Anda di halaman 1dari 52

BAB III

PROSEDUR PEMBERIAN SERTIFIKASI STANDAR NASIONAL

INDONESIA TERHADAP PRODUK KOPI

A. Badan Sertifikasi Nasional Sebagai Penentu Dalam Pemberian

Sertifikasi Standar Nasional Indonesia

Badan Standardisasi Nasional bertanggung jawab untuk membina,

mengembangkan, dan mengkoordinasikan kegiatan di bidang standardisasi secara

nasional. 75 BSN dibentuk dengan Keputusan Presiden Nomor 13 Tahun 1997

yang disempurnakan denggan Keputusan Presiden Nomor 166 Tahun 2000

Tentang Kedudukan Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata

Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen sebagaimana telah beberapa kali

diubah dan yang terakhir dengan Keputusan Presiden Nomor 103 Tahun 2001.

BSN adalah lembaga pemerintah non kementerian yang bertugas dan bertanggung

jawab dibidang Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian. 76

Undang-Undang Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian menyebutkan di

dalam Pasal 8 ayat (2) tugas dan tanggung jawab di bidang Standardisasi dan

Penilaian Kesesuaian yang dimiliki pemerintah dilaksanakan oleh BSN. BSN

berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden melalui menteri

75
Tentang BSN, http://www.bsn.go.id/bsn/profile.php, diakses pada tanggal 6 November
2016.
76
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2014 Tentang Standardisasi dan
Penilaian Kesesuaian , Pasal 1 poin 4, Bab I Ketentuan Umum.

Universitas Sumatera Utara


yang mengkoordinasikan. 77 BSN sebagai lembaga pemerintah yang bertanggung

jawab untuk merumuskan dan mengembangkan standar di Indonesia, mengacu

pada yang ditetapkan oleh badan dunia seperti ISO, CODEX Alimentarius,

standar nasional lainnya, serta standar regional. BSN bersama dengan komisi

teknis yang terdiri dari kementerian teknis terkait serta para pemangku

kepentingan merumuskan standar terkait proses, manajemen, produk dan juga

jasa/pelayanan. 78

Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan organisasi, tugas, dan

fungsi BSN diamanatkan oleh UU Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian untuk

diatur dengan PP terbaru, tapi setelah dua tahun UU disahkan belum terbit PP

terbaru tentang BSN tersebut. BSN adalah Lembaga Pemerintah Non Departemen

dengan tugas pokok mengembangkan dan membina kegiatan standardisasi di

Indonesia. Badan ini menggantikan fungsi dari Dewan Standardisasi Nasional

(DSN). Dalam melaksanakan tugasnya dikarenakan belum ada PP terbaru yang

mengaturnya maka BSN masih berpedoman pada PP Standardisasi Nasional. 79

1. Visi BSN adalah terwujudnya infrastruktur mutu nasional yang handal untuk

meningkatkan daya saing dan kualitas hidup bangsa.

2. Misi BSN adalah : 80

77
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2014 Tentang Standardisasi dan
Penilaian Kesesuaian , Pasal 8 ayat (3), Bab II Kelembagaan.
78
Pusat Kebijakan Perdagangan Dalam Negeri Badan Pengkajian dan Pengembangan
Kebijakan Perdagangan , “Laporan Akhir Kajian Peranan SNI Untuk Penguatan Pasar Dalam
Negeri dan Daya Saing Produk Ekspor” (Jakarta: Kementerian Perdagangan Republik Indonesia,
2015), hlm. 12.
79
“Badan Standardisasi Nasional”,
https://id.wikipedia.org/wiki/Badan_Standardisasi_Nasional, diakses pada tanggal 19 April
2016.
80
Ibid.

Universitas Sumatera Utara


a. Merumuskan, menetapkan, dan memelihara SNI yang berkualitas dan
bermanfaat bagi pemangku kepentingan;
b. Mengembangkan dan mengelola Sistem Penerapan Standar, Penilaian
Kesesuaian, dan Ketertelusuran Pengukuran yang handal untuk
mendukung implementasi kebijakan nasional;
c. Meningkatkan persepsi masyarakat dan partisipasi pemangku kepentingan
dalam bidang Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian;
d. Mengembangkan budaya, kompetensi, dan sistem informasi di bidang
Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian sebagai upaya untuk
meningkatkan efektifitas implementasi Sistem Standardisasi dan Penilaian
Kesesuaian;
e. Merumuskan, mengkoordinasikan, dan mengevaluasi pelaksanaan
Kebijakan Nasional, Sistem dan Pedoman di bidang Standardisasi dan
Penilaian Kesesuaian yang efektif untuk mendukung daya saing dan
kualitas hidup bangsa.

3. Fungsi BSN adalah : 81

a. Pengkajian dan penyusunan kebijakan nasional di bidang standardisasi


nasional;
b. Koordinasi kegiatan fungsional dalam pelaksanaan tugas BSN;
c. Fasilitasi dan pembinaan terhadap kegiatan instansi pemerintah di bidang
standardisasi nasional;
d. Penyelenggaraan kegiatan kerjasama dalam negeri dan internasional di
bidang standardisasi;
e. Penyelenggaraan pembinaan dan pelayanan administrasi umum di bidang
perencanaan umum, ketatausahaan, organisasi dan tatalaksana,
kepegawaian, keuangan, kearsipan, hukum, persandian, perlengkapan dan
rumah tangga.

4. Kewenangan BSN adalah : 82

a. Penyusunan rencana nasional secara makro di bidangnya;


b. Perumusan kebijakan di bidangnya untuk mendukung pembangunan
secara makro;
c. Penetapan sistem informasi di bidangnya;
d. Kewenangan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku yaitu :
1) Perumusan dan pelaksanaan kebijakan tertentu di bidang standardisasi
nasional;
2) Perumusan dan penetapan kebijakan sistem akreditasi lembaga
sertifikasi, lembaga inspeksi dan laboratorium;
3) Penetapan SNI;

81
Ibid.
82
Ibid.

Universitas Sumatera Utara


4) Pelaksanaan penelitian dan pengembangan di bidangnya;
5) Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan di bidangnya.
Agar semua norma pengembangan standar dapat diterapkan secara baik,

maka BSN melakukan:

1. Penguatan fungsi Manajemen Teknis Pengembangan Standar (MTPS) adalah


lembaga non struktural yang merupakan unsur fungsi BSN sebagai National
Standard Body dan mempunyai tugas memberikan pertimbangan dan saran
kepada Kepala BSN dalam rangka menetapkan kebijakan untuk
memperlancar pengelolaan kegiatan pengembangan SNI.
2. Penguatan posisi Masyarakat Standardisasi Indonesia (MASTAN) merupakan
organisasi non-pemerintah yang diperlukan untuk memberikan wadah dan
saluran yang seluas mungkin bagi stakeholder untuk berpartisipasi dalam
berbagai proses standardisasi. Dalam proses pengembangan SNI, khususnya
dalam pelaksanaan tahap jajak pendapat dan tahap persetujuan RSNI, agar
partisipasi dan pelaksanaan konsensus pihak berkentingan dapat semakin
luas.

Pada Peraturan Pemerintah No. 102 Tahun 2000 tentang Standardisasi

Nasional. Pelaksanaan tugas dan fungsi Badan Standardisasi Nasional di bidang

akreditasi dan sertifikasi dilakukan oleh KAN. KAN mempunyai tugas

menetapkan akreditasi dan memberikan pertimbangan serta saran kepada BSN

dalam menetapkan sistem akreditasi dan sertifikasi. Sedangkan pelaksanaan tugas

dan fungsi BSN di bidang Standar Nasional untuk Satuan Ukuran dilakukan oleh

Komite Standar Nasional untuk Satuan Ukuran (selanjutnya disebut KSNSU).

Komite Standar Nasional untuk Satuan Ukuran mempunyai tugas

memberikan pertimbangan dan saran kepada BSN mengenai standar nasional

untuk satuan ukuran. Sesuai dengan tujuan utama standardisasi adalah melindungi

produsen, konsumen, tenaga kerja dan masyarakat dari aspek keamanan,

keselamatan, kesehatan serta pelestarian fungsi lingkungan, pengaturan

standardisasi secara nasional ini dilakukan dalam rangka membangun sistem

nasional yang mampu mendorong dan meningkatkan, menjamin mutu barang

Universitas Sumatera Utara


dan/atau jasa serta mampu memfasilitasi keberterimaan produk nasional dalam

transaksi pasar global. Dari sistem dan kondisi tersebut diharapkan dapat

meningkatkan daya saing produk barang dan/atau jasa Indonesia di pasar global. 83

Sistem penilaian kesesuaian oleh KAN mengandung sejumlah unsur

sebagai berikut : 84

1. Unsur pertama adalah proses akreditasi oleh KAN untuk menilai dan
memberikan pengakuan terhadap LPK. Hampir semua yang ditetapkan oleh
BSN merupakan adopsi pedoman ISO/IEC. Selain itu KAN juga
menggunakan rekomendasi organisasi internasional seperti IAF
(International Accreditation Forum), APLAC (Asia Pacific Laboratory
Accreditation Cooperation), PAC (Pacific Accreditation Cooperation),
maupun ILAC (International Laboratory Accreditation Cooperation). Dalam
pelaksanaan tugasnya KAN didukung oleh jasa auditor.
2. Unsur kedua adalah proses penilaian kesesuaian yang mencakup kegiatan
pengujian oleh laboratorium, inspeksi teknis, sertifikasi sistem manajemen,
sertifikasi personel dan sertifikasi produk oleh LPK yang telah diakreditasi
oleh KAN.
3. Unsur ketiga adalah proses ketertelusuran pengukuran. Suatu hasil
pengukuran selalu mengandung ketidakpastian yaitu nilai yang menyatakan
rentang di mana nilai yang benar berada. Nilai ketidak pastian dapat berasal
dari alat ukuran yang digunakan, pelaksanaan pengukuran oleh operator,
kondisi lingkungan. Oleh karena itu untuk mendapatkan hasil yang dapat
diandalkan, khususnya laboratorium penguji memerlukan kalibrasi secara
periodik untuk mengetahui ketidakpastian serta mengikuti uji profisiensi
untuk dapat menjamin unjuk kerja suatu laboratorium.

Komite Akreditasi Nasional (KAN) adalah suatu lembaga non struktural

yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden, dibentuk

berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 78 Tahun 2001. KAN memberikan

pelayanan akreditasi kepada Lembaga Sertifikasi yang berlokasi di Indonesia dan

luar negeri. Sedangkan untuk akreditasi kepada Laboraturium dan Lembaga

83
“Badan Standardisasi Nasional”,
https://id.wikipedia.org/wiki/Badan_Standardisasi_Nasional , diakses pada tanggal
12 November 2016.
84
Bambang Purwanggono, dkk., “Pengantar Standardisasi Edisi Pertama” (Jakarta:
Badan Standardisasi Nasional, 2009), hlm. 44

Universitas Sumatera Utara


inspeksi yang terletak di luar negeri selama di negara tersebut tidak terdapat

Badan Akreditasi lokal yang menandatangani dari mutual recognition di

negaranya. 85

B. Lembaga Sertifikasi Produk Sebagai Pemberi Sertifikasi Standar

Nasional Indonesia

Kegiatan sertifikasi dilakukan oleh LSPro. Perusahaan yang ingin

produknya disertifikasi mengajukan aplikasi ke LSPro dan mengikuti proses

sertifikasi yang ada di LSPro. Dalam melakukan proses sertifikasi tersebut, LSPro

haruslah mengoperasikan skema sertifikasi tertentu, dalam SNI ISO/IEC

17067:2013 dikatakan bahwa skema sertifikasi ialah aturan, prosedur dan

manajemen untuk melakukan sertifikasi terhadap produk-produk tertentu.

Skema berisi tata cara/persyaratan-persyaratan dan mekanisme apa saja

yang diperlukan dan dilakukan dalam pelaksanaan sertifikasi produk tertentu.

Dari mulai proses seleksi, determinasi, review, keputusan dan atestesi. Jadi dalam

melakukan sertifikasi, LSPro haruslah memastikan bahwa kegiatan sertifikasi

yang dilakukannya sesuai dengan skema yang dioperasikannya. 86

Pada prinsipnya skema sertifikasi produk sangatlah bergantung dari jenis,

karakteristik serta proses produksi produk tersebut. Menurut UU Standardisasi

dan Penilaian Kesesuaian, sertifikasi adalah rangkaian kegiatan Penilaian

85
Febi Amanda, Op. Cit., hlm. 62.
86
“Bagaimana Proses Mendapatkan Sertifikasi SNI untuk Produk?”,
http://bsn.go.id/main/berita/berita_det/7008/Infografis---Alur-Proses-Sertifikasi-SNI-pada-Produk,
diakses pada tanggal 17 November 2016.

Universitas Sumatera Utara


Kesesuaian yang berkaitan dengan pemberian jaminan tertulis bahwa Barang,

Jasa, Sistem, Proses, atau Personal telah memenuhi Standar dan/atau regulasi. 87

Pada prinsipnya penerapan/sertifikasi SNI adalah sukarela, para pihak

yang ingin menerapkan SNI dipersilahkan menjadikan SNI sebagai rujukan dalam

kegiatan atau proses yang dilakukannya. Namun untuk membuktikan dan

mendapatkan pengakuan formal bahwa benar suatu perusahaan/organisasi telah

menerapkan SNI atau standar tertentu, perlu proses penilaian kesesuaian yang

dilakukan pihak ketiga. Proses penilaian oleh pihak ketiga inilah yang disebut

sebagai Sertifikasi, dan lembaga yang melakukan kegiatan penilaian disebut

sebagai lembaga sertifikasi. Secara umum ada tiga (3) klasifikasi kegiatan

sertifikasi berdasarkan SNI yang dapat dilakukan : 88

1. Sertifikasi Sistem Manajemen, yaitu sertifikasi terhadap sistem manajemen

perusahaan misalnya berdasarkan SNI ISO (9001, 14001, 22000, HACCP,dll)

2. Sertifikasi Produk, yaitu sertifikasi terhadap produk yang dihasilkan

perusahaan berdasarkan SNI produk tertentu misalnya SNI 1811:2007 untuk

Helm, SNI 3554:2015 untuk Air minum dalam kemasan, SNI 2054:2014

untuk baja tulangan beton, dan produk-produk lainnya

3. Sertifikasi Personel, yaitu sertifikasi terhadap kompetensi personel misalnya

Auditor, PPC, Tenaga Migas, Tenaga Kelistrikan, dll

Jadi Sertifikasi SNI adalah proses penilaian kesesuaian terhadap

produk/sistem manajemen/kompetensi suatu perusahaan/personel berdasarkan

87
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2014 Tentang Standardisasi
dan Penilaian Kesesuaian, Pasal 1 angka 9.
88
BSN, “Pengantar Standardisasi Edisi Kedua” (Jakarta: Badan Standardisasi Nasional,
2014), hlm. 21. (selanjutnya disebut BSN Kedua).

Universitas Sumatera Utara


persyaratan dalam SNI dalam rangka memperoleh pengakuan formal. Proses

sertifikasi produk adalah proses menilai apakah suatu produk memenuhi

persyaratan seperti yang tercantum dalam standar. Untuk itu yang harus

dilakukan untuk adalah :

1. Pastikan jenis produk apa yang ingin disertifikasi, ingat objek utama

sertifikasi produk adalah produknya bukan perusahaan, hal ini berbeda

dengan sertifikasi sistem manajemen yang menjadikan perusahaan objek

sertifikasinya.

2. Cek apakah Produk yang anda ingin sertifikasi sudah ada Standar nya, dalam

hal ini apakah SNI nya sudah ditetapkan. Jika SNI nya belum ada, maka

produk tidak dapat disertifikasi.

3. Setelah memastikan SNI nya, cek apakah ada Lembaga Sertifikasi Produk

yang sudah terakreditasi oleh KAN untuk SNI tersebut. Jika tidak ada LSPro

yang terakreditasi berarti produk belum dapat disertifikasi, namun bisa

meminta LSPro untuk menambah ruang lingkup akreditasinya kepada KAN

sehingga produk bisa disertifikasi. Khusus untuk SNI yang sudah diwajibkan,

beberapa kementerian mengatur tentang penunjukan sementara LSPro yang

belum diakreditasi untuk melakukan sertifikasi, namun dipersyaratkan dalam

jangka waktu tertentu harus sudah terakreditasi.

Contoh Persyaratan Pendaftaran SPPT SNI Ke LSPro :

1. Dokumen Administrasi

a. Fotokopi Akte Notaris Perusahaan;


b. Fotokopi SIUP, TDP;
c. Fotokopi NPWP;
d. Surat pendaftaran merek dari Dirjen HAKI/Sertifikat Merek;

Universitas Sumatera Utara


e. Surat pelimpahan merek atau kerjasama antara pemilik merek dengan
pengguna merek (hanya bila merek bukan milik sendiri);
f. Bagan organisasi yang disahkan pimpinan;
g. Surat penunjukkan wakil manajemen dan biodatanya;
h. Surat permohonan SPPT SNI;
i. Angka penegenal importir (api) (bila bukan produsen);
j. Fotokopi sertifikat sistem manajemen mutu atau manajemen lainnya;

2. Dokumen Teknis

a. Pedoman Mutu yang telah disahkan;


b. Diagram alir proses produksi;
c. Daftar peralatan utama produksi;
d. Daftar bahan baku utama dan pendukung produksi;
e. Daftar peralatan inspeksi dan pengujian;
f. Salinan dokumen panduan mutu dan prosedur mutu;

Lembaga sertifikasi produk dimungkinkan menerbitkan tanda kesesuaian

terhadap suatu standar. Tanda kesesuaian yang berlaku adalah tanda SNI dan

tanda lain yang berbasis SNI seperti tanda ekolabel, tanda pangan organik, tanda

keselamatan, tanda hemat energi, tanda lainnya yang ditetapkan oleh BSN, dan

tanda lain sesuai dengan kebutuhan.

Kewenangan lain yang dimiliki lembaga sertifikasi produk adalah: 89

1. Menunda, membekukan dan mencabut sertifikat, serta mengurangi ruang

lingkup, atau menilai kembali jika ada:

a. Perubahan personel inti.

b. Pelanggaran persyaratan dan peraturan lembaga sertifikasi produk

dan/atau persyaratan standard dan/atau Peraturan Pemerintah.

c. Kegagalan dalam membantu personel atau sub kontrak lembaga

sertifikasi produk selama menjalankan tugas resminya.

89
Eddy Herjanto, “Pemberlakuan SNI Secara Wajib Di Sektor Industri: Efektivitas dan
Berbagai Aspek Dalam Penerapannya”, Jurnal Riset Industri Vol. V, No.2, 2011, hlm. 130.

Universitas Sumatera Utara


2. Membekukan sertifikat apabila menurut lembaga sertifikasi produk

ketidakmampuan perusahaan hanya bersifat sementara dan tidak

mengakibatkan pencabutan sertifikat.

3. Menetapkan periode penundaan, pembekuan dan selama periode tersebut

sertifikat yang dimiliki perusahaan dapat dicabut apabila tidak mampu

memenuhi persyaratan.

4. Mencabut sertifikat jika :

a. Pemilik dinyatakan bangkrut atau menjadi bagian dari krediturnya.

b. Badan usaha tersebut dalam tahap likuidasi.

c. Tidak memenuhi persyaratan yang ditetapkan.

Proses sertifikasi produk adalah proses menilai apakah suatu produk

memenuhi persyaratan seperti yang tercantum dalam standar, hal yang dapat

dilakukan adalah : 90

1. Permohonan sertifikasi

Pemohon diharuskan mengisi Formulir Permohonan Sertifikasi Produk yang

telah disediakan yang diajukan kepada Kepala Badan Sertifikasi.

2. Penilaian sistem manajemen mutu

Penilaian Sistem Manajemen Mutu diharuskan untuk pemohon yang

mengajukan permohonan sertifikasi produk. Hal ini berarti pomohon

diharuskan untuk implementasi/menerapkan sistem manajemen mutu menurut

SNI 19-9000/ISO 9000.

3. Penilaian laboratorium

90
“Proses sertifikasi Produk”, http://indonesia.go.id/?lpnk=badan-standardisasi-
nasional. diakses pada tanggal 14 Desember 2016.

Universitas Sumatera Utara


Penilaian laboratorium uji diharuskan. Apabila pemohon memiliki

laboratorium uji dan melaksanakan pengujian sendiri maka laboratorium uji

tersebut harus memenuhi persyaratan (implementasi/menerapkan) SNI 19-

17025/ISO 17025.

4. Pengambilan contoh uji

Pengambilan contoh uji dilaksanakan oleh personil LSPro. Contoh uji diambil

dari alur produksi dan dari gudang atau dari pasar dengan jumlah sesuai

dengan yang disyaratkan oleh LSPro atau mengikuti aturan lain yang relevan.

Sejumlah contoh uji yang diambil harus mewakili dan berlaku untuk satu tipe

produk yang disertifikasi atau lebih tergantung pada proses pembuatan dan

fungsi dari produk tersebut dan hal ini akan ditetapkan kemudian oleh LSPro

contoh uji yang diambil hanya mewakili dan berlaku untuk satu merek

dagang yang disertifikasi.

5. Pengujian contoh uji

Pengujian dilaksanakan oleh lembaga/laboratorium uji eksternal atas nama

LSPro. Pemohon dapat melaksanakan pengujian di laboratorium uji milik

pemohon atau di laboratorium uji eksternal yang ditunjuk oleh pemohon,

asalkan laboratorium uji tersebut memenuhi persyaratan SNI 19-17025/ISO

17025 seperti yang ditetapkan pada butir 2 diatas dan telah memenuhi

perjanjian kerjasama dengan LSPro, dengan demikian pemohon cukup hanya

menyerahkan ke LSPro laporan uji untuk dievaluasi. Laporan uji harus

menunjukkan laporan yang terakhir dan terbaru. Pengujian harus mengikuti

Universitas Sumatera Utara


persyaratan uji yang telah ditetapkan oleh standar acuan atau aturan lain yang

relevan.

6. Evaluasi

Evaluasi dilakukan terhadap seluruh rangkaian kegiatan sertifikasi dengan

memperhatikan persyaratan-persyaratan yang telah ditetapkan.

7. Follow-up

Apabila hasil evaluasi menunjukkan adanya ketidaksesuaian terhadap

persyaratan yang ditetapkan, dilakukan penilaian ulang sesuai dengan

ketidaksesuaian yang timbul. Penilaian ulang untuk produk sama seperti yang

dilaksanakan pada penilaian semula sedangkan untuk sistem manajemen

mutu dan laboratorium uji hanya memverifikasi ketidaksesuaian yang timbul.

8. Keputusan sertifikasi

Manajemen LSPro akan memutuskan sertifikasi setelah semua tahapan

prosedur sertifikasi dilaksanakan dan dilengkapi dengan laporannya. Apabila

pada laporan evaluasi menunjukkan tidak memenuhi aturan yang ditetapkan

oleh LSPro atau pada laporan evaluasi menujukkan adanya ketidaksesuaian

terhadap persyaratan standar, diputuskan bahwa produk yang dimaksud

dinyatakan tidak lulus sertifikasi.

9. Bukti kesesuaian

Bukti kesesuaian yang diterbitkan oleh LSPro adalah "Sertifikat Produk

Penggunaan Tanda SNI"

10. Survailen

Universitas Sumatera Utara


Survailen dilaksanakan minimal sekali dalam setahun dan total survailen tiga

kali sejak tanggal berlakunya sertifikat. Jika survailen tidak dilaksanakan

(kecuali dalam keadaan force majeure) sertifikat akan ditunda setelah 60

(enam puluh) hari sejak surat pemberitahuan survailen diterbitkan. Survailen

meliputi : Penilaian sistem manajemen mutu dan laboratorium uji,

pengambilan contoh uji, pengujian dan evaluasi. Contoh uji diambil dari

pabrik dan pasar dengan jumlah sesuai dengan yang disyaratkan oleh LSPro

atau mengikuti aturan lain yang relevan.

11. Sertifikasi ulang

Sertifikasi ulang dilaksanakan setiap 4 (empat) tahun sekali. Pelaksanaan dan

persyaratan sertifikasi ulang sama seperti dengan pelaksanaan sertifikasi

awal.

Pemberian sertifikat oleh LSPro adalah dilakukan oleh Manajemen LSPro

dapat menerbitkan sertifikat Produk Penggunaan Tanda SNI kepada pemohon

sertifikasi apabila : 91

1. Hasil evaluasi terhadap sistem manajemen mutu tidak menunjukkan adanya

ketidaksesuaian.

2. Hasil pengujian contoh uji memenuhi persyaratan standar.

3. Hasil keputusan team evaluasi menyatakan bahwa seluruh tahapan kegiatan

sertifikasi telah memenuhi persyaratan sertifikasi.

Pemegang sertifikat Produk Penggunaan Tanda SNI mempunyai beberapa

hak dan kewajiban, yaitu sebagai berikut : 92

91
“Badan Standardisasi Nasional”, http://indonesia.go.id/?lpnk=badan-standardisasi-
nasional, diakses pada tanggal 14 Desember 2016.

Universitas Sumatera Utara


Hak pemegang sertifikat :

1. Pemegang sertifikat berhak untuk menggunakan sertifikat dan membubuhkan

tanda SNI pada produk atau kemasannya dengan mengikuti aturan

penggunaannya yang ditetapkan oleh LSPro, apabila produk yang dimaksud

telah dinyatakan lulus sertifikasi

2. Pemegang sertifikat berhak untuk mempublikasikan bahwa produknya telah

disertifikasi oleh LSPro.

3. Pemegang sertifikat dapat mengajukan keluhan ke LSPro dalam hal kaitannya

dengan kegiatan sertifikasi termasuk personel sertifikasi.

Kewajiban pemegang sertifikat :

1. Pemegang sertifikat menjamin bahwa produk yang disertifikasi diproduksi

sesuai dengan standar dan spesifikasi yang sama seperti produk yang

dijadikan contoh uji.

2. Pemegang sertifikat harus menginformasikan ke LSPro apabila ada

modifikasi produk, proses produksi dan sistem manajemen mutu.

3. Pemegang sertifikat harus membolehkan personel LSPro untuk akses tak

terbatas ke area pabrik yang memproduksi produk yang disertifikasi.

4. Pemegang sertifikat harus memenuhi kewajiban pembayaran biaya yang

ditetapkan untuk kegiatan yang berkaitan dengan kegiatan sertifikasi.

5. LSPro memberi wewenang ke pemegang sertifikat untuk menyatakan bahwa

produknya yang disertifikasi telah sesuai dengan standar dan aturan sistem

sertifikasi.

92
Ibid.

Universitas Sumatera Utara


6. LSPro memegang dan menjaga rahasia yang diperoleh selama LSPro

berhubungan dengan pemegang sertifikat.

C. Prosedur Pemberian Sertifikat Standar Nasional Indonesia Terhadap

Produk Kopi

Persaingan bisnis yang dihadapi perusahan-perusahaan saat ini semakin

ketat, khususya pada perusahaan yang bergerak dalam industri Fast Moving

Consumer Goods (selanjutnya disebut dengan FMCG) yaitu industri yang

memproduksi barang-barang yang sering dibeli konsumen di antaranya :

makanan, minuman, kosmetik, detergen, dan lain sebagainya. Hal ini

menyebabkan manajemen perusahaan dituntut untuk lebih cermat dalam

menentukan strategi bersaing. Oleh karena itu perusahaan harus selalu mencari

ide- ide kreatif serta membuat produk yang berkualitas dalam menjalankan

perusahaan untuk dapat memenangkan persaingan. 93

Salah satu kategori produk FMCG yang banyak diminati masyarakat dunia

dan khususnya di Indonesia adalah kopi. Permintaan akan kebutuhan kopi dunia

saat ini diprediksi meningkat hingga hampir 25% dalam lima tahun ke depan.

Ekspor kopi di Indonesia sendiri pada tahun ini diproyeksikan menurun, produksi

kopi terserap dengan maksimal oleh lokal, hal tersebut terjadi karena permintaan

kopi dalam negeri yang kian meningkat.

Di pasar internasional, kopi asal Indonesia dikenal berkualitas baik dan

dapat bersaing dengan kompetitor seperti Vietnam dan Brazil. Walaupun memiliki

93
Pudji Rahardjo, Panduan Budidaya dan Pengolahan Kopi Arabika dan Robusta..
(Jakarta: Penebar Swadaya, 2012), hlm. 5.

Universitas Sumatera Utara


daya saing dari sisi kualitas namun tidak dapat bersaing pada sisi harga yang

disebabkan pengelolaan kopi di negara kompetitor tersebut didukung penggunaan

teknologi, rendahnya produktivitas kopi Indonesia karena usia tanaman yang

sudah tua, tingginya tarif gas dan listrik, dan infrastruktur pendukung seperti jalan

dan pelabuhan di dalam negeri menyebabkan biaya tambahan. 94

Pemerintah dalam hal ini Kementerian Perindustrian telah menerbitkan

aturan wajib SNI untuk kopi. Hal itu dilakukan untuk mengantisipasi serbuan

impor produk kopi yang mulai menguasai pasar domestik. Kopi yang tidak

memiliki SNI akan dimusnahkan dan direekspor, aturan tersebut tertuang dalam

Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 87/M-IND/PER/10/2014 tentang

Pemberlakuan Standar Nasional Indonesia (SNI) Kopi Instan Secara Wajib yang

kemudian diubah dengan Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 55/M-

IND/PER/6/2015 yang selanjutnya mengalami perubahan kedua yaitu Peraturan

Menteri Perindustrian Nomor 03/M-IND/PER/01/2016 (selanjutnya disebut

Permenperin SNI Kopi Instan). Salah satu tujuan penerbitan aturan tersebut untuk

memberikan perlindungan kepada konsumen. 95

Dengan terbitnya Permenperin SNI Kopi tersebut, produsen kopi instan 96

atau importir kopi instan wajib menerapkan ketentuan SNI dengan memiliki SPPT

94
Pusat Kebijakan Perdagangan Dalam Negeri Badan Pengkajian dan Pengembangan,
Op. Cit., hlm. 45.
95
“Pemerintah Terbitkan SNI untuk Kopi”,
http://www.kemenperin.go.id/artikel/10284/Pemerintah-Terbitkan-SNI-untuk-Kopi,
diakses pada tanggal 12 Desember 2016.
96
Produsen kopi instan adalah : a. Perusahaan yang memproduksi kopi instan baik dalam
bentuk curah, maupun kemasan yang proses pengemasannya dilakukan sendiri atau menunjuk
perusahaan lain, yang selanjutnyadisebut pabrikan; dan/atau b) perusahaan yang hanya melakukan
kegiatan usaha pengemasan kopi instan yang selanjutnya disebut pengemas ulang. Lihat Peraturan
Dirjen Industri Agro Nomor 22/IA/PER/03/2016, bagian Lampiran I poin 2 Ketentuan Umum.

Universitas Sumatera Utara


SNI dan tanda SNI pada setiap bentuk kemasan produknya. Kopi instan 97 yang

dimaksud adalah kopi dalam bentuk kemasan ritel dan bentuk curah, kopi instan

murni dan tanpa campuran bahan lain, termasuk kopi instan dekafein. Peraturan

ini tidak berlaku bagi kopi yang digunakan sebagai bahan baku atau penolong

serta kopi instan yang digunakan sebagai contoh uji penelitian. Dalam kopi instan

produksi dalam negeri yang tidak memenuhi ketentuan SNI harus ditarik dari

peredaran dan dimusnahkan oleh produsen yang bersangkutan. Kopi Indonesia

khususnya jenis arabika masih menjadi nomor satu di dunia. Hal itu terbukti dari

harga jual kopi arabika Jawa dan Sumatera mencapai US$100 per kilogram untuk

jenis premium. Berdasarkan data Kementerian Perindustrian, ekspor produk kopi

olahan sepanjang tahun 2013 mencapai US$243,87 juta atau turun 24,41% di

bandingkan dengan tahun 2012 yang mencapai US$322,62 juta. 98

Ekspor produk kopi olahan masih di dominasi produk kopi instan, ekstrak,

esens, dan konsentrat kopi. Kondisi ekspor berbanding terbalik dengan impor kopi

olahan. Sepanjang tahun 2013, impor produk kopi olahan mencapai US$81,11

juta atau naik 15,01% dibandingkan dengan tahun sebelumnya mencapai

US$71,19 juta. Impor terbesar dialami oleh produk kopi instan yang disinyalir

adalah produk bermutu rendah. Berdasarkan data Kemenperin, impor kopi olahan

di lndonesia pada tahun 2013 merupakan impor dengan nilai tertinggi sejak 7

97
Kopi instan adalah produk kopi berbentuk serbuk atau granuka atau flake yang
diperoleh dari proses pemisahan biji kopi, disangrai tanpa dicampur dengan bahan lain, digiling,
diekstrak dengan air, dikeringkan dengan proses spray drying (dengan atau tanpa aglomeransi)
atau freeze drying atau fluidized bed drying atau proses lainnya menjadi produk yang mudah larut
dalam air. Lihat Permenprin 87/M-IND/PER/10/2014 tentang Pemberlakuan Standar Nasional
Indonesia (SNI) Kopi Instan Secara Wajib, Pasal 1poin 1.
98
“Pemerintah Terbitkan SNI untuk Kopi”,
http://www.kemenperin.go.id/artikel/10284/Pemerintah-Terbitkan-SNI-untuk-Kopi,
diakses pada tanggal 12 Desember 2016.

Universitas Sumatera Utara


tahun terakhir. Selain untuk melindungi industri kopi dalam negeri, berlakunya

SNI wajib juga untuk menjaga kesehatan konsumen. Dalam penerapan SNI wajib

ini, produk kopi akan di uji dari sisi kadar air, toksin yang terdapat dalam biji

kopi, dan sebagainya. 99

Defenisi sertifikasi dapat kita lihat pad ISO/IEC 17000:2004 yaitu

sertifikasi sebagai pengesahan dari pihak ketiga yang berkaitan dengan produk,

proses, sistem atau orang, dan sertifikasi dapat diterapkan untuk semua obyek

penilaian kesesuaian. Penilaian kompetensi lembaga penilaian kesesuaian itu

sendiri, dilakukan melalui akreditasi.

Sertifikasi dapat dibagi ke dalam 2 (dua) kelompok besar, yaitu : 100

1. Sertifikasi Sistem Manajemen

Sistem manajemen yang dioperasikan oleh suatu organisasi dapat

memberikan bukti bahwa organisasi tersebut telah menerapkan prosedur untuk

menyusun dan mendokumentasikan proses-proses administratif dan

manajemennya. Dokumentasi dari seluruh proses di dalam sebuah organisasi

dapat memfasilitasi deteksi dan pelacakan kesalahan untuk segera mengambil

tindakan perbaikan yang diperlukan. Beberapa sistem manajemen mutu (yang

selanjutnya disebut SMM) yang diakui di seluruh dunia dan dapat disertifikasi

oleh lembaga sertifikasi antara lain adalah :

a. Sistem Manajemen Mutu berdasarkan seri ISO 9000

b. Sistem Manajemen Lingkungan berdasarkan seri ISO 14000

c. Sistem Kesehatan dan Keselamatan Kerja berdasarkan seri OHSAS 18000

99
Ibid.
100
Bambang Purwanggono, dkk., Op. Cit., hlm. 112.

Universitas Sumatera Utara


d. Sistem Higinis–Hazard Analysis and Critical Control Point (HACCP)

e. Good Practices, termasuk Good Manufacturing Practice (GMP)

2. Sertifikasi Produk

Lembaga sertifikasi dapat memberikan sertifikasi terhadap jenis standar

berdasarkan pada standar ISO atau yang didasarkan pada standar FAO/WHO

Codex Alimentarius. Harmonisasi proses antara ISO dan Codex Alimentarius telah

menghasilkan ISO 22000, kombinasi antara ISO 9000 dan HACCP yang

menyatakan persyaratan sistem manajemen keamanan pangan (selanjutnya disebut

SMKP) (food safety). Bila sertifikasi sistem manajemen ditujukan untuk

memberikan pengakuan kesesuaian sistem manajemen sebuah organisasi dengan

standar sistem manajemen yang relevan, sertifikasi produk dimaksudkan untuk

memberikan pengakuan bahwa proses produksi, kandungan atau kadar, sifat-sifat

dan karakteristik lainnya dari sebuah produk telah sesuai dengan persyaratan yang

ditetapkan dalam standar yang relevan. 101

Sertifikat merupakan jaminan tertulis yang diberikan oleh lembaga/

laboratorium yang telah diakreditasi untuk menyatakan bahwa produk, proses,

jasa, sistem atau personel telah memenuhi standar yang dipersyaratkan. Seperti

ISO 22000 yaitu suatu standar internasional yang menggabungkan dan

melengkapi elemen utama ISO 9001 dan HACCP dalam hal penyediaan suatu

kerangka kerja yang efektif untuk pengembangan, penerapan, dan peningkatan

berkesinambungan dari Sistem Manajemen Keamanan Pangan.

101
Febi Amanda, Op. Cit., hlm. 78.

Universitas Sumatera Utara


Rainforest Certificate yaitu standar untuk kelestarian lingkungan dan

memastikan kondisi yang lebih baik pada lingkungan kerja dan meningkatkan

kesejahteraan orang-orang yang bekerja pada suatu industri. Fair Trade

Certificate adalah sertifikasi produk yang telah menerapkan kelestarian

lingkungan, kesejahteraan tenaga kerja dan pengembangan standar, dan ISO

17025 diterapkan untuk pengujian laboratorium internal yang dimiliki oleh

industri. 102

Standar-standar tersebut diatas adalah standar yang dipersyaratkan oleh

pembeli diluar negeri yang harus dipenuhi oleh eksportir. Beberapa negara yang

menerapkan standar sangat ketat adalah Jepang dan Amerika Serikat, jika pelaku

usaha dapat mengadopsi persyaratan standar pada negara tersebut maka akan lebih

muda untuk memasuki pasar negara lain. Dalam memenuhi persyaratan sertifikasi

tersebut, pelaku usaha berpendapat tidak sulit dan biaya yang dikeluarkan cukup

terjangkau serta jangka waktu yang dibutuhkan untuk pengurusan dokumen yaitu

satu bulan. Secara umum tidak ditemui kendala dalam memperoleh sertifikasi

namun untuk pelaku usaha menengah dirasa cukup sulit untuk memperoleh

sertifikasi tersebut khususnya pemenuhan persyaratan dan biaya sertifikasi.

Standar Nasional Indonesia untuk kopi dalam kemasan diantaranya adalah

SNI 01-3542-2004 kopi bubuk (coffee), SNI 01-2983-1992/SNI 2983:2014 kopi

instan Instant (coffee), SNI 01-4446-1998 kopi mix (coffee mix), SNI 01-4282-

1996 kopi celup (coffee bag), SNI 01-4314-1996 minuman kopi dalam kemasan

(coffee drinks in package), SNI 7708:2011 kopi gula krimer dalam kemasan

102
Pusat Kebijakan Perdagangan Dalam Negeri Badan Pengkajian dan Pengembangan,
Op. Cit., hlm. 55.

Universitas Sumatera Utara


(coffee creamer sugar in packaging), SNI 6685:2009 Kopi susu gula dalam

kemasan (coffee sugar milk in sachets). 103

Prosedur pemberian SPPT-SNI terhadap produk kopi, diatur dalam

Peraturan Direktur Jenderal Industri Agro Nomor 24/IA/PER/3/2015 tentang

Petunjuk Teknis Pemberlakuan Standar Nasional Indonesia Kopi Instan Secara

Wajib, namun karena dikeluarkannya Permenperin Nomor 03/M-

IND/PER/01/2016 tentang Perubahan Kedua Pemberlakuan Standar Nasional

Indonesia (SNI) Kopi Instan Secara Wajib, maka dikeluarkan juga Peraturan

Direktur Jenderal Industri Agro Nomor 22/IA/PER/3/2016 tentang Petunjuk

Teknis Pemberlakuan Standar Nasional Indonesia Kopi Instan Secara Wajib

(selanjutnya disebut Perdirjen IA Juknis SNI Kopi Instan).

SPPT-SNI Kopi Instan diperoleh melalui Sistem Sertifikasi Tipe 5 yang

berlaku selama 4 (empat) tahun atau Sistem Sertifikasi Tipe 1 b yang terbagi atas

kopi instan produk dalam negeri, berlaku untuk setiap Di dalam bab III disebutkan

tata cara memperoleh SPPT-SNI, yaitu : 104

1. Pelaku usaha baik dalam negeri maupun luar negeri atau importir,

mengajukan permohonan SPPT-SNI Kopi Instan kepada LSPro sesuai

prosedur yang ditetapkan LSPro.

2. Pelaku Usaha dapat memperoleh SPPT-SNI jika memenuhi hal berikut :

a. Sistem Sertifikasi Tipe 5 dilakukan dengan tahapan sebagai berikut:

103
Pusat Kebijakan Perdagangan Dalam Negeri Badan Pengkajian dan Pengembangan
Kebijakan Perdagangan, Op. Cit., hlm. 72.
104
Lihat Peraturan Direktur Jenderal Industri Agro Nomor 22/IA/PER/3/2016 tentang
Petunjuk Teknis Pemberlakuan Standar Nasional Indonesia Kopi Instan Secara Wajib.

Universitas Sumatera Utara


1) Mengajukan permohonan kepada LSPro dan memenuhi persyaratan

administrasi dengan melampirkan :

a) Fotokopi akta pendirian perusahaan atau perubahannya, untuk

produsen kopi instan dalam negeri, atau akta sejenis dalam

terjemahan bahasa Indonesia untuk produsen luar negeri, oleh

penerjemah tersumpah;

b) Fotokopi izin industri (Izin Usaha Industri atau Tanda Daftar

Industri) bagi produsen Kopi Instan dalam negeri, atau izin yang

sejenis untuk produsen luar negeri yang telah diterjemahkan ke

dalam bahasa Indonesia oleh penerjemah tersumpah;

c) Dokumen mengenai penggunaan merek;

(1) Fotokopi Sertifikat Merek Pelaku Usaha atau Tanda Daftar

Merek yang diterbitkan oleh Dirjen Hak Kekayaan

Intelektual, Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia;

(2) Fotokopi perjanjian lisensi dari pemilik merek sebagaimana

dimaksud pada (1);

(3) Fotokopi surat perjanjian dengan perusahaan pengemas

mengenai penggunaan merek pabrikan untuk produk Kopi

instan yang dikemas oleh perusahaan pengemas; atau

(4) Fotokopi surat perjanjian makloon dari pemberi makloon

untuk produk yang menggunakan merek pemberi makloon.

d) Surat pernyataan bermaterai yang menyatakan bahwa dokumen

yang dilampirkan sesuai aslinya.

Universitas Sumatera Utara


2) Telah menerapkan SMM atau SMKP yang dibuktikan dengan

menyampaikan :

a) Surat pernyataan dari Produsen Kopi instan baik dari dalam

negeri ataupun luar negeri tentang kesesuaian penerapan :

(1) SMM berdasarkan SNI ISO 9001:2008 atau revisinya, atau

SMM lainnya yang diakui; atau

(2) SMKP SNI ISO 22000:2009 atau revisinya; atau

b) Sertifikat SMM berdasarkan SNI ISO 9001:2008 atau revisinya

yang diterbitkan oleh LSMM atau SMKP SNI ISO 22000:2009

atau revisinya yang diterbitkan oleh LSSMKP.

3) Bagi yang telah memiliki SMM, harus menerapkan Cara produksi

pangan olahan yang baik (CPPOB) sesuai dengan Peraturan Menteri

Perindustrian Nomor 75/M-IND/Per/7/2010 untuk produk dalam

negeri yang dinyatakan dalam surat pernyataan (self declaration) dan

Good Manufacturing Practies (GMP) atau yang sejenis untuk produk

impor.

4) Dilakukan audit SMM atau SMKP.

5) Dilakukan pengambilan contoh dan pengujian mutu produk sesuai

parameter SNI 2983:2014 Kopi Instan dengan laboratorium uji yang

terakreditasi KAN.

b. Sistem Sertifikasi Tipe 1 b dilakukan dengan tahapan sebagai berikut :

1) Mengajukan permohonan kepada LSPro dan memenuhi persyaratan

administasi dengan melampirkan :

Universitas Sumatera Utara


a) Fotokopi izin industri (Izin Usaha Industri)

b) Fotokopi Angka Pengenal Importir (API), Nomor Induk

Kepabeanan (NIK), dan Importir Terdafatar (IT) untuk importir;

c) Fotokopi akta pendirian perusahaan atau perubahannya, dan akta

pendirian dalam terjemahan bahasa Indonesia untuk produsen luar

negeri, oleh penerjemah tersumpah;

d) Dokumen mengenai penggunaan merek;

e) Surat pernyataan bermaterai yang menyatakan bahwa dokumen

yang dilampirkan sesuai aslinya.

2) Dilakukan pengambilan contoh dan pengujian sesuai parameter SNI

oleh laboratorium uji bagi kopi instan yang diproduksi di dalam negeri

ataupun luar negeri dengan ketentuan sebagai berikut :

a) Kopi instan produk dalam negeri, dilakukan pengujian sesuai SNI

oleh laboratorium uji yang ditugaskan oleh LSPro pada setiap lot

produksi;

b) Kopi instan produk luar negeri, pada setiap kali

pengapalan/pengiriman harus dilakukan pengambilan contoh oleh

LSPro untuk dilakukan pengujian oleh laboratorium uji yang

ditugaskan LSPro.

Proses sertifikasi :

1. Sistem Sertifikasi Tipe 5, dilakukan sebagai berikut :

Universitas Sumatera Utara


a. LSPro meneliti kelengkapan dokumen dan apabila dokumen belum

lengkap harus segera dilengkapi oleh perusahaan pemohon untuk diproses

lebih lanjut.

b. Tim Auditor melakukan audit kecukupan dan kebenaran dokumen SMM

atau SMKP dan jika tidak memenuhi persyaratan, perusahaan pemohon

harus melakukan tindakan koreksi.

c. LSPro membuat laporan hasil audit SMM atau SMKP dan mengevaluasi

hasil uji mutu produk dari Laboratorium Uji dan bila ditemukan

ketidaksesuaian, maka harus segera diinformasikan kepada perusahaan

pemohon untuk melakukan perbaikan.

d. Tim evaluasi LSPro meneliti laporan audit sertifikasi SMM atau SMKP

dan SHU serta dokumen lainnya dan menentukan keputusan sertifikasi,

yang terdiri dari :

1) Pemberian atau perpanjangan SPPT-SNI, apabila memenuhi

persyaratan sertifikasi;

2) Penundaan pemberian atau perpanjangan SPPT-SNI, apabila belum

memenuhi persyaratan sertifikasi dan perusahaan pemohon dapat

melakukan tindakan perbaikan; atau

3) Penolakan pemberian atau perpanjangan SPPT-SNI, apabila tidak

memenuhi persyaratan sertifikasi.

2. Sistem Sertifikasi Tipe 1 b, dilakukan sebagai berikut :

Universitas Sumatera Utara


a. LSPro meneliti kelengkapan dokumen dan apabila dokumen belum

lengkap harus segera dilengkapi oleh perusahaan pemohon untuk diproses

lebih lanjut.

b. LSPro mengevaluasi hasil uji mutu produk dari laboratorium uji dan bila

ditemukan tidak memenuhi persayaratan SNI, maka harus segera

diinformasikan kepada perusahaan pemohon untuk dilakukan pengambilan

contoh ulang paling banyak 1 (satu) kali.

c. Tim evaluasi LSPro mengevaluasi SHU serta dokumen lainnya dan

menentukan keputusan sertifikasi, yang terdiri dari :

1) Pemberian atau perpanjangan SPPT-SNI, apabila memenuhi

persyaratan sertifikasi;

2) Penolakan pemberian SPPT-SNI, apabila tidak memenuhi persyaratan

sertifikasi.

Total waktu yang diperlukan untuk pemrosesan dan penerbitan SPPT-SNI

Kopi instan adalah untuk sistem Sertifikasi Tipe 5 apabila semua persyaratan

terpenuhi adalah 41 hari kerja tidak termasuk waktu yang diperlukan untuk

pengujian. Untuk sistem Sertifikasi Tipe 1 b, waktu yang diperlukan adalah 5 hari

kerja tidak termasuk waktu yang diperlukan untuk pengujian. Penerbitan SPPT-

SNI Kopi Instan oleh LSPro wajib dilaporkan kepada Dirjen Pembinaan Industri

paling lambat 7 hari kerja, dan LSPro melakukan survailen satu kali dalam

setahun. 105

105
“Sanksi Tegas Atas Pelanggaran Regulasi SNI secara Wajib”,
http://www.batik.go.id/index.php/post/read/sanksi_tegas_atas_pelanggaran_regulasi_sni_
secara_wajib_yang_tertuang_dalam_undang_undang_no_20_tahun_2014_0, diakses pada
tanggal 16 November 2016.

Universitas Sumatera Utara


Penilaian kesesuaian (conformity assessment) 106 mencakup seluruh

kegiatan, kelembagaan dan proses penilaian untuk menyatakan bahwa produk,

proses atau jasa memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam suatu standar.

Dalam kaitannya dengan penerapan SNI, penilaian kesesuaian merupakan

serangkaian kegiatan untuk memastikan bahwa persyaratan yang ditetapkan dalam

SNI telah dipenuhi oleh produk, proses, atau jasa yang relevan.

Pada dasarnya penilaian kesesuaian diperlukan untuk melandasi

kepercayaan terhadap penerapan SNI ISO/IEC 17000:2004 mendefinisikan

penilaian kesesuaian sebagai pernyataan bahwa produk, proses, sistem, orang atau

lembaga telah memenuhi persyaratan tertentu, yang dapat mencakup kegiatan

pengujian, inspeksi, sertifikasi, dan juga akreditasi LPK. Sama seperti standar,

penilaian kesesuaian pada dasarnya juga merupakan kegiatan yang bersifat

sukarela sesuai dengan kebutuhan dari pihak-pihak yang bertransaksi. Dalam

praktek, penilaian kesesuaian dapat dilakukan oleh produsen (pihak pertama),

oleh pembeli (pihak kedua), maupun pihak-pihak lain (pihak ketiga) yang bukan

merupakan bagian dari produsen maupun konsumen. 107

Pelaku penilaian kesesuaian: 108

a. Pihak Pertama - Penilaian dilakukan sendiri oleh pembuat atau pemasok

(deklarasi kesesuaian-diri, self declaration);

b. Pihak Kedua - Penilaian dilakukan oleh pemakai, pembeli atau konsumen

langsung;

c. Pihak Ketiga - Penilaian dilakukan oleh pihak independen dari pembuat

106
Bambang Purwanggono, dkk., Op. Cit., hlm. 42.
107
Ibid.
108
Ibid.

Universitas Sumatera Utara


maupun pembeli. Keberadaan pihak ketiga sebagai pelaksana penilaian

kesesuaian merupakan faktor yang sangat penting bagi perkembangan

pendayagunaan SNI dalam berbagai kegiatan produksi dan transaksi

perdagangan atau pelayanan jasa, karena objektivitas penilaian mereka

lebih dapat diterima secara luas.

Universitas Sumatera Utara


BAB IV

AKIBAT HUKUM PERMBERLAKUAN STANDAR NASIONAL


INDONESIA KOPI SECARA WAJIB DITINJAU DARI UNDANG-
UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2014 TENTANG STANDARDISASI DAN
PENILAIAN KESESUAIAN

A. Standar Nasional Indonesia Kopi Sebagai Suatu Bentuk Perlindungan


Terhadap Konsumen

Kesepakatan WTO-TBT menjelaskan bahwa standar merupakan alat

penting dalam mengatasi hambatan dalam perdagangan. Meskipun terdapat

standar nasional yang mungkin berbeda dari negara ke negara, kehadiran standar

telah memberikan efek positif karena telah memberikan corak yang transparan

mengenai produk dan keinginan konsumen. Dalam Pasal 1 angka 1 Undang-

Undang No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (selanjutnya disebut

UU Perlindungan Konsumen) disebutkan bahwa Perlindungan Konsumen adalah

segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi

perlindungan kepada konsumen. 109 Hal yang dapat disimpulkan dari “segala

upaya yang menjamin adanya kepastian hukum” melahirkan suatu benteng untuk

meniadakan tindakan sewenang-wenang yang merugikan pelaku usaha hanya

demi untuk kepentingan konsumen. 110

Standar nasional dan peraturan teknik merupakan indikator potensi

teknologi suatu negara. Produk yang sesuai standar akan mempelancar

109
Republik Indonesia, Undang-Undang No 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen, Pasal 1 angka 1.
110
Ahmadi Miru, Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Gramedia
Utama, 2001), hlm. 1.

Universitas Sumatera Utara


perdagangan, karena adanya jaminan bahwa produk tersebut telah memenuhi

persyaratan yang telah disepakati bersama oleh pihak yang berkepentingan.

Fungsi standar dalam perdagangan dapat dijadikan sebagai acuan untuk

menghasilkan suatu produk dagang yang berkualitas atau dijadikan sebagai

persyaratan bagi pihak yang terlibat dalam transaksi perdagangan. Standar dapat

mengurangi biaya transaksi perdagangan dan menghindarkan atau memperkecil

ketidakpuasan konsumen. Standar dapat juga digunakan untuk memproteksi pasar

domestik, dengan menerapkan standar internasional maka akan dapat dicegah

masuknya produk-produk yang tidak standar, sehingga akan melindungi produk

nasional yang menerapkan standar dan sekaligus melindungi konsumen dari

produk tak bermutu. 111

Sesuai dengan salah satu tujuan daripada Standardisasi dan Penilaian

Kesesuaian yaitu meningkatkan perlindungan kepada konsumen, 112 maka secara

tidak langsung hal ini menandakan bahwa keduanya berkaitan erat. Perencanaan

perumusan Standar Nasional Indonesia (SNI) yang disusun dalam suatu Program

Nasional Perumusan Standar (PNPS) juga memperhatikan aspek perlindungan

konsumen. 113 Dengan demikian, apabila setiap produk yang dipasarkan di

Indonesia sudah memiliki dan memenuhi standardisasi, maka otomatis produk

tersebut telah terjamin mutu dan kualitasnya. Tentunya standardisasi tersebut

ditandai dengan adanya label SNI. Apabila suatu produk tidak berlabel SNI, maka

kita patut waspada dan meragukan kualitas dan mutu produk tersebut.

111
Robertus Maylando Siahaya. Op. Cit.,hlm. 68.
112
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2014 tentang Standardisasi dan
Penilaian Kesesuaian, Bab I, Pasal 3.
113
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2014 tentang Standardisasi dan
Penilaian Kesesuaian, Bab III, Pasal 10, angka 3.

Universitas Sumatera Utara


Agar suatu peraturan dapat berjalan dengan baik, maka diperlukan suatu

lembaga untuk dapat mengawasi serta melaksanakan peraturan-peraturan yang

ada tersebut. Di dalam hukum perlindungan konsumen, pemerintah biasanya

diwakili oleh badan, lembaga, serta instansi-instansi tertentu yang telah diberi

kewenangan untuk mengatur serta mengawasi perlindungan konsumen,

sebagaimana berikut :

1. Menteri Perdagangan, pada Pasal 1 angka 13 UU Perlindungan Konsumen,

yang dimaksud dengan Menteri adalah menteri yang lingkup tugas dan

tanggung jawabnya meliputi bidang perdagangan. 114

2. Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). BPSK merupakan badan

yang bertugas menangani dan menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha

dan konsumen. 115

3. Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN), bertugas untuk

memberikan saran dan pertimbangan kepada pemerintah dalam upaya

mengembangkan perlindungan konsumen di Indonesia. 116

4. Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), merupakan Lembaga

Pemerintah Non-Departemen yang bertugas melakukan regulasi,

standardisasi, dan sertifikasi terhadap produk obat dan bahan makanan yang

dikonsumsi oleh konsumen, post marketing vigilance termasuk sampling dan

pengujian laboratorium, pemeriksaan sarana produksi dan distribusi,

114
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen, Pasal 1 angka 13.
115
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen, Pasal 1 angka 11.
116
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen, Pasal 33.

Universitas Sumatera Utara


penyidikan dan penegakan hukum, pre-audit iklan dan promosi produk, riset

terhadap pelaksanaan kebijakan pengawasan obat dan makanan, komunikasi,

informasi, dan edukasi publik termasuk peringatan publik. 117

5. Polisi Republik Indonesia, untuk menindak pelanggaran yang dilakukan

terhadap UU Perlindungan Konsumen, maka polisi merupakan suatu badan

yang memiliki kewenangan untuk menindak lanjuti setiap pelanggaran yang

dilakukan oleh pelaku usaha yang merugikan konsumen.

Untuk mengetahui pelaku usaha yang tidak memenuhi Standar Nasional

Indonesia dalam menentukan perbuatan melawan hukumnya maka diperlukan

teori Hukum Perlindungan Konsumen, antara lain 118:

1. Pelaku Usaha dan Konsumen Adalah Dua Pihak Yang Sangat Seimbang (Let
the buyer beware/caveat emptor); Asas ini berasumsi bahwa:
Pelaku usaha dan konsumen adalah dua pihak yang sangat seimbang
sehingga tidak perlu ada proteksi apapun bagi si konsumen. Tentu saja dalam
perkembangannya, konsumen tidak mendapat akses informasi yang sama terhadap
barang atau jasa yang dikonsumsikannya. Ketidakmampuan itu bisa karena
keterbatasan pengetahuan konsumen, tetapi terlebih-lebih lagi banyak disebabkan
oleh ketidakterbukaan pelaku usaha terhadap produk yang ditawarkannya.
Menurut prinsip ini, dalam suatu hubungan jual beli keperdataan, yang wajib
berhati-hati adalah pembeli. Sekarang mulai diarahkan menuju kepada caveat
venditor (pelaku usaha yang perlu berhati-hati).

2. Teori Prinsip Kehati-hatian (The due care theory);


Doktrin ini menyatakan bahwa pelaku usaha mempunyai kewajiban untuk
berhati-hati dalam memasarkan produknya, baik barang ataupun jasa. Selama
berhati-hati, pelaku usaha tidak dapat dipersalahkan. Jika ditafsirkan secara a-
contratio, maka untuk mempersalahkan si pelaku usaha seseorang harus dapat
membuktikan, pelaku usaha itu melanggar prinsip kehati-hatian.

3. The privity of contract; Prinsip ini menyatakan bahwa:


Pelaku usaha mempunyai kewajiban untuk melindungi konsumen, tetapi
hal itu baru dapat dilakukan jika di antara mereka telah terjalin suatu hubungan

117
“Fungsi Badan POM”, http://www.pom.go.id/profile/fungsi_badan_POM.asp (diakses
pada tanggal 13 November 2016)
118
Dina W. Kariodimedjo, “Persentasi : Mata Kuliah Konsentrasi Perlindungan
Konsumen” (Yogyakarta :Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, 2005), hlm. 8.

Universitas Sumatera Utara


kontraktual. Pelaku usaha tidak dapat dipersalahkan atas hal-hal di luar yang
diperjanjikan. Fenomena kontrak-kontrak standar yang banyak beredar di
masyarakat merupakan petunjuk yang jelas betapa tidak berdayanya konsumen
menghadapi dominasi pelaku usaha.

4. Kontrak bukan syarat;


Prinsip ini tidak mungkin dipertahankan, jadi kontrak bukan lagi
merupakan syarat untuk menetapkan eksistensi suatu hubungan hukum.
Industri kopi di Indonesia khususnya pada kategori minuman dewasa ini
kian meningkatkan, di indikasikan dengan semakin bertambahya produk kopi
olahan, serta semakin suburnya cafe dan coffee shop di kota-kota besar. Produk
kopi yang ada saat ini tidak hanya berupa kopi bubuk tetapi telah terdapat
berbagai diversifikasi produk kopi olahan seperti kopi instan, kopi luak, kopi
three in one. Kopi dengan berbagai rasa seperti vanilla, cocoa, di sisi lain pada
cafe/coffee shop terdapat berbagai minuman kopi olahan seperti espresso, latte,
dan cappucino.

Peningkatan konsumsi kopi di Indonesia selain didukung dengan pola

masyarakat yang gemar dalam mengonsumsi kopi, juga ditunjang dengan harga

yang terjangkau, kepraktisan dalam penyajian (instan) serta keragaman rasa/cita

rasa yang sesuai dengan selera konsumen. Tingginya minat minum kopi

masyarakat membuat beberapa perusahaan ikut berpartisipasi dalam pasar kopi

Indonesia. Kopi instan dengan kepraktisannya di dalam penyajiannya, adalah

produk kopi yang paling banyak digemari oleh masyarakat, sehingga membuat

persaingan dalam industri kopi instan semakin ketat, hal tersebut di indikasikan

dengan bermunculannya merek-merek baru pada produk kopi instan di Indonesia.

Banyaknya bermunculan merek-merek baru tersebut dikhawatirkan

menimbulkan persaingan yang tidak sehat, dan tidak memperhatikan aspek K3L

dan perlindungan konsumen. Welfare State Theory mengatakan: “Negara wajib

memberikan perlindungan bagi warga negaranya”. 119 Dalam hal perlindungan

kepada warga negaranya sebagai konsumen dari berbagai produk adalah negara

119
Roli Harni Yance S. Garingging dkk,. Op. Cit, hlm. 79.

Universitas Sumatera Utara


memberlakukan SNI untuk setiap produk tersebut. Pemberlakuan SNI diterapkan

agar pelaku usaha yang ada di Indonesia menstandardisasikan produk-produknya

sesuai dengan SNI yang ditetapkan pemerintah.

Ketentuan dalam UU Perlindungan Konsumen yang melindungi konsumen

dari penggunaan barang yang tidak sesuai dengan standar yang ditentukan pada

Pasal 8 ayat (1) a, yang menyebutkan bahwa pelaku usaha dilarang memproduksi

dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak memenuhi atau tidak

sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-

undangan. Begitu juga produk impor yang masuk ke dalam suatu negara harus

memenuhi ketentuan tentang standar kualitas yang diinginkan dalam suatu negara.

Untuk lebih menjamin suatu produk, yang diperlukan bukan hanya sampai

pada dipenuhinya spesifikasi dan pembubuhan tanda SNI, tapi masih perlu

dilakukan pengawasan oleh Departemen Perdagangan terhadap produk yang telah

memenuhi spesifikasi SNI yang beredar di pasaran dalam negeri, maupun yang

akan diekspor. 120

Berkaitan dengan itu, maka terhadap komoditas ekspor dan impor berlaku

ketentuan: 121

1. Standar komoditas ekspor tidak boleh lebih rendah daripada SNI, yang berarti

standar komoditas ekspor mempergunakan SNI atau dengan spesifikasi

tambahan non mandatory bila diperlukan;

120
Republik Indonesia, Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 1991 tentang Penyusunan,
Penerapan, dan Pengawasan Standar Nasional Indonesia, Bab VI, Pasal 16 angka 2 dan 3.
121
Agung Putra, Pengendalian dan Pengawasan Mutu Produk, Balai Pengujian dan
Sertifikasi Mutu Barang (Jawa Timur: Kanwil Departemen Perindustrian dan Perdagangan, 1995),
hlm. 10.

Universitas Sumatera Utara


2. Standar komoditas impor minimal harus memenuhi SNI dan standar nasional

negara yang bersangkutan.

B. Dampak Penerapan Standar Nasional Indonesia Kopi Terhadap

Konsumen

Penerapan SNI wajib untuk kopi instan hanya bertujuan untuk melindungi

produsen dan konsumen di dalam negeri. Berdasarkan hasil wawancara dengan

beberapa pelaku usaha kopi instan, opsi penerapan SNI wajib lebih dibutuhkan

untuk menjadi filter yang dapat menyaring produk impor yang berkualitas rendah

dengan harga yang murah sehingga dapat mendorong produsen di pasar dalam

negeri dan melindungi konsumen. Namun, konsumen dalam negeri dianggap

masih belum cukup peduli dengan penerapan standar pada kopi instan. Umumnya

konsumen dalam negeri lebih memilih kopi dengan harga yang lebih terjangkau

tanpa memperhatikan standar yang diterapkan pada produk tersebut. Selain itu,

kendala yang dihadapi dalam penerapan SNI wajib di dalam negeri adalah

keberadaan lembaga pendukung seperti laboratorium penguji yang masih

terbatas. 122

Saat ini di Indonesia hanya ada satu laboratorium penguji yaitu Balai

Besar Industri Agro (BBIA) sehingga pelaku usaha membutuhkan waktu yang

lama untuk memperoleh sertifikasi SNI. Sementara itu, biaya sertifikasi SNI.

122
Pusat Kebijakan Perdagangan Dalam Negeri Badan Pengkajian dan Pengembangan
Kebijakan Perdagangan, Op. Cit, hlm. 44..

Universitas Sumatera Utara


Sementara itu, biaya sertifikasi SNI cukup terjangkau yaitu sebesar 18 juta

rupiah. 123

Disamping itu, pelaku usaha menganggap biaya untuk pemenuhan SNI

relatif mahal. Saat ini hanya ada satu laboratorium penguji untuk produk kopi

instan, sehingga waktu yang dibutuhkan untuk memenuhi persyaratan sertifikasi

SNI cukup lama. Biaya sertifikasi SNI diperkirakan mencapai 18 juta rupiah, dan

bagi sebagian besar pelaku usaha, jumlah ini dianggap mahal sehingga menjadi

kendala dalam penerapan SNI wajib. 124

Namun secara umum, penerapan SNI wajib pada produk kopi instan

memiliki dampak positif seperti peningkatan daya saing terutama terhadap kopi

impor yang tidak memenuhi standar. Selain itu, dengan diwajibkannya penerapan

SNI pada kopi instan, jumlah perusahaan yang berpartisipasi dalam menerapkan

standar akan mengalami peningkatan sehingga dapat menjamin aspek K3L pada

proses produksi kopi instan di dalam negeri.

Sesuai dengan Konsep Efektivitas Penerapan SNI Wajib, efektivitas pada

dasarnya mengacu pada sebuah keberhasilan atau pencapaian tujuan. Penerapan

SNI Wajib dianggap efektif jika : 125

1. Diterapkan sacara konsisten oleh industri. Ditandai dengan penerapan SMM

dan kepemilikan SPPT-SNI oleh perusahaan industri terkait.

2. Diterima oleh pasar. Memenuhi aspek-aspek penerapan standar.

123
Ibid.
124
Ibid., hlm. 46.
125
Eddy Herjanto, “Pemberlakuan SNI Secara Wajib Di Sektor Industri: Efektivitas dan
Berbagai Aspek Dalam Penerapannya”, Jurnal Riset Industri Vol. V, No.2, 2011, hlm. 123.

Universitas Sumatera Utara


3. Didukung oleh lembaga penilaian kesesuaian yang memadai. Terdapat LSPro

yang memadai untuk pelaksanaan penilaian kesesuaiannya.

Dengan memperhatikan fungsi dan mekanisme pemberlakuan SNI wajib

baik sebagai program kebijakan instansi terkait maupun bagian terintegrasi dari

SSN, maka efektivitas SNI Wajib ini juga berdampak internal (ketersediaan

standar, kesiapan produsen, kesiapan lembaga penilaian kesesuaian, regulasi

teknis, koordinasi antar-instansi terkait dan mekanisme pengawasan SNI Wajib)

maupun eksternal (komitmen stakeholder, harga produk, arus barang impor,

perdagangan internasional, kesepakatan internasional, dan lain-lain).

Dampak pemberlakuan SPPT-SNI secara umum antara lain:

1. Tuntutan Kontraktual 126

Dalam hal pelaku usaha mengadakan kontrak dagang di mana dalam

kontrak tersebut telah disyaratkan adanya sertifikasi, maka pelaku usaha wajib

melaksanakan sertifikasi karena telah disepakati dalam kontrak. Dan hal ini

mempunyai akibat hukum yang dapat dipaksakan. Artinya, jika pelaku usaha tidak

memenuhi tuntutan pelanggannya sesuai dengan isi kontrak, maka hal itu akan

menimbulkan gugatan produk. Jika hal ini terjadi maka akan berakibat fatal bagi

masa depan perusahaan yang bersangkutan karena nama baiknya sudah tercemar,

bahkan tidak jarang dimasukkan dalam daftar pengusaha nakal, sehingga akan

sangat mempengaruhi kepuasan konsumen untuk membeli produknya. Maka dari

itu, sangat diperlukan pemberlakuan Sertifikat Produk Penggunaan Tanda Standar

Nasional Indonesia.

126
Endang Sri Wahyuni,, Op. Cit., hlm. 74.

Universitas Sumatera Utara


2. Peluang Di Pasar 127

Sertifikasi berkaitan dengan peluang besar di mana produk tersebut akan

diekspor, misalnya pasar negara-negara maju, seperti Uni Eropa, Amerika Serikat,

dan Jepang. Jelas negara-negara tersebut akan menuntut sertifikasi. Hal itu akan

memacu pelaku usaha yang sudah memiliki pasar di negara-negara tersebut untuk

segera melakukan sertifikasi untuk mempertahankan pemasaran produknya di

negara-negara maju tersebut, atau bagi pelaku usaha yang ingin mengakses pasar

negara-negara tersebut harus memiliki sertifikat agar dapat masuk dan bersaing di

pasar negara-negara maju. Hal ini juga mendorong pelaku usaha di Indonesia agar

membuat Sertifikat Produk Penggunaan Tanda Standar Nasional Indonesia.

3. Era Perdagangan Bebas 128

Mulai berlakunya perdagangan bebas di tiap kawasan memang berbeda-

beda sesuai dengan kesepakatan negara-negara dalam kawasan tersebut. Misalnya,

AFTA mulai berlaku pada tahun 2003. APEC mulai berlaku pada tahun 2010,

MEA di tahun 2015 dan WTO mulai berlaku pada tahun 2020. Dalam situasi

perdagangan bebas semua hambatan dalam perdagangan akan dihapuskan.

Perdagangan bersifat borderless, batas-batas negara hampir tidak ada lagi, dan

hanya 1 (satu) pasar, yaitu pasar global, di mana semua negara bebas mengakses

peluang pasar, tentunya dengan kompetisi yang sangat ketat.

Pada saat itu produk yang akan mampu bersaing hanyalah produk-produk

yang memenuhi persyaratan standar dan yang bersertifikat. Sedangkan bagi

produk-produk yang tidak memenuhi syarat standar dan tidak bersertifikat akan

127
Ibid, hlm. 75.
128
Ibid, hlm. 76.

Universitas Sumatera Utara


tersingkir dengan sendirinya. Menyadari konsekuensi tersebut, maka pelaku usaha

khususnya di Indonesia tidak dapat diam dan menunggu mengingat era

perdagangan bebas telah dimulai. Penerapan standar dan sertifikasi harus segera

dimulai, karena hal itu akan memerlukan proses yang tidak mudah. Oleh karena

itu, sangat diperlukan pemberlakuan SPPT-SNI.

Sistem Manajemen Mutu (SMM) adalah suatu sistem yang diperlukan

dalam membangun manajemen mutu dalam perusahaan sehingga mampu

beroperasi dan berproduksi sesuai dengan mutu yang dipersyaratkan. Banyak

perusahaan di Indonesia sudah menerapkan SMM yang merujuk kepada BSN-10

dan ISO 9001. Pemberlakuan SNI Wajib mempunyai arti bahwa semua produk

terkait yang beredar di Indonesia harus dibuktikan telah memenuhi persyaratan

SNI. Mekanisme ini dibuktikan dengan tanda SNI dan kepemilikan sertifikat

SPPT-SNI. Ketika pelaku usaha belum memiliki SMM yang sesuai dengan yang

dipersyaratkan dan menjadikannya belum bisa memperpanjang SPPT-SNI, terlihat

ketidakseriusan perusahaan dalam menjaga validitas sertfikatnya. Disini juga

terlihat belum optimalnya LSPro sebagai pihak yang mengeluarkan sertifikat,

dalam melakukan survailen/pengawasan. 129

Terdapat banyak alasan, yang intinya masih diragukannya cost

effectiveness dalam menerapkan SNI, oleh karenanya perlu dipikirkan bentuk

sosialisasi dari regulasi dan juga kejelasan dari sanksi hukum bagi yang

mengabaikan peraturan. Penegakan hukum sangat diperlukan agar tujuan utama

dari regulasi tetap efektif.

129
Eddy Herjanto, “Pemberlakuan SNI Secara Wajib Di Sektor Industri: Efektivitas dan
Berbagai Aspek Dalam Penerapannya”, Jurnal Riset Industri Vol. V, No.2, 2011, hlm. 125.

Universitas Sumatera Utara


Penerapan SNI oleh pelaku usaha menghadapi beberapa kendala, antara
lain : 130
1. Keterbatasan sumber daya manusia dalam menerapkan SMM;
2. Kesulitan untuk mengkalibrasikan peralatan laboratorium maupun produksi;
3. Adanya pesaing pasar yang memasarkan produknya di bawah standar dengan
harga yang rendah;
4. Biaya pengujian/sertifikasi yang mahal;
5. Kepedulian konsumen terhadap standar yang kurang terhadap produk ber-
SNI;
6. Proses sertifikasi yang tidak mudah, lokasi laboratorium/inspeksi/lembaga
sertifikasi jauh dari perusahaan;
7. dan kurangnya sosialisasi SMM di Industri.

Tanda SNI belum berperan sebagai selling point, tetapi lebih dominan

karena adanya keharusan. Hal ini umumnya terjadi pada perusahaan-perusahaan

besar yang telah memiliki merek terkenal atau memiliki berbagai tanda sertifikasi.

Perusahaan sudah mengetahui tentang manfaat SNI wajib terhadap produk-produk

yang dihasilkan dalam rangka perlindungan konsumen dan produsen sehingga

produk yang dihasilkan mempunyai daya saing yang tinggi.

C. Tindakan Hukum Atas Pelanggaran Standar Nasional Indonesia Kopi

Oleh Produsen Kopi Menurut UU No. 20 Tahun 2014 Tentang

Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian

Salah satu tujuan UU Perlindungan Konsumen adalah untuk mengangkat

harkat kehidupan konsumen, maka untuk maksud tersebut berbagai hal yang

membawa dampak negatif dari pemakaian barang dan/atau jasa harus dihindarkan

dari aktivitas perdagangan pelaku usaha. Sebagai upaya untuk menghindarkan

akibat negatif pemakaian barang dan/atau jasa tersebut, maka UU Perlindungan

Konsumen mengatur berbagai larangan bagi para pelaku usaha.

130
Ibid, hlm. 126.

Universitas Sumatera Utara


Di dalam UU Perlindungan Konsumen, pengaturan mengenai larangan

bagi pelaku usaha dirumuskan pada Pasal 8 hingga Pasal 17. Dalam Pasal 8 ayat

(1) UU Perlindungan Konsumen, diatur bahwa pelaku usaha dilarang

memperdagangkan barang dan/atau jasa yang : 131

1. Tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan
ketentuan peraturan perundang-undangan;
2. Tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam
hitungan sebagaimana dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut;
3. Tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan, dan jumlah dalam hitungan
menurut ukuran yang sebenarnya;
4. Tidak sesuai dengan kondisi, jaminan keistimewaan atau kemajuan
sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau
jasa tersebut;
5. Tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya,
mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau
keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
6. Tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan,
iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut;
7. Tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu
penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu;
8. Tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan
“halal” yang dicantumkan pada label;
9. Tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama
barang, ukutan, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturaan pakai, tanggal
pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta
keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus
dipasang/dibuat;
10. Tidak mencantumkan informasi atau petunjuk penggunaan barang dalam
bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perturan perundang-undangan yang
berlaku.

Dengan UU Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian yang disahkan pada

September 2014 lalu, Pemerintah Indonesia tidak hanya akan memberikan sanksi

administratif tapi akan menerapkan sanksi tegas bagi setiap penyalahgunaan

aturan SNI wajib dengan ancaman pidana penjara atau denda. Dalam UU

131
Republik Indonesia, Undang-Undang No 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen, Pasal 8 ayat (1).

Universitas Sumatera Utara


Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian BAB X tentang Ketentuan Pidana Pasal

62 hingga 73 tertuang tentang adanya sanksi pidana bagi pihak yang melakukan

pelanggaran. Sanksi tersebut adalah : 132

Pasal 62: Setiap orang yang memalsukan SNI atau membuat SNI palsu
diberikan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun atau pidana denda paling
banyak Rp. 50.000.000.000,- (lima puluh miliar rupiah).
Pasal 63: Setiap orang yang dengan sengaja memperbanyak, memperjual
belikan, atau menyebarkan SNI tanpa persetujuan BSN diberikan pidana paling
lama 4 (empat) bulan atau pidana denda paling banyak Rp. 4.000.000.000,-
(empat miliar rupiah).
Pasal 64: Setiap orang yang dengan sengaja membubuhkan tanda SNI dan
/atau Tanda Kesesuaian pada Barang dan/ atau kemasan atau label di luar
ketentuan yang ditetapkan dalam sertifikat; membubuhkan nomor SNI yang
berbeda dengan nomor SNI pada sertifikatnya akan dikenakan pidana penjara
paling lama 4 (empat) bulan atau pidana denda paling banyak Rp. 4.000.000.000,-
(empat miliar rupiah).
Psl.65-66: Setiap orang yang tidak memiliki sertifikat atau memiliki
sertifikat tetapi habis masa berlakunya, dibekukan sementara, atau dicabut yang
dengan sengaja memperdagangkan atau mengedarkan Barang, memberikan Jasa,
dan/atau menjalankan proses atau sistem dikenakan pidana penjara paling lama 5
(lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 35.000.000.000,- (tiga puluh
lima miliar rupiah).
Pasal 67: Setiap orang yang mengimpor barang yang dengan sengaja
memperdagangkan atau mengedar Barang yang tidak sesuai dengan SNI atau
penomoran SNI dipidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda
paling banyak Rp. 35.000.000.000,- (tiga puluh lima miliar rupiah).
Pasal 68: Setiap orang yang tanpa hak menggunakan dan/atau
membubuhkan Tanda SNI dan/atau Tanda Kesesuaian dipidana penjara paling
lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 35.000.000.000,- (tiga
puluh lima miliar rupiah).
Pasal 69: Setiap orang yang memalsukan tanda SNI dan/atau Tanda
Kesesuaian atau membuat Tanda SNI dan/atau Tanda Kesesuaian palsu dipidana
penjara paling lama 7 (tujuh) tahun atau pidana denda paling banyak Rp.
50.000.000.000,- (lima puluh miliar rupiah).
Pasal 70: Setiap orang yang dengan sengaja: menerbitkan sertifikat
berlogo KAN; menerbitkan sertifikat kepada pemohon sertifikat yang tidak
sesuai dengan SNI; menerbitkan sertifikat di luar ruang lingkup Akreditasi
dipidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp.
35.000.000.000,- (tiga puluh lima miliar rupiah).

132
Republik Indonesia, Undang-Undang No 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen, Pasal 62-73.

Universitas Sumatera Utara


Pasal 71: Setiap orang yang memalsukan sertifikat Akreditasi atau
membuat sertifikat Akreditasi palsu dipidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun
atau pidana denda paling banyak Rp. 50.000.000.000,- (lima puluh miliar rupiah).
Pasal 72: Pelaku tindak pidana dapat dijatuhi pidana tambahan berupa :
kewajiban melakukan penarikan Barang yang telah beredar; kewajiban
mengumumkan bahwa Barang yang beredar tidak sesuai dengan ketentuan
Undang-Undang ini; dan/atau perampasan atau penyitaan Barang dan dapat
dimusnahkan.
Pasal 73: Pidana denda yang dijatuhkan terhadap korporasi, diberlakukan
dengan ketentuan pemberatan 3 (tiga) kali dari pidana denda secara pribadi dan
diberikan pidana tambahan berupa: pencabutan izin usaha; dan/atau pencabutan
status badan hukum.

Sanksi yang tegas sebagaimana disebutkan diatas membuktikan keseriusan

pemerintah untuk menegakkan perlindungan pada kepentingan nasional dan

sebagai usaha untuk meningkatkan daya saing nasional. Meski disisi lain kesiapan

dari masyarakat industri di Indonesia untuk menjalankan regulasi yang telah

dirumuskan tidak bisa diabaikan. Untuk itu sinergi dalam berbagai bidang antara

pemerintah dan juga masyarakat Indonesia mulai dari sosialisasi regulasi, peran

serta masyarakat dalam melaksanakan SNI, perumusan SNI, membangun budaya

standar, serta melaporkan pelanggaran menjadi hal yang utama untuk bisa

diwujudkan. 133

Selama ini, para pelanggar regulasi SNI secara wajib hanya dikenakan

sanksi administratif berupa peringatan tertulis, denda administratif, penutupan

usaha sementara, pembekuan izin usaha industri, dan/atau pencabutan izin usaha

industri. Dengan Undang-Undang Perindustrian yang baru saja disahkan pada

Desember 2013, Pemerintah Indonesia akan menerapkan sanksi lebih tegas bagi

setiap penyalahgunaan aturan SNI wajib dengan ancaman dipidana penjara.

133
“Sanksi Tegas Atas Pelanggaran SNI secara Wajib”,
http://www.batik.go.id/index.php/post/read/sanksi_tegas_atas_pelanggaran_regulasi_sni_secara_w
ajib_yang_tertuang_dalam_undang_undang_no_20_tahun_2014_0, diakses pada tanggal 16
November 2016.

Universitas Sumatera Utara


Dalam UU Perindustrian yang baru Pasal 120 tertuang tentang adanya sanksi

pidana bagi pihak yang melakukan pelanggaran.

Menurut UU ini, para pelanggar yang diancam pidana tak hanya mereka

yang dengan sengaja melakukan tindak kejahatan tersebut, tetapi juga bagi mereka

yang terbukti bersikap lalai atau tidak sengaja :

1) Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi, mengedarkan barang,

jasa industri yang tidak memenuhi SNI, spesifikasi teknis, pedoman tata

cara yang diberlakukan secara wajib di bidang industri sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) huruf b, dipidana paling lama lima

tahun dan denda paling banyak Rp. 3.000.000.000,- (tiga miliar rupiah).

2) Setiap orang yang karena kelalaiannnya memproduksi, mengimpor,

mengedarkan barang, jasa industri yang tidak memenuhi SNI, spesifikasi

teknik, pedoman tata cara yang diberlakukan secara wajib di bidang

industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) huruf b, dipidana

penjara paling lama tiga tahun dan denda paling banyak Rp.

1.000.000.000,- (satu miliar rupiah).

Selanjutnya, Pasal 53 ayat 1 huruf b yang dimaksud adalah setiap orang

dilarang memproduksi, mengimpor, dan/atau mengedarkan barang dan/atau jasa

industri yang tidak memenuhi SNI, spesifikasi teknis, dan/atau pedoman tata cara

yang diberlakukan secara wajib. Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 120 dilakukan oleh korporasi, tuntutan dan penjatuhan pidana

dikenakan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya.

Universitas Sumatera Utara


Pengawasan Terhadap Produk Ber-SNI, menurut Permendag Nomor

20/M-DAG/ PER/5/2009 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pengawasan Barang

dan/atau Jasa adalah serangkaian kegiatan yang diawali pengamatan kasat mata,

pengujian, penelitian dan survei terhadap barang atau jasa, pencantuman label,

klausula baku, cara menjual, pengiklanan, serta pelayanan purna jual barang dan

jasa beredar di pasar adalah barang atau jasa yang ditawarkan, dipromosikan,

diiklankan, diperdagangkan, dipergunakan, atau dimanfaatkan konsumen di

wilayah Indonesia baik produksi dalam negeri maupun luar negeri. 134

Tanggung jawab hukum yang dikenakan bagi pelaku usaha yang berkaitan

dengan pengenaan beberapa sanksi, yang meliputi sanksi perdata, pidana,

administrasi, ataupun sosial. Secara teoritis, sanksi pidana merupakan ultimum

remidium. Namun, bagi pelaku usaha yang membandel, bahkan melakukan

perlawanan, sebaiknya sanksi pidana lebih diprioritaskan. Kewajiban pelaku

usaha antara lain adalah memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur

mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan

penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan, memberi kompensasi, ganti rugi

dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan

pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan. Namun, ganti rugi

tersebut tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan

pembuktian lebih lanjut.

Sanksi pidana dalam UU Perlindungan Konsumen adalah penjara paling

lama lima tahun atau denda paling banyak dua miliar rupiah. Dapat pula
134
“Dampak dan Manfaat Produk SNI Bagi Pasar”,
http://www.komunitasplazakenarimas.com/news/dampak-dan-manfaat-produk-standar-nasional-
indonesia-sni-bagi-pasar.html, diakses pada tanggal 20 November 2016.

Universitas Sumatera Utara


dijatuhkan hukuman tambahan, berupa perampasan barang tertentu, pengumuman

keputusan hakim, pembayaran ganti rugi, perintah penghentian kegiatan yang

menyebabkan timbulnya kerugian konsumen, kewajiban penarikan barang dari

peredaran, atau pencabutan izin usaha. Selain itu, ketentuan pasal 202, 203, 204,

205, 263, 364, 266, 382 bis, 383, 388 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

(KUHP) mengatur pemidanaan terhadap perbuatan-perbuatan pelaku usaha

terhadap konsumen.

Pada dasarnya pengawasan barang beredar bukan untuk mematikan usaha

pelaku usaha. Sebaliknya, pengawasan dapat mendorong iklim berusaha yang

sehat dan melahirkan perusahaan yang tangguh dalam menghadapi persaingan

melalui penyediaan barang dan/atau jasa berkualitas. Upaya pengawasan penting

dioptimalkan karena tidak mudah mengharapkan kesadaran pelaku usaha.

Pengawasan terhadap standar barang yang beredar di pasar maupun terhadap

barang yang belum dipasarkan (pra-pasar) diatur dalam Permendag Nomor 14

Tahun 2007 Tentang Standardisasi Jasa Bidang Perdagangan dan Pengawasan

SNI Wajib Terhadap Barang dan jasa yang Diperdagangkan. Dalam Pasal 7

disebutkan bahwa pengawasan SNI wajib terhadap barang produksi dalam negeri

atau impor yang diperdagangkan di dalam negeri, dilakukan melalui pengawasan

pra pasar dan pengawasan di pasar.

Pengawasan pra pasar dilakukan terhadap barang yang telah diberlakukan

SNI wajib dan telah dinotifikasi kepada Organisasi Perdagangan Dunia.

Pengawasan pra pasar dilakukan sebelum barang beredar di pasar. Pengawasan di

pasar dilakukan pada saat barang beredar di pasar. Pengawasan pra pasar terhadap

Universitas Sumatera Utara


barang produksi dalam negeri yang diperdagangkan dilakukan melalui NRP.

Pengawasan pra pasar terhadap barang impor dilakukan melalui SPB yang di

dalamnya terdapat NPB, NRP dan SPB diterbitkan oleh Direktur Jenderal

Perdagangan Luar Negeri c.q. Direktur Pengawasan dan Pengendalian Mutu

Barang. Pengawasan pra pasar dikecualikan terhadap pangan olahan, obat,

kosmetik, dan alat kesehatan.

Pengawasan mutu barang produksi dalam negeri yang akan

diperdagangkan yang telah diberlakukan SNI wajib, dilakukan oleh Direktorat

Jenderal Perdagangan Luar Negeri c.q. Direktorat Pengawasan dan Pengendalian

Mutu Barang melalui NRP. Pengawasan mutu barang impor yang telah

diberlakukan SNI wajib dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Perdagangan Luar

Negeri c.q. Direktorat Pengawasan dan Pengendalian Mutu Barang melalui SPB

sebagai dokumen impor yang di dalamnya terdapat NPB. Pelaksanaan

pengawasan terhadap barang beredar di pasar yang telah diberlakukan SNI wajib

dilakukan oleh Petugas Pengawas Barang dan Jasa (PPBJ) dan/atau Penyidik

Pegawai Negeri Sipil Perlindungan Konsumen (PPNS-PK).

Pengawasan dilakukan terhadap kewajiban pelaku usaha antara lain dalam

pemenuhan kesesuaian standar terhadap barang dan/atau jasa. Ketentuan dan tata

cara pengawasan dilakukan berdasarkan peraturan Menteri yang mengatur tentang

ketentuan dan tata cara pengawasan barang dan jasa yang beredar di pasar.

Pelaksanaan pengawasan terhadap barang beredar di pasar yang telah

diberlakukan SNI wajib dilakukan oleh Petugas Pengawas Barang dan Jasa

(PPBJ) dan/atau Penyidik Pegawai Negeri Sipil Perlindungan Konsumen (PPNS-

Universitas Sumatera Utara


PK). Pengawasan dilakukan terhadap kewajiban pelaku usaha antara lain dalam

pemenuhan kesesuaian standar terhadap barang dan/atau jasa. Ketentuan dan tata

cara pengawasan dilakukan berdasarkan peraturan Menteri yang mengatur tentang

ketentuan dan tata cara pengawasan barang dan jasa yang beredar di pasar.

Pejabat yang berwenang untuk memerintahkan penarikan barang dari

peredaran adalah Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri atas nama Menteri

Perdagangan. Penarikan barang dari peredaran oleh Pelaku Usaha dilakukan

dengan batasan waktu penarikan yang disesuaikan dengan kondisi dan geografis

masing-masing daerah. Sejak tanggal penerbitan surat perintah penarikan barang

dari peredaran, Pelaku Usaha dilarang untuk memperdagangkan barang. Kepala

Dinas yang mempunyai tugas dan tanggungjawab di bidang perdagangan

Propinsi/Kabupaten/Kota berkoordinasi dengan instansi teknis terkait melakukan

pemantauan terhadap pelaksanaan penarikan barang dari peredaran.

Pelaku Usaha yang tidak melaksanakan penarikan barang dari peredaran

dikenakan sanksi administratif berupa pencabutan izin usaha dan/atau tanda

pendaftaran yang diterbitkan oleh Pejabat yang berwenang di bidang

perdagangan. Pelaku usaha yang tidak melaksanakan re-ekspor atau pemusnahan

barang dikenakan sanksi administratif berupa pencabutan izin usaha dan/atau

tanda pendaftaran yang diterbitkan oleh Pejabat yang berwenang di bidang

perdagangan. Pencabutan izin usaha dilakukan oleh pejabat yang berwenang

menerbitkan izin. Pelaku usaha yang memproduksi atau memperdagangkan

Universitas Sumatera Utara


barang yang tidak memenuhi kesesuaian standar dapat dikenakan sanksi pidana

sesuai dengan Undang-Undang yang berlaku. 135

135
Ibid.

Universitas Sumatera Utara


BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis yang telah diuraikan dalam bab-bab

sebelumnya, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :

1. Pengaturan SNI di Indonesia pada dasarnya mengadopsi ketentuan WTO-

TBT, dimana pada dasarnya penerapan SNI oleh pelaku usaha, namun apabila

sudah berhubungan dengan K3L maka pemerintah berwenang untuk

menetapkan SNI Wajib untuk berbagai produk dan/atau jasa yang terkait hal

tersebut. Peraturan perundang-undangan mengenai SNI sudah banyak

mengalami perubahan, dan yang terakhir peraturan yang dipakai untuk SNI

tersebut adalah UU Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian. Seiring dengan

dikeluarkannya berbagai kebijakan efektifitas penerapan SNI sudah cukup

memadai, tetapi tetap terdapat kelemahan diberbagai aspek yang membuat

masih banyak produsen yang belum memiliki SPPT-SNI.

2. Prosedur pemberian SPPT-SNI untuk SNI Kopi secara wajib dilakukan oleh

LSPro yang dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang

berlaku dalam hal ini adalah Peraturan Direktur Jenderal Industri Agro

Nomor 22/IA/PER/3/2016 tentang Petunjuk Teknis Pemberlakuan Standar

Nasional Indonesia Kopi Instan Secara Wajib, dengan alur Pendaftaran,

Persiapan Pelaksanaan Audit, Pelaksanaan Audit dan Pengambilan Contoh,

Universitas Sumatera Utara


Pengujian, Penutupan Ketidaksesuaian, Rapat Teknis dan Penerbitan SPPT

(LSPro), dan Penandatanganan Penggunaan Tanda SNI.

3. Akibat hukum pemberlakuan SNI Kopi Instan secara wajib maka pelaku

usaha diharapkan mengikuti semua aturan mengenai SNI Kopi yang sudah

ditetapkan. Terutama setelah diberlakukannya SNI Wajib untuk Kopi harus

mulai membenahi SMM dan persyaratan lain untuk mendapatkan SPPT-SNI

untuk produknya. Sehingga tujuan dan manfaat dari diterapkannya regulasi

ini dapat terwujud. Apabila terjadi pelanggaran UU Standardisasi dan

Penilaian Kesesuaian sudah memuat secara rinci mengenai sanksi yang akan

diterapkan.

B. Saran

Saran yang dapat diberikan terkait permasalahan dalam skripsi ini, yakni:

1. Diharapkan keseriusan dari pemerintah dan para pihak yang terkait dengan

standardisasi dan penilaian kesesuaian untuk mengadakan sosialisasi secara

rutin dan merata ke seluruh Indonesia, agar para pelaku usaha dan konsumen

mengetahui mengenai hak dan kewajibannya untuk penerapan SNI.

2. Prosedur atau proses sertifikasi produk untuk mendapatkan SPPT-SNI dirasa

masih perlu diperbaiki, sebaiknya kendala-kendala yang dihadapi pelaku

usaha menjadi perhatian pemerintah untuk berbenah, terutama perihal

laboratorium uji yang belum tersebar merata, dan belum memiliki fasilitas

lengkap. Biaya dalam mengurus SPPT-SNI dirasa sebagaian pelaku usaha

terutama kecil dan menengah lumayan mahal, diharapkan biaya tersebut

Universitas Sumatera Utara


dapat lebih diminimalisir untuk meningkatkan semangat pelaku usaha untuk

memiliki SPPT-SNI.

3. Tanggung jawab Lembaga Sertifikasi Produk Penggunaan Tanda Standar

Nasional Indonesia sejauh ini sudah baik, akan tetapi perlu pengawasan dan

pengendalian secara rutin dari Pemerintah dan instansi terkait terhadap

perusahaan-perusahaan yang sudah mendapatkan sertifikat SNI, terutama

untuk produsen Kopi Instan, diharapkan kendala yang mereka hadapi untuk

memiliki SPPT-SNI dapat diatasi dengan bantuan pemerintah agar setiap

produk kopi instan berlabel SNI benar-benar terjamin mutu dan kualitasnya,

sehingga memiliki daya saing dan jual di pasar domestik dan internasional,

serta untuk meminimalisir adanya penyalahgunaan produk berlabel SNI.

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai