Anda di halaman 1dari 38

DIFteri

Difteri
• Sesuatu penyakit menular/infeksi akut disebabkan bakteri
Corynebacterium diphtheriae
• Difteri adalah suatu penyakit infeksi yang disebarkan dari
orang ke orang melalui percikan ludah dari tenggorokan
melalui batuk dan bersin. Penyakit ini biasanya muncul 2
sampai 5 hari setelah terinfeksi
• Corynebacterium diphtheria :
– Basillus gram positif,
– Tidak bergerak, tidak berkapsul, tidak berspora, tidak tahan asam
– Tahan beku & kering, namun mati bila suhu > 60º C
– Tumbuh secara aerob
Corynebacterium diphtheria

• Diameter 0,5 – 1 µm dan panjangnya 1 – 8 µm


• Bentuk bakteri menggembung pada satu ujungnya memiliki granula
metakromatik yang memberi gambaran berbentuk gada club shape pada
pewarnaan gram.
• Granula tersebar secara tidak teratur dalam batang dapat diwarnai dengan
bahan celupan anilin (granula metakromatik)
• Pada pewarnaan menurut Neisser, tubuh bacteri berwarna kuning atau
coklat muda sedangkan granulanya berwarna biru violet ( meta chromatis ).
• Penyakit difteri dapat berakibat fatal.
• Lima sampai sepuluh persen pasien difteri meninggal, meski telah
mendapat pengobatan.
• Apabila tidak diobati, penyakit ini dapat mengakibatkan lebih banyak
kematian.
• Pasien yang tidak diobati dapat menularkan sampai 2-3 minggu sehingga
berpotensi untuk menimbulkan wabah.
• Kasus difteri tidak pernah mereda sejak 2006, Kejadian Luar Biasa (KLB)
dapat terjadi di beberapa tempat
Cara Penularan
• Bakteri ini ditularkan melalui percikan ludah dari batuk penderita
atau benda maupun makanan yang telah terkontaminasi oleh bakteri.

Difteri umumnya memiliki masa inkubasi atau rentang waktu sejak bakteri masuk
ke tubuh sampai gejala muncul 2 hingga 5 hari.
Klasifikasi Difteri
Klasifikasi difteri secara klinik meliputi :
• Difteri respiratorik
a. Dfiteri hidung
b. Difteri tonsil dan faring
c. Difteri laring/trakea
• Difteri non respiratorik :
a. Kulit
b. Vulvovaginal,
c. Konjungtiva,
d. Telinga
Toksin Difteri
• Basil tumbuh dimembran mukosa atau pada abrasi kulit .
• Basil yang toksigenetik mulai menghasilkan toksin Toksin dipteri di
absorpsi kedalam mukosa dan menyebabkan dekstruksi epitel dan
respon radang superficial. Epitel nekrotik melekat pada fibrin yang
menonjol dan sel sel darah merah serta putih,sehingga terbentuk
“pseudomembran” keabuan seringnya pada tonsil, faring, atau laring.
• Setiap usaha untuk mengangkat pseudomembran akan membuka dan
merobek kapiler sehingga menyebabkan timbulnya perdarahan.
Kelenjar getah bening regional di leher membesar, dan terdapat
edema yang jelas di seluruh leher .
• Toksin difteria dalah suatu polipeptida yang labil terhadap panas
yang dapat bersifat letal pada dosis 0,1 ug/kg.
• Basil difteri dalam membrane terus menghasilkan toksin secara
aktif.
• Pseudomembrane yang meluas akan menutup jalan nafas, stupor,
koma, menimbulkan kematian dalam 7 – 10 hari.
• Pada kasus ringan pseudomembrane bisa terlepas dan sembuh 7 – 10
hari.
• Produksi in vitro toksin ini sangat bergantung pada:
– Kosentrasi besi  produksi toksin bersifat optimal pada 0,14 ug besi
permiliter medium tetapi sebenarnya mengalami supresi pada 0,5
um/ml.
– Tersediaannya sumber nitrogen dan karbon yang sesuai,
– Kosentrasi asm amino ,
– pH,
– Tekanan osmotic .
• Corynebacterium diphtheriae mengikat sel epitel dan mengeluarkan
racun difteri (DT).
• Toksin A-B memasuki sel, yang menghambat sintesis protein pada
ribosom sel.
• Sel mengalami kematian dan peradangan superfisial membawa
neutrofil polimorfonuklear (PMN) dan fibrin.
• Sel hancur dan komponen inflamasi telah bersatu menjadi
pseudomembrane.
• Bakteri tidak menyerang tubuh, tapi pasien dapat mengalami
kerusakan berbagai organ karena toksin yang memasuki aliran darah
• Toxin diphtheria memiliki 2 subunit
dan 3 regio.
– Subunit A memiliki regio katalitik,
– Subunit B memiliki regio pengikat
reseptor (receptor-binding region),
dan regio translokasi (translocation
region).
• Reseptor untuk toxin ini
adalah heparin-binding epidermal
growth factor yang terdapat pada
permukaan banyak sel eukariotik,
termasuk sel jantung dan sel saraf 
Hal ini yang mendasari terjadinya
komplikasi kardiologis dan neurologis
dari difteri.
• Begitu toxin difteri berlekatan dengan
sel host melalui ikatan antara heparin-
binding epidermal growth
factor dan receptor binding
region subunit B, regio translokasi
disisipkan ke dalam membrane
endosome yang kemudian
memungkinkan pergerakan region
katalitik subunit A ke dalam sitosol.
• Subunit A bekerja dengan cara menghentikan sintesis protein sel host.
• Subunit A memiliki aktivitas enzimatik yang mampu memecah
Nikotinamida dari Nicotinamide Adenine Dinucleotide (NAD) dan
kemudian mentransfer sisa ADP-ribosa dari hasil pemecahan tadi menuju
Elongation Factor-2 (EF-2).
• EF-2 yang ter-ADP ribosilasi ini kemudian menjadi inaktif.
• EF-2 merupakan faktor yang penting dalam translasi protein, sehingga
sintesis protein seluler menjadi terganggu.
• Proses ini kemudian menyebabkan nekrosis sel disertai dengan inflamasi
dan eksudat fibrin yang memberikan gambaran pseudomembrane.
Difteri Respiratorik
• Toksin di absorpsi dan terus menyebabkan
kerusakan toksik di tempat yang jauh,
terutama degenerasi parenkimatosa , infiltrasi
lemak, dan nekrosis pada otot jantung, hati,
ginjal, dan adrenal, kadang kadang di sertai
pendarahan makroskopis.
• Toksin juga menyebabkan kerusakan saraf ,
sering mengakibatkan paralisis palatum
molle, otot mata, atau ekstremitas.

Difteri Non Respiratorik


• Membran dapat terbentuk pada luka infeksi
yang gagal sembuh. Absorpsi toksin
biasanya ringan dan efek sistemik dapat di
abaikan . sejumlah kecil toksik yang di
absorpsi selama infeksi kulit mencetuskan
timbulnya antibody antitoksin “Virulensi”
basil difteri disebabkan oleh kapasitasnya
dalam menyebabkan infeksi, pertumbuhan
yang cepat , dan kemudian dengan
cepat menguraikan toksik yang di absorpsi
Komplikasi Efek Eksotoksin Difteri

Komplikasi Toksin difteri dalam tubuh


1. Miokarditis:
• 10 – 25% kasus diphtheria
• >50% mortalitas diphtheria
• Mulai pada minggu ke 2 – 3, lemah sekali, takikardi walaupun
istirahat, suara jantung redup, aritmia, gagal jantung basah.

2. Neuritis
• Kelumpuhan pada palatum mollemulai pada minggu ke 3 – 7
ditandai dengan: Suara sengau, sulit menelan (tetapi tidak nyeri),
regurgitasi dari hidung langsung bila menelan
• Syaraf-syaraf Kranial  mulai pada minggu ke 5 ditandai dengan :
Stabismus, visi kabur, akomidasi dan fokus visi sulit, ascending
Paralysis: mirip Sindroma Guillain-Barre

3. Nefritis merusak jaringan ginjal  Gagal ginjal akut


Gejala Difteri
Gejala-gejala dari penyakit Difteri meliputi:
• Terbentuknya timbul membrane yang melekat berwarna putih kelabu
• Demam dan menggigil.
• Sakit tenggorokan dan suara serak.
• Sulit bernapas atau napas yang cepat.
• Pembengkakan kelenjar limfe pada leher. dapat menyebabkan gambaran
“bull neck”
• Lemas dan lelah.
• Pilek, awalnya cair, tapi lama-kelamaan menjadi kental dan terkadang
bercampur darah.
Diagnosis Difteri

