, tuntutan perdata dan negosiasi untuk
membongkar rahasia. Ada aksioma yang sederhana: follow the money, and everything will come (Ikuti
jejak uang, lainnya akan datang sendiri). Ketika akuntan dan penasihat hukum terlibat dalam kejahatan,
laporkan dan adukan mereka ke lembaga yang menerbitkan, izinnya dan asosiasi profesionalnya. Ini
umumnya membuat rekan-rekan seprofesi menjadi kooperatif.
Untuk kekayaan keluarga Soeharto, pencarian bisa berlangsung antara satu sampai dua tahun
dengan tim yang terdiri atas lima investigator, lima case managers, 15 sampai 20 akuntan, lima
pengacara dan suatu tim di lapangan yang tersebar di berbagai negara sekitar 100 orang yang bergerak
pada saat dibutuhkan. Vickers menambahkan, "kami akan menggunakan intelligence analysts' software,
an encryption cracking kit, a computer memory recovery kit dan sebuah forensic laboratory. Namun,
pada akhirnya kuncinya berada di tangan rakyat Indonesia, baik yang berada di negaranya atau di luar
negeri. Kalau mereka mencari, mereka akan menemukan."
Dalam "tangga nada" besarnya jarahan, di mana kiranya Soeharto Inc. beradu? Di bagian akhir
tulisan Vickers ada sederet kecil nama-nama mantan penguasa dan taksiran kekayaan mereka: Marcos
(dilengserkan 1986), mencuri $10 miliar, Kaisar Haile Selassie (dilengserkan 1974) mengumpulkan $2
miliar. Mobutu Sese Seko "menabung" $5 miliar sebelum ia digulingkan dalam tahun 1997. Jean-Claude
Duvalier dari Haiti "cuma" kebagian $500 juta. Dan Socharto Inc. dari Indonesia berada di puncak
tangga, dengan mengantongi $15 miliar. Seperti ditulis oleh Bill Guerin, taksiran mengenai kekayaan
yang dikumpulkan Soeharto selama masa kekuasaannya bergantung kepada siapa yang menaksir: " "This
is a family whose combined wealth and reported fortunes vary depending on who is felling the story.
Forbes Magazine estimated they were worth $16 billion, while Newsweek guessed $30 billion.
Asiaweek, in 1998, reckoned it at a measly $8 billion, and the US Central Intelligence Agency (CIA) said
$30 billion. Nearer to home, the Indonesian Business Data Center said the clan was worth $20 billion."
Pemberitaan Time ini mendapat protes keras lewat pengacara Soeharto. Mantan presiden
Soeharto kalah dalam pertarungan pertamanya, sejak lengser. Ia menuntut Time telah mencemarkan
nama baiknya. Jumlah tuntutan, USS27 miliar. Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang
diketuai Sihol Sitompul, berkesimpulan bahwa tidak terbukti adanya unsur-unsur pencemaran nama
baik, karena itu gugatan Soeharto ditolak.

BEBERAPA PERKEMBANGAN TERAKHIR


Di bagian pengantar telah disebutkan beberapa perkembangan terakhir yang secara singkat
ubahas di sini. Akuntan forensik harus melihat perkembangan-perkembangan dalam penggalan waktu
yang pendek, dalam konteks pemberantasan korupsi yang lebih Panjang, mungkin satu generasi.
Pengalaman ini merupakan pelajaran yang kita bayar dengan harga yang sangat mahal. Kita sendirilah
yang menentukan apakah pelajaran ini menjadi berharga atau tidak untuk bangsa ini.

Titik Balik Penanganan Kasus Soeharto


1. Membaca ketetapan MPR Nomor XI/MPR/1998 Tanggal 13 November 1998 tentang Penyelenggara
Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, kita mendapat kesan bahwa rakyat
Indonesia sangat marah dengan praktik praktik KKN di era pemerintahan mantan Presiden
Soeharto. Empat dari enam pertimbangan mengapa Ketetapan MPR itu dikeluarkan menunjukkan
hal ini. Dalam penyelenggaraan negara telah terjadi pemusatan kekuasaan, wewenang, dan
tanggung jawab pada Presiden/Mandataris Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia
yang berakibat tidak berfungsinya dengan baik Lembaga Tertinggi Negara dan Lembaga-lembaga
Tinggi Negara lainnya, serta tidak berkembangnya partisipasi masyarakat dalam memberikan
kontrol sosial dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
2. Tuntutan hati nurani rakyat menghendaki adanya penyelenggara negara yang mampu menjalankan
fungsi dan tugasnya secara bersungguh-sungguh dan penuh tanggung jawab agar reformasi
pembangunan dapat berdaya guna dan berhasil guna.
3. Dalam penyelenggaraan negara telah terjadi praktik-praktik usaha yang lebih menguntungkan
sekelompok tertentu yang menyuburkan korupsi, kolusi, dan nepotisme di mana melibatkan para
pejabat negara dengan para pengusaha sehingga merusak sendi-sendi penyelenggaraan negara
dalam berbagai aspek kehidupan nasional.
4. Dalam rangka rehabilitasi seluruh aspek kehidupan nasional yang berkeadilan, dibutuhkan
penyelenggara nasional yang berkeadilan, dibutuhkan penyelenggara negara yang dapat dipercaya
melalui usaha pemeriksaan harta kekayaan para pejabat negara dan mantan pejabat negara serta
keluarganya yang diduga berasal dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta mampu
membebaskan diri dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Meskipun tidak mengabaikan prinsip praduga tak bersalah, Pasal 4 dari Ketetapan MPR tersebut
menyebut nama mantan presiden secara tegas, Selengkapnya Pasal 4 berbunyi sebagai berikut.

KA EL

Titik Balik Penanganan Kasus BLBI


Yang ingin dibahas dalam bab ini adalah pola-pola penanganan kasus-kasus korupsi dan kasus-
kasus BLBI yang serupa. Ada kesan penanganan kasus-kasus dengan cara:
1. Ulur waktu sedemikian rupa sampai kasusnya dilupakan atau perilaku masa lalu mendapat
pengampunan nasional;
2. Menghilangkan atau kehilangan catatan dan berkas-berkas lain untuk menghilangkan jejak atau
mengaburkan jumlah utang yang sebenarnya;
3. Penyimpangan di sistem pengadilan , mulai penyelidikan, penyidikan, penuntutan sampai ke proses
pengadilan;
4. Penyimpangan di imigrasi untuk "pengobatan" di luar negeri yang dilanjutkan dengan pelarian dan
penggantian kewarganegaraan;
5. Peluang-peluang untuk pencucian uang;
6. Proses negosiasi berkepanjangan yang sangat sarat dengan korupsi dan pemerasan.

Tersendatnya Sidang Pengadilan


Diawali dengan putusan Probosutedjo tentang orang-orang penting di Mahkamah menerima
uang suap, pengacaranya (Harini Wijoso) diajukan sebagai terdakwa.

Kotak 7.21
Terbelah Soal Bagir Manan
Majelis hakim Pengadilan Korupsi terbelah dalam soal pemanggilan Bagir Manan sebagai saksi
muncul desakan agar mereka dibubarkan saja. Dalam sidang sebelumnya, dua pekan lalu, Kresna Menon
telah menyatakan tidak setuju memanggil Bagir. Dasarnya adalah Surat Edaran Ketua MA No. 2/1985.
"Keterangan Bagir Manan tidak ada nilainya, apakah memberatkan atau meringankan terdakwa, jadi
tidak perlu dipanggil kata bekas hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat itu.
Jawaban ini membuat berang koleganya, Hakim Achmad Linoh. Hakim dari jalur nonkarier ini
langsung meninggalkan ruang sidang. Aksi ini diikuti dua hakim nonkarier lainnya, Dudu Duswara dan I
Made Hendra Kusumah. Sidang pun langsung dihentikan. Perpecahan majelis hakim itu membuat Komisi
Yudisial turun tangan.
Menurut sumber Tempo, ketidakkompakan majelis hakim telah muncul sebelum jaksa meminta
Bagir dihadirkan. Pengadilan hakim nonkarier tersebut sepakat akan memanggil Bagir jika jaksa
memintanya. Tapi Kresno Menon dan Sutiyono menyatakan tidak setuju memanggil Bagir. Tapi tiga
hakim nonkarier menyetujuinya.
Rabu pekan ini musyawarah memang akan digelar lagi. Tapi tampaknya menemui jalan buntu
lagi. Karena itulah Made Hendra berharap Ketua Pengadilan Korupsi Jakarta, yang untuk sementara
dirangkap oleh Ketua Pengadilan Negeri Pusat Jakarta, cepat turun tangan.
Sumber: Tempo, 21 Mei 2006.
Beberapa minggu sesudah walkout-nya tiga hakim ad hoc, belum juga ada kepastian mengenai
proses pengadilan Harini. Tempo memberikan opini tentang hal ini.
Kotak 7.22
Perlunya Bagir Dihadirkan
Silang sengketa di pengadilan korupsi ihwal mendatangkan Ketua MA Bagir Manan sebagai saksi
harus segera diakhiri. Tiga hakim dari jalur nonkarier menyatakan Bagir perlu dihadirkan. Sementara dua
lainnya, kebetulan hakim karir, termasuk Ketua Majelis Hakim Kresno Menon, menyatakan tidak perlu.
Akibatnya hingga kini persidangan dugaan penyuapan dengan terdakwa Harini Wijoso, terus tertunda.
Harini didakwa melakukan percobaan penyuapan kepada tiga hakim agung, termasuk Bagir Manan.
Tujuannya jelas, agar tiga hakim agung yang menangani peninjauan kembali (PK) Probosutedjo tidak
menghukum pengusaha tersebut. Sebelumnya, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta menghukum adik tiri
mantan Presiden Soeharto itu dua tahun penjara karena terbukti mengkorupsi dana reboisasi sebesar
Rp100 miliar.
Harini mengaku bahwa salah satu hakim agung yang akan disuap adalah Bagir. Faktanya, Harini
memang pernah bertemu Ketua Mahkamah Agung itu diruang kerjanya. Dalam kasus inilah jaksa
melihat perlunya Bagir Manan didatangkan ke ruang sidang.
Sikap majelis hakim terbelah. Tiga hakim berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP) memandang Bagir harus dipanggil. Sementara Kresna Menon, dengan dengan merujuk
Surat Edaran Mahkamah Agung No. 2/1985, menyatakan bahwa hakim berwenang tidak menghadirkan
saksi yang diminta jaksa. Hakim Kresna berpendapat bahwa Bagir tak relevan didatangkan.
Jika tidak terjadi mufakat, para hakim melakukan voting. Pendapat terbanyak, itulah yang wajib
diikuti. Bahwa kemudian ada hakim yang tak sependapat, ia bisa menuliskannya dalam dissenting
opinion. Kita berharap masalah ini segera selesai. Bagir Manan, dihadirkan sebagai saksi, dan majelis
hakim bisa melanjutkan kembali tugas penting mereka: memberantas korupsi.
Sumber: Tempo, 21 Mei 2006.

