Anda di halaman 1dari 5

RESUME 1

Nursing Intervention Pada Sistem Perkemihan (Bladder Training dalam


Penanganan Inkontinensia Urine pada Pasien Post Kateterisasi)

Aulia Ayu Nugraheni


20120320035

Program Studi Ilmu Keperawatan


Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
2014
Bladder Training dalam Penanganan Inkontinensia Urine pada Pasien

Post Kateterisasi

Pada pasien yang terpasang kateter dalam jangka waktu yang lama, pasien dapat
mengalami penurunan sensasi ingin berkemih atau miksi. Jika hal ini terjadi, maka pasien dapat
mengalami kesulitan mengontrol rasa berkemih sehingga mengompol atau mengalami
inkontenensia urin (Istanti, 2014).

Inkontinensia urin didefinisikan sebagai keluarnya urin yang tidak terkendali pada waktu
yang tidak dikehendaki tanpa memperhatikan frekuensi dan jumlahnya,yang mengakibatkan
masalah social dan hygiene penderitanya (Pramantara dkk, 2009). Prabowo dan Pranata (2014),
menambahkan inkontinensia adalah ketidakmampuan seseorang untuk menahan urin yang keluar
dari buli-buli, baik disadari maupun tidak disadari.

Faktor penyebab terjadinya inkontinensia urin adalah gangguan urologic, neurologis,


fungsional/psikologis, dan iatrogenic/lingkungan. Rata-rata kejadian inkontinensia urin lebih
jarang terjadi pada pasien dengan pemasangan kateter menetap yang dilakukan bladder training
setiap hari. Hasil yang optimal dalam pelaksanaan bladder training dapat tercapai dengan
memperhatikan keadaan kandung kemih, ditujukan untuk memelihara reflek otot-otot (Widiastuti,
2012).

Inkontinensia urin yang dialami oleh pasien dapat menimbulkan dampak yang merugikan
pada pasien, seperti gangguan kenyamanan karena pakaian basah terus, risiko terjadi dekubitus
(luka pada daerah yang tertekan), dan dapat menimbulkan rasa rendah diri pada pasien.
Inkontinensia urin yang tidak segera ditangani juga akan mempersulit rehabilitasi pengontrolan
keluarnya urin. Penanganan inkontinensia urin sebagian besar tergantung pada penyebabnya.
Salah satu usaha untuk mengatasi inkontinensia urin pada pasien post kateterisasi berupa program
latihan kandung kemih atau bladder training (Collein, 2012 ).
Bladder training merupakan salah satu terapi yang efektif di antara terapi non farmakologi
lainnya. Terapi ini bertujuan untuk memperpanjang interval berkemih yang normal dengan teknik
distraksi atau teknik relaksasi ( Pramantara dkk, 2009 ). Widiastuti (2012), menambahkan bladder
training merupakan salah satu upaya untuk mengembalikan kandung kemih yang mengalami
gangguan ke keadaan normal atau ke fungsi optimal. Prosedur ini juga bertujuan untuk
mengembalikan kontrol terhadap keinginan berkemih. Dengan demikian tujuan utama pengelolaan
untuk menjaga atau meningkatkan fungsi kandung kemih.

Bladder training dilakukan latihan untuk mengosongkan bladder dalam jangka waktu
tertentu. Pada awal latihan dicoba untuk menahan selama satu jam. Kemudian periode penundaan
ditingkatkan secara bertahap (Collein, 2012).
Prosedur melakukan bladder training :

1. Pada hari pertama, klem selang kateter 1-2 jam (disarankan bisa mencapai waktu 2 jam
kecuali pasien merasa kesakitan)
2. Kosongkan urin bag
3. Cek dan evaluasi kondisi pasien, jika pasien merasa kesakitan atau tidak toleran terhadap
waktu 2 jam yang ditentukan, maka kurangi waktunya dan tingkatkan secara bertahap
4. Lepaskan klem setelah 2 jam dan biarkan urine mengalir dari kandung kemih menuju urine
bag hingga kandung kemih kosong
5. Biarkan klem tidak terpasang sekitar 15 menit, setelah itu klem lagi 1-2 jam.
6. Lanjutkan prosedur ini hinggal 24 jam pertama
7. Pada hari kedua, tingkatkan lama klem menjadi 2-3 jam, lepaskan klem 15 menit dan klem
ulang. Lakukan prosedur ini higga 24 jam
8. Pada hari ketika, tingkatkan lagi lama klem menjadi 3-4 jam, lepaskan klem 15 menit dan
klem ulang. Lakukan prosedur ini higga 24 jam
9. Pada hari ke 4, lepas kateter dan amati seksama respon pasien setelah kateter dilepas
10. Anjurkan pasien untuk ke toilet setiap 2 jam
(Istanti, 2014).

Kateter tidak boleh dihentikan tanpa dilakukan bladder training. Secara umum, bladder
training dilakukan sejak sebelum kateter dilepas hingga setelah kateter dilepas. Pada pasien yang
terpasang kateter menetap, bladder training dapat dilakukan setiap hari. Bladder training yang
dilakukan rutin setiap hari, hasilnya sangat membantu dalam mempertahankan kondisi normal
maupun mengembalikan ke keadaan semula pada pasien gangguan pola berkemih akibat
kateterisasi (Widiastuti, 2012).

Pada pasien yang dikateterisasi meskipun telah dilakukan bladder training sebelum
dibuka, belum mendapatkan pola berkemih yang optimal karena kemunduran akibat pengaruh
kateterisasi belum dapat dikembalikan. Kurangnya latihan pada otot-otot destrusor di kandung
kemih menyebabkan kemampuan kandung kemih untuk mengembang berkurang sehingga
kapasitas dalam kandung kemihpun menjadi menurun.
Kapasitas yang menurun menyebabkan kandung kemih cepat penuh, melalui reflek medula
spinalis sinyal sensorik dari reseptor kandung kemih diteruskan ke segmen sakral medula spinalis
melalui nervus pelvikus kemudian secara reflek kembali lagi ke kandung kemih melalui syaraf
parasimpatis menimbulkan keinginan untuk berkemih. Sehingga pasien yang kurang latihan akan
berkemih lebih cepat tetapi tidak di sadari oleh pasien karena terjadi penurunan reflek pada otot-
otot kandung kemih dan uretra.
Saat pemasangan kateter juga jangan biarkan kandung kemih menjadi kering (selalu
kosong) yang menyebabkan gangguan dalam pola berkemih akibat kelemahan otot kandung kemih
(National Rehabilitation Hospital). Widiastuti (2012).menambahkan hal tersebut dikarenakan
selama pemasangan kateter otot-otot penyusun kandung kemih tidak berfungsi. Kateter yang
dipasang intermiten akan menyebabkan kandung kemih tidak terisi penuh sehingga tonus otot
berkurang. Bladder training adalah suatu tindakan untuk melatih tonus otot kandung kemih agar
berfungsi normal, tidak terjadi atrofi dan penurunan tonus otos akibat pemasangan kateter.
Kesimpulan dari penelitian penelitian tentang perlakuan bladder training yang dilakukan
setiap hari, hasilnya sangat membantu dalam mempertahankan kondisi normal maupun
mengembalikan ke keadaan semula pada pasien gangguan pola berkemih akibat kateterisasi
(Widiastuti, 2012).
Daftar Pustaka

Collein I. 2012. Pengalaman Lansia dalam Penanganan Inkontinensia Urine di Wilayah Kerja
Puskesmas Kamonji. Jurnal Keperawatan Soedirman (The Soedirman Journal of Nursing),
Volume 7, No.3.
Istanti YP. 2014. Sistem Perkemihan (N351). ISBN 978-602-9420-71-5. Tim PSIK FKIK UMY:
Yogyakarta.
Roe B., Ostaszkiewicz J., Milne J dan Wallace S. 2006. Systematic Reviews of Bladder Training
and Voiding Programmes in Adults:
a Synopsis of Findings From Data Analysis and Outcomes Using Metastudy Techniques.
Journal of Advanced Nursing 57(1), 15–31. doi: 10.1111/j.1365-2648.2006.04097.x.
Sudoyo AW., Setyohadi B., Alwi I., Setiati S., Simadribrata MK. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Edisi kelima Jilid I. ISBN 978-979-9455-95-6 (Jilid Lengkap). Interna Publishing:
Jakarta.
Widiastuti, A. 2012. Perbedaan Kejadian Inkontinensia Urin Pada Pasien Post Kateterisasi yang
Dilakukan Bladder Training Setiap Hari Dengan Bladder Training Sebelum Kateter
Dibuka Di BPK RSU Tidar Magelang. Jurnal Kebidanan, Vol No IV.

Anda mungkin juga menyukai