KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT karena atas rahmat dan hidayah-
Nya saya telah berhasil menyusun Modul Pendampingan PTSL guna mewujudkan aspek
legas hak atas tanah untuk mendukung pelaksanaan kegiatan monodisiplin KKN Tim I
Undip di Desa Sumbermulyo, Kecamatan Sarang, Kabupaten Rembang.
Panduan ini ditujukan untuk perangkat desa, pemuda, dan warga agar dapat
dimanfaatkan dalam mendukung program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap untuk
mendapatkan aspek legal dalam ha katas tanah terutama untuk meningkatkan pajak bumi
dan bangunan serta mempermudah dalam peralihan hak.
Pendafataran Tanah Sistematis Lengkap merupakan program dari pemerintah
Presiden Joko Widodo dalam mewujudkan aspek legak hak atas tanah di Indonesia. PTSL
merupakan wadah masyarakat untuk mewujudkan aspek legal tanah serta meningkatkan
pajak bumi dan bangunan.
Saya berharap dengan adanya modul ini warga Desa Sumbermulyo bisa bermanfaat
bagi peningkatan kapasitas sumber daya manusia sekarang maupun dimasa yang akan
datang.
Modul ini juga tak terlepas dari kesalahan dan kekeliruan saat penyusunannya, untuk
itu saya mengharapkan segala bentuk kritik dan saran demi penyempurnaan modul ini.
Saya, mengucapkan kepada pihak yang membantu pembuatan modul ini.
”Tetap Semangat dan Berikan Terbaik untuk Desa Sumbermulyo”
Rembang,
Januari 2020
Mohammad
Danang A
TIM 1 KKN
Undip
ii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL...............................................................................................................i
KATA PENGANTAR.............................................................................................................ii
DAFTAR ISI..........................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................I-1
BAB II DASAR HUKUM HAK ATAS TANAH.............................................................II-1
BAB III HAK ATAS TANAH...........................................................................................III-1
III.1 Hak Milik..........................................................................................................III-1
III.2 Hak Guna Usaha...............................................................................................III-4
III.3 Hak Guna Bangunan.........................................................................................III-6
III.4 Hak Pakai..........................................................................................................III-7
BAB IV PENDAFTARAN TANAH.................................................................................IV-1
IV.1 Landasan Pendaftaran Tanah...........................................................................IV-1
IV.2 Asas-asas Pendaftaran Tanah...........................................................................IV-1
IV.3 Tujuan Pendaftaran Tanah...............................................................................IV-3
IV.4 Sistem Pendaftaran Tanah................................................................................IV-4
IV.5 Pelaksanaan Pendaftaran Tanah di Indonesia..................................................IV-5
IV.6 Pemeliharaan Data Pendaftaran Tanah..........................................................IV-12
IV.7 Permasalahan Pendaftaran Tanah...................................................................IV-13
iii
BAB I
PENDAHULUAN
Tanah ditempatkan sebagai suatu bagian penting bagi kehidupan manusia. Seiring
dengan berkembangnya jumlah penduduk, kebutuhan akan tanah terus meningkat.
Kebutuhan-kebutuhan tersebut kadang-kadang menimbulkan perselisihan kepentingan
sehingga masalah pertanahan menjadi hal yang sering dihadapi oleh masyarakat.
Salah satu kebutuhan primer dari manusia adalah memiliki rumah yang tentunya
didirikan diatas sebidang tanah. Dalam pandangan masyarakat, dengan memiliki rumah,
seseorang dianggap telah mampu secara vinansial sehingga tidak mengherankan jika setiap
orang akan berupaya semaksimal mungkin memperoleh rumah dan tanah.
Hak Atas Tanah merupakan hak yang melekat yang tidak dihilangkan begitu saja.
Hak Atas Tanah salah satunya diperoleh dengan melakukan suatu transaksi misalnya jual
beli. Meskipun telah dilakukan transaksi jual beli, tidak secara otomatis Hak Atas Tanah
beralih kepada pembeli, karena terlebih dahulu harus melalui tahapan-tahapan tertentu
agar kepemilikan tanah dapat beralih dari pihak yang satu ke pihak yang lainnya.
Merupakan suatu kebutuhan bagi masyarakat di Indonesia selaku pemegang Hak
Atas Tanah untuk memperoleh kepastian dan perlindungan hukum atas haknya. Selain itu
adanya kepentingan masyarakat dan pemerintah untuk memperoleh informasi atas tanah,
yang diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang tanah dan
rumah susun yang sudah terdaftar, diperlukan adanya hukum tanah Indonesia yang salah
satu kebutuhannya mengatasi pendaftaran tanah demi terselanggaranya tertib hukum
administrasi pertanahan.
Tanah yang sudah didaftarkan harus memiliki bukti-bukti autentik yang tentunya
dalam bentuk tertulis. Bukti autentik tersebut dibawa dalam bentuk sertifikat Hak Atas
Tanah. Dengan diterbitkannya sertifikat hak tanah, secara yuridis, negara mengakui
kepemilikan atas suatu tanah terhadap mereka yang namanya terdaftar dalam sertifikat Hak
Atas Tanah tersebut. Dengan demikian, pihak lain tidak dapat menganggu gugat
kepemilikan atas tanah tersebut.
1
BAB II
DASAR HUKUM HAK ATAS TANAH
Tanah merupakan benda tidak bergerak yang dapat dimiliki oleh seseorang sudah
sepantasnya hak mengenai tanah diatur dalam suatu undang-undang. Sebelum ketentuan di
bidang pertanahan diatur dalam suatu undang-undang, sudah diatur dalam hukum adat
yang membagi kepemilikan atas tanah berdasarkan warisan.
Di Indonesia undang-undang yang mengatur masalah pertanahan adalah undang-
undang nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA).
UUPA merupakan implementasi dari UUD 1945 yang memberikan kekuasaan kepada
negara untuk menguasai bumi, air dan ruang angkasa.
Ketentuan mengenai hal ini dapat ditemukan dalam pasal 2 UUPA yang
menyebutkan sebagai berikut :
1. Atas dasar ketentuan dalam pasal 33 ayat 3 UUD dan hal hal sebagaimana yang
dimaksud dalam pasal 1 UUPA bahwa bumi, air dan ruang angkasa ttermasuk
kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai
oleh negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.
2. Hak menguasai dari negara termaksud dalam ayat (1) pasal ini memberi wewenang
untuk:
a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan, serta
pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut.
b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum orang-orang dengan
bumi, air dan ruang angkasa.
c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum orang-orang dan
perbuatan perbuatan hukum mengenai bumi, air dan ruang angkasa.
1
meniadakan hak bagi pihak lain yang tidak berkepentingan untuk mengambil alih Hak Atas
Tanah tersebut.
Merupakan hak negara untuk memberikan hak kepemilikan dan penguasaan atas
tanah kepada seseorang atau badan hukum. Hal ini diatur dalam pasal 4 ayat (1) UUPA
yang mengatakan bahwa “atas dasar hak menguasai dari negara sebagai yang dimaksud
dalam pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi yang disebut
tanah, yang diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun
bersama-sama dengan orang lain serta badan-badan hukum.
Berdasarkan ketentuan ini, negara memiliki hak sepenuhnya untuk membuat
peraturan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan pertanahan. Di Indonesia
UndangUndang nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria telah
menentukan hak-hak yang dapat dimiliki oleh seseorang dan badan hukum atas suatu
tanah. Hak-hak ini berdasarkan pasal 16 UUPA, terbagi atas:
1. Hak Milik
2. Hak Guna Usaha
3. Hak Guna Bangunan
4. Hak Pakai
5. Hak Sewa
6. Hak Membuka Tanah
7. Hak Memungut Hasil Hutan
8. Hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut yang akan ditetapkan
dengan undang-undang dan hak-hak yang sifatnya sementara sebagai yang
disebutkan dalam pasal 33.
Dan pembagian Hak Atas Tanah tersebut, dapat disimpulkan bahwa hak-Hak Atas
Tanah dibedakan menjadi 2, yakni hak yang bersifat tetap dan hak yang bersifat sementara.
Hak yang bersifat sementara diatur dalam pasal 53 ayat (1) UUPA yang mendefinisikan
sebagai berikut:
Hak hak yang bersifat sementara sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 16 ayat
(1) huruf h, ialah:
1. Hak gadai
2. Hak usaha bagi hasil
3. Hak menumpang
2
4. Hak Sewa tanah pertanian diatur untuk membatasi sifat-sifatnya yang bertentangan
dengan undang-undang ini dan hak-hak tersebut diusahakan hapusnya didalam
waktu yang singkat
3
BAB III
HAK ATAS TANAH
Seperti yang telah diuraikan bahwa tanah memegang peranan penting bagi
kehidupan manusia sehingga terdapat ketentuan yang mengatur hal-hal yang berkaitan
dengan tanah. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi suatu tindakan atau perbuatan yang
sewenang-wenang dari pihak yang satu ke pihak yang lainnya. Kesewenang-wenangan ini
tentunya dapat menimbulkan kerugian bagi salah satu pihak.
Mengingat pentingnya peranan tanah bagi kehidupan manusia hak atas kepemilikan
atas tanah bersifat mutlak sehingga hal ini secara tidak langsung meniadakan kemungkinan
Hak Milik atas suatu tanah diganggu gugat oleh pihak lainnya yang tidak memiliki
kepentingan atas tanah tersebut.
Hak Atas Tanah terdiri dari berbagai macam. Hak tersebut dapat diperoleh
berdasarkan transaksi, perbuatan hukum, atau ketentuan perundang-undangan yang
mengaturnya.
Secara garis besar Hak Atas Tanah hanya ada 2:
Terhadap hak tersebut diatas dapat dilekatkan hak lainnya yang disesuaikan dengan
peruntukan tanah tersebut sehingga diatas suatu tanah juga terdapat hak-hak lainnya yang
dikuasai atau dimiliki oleh orang lain.
Dibagian ini akan dijelaskan Hak Atas Tanah yang terdiri dari Hak Milik, Hak
Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai.
III.1 Hak Milik
Hak Milik merupakan hak terkuat atas suatu tanah. Dalam arti, hak ini bersifat
mutlak dan tidak dapat diganggu gugat oleh pihak lainnya. Definisi berdasarkan pasal 20
ayat (1) UUPA “Hak Milik adalah hak turun temurun, terkuat, dan terpenuh yang dapat
dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan dalam pasal 6”.
Pemberian sifat terkuat dan terpenuhi, tidak berarti bahwa hak itu merupakan hak
yang mutlak, tak terbatas, dan tidak dapat diganggu gugat sebagai hak Eigendom menurut
pengertiannya yang asli dulu. Hak Milik mempunyai fungsi sosial sebagaimana disebutkan
dalam pasal 6 UUPA. Kata-kata “terkuat” dan “terpenuhi” itu dimaksud untuk
1
membedakannya dengan Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, dan lainlain, yaitu untuk
mewujudkan bahwa diantara hak-Hak Atas Tanah yang dapat dimiliki orang, Hak Miliklah
yang mempunyai kekuatan hukum paling kuat dan paling penuh.
Sebagai suatu hak, Hak Milik tentunya memiliki kekuatan hukum paling kuat dan
paling penuh. Sebagai suatu hak, Hak Milik tentunya memiliki fungsi yang lain, yakni
fungsi ekonomi. Fungsi ekonomi dari Hak Milik dapat dilihat dari diperbolehkannya Hak
Milik dijadikan sebagai jaminan hutang dengan dibebani Hak Tanggungan sebagaimana
diatur dalam pasal (25) UUPA. “Hak Milik dapat dijadikan jaminan hutang dengan
dibebani hak tanggungan”. Dengan diperbolehkannya Hak Milik atas suatu tanah dijadikan
jaminan hutang, semakin memperjelas bahwa tanah sebagai benda tidak bergerak memiliki
nilai ekonomis sehingga sudah sepantasnya jika ada pembatasan-pembatasan terhadap
kepemilikan atas tanah. Pembatasan-pembatasan tersebut diatur dalam pasal 21 ayat (1)
dan ayat (2) UUPA yang menentukan bahwa yang ber Hak Atas Tanah Hak Milik adalah:
Sementara itu orang-orang yang wajib mendapatkan Hak Milik atas tanah menurut
pasal 21 ayat (3) dan ayat (4) UUPA sebagai berikut:
1. Warga Negara asing yang sesudah berlakunya UUPA memperoleh Hak Milik,
karena pewarisan tanpa wasiat atau percampuran hak karena perkