Anda di halaman 1dari 15

TUGAS UAS

PENGANTAR ILMU POLITIK

MEMBUAT REVIEW TENTANG


Bangsa dan Bangsa-Negara, Nasionalisme, Nation Building,
Etnis dan Komunitas Politik

Oleh:

Andika Jaya Saputra

1916011033

Dosen:

Azis Amriwan, S. Sos., M. Si

JURUSAN SOSIOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS LAMPUNG
2019
Bangsa dan Bangsa-Negara, Nasionalisme, Nation Building,
Etnis dan Komunitas Politik

A. Bangsa dan Bangsa-Negara


1. Bangsa
Bangsa (berasal dari Bahasa Latin nasci, yang berarti ‘untuk dilahirkan’)
adalah suatu fenomena yang kompleks dan dibentuk oleh beberapa kumpulan
atau rangkaian faktor-faktor budaya, politik, dan psikologis. Budaya, bangsa
adalah sekelompok atau sekumpulan orang yang terikat secara bersama
dengan bahasa, agama, sejarah, dan tradisi yang sama, meskipun suatu bangsa
menunjukkan berbagai tingkat keanekaragaman budaya. Politik, bangsa adalah
sekelompok atau sekumpulan orang yang menganggap diri mereka bagian dari
komunitas politik alami, meskipun secara klasik dinyatakan dalam bentuk
keinginan untuk membangun atau mempertahankan kenegaraan, tetapi dapat
juga mengambil bentuk kesadaran sipil. Psikologis, bangsa adalah sekelompok
atau sekumpulan orang yang dibedakan dengan kesetiaan bersama atau kasih
saying dalam bentuk patriotism.1
Bangsa merupakan pengklasifikasikan masyarakat berdasarkan karakteristik
fisik biologis yang sama, seperti warna kulit, bentuk wajah, bentuk rambut,
dan perawakan. Selain itu, Ben Anderson (seorang ilmuan politik dari
Universitas Cornell mengemukakan pengertian bangsa secara khusus/unik)
menurut pengamatannya, bangsa adalah komunitas politik yang dibayangkan
(imagined political community) yang menduduki wilayah yang jelas batasnya
dan memiliki kedaulatan.2
2. Negara
Istilah negara atau dalam bahasa inggrisya disebut dengan “state” artinya
negara (sebuah istilah yang relative baru). Secara historis, kata state muncul
dalam pengertian modern sebagai badan politik pertama kali di Italia (stato)
pada awal abad ke-16. Makna awal kata status dan rekanan modernnya adalah
estate, yakni sebuah tanah (wilayah) yang sekaligus memiliki pemerintah
1
Heywood, Andrew. 2002. Politics. New York: Palgrave Macmillan (hlm. 106)
2
Surbakti, Ramlan. 1992. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia
(hlm. 41-42)
(rulers) dan pemerintahan (government). Dalam pengertian modern, istilah
negara sering artikan sebagai suatu wilayah (tempat) yang ditempati/didiami
banyak orang dan memiliki pemerintahan yang berdaulat.3
Suatu negara dapat terdiri atas suku bangsa dan ras, seperti Indonesia dan
Amerika Serikat. Negara juga bukan pengklasifikasian masyarakat
berdasarkan indentitas kultural atau fisik biologis yang sama. Akan tetapi,
negara mempunyai satu struktur kekuasaan yang memonopoli dengan
menggunakan paksaan fisik yang absah terhadap kelompok masyarakat yang
mendiami suatu wilayah yang berdaulat. Jadi, negara bisa diartikan sebagai
pengklasifikasian masyarakat berdasarkan kesamaan struktur kekuasaan yang
memerintahnya.4 Sedangkan, pengertian lain dari negara adalah sebuah
struktur pemerintahan suatu bangsa yang berdaulat, biasanya yang berkuasa
cukup kuat untuk menegakkan hukum atau peritahnya.5

