Anda di halaman 1dari 30

KEPERAWATAN KRITIS

LAPORAN PENDAHULUAN DAN KONSEP ASUHAN


KEPERAWATAN PADA PASIEN MULTIPLE ORGAN
DYSFUNCTION SYNDROME

DISUSUN OLEH :
KELAS: B-13B KELOMPOK 7

AYU LAKSMI AGUSTINI (203221182)


NI MADE ERA MAHAYANI (203221183)
I GEDE WAHYU PUTRA DINATA (203221184)
PUTU ADHELINA ISWARA DEVI (203221185)
NI PUTU INDRI SISMAYANTI (203221186)
NI MADE WINDA NURSANTI (203221187)
NI PUTU NOVELIA TREANA (203221188)

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN PROGRAM SARJANA


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
WIRA MEDIKA BALI
2021
KATA PENGANTAR

“Om Swastyastu”
Dengan memanjatkan puja dan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas
segala limpahan rahmat dan karunia-Nya, sehingga dapat menyelesaikan makalah ini
dengan judul ”Laporan Pendahuluan dan Konsep Asuhan Keperawatan pada Pasien
Multiple Organ Dysfunction Syndrome”
Penulis mengucapkan rasa terimakasih sebesar-besarnya kepada semua pihak yang
telah membantu penulis sehingga dapat menyelesaikan makalah ini tepat waktu.
Penulis menyadari bahwa dalam proses penulisan makalah ini masih sangat jauh dari
kesempurnaan baik materi maupun cara penulisannya. Namun, demikian penulis telah
berupaya dengan segala kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki sehingga dapat
selesai dengan baik dan oleh karenanya penulis dengan rendah hati dan dengan terbuka
menerima masukan, saran dan usul guna penyempurnaan makalah ini. Akhirnya penulis
berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi seluruh pembaca.
“Om Shanti Shanti Shanti Om”

Denpasar, 19 November 2021

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .............................................................................................................. i


DAFTAR ISI ............................................................................................................................ 2
BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................................... 3
A. Latar Belakang ............................................................................................................... 3
B. Rumusan Masalah .......................................................................................................... 3
C. Tujuan ........................................................................................................................... 3
D. Sistematika Penulisan..................................................................................................... 4
BAB II PEMBAHASAN ......................................................................................................... 5
A. Definisi Multiple Organ Dysfunction Syndrome (MODS) ............................................... 5
B. Etiologi .......................................................................................................................... 6
C. Patofisiologi ................................................................................................................... 6
D. Pathway ......................................................................................................................... 8
E. Manifestasi Klinis .......................................................................................................... 9
F. Pemeriksaan Diagnostik ................................................................................................. 9
G. Penatalaksanaan ............................................................................................................. 9
H. Mekanisme .................................................................................................................. 10
I. Sistem Skoring di ICU ................................................................................................. 12
J. Klasifikasi sistem skoring ............................................................................................ 13
K. Pengkajian Keperawatan .............................................................................................. 15
L. Diagnosa Keperawatan................................................................................................. 21
M. Intervensi Keperawatan ................................................................................................ 22
N. Implementasi Keperawatan .......................................................................................... 26
O. Evaluasi Keperawatan .................................................................................................. 26
BAB III PENUTUP ................................................................................................................ 28
Kesimpulan .................................................................................................................. 28
Saran ........................................................................................................................... 28
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................. 29
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kegagalan multi organ terus menjadi penyebab kematian lanjut setelah cedera.
Kegagalan multi organ juga menjadi penyebab terbanyak mortalitas di unit terapi
intensif setelah penyakit medis katastrofik mayor dan komplikasi bedah. Patogenesis
darisindrom ini masih belum dapat dimengerti sepenuhnya, tapi cenderung berkaitan
dengan sejumlah kombinasi dari respon inflamasi disregulasi, maldistribusi aliran
darah, cedera iskemia-reperfusi dan disregulasi fungsi imun.
Awalnya sindrom kegagalan multi organ diduga sebagai akibat dari sepsis. Ide
ini berdasarkan pengamatan bahwa onset dini dari kegagalan respiratorik setelah
sejumlahkejadian stress koinsiden dengan respon septic pada banyak pasien. Respon
ini antara lain meliputi demam, leukosistosis, peningkatan cardiac output dan
penurunan resistensivascular perifer.
Goris dan kawan-kawan mendemonstrasikan bahwa lebih dari 50% pasien
mengalami kegagalan multi system organ tanpa bukti adanya infeksi. Menemukan
bahwa pasien dengan kegagalan multi organ yangmeninggal memiliki bukti adanya
inflamasi akut dan kronik pada seluruh organ mereka. Penemuan ini mengarah pada
ide bahwa kegagalan multi system organ berasal dari sindrom respon inflamasi
sistemik ( systemic inflammatory response syndrome/SIRS) dan disregulasi respon
hiperinflamasi sistemik dari pada sepsis atau infeksi. Satu kejadian tersering yang
dapat menyebabkan scenario ini adalah iskemia/cedera reperfusi. Tujuan tinjauan ini
adalah untuk membahas ide bahwa iskemia/cedera reperfusi adalah suatu kejadian
yang sering menjadi predisposisi sindrom klinis dari kegagalan multiple
systemorgan. Meskipun istilah kegagalan muti organ pertamakali disebutkan pada
akhir 1970an, sindrom klinisnya telah dijelaskan dengan baik pada awal 1960an.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana konsep asuhan keperawatan pada pasien Multiple Organ Dysfunction
Syndrome (MODS)
C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Tujuan umum penulisan makalah ini adalah untuk menambah pengetahuan
dan wawasan mengenai konsep asuhan keperawatan pada pasien Multiple Organ
Dysfunction Syndrome.
2. Tujuan Khusus
Adapun tujuan khusus penulisan dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
a. Untuk mengetahui tentang konsep asuhan keperawatan pada pasien Multiple
Organ Dysfunction Syndrome.
D. Sistematika Penulisan
1. Sistematika Teoritis
Dapat memberikan manfaat bagi pengembangan ilmu Keperawatan Kritis,
khususnya materi mengenai asuhan keperawatan pada pasien ventilator
associated pneumonia.
2. Sistematika Praktis
a. Sebagai bahan masukan bagi mahasiswa Program Studi S1 Keperawatan
mengenai Keperawatan Kritis, khususnya materi mengenai konsep asuhan
keperawatan dan kasus asuhan keperawatan pada pasien Multiple Organ
Dysfunction Syndrome.
b. Memberikan pemahaman bagi mahasiswa lainnya mengenai Keperawatan
Keperawatan Kritis, khususnya materi mengenai konsep asuhan keperawatan
dan kasus asuhan keperawatan pada pasien Multiple Organ Dysfunction
Syndrome.
c. Memberikan pemahaman bagi penulis mengenai Keperawatan Kritis,
khususnya materi mengenai konsep asuhan keperawatan dan kasus asuhan
keperawatan pada pasien Multiple Organ Dysfunction Syndrome.
BAB II
PEMBAHASAN

LAPORAN PENDAHULUAN MULTIPLE ORGAN DYSFUNCTION SYNDROME


(MODS)

A. Definisi Multiple Organ Dysfunction Syndrome (MODS)


Perkembangan dalam ilmu kedokteran dan teknologi untuk mendukung
kehidupan dari pasien pasien kritis membuat sangat jarang pasien meninggal oleh
karena penyakit yang dideritanya, namun lebih disebabkan oleh karena konsekuensi
patofisiologis, yang disebut the sequential dysfunction and failure of several organ
system. Sindrom ini dikenal dengan Multiple Organ Dysfunction Syndrome
(MODS) sebelumnya lebih dikenal dengan Multiple Organ Failure (MOF) atau
Multisystem Organ Failure (MSOF) didefinisikan sebagai adanya penurunan fungsi
organ pada pasien dengan penyakit akut yang menyebabkan ketidakmampuan untuk
mempertahankan homeostasis tanpa intervensi, biasanya melibatkan dua atau lebih
sistem organ (SCCM Consensus Conference Commitee, 1992). MODS memiliki
angka kematian yang tinggi, dan pada sebagian besar pasien dukungan hidup tidak
akan meningkatkan harapan hidup melainkan memperpanjang proses kematian dan
menghabiskan biaya perawatan di ruang ICU (Fry, 1988). Sejak tahun 1973.
MODS digambarkan sebagai jalur akhir dari suatu proses pasien dengan
penyakit kritis di ICU. Deskripsi pertama kali digambarakan di tahun 1940 saat
perang dunia II dimana diamati pada setiap pasin dengan shock hipovolemik akibat
dari perdarahan masif pada umumnya meninggal 10 hari kemudian dengan
insufisiensi ginjal (Varon, 2008). Observasi ini mendasari penggunaan cairan
kristaloid selama perang Korea. Setahun kemudian, di perang Vietnam, penggunaan
cairan kristaloid dengan jumlah besar menyebabkan penurunan dari fungsi paru,
yang dikenal dengan shock lung. Pada awal dan pertengahan tahun 1970an, peneliti
mengenali adanya hubungan antara shock hemoragik atau infeksi dan multiorgan
failure. Sejak saat itu kegagalan multiple organ pada waktu yang bersamaan atau
dengan sekuens yang sama melahirkan hipotesa bahwa ada suatu mekanisme yang
sama yang mendasari proses tersebut (Varon, 2008). Di Amerika Serikat, MODS
terjadi pada 15- 18% pasien ICU dan menjadi penyebab dari 80% kematian ICU
dengan biaya lebih dari $100,000 per pasien atau hampir $500,000 untuk pasien
yang selamat. Untuk populasi dunia, MODS terjadi pada 7% pasien dengan trauma
multiple, dan 11% pada populasi ICU (Varon, 2008).
B. Etiologi
Pada survey dari 2475 pasien dengan MODS, didapatkan sebagian besar (76%)
dialami oleh oleh pasien dengan diagnosa non bedah. Didapatkan 6 penyebab utama
perawatan ICU antara lain: sepsis, pneumonia, gagal jantung kongestif, henti
jantung, dan perdarahan gastrointestinal. Sepsis adalah diagnosis yang seringkali
ditemukan yang mengarah kepada kejadian MODS baik pada pasien bedah ataupun
non bedah. Pasien dapat berkembang menjadi MODS sebagai konsekuensi dari
infeksi primer atau ditumpangi dengan infeksi nosokomial. Namun pada lebih dari
sepertiga kasus, tidak dijumpai adanya fokus infeksi pada pemeriksaan fisik ataupun
studi postmortem. Sistem skoring APACHE II mengenali faktor resiko yang dapat
mengarah ke insiden MODS 9 yaitu umur lebih dari 65 tahun, adanya defisit
persisten oxygen delivery setelah resusitasi pada kondisi shock akibat gangguan
sirkulasi, jaringan mati, trauma berat, operasi mayor, dan gagal hati yang telah ada
sebelumnya (Slotman, 1997).
C. Patofisiologi
Saat ini terdapat berbagai teori yang berusaha menjelaskan patofisiologi
terjadinya MODS, antara lain hipotesis mediator, hipotesis “gut-as motor”,
hipotesis kegagalan mikrovaskuler, hipotesis two hit, dan hipotesis terintegrasi.
Hipotesis mediator diungkapkan atas dasar ditemukannya peningkatan nyata kadar
TNF-a dan IL-1b. Sitokin-sitokin ini diduga menyebabkan kerusakan seluler primer
dan bahwa ternyata pemberian antisitokin dapat menghentikan atau paling tidak
mengurangi terjadinya MODS-like syndrome. Hipotesis “gut-as motor,” teori yang
paling banyak dibahas saat ini, menyatakan bahwa translokasi bakteri atau
produknya menembus dinding usus memicu terjadinya MODS. Malnutrisi dan
iskemia intestinal diketahui sebagai penyebab translokasi toksin bakteri ini.1
Hipotesis yang terkuat dibanding dua hipotesis patogenesis MODS sebelumnya
adalah hipotesis kegagalan mikrovaskuler. Pada kasus sepsis dan SIRS, terdapat
penurunan curah jantung, penurunan tekanan perfusi sistemik, atau perubahan
selektif perfusi sistem organ, yang mengakibatkan hipoperfusi atau iskemia sistem
organ. Perfusi jaringan menjadi inadekuat dan terjadi gangguan distribusi aliran
darah yang membawa oksigen, nutrien, dan zat-zat penting lainnya. Ada pula
hipotesis yang menyatakan bahwa suplai oksigen ke sel sebenarnya memadai tetapi
oksigen tersebut tidak dapat digunakan oleh sel, mungkin disebabkan abnormalitas
jalur fosforilasi oksidatif di mitokondria. Kerusakan endotel vaskuler akibat
mediator SIRS menyebabkan defek permeabilitas dan mengganggu integritas
endotel, menimbulkan edema atau gangguan fungsi sistem organ. Eritrosit yang
rusak dengan perubahan bentuk atau property rheologik juga memudahkan
terjadinya sumbatan atau obstruksi mikrovaskuler yang kemudian menyebabkan
iskemia seluler. Hipotesis “two-hit” menyatakan bahwa terdapat 2 pola MODS, dini
(dalam 72 jam setelah jejas) dan lambat. MODS dini disebabkan oleh proses “one
hit”, sedangkan MODS tipe lambat disebabkan oleh proses “two hit”. Pada model
“one hit”, jejas primer sedemikian masifnyasehingga mempresipitasi SIRS berat,
menyebabkan MODS yang dini dan seringkali letal. Pada model “two hit”,
terjadijejas akibat pembedahan/ trauma yang tidak terlalu berat (first hit),
menyebabkan SIRS yang moderat. Adanya presipitasiinfeksi/ jejas non-infeksi dapat
mengamplifikasi keadaaninflamasi awal tersebut menjadi SIRS yang berat, yang
cukup untuk menginduksi MODS tipe lambat (umumnya 6-8 hari setelah jejas
awal). Pada sebagian besar pasien MODS, tidak dapat ditelusuri satu penyebab
sebagai pemicu MODS. Oleh karena itu hipotesis terintegrasi menyatakan bahwa
tampaknya MODS merupakan akibat akhir dari disregulasi homeostasis yang
melibatkan sebagian besar mekanisme yang telah diuraikan di atas.
D. Pathway
E. Manifestasi Klinis
Menurut Aryanto Suwoto (2007), manifestasi klinis pada MODS adalah
sebagai berikut:
1. Disfungsi kardiovaskular; edema dan restribusi cairan
2. Disfungsi respirasi; takipnea, hipoksemia, hiperkarbia
3. Disfungsi ginjal; gagal ginjal akut
4. Disfungsi gastrointestinal; perdarahan stress ulcer, pancreatitis, hiperglikemia
5. Disfungsi neurologis; ensefalopati
F. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan diagnostic MODS bisa dilakukan dengan pendekatan klinis
dengan sistem skoring. Skor kegagalan organ terutama dimaksudkan sebagai alat
deskriptif untuk menstratifikasi dan membandingkan status pasien di ICU dalam hal
morbiditas, bukan mortalitas (kecuali Logistic Organ Dysfunction System/ LODS)
(Herwanto & Amin, 2009).
Parameter MODS SOFA LODS
Respirasi PaO2/FiO2 PaO2/FiO2 PaO2/FiO2
Dukungan ventilasi Status ventilasi/ CPAP

Koagulasi Hitung trombosit Hitung trombosit Hitung Leukosit


Hitung trombosit
Hati Konsentrasi bilirubin Konsentrasi bilirubin Konsentrasi bilirubin
Waktu protombin
Kardio-vaskular Frekuensi jantung X Tekanan darah Frekuensi jantung
(CVP/MAP) Dukungan adrenergik Tekanan darah sistolik
SSP GCS GCS GCS
Ginjal Konsentrasi kreatinin Konsentrasi kreatinin Konsentrasi ureum dan
atau volume urin kreatinin volume urin
G. Penatalaksanaan
Pada prinsipnya dibagi atas 2 yakni prevensi dan pengobatan dengan hal ingin
dicapai terdapatnya adekuat oksigenasi jaringan, mengobati infeksi, adekuat
nutrisional support dan bila mungkin melakukan tindakan seperti hemodialisis.
Adapun tindakan yang perlu dilaksanakan:
1. Pencegahan; teknik pembedahan yang baik sangat penting, karena penelitian
didapat 40% kasus MODS disebabkan karena kesalahan pembedahan. Infeksi
nosokomial menaikkan mortalitas menjadi 2 kali lipat. Cuci tangan, ruangan
isolasi serta pelapisan kateter IV dengan silikon/ zat antibakteri dapat
mengurangi insiden MODS.
2. Resusitasi untuk mengatasi shock dan monitor kulit, tekanan darah, temperature,
aliran urin, O2 saturasi dan asam laktat dan pH.
3. Debridement dari jaringan yang telah membusuk
4. Mengatasi infeksi yang terjadi baik infeksi intraabdominal, sepsis, infeksi oleh
karena pemasangan kateter, infeksi yang berasal dari usus daninfeksidari daerah
lainnya
5. Memberikan nutrisi yang cukup baik dengan enteral, parenteral, bila perlu
memberikan kalori yang berlebih. Pada MOSF non kalori intake 23-35
kalori/kg/hari (3-5 gr/kg/hari glukosa ditambah dengan 0,5-1 gm/kg/hari
protein), untuk memberikan kalori digunakan keseimbangan harris benedict.
6. Terapi yang diberikan kortikosteroid dan prostaglandin-1 inhibitor. Kemudian
diberikan pula imunoterapi, fibronisentin yang merupakan suatu glikoprotein
kompleks yang merangsang fagositosis, dan dapat pula diberikan ibuprofen.
7. Control kausa; hal terpenting dalam penatalaksanaan MODS adalah
menghilangkan factor presipitasi dan penyebab atau sumber infeksi.
H. Mekanisme
MODS sisfungsi progresif dari sistem organ yang menjadi karakteristik dari
MODS pada umumnya mengikuti urutan yang dijabarkan pada SOFA yang
dirumuskan pada pertemuan konsensus The European Society of Intensive Care
Medicine (EISCM) menjadi 4 fase sebagai berikut:
1. Fase pertama: peningkatan kebutuhan volume dan alkalosis respiratorik ringan
yang diikuti dengan oliguria, hiperglikemia, dan peningkatan kebutuhan insuliln.
2. Fase kedua: pasien menjadi takipnea, hipokapnia, dan hipoksemia, kemudian
berkembang menjadi disfungsi hati dan abnormalitas hematologi
3. Fase ketiga: pasien jatuh ke dalam kondisi shock dengan azotemia dan gangguan
asam basa, dengan abnormalitas koagulasi yang signifikan
4. Fase keempat: pasien dengan vasopressor dependent dan oliguria atau anuria,
kemudian berkembang menjadi ischemic colitis dan asidosis laktat Fase tersebut
dapat dijelaskan dengan bebrapa hipotesis yang menginisiasi MODS antara lain :
a. Gut Hypothesis
Gut Hypothesis saat ini adalah teori paling populer untuk menjelaskan
berkembangnya MODS pada pasien kritis (Dorinsky, 1990). Hipoperfusi
splanchnic seringkali dijumpai pada pasien multiple trauma, sepsis, shock
sepsis, atau luka bakar. Endotoksin menyebabkan pengurangan yang dose
dependant terhadap diameter arteriole sentral villus. Organ usus sangat
rentan untuk kehilangan perfusi jaringan dan oksigenasi karena cadangan
oksigen yang dimiliki sangat minimal dibandingkan dengan organ lain dan
organ vital. Iskemia pada organ usus menyebabkan terjadinya perubahan
struktur dan penurunan fungsi selular. Di sisi lain endotoksin menyebabkan
cedera mukosa dengan menghasilkan Reactive Oxygen Species (ROS) dan
menghambat respirasi mitokondria di enterocyte. Cedera pada mukosa usus
meningkatkan permeabilitas usus, menurunkan fungsi imum usus, dan
meningkatkan translokasi bakteri. Karena disfungsi hepar, toksin bakteri
dapat masuk ke sirkulasi sistemik dan mengaktifasi respon inflamasi, yang
memicu terjadinya cedera dan disfungsi organ (Swank, 1996). Hipotesa ini
didukung dengan serangkaian penelitian yang menemukan adanya hubungan
antara translokasi bakteri, penurunan pH gaster intramukosa dengan kejadian
MODS (Marik, 1993., Mythen, 1994., Kirton, 1998).
b. Endotoxin-Macrophage Hypothesis
Pada pasien dengan MODS, infeksi mikroorganisme gram negatif
seringkali dijumpai, sehingga endotoksin dianggap sebagai mediator kunci
pada sindrom ini. Setelah terjadinya kejadian awal sebagai pemicu (contoh:
sepsis, pankreatitis, trauma), MODS muncul sebagai akibat dari produksi
dan lepasnya sitokin dan mediator lain oleh makrofag yang diaktifasi oleh
endotoksin. Tumor Necrosis Alpha (TNF-alpha), Interleukin 1 (IL-1),
Interleukin 6 (IL-6), Thromboxane а2, prostacyclin, platelet activating
factor, dan nitric oxide (NO) adalah mediator proinflamasi yang terlibat pada
proses terjadinya MODS. Mediator inflamasi tersebut pada akhirnya akan
memicu terjadinya inflamasi sistemik yang akan menyebabkan terjadinya
kerusakan endotelial yang menyebabkan kebocoran pada kapiler pembuluh
darah dan terbentuknya trombus 12 di sepanjang endotel yang rusak yang
akan memicu hipoperfusi pada end organ dan gangguan koagulasi.
c. Tissue Hypoxia-Microvascular Hypothesis
Pasokan oksigen yang tidak adekuat dapat terjadi akibat dari perubahan
vaskular baik mikro maupun makro. Hipovolemia, anemia, hipoksemia gagal
jantung akan menyebabkan penurunan oxygen delivery. Pada pasien sepsis
juga terjadi gangguan homeostasis yang menyebabkan terjadinya trombus
mikrovaskular yang akan memperburuk hantaran oksigen ke jaringan.
d. Integrated Hypothesis
Pada sebagian besar pasien dengan MODS, terjadinya sindrom ini tidak
dapat dikatakan hanya berasal dari satu penyebab saja melainkan adalah
hasil akhir dari berbagai mekanisme yang ada.; Migration Inhibitory
Factorv(MIF), Interleukin 1 (IL-1), Interleukin 6 (IL-6), Interleukin 18(IL-
18) , Interleukin 12 (IL-12) Chemokine Ligand (CXCL), High Mobility
Group Protein B-1(HMGB-1). (Adib, 2007)
I. Sistem Skoring di ICU
Sistem skoring di ICU (intensive care unit) telah diperkenalkan dan
dikembangkan sejak 30 tahun lalu. Sistem skoring tersebut dapat digunakan untuk
menilai derajat keparahan dari penyakit dan memperkirakan mortalitas selama 14
perawatan di rumah sakit. Perkiraan ini didapatkan dengan mengkolaborasi data
data spesifik pasien yang dikumpulkan Setiap variabel memiliki nilai masing masing
dan penjumlahan dari masing masing variabel menghasilkan skoring keparahan
(severity score). Kondisi penyerta: Keganasan Renal Replacement Therapy (RRT)
Terapi steroid atau immunosuppresant Penyakit hati Penyakit hematologi
Pengukuran fisiologis Kardiovaskular: Tekanan arteri rerata, laju nadi Respirasi :
FiO2, A-a gradient, laju napas Suhu tubuh Skor coma Glasgow (GCS) Parameter
biokemikal/ hematologi Hemoglobin/hematokrit, leukosit, koagulasi, creatinin,
sodium, potasium, dan pH arteri Asal masuk pasien Medis atau bedah Terencana
atau darurat Data pasien Umur Bagian tubuh atau sistem organ yang terlibat.
Berbagai macam faktor diketahui meningkatkan resiko mortalitas selama perawatan
di rumah sakit selama dirawat di ICU, termasuk peningkatan usia dan keparahan
penyakit akut, kondisi medis penyerta (keganasan, immunosuppresion, dan
kebutuhan untuk Renal Replacement Therapy), dan masuk ke ICU dari keadaan
gawat darurat (emergency admission) atau pasca operasi elektif. Sebelum tahun
1980an, tidak ada sistem skoring yang diaplikasikan untuk populasi di perawatan
intensif sehingga hasil dari unit perawatan intensif yang berbeda beda tidak dapat
dibandingkan.
Setelah itu mulai banyak sistem skoring yang dikembangkan, meskipun hanya
sedikit yang digunakan. Beberapa sistem skoring dikenal dengan akronimnya antara
lain : APACHE (Acute Physiology and Chronic Health Evaluation) dan SOFA
(Sepsis related Organ Failure Assessment). Sistem skoring yang berdasarkan
perubahan fisiologi lebih tepat untuk diterapkan pada pasien penyakit kritis dan
memiliki keeungggulan dibandingkan dengan sistem skoring yang berdasarkan
diagnosa. Setiap pasien yang dirawat di ICU terkadang memiliki lebih dari satu
dignosa dan bahkan terkadang diagnosa masih belum dapat ditegakkan meskipun
secara retrospektif. Sistem skoring berbasis diagnosa tidak dapat diaplikasikan untuk
pasien penyakit kritis di ICU (Vincent, 2010). Sistem skoring pada prinsipnya terdiri
dari dua bagian: skoring derajat keparahan yang diukur dengan angka, dimana
semakin tinggi angkanya maka semakin berat kondisinya dan perhitungan mortlitas
dan morbiditas.
Sebagian besar dari sistem skoring menilai mortalitas selama perawatan di
rumah sakit, meskipun ada beberapa pengukuran yang mengukur mortalitas 28 hari
sesudah keluar dari rumah sakit. Untuk mengembangkan sistem skoring, diperlukan
data dasar dari pasien dalam jumlah besar dari banyak ICU, dan idealnya berasal
dari banyak negara yang berbeda. Variabel yang diaplikasikan dapat dikelompokkan
menjadi 5 kategori :
1. Usia
2. Komorbiditas
3. Abnormalitas fisiologi
4. Diagnosis akut dan
5. Intervensi
J. Klasifikasi sistem skoring
Sistem skoring di ICU dapat dibagi menjadi beberapa metode antara lain
(Vincent, 2010., Bouch, 2008):
1. Anatomical scoring : Skoring didasarkan pada area anatomis yang terlibat.
Sistem skoring anatomis sebagian besar digunakan untuk pasien trauma (
contoh: Abbreviated Injury Score (AIS) dan Injury Severity Score (ISS)).
2. Therapeutic weighted score: Sistem skoring ini berdasarkan asumsi bahwa
semakin kritis pasen tersebut akan membutuhkan terapi dan prosedur yang lebih
banyak dan kompleks. Contoh : Therapeutic Intervention Scoring System
(TISS).
3. Organ-spesific scoring: Sistem skoring ini menyerupai skoring terapeutik
dimana diasumsikan pada pasien yang lebih kritis, maka organ yang terlibat
akan semakin banyak dan bervariasi dari disfungsi hingga 17 kegagalan organ.
Contoh : Sepsis- related /Sequential Organ Failure Assessment atau
Sequentional Organ Failure Assessment (SOFA).
4. Physiologic Assessment: Sistem ini berdasarkan derajat perubahan variabel
fisiologis yang rutin diukur. Contoh : Acute Physiology and Chronic Health
Evaluation (APACHE), dan Simplified Acute Physiology Score (SAPS)
5. Simple scale : Sistem yang mendasarkan pada pertimbangan klinis (hidup atau
mati).
6. Disease spesific : Sistem skoring yang mendasarkan pada diagnoa spesifik
pasien.
Contoh : kriteria Ranson’s untuk pankreatitis akut, penilaian gagal hati dengan
kriteria Child-Pugh. Pada prinsipnya tidak ada sistem skoring yang ideal untuk
diterapkan pada semua jenis kasus. Masing masing sistem skoring memiliki
keterbatasannya dalam menilai sesuai dengan jenis klasifikasi dari sistem
skoringnya. Sistem skoring yang ideal harus memiliki karakteristik sebagai berikut:
1. Berdasarkan data variabel yang sudah dan seringkali dilakukan
2. Terkalibrasi baik
3. Level diskriminasi yang tinggi
4. Dapat diaplikasikan pada semua populasi pasien
5. Dapat digunakan pada negara yang berbeda
6. Dapat memprediksi status fungsional atau kualitas hidup sesudah keluar dari
ICU (Bouch, 2008).
Sampai dengan saat ini belum ada sistem skoring yang dapat memenuhi semua
kriteria di atas. Oleh karena itu penulis berpendapat bahwa penggunaan sistem
skoring haruslah disesuaikan dengan keadaan dimana sistem skoring itu dilakukan
(sistem kerja rumah sakit, sumber daya manusia baik utama maupun pendukungnya,
demografi dan geografis).
K. Pengkajian Keperawatan
1. Primary Survey
a. Airway: Pastikan jalan napas pasien tidak terhalang; periksa napas. Berikan
oksigen seperti yang ditentukan menggunakan masker wajah atau kanul
hidung dan pantau efeknya.
b. Breathing: Perawat harus waspada dalam mendeteksi hiperventilasi terjadi di
alkalosis respiratorik yang menyebabkan kelelahan otot pernafasan. Jika ini
terjadi, pasien mungkin perlu ventilasi untuk membantu pernapasan
c. Circulation
1) Pantau tanda-tanda vital (suhu tubuh, denyut nadi dan laju respirasi,
tekanan darah, saturasi oksigen - menggunakan pulse oksimeter)
2) Pasien dapat dihubungkan ke monitor EKG untuk menilai status jantung.
3) Periksa CRT. Pengisian kapiler lambat menunjukkan bahwa ada
vasokonstriksi, yang akan mengakibatkan menurunnya pengiriman
oksigen ke jaringan
4) Periksa nyeri dada dan amati bibir dan kuku jari jika terdapat sianosis,
kecemasan dan kegelisahan
5) Monitor adanya tanda terjadinya edema, Internal bleeding
6) Pantau resusitasi cairan pasien
d. Disability
Kaji status kesadaran pasien (AVPU). Berkomunikasi secara lisan dengan
pasien karena sangat penting untuk memastikan bahwa pasien sadar dan
waspada.
e. Exposure/Enviroment
Pertahankan suhu tubuh pasien, kaji apakah ada deformitas, Edema, adanya
jejas di daerah Thorax
2. Secondary Survey
a. Pemeriksaan fisik
1) B1 : Breathing (Pernafasan/Respirasi)
Airways :
a) Apakah jalan nafas mudah tersumbat?
b) Apakah intubasi akan sulit?
c) Apakah pasien ompong atau menggunakan gigi palsu atau
mempunyai rahang yang kecil yang akan mempersulit laringoskopi?
d) Apakah ada gangguan membuka mulut atau kekakuan leher?
e) Apakah ada pembengkakan abnormal pada leher yang mendorong
saluran nafas bagian atas?
Penilaian jalan nafas berdasarkan skor LEMON
a) Skor maksimal 10 poin dengan memberikan 1 point untuk masing-
masing LEMON, berikut ini kriterianya :
b) L = Look externally / penampilan luar (trauma wajah, gigi seri besar,
jenggot atau kumis, lidah besar)
c) E = Evaluate / Evaluasi aturan 3-3-2 (jarak insisivus jarak-3 ruas jari,
hyoid- mental jarak-3 ruas jari, tiroid-ke-mulut jarak-2 ruas jari)
d) M = Mallampati (skor Mallampati > 3).
e) O = Obstruction / obstuksi (adanya kondisi seperti epiglottitis,
peritonsillar abses, trauma).
f) N = Neck mobility / mobilitas leher (keterbatasan mobilitas pada
leher)
g) Pasien yang termasuk kelompok intubasi sulit memiliki skor
LEMON yang lebih tinggi. 12,13
Breathing :
a) Pola napas : Dinilai kecepatan, irama, dan kualitas.
b) Bunyi napas: Bunyi napas normal; Vesikuler, broncho vesikuler.
c) Penurunan atau hilangnya bunyi napas dapat menunjukan adanya
atelektasis, pnemotorak atau fibrosis pada pleura.
d) Rales (merupakan tanda awal adanya CHF. emphysema) merupakan
bunyi yang dihasilkan oleh aliran udara yang melalui sekresi di
dalam trakeobronkial dan alveoli.
e) Ronchi (dapat terjadi akibat penurunan diameter saluran napas dan
peningkatan usaha napas)
f) Bentuk dada : Perubahan diameter anterior – posterior (AP)
menunjukan adanya COPD
g) Ekspansi dada : Dinilai penuh / tidak penuh, dan kesimetrisannya.
h) Ketidaksimetrisan mungkin menunjukan adanya atelektasis, lesi pada
paru, obstruksi pada bronkus, fraktur tulang iga, pnemotoraks, atau
penempatan endotrakeal dan tube trakeostomi yang kurang tepat.
i) Pada observasi ekspansi dada juga perlu dinilai : Retraksi dari otot-
otot interkostal, substrernal, pernapasan abdomen, dan respirasi
paradoks (retraksi abdomen saat inspirasi). Pola napas ini dapat
terjadi jika otot-otot interkostal tidak mampu menggerakan dinding
dada.
j) Sputum.
Sputum yang keluar harus dinilai warnanya, jumlah dan
konsistensinya. Mukoid sputum biasa terjadi pada bronkitis kronik
dan astma bronkiale; sputum yang purulen (kuning hijau) biasa
terjadi pada pnemonia, brokhiektasis, brokhitis akut; sputum yang
mengandung darah dapat menunjukan adanya edema paru, TBC, dan
kanker paru.
k) Selang oksigen
Endotrakeal tube, Nasopharingeal tube, diperhatikan panjangnya tube
yang berada di luar.
2) B 2 : Bleeding (Kardiovaskuler / Sirkulasi)
a) Irama jantung : Frekuensi x/menit, reguler atau irreguler
b) Distensi Vena Jugularis
c) Tekanan Darah : Hipotensi dapat terjadi akibat dari penggunaan
ventilator
d) Bunyi jantung : Dihasilkan oleh aktifitas katup jantung
(1) S1 : Terdengar saat kontraksi jantung / sistol ventrikel. Terjadi
akibat penutupan katup mitral dan trikuspid.
(2) S2 : Terdengar saat akhir kotraksi ventrikel. Terjadi akibat
penutupan katup pulmonal dan katup aorta.
(3) S3 : Dikenal dengan ventrikuler gallop, manandakan adanya
dilatasi ventrikel.
e) Murmur : terdengar akibat adanya arus turbulansi darah. Biasanya
terdengar pada pasien gangguan katup atau CHF.
f) Pengisian kapiler : normal kurang dari 3 detik
g) Perfusi hangat, kering, merah
h) Nadi perifer : ada / tidak dan kualitasnya harus diperiksa. Aritmia
dapat terjadi akibat adanya hipoksia miokardial.
i) PMI (Point of Maximal Impuls): Diameter normal 2 cm, pada
interkostal ke lima kiri pada garis midklavikula. Pergeseran lokasi
menunjukan adanya pembesaran ventrikel pasien hipoksemia kronis.
j) Edema : Dikaji lokasi dan derajatnya.
3) B 3 : Brain (Persyarafan/Neurologik)
a) Tingkat kesadaran
Penurunan tingkat kesadaran pada pasien dengan respirator dapat
terjadi akibat penurunan PCO2 yang menyebabkan vasokontriksi
cerebral. Akibatnya akan menurunkan sirkulasi cerebral. Untuk
menilai tingkat kesadaran dapat digunakan suatu skala pengkuran
yang disebut dengan Glasgow Coma Scale (GCS).
Eye (respon membuka mata) :
(4) : spontan
(3) : dengan rangsang suara (suruh pasien membuka mata).
(2) : dengan rangsang nyeri (berikan rangsangan nyeri, misalnya
menekan kuku jari)
(1) : tidak ada respon
Verbal (respon verbal) :
(5) : orientasi baik
(4) : bingung, berbicara mengacau ( sering bertanya berulang-ulang )
disorientasi tempat dan waktu.
(3) : kata-kata saja (berbicara tidak jelas, tapi kata-kata masih jelas,
namun tidak dalam satu kalimat. Misalnya “aduh…, bapak…”)
(2) : suara tanpa arti (mengerang)
(1) : tidak ada respon
Motoric (respon motorik) :
(6) : mengikuti perintah
(5) : melokalisir nyeri (menjangkau & menjauhkan stimulus saat
diberi rangsang nyeri)
(4) : withdraws (menghindar / menarik extremitas atau tubuh
menjauhi stimulus saat diberi rangsang nyeri)
(3) : flexi abnormal (tangan satu atau keduanya posisi kaku diatas
dada & kaki extensi saat diberi rangsang nyeri).
(2) : extensi abnormal (tangan satu atau keduanya extensi di sisi
tubuh, dengan jari mengepal & kaki extensi saat diberi rangsang
nyeri).
(1) : tidak ada respon
Tingkat kesadaran adalah ukuran dari kesadaran dan respon
seseorang terhadap rangsangan dari lingkungan, tingkat kesadaran
dibedakan menjadi :
(1) Compos Mentis (conscious), yaitu kesadaran normal, sadar
sepenuhnya, dapat menjawab semua pertanyaan tentang keadaan
sekelilingnya..
(2) Apatis, yaitu keadaan kesadaran yang segan untuk berhubungan
dengan sekitarnya, sikapnya acuh tak acuh.
(3) Delirium, yaitu gelisah, disorientasi (orang, tempat, waktu),
memberontak, berteriak-teriak, berhalusinasi, kadang berhayal.
(4) Somnolen (Obtundasi, Letargi), yaitu kesadaran menurun, respon
psikomotor yang lambat, mudah tertidur, namun kesadaran dapat
pulih bila dirangsang (mudah dibangunkan) tetapi jatuh tertidur
lagi, mampu memberi jawaban verbal.
(5) Stupor (soporo koma), yaitu keadaan seperti tertidur lelap, tetapi
ada respon terhadap nyeri.
(6) Coma (comatose), yaitu tidak bisa dibangunkan, tidak ada respon
terhadap rangsangan apapun (tidak ada respon kornea maupun
reflek muntah, mungkin juga tidak ada respon pupil terhadap
cahaya).
b) Refleks pupil
- Reaksi terhadap cahaya (kanan dan kiri)
- Ukuran pupil (kanan dan kiri; 2-6mm)
- Dilatasi pupil dapat disebabkan oleh : stress/takut, cedera
neurologis penggunaan atropta, adrenalin, dan kokain. Dilatasi
pupil pada pasien yang menggunakan respirator dapat terjadi
akibat hipoksia cerebral.
- Kontraksi pupil dapat disebabkan oleh kerusakan batang otak,
penggunaan narkotik, heroin.
4) B 4 : Bladder (Perkemihan – Eliminasi Uri/Genitourinaria)
a) Kateter urin
b) Urine : warna, jumlah, dan karakteristik urine, termasuk berat jenis
urine.
c) Normal produksi urine = ½ - 1 CC/ Kg BB / jam
d) Gangguan Sistem Perkencingan
5) B 5 : Bowel (Pencernaan – Eliminasi Alvi/Gastrointestinal)
a) Rongga mulut: Penilaian pada mulut adalah ada tidaknya lesi pada
mulut atau perubahan pada lidah dapat menunjukan adanya dehidarsi.
b) Bising usus: Ada atau tidaknya dan kualitas bising usus harus dikaji
sebelum melakukan palpasi abdomen. Bising usus dapat terjadi pada
paralitik ileus dan peritonitis. Lakukan observasi bising usus selama
± 2 menit. Penurunan motilitas usus dapat terjadi akibat tertelannya
udara yang berasal dari sekitar selang endotrakeal dan nasotrakeal.
c) Distensi abdomen: Dapat disebabkan oleh penumpukan cairan. Asites
dapat diketahui dengan memeriksa adanya gelombang air pada
abdomen. Distensi abdomen dapat juga terjadi akibat perdarahan
yang disebabkan karena penggunaan IPPV. Penyebab lain perdarahan
saluran cerna pada pasien dengan respirator adalah stres, hipersekresi
gaster, penggunaan steroid yang berlebihan, kurangnya terapi antasid,
dan kurangnya pemasukan makanan.
d) Nyeri
e) Pengeluaran dari NGT : jumlah dan warnanya
f) Mual dan muntah.
6) B 6 : Bone (Tulang – Otot – Integumen)
a) Warna kulit, suhu, kelembaban, dan turgor kulit: Adanya perubahan
warna kulit; warna kebiruan menunjukan adanya sianosis (ujung
kuku, ekstremitas, telinga, hidung, bibir dan membran mukosa).
Pucat pada wajah dan membran mukosa dapat berhubungan dengan
rendahnya kadar haemoglobin atau shok. Pucat, sianosis pada pasien
yang menggunakan ventilator dapat terjadi akibat adanya
hipoksemia. Jaundice (warna kuning) pada pasien yang
menggunakan respirator dapat terjadi akibatpenurunan aliran darah
portal akibat dari penggunaan FRC dalam jangka waktu lama. Pada
pasien dengan kulit gelap, perubahan warna tersebut tidak begitu
jelas terlihat,. Warna kemerahan pada kulit dapat menunjukan adanya
demam, infeksi. Pada pasien yang menggunkan ventilator, infeksi
dapat terjadi akibat gangguan pembersihan jalan napas dan suktion
yang tidak steril.
b) Integritas kulit
c) Perlu dikaji adanya lesi, dan dekubitus
b. Pemeriksaan penunjang
1) Pemeriksaan Lab
2) Pemeriksaan X ray
L. Diagnosa Keperawatan
Menurut Tim Pokja SDKI DPP PPNI (2017), diagnosis keperawatan adalah
suatu penilaian klinis mengenai respons klien terhadap masalah kesehatan atau
proses kehidupan yang dialaminya baik yang berlangsung actual maupun potensial.
Diagnosis keperawatan bertujuan untuk memperoleh gambaran respons klien
individu, keluarga dan komunitas terhadap situasi yang berkaitan dengan kesehatan.
Perumusan diagnosis keperawatan menggunakan format problem, etiology, sign and
symptom (PES) (Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2017). Diagnosis keperawatan yang
ditegakkan menurut Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (2017), diagnosa
yang dapat muncul pada pasien Multiple Organ Dysfunction Syndrome, yaitu :
1. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan hambatan upaya napas ditandai
dengan dispnea, penggunaan otot bantu pernapasan, pola napas abnormal
(D.0005)
2. Penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan preload ditandai
dengan edema, distensi vena jugularis, CVP meningkat/menurun, murmur
jantung, berat badan bertambah (D.0008)
3. Perfusi perifer tidak efektif berhubungan dengan penurunan aliran arteri
dan/vena ditandai dengan pengisian kapiler>3 detik, akral teraba dingin, warna
kulit pucat (D.0009)
4. Hypervolemia berhubungan dengan gangguan aliran balik vena ditandai dengan
dyspnea, edema anasarka dan/atau edema perifer, oliguria (D.0022)
M. Intervensi Keperawatan
Perencanaan adalah fase proses keperawatan yang penuh pertimbangan yang
sistematis dan mecakup pembuatan keputusan dan penyelesaian masalah. Dalam
perencanaan, perawat merujuk pada data pengkajian klien dan pernyataan diagnosis
sebagai petunjuk dalam merumuskan tujuan klien dan merancang intervensi
keperawatan yang diperlukan untuk mencegah, mengurangi, atau menghilangkan
masalah kesehatan klien (Kozier, Erb, Berman, & Snyder, 2010).
Adapun intervensi yang dapat dirumuskan sesuai dengan Standar Intervensi
Keperawatan Indonesia (SIKI) menurut (Tim Pokja SIKI DPP PPNI, 2018).
Sedangkan tujuan dan kriteria hasil mengacu pada Standar Luaran Keperawatan
Indonesia (SLKI) menurut (Tim Pokja SLKI DPP PPNI, 2018).
Menurut Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (2018) bahwa intervensi
yang tepat dari 4 diagnosa diatas, adalah :
No Diagnosa Rencana Keperawatan
Keperawatan Tujuan Intervensi
(SDKI) (SLKI) (SIKI)
1. (D.0005) Setelah dilakukan asuhan Dukungan Ventilasi (I. 01002)
Pola nafas tidak keperawatan selama ...x 24 Observasi
efektif berhubungan jam, maka diharapkan pola a. Identifikasi adanya kelelahan
dengan hambatan nafas membaik, dengan otot bantu napas
upaya napas kriteria hasil : b. Identifikasi efek perubahan
Pola Napas ( L.01004) posisi terhadap status
a. Dispnea menurun pernapasan
b. Penggunaan otot bantu c. Monitor status respirasi dan
napas menurun oksigenasi (mis. frekuensi dan
c. Pemanjangan fase kedalaman napas, penggunaan
ekspirasi menurun otot bantu napas, bunyi napas
d. Frekuensi napas membaik tambahan, saturasi oksigen)
e. Kedalaman napas Terapeutik
membaik a. Pertahankan kepatenan jalan
napas
b. Posisikan semi fowler atau
fowler
c. Berikan oksigen sesuai
kebutuhan (mis. nasal kanul,
masker wajah, masker
rebreathing atau non
rebreathing)
d. Gunakan bag-valve mask, jika
perlu
Edukasi
a. Ajarkan melakukan teknik
relaksasi napas dalam
b. Ajarkan mengungan posisi
secara mandiri
c. Ajarkan teknik batuk efektif
Kolaborasi
a. Kolaborasi pemberian
bronchodilator, jika perlu
2. (D.0008) Setelah dilakukan asuhan Perawatan Jantung (I.02075)
Penurunan curah keperawatan selama ...x 24 Obeservasi
jantung berhubungan jam, maka diharapkan curah a. Identifikasi tanda/gejala primer
dengan perubahan jantung meningkat, dengan penurunan curah jantung (mis.
preload kriteria hasil : dipsnea, kelelahan, edema,
Curah jantung (L.02008) ortopnea, proxysmal nocturnal
a. Kekuatan nadi perifer dypsnea, peningkatan CVP)
b. Identifikasi tanda/gejala sekunder
meningkat penurunan curah jantung (mis.
b. Edema menurun peningkatan berat badan,
c. Distensi vena jugularis hepatomegali, distensi vena
jugularis, palpitasi, ronkhi basah,
menurun
oligurua, batuk, kulit pucat)
d. Pucat/sianosis menurun c. Monitor tekanan darah
e. Murmur jantung menurun d. Monitor intake dan output cairan
f. Berat badan menurun e. Monitor berat badan setiap hari
g. Capirally refilltime pada waktu yang sama
f. Monitor saturasi oksigen
membaik < 3 detik.
g. Monitor EKG 12 sedapan
h. Monitor aritmia (kelainan irama
dan frekuensi)
i. Monitor nilai laboraturium
jantung (mis. Elektrolit, enzim
jantung, BNP, Ntpro-BNP)
j. Monitor fungsi alat jantung
k. Periksa tekanan darah dan
frekuensi nadi sebelum dan
sesudah aktivitas
l. Periksa tekanan darah dan
frekuensi nadi sebelum dan
sesudah pemberian obat
Terapeutik
a. Posisikan pasien semi-fowler
atau fowler dengan kaki kebawah
atau posisi nyaman
b. Berikan diet jantung yang sesuai
(mis. batasi asupan kafein,
natrium, kolestrol, dan makanan
tinggi lemak)
c. Berikan oksigen untuk
mempertahankan saturasi oksigen
>94%
Edukasi
a. Anjurkan beraktivitas fisik sesuai
toleransi
b. Anjurkan aktivitas fisik secara
bertahap
Kolaborasi
a. Kolaborasi pemberian anti
aritmia, jika perlu
b. Rujuk ke program rehabilitasi
jantung
3. (D.0009) Setelah dilakukan asuhan Perawatan Sirkulasi (I.02079)
Perfusi perifer tidak keperawatan selama ...x 24 Observasi
efektif berhubungan jam, maka perfusi perifer a. Periksa sirkulasi perifer (mis.
dengan penurunan membaik, dengan kriteria nadi perifer, edema, pengisian
aliran arteri hasil: kalpiler, warna, suhu, angkle
dan/vena Perfusi Perifer ( L.02011) brachial index)
a. Denyut nadi perifer b. Identifikasi faktor resiko
meningkat gangguan sirkulasi (mis.
b. Warna kulit pucat diabetes, perokok, orang tua,
menurun hipertensi dan kadar kolesterol
c. Pengisian kapiler membaik tinggi)
d. Akral membaik c. Monitor panas, kemerahan,
e. Turgor kulit membaik nyeri, atau bengkak pada
ekstremitas
Terapeutik
a. Hindari pemasangan infus atau
pengambilan darah di area
keterbatasan perfusi
b. Hindari pengukuran tekanan
darah pada ekstremitas pada
keterbatasan perfusi
c. Hindari penekanan dan
pemasangan torniquet pada area
yang cidera
d. Lakukan hidrasi
Edukasi
a. Anjurkan menggunakan obat
penurun tekanan darah,
antikoagulan, dan penurun
kolesterol, jika perlu
b. Anjurkan minum obat
pengontrol tekakan darah secara
teratur
c. Anjurkan menghindari
penggunaan obat penyekat beta
d. Ajurkan melahkukan perawatan
kulit yang tepat (mis.
melembabkan kulit kering pada
kaki)
e. Anjurkan program rehabilitasi
vaskuler
f. Anjurkan program diet untuk
memperbaiki sirkulasi (mis.
rendah lemak jenuh, minyak
ikan, omega3)
4. (D.0022) Setelah dilakukan asuhan Manajemen Hipervolemia
Hypervolemia keperawatan selama ...x 24 (I.03114)
berhubungan dengan jam, maka diharapkan Observasi
gangguan aliran keseimbangan cairan
a. Periksa tanda dan gejala
balik vena meningkat, dengan kriteria
hasil : hypervolemia (mis. ortopnea,
Keseimbangan cairan dispnea, edema, suara napas
(L.03020) tambahan, JVP/CVP meningkat)
a. Haluaran urin meningkat b. Identifikasi penyebab
hipervolemia
b. Edema menurun c. Monitor status hemodinamik
c. Nadi membaik 80-100x/ (mis. frekuensi jantung, tekanan
menit dan teratur darah, MAP,CVP, PAP, PCWP)
d. Tekanan darah membaik jika tersedia
120-130/80-90 mmHg d. Monitor intake dan output cairan
e. Turgor kulit membaik e. Monitor tanda hemokonsentrasi
(mis. kadar natrium, BUN,
hematokrit, berat jenis urine)
f. Monitor kecepatan infus secara
ketat
Terapeurtik
a. Timbang berat badan setiap hari
pada waktu yang sama
b. Batasi asupan cairan dan garam
Edukasi
a. Ajarkan cara membatasi cairan
Kolaborasi
a. Kolaborasi pemberian diuretik

N. Implementasi Keperawatan
Implementasi adalah fase ketika perawat mengimplementasikan intervensi
keperawatan. Implementasi terdiri dari melakukan dan mendokumentasikan
tindakan yang merupakan tindakan keperawatan khusus yang diperlukan untuk
melakukan intervensi (atau program keperawatan). Perawat melaksanakan atau
mendelegasikan tindakan keperawatan untuk intervensi yang disusun dalam tahap
perencanaan, kemudian mengakhiri tahap implementasi dengan mencatat tindakan
keperawatan dan respons klien terhadap tindakan tersebut (Kozier et al., 2010).
Fokus tahap pelaksanaan tindakan perawatan adalah kegiatan dan pelaksanaan
tindakan dari perencanaan untuk memenuhi kebutuhan fisik dan emosional.
Pendekatan tindakan keperawatan meliputi tindakan: independen, dependen, dan
interdependen. Pelaksanaan tindakan keperawatan harus diikuti oleh pencatatan
yang lengkap dan akurat terhadap suatu kejadian dalam proses keperawatan.
O. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi adalah tahap akhir dari proses keperawatan yang merupakan
perbandingan yang sistematis dan terencana antara hasil akhir yang teramati dan
tujuan atau kriteria hasil yang dibuat pada tahap perencanaan (Asmadi, 2008).
Terdapat dua tipe evaluasi (Asmadi, 2008), yaitu evaluasi formatif (proses) dan
evaluasi sumatif (hasil). Evaluasi formatif (proses) adalah aktivitas dari proses
keperawatan dan hasil kualitas pelayanan asuhan keperawatan. Evaluasi proses
harus dilaksanakan segera setelah perencanaan keperawatan diimplementasikan
untuk membantu menilai efektivitas intervensi tersebut. Evaluasi proses harus terus
menerus dilaksanakan hingga tujuan yang telah ditentukan tercapai. Sedangkan
evaluasi sumatif (hasil) adalah Rekapitulasi dan kesimpulan dari observasi dan
analisa status kesehatan sesuai waktu pada tujuan. Ditulis pada catatan
perkembangan. Focus evaluasi hasil (sumatif) adalah perubahan perilaku atau status
kesehatan klien pada akhir asuhan keperawatan. Tipe evaluasi ini dilaksanakan pada
akhir asuhan keperawatan secara paripurna.
Menurut Dinarti, Ratna, Heni, & Reni (2009) format yang digunakan untuk
evaluasi keperawatan yaitu format SOAP, Subjective, yaitu pernyataan atau keluhan
dari pasien, Objective, yaitu data yang observasi oleh perawat atau keluarga,
Analisys, yaitu kesimpulan dari objektif dan subjektif (biasaya ditulis dalam bentuk
masalah keperawatan). Ketika menentukan apakah tujuan telah tercapai, perawat
dapat menarik satu dari tiga kemungkinan simpulan: tujuan tercapai; yaitu, respons
klien sama dengan hasil yang diharapkan, tujuan tercapai sebagian;, yaitu hasil yang
diharapkan hanya sebagian yang berhasil dicapai, tujuan tidak tercapai, Planning,
yaitu rencana tindakan yang akan dilakukan berdasarkan analisis.
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Multiple Organ Dysfunction Syndrome (MODS) didefinisikan sebagai adanya
penurunan fungsi organ pada pasien dengan penyakit akut yang menyebabkan
ketidakmampuan untuk mempertahankan homeostasis tanpa intervensi, biasanya
melibatkan dua atau lebih sistem organ. MODS digambarkan sebagai jalur akhir dari
suatu proses pasien dengan penyakit kritis di ICU. Sepsis adalah diagnosis yang
seringkali ditemukan yang mengarah kepada kejadian MODS baik pada pasien
bedah ataupun non bedah. Pasien dapat berkembang menjadi MODS sebagai
konsekuensi dari infeksi primer atau ditumpangi dengan infeksi nosokomial.
Pemeriksaan diagnostic MODS bisa dilakukan dengan pendekatan klinis dengan
sistem skoring. Penatalaksanaan yang dapat dilakukan dibagi atas 2 yakni preventif
dan pengobatan dengan hal ingin dicapai terdapatnya adekuat oksigenasi jaringan,
mengobati infeksi, adekuat nutrisional support dan bila mungkin melakukan
tindakan seperti hemodialisis.
Saran
Dengan ditulisnya makalah ini nantinya dapat dimanfaatkan secara optimal
terkait dengan pengembangan mata kuliah Keperawatan Kritis. Penulis
menyarankan materi-materi yang ada dalam tulisan ini dikembangkan lebih lanjut
agar dapat nantinya menghasilkan tulisan-tulisan yang bermutu. Demikianlah
makalah ini penulis persembahkan, semoga dapat bermanfaat.
DAFTAR PUSTAKA