Kesan Dihilangkannya Temuan PPATK tentang Petinggi Kepolisian


PPATK suatu lembaga yang relatif muda, pada akhir Juli 2005 mengajukan daftar nama 15
"anggota" polisi yang memiliki rekening tak masuk akal. Berita besar ini, seperti biasanya, merupakan
headline "kagetan" yang dengan cepat tenggelam dan menghilang dari pemberitaan (maupun tindak
lanjut).
Kelanjutan kasus L/C fiktif Rp1,2 triliun di Bank BNI membuka kembali. Para tersangka kasus
pembobolan BNI tidak kompak karena perlakuan "diskriminatif" yang diterima seseorang di antara
mereka dari pihak penyidik. Mulailah ia "bernyanyi" dan menyebut nama beberapa petinggi kepolisian,
termasuk Kapolri waktu itu (Da'i Bachtiar).
"Ternyata dana Rp1,2 triliun yang dikeruk dari BNI Cabang Kebayoran Baru tidak hanya dinikmati
oleh para pembobolnya. Kini terkuak bahwa suap Rp15,5 miliar mengalir ke petinggi kepolisian.
"Dengan hati-hati Tempo menutup kesimpulannya dengan sebuah pertanyaan," Benarkah Kapolri saat
itu, Jenderal Da'i Bachtiar, ikut menikmatinya? "
Tempo 28 Mei 2006 melaporkan bahwa Kepala Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri
Komisaris Jenderal Makbul Padmanagara menyatakan akan mengusut Da'i. Nama Da'i dikaitkan dalam
kuitansi di bekas perkara Komisaris Besar Irman Santosa, polisi penyelidik perkara BNI yang didakwa
menerima suap. Kuitansi ini ada dua. Satu Rp 8,5 miliar tertanggal 20 Desember 2003 dan satu lagi Rp7
miliar tertanggal 6 Maret 2004. Artinya, uang ini mengalir saat kasus BNI sedang dalam tahap penyidikan
di Mabes Polri.
Dalam kuitansi dari PT Brocollin Internasional ini disebutkan uang itu untuk biaya administrasi di
kepolisian. Akan tetapi, saat Irman Santosa disidang. April lalu, terungkap cerita versi lain soal kuitansi
ini. Salah seorang karyawan PT Brocollin, Agus Julianto, mengumumkan uang Rp15,5 miliar ditujukan
untuk Trunojoyo I dan Bareskrim.
Cerita Trunojoyo I ini semakin jelas saat Komisaris Polisi Siti Kumalasari, salah seorang penyidik
di Mabes Polri, bersaksi pada awal April lalu. Waktu itu Irman bertanya kepada bekas anak buahnya
tentang isi kuitansi yang diketahuinya. "Tulisannya untuk biaya administrasi Trunojoyo I, jumlahnya
Rp8,5 miliar dan untuk biaya administrasi Bareskrim Rp7 miliar," jawab Kumalasari. Sebulan setelah
bersaksi, status Kumalasari bukan lagi penyidik. Ia dimutasi ke bagian administrasi.
Dicky Iskandardinata, Direktur Utama PT Brocollin International, juga pernah menerangkan
kepada hakim. Dicky terkait dalam kasus ini karena perusahaannya menikmati kucuran uang haram dari
BNI itu. "Trunojoyo adalah orang di dalam Mabes Polri," katanya.
Uang itu, menurut Dicky, diambil oleh Adrian Waworuntu selaku komisaris Brocollin. Cerita yang
berkembang selanjutnya adalah soal Trunojoyo I, sebab sandi ini diidentikkan dengan Kepala Polri. Ada
orang nomor satu di kepolisian saat kasus BNI terjadi yaitu Da'i Bachtiar. Da'i membantah dia menerima
uang dalam kasus BNI ini.
Dari cerita yang hampir berumur satu tahun, tidak jelas apakah dana yang mengalir ke perwira
polisi sama dengan yang semula dilaporkan oleh PPATK ke Kapolri Jenderal Sutanto, dan apakah laporan
PPATK ditindaklanjuti. Bandingkan dengan tindak lanjut yang relatif cepat terhadap seorang guru dan
tukang listrik yang didakwa melakukan pencucian uang Rp 1,7 miliar. Salah satu teknik investigasi adalah
follow the money. Jejaknya sudah terekam, tetapi tindak lanjut tidak ada.

Deretan Panjang Suap dan Pemerasan


Seperti belum cukup panjang, mantan Direktur Utama Jamsostek (Ahmad Djunaidi)
menampilkan adegan menawan sesudah majelis hakim membacakan vonis delapan tahun penjara
baginya. Yang Jadi sasaran adalah jaksa penuntut umum Heru Chairuddin. Ahmad Djunaedi kecewa
berat dengan putusan hakim, padahal dia mengaku sudah menyuap jaksa sebesar Rp600 juta Tempo, 7
Mei 2006 menyegarkan ingatan kita yang bahwa kasus serupa terjadi hampir 20 tahun lalu. Dalam istilah
Alatas yang akan dibahas, Indonesia sudah berada dalam Korupsi Stadium Tiga.
PENUTUP
Akuntansi forensik banyak berurusan dengan fraud misalnya korupsi. Dimulai dengan kerangka
teoritis, melalui pembahasan Swensson. Kerangka teoritis diperlukan untuk membahas gejala-gejala dari
penyakit korupsi, mengenal penyakit korupsi dan upaya memberantas penyakit korupsi.Termasuk
didalamnya mengenali kebijakan apa yang mempunyai peluang untuk berhasil (atau gagal) dan kenapa.
Syed Hussain Alatas meneliti banyak negara di Asia, termasuk Indonesia. Kutipan dari bukunya
memberikan perspektif sejarah tentang korupsi di Indonesia. Termasuk ucapan Soeharto pada awal
pemerintahannya sewaktu mengritik pendahulunya.
Majalah Time edisi Asia memberikan analisis yang mencakup berbagai segi (taksiran jumlah
kekayaan yang dihimpun Soeharto dan keluarga, metode pengumpulan harta, teknik memburu harta
tersebut, dan prediksi mengenai kegagalan dalam perburuan).
Suatu dampak penting dari tulisan Time yang merupakan kejutan, yakni kalahnya Soeharto Inc. di
pengadilan di negaranya sendiri. Time memberitahukan bahwa pers adalah alat kontrol terhadap
penguasa.
Dalam perjalanan yang panjang banyak tantangan seperti pengalaman kita pada bagian pertama
tahun 2006. Kalau pengalaman 35 tahun memberantas korupsi yang didokumentasikan BPKP dapat
menjadi petunjuk, nasib para akuntan forensik kita dalam bidang ini tidak jauh dari prediksi Winters dan
Aditjondro.
Alatas menulis mengenai tiga tahap korupsi. Tahap pertama dijelaskan sebagai berikut.
("Dalam tahap pertama korupsi masih terbatas dan belum berdampak terhadap kehidupan
bermasyarakat yang luas. Hak-hak dan peraturan masih ditaati tanpa adanya penderitaan publik, Hampir
semua yang diperlukan publik dari pemerintah, dapat dipenuhi tanpa harus menyuap atau melalui
nepotisme. Pada tahap ini korupsi terbatas pada lapisan atas dalam pemerintahan dan bisnis besar").
Mengenai korupsi tahap kedua, Alatas menulis secara singkat:
("Korupsi dalam tahap kedua menjadi liar dan meluas ke mana-mana. Hampir tidak ada apa pun
yang dapat dilakukan tanpa menyuap.")
Yang menarik adalah uraian Alatas mengenai korupsi tahap ketiga. Inilah tahapan yang dialami
Indonesia menjelang akhir masa pemerintahan Soeharto sampai hari ini.
("Korupsi pada tahap ketiga adalah yang paling menarik, dan kadang-kadang yang paling sulit
dikenali. Pada tahap ini korupsi menghancurkan dengan sendirinya, sesudah ia merobek-robek
kehidupan masyarakat. Untuk melanjutkan teori kami mengenai dinamika korupsi, kita harus
memasukkan keterlibatan faktor-faktor lain. Kita harus juga memasukkan hubungan sebab akibat dari
korupsi. Korupsi merangsang pertumbuhan untuk peningkatan yang lebih besar lagi dalam korupsi
berikutnya. Ketika pungutan liar merajalela di antara pegawai negeri sipil, dimanfaatkan oleh pak polisi
di jalanan atau petugas di belakang meja, dan perawat di rumah sakit, umumnya itu merupakan akibat
dari korupsi sebelumnya pada tingkat yang lebih tinggi. Kondisi suatu negara yang melahirkan korupsi
yang berkecamuk di antara pegawai negeri sipil, memerlukan adanya korupsi di masa lalu yang
bertanggung jawab atas terjadinya kondisi itu di masa kini. Suatu teori korupsi harus memasukkan
kondisi awal ini")
Alatas mengutip gagasan sejarawan Belanda, J. Huizinga. Menurut Huizinga, setiap kepemimpinan
dipengaruhi oleh apa yang dinamakannya "historical ideals of life". Ini adalah gagasan mengenai
excellence yang ingin diwariskan oleh sang pemimpin sesudah ia turun dari panggung kepemimpinan.
Untuk menerangkan destiny Asia, Alatas membandingkan Indonesia di era Soeharto dan keputusan awal
Lee Kuan Yew sebelum memimpin bangsa Singapura.
("Korupsi berdampak atas kesejahteraan dan kehidupan perorangan dalam masyarakat tanpa
harus menghambat pertumbuhan ekonomi, Indonesia dipuji karena tingkat pertumbuhan ekonomi yang
luar biasa di era Soeharto. Seiring dengan pertumbuhan ekonomi, korupsi juga berkembang secara
melebar dan mendalam. Apabila suatu pemerintah dan negara yang stabil dengan pertumbuhan
ekonomi yang menjanjikan saja tidak bisa menjamin pemberantasan korupsi, bahkan sebaliknya, ia
justru melanggengkan, lalu apa yang bisa menghasilkan governance yang tidak korup? Jawabannya
adalah kepemimpinan politik yang bersih. Keputusan pimpinan partai politik untuk memerangi korupsi
menunjukkan pentingnya peranan kepemimpinan dalam memerangi korupsi. Dalam memoirs-nya, Lee
Kuan Yew mengemukakan bagaimana pandangan rekan-rekannya mengenai korupsi sebagai faktor
penentu bagi partainya untuk memasuki pemilu 1959 dengan membentuk pemerintahan baru dan
bukan sebagai partai oposisi lima tahun ke depan.
Mereka khawatir bahwa apabila pemerintah yang berkuasa waktu itu (di bawah partai the
Singapore People's Alliance) terus memerintah untuk satu masa bakti lagi, korupsi akan menyebar dari
tingkat menteri ke pegawai negeri sipil. Kalau itu terjadi, tidak akan ada pemerintahan yang efektif
untuk mengimplementasi kebijakan partai Tuan Lee Kuan Yew. Kepemimpinan yang serius mengenai
kondisi moral dari birokrasi pemerintahan mencetuskan kepedulian yang sejati mengenai masalah
korupsi.
Kepemimpinan yang korup dengan cepat akan melahirkan dan melanggengkan korupsi ke seluruh
jajaran. Sekali ini terjadi, kita memerlukan beberapa dasawarsa untuk mengubahnya, Satu generasi
politik menggantikan generasi sebelumnya dengan sifat dan ciri yang sama, yakni korupsi.")

Anda mungkin juga menyukai