Disusun Oleh:
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS GUNADARMA
TANGERANG
ATA 2019/2020
BAB 7
KORUPSI
Sistem perekonomian dan kelembagaan yang meningkatkan manfaat atau “keuntungan” korupsi
cenderung memiliki empat ciri yaitu:
1. Individu pejabat mempunyai kekuasaan mutlak (substantial monopoly power) atas pengambilan
keputusan.
2. Pejabat yang bersangkutan mempunyai kelonggaran wewenang (discretion) yang besar.
3. Mereka tidak perlu mempertanggung jawabkan (tidak accountable terhadap) tindakan mereka.
4. Mereka beroperasi dalam lingkungan yang rendah tingkat keterbukaan ( an environment of low
transparency).
Keempat ciri ini melahirkan rumus atau persamaan yang berikut:
C = MP + D – A - Tdm
Dimana :
C = corruption (korupsi)
MP = monopoly power (kekuasaan mutlak)
D = discretion (kelonggaran wewenang)
A = accountability (akuntanbilitas)
Tdm = transparency of decision-making (keterbukaan dalam pengambilan keputusan)
Pertanyaan Pertama
Whats is corruption?
Korupsi umumnya didefinisi adalah penyalahgunaan jabatan di sector pemerintahan (misuse of
public office) untuk keuntungan pribadi. Korupsi yang didefinisikan seperti itu meliputi, misalnya
penjualan kekayaan negara secara tidak sah oleh pejabat, kickbacks dalam pengadaan di sector
pemerintahan, penyuapan dan “pencurian” (embezzlement) dana-dana pemerintah. Korupsi tatau lebih
tepat penyuapan, tidak sama dengan rent seeking, sekalipun kedua istilah ini sering digunakan dengan
makna yang sama. Rent seeking adalah upaya menikmati rent dalam segala bentuk, umumnya dengan
rstu pemerintah. (Tollison, 1997) contoh: kenikmatan hasil tol dari jalan yang dibangun negara dengan
utang negara. Pemberian suap secara teknis merupakan transfer dari pemberi ke penerima suap. Tidak
ada definisi yang sempurna untuk menjelaskan fenomena korupsi. Beberapa kegiatan menimbulkan
pertanyaan mengenai legalitas atau keabsahan dari segi hukum, misalnya lobbying, pemberian
sumbangan kampanye partai politik, memberikan jabatan tinggi dengan gaji besar kepada mantan
pejabat dan lain-lain.
Pertanyaan Kedua
Which countries are the most corrupt?
Inti dari pertanyaan ini adalah bagaimana kita mengukur korupsi sedemikian rupa sehingga kita
memperoleh gambaran antar-negara. Kajian mengenai pengukuran korupsi antar negara oleh Knack
dan Keefer (1995) dan Mauro (1995) didasarkan atas indicator korupsi yang dihimpun oleh perusahaan-
perusahaan yang berkecimpung dalam usaha mengukur risiko (private risk assessment firms).
Diantarannya, Internartional Country Risk Guide (ICRG) adalah yang paling poluper, karena ia meliputi
lebih banyak kurun waktu dan negara. Yang kedua adalah Indeks yang menunjukan rata-rata dari
berbagai peringkat oleh sumber-sumber yang menghimpun data mengenai persepsi adanya korupsi,
diantaranya, yang paling popular adalah Corruption Perception Index (CPI). Dan yang ketiga menurut
Kaufmann, Kraay dan Mastruzzi (2003) menghasilkan ukuran yang melengkapi pengukuran tersebut di
atas, yakni Control of Corruption (CoC).
Pertanyaan Ketiga
What are the common characteristics of countries with high corruption?
Kelompok teori pertama memandang mutu Lembaga dan karenanya juga korupsi dibentuk oleh
factor -faktor ekonomi. Secara singkat, perkembangan Lembaga-lembaga merupakan respons terhadap
tingkat pendapatan negara. Kelompok teori ini melihat pendapatan perkapita dan taraf Pendidikan
sebagai penyebab korupsi.
Pandangan kelompok teori kedua, Lembaga-lembaga ekonomi dan politik memengaruhi tingkat
korupsi, khususnya dalam cara-cara dimana Lembaga-lembaga itu membatasi persaingan pasar dan
politik. Variable yang menangkap pembatasan pasar antara lain meliputi keterbukaan pesaingan dari
luar untuk Import (Ades dan Di Tella, 1999) dan banyaknya peraturan mengenai masuknya perusahaan
yang baru mulai (star-up firms).
