Difteri
• Sesuatu penyakit menular/infeksi akut disebabkan bakteri
Corynebacterium diphtheriae
• Difteri adalah suatu penyakit infeksi yang disebarkan dari
orang ke orang melalui percikan ludah dari tenggorokan
melalui batuk dan bersin. Penyakit ini biasanya muncul 2
sampai 5 hari setelah terinfeksi
• Corynebacterium diphtheria :
– Basillus gram positif,
– Tidak bergerak, tidak berkapsul, tidak berspora, tidak tahan asam
– Tahan beku & kering, namun mati bila suhu > 60º C
– Tumbuh secara aerob
Corynebacterium diphtheria
Difteri umumnya memiliki masa inkubasi atau rentang waktu sejak bakteri masuk
ke tubuh sampai gejala muncul 2 hingga 5 hari.
Klasifikasi Difteri
Klasifikasi difteri secara klinik meliputi :
• Difteri respiratorik
a. Dfiteri hidung
b. Difteri tonsil dan faring
c. Difteri laring/trakea
• Difteri non respiratorik :
a. Kulit
b. Vulvovaginal,
c. Konjungtiva,
d. Telinga
Toksin Difteri
• Basil tumbuh dimembran mukosa atau pada abrasi kulit .
• Basil yang toksigenetik mulai menghasilkan toksin Toksin dipteri di
absorpsi kedalam mukosa dan menyebabkan dekstruksi epitel dan
respon radang superficial. Epitel nekrotik melekat pada fibrin yang
menonjol dan sel sel darah merah serta putih,sehingga terbentuk
“pseudomembran” keabuan seringnya pada tonsil, faring, atau laring.
• Setiap usaha untuk mengangkat pseudomembran akan membuka dan
merobek kapiler sehingga menyebabkan timbulnya perdarahan.
Kelenjar getah bening regional di leher membesar, dan terdapat
edema yang jelas di seluruh leher .
• Toksin difteria dalah suatu polipeptida yang labil terhadap panas
yang dapat bersifat letal pada dosis 0,1 ug/kg.
• Basil difteri dalam membrane terus menghasilkan toksin secara
aktif.
• Pseudomembrane yang meluas akan menutup jalan nafas, stupor,
koma, menimbulkan kematian dalam 7 – 10 hari.
• Pada kasus ringan pseudomembrane bisa terlepas dan sembuh 7 – 10
hari.
• Produksi in vitro toksin ini sangat bergantung pada:
– Kosentrasi besi produksi toksin bersifat optimal pada 0,14 ug besi
permiliter medium tetapi sebenarnya mengalami supresi pada 0,5
um/ml.
– Tersediaannya sumber nitrogen dan karbon yang sesuai,
– Kosentrasi asm amino ,
– pH,
– Tekanan osmotic .
• Corynebacterium diphtheriae mengikat sel epitel dan mengeluarkan
racun difteri (DT).
• Toksin A-B memasuki sel, yang menghambat sintesis protein pada
ribosom sel.
• Sel mengalami kematian dan peradangan superfisial membawa
neutrofil polimorfonuklear (PMN) dan fibrin.
• Sel hancur dan komponen inflamasi telah bersatu menjadi
pseudomembrane.
• Bakteri tidak menyerang tubuh, tapi pasien dapat mengalami
kerusakan berbagai organ karena toksin yang memasuki aliran darah
• Toxin diphtheria memiliki 2 subunit
dan 3 regio.
– Subunit A memiliki regio katalitik,
– Subunit B memiliki regio pengikat
reseptor (receptor-binding region),
dan regio translokasi (translocation
region).
• Reseptor untuk toxin ini
adalah heparin-binding epidermal
growth factor yang terdapat pada
permukaan banyak sel eukariotik,
termasuk sel jantung dan sel saraf
Hal ini yang mendasari terjadinya
komplikasi kardiologis dan neurologis
dari difteri.
• Begitu toxin difteri berlekatan dengan
sel host melalui ikatan antara heparin-
binding epidermal growth
factor dan receptor binding
region subunit B, regio translokasi
disisipkan ke dalam membrane
endosome yang kemudian
memungkinkan pergerakan region
katalitik subunit A ke dalam sitosol.
• Subunit A bekerja dengan cara menghentikan sintesis protein sel host.
• Subunit A memiliki aktivitas enzimatik yang mampu memecah
Nikotinamida dari Nicotinamide Adenine Dinucleotide (NAD) dan
kemudian mentransfer sisa ADP-ribosa dari hasil pemecahan tadi menuju
Elongation Factor-2 (EF-2).
• EF-2 yang ter-ADP ribosilasi ini kemudian menjadi inaktif.
• EF-2 merupakan faktor yang penting dalam translasi protein, sehingga
sintesis protein seluler menjadi terganggu.
• Proses ini kemudian menyebabkan nekrosis sel disertai dengan inflamasi
dan eksudat fibrin yang memberikan gambaran pseudomembrane.
Difteri Respiratorik
• Toksin di absorpsi dan terus menyebabkan
kerusakan toksik di tempat yang jauh,
terutama degenerasi parenkimatosa , infiltrasi
lemak, dan nekrosis pada otot jantung, hati,
ginjal, dan adrenal, kadang kadang di sertai
pendarahan makroskopis.
• Toksin juga menyebabkan kerusakan saraf ,
sering mengakibatkan paralisis palatum
molle, otot mata, atau ekstremitas.
2. Neuritis
• Kelumpuhan pada palatum mollemulai pada minggu ke 3 – 7
ditandai dengan: Suara sengau, sulit menelan (tetapi tidak nyeri),
regurgitasi dari hidung langsung bila menelan
• Syaraf-syaraf Kranial mulai pada minggu ke 5 ditandai dengan :
Stabismus, visi kabur, akomidasi dan fokus visi sulit, ascending
Paralysis: mirip Sindroma Guillain-Barre
• Heterologous vaccines
– Organisme yang mirip dengan target vaksin tetapi kurang
virulen, yg dpt berbagi antigen dengan organisme virulen
– Strain vaksin tersebut bereplikasi dalam tubuh penerima
dan menstumir terbentuknya respon Ab, bereaksi silang
dengan organisme virulen (target)
– Misalnya: virus cowpox dan vaccinia- mirip virus variola
- Pemanasan
- Bahan kimia: beta-propiolactone
formaldehyde