Diagnosis Difteri ditegakkan dengan


1. Diagnosis Klinik
2. Pemeriksaan Laboratorium
Jenis pemeriksaan :
a. Bakteriologik. Preparat apusan kuman difteri dari bahan apusan
mukosa hidung dan tenggorok (nasofaringeal swab)
b. Darah rutin : Hb, leuosit, hitung jenis
c. Urin lengkap : aspek, protein dan sedimen
d. Enzim Creatinin Fosfokinase (CPK), segera saat masuk RS 
fungsi jantung
e. Ureum dan kreatinin (bila curiga ada komplikasi ginjal)
f. EKG dilakukan sejak hari 1 perawatan lalu minimal 1x
seminggu, kecuali bila ada indikasi biasa dilakukan 2-3x
seminggu.
Diagnosis Klinik
Diagnosis berdasarkan gejala klinik :
1. Gejala utama.
Berupa membran khas terutama pada tonsil dan dinding faring dengan
sifat membran : tebal, putih kelabu, pinggir hiperemis dan udem , sukar
diangkat dan mudah berdarah.
2. Gejala tambahan.
a. Difteri hidung. Ditemukan sekret serosanguinus dari lubang hidung
dan tanda-tanda infeksi pada lubang hidung dan bibir atas.
b. Difteri tonsil dan faring. · Demam subfebril · Anorexia, sakit
menelan · Pembesaran kelenjar servikal/submandibula · Bull neck
(adenitis servikal, periadenitis dan udem jaringan sekitarnya.
Dimana batas batas m.sternocleidomasteoideus, angulus
mandibulae dan medial clavicula tidak jelas lagi.
• Difteri laring  biasanya dari perluasan diphtheria
faring. Difteri laring mudah didiagnosis
– Suara serak seperti mengonggong, stridor ·
– Obstruksi pernafasan : sesak, retraksi dinding thoraks,
sianosis ·

Gambaran Klinis Diphtheria Lain


• Berupa tukak (ulcer) di kulit, vulvovagina &
konjunctiva. Tepinya jelas, dapat ditemukan mungkin
ada pseudomembrane pada dasarnya.
• Rasa sakit-nyeri
• Cenderung menjadi tukak kronis di daerah tropis
• Di telinga berupa otitis externa kronis yang bernanah
dan berbau
• Diagnosis berdasarkan pemeriksaan bakteriologik : Berupa preparat
apusan langsung dari biakan (isolasi kuman difteri) dari bahan apusan
mukosa hidung dan tenggorok (nasofaringeal swab).
• Media :
– Agar darah Koloni kecil-kecil,putih keruh,smooth, cembung
– Agar Loeffler  Koloni subur, smooth,putih cream, sedikit cembung
– Agar Cysttin Tellurite Koloni kecil-kecil,abu-abu tengahnya hitam,hitam
kelabu atau hitam seluruhnya,mengkilat,smooth,cembung
– Pewarnaan Gran  basil berwarna violet
– Pewarnaan Neisser  basil berwarna kuning dengan granula violet
Penatalaksanaan Difteri
1. Penatalaksanaan Umum
2. Penetalaksanaan Khusus
• Antitoksin : Anti-Diphtheria Serum
(ADS)
• Antibiotik
– Penicillin procain 50.000-100.000
IU/kgBB/hari dibagi 2 dosis selama 10
hari berturut-turut
– Eritromycin 40-50 mg/kg/hari dibagi 4
dosis selama 10 hari
• Kortikosteroid
3. Pengobatan penyulit Nebulizer,
Tracheostomi dilakukan jika terjadi
sumbatan jalan napas.
4. Penatalaksaan Komplikasi  disesuaikan
dengan komplikasi pada kelainan organnya
Penatalaksanaan umum