Pertanyaan Keempat
What is the magnitude of corruption?
Peringkat negara-negara yang berdasarkan persepsi tangka korupsi bersifat subjektif. Dalam
beberapa tahun terakhir mulai ada penelitian mengenai berapa besar sesungguhnya korupsi itu.
Svenson (2003) misalnya pada sejumlah perusahaan di Uganda. Survey itu menggambarkan keadaan
suram mengenai kewiraswataan di negara yang berkembang paling cepat di Kawasan sub sahara afrika
dalam 10-15 tahunterakhir. Untuk perusahaan yang melaporkan mereka membayar suap, jumlah
(secara kasar) adalah 8% dari dana yang di alokasikan untuk subsidi beras untuk orang miskin (raskin) di
korupsi. Untuk menentukan jumlah ini, peneliti membandingkan berapa dana yang keluar dari APBN
dengan dana yang sesungguhnya dierima oleh pengelola program tersebut.
Pertanyaan Kelima
Do higher wages of bureaucrats reduce corruption?
Ini adalah pertanyaan yang menarik, yang juga sering kita dengar di Indonesia. Jika gaji para
birokrat dinaikan, apakah kenaikan ini diiringi denga berkurangnya korupsi? Negara-negara donor dan
organisasi internasional sering kali menganjurkan negara berkembang untuk menaikan gaji pegawai
negri mereka. Ini kesimpulang yang paling penting bagi negara berkembang dengan tingkat korupsi yang
tinggi. Tanpa sistem pemantauan yang jujur dan konsisten, kenaikan gaji tidak akan menurunkan tingkat
korupsi.
Pertanyaan Keenam
Can compettion reduce corruption ?
pertanyaan mengenai apakah persaingan dapat menekan korupsi, berkaitan dengan pendekatan
untuk menekan korupsi melalui peningkatkan persaingan. Hubungan antara laba perusahaan dan
korupsi sangatlah kompleks dan secara analitis tidaklah selalu jelas. Penyebab korupsi dengan regulasi
pasar berkaitan kuat adalah kewenangan yang dipunyai sang birokrat. Para pejabat sering kali
mengeluarkan aturan yang menghambat masuknya pesaing (barrier to entry) supaya mereka bisa
korupsi (De Soto,1989;Shleifer dan Vishny, 1993). Jadi, deregulasi bisa mengurangi korupsi bukan karena
ia meningkatkan persaingan, melainkan karena ia mengurangi kewenangan birokrat.
Pertanyaan Ketujuh
Why have there been so few (recent) successful attempts to fight corruption?
Gebrakan-gebrakan sebenernya berasumsi bahwa semakin banyak dan semakin baik penegakan
hukum, semakin besar korupsi bisa dibasmi. Padahal dibanyak negara miskin, Lembaga hukum dan
keuangannya lemah. Menambah sumber daya kepada Lembaga ini seringkali bukan jawabannya. Sampai
hari ini tersedia sedikit bukti yang menunjukan bahwa kalua Lembaga-lembaga pemantau korupsi
diguyur dengan dana dan sumber daya lainnya, mereka akan berhasil menekan korupsi. Hongkong dan
singapura mereka dianggap sebagai pengecualian. Di kedua negara ini, peningkatan sumber daya
dibarengi denga pemerdayaan yang hebat dan Lembaga-lembaga anti korupsi mereka. Di hongkong dan
singapura, pemerdayaan KPK mereka dibarengi dengan berbagai reformasi di bidang administrasi
negara. Masalahnya, di kebanyakan negara berkembang, komitmen inilah yang tidak bisa dihadirkan.
Pertanyaan Kedelapan
Does corruption adversely affect growth?
Di era orde baru, ada pakar dan pengamat yang berargumentasi bahwa korupsi justru
mendorong pertumbuhan ekonomi. Menurut mereka, dengan penyuapan, perusahaan bisa melincinkan
usaha mereka yang tersendat oleh birokrasi yang tidak efisien, akan tetapi hal tersebut menciptakan
distorsi agar bisa mendapat uang suap.
KORUPSI-TINJAUAN SOSIOLOGI
Terpisah dari penyuapan, pemerasan atau lain-lainnya yang langsung, pendekatan yang tidak
langsung juga menarik. Contoh-contoh yang diberikan sebagai protes terhadap korupsi dan
penyalahgunaan oleh pegawai-pegawai sipil belanda sekitar abad-abad pemerintahannya di jawa
memberikan ilustrasi menarik kepada kita. Seorang pejabat administrasi junior eropa yang dipindahkan
ke pos yang lain, akan memboyong harta kekayaan untuk dilelang, dan dalam lelang seperti itu sebatang
pena bisa dijual seharga 100 gulden. Pembukuan pertamina harus diserahkan kepada perusahaan asing.
Ia melakukan produksi minyak bumi dan kegiatan-kegiatan pemasaran, di samping melakukan usaha
patungan dan bagi hasil Bersama dengan 34 perusahaan minyak asing. Di antara keganjilan yang dibuat
oleh pertamina adalah tidak membayar, sehingga pada tahun 1967, utang pajak pertamina mencapai
Rp.1.344 miliar. Selama Sembilan tahun, sejak tahun 1958, pertamina tidak menyumbangkan sepeser
pun kepada dan pembangunan.
Kotak 7.3
Pada bulan juni 1970, 165 buah perusahaan mendapat izin penebangan dengan modal sebesar
$106,65 juta dan Rp.285 juta meliputi Kawasan seluas 9 juta hektar. Pada waktu itu usaha perkaryuan
sedang mengalami pasang naik. Kegiatan usaha perkayuan tidak dilaksanakan dengan semestinya.
Pemegang izin yang asli, yang keuntungannya jauh lebih kecil dari pada rekan usaha asingnya, tidak
membayar royalty dan uang izin. Maka pemerintah mengalami kerugian dari sumber ini. Selain itu hutan
menjadi rusak karena penebangan tanpa pilih-pilih dan praktik-praktik lain yag merusak. Berbagai
pelanggaran dan korupsi yang terjadi dalam industry kayu menimbulkan kerugian besar bagi pemerintah
melalui penipuan. Kayu di gergaji sedemikian rupa sehingga jatuh di bawah spesifikasi ekspor dan kayu
juga di ekspor dalam bentuk glondongan sehingga mengurangi penerimaan pemerintah. Singkatnya
walaupun yang di tebang kayu berkualitas tinggi, namun secara resmi pemerintah menerima laporan
angka produksi kualitas kayu dan penjualan yang lebih rendah.
Tahun 1980-an dibentuk Opstib (Operasi Tertib) dan di pusat dikenal sebagai Opstibpus (Operasi
Tertib Pusat). Opstibus melakukan gebrakan-gebrakan, antara lain di pengadilan (Kotak 7.4) termasuk
sidan pengadilan yang tidak wajar (Kotak 7.5).
Kotak 7.4
Luasnya jangkauan korupsi yang merusak terjadi di Indonesia kiranya lebih jelas tercermin
dalam peristiwa pengadilan Jakarta. Ledakan pertama skandal pengadilan berupa keterangan pers
operasi tertib pusat (Opstibpus) pada tanggal 28 januari 1981. Seorang hakim terjebak dan tertangkap
basah pada waktu menerima uang suap di kantornya. Orang yang hendak menyuap itu, seorang nyonya.
Kemudian merasa jumlahnya nya terlalu besar ( 50 juta rupiah). Ia melaporkan persoalannya kepada
Opstibpus, karena ia takut di kurbankan oleh sang hakim apabila ia menarik maksudnya. Opstibpus
kemudian memasang perangkap dengan bantuan nyonya tersebut dan pada tanggal 26 November 1980
sang hakim ditahan tepat sesudah menerima suap sebanyak Rp.1.000.000 dan selembar cek giro senilai
Rp.9.000.000 dikantornya dari nyonya yang bersangkutan. Beberapa bulan kemudian dilaporkan di
sebuah harian Indonesia, bahwa sejak tahun 1977 berpuluh-puluh hakim di copot dari jabatannya di
seluruh Indonesia.
Kotak 7.5
Sidang-sidang dilakukan dikantor hakim, dan masyarakat diantara para hakim, mereka yang
seharusnya ikut-serta tidak hadir. Selanjutnya ada perbedaan antara keputusan yang disampaikan di
dalam sidang sebelumnya. Ketua pengadilan yang baru tidak mau tahu tentang ketua pengadilan yang
lama mengenghadapi utang dan bersikeras agar utang tersebut dilunasi oleh para pegawai pengadilan.
Penipuan di dunai perbankan (Bank Dagang Negara dan Bank Bumi Daya) sudah dikenal. Kedua
bank tersebut bersama Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo) dan Bank Ekspor Impor Indonesia (Bank
Eksim) dikemudia digabungkan menjadi bank yang sekarang bernama Bank Mandiri. Kasusnya masih
bersifat “penyakit kekanak-kanakan”, yang di dunai perbankan disebut L/C fiktif. Bandigkan kasus
perbankan dikotak 7.6 dan kotak 7.7 dengan kasus L/C fiktifnya Bank BNI-Adrian Waworuntu dan Dicky
Iskandardinata, agaknya yang berbeda hanyalah jumlah kerugian negaranya.
Kotak 7.6
Penipuan juga terjadi dengan ekspor kopi dan karet fiktif dari medan, Sumatra utara, oleh
firman orici dan bumi ayu mulia. Semua dokumen ekspor disiapkan melalui korupsi, kecuali daftar muat
barang (bill of landing) yang ditandatangani secara palsu. Cara operasi nya adalah dengan menawarkan
kopi dan karet ke luar negeri, menerima leter of credit, mencairkannya melalui dua bank pemeritah
(Bank Dagang Negara dan Bank Bumi Daya), dan membiarkan para calon pembeli membatalkan
persetujuan transaksi, karena tidak ada barang yang dikirim.
Kotak 7.7
Dalam hal tersebut manipulasi yang sama terjadi melalui ekspor karet fiktif. Bank Bumi Daya
ditipu sebanyak $10.709.283,71. Masyarakat diberi informasi oleh Laksamana Sudomo Panglima
Kopkamtib, bahwa hal ini adalah penipuan berat yang dapat merusak citra Indonesia di luar negeri.
Team Opstibpus berhasil mengembalikan 50 persen lebih sedikit dari uang yang digelapkan itu melalui
penyitaan harta kekayaan kedua perusahaan dan para pejabat bea-cukai. Para pemrakarsa seluruh
penipuan tersebut, kedua orang direktur perusahaan yang bersangkutan, lari ke luar negeri, para
pejabat bank dan bea cukai dianjurkan ke pengadilan. Alatas juga mengutip pers tentang korupsi kelas
kakap dan kelas teri. Semacam “penyakit kekanak-kanakan” atau pencurian terbuka digambarkan dalam
Kotak 7.8.
Kotak 7.8
Korupsi kelas kakap maupun kelas teri melanda semua Lembaga. Salah satu contohnya adalah
sebuah cabang bank pemerintah di Jawa Tengah. 5 orang perantara dan 4 orang tersangka, menunukan
bahwa kepala cabang bank tersebut menerima uang suap (Rp.34.009.400 dari 252 nasabah). Uang
tersebut dibagi-bagi paling tidak diantara delapan orang pegawai cabang bank itu. Atas perintah
pimpinan, dibuatlah jurnal kuintansi palsu untuk pemeliharaan kantor, rumah pejabat, dan mobil
pejabat. Contoh lain yaitu menaikan harga tanah yang dibeli oleh cabang bank tersebut dan
memberikan kelonggaran kepada penerima kredit untuk menunda pembayaran serta kepala cabang
tersebut mengunakan ayah-mertua nya untuk mendapat kredit bagi dirinya sendiri sebanyak tiga kali.
Alatas juga mengutip kasus distribusi pupuk. Suatu perusahaan yang tunjuk untuk menangani
proyek tersebut meninggalkan utang Rp.46,1 miliar dan Opstibpus berhasil mengembalikan Rp.20,5
miliar. Komisi illegal dari distribusi pupuk di jawa barat dan jawa tengah saja, mencapai Rp.1,55 miliar.
Dari kasus-kasus korupsi sekitar tahun 1970-1980-an yang dilaporkan Prof. Alatas , kita dapat
menyimpulkan, antara lain sebagai berikut ini :
1. Tipologi korupsinya tidak banyak berubah. Beberapa diantaranya merupakan penyakit kekanak-
kanakan alias mencuri terang-terangan.
2. Bahkan “pemain” -nya masih yang itu-itu juga (meskipun sudah berganti nama) seperti bank-
bank BUMN yang menjadi Bank Mandiri atau Bank BNI, Pertamina, distributor pupuk, ABRI
(sekarang TNI), dan lain-lain.
3. Gebrakan membawa sukses ”sesaat” seperti terlihat dalam hasil kerja komisi empat, Opstib,
Opstibpus, dan lain-lain.
KA EL
Kotak 7.21
Terbelah Soal Bagir Manan
Majelis hakim Pengadilan Korupsi terbelah dalam soal pemanggilan Bagir Manan sebagai saksi
muncul desakan agar mereka dibubarkan saja. Dalam sidang sebelumnya, dua pekan lalu, Kresna Menon
telah menyatakan tidak setuju memanggil Bagir. Dasarnya adalah Surat Edaran Ketua MA No. 2/1985.
"Keterangan Bagir Manan tidak ada nilainya, apakah memberatkan atau meringankan terdakwa, jadi
tidak perlu dipanggil kata bekas hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat itu.
Jawaban ini membuat berang koleganya, Hakim Achmad Linoh. Hakim dari jalur nonkarier ini
langsung meninggalkan ruang sidang. Aksi ini diikuti dua hakim nonkarier lainnya, Dudu Duswara dan I
Made Hendra Kusumah. Sidang pun langsung dihentikan. Perpecahan majelis hakim itu membuat Komisi
Yudisial turun tangan.
Menurut sumber Tempo, ketidakkompakan majelis hakim telah muncul sebelum jaksa meminta
Bagir dihadirkan. Pengadilan hakim nonkarier tersebut sepakat akan memanggil Bagir jika jaksa
memintanya. Tapi Kresno Menon dan Sutiyono menyatakan tidak setuju memanggil Bagir. Tapi tiga
hakim nonkarier menyetujuinya.
Rabu pekan ini musyawarah memang akan digelar lagi. Tapi tampaknya menemui jalan buntu
lagi. Karena itulah Made Hendra berharap Ketua Pengadilan Korupsi Jakarta, yang untuk sementara
dirangkap oleh Ketua Pengadilan Negeri Pusat Jakarta, cepat turun tangan.
Sumber: Tempo, 21 Mei 2006.
Beberapa minggu sesudah walkout-nya tiga hakim ad hoc, belum juga ada kepastian mengenai
proses pengadilan Harini. Tempo memberikan opini tentang hal ini.
Kotak 7.22
Perlunya Bagir Dihadirkan
Silang sengketa di pengadilan korupsi ihwal mendatangkan Ketua MA Bagir Manan sebagai saksi
harus segera diakhiri. Tiga hakim dari jalur nonkarier menyatakan Bagir perlu dihadirkan. Sementara dua
lainnya, kebetulan hakim karir, termasuk Ketua Majelis Hakim Kresno Menon, menyatakan tidak perlu.
Akibatnya hingga kini persidangan dugaan penyuapan dengan terdakwa Harini Wijoso, terus tertunda.
Harini didakwa melakukan percobaan penyuapan kepada tiga hakim agung, termasuk Bagir Manan.
Tujuannya jelas, agar tiga hakim agung yang menangani peninjauan kembali (PK) Probosutedjo tidak
menghukum pengusaha tersebut. Sebelumnya, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta menghukum adik tiri
mantan Presiden Soeharto itu dua tahun penjara karena terbukti mengkorupsi dana reboisasi sebesar
Rp100 miliar.
Harini mengaku bahwa salah satu hakim agung yang akan disuap adalah Bagir. Faktanya, Harini
memang pernah bertemu Ketua Mahkamah Agung itu diruang kerjanya. Dalam kasus inilah jaksa
melihat perlunya Bagir Manan didatangkan ke ruang sidang.
Sikap majelis hakim terbelah. Tiga hakim berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP) memandang Bagir harus dipanggil. Sementara Kresna Menon, dengan dengan merujuk
Surat Edaran Mahkamah Agung No. 2/1985, menyatakan bahwa hakim berwenang tidak menghadirkan
saksi yang diminta jaksa. Hakim Kresna berpendapat bahwa Bagir tak relevan didatangkan.
Jika tidak terjadi mufakat, para hakim melakukan voting. Pendapat terbanyak, itulah yang wajib
diikuti. Bahwa kemudian ada hakim yang tak sependapat, ia bisa menuliskannya dalam dissenting
opinion. Kita berharap masalah ini segera selesai. Bagir Manan, dihadirkan sebagai saksi, dan majelis
hakim bisa melanjutkan kembali tugas penting mereka: memberantas korupsi.
Sumber: Tempo, 21 Mei 2006.