Anda di halaman 1dari 18

KONSEP AREA KEPERAWATAN KOMUNITAS PADA

HOMELESS

MATA KULIAH KEPERAWATAN KOMUNITAS


Dosen Pembimbing: Ns. Artika Nurrahima, S.Kep, M.Kep.

Oleh: Kelompok 5
Susilo Hartono 22020119183157
Lely Sri Hastuti 22020119183161
Desi Wahyuningsih 22020119183162
Dini Ariyati 22020119183173
Kabariyah 22020119183178
Sopian Hadi 22020119183196

DEPARTEMEN ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO
TAHUN 2020
BAB I

ISI

1.1. Definisi Homeless

Homeless atau tunawisma memiliki banyak definisi, tergantung pada


tujuan definisi tersebut. Salah satu definisi yang paling umum digunakan adalah yang
dikemukakan oleh Stewart B. McKinney Homeless Assistance Act tahun 1987, undang-
undang federal pertama di Amerika Serikat yang menangani masalah tunawisma. Dalam
revisi Undang-Undang McKinney tahun 2009, individu tunawisma didefinisikan
sebagai (a) individu atau keluarga tanpa tempat tinggal yang teratur dan memadai; (b)
individu atau keluarga yang tidur di tempat umum atau pribadi yang tidak dirancang
sebagai tempat tidur pada umumnya; (c) individu atau keluarga yang tinggal di tempat
penampungan umum atau pribadi; (d) seorang individu yang sebelumnya tunawisma
yang diberhentikan dari institusi tempat dia tinggal; (e) seorang individu atau keluarga
yang kehilangan tempat tinggal mereka tanpa tempat tinggal selanjutnya yang
teridentifikasi dan tanpa sumber daya atau yang dibutuhkan untuk memperoleh
perumahan; (f) pemuda tunawisma atau keluarga dengan anak-anak yang memiliki
riwayat ketidakstabilan perumahan dan kemungkinan besar akan terus dalam keadaan
ini karena keadaan fisik, emosional, atau sosial; dan (g) individu yang melarikan diri
dari situasi pelecehan atau kondisi perumahan yang berbahaya (U.S. Department of
Housing and Urban Development [HUD] 2009 dalam Clark, 2015). Berdasarkan
beberapa uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa homeless adalah individu yang
kehilangan timpat tinggal untuk tidur malam secara tetap, teratur dan adekuat, baik
sementara maupun permanen yang dapat diawasi oleh publik maupun swasta.

1.2. Faktor-Faktor yang Berkontribusi terhadap Timbulnya Homeless

Faktor-faktor yang berkontribusi terhadap timbulnya homeless


mencakup (Fadri, 2019):
1.2.1 Kemiskinan

Kemiskinan memberikan kontribusi yang cukup besar dalam


munculnya gelandangan dan pengemis. Seseorang atau kelompok tertentu hidup
menggelandang dengan alasan menutupi kebutuhan keluarga, sehingga berbagai macam
cara dapat dilakukan tanpa melihat efek dari perbuatannya tersebut. Kemiskinan
membuat seseorang lupa diri akan aturan yang melekat pada masyarakat, gelandangan
tidak peduli dengan norma maupun ketetapan yang telah disepakati. Upah pekerja
dibawah standar menjadikan masyarakat miskin dan tidak mampu mendapatkan
rumah yang layak, bahkan tidak mampu untuk membeli rumah dan lebih memilih
menjadi tunawisma.

1.2.2 Pendidikan

Pendidikan yang rendah menyebabkan seseorang berbuat hanya


mengandalkan ego pribadi tanpa mempedulikan dampak yang akan diterima oleh orang
lain. Pendidikan sangat berpengaruh terhadap persaingan didunia kerja.
Seseorang dengan pendidikan rendah akan sangat sulit mendapatkan sebuah
pekerjaan yang layak, sedangkan mereka juga memerlukan biaya untuk
mencukupi semua kebutuhan hidupnya, termasuk perumahan.

1.2.3 Keluarga

Keluarga dengan penghasilan rendah berakibat ketidakmampuan untuk


memenuhi kebutuhan dasar, kesehatan dan pendidiknnya. Hubungan keluarga yang
tidak harmonis atau anak dengan keluarga membuat mereka merasa kurang perhatian,
kenyamanan dan ketenangan sehingga mereka cenderung mencari kebebasan, belas
kasih dan ketenangan dari orang lain.

1.2.4 Umur

Umur yang semakin renta serta kemampuan fisik yang menurun,


membuat seseorang lebih sulit mendapatkan pekerjaan. Hal ini menyebabkan
mereka sulit untuk memenuhi kebutuhannya. Menjadi tunawisma merupakan alternatif
terakhir mereka untuk bertahan hidup.
1.2.5 Cacat fisik dan mental

Kondisi fisik yang tidak sempurna dan penyakit mental membuat


seseorang sulit mendapatkan pekerjaan. Kebanyakan seserang yang memiliki cacat fisik
dan penyakit mental memilih menjadi tunawisma untuk dapat bertahan hidup.

1.2.6 Kurangnya keterampilan

Perpindahan dan urbanisasi merupakan langkah awal bagi kemunculan


gembel dan pengemis. Perpindahan dari desa ke kota menuntut para pencari kerja
memiliki keterampilan yang memadai sehingga dapat diserap di lapangan kerja.
Persaingan yang ketat ditambah dengan kurangnya pengalaman serta keterampilan para
urban menjadikan mereka tidak terserap di lapangan kerja, sehingga akhirnya
memutuskan untuk menggelandang dengan jalan meminta-minta.

1.2.7 Masalah sosial budaya

Budaya dan kebiasaan malas yang telah menjadi modal dalam menjalani
hidup sehari-hari menyebabkan suatu bentuk pergeseran nilai sosial terutama dalam
bidang etos kerja. Gelandangan dan pengemis yang berasal dari urban yang tidak
terserap di lapangan kerja lebih memilih menjadi pengemis dengan jaminan uang tunai
perhari tanpa mereka memiliki suatu keahlian khusus. Kemalasan dan tidak mau
berusaha gelandangan dan pengemis nyaman hidup dalam rutinitas yang berkelanjutan.

1.2.8 Sikap pasrah pada nasib

Sikap pasrah pada nasib yang kurang tepat, menjadikan gelandangan dan
pengemis seolah-olah menjustifikasi sikap mereka agar tetap bermalas-malasan tanpa
ada usaha untuk memperbaiki diri dalam menjalani kehidupan. Sikap malas menjadikan
gelandangan dan pengemis meneruskan kegiatan meminta-meminta dibandingkan
dengan melakukan inovasi, namun tetap mendapatkan cash money yang cukup banyak.

1.2.9 Kebebasan dan kesenangan


Kebebasan yang dijadikan idealisme (meskipun hanya mitos yang tidak
harus dilestarikan) membuat sejumlah gelandangan dan pengemis enggan mengubah
pola perilaku dalam kehidupan sehari-hari. Keengganan untuk berubah mengakibatkan
banyaknya program pemberdayaan, baik dari pemerintah maupun swasta tidak berjalan
dengan baik. Gelandangan dan pengemis lebih memilih hidup bebas dengan alasan
pendapatan akan lebih banyak didapatkan dibandingkan harus ikut pemberdayaan dan
berbagai program maupun penyuluhan yang diakukan.

1.3. Dimensi Keperawatan yang Berkontribusi terhadap Kesehatan Klien


Homeless

Menurut Clark (1999, 2015) ada beberapa dimensi yang


berkontribusi terhadap kesehatan klien homeless, antara lain:

1.3.1 Dimensi biofisik

a. Usia

Anak-anak dan lansia rentan mengalami masalah kesehatan. Pada anak-


anak umumnya mengalami anemia, infeksi parasite, masalah sirkulasi dan masalah
kulit. Insiden tertinggi pada anak adalah asma dan masalah pernapasan lainnya serta
gastroenteritis. Anak-anak juga rentan mengalami keterlambatan perkembangan yang
signifikan. Lansia umumnya mengalami penyakit menular, luka bakar, trauma akibat
mengkonsumsi alkohol, kerusakan fisik dan mental, pemerkosaan dan ketidakmampuan
kronik disebabkan oleh komplikasi kerusakan fisik, mental dan emosi.

b. Fungsi fisiolgis

Umumnya homeless dewasa mengalami penyakit kulit, ISPA, influenza,


venous statis dan edema (ulserasi kaki dan lengan, selulitis), hipotermia, hipertensi,
penyakit neurological, cedera, keracunan (umumnya karena makanan), penyakit
circulatory, penyakit GI, masalah pernapasan kronik, TBC (drug resistance),
HIV/AIDs. Homeless dengan penyakit kronik juga kesulitan mengikuti regimen
pengobaan sehingga berdampak pada terjadinya masalah kronik (misalnya, homeless
dengan COPD yang tidak rutin berobat dan sering terpapar pada udara dingin berakibat
memburuknya kondisi kesehatannya). Masalah fisiologis yang sering dialami homeless
anak-anak adalah infeksi pernapasan dan telinga, masalah gigi, penglihatan menurun,
masalah musculoskeletal, nyeri abdomen dan ulcers, kejang, trauma, masalah ginjal,
keracunan, gangguan tidur dan malnutrisi. Masalah kesehatan yang terjadi pada
homeless lansia antara lain hipotermia, malnutrisi, infeksi parasite, penyakit vascular
perifer, tuberculosis, penyakit jantung, diabetes, hipertensi dan penyakit pulmonal.
Masalah kesehatan pada homeless wanita adalah masalah kesehatan terkait kehamilan.
Wanita hamil tersebut juga rentan mengalami infeksi saluran kemih (ISK), kesulitan
me-manage ketidaknyamanan akibat adaptasi karena kehamilan (berdampak pada
pengguanaan/penyalahgunaan zat telarang), masalah vagina dan malnutrisi. Kondisi-
kondisi ini kemudian berdampak pada risiko terjadinya BBLR dan meningkatnya
morbiditas pada wanita. Homeless wanita (dewasa dan lansia) rentan mengalami
pelecehan seksual dan bahkan pemerkosaan).

1.3.2 Dimensi psikologi

Homeless dewasa umumnya mengalami mental illness yang disebabkan


oleh stressful life events. Homeless wanita yang mengalami woman sexual abuse umum
mengalami post traumatic syndrome disorder (PTSD) dengan tanda dan gejala umum
yang ditunjukkan seperti depresi, keluha somatik dan adanya ide bunuh diri.

1.3.3 Dimensi Fisik

Masalah kesehatan fisik yang umum dialami oleh para homeless seperti
kebersihan dan kesehatan. Perilaku hidup bersih mereka masih sangat kurang. Ventilasi
dan penerangan juga masih kurang yang menyebabkan munculnya berbagai masalah
kesehatan. Mereka tidak mempunya dana yang cukup untuk memelihara kesehatan dan
pengobatan mereka sendiri.

Di samping itu, masalah lain yang muncul adalah gizi kurang. Mereka
tidak mampu memenuhi kebutuhan pangan akibat rendahnya daya beli makan, terutama
makanan bergizi. Hal inilah yang mengakibatkan mereka mengalami gizi buruk
termasuk ibu hamil dan balita.
Tindak kekerasan sesama tunawisma juga salah satu masalah fisik yang
muncul. Perebutan atau persaingan lahan pencari makan menyebabkan mereka
berkonflik. Banyak diantara mereka mengkonsumsi narkoba. Hal ini disebabkan oleh
lingkungan tempat tinggal mereka. Mereka rawan terkena HIV/AIDS dengan
penggunaan jarum suntik secara bergantian.

Masalah lain yang muncul adalah dimanfaatkan beresiko terjadinya


pelecehan. Banyak anak-anak kecil yang dimanfaatkan untuk mengemis dan
menyetorkan sejumlah uang setiap harinya agar terhindar dari tindak kekerasan oleh
pihak lain yang lebih kuat atau oleh orang dewasa yang tidak bertanggung jawab.
Pelecehan seksual yang kadang terjadi adalah orang dewasa tidak bertanggung jawab
melakukan sodomi, pelecehan seksual dengan imbalan.

1.3.4 Dimensi sosial

a. Yang berasal dari faktor-faktor ekonomis, antara lain termasuk kemiskinan,


pengangguran dan sebagainya
b. Yang berasal dari faktorfaktor biologis, antara lain yang meliputi penyakit
jasmaniah dan cacat
c. Yang disebabkan oleh faktor-faktor psikologis, seperti sakit-sakit saraf, jiwa,
lemah ingatan, sawan mabuk alkohol, sukar menyesuaikan diri, dan lain-lain
d. Yang berasal dari faktorfaktor kebudayaan, seperti masalah umur tua, tidak punya
kediaman, janda, perceraian, kejehatan, kenakalan anak-anak muda,
perselisihanperselisihan agama, suku dan ras

1.3.5 Dimensi perilaku

Perilaku bebas homeless pada umumnya berakibat pada terjadinya


masalah-masalah sebagai berikut:

a. Penyalahgunaan alkohol dan obat-obatan


b. Keterlibatan prostitusi dan penyalahgunaan obat terlarang yang disuntikkan,
berefek pada terjadinya penularan HIV/AIDs
c. Inadekuat asupan nutrisi pada anak-anak berdampak pada terjadinya masalah
kesehatan seperti anemia dan terjadinya kegagalan pertumbuhan dan perkembangan
serius
d. Merokok yang berefek pada terjadinya masalah kardiovaskular dan pulmonal

1.3.6 Dimensi sistem kesehatan

Tiga barrier yang berpengaruh pada pelayanan kesehatan pada


populasi homeless di komunitas adalah:

a. System barriers, meliputi faktor biaya dan transportasi yang kurang tersedia bagi
para homeless dan long wait service yang umumnya dialami mereka
c. Provider barrier, insensitifitas terhadap kebutuhan homeless dan ketidakmauan
provider untuk menyediakan pelayanan kesehatan bagi homeless karena mereka
tidak mampu membayar
d. Personal barriers, temasuk di dalamnya adalah penolakan homeless terhadap
penyakit yang dialaminya, ketakutan akan kehilangan kontrol diri, tidak ada uang
dan serta rasa malu karena penampilan dan personal hyegiene nya. Ketiadaan
preventive care juga menjadi masalah yang umum terjadi di komunitas pada
populasi ini

1.3.7 Dimensi lingkungan

a Lingkungan kota menjadi kumuh dan kotor


b Banjir karena terhambatnya fungsi sungai tersebut
c Maraknya tindak kriminalitas dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya

1.4. Masalah Kesehatan pada Klien Homeless

Masalah kesehatan yang mempengaruh kesehatan homeless dibagi


menjadi tiga bagian yaitu:

1.4.1 Masalah kesehatan fisik


a. Penyakit pernapasan atas

Penyakit pernapasan atas adalah masalah kesehatan akut yang paling


sering terjadi, hal ini dikarenakan tempat berteduh yang ramai dan dapur umum,
lingkungan yang menekankan, dan nutrisi yang buruk dapat mempengaruhi orang
homeless mengalami penyakit pernapasan, yang mudah ditularkan dari orang ke orang-
orang. Karena solusi umum seperti bedrest, bergizi makanan, dan obat-obatan yang
dijual bebas tidak mudah tersedia, tunawisma sering menderita pilek yang lebih lama
dan lebih serius atau influenza.

b. Kekurangan nutrisi

Homeless yang hidup di desa lebih beresiko mengalami malnutrisi


daripada yang hidup di kota. Karena mereka di desa lebih sulit mendapatkan makanan.
Akibat kekurangan nutrisi tersebut sehingga menurunkan energi tubuh. Apalagi mereka
juga sebagai pengguna alkohol, maka hal itu akan menurunkan vitamin-vitamin dalam
tubuh. Sementara vitamin tersebut sangat dibutuhkan saat penyembuhan penyakit dan
mengontrol suhu tubuh.

c. Penyakit pembuluh darah perifer

Para homeless sering menderita luka pada tungkai, penyakit pembuluh


darah perifer, dan sellulitis yang mengancam infeksi pada tungkai. Hal itu dapat terjadi
karena mereka jarang sekali memiliki tempat duduk untuk mengistirahatkan kakinya
dengan nyaman. Mereka tidur dengan duduk tanpa berbaring dan terekspose cuaca yang
sangat ekstrim. Mereka bahkan tidak memakai kaos kaki dan sepatu untuk kenyamanan
kaki mereka sehingga menyebabkan kulit kaki mereka rusak. Apalagi ditambah dengan
kekurangan nutrisi dan perawatan diri yang kurang sehingga memperberat infeksi.

d. Penyakit kronis

Menurut NCH tahun 1999 yaitu Para homeless banyak yang menderita
penyakit kronis. Penyakit kronis tersebut meliputi diabetes, penyakit jantung, gangguan
pernapasan, penyakit kejang, hipertensi, dan keganasan. Mereka tidak mendapatkan
pertolongan kesehatan yang baik. Kondisi stress, kehidupan yang keras, sering terpapar
polusi udara dan asap rokok, tidak adanya tempat istirahat dan kurangnya nutrisi dapat
memperparah kondisi kesehatan mereka. Karena kesepian, kurangnya dukungan
keluarga dapat menurunkan motivasi untuk mempertahankan kesehatan.

e. Infeksi HIV/AIDS

Perempuan–perempuan jalanan yang tinggal dijalanan sangat rentan


terhadap eksploitasi khususnya eksploitasi seksual seperti pelecehan, penganiyaan
secara seksual, pemerkosaan, penjerumusan anak dalam prostitusi dan adanya indikasi
perdagangan anak keluar daerah merupakan hal yang menyebabkan resiko terjadinya
infeksi HIV/AIDS. Selain itu juga ada sebagian pengguna narkoba suntik yang sangat
rentan terinfeksi HIV/AIDS. Perawat komunitas terutama yang berada dipopulasi
tunawisma harus berperan dam memberi informasi tentang pemakaian kondom,
penggunaan jarum suntik, dan memberi konseling kesehatan HIV/AIDS.

f. Tuberkulosis (TB)

Terlepas dari ketersediaan rejimen pengobatan yang efektif untuk pasien


TB, pendeteksian awal untuk homeless pun sangat susah dilakukan hal ini dikarenakan
sulitnya menjangkau mereka yang telah terpapar dan memberikan terapi jangka panjang
yang diperlukan untuk mengobati TBC aktif. Selain itu kadang–kadang tidak bersedia
diobati karena mereka menganggap dirinya baik–baik saja tidak menderita penyakit,
karena merasa masih bisa beraktivitas. Selain itu, kita juga akan mengalami kesulitan
dalam memantau pengobatannya karena tempat tinggal mereka yang tidak menetap.
Sehingga hal itu akan mempersulit proses pengobatan TB dan dapat berakibat putus di
tengah jalan. Akibatnya akan menyebabkan meningkatnya kasus TB MDR.

g. Gangguan thermoregulasi

Hipotermi merupakan masalah akibat cuaca dingin yang ekstrim. Hal itu
akan memperparah kondisi fisik jika mereka tidak terlindungi dengan baju hangat yang
nyaman. Faktor resiko yang menyebabkan hipotermi yaitu usia lanjut, tidak punya
tempat tinggal, geladangan, gangguan mental, overdosis obat, penyakit berat, dan
penyalahguanaan zat terlarang. Orang-orang gelandangan hanya sedikit memiliki
perlindungan dari cuaca. Mereka sering menjadi korban akibat hipotermi dan frostbite
(sengatan dingin).

h. Penyakit kulit

Penyakit kulit yang biasa terjadi pada homeless adalah kudis, kutu
rambut dan scabies. Hal ini dikarenakan kondisi lingkungan yang padat penduduk dan
ramai, kebiasaan tidur bersama-sama dan terlalu dekat, sering saling bertukar baju
dengan temannya, baju dan alas tempat tidur yang jarang dicuci dan dibersihkan,
kebersihan yang kurang, dan kesulitan memperoleh bantuan dalam mengatasi penyakit.
Meskipun penyakit kulit ini mudah untuk diobati namun dikarenakan kondisi
lingkungan dikhawatirkan dapat menyebabkan gangguan sekundre, seperti kulit infeksi
akibat garukan sehingga lambat laun akan menjadi infeksi tematik dan menyebabkan
komplikasi yang mencakup syok septik.

i. Trauma

Para gelandangan sangat rentan mengalami cidera, kecelakaan. Mereka


hidup di pinggir jalanan yang merupakan tempat yang sangat berbahaya dan trauma
adalah hal yang paling sering terjadi. Gelandangan usia tua adalah yang paling sering
menjadi sasaran gelandangan muda. Keseleo, memar, patah tulang, perkelahian, luka
bakar adalah kejadian trauma paling sering terjadi. Selain itu wanita juga sangat rentan
terhadap trauma dikarenakan mengalami trauma akibat pemerkosaan, penyerangan dan
percobaan perampokan.

j. Penyakit anak-anak

Kehidupan menggelandang sangat berpengaruh pada kesehatan fisik dan


mental anak-anak. Anak-anak homeless sangat rendah kesehatannya, tingkat depresi dan
kecemasannya lebih tinggi. Di kota New York, 38% menderita asma 27% terdiagnosa
otitis media. Akibat otitis media yang berulang tersebut sehingga mengakibatkan
hilangnya fungsi pendengaran gangguan fungsi wicara.
Selain masalah kesehatan fisik, anak-anak homeless mengalami masalah
keterlambatan perkembangan pada tingkat yang lebih tinggi daripada anak-anak yang
berpenghasilan rendah. Suatu studi penelitian pada anak-anak di bawah usia lima tahun
dengan menggunakan Denver Development Screening Test (DDST), mengatakan bahwa
anak-anak homeless kurang memiliki keterampilan pribadi dan sosial, keterampilan
motorik kasar dan halus, keterampilan bahasa.

1.4.2 Masalah Kesehatan Sosial

a. Pecandu alkohol dan penyalahgunaan zat terlarang

Para pecandu alkohol mayoritas dilakukan oleh usia paruh baya dan usia
tua dan mereka pun akhirnya juga turut bergabung dengan para pecandu dan pemakai
zat terlarang pada kelompok usia muda. Berhubung mereka adalah homellessness,
terasing dari keluarga, tidak ada media transportasi, dan pekerjaan utamanya adalah
sebagai buruh kasar, sehingga hal itu memungkinkan mereka mengalami kesulitan
dalam memperoleh pengobatan.

b. Perilaku seks bebas

Perilaku seks bebas berdampak pada kesehatan fisik berupa penyakit


herpes, HIV/AIDS, kencing nanah, cengger ayam. Selain itu juga bisa berdampak pada
ganguan psikologis seperti stress dan depresi.

c. Kekerasan pada anak

Kekerasan pada anak meliputi kekerasan fisik dan seksual. Pada


kekerasan fisik berdampak trauma atau cidera serius yang dapat menyebabkan
kecacatan. Pada kekerasan seksual dapat menyebabkan dampak jangka pendek yaitu
anak akan mengalami mengalami mimpi-mimpi buruk, ketakutan yang berlebihan pada
orang lain, dan konsentrasi menurun yang akhirnya akan berdampak pada kesehatan.
Untuk dampak jangka panjang ketika dewasa nanti dia akan mengalami fobia pada
hubungan seks. Bahkan bisa terjadi dampak yang lebih parah, dia akan terbiasa dengan
kekerasan sebelum melakukan hubungan seksual.
d. Penyalahgunaan NAPZA

Penyalahgunaan NAPZA berdampak pada gangguan fisik dan perilaku.


Pada saat menggunakan zat tersebut dapat menunjukkan gejala sempoyongan, apatis,
mengantuk, agresif, curiga. Bila kelebihan dosis (overdosis) menyebabkan nafas sesak,
denyut jantung dan nadi lambat, kulit eraba dingin, nafas lambat bahkan bisa
meninggal. Bila sedang ketagihan (putus zat/sakau) mata dan hidung berair menguap
terus, diare, sakit seluruh tubuh, takut air, kejang, kesadaran menurun.

e. Pernikahan dini/usia muda

Pernikahan dalam usia muda merupaka salah satu faktor yang


menyebabkan keganasan kanker serviks. Pada masa remaja alat reproduksinya belum
matang untuk melakukan fungsinya. Uterus baru mulai siap melakukan fungsinya
setelah umur 20 tahun, karena pada masa ini fungsi hormonal melewati masa yang
maksimal. Pada usia 14-18 tahun, perkembangan otot-otot rahim belum cukup baik
kekuatan dan kontraksinya sehingga jika terjadi kehamilan rahim dapat rupture (robek).
Pada usia 14-19 tahun, sistem hormonal belum stabil, kehamilan menjadi tak stabil
mudah terjadi pendarahan dan terjadilah abortus. Usia kehamilan terlalu dini dari
persalinan memperpanjang rentang usia reproduksi aktif. Hal ini dapat mengakibatkan
resiko kanker serviks di kemudian hari.

f. Tindakan aborsi

Aborsi berefek Jangka Pendek yaitutimbul terjadi kebocoran uterus,


pendarahan yang banyak, infeksi bahkan kematian. Sedangkan efek jangka efek jangka
panjang yaitu lahirnya bayi prematur, peradangan pelvis, susah untuk hamil kembali.

1.4.3 Masalah psikis

a. Penyakit psikis

Menentukan prevalensi penyakit psikis homeless lebih susah


dibandingkan menentukan kesehatan fisiknya. Penyakit mental berat didefinisikan
sebagai diagnosis mental utama pada homeless penyakit yang berlangsung lama.
Penyakit psikis utama terutama termasuk skizofrenia, gangguan afektif (bipolar dan
depresi). Faktor lingkungan sehari-hari merupakan faktor utama terjadinya penyakit
mental pada homeless.

1.5. Peran Perawat pada Klien Homeless

Menurut Betty Neuman (1972) dalam Anderson & McFarlane, 2000,


peran perawat dalam komunitas menggunakan model Health Care System yang
memandang komunitas sebagai klien. Klien yang meliputi individu, keluarga, dan
kelompok yang dipandang sebagai suatu sistem terbuka memiliki siklus input, proses,
output, dan feedback dengan pola yang dinamis. Perawat perlu memperhatikan manusia
secara utuh untuk mempertahankan semua variabel yang mempengaruhi respons klien
terhadap stresor. Melalui penggunaan model keperawatan ini, diharapkan dapat
membantu individu, keluarga, dan kelompok untuk mencapai dan mempertahankan
level maksimum dari total wellness. Perawat membantu komunitas menjaga
kestabilan dengan lingkungannya dengan melakukan tindakan diantaranya
adalah pencegahan primer, pencegahan sekunder, dan pencegahan tersier.

1.5.1 Pencegahan primer

Pencegahan primer ini diarahkan untuk mencegah terjadinya homeless


atau mencegah konsekuensi kesehatannya. Pencegahan primer ini dapat dilakukan pada
individu, tingkat keluarga atau masyarakat. Perawat komunitas dapat membantu
melindungi individu dan keluarga dari homeless dengan menghilangkan faktor yang
mempengaruhi terjadinya homeless. Selain itu perawat juga dapat memberikan layanan
dukungan kepada keluarga yang merawat anggota yang sakit mental untuk mencegah
orang tersebut menjadi bagian dari kelompok homeless. Pencegahan primer juga bisa
dilakukan dengan masalah kesehatan tertentu yang dialami oleh para homeless. Di sini
perawat komunitas bisa bekerja sama dengan individu, keluarga, atau sekelompok
orang. Di tingkat kelompok perawat bisa terlibat dalam pencegahan primer untuk
masalah khusus dengan mendorong kelompok masyarakat untuk menyediakan tempat
istirahat. Perawat juga bisa menyediakan perawatan kesehatan dasar untuk homeless.
Fokus utama dari pencegahan primer ini dapat dilakukan dengan tindakan seperti
pemberian vaksin influenza dan imunisasi rutin pada anak. Selain vaksin dan imunisasi,
pemberian nutrisi yang baik juga merupakan fokus utama dalam pencegahan primer ini.
Perawat komunitas dapat menganjurkan program makan untuk yang dibutuhkan.

1.5.2 Pencegahan sekunder

Pencegahan sukender dirancang untuk meringankan homeless dan


dampak kesehatannya. Pada level individu yang termasuk dalam level pencegahan
sekunder yaitu bantuan keuangan. Perawat komunitas berfungsi sebagai advokat untuk
membantu klien melalui proses birokrasi. Terutama untuk pasien lansia dan mereka
yang memiliki masalah kesehatan mental. Pada level masyarakat, perawat dapat
menganjurkan peninjauan kriteria kelayakan untuk program transfer pendapatan yang
diujicobakan, sehingga proporsi yang lebih besar dari populasi homeless dilayani. Pada
level kelompok, perawat komunitas dapat bekerjasama dengan pejabat pemerintah dan
warga negara yang peduli lainnya untuk mengembangkan program tempat tinggal bagi
para homeless. Perawat komunitas dapat mengadvokasi dan berpartisipasi dalam upaya
perencanaan untuk menyediakan perumahan murah, bantuan pekerjaan, pelatihan kerja,
dan layanan lain yang diperlukan untuk menyelesaikan masalah homeless di
masyarakat. Hunian merupakan sumber daya darurat, bukan solusi untuk masalah
homeles. Perawat komunitas harus membantu klien homeless menemukan cara untuk
memenuhi kebutuhan tempat tinggal jangka panjang. Untuk klien perorangan, ini bisa
berarti rujukan untuk bantuan pekerjaan atau layanan lain untuk menghilangkan faktor
yang menyebabkan homeless. Pada tingkat masyarakat, perawat dapat berpartisipasi
dalam merencanakan solusi jangka panjang untuk masalah homeless.

Pencegahan sekunder yang dapat dilakukan perawat komunitas dalam


masalah kesehatan di area homeless dapat dilakukan dengan mengidentifikasi faktor-
faktor yang menghambat dan mendukung untuk mendapatkan pelayanan kesehatan,
mengidentifikasi adanya dukungan sosial dengan menyediakan perumahan,
mengidentifikasi pelayanan kesehatan yang diberikan seperti tes skrining HIV, TB atau
penyakit tidak menular, dan pelayanan untuk ibu hamil dan lansia.

1.5.3 Pencegahan tersier


Pencegahan tersier ditujukan untuk mencegah terulangnya kemiskinan
dan homeless pada individu, keluarga, kelompok masyarakat yang terpengaruh. Atau
ditekankan untuk melindungi masalah kesehatan yang disebabkan kemiskinan dan
homeless. Perawat komunitas yang terlibat dalam pencegahan tersier memerlukan
aktivitas politik untuk memastikan penyediaan layanan dalam mengurangi kemiskinan
dan homeless secara jangka panjang. Artinya keterlibatan perawat dalam upaya
menaikkan upah minimum atau mendesain program untuk mendidik homeless dalam
bekerja di masyarakat saat ini. Perlindungan dan aktivitas politik juga dibutuhkan untuk
memastikan kecukupan dari layanan masyarakat untuk yang sakit mental dan
memastikan mereka melakukan perawatan diri atau mensuport keluarga sebagai
pengasuh. Pada individu atau level keluarga, perawat komunitas mungkin akan terlibat
di dalam rujukan untuk bantuan pekerjaan dan memberikan program pendidikan yang
menjadikan homeless bisa menghilangkan faktor yang medasari terjadinya homeless.
Bahkan, perawat bisa membantu klien untuk menganggarkan pendapatan mereka secara
efektif untuk membatasi pengeluaran keluarga. Perawat komunitas mungkin juga
terlibat dalam memonitor status dari kesehatan mental klien di rumah dan membantu
keluarga klien untuk mendapatkan kelonggaran perawatan dan layanan pendukung
lainnya yang dibutuhkan untuk mencegah klien sakit jiwa kembali ke homeless. Dalam
beberapa kasus perawat juga memonitor penggunaan obat-obatan dan mendorong klien
untuk menerima konseling dan pelayanan rehabilitasi lainnya.
BAB II

KESIMPULAN

1. Homeless adalah individu yang kehilangan timpat tinggal untuk tidur malam secara
tetap, teratur dan adekuat, baik sementara maupun permanen yang dapat diawasi
oleh publik maupun swasta;
2. Faktor-faktor penyebab homeless yaitu: kemiskinan, tidak memperoleh kesehatan
yang tidak memadai, cacat fisik dan mental, kekerasan domestik, pendidikan
rendah, keluarga, umur dan sosial budaya;
3. Dimensi keperawatan komunitas terkait homeless yaitu: biofisik, psikologi, fisik,
sosial, perilaku dan sistem kesehatan;
4. Pada pencegahan primer ini diarahkan untuk mencegah terjadinya homeless atau
mencegah konsekuensi kesehatannya, pencegahan sukender dirancang untuk
meringankan homeless dan dampak kesehatannya dan pencegahan tersier ditujukan
untuk mencegah terulangnya kemiskinan dan homeless pada individu, keluarga,
kelompok masyarakat yang terpengaruh;
5. Pelaksanaan penanggulangan gelandangan oleh Pemerintah melibatkan Kementrian
Sosial, Kementrian Dalam Negeri, dan Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi,
Pemerintah Daerah dan lintas sectoral lainnya baik secara bersama-sama atau
sendiri-sendiri sesuai dengan bidang tugas masing-masing serta melibatkan peran
aktif masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA

Anderson, E. T., & McFarlane, J. (2000). Community as partner: theory and practice in
nursing. Philadelphia: Linppincott William & Wilkins.

Clark, M. J. (1999). Nursing in the Community Dimension of Community Health


Nursing (3rd ed.). Connecticud, Appleton & Lrge.

Clark, M. J. (2015). Population and community health nursing (6th ed.). New Jersey:
Pearson.

Fadri, Z. (2019). Upaya Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis (Gepeng) sebagai


Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS). Jurnal Pengembangan
Masyarakat Islam, 10(1).

Anda mungkin juga menyukai