Asmadi. (2008). Konsep Dasar Keperawatan. (E. Anisa, Ed.). Jakarta: EGC.
Black, J.C & Hawks, J.H. (2014). Keperawatan medikal bedah edisi 8 buku 3.
Singapore: Elsheiver
Dinarti, Ratna, A., Heni, N., & Reni, C. (2009). Dokumentasi Keperawatan. Jakarta:
Trans Info Media.
Herwanto, V. & Amin Z. (2009). Sindrom disfungsi organ multipel. Departemen Ilmu
Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/ Rumah Sakit Dr.
Cipto Mangunkusumo: Jakarta
Johnson, M., et all. (2012). Nursing outcomes classification (NOC) Second Edition,
IOWA NANDA. (2012). Diagnosis keperawatan: Definisi dan klasifikasi 2012-
2014. (Made Sumarwati & Nike Budhi Subekti, penerjemah). Jakarta: EGC
Kozier, B., Erb, G., Berman, A., & Snyder, S. J. (2010). Buku Ajar Fundamental
Keperawatan Konsep, Proses dan Praktik. (D. Widiarti, E. A. Mardela, N. B.
Subekti, & L. Helena, Eds.) (7th ed.). Jakarta: EGC.
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia
Definisi dan Indikator Diagnostik (1st ed.). Jakarta: Dewan Pengurus Pusat PPNI.
Tim Pokja SIKI DPP PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia Definisi
dan Tindakan Keperawatan (1st ed.). Jakarta: Dewan Pengurus Pusat PPNI.
Tim Pokja SLKI DPP PPNI. (2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesia Definisi
dan Tindakan Keperawatan (1st ed.). Jakarta: Dewan Pengurus Pusat PPNI.

Anda mungkin juga menyukai