• Pasien diisolasi sampai masa akut terlampaui dan biakan


hapusan tenggorok negative 2 kali berturut-turut Pada
umumnya pasien tetap diisolasi selama 2-3 minggu.
• Istirahat tirah baring selama kurang lebih 2-3 minggu,
pemberian cairan serta diet yang adekuat, makanan lunak
yang mudah dicerna, cukup mengandung protein dan kalori.
• Penderita diawasi ketat atas kemungkinan terjadinya
komplikasi :
– Pemeriksaan EKG pada hari 0, 3, 7 dan setiap minggu selama 5
minggu.
– Khusus pada difteri laring di jaga agar nafas tetap bebas serta
dijaga kelembaban udara dengan menggunakan nebulizer.
Penatalaksanaan Khusus

• Antitoksin : Anti-Diphtheria Serum (ADS)


– Antitoksin harus diberikan segera setelah diagnosis difteria ditegakkan.
– Dengan pemberian antitoksin pada hari pertama, angka kematian pada
penderita kurang dari 1%, penundaan lebih dari hari ke-6, angka
kematian ini biasa meningkat sampai 30%.

• Dosis ADS menurut Lokasi membran dan Lama sakit:


– Difteria Hidung 20.000 IU Intramuscular
– Difteria Tonsil 40.000 IU Intramuscular / Intravena
– Difteria Faring 40.000 IU Intramuscular / Intravena
– Difteria Laring 40.000 IU Intramuscular / Intravena
– Kombinasi lokasi diatas 80.000 IU Intravena
– Difteria + penyulit, bullneck 80.000-100.000 IU Intravena
– Terlambat berobat (>72 jam) 80.000-100.000 IU Intravena
Penatalaksanaan Khusus Lanjutan …….
Uji Sensitivitas /Alergi ADS
• Sebelum Pemberian ADS harus dilakukan uji kulit atau
uji mata karena pemberian ADS dapat terjadi reaksi
anafilaktik dan harus disediakan larutan adrenalin
1:1000.
• Uji kulit dilakukan dengan penyuntikan 0,1 ml ADS
dalam larutan garam fisiologis 1:1.000 secara
intrakutan.
– Hasil positif bila dalam 20 menit terjadi indurasi > 10
mm.
• Uji mata dilakukan dengan :
– Meneteskan 1 tetes larutan serum 1:10 dalam garam
fisiologis.
– Pada mata yang lain diteteskan garam fisiologis.
– Hasil positif bila dalam 20 menit tampak gejala
hiperemis pada konjungtiva bulbi dan lakrimasi.
• Bila uji kulit/mata positif, ADS diberikan dengan cara
desentisasi (metode Besredka).
• Bila ujihipersensitivitas tersebut diatas negative, ADS
harus diberikan secara intravena. 1 vial ADS =10 cc =
20.000 IU.
Penatalaksanaan Khusus Lanjutan …….

Langkah-langkah pemberian ADS

Jika uji sensitivitas positif :


pemberian ADS dilakukan dengan metode Bedreska
1) 0,05 ADS ditambah 1 cc aquades diberikan injeksi sub cutan (SC).
2) 0,1 ADS ditambahkan 1 cc aquades diberikan injeksi sub cutan (SC).
3) 0.1 ADS murni diberikan injeksi SC
4) 0,2 cc ADS murni diberikan injeksi sub cutan (SC)/IM
5) 0,5 cc ADS murni diberikan injeksi sub cutan (SC)/IM
6) 2 cc ADS murni diberikan injeksi sub cutan (SC)/IM
7) 4 cc ADS murni diberikan injeksi sub cutan (SC)/IM
8) Sisanya diberikan semua bergantian kiri dan kanan
• Bila keadaan penderita tidak memungkinkan bisa diberikan bertahap dengan
jarak 15 menit.
• Bila pada waktu pemberian Bedreska terjadi alergi maka suntikan dosis obat
diulang sama dengan 1 tingkat/1 tahap sebelumnya.

1 vial ADS =10 cc = 20.000 IU.


Penatalaksanaan Khusus Lanjutan …….

Jika uji sensitivitas negative:


• ADS diberikan melalui infus (Drip)
• Pasang infus D5 ¼ Saline 200 cc + ADS dosis sesuai dengan berat
ringan difteri yang dialami, diberikan harus habis dalam waktu 4-6
jam.
• Bila mendapat ADS 20.000 bisa langsung diberikan secara IM,
kondisi pasien tidak sedang demam atau nadi stabil/baik.
• Bila terjadi alergi selama pemberian melalui infus/dripp maka
tetesan diperlambat dan bila masih alergi pemberian diganti dengan
cara Besredka

1 vial ADS =10 cc = 20.000 IU.