3. Bangsa-Negara (Nation-State)
Bangsa-negara merupakan suatu hasil pemikiran tentang negara yang
dibangun/didirikan untuk seluruh bangsa atau untuk seluruh rakyat, atas dasar
konsensus bersama yang menghasilkan ikatan kontraktual dan transaksional
terbuka antara pihak-pihak yang mengadakan kensensus tersebut. Bangsa-
negara adalah hasil historis alamiah yang semi kontraktual dimana
nasionalisme menjadi landasan awal yang paling kuat. Nasionalisme dapat
diartikan sebagai sebuah keadaan atau kondisi kejiwaan dimana keteguhan
hati seseorang secara menyeluruh diabdikan langsung kepada bangsa-negara
atas nama sebuah bangsa.6
Konsep Bangsa-Negara (Nation-State) adalah konsep tentang negara modern
yang berkaitan erat dengan paham kebangsaan atau nasionalisme. Sebuah
negara dikatakan negara modern jika sudah memenuhi setidaknya syarat-

3
Mustaqim, Muhammad., & Miftah, Muhammad. 2015. Tantangan Negara-Bangsa (Nation-State)
dalam Menghadapi Fundamentalisme Islam. Jurnal ADDIN, 1(9), 85-106 (hlm. 90)
4
Surbakti, Ramlan. 1992. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia
(hlm. 41)
5
Michael, Roskin. 2012. Political Science: An Introduction. London: Pearson Education
(hlm. 59)
6
Mustaqim, Muhammad., & Miftah, Muhammad. 2015. Tantangan Negara-Bangsa (Nation-State)
dalam Menghadapi Fundamentalisme Islam. Jurnal ADDIN, 1(9), 85-106 (hlm. 91-92)
syarat pokok selain faktor kewilayahan dan penduduk yang merupakan dasar
utama sebuah negara sebelum menjadi sebuah bangsa-negara. Dengan
demkian, syarat-syarat yang lain adalah memiliki batas-batas territorial
wilayah, pemerintahan yang berdaulat, dan pengakuan dari negara lain.7
4. Proses Terbentuknya Bangsa-Negara8
Proses terbentuknya suatu negara terpusat modern yang penduduknya
mencakup satu nasionalitas (suatu bangsa) merupakan proses pembentukkan
bangsa-negara. Pengertian bangsa dalam istilah satu bangsa berbeda dengan
pengertian bangsa dalam istilah bangsa-negara (nation-state).
Secara umum, ada dua model proses pembentukan bangsa-negara. Pertama,
model ortodoks yang berawal dari terbentuknya suatu bangsa terlebih dahulu
dan kemudian bangsa itu sendiri yang membentuk suatu negara tersendiri.
Kedua, model mutakhir yang bermula dari adanya negara terlebih dahulu dan
negara tersebut terbentuk melalui proses tersendiri, sedangkan penduduknya
merupakan kumpulan sejumlah kelompok suku bangsa dan ras.
Perbedaan kedua model tersebut ada empat hal. Pertama, ada tidaknya
perubahan unsur dalam pengklasifikasian masyarakat. Model ortodoks tidak
ada perubahan unsur karena satu bangsa membentuk satu negara, sedangkan
model mutakhir ada perubahan unsur dari banyak kelompok suku bangsa
menjadi satu bangsa baru. Kedua, waktu yang diperlukan dalam membentuk
suatu bangsa-negara. Model ortodoks memerlukan waktu lebih singkat karena
hanya membentuk struktur kekuasaan dan tidak membentuk suatu indentitas
kultural baru, sedangkan model mutakhir memerlukan waktu yang lebih lama
karena membentuk identitas kultural baru dan harus mencapai konsensus
tentang identitas kultural (nasionalitas) yang baru. Ketiga, kesadaran politik
model ortodoks muncul setelah terbentuknya bangsa-negara, sedangkan
kesadaran politik model mutakhir muncul sebelum terbentuknya bangsa-
negara. Keempat, pentingnya partisipasi politik dan rezim politik dalam model
ortodoks menganggap sebagai hal yang terpisah dari proses integrasi nasional,

7
Mustaqim, Muhammad., & Miftah, Muhammad. 2015. Tantangan Negara-Bangsa (Nation-State)
dalam Menghadapi Fundamentalisme Islam. Jurnal ADDIN, 1(9), 85-106 (hlm. 92)
8
Surbakti, Ramlan. 1992. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia
(hlm. 42-43)
sedangkan model mutakhir menganggap kedua hal tersebut tak terpisahkan
dari proses integrasi nasional (pembentukan bangsa-negara).

B. Nasionalisme
Nasionalisme adalah seseorang yang memiliki rasa cinta yang tinggi terhadap
budaya, sejarah, dan identitas territorial, persatuan, dan kebesaran/kejayaan
negaranya sendiri. Ideologi nasionalisme saat ini masih menguasi
(mendominasi) hingga saat ini, nasionalisme dapat diartikan juga sebagai
kepercayaan berlebihan pada kebesaran (keagungan) dan persatuan suatu
negara. Nasionalisme biasanya muncul dari penjajahan dan penindasan oleh
negara lain. Secara historis, cikal bakal nasionalisme pertama kali datang
bersama raja-raja Ranaisans yang memproklamirkan kekuatan absolut dan
kebesaran/keagungan kerajaan mereka. Nasionalisme sekarang paling berapi-
api (sangat kuat) di kalangan negara-negara berkembang karna hampir semua
negara berkembang pernah dijajah dan ditindas oleh negara yang berkuasa.9

Nasionalisme sering disebut juga paham kebangsaan yang secara sederhana


dapat diartikan sebagai suatu ideologi yang mengharuskan kepada
penganutnya (pengikut) untuk mencintai bangsanya. Selain itu, nasionalisme
juga bisa diartikan sebagai identitas bangsa yang salah satunya harus
berdasarkan pada kesamaan wilayah teritorial suatu negara. Negara–negara
kepulauan seperti Indonesia lebih baik menganut paham nasionalisme
territorial karena batas-batas yang jika dilihat dibatasi oleh alam, bukan oleh
takdir yang ambivalen.10

Manifestasi politik utama nasionalisme adalah sebagai berikut, yaitu:11

1. Nasionalisme Liberal
Nasionalisme liberal didasarkan pada asumsi mendasar bahwa umat manusia
secara alami dibagi menjadi sekumpulan bangsa, masing-masing memiliki
identitas yang berbeda. Oleh karena itu, bangsa adalah komunitas asli atau
9
Michael, Roskin. 2012. Political Science: An Introduction. London: Pearson Education
(hlm. 49-50)
10
Tri Sulistiyono, Singgih. 2018. Nasionalisme, Negara-Bangsa, dan Integrasi Nasional Indonsia:
Masih Perlukah?. Jurnal Sejarah Citra Lekha, 1(3), 3-12 (hlm. 4-5)
11
Heywood, Andrew. 2002. Politics. New York: Palgrave Macmillan (hlm. 111-119)
organic, bukan ciptaan buatan para pemimpin politik atau kelas yang
berkuasa. Namun, tema khas nasionalisme liberal bahwa ia mengaitkan
gagasan bangsa dengan kepercayaan pada kedaulatan rakyat.

Nasionalisme liberal pada dasarnya adalah bentuk masionalisme yang


berprinsip. Selain itu, tujuan akhir dari nasionalisme liberal adalah
pembangunan dunia bangsa-negara yang berdaulat.

Kritik nasionalisme liberal mencakup ke dalam dua kategori. Pertama,


nasionalisme liberal mungkin dituduh naif dan romantic. Kedua, tujuan
nasionalisme liberal yaitu pembangunan dunia bangsa-negara yang mungkin
salah arah.

2. Nasionalisme Konservatif

Secara historis, nasional konsevatif berkembang lebih lambat daripada


nasionalisme liberal. Nasionalisme konservatif kurang peduli dengan
nasionalisme berprinsip. Selain itu, penentuan nasib sendiri secara universal
dan lebih pada janji kohesi sosial dan ketertiban umum yang terkandung
dalam sentiment patriotism nasional.

Karakter (secara khusus) nasionalisme konservatif adalah karakter yang


bernostalgia (pandangan kebelakang). Oleh karena itu, kesetian patriotic dan
kesadaran akan kebangsaan sebagian besar berawal pada gagasan (pandangan)
tentang masa lalu bersama, yang kemudian nasionalisme beralih menjadi
sebuah pertahanan nilai-nilai dan institusi yang telah didukung oleh sejarah
(mempertahankan tradisi yang sudah berlaku).

Nasionalisme konsevatif cenderung berkembang di bangsa-negara yang sudah


mapan dari pada di bangsa-negara yang sedang dalam proses pembangunan
bangsa. Ini biasanya terinspirasi oleh persepsi bahwa bangsa-negara itu sedang
berada dibawah ancaman, baik dari dalam maupun dari luar.

3. Nasionalisme Ekspansionis
Nasionalisme memiliki karakter agresif, militeristik, dan ekspansionis. Dalam
banyak hal, bentuk nasionalisme ekspansionis adalah antithesis dari
kepercayaan berprinsip pada persamaan hak dan penentuan nasib sendiri yang
merupakan inti dari nasionalisme liberal.
Bentuk agresif dari nasionalisme pertama kali muncul pada akhir abad ke-19
ketika kekuatan Eropa terlibat dalam ‘perebutan untuk Afrika’ atas nama
kejayaan nasional. Selain itu, imperialisme Eropa abad ke-19 dan abad ke-20
sebagian besar disebabkan karena nasionalisme ekspansionis ini.
Bentuk ekstrem dari nasionalisme muncul dari sentiment antusiasme
nasionalis yang intens, bahkan histeris yang biasanya disebut nasionalisme
integral. Istilah nasionalisme integral diciptakan oleh nasionalis Prancis
Charles Maurras (1868-1952), inti dari politik Maurras adalah pernyataan
tentang pentingnya negara “bangsa adalah segalanya dan individu bukanlah
apa-apa”. Dengan demikian, bangsa memiliki eksistensi dan makna tersendiri
di luar kehidupan setiap individu, sedangkan eksistensi individu hanya
memiliki makna ketika didedikasikan untuk persatuan dan kelangsungan
hidup bangsa.
Bentuk militan dari nasionalisme sering dikaitkan dengan kepercayaan atau
doktrin chauvinistic. Chauvinism adalah kepercayaan yang tidak rasional
terhadap keunggulan atau dominasi kelompok atau orangnya sediri. Oleh
karena itu, chauvinisme nasional menolak gagasan bahwa bangsa memiliki
karakteristik dan kualitas tertentu serta takdir yang sangat berbeda. Biasanya,
nasionalisme ini diartikan melalui doktrin superioritas etnis atau rasial,
sehingga memadukan nasionalisme dan rasialisme. Namun, yang tidak kalah
peting dalam nasionalisme ini adalah citra bangsa atau ras lain sebagai
ancaman atau musuh. Dalam menghadapi musuh tersebut, bangsa ini bersatu
dan memperoleh rasa akan identitas dan kepentingan sendiri.
Tema nasionalisme ekspansionis yang berulang adalah gagasan kelahiran
kembali atau regenerasi nasional. Bentuk nasionalisme ini biasanya diambil
dari mitos kebesaran masa lalu atau kejayaan nasional. Mitos-mitos itulah
yang memberi nasionalisme ekspansionis karakter yang terbelakang, tetapi
juga melihat ke masa depan karena mereka merencanakan nasib bangsa.
4. Nasionalisme Antikolonial
Bentuk nasionalisme antikolonialisme bertentangan dari bentuk nasionalisme
yang ada karena nasionalisme ini telah mengubah doktrin dan prinsip yang
pertama kali dikembangkan melalui proses ‘pembangunan bangsa’. Dengan
kata lain, kolonialisme berhasil mengubah nasionalisme menjadi kepercayaan
politik yang memiliki makna global. Selain itu, bentuk-bentuk awal
antikolonialisme sangat bergantung pada nasionalisme ‘klasik’ dan terinspirasi
oleh gagasan penentuan nasib sendiri.

Gerakan anticolonial biasanya tidak memandang liberalism tetapi pada


sosialisme (terutama pada Marxisme-Leninisme) sebagai kendaraan untuk
mengekpresikan ambisi nasionalis mereka. Daya tarik sosialisme lebih kepada
negara-negara berkembang yang didasarkan atas fakta bahwa nilai-nilai
komunitas dan kerja sama yang diwujudkan sosialisme sangat tertanam dalam
budaya masyarakat tradisional pra-industri.

C. Pembangunan Bangsa (Nation-Building)

Pembangunan bangsa terus relavan di abad ke-21, di China sejumlah


kebijakan pembangunan bangsa sedang diterapkan di wilayah pinggiran yang
memiliki kelompok minoritas besar. Pembangunan bangsa adalah suatu proses
yang mengarah pada pembentukan negara di mana warga negara merasakan
cukup banyak kepentingan, tujuan, dan kecenderungan (preferensi) yang
sama. Secara potensial, sejarah pembangunan bangsa di suatu negara dapat
mempengaruhi keberhasilan populasi tersebut di masa depan. Faktanya,
kekayaan literature sejarah meneliti kisah pembangunan bangsa sebagai
bagian dari pembentukan negara-negara sukses.

Proses pembangunan bangsa mengacu pada penciptaan suatu bangsa, atau


sebuah komunitas yang dibangun secara sosial atau “masyarakat/komunitas
yang dibayangkan” yang berusaha berdaulat secara politis. Sedangkan,
populasi beberapa negara (seperti China, Jerman) sudah memiliki identitas
nasional yang kuat sebelum mencapai/diakui sebagai kenegaraan yang
modern, di negara lain (termasuk Prancis dan Italia) munculnya negara yang
terpusat mendahului keberadaan bangsa, memaksa elit politik untuk
mengembangkan strategi pembangunan bangsa. Untuk menentukan identitas
nasional, pembangunan bangsa bertujuan untuk mengurangi atau
menghapuskan identitas etnis, bahasa, atau agama, yang sudah ada
sebelumnya dan bertentangan dengan identitas nasional. Pembangunan bangsa
dapat mengambil banyak bentuk, termasuk kebijakan pendidikan atau
pengembangan infrastruktur utama untuk memicu pertumbuhan ekonomi dan
stabilitas politik. Pembangunan bangsa dapat diartikan juga sebagai upaya
negara untuk menyatukan orang-orang di suatu negara sehingga menjadi atau
tetap (secara politis dapat bertahan dan stabil dalam jangka panjang.12

Pembangunan bangsa tidak lepas (sangat berkaitan) dengan pembentukan


identitas bersama untuk menyatukan masyarakat. Adapun faktor-faktor yang
pembentukan identitas bersama, sebagai berikut:13

1. Primordial

Ikatan kekerabatan (darah dan keluarga) dan kesamaan suku bangsa, daerah,
bahasa, dan adat istiadat adalah suatu komponen primordial yang bisa
membetuk bangsa-negara. Bukan hanya menciptakan pola perilaku yang
sama, tetapi akan menciptakan pandangan masyarakat berupa kepentingan,
tujuan, atau cita-cita yang sama.

2. Sacral

Kesamaan agama yang di yakini oleh suatu masyarakat atau ikatan ideolgi
doktriner yang kuat merupakan faktor sacral yang dapat membentuk bangsa-
negara. Meskipun agama tidak menjamin dapat membetuk bangsa-negara,
tetapi faktanya jika dilihat cukup banyak negara yang hanya menganut satu
agama di negaranya, seperti Arab (Islam), Amerika Latin (Katolik),dll.

3. Tokoh

12
Hoefte, Rosemarijn., & Veenendaal, Wouter. 2019. The Challenges of Nation-Building and
Nation Branding in Multi-Ethnic Suriname. Journal Nationalism and Ethnic Politics, 2(25),
173-190 (hlm. 175)

13
Surbakti, Ramlan. 1992. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia
(hlm. 44-47)
Seseorang tokoh pemimpin yang disegani dan dihormati secara luas oleh
masyarakat dapat mejadi faktor yang menyatukan suatu bangsa-negara. Selain
itu, pemimpin menjadi panutan dan suri tauladan masyarakatnya. Sekaligus
seorang pemimpin dianggap sebagai “penyambung lidah” masyarakatnya. Jika
suatu negara dalam belenggu penjajah, maka pemimpin (yang kharismatik)
juga dapat menggerakkan semua rakyatnya untuk segera bersatu mecapai
kemerdekaan serta membebaskan diri dari penjajahan.

Meskipun demikian, pemimpin saja tidak menjamin bagi terbentuknya suatu


negara sebab pemimpi hanya bersifat sementara. Pertama, umur manusia
(pemimpin) tidak kekal, dan sifat kepemimpinan yang baik tidak bisa
diwariskan. Kedua, tipe kepemimpinan berkaitan erat dengan perkembangan
masyarakat. Masyarakat yang berubah menghendaki tipe pemimpin yang
berubah pula.

4. Sejarah

Suatu masyarakat yang berasal dari satu garis keturunan (nenek moyang) dan
pesepsi masyarakat yang sama tentang pengalaman masa lalu seperti
penderitaan yang sama karena pernah sama-sama dijajah tidak hanya
menciptakan solidaritas (sependeritaan dan sepenanggungan), tetapi juga
tekad dan tujuan yang sama antar kelompok masyarakat. Hal itu lah yang
menyebabkan faktor sejarah dapat mempersatukan masyarakat, bahkan dapat
membangun/membentuk bangsa-negara.

5. Bhinneka Tunggal Ika

Bninneka Tunggal Ika dapat menjadi identitas pembetuk bangsa-negara


berupa prinsip berbeda-beda tetapi tetap satu (bersatu dalam perbedaan).
Bersatu dalam perbedaan maksudnya adalah kesetian masyarakat terhadap
sebuah negara yang menganggap sama (tanpa membedakan satu sama lain)
suku bangsa, adat istiadat, bahasa, ras, agama, dll sehingga menciptakan
kehidupan yang manusiawi dan harmonis.

6. Perkembangan Ekonomi
Perkembangan ekonomi akan melahirkan banyak sektor-sektor pekerjaan yang
beranekaragam (lebih dari satu jenis) sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Semakin tinggi kebutuhan suatu masyarakat, maka semakin tinggu pula
tingkat ketergantungan antara masyarakat yang satu dengan yang lain. Hal ini
yang memungkinkan masyarakat akan bersatu demi memenuhi kebutuhannya.
Selain itu, semakin besar perkembangan ekonomi maka semakin besar pula
solidaritas dan persatuan dalam masyarakat. Solidaritas yang ditimbulkan
akibat perkembagan ekonomi disebut solidaritas organik oleh Durkheim.

7. Kelembagaa
Lembaga-lembaga pemerintahan dan politik, seperti birokrasi, angkatan
bersenjata, dan partai politik juga berperan dalam proses pembentukan bangsa.
Birokrasi pemerintahan menyumbangkan dua hal bagi proses pembentukan
bangsa, yakni mempertemukan berbagai kepentingan dalam instansi
pemerintah dan tidak saling membedakan untuk melayani warga negara.
Ideologi angkatan bersenjata yang nasionalistis karena fungsinya memelihara
dan memepertahankan keutuhan wilayah dan persatuan bangsa. Keanggotaan
partai politik yang bersifat umum (terbuka bagi warga negara yang berlainan
etnis, agama, atau golongan), kehadiran cabang-cabangnya di wilayah negara,
dan peranannya dalam menampung dan memadukan berbagai kepentingan
masyarakat menjadi suatu alternative kebijakan umum merupakan kontribusi
partai politik dalam proses pemebentukan bangsa.

D. Etnik dan Komunitas Politik


1. Etnik

Etnik adalah sekelompok orang yang memiliki identitas budaya dan sejarah
yang sama, biasanya terkait dengan kepercayaan pada keturunan yang sama. 14
Identitas Etnis dapat diartikan sebagai perpecahan yang garis-garisnya
memecah belah masyarakat berdasarkan garis ras dan budaya. Selain itu,
penelitian menunjukkan bahwa etnis memiliki efek yang relavan pada cara
orang merasa tentang bangsa hanya ketika perbedaan etnis konsisten dengan

14
Heywood, Andrew. 2002. Politics. New York: Palgrave Macmillan (hlm. 106)
belahan sosial ekonomi, akan tetapi perbedaan sosial ekonomi memiliki efek
yang independen dari faktor lain.15

2. Komunitas Politik

Komunitas politik adalah basis sosial untuk domokrasi modern atau kekuatan
dan kohesi komunitas warga negara yang membentuk masyarakat merupakan
syarat untuk berfungsinya lembaga-lembaga politik secara efektif. Selain itu,
lembaga politik termasuk bagian dari pemerintah demokratis. Hal ini berbeda
dengan renzim otoriter yang dapat memaksakan dengan keputusan yang
bersifat memaksa pula dan demokrasi mengharuskan warga negara
melegitimasi otoritas dan keputusannya. Syarat/kondisi yang tepat untuk
legitimasi adalah ketika warga negara merasa menjadi bagian dari komunitas
politik suatu negara dan mereka mengakui otoritas negara yang sah. Dengan
merasa menjadi bagian bagian dari komunitas politik, warga negara menyadari
bahwa masa depan mereka (sebagai individu) tergantung pada tempat (negara)
yang mereka diami (tempat tinggal).16

Menurut pengamatan Ben Anderson, bangsa merupakan komunitas politik


yang dibayangkan (imagined political community) dalam suatu tempat
(wilayah) yang jelas batasnya dan berdaulat. Dikatakan sebagai komunitas
politik yang dibayangkan karena bangsa yang paling sempit wilayahnya,
rakyatnya tidak saling mengenal satu sama lain. Dibayangkan secara terbatas
karena bangsa yang paling besar sekalipun mempunyai batas wilayah yang
relative jelas. Dibayangkan sebagai berdaulat karena bangsa ini berada di
bawah suatu negara yang mempunyai kekuasaan atas semua yang ada di
dalam wilayahnya termasuk rakyatnya.

Dengan demikian, disebut sebagai komunitas politik yang dibayangkan karena


tidak adanya kesenjangan dan penindasan serta rakyat bangsa itu selalu
menganggap satu sama lain sebagai saudara sebangsa dan setanah air.17
15
Moreno, Daniel. 2008. National Political Community and Ethicity: Evidence from two Latin
American Countries. Journal Nationalism and Ethnic Politics, 1(14), 1-28 (hlm. 2)
16
Moreno, Daniel. 2008. National Political Community and Ethicity: Evidence from two Latin
American Countries. Journal Nationalism and Ethnic Politics, 1(14), 1-28 (hlm. 2)
17
Surbakti, Ramlan. 1992. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia
(hlm. 42)
3. Etnisitas dan Komunitas Politik18

Jika kita memahami etnis sebagai identitas primordial, identifikasi etnis akan
menghasilkan loyalitas yang mendalam di antara anggota kelompok etnis yang
lebih mendasar dan lebih kuat daripada loyalitas lainnya seperti, identitas
nasional yang diperlukan untuk demokrasi dan menghasilkan konfrontasi
permanen antara kelompok etnis yang bersaing. Penelitian berdasarkan
perspektif ini biasanya menemukan bahwa perbedaan etnis tentu saja
menyebabkan ketidakstabilan demokratis bahkan kehacuran.

Identitas etnis yang kuat tidak selalu bertentangan dengan identitas nasional
dan apabila anggota kelompok etnis yang berada di suatu negara merasa
setara, maka identitas bersama dan loyalitas menyeluruhnya tidak akan
terpengaruh oleh khususnya identitas. Namun, ketika perpecahan yang
berbeda bertepatan (bersamaan) dan memperkuat satu sama lain, ketika ada
‘kritalisasi status’ tingkat tinggi, etnis minoritas kemungkinan akan kehilangan
haknya dari komunitas politik nasional yang kemudian membenci negara dan
kekuatannya.

Penelitian telah menemukan bukti yang menunjukkan bahwa, yaitu:19

a. Etnisitas mempengaruhi keterikatan pada komunitas politik nasional hanya


jika dikombinasikan dengan bentuk stratifikasi sosial tambahan, seperti
perbedaan sosial ekonomi.
b. Perbedaan sosial ekonomi memiliki efek langsung pada kekuatan
keterikatan warga negara terhadap bangsa yang independen dari pengaruh
variable lain.
Pengaruh etnis pada kekuatan komunitas politik tampaknya dikondisikan oleh
status sosial ekonomi. Kombinasi menjadi bagian dari kelompok etnis yang
ditempatkan di bagian bawah sistem stratifikasi sosial berdasarkan garis etnis.
Dengan demikian, komunitas politik yang diperlukan untuk demokrasi tidak
memerlukan keberadaan negara yang secara etnis homogen. Disisi lain,
18
Moreno, Daniel. 2008. National Political Community and Ethicity: Evidence from two Latin
American Countries. Journal Nationalism and Ethnic Politics, 1(14), 1-28 (hlm. 4-5)
19
Moreno, Daniel. 2008. National Political Community and Ethicity: Evidence from two Latin
American Countries. Journal Nationalism and Ethnic Politics, 1(14), 1-28 (hlm. 21-22)
kemiskinan tampaknya berdampak pada kekuatan komunitas politik yang
tidak tergantung pada interaksi antara status sosial ekonomi dan etnis.

DAFTAR PUSTAKA

Heywood, Andrew. 2002. Politics. New York: Palgrave Macmillan

Hoefte, Rosemarijn., & Veenendaal, Wouter. 2019. The Challenges of Nation-


Building and Nation Branding in Multi-Ethnic Suriname. Journal
Nationalism and Ethnic Politics, 2(25), 173-190

Michael, Roskin. 2012. Political Science: An Introduction. London: Pearson


Education

Moreno, Daniel. 2008. National Political Community and Ethicity: Evidence


from two Latin American Countries. Journal Nationalism and Ethnic
Politics, 1(14), 1-28

Mustaqim, Muhammad., & Miftah, Muhammad. 2015. Tantangan Negara-


Bangsa (Nation-State) dalam Menghadapi Fundamentalisme Islam.
Jurnal ADDIN, 1(9), 85-106

Surbakti, Ramlan. 1992. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia


Widiasarana Indonesia
Tri Sulistiyono, Singgih. 2018. Nasionalisme, Negara-Bangsa, dan Integrasi
Nasional Indonsia: Masih Perlukah?. Jurnal Sejarah Citra Lekha, 1(3),
3-12

Anda mungkin juga menyukai