HOMELESS
Oleh: Kelompok 5
Susilo Hartono 22020119183157
Lely Sri Hastuti 22020119183161
Desi Wahyuningsih 22020119183162
Dini Ariyati 22020119183173
Kabariyah 22020119183178
Sopian Hadi 22020119183196
ISI
1.2.2 Pendidikan
1.2.3 Keluarga
1.2.4 Umur
Budaya dan kebiasaan malas yang telah menjadi modal dalam menjalani
hidup sehari-hari menyebabkan suatu bentuk pergeseran nilai sosial terutama dalam
bidang etos kerja. Gelandangan dan pengemis yang berasal dari urban yang tidak
terserap di lapangan kerja lebih memilih menjadi pengemis dengan jaminan uang tunai
perhari tanpa mereka memiliki suatu keahlian khusus. Kemalasan dan tidak mau
berusaha gelandangan dan pengemis nyaman hidup dalam rutinitas yang berkelanjutan.
Sikap pasrah pada nasib yang kurang tepat, menjadikan gelandangan dan
pengemis seolah-olah menjustifikasi sikap mereka agar tetap bermalas-malasan tanpa
ada usaha untuk memperbaiki diri dalam menjalani kehidupan. Sikap malas menjadikan
gelandangan dan pengemis meneruskan kegiatan meminta-meminta dibandingkan
dengan melakukan inovasi, namun tetap mendapatkan cash money yang cukup banyak.
a. Usia
b. Fungsi fisiolgis
Masalah kesehatan fisik yang umum dialami oleh para homeless seperti
kebersihan dan kesehatan. Perilaku hidup bersih mereka masih sangat kurang. Ventilasi
dan penerangan juga masih kurang yang menyebabkan munculnya berbagai masalah
kesehatan. Mereka tidak mempunya dana yang cukup untuk memelihara kesehatan dan
pengobatan mereka sendiri.
Di samping itu, masalah lain yang muncul adalah gizi kurang. Mereka
tidak mampu memenuhi kebutuhan pangan akibat rendahnya daya beli makan, terutama
makanan bergizi. Hal inilah yang mengakibatkan mereka mengalami gizi buruk
termasuk ibu hamil dan balita.
Tindak kekerasan sesama tunawisma juga salah satu masalah fisik yang
muncul. Perebutan atau persaingan lahan pencari makan menyebabkan mereka
berkonflik. Banyak diantara mereka mengkonsumsi narkoba. Hal ini disebabkan oleh
lingkungan tempat tinggal mereka. Mereka rawan terkena HIV/AIDS dengan
penggunaan jarum suntik secara bergantian.
a. System barriers, meliputi faktor biaya dan transportasi yang kurang tersedia bagi
para homeless dan long wait service yang umumnya dialami mereka
c. Provider barrier, insensitifitas terhadap kebutuhan homeless dan ketidakmauan
provider untuk menyediakan pelayanan kesehatan bagi homeless karena mereka
tidak mampu membayar
d. Personal barriers, temasuk di dalamnya adalah penolakan homeless terhadap
penyakit yang dialaminya, ketakutan akan kehilangan kontrol diri, tidak ada uang
dan serta rasa malu karena penampilan dan personal hyegiene nya. Ketiadaan
preventive care juga menjadi masalah yang umum terjadi di komunitas pada
populasi ini
b. Kekurangan nutrisi
d. Penyakit kronis
Menurut NCH tahun 1999 yaitu Para homeless banyak yang menderita
penyakit kronis. Penyakit kronis tersebut meliputi diabetes, penyakit jantung, gangguan
pernapasan, penyakit kejang, hipertensi, dan keganasan. Mereka tidak mendapatkan
pertolongan kesehatan yang baik. Kondisi stress, kehidupan yang keras, sering terpapar
polusi udara dan asap rokok, tidak adanya tempat istirahat dan kurangnya nutrisi dapat
memperparah kondisi kesehatan mereka. Karena kesepian, kurangnya dukungan
keluarga dapat menurunkan motivasi untuk mempertahankan kesehatan.
e. Infeksi HIV/AIDS
f. Tuberkulosis (TB)
g. Gangguan thermoregulasi
Hipotermi merupakan masalah akibat cuaca dingin yang ekstrim. Hal itu
akan memperparah kondisi fisik jika mereka tidak terlindungi dengan baju hangat yang
nyaman. Faktor resiko yang menyebabkan hipotermi yaitu usia lanjut, tidak punya
tempat tinggal, geladangan, gangguan mental, overdosis obat, penyakit berat, dan
penyalahguanaan zat terlarang. Orang-orang gelandangan hanya sedikit memiliki
perlindungan dari cuaca. Mereka sering menjadi korban akibat hipotermi dan frostbite
(sengatan dingin).
h. Penyakit kulit
Penyakit kulit yang biasa terjadi pada homeless adalah kudis, kutu
rambut dan scabies. Hal ini dikarenakan kondisi lingkungan yang padat penduduk dan
ramai, kebiasaan tidur bersama-sama dan terlalu dekat, sering saling bertukar baju
dengan temannya, baju dan alas tempat tidur yang jarang dicuci dan dibersihkan,
kebersihan yang kurang, dan kesulitan memperoleh bantuan dalam mengatasi penyakit.
Meskipun penyakit kulit ini mudah untuk diobati namun dikarenakan kondisi
lingkungan dikhawatirkan dapat menyebabkan gangguan sekundre, seperti kulit infeksi
akibat garukan sehingga lambat laun akan menjadi infeksi tematik dan menyebabkan
komplikasi yang mencakup syok septik.
i. Trauma
j. Penyakit anak-anak
Para pecandu alkohol mayoritas dilakukan oleh usia paruh baya dan usia
tua dan mereka pun akhirnya juga turut bergabung dengan para pecandu dan pemakai
zat terlarang pada kelompok usia muda. Berhubung mereka adalah homellessness,
terasing dari keluarga, tidak ada media transportasi, dan pekerjaan utamanya adalah
sebagai buruh kasar, sehingga hal itu memungkinkan mereka mengalami kesulitan
dalam memperoleh pengobatan.
f. Tindakan aborsi
a. Penyakit psikis
KESIMPULAN
1. Homeless adalah individu yang kehilangan timpat tinggal untuk tidur malam secara
tetap, teratur dan adekuat, baik sementara maupun permanen yang dapat diawasi
oleh publik maupun swasta;
2. Faktor-faktor penyebab homeless yaitu: kemiskinan, tidak memperoleh kesehatan
yang tidak memadai, cacat fisik dan mental, kekerasan domestik, pendidikan
rendah, keluarga, umur dan sosial budaya;
3. Dimensi keperawatan komunitas terkait homeless yaitu: biofisik, psikologi, fisik,
sosial, perilaku dan sistem kesehatan;
4. Pada pencegahan primer ini diarahkan untuk mencegah terjadinya homeless atau
mencegah konsekuensi kesehatannya, pencegahan sukender dirancang untuk
meringankan homeless dan dampak kesehatannya dan pencegahan tersier ditujukan
untuk mencegah terulangnya kemiskinan dan homeless pada individu, keluarga,
kelompok masyarakat yang terpengaruh;
5. Pelaksanaan penanggulangan gelandangan oleh Pemerintah melibatkan Kementrian
Sosial, Kementrian Dalam Negeri, dan Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi,
Pemerintah Daerah dan lintas sectoral lainnya baik secara bersama-sama atau
sendiri-sendiri sesuai dengan bidang tugas masing-masing serta melibatkan peran
aktif masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Anderson, E. T., & McFarlane, J. (2000). Community as partner: theory and practice in
nursing. Philadelphia: Linppincott William & Wilkins.
Clark, M. J. (2015). Population and community health nursing (6th ed.). New Jersey:
Pearson.