Penatalaksanaan Khusus Lanjutan …….

• Pemberian Antibiotik  Antibiotik bukan alternative


pengganti ADS
– Erythromicin PO atau IV: 40mg/kgBB/hari dibagi 3-4. Max: 2
gm/hari, selama 14 hari
– Penicillin Aqueous G 100.000 U/kgBB/hari dibagi 4 selama
14 hari
– Penicillin Procain 25.000 – 50.000 U/kgBB/h dibagi 2 selama
14 hari
• Kortikisteroid  Pengobatan penyulit
– Prednisone 2 mg/kgBB
• Penatalaksanaan komplikasi Monitor ketat EKG
– Diuretik,
– Digoxin, aritmia fatal sering terjadi  (dosis dikurangi)
Pemantauan
• Kondisi pasien harus dipantau
 pasien harus ditempatkan
dekat dengan perawat
mempermudah pemantauan :
– Terutama status respiratorik,
harus diperiksa oleh perawat
sedikitnya 3 jam sekali dan oleh
dokter 2 kali sehari  jika terjadi
obstruksi jalan napas dapat
dideteksi sesegera mungkin.
– EKG  untuk memantau
kemungkinan terjadinya
komplikasi jantung
Pencegahan Difteri Kontak Pasien

Pencegahan Diphtheria Bagi Orang Kontak


Dekat:
• Dikontrol sampai 7 hari untuk timbulnya
tanda dan gejala Diphtheria
• Biakan tenggorakan untuk C. diphtheriae
• Antibiotika:
– Erythromicin atau
– Penicillin
• Booster DPT, DT atau Td walaupun sudah
diimunasi dulu lengkap, atau mulai seri
imunasi
• ADS tidak dianjurkan bagi orang kontak 
tidak ada bukti bahwa ada manfaatnya bagi
orang kontak yang hanya diberi antibiotika.
Pencegahan Difteri
Pencegahan secara umum dengan menjaga kebersihan dan memberikan
pengetahuan tentang bahaya difteria bagi anak.
Pada umumnya setelah seseorang anak menderita difteria, kekebalan terhadap
penyakit ini sangat rendah sehingga perlu imunisasi DPT
Di Indonesia, vaksin difteri biasanya diberikan lewat imunisasi DPT (Difteri,
Tetanus, Pertusis) semenjak bayi berusia 2 bulan.
• Imunisasi dasar DPT (Difteri Pertusis dan Tetanus), HB (Hepatitis B), Hib
(Haemofillus Influenza tipe B) sebelum satu tahun dengan 3 dosis :
– Bayi pada usia 2 bulan diberikan dosis pertama,
– Usia 3 bulan diberikan dosis kedua,
– Usia 4 bulan diberikan dosis ketiga
• Balita yang memasuki usia 18-36 bulan, maka diberi imunisasi lanjutan 1
untuk DPT-HB-Hib dosis keempat.
• Selanjutnya memasuki usia Sekolah Dasar diberi imunisasi lanjutan 2
pada Difteri - Tetanus (DT) pada kelas 1 SD sebanyak 1x.
• Untuk imunisasi Tetanus - Difteri (Td) pada imunisasi lanjutan 2 diberikan
dosis pertama kepada siswa SD kelas 2 dan dosis kedua pada siswa kelas 3
SD.
Penemuan Imunisasi
• Tahun 1880, Pasteur menggunakan teknik dari Konch untuk
mengisolasi dan membiakkan bakteri yang menyebabkan
kolera pada ayam. Untuk membuktikan penemuannya,
Pasteur membuat demonstrasi dihadapan publik tentang
percobaannya yang telah dilakukan berulang kali di
laboratorium.
• Dia menginjeksikan biakkan bakteri kolera pada ayam sehat
dan menunggunya sampai ayam tersebut menunjukkan gejala
penyakit. Akan tetapi hasilnya membuat Pasteur mendapat
malu karena ayamnya tetap hidup dan sehat. Pasteur
kemudian mengevaluasi langkah-langkah yang menyebabkan
demonstrasi tersebut gagal. Dia menemukan bahwa secara
kebetulan dia menggunakan biakan tua seperti yang telah
dilakukan sebelumnya, dan satu kelompok adalah ayam yang
tidak pernah di inokulasi.
• Pasteur secara tidak sengaja membuat suatu langkah
percobaan menemukan vaksin.
• Awalnya dia menyuntikkan biakan murni bakteri
kolera ayam berumur 8 minggu. Ternyata ayam
tersebut tetap sehat.
• Selanjutnya Pasteur mencari biakan virulen segar
bakteri kolera ayam kembali dan disuntikkan pada dua
macam ayam yang pertama ayam yang diinokulasi
terlebih dahulu dan pada ayam yang tidak diinokulasi
sebelumnya.
• Bakteri “tua” kehilangan virulensinya (kemampuan
menimbulkan penyakit) setelah dibiarkan tumbuh dan
menjadi tua.
• Tetapi bakteri yang teratenuasi (kurang virulen) ini
masih dapat merangsang inangnya untuk membentuk
antibodi, substansi yang melindungi inang terhadap
infeksi berikutnya oleh organisme virulen yang sama.
• Pasteur selanjutnya menerapkan prinsip imunisasi
untuk mencegah anthrax. Pasteur menyebut bakteri
yang telah avirulen tersebut dengan vaccin dari bahasa
latin vacca yang artinya sapi dan imunisasi dengan
biakan tersebut dikenal dengan vaksinasi.
Vaksin dan Sera/Serum
• Vaksin adalah suatu zat yang merupakan merupakan
suatu bentuk produk biologi yang diketahui berasal dari
virus, bakteri atau dari kombinasi antara keduanya yang
dilemahkan  Vaksin diberikan kepada individu yang
sehat guna merangsang munculnya antibody atau
kekebalan tubuh guna mencegah dari infeksi penyakit
tertentu
• Serum/Sera adalah Substansi yang bersifat sebagai
antibodi berupa senyawa protein Imunoglobulin (serum
imun) atau monoklonal antibodi
Sarat-sarat Vaksin
1. Mampu meningkatkan respon imun terhadap penyakit
tertentu (TB-CMI; bakteriIg)
2. Mempunyai daya proteksi yg lama
– Idealnya masa hidupnya lama
3. Aman
– Tdk menimbulkan penyakit
4. Stabil
– Tdk berubah dlm penyimpanan seblm diberikan
5. Relative murah
Jenis Vaksin
• Vaksin hidup/live vaccine
– Live attenuated organisms
– Heterologous vaccines
– Live recombinant vaccines
• Vaksin mati/killed vaccine
– Subcellular fractions
– Recombinant proteins
Vaksin hidup
• Attenuated organisms
– Organisme dilemahkan (kurang virulen) dengan
cara invitro mis.dg. perlakuan pemanasan
(mutans), dengan bahan kimia
– Organisme selektif mutans dlm tubuh bereplikasi
lambat dan tidak virulen, tdk menimbulkan gejala
klinis
– Menimbulkan respons imun
Vaksin hidup

• Heterologous vaccines
– Organisme yang mirip dengan target vaksin tetapi kurang
virulen, yg dpt berbagi antigen dengan organisme virulen
– Strain vaksin tersebut bereplikasi dalam tubuh penerima
dan menstumir terbentuknya respon Ab, bereaksi silang
dengan organisme virulen (target)
– Misalnya: virus cowpox dan vaccinia- mirip virus variola

Agen penyakit smallpox


Vaksin hidup rekombinan

Vaksin rekombinan diproduksi menggunakan rekayasa


genetika:

Gen yg telah terkode sebg imunogenik protein dari


suatu organisme disisipkan kedalam genome
organisme lain (mis virus vaccinia)

Bila diinjeksikan pada individu akan bereplikasi dan


mengekspresikan sejumlah protein asing yg cukup utk
menginduse respon imun spesifik dr protein tersebut
Vaksin mati/ killed vaccine
Organisme patogen di inaktivkan
dengan cara:

- Pemanasan
- Bahan kimia: beta-propiolactone
formaldehyde

vaksin ini tidak infeksius sehingga lebih aman


Terimakasih

Anda mungkin juga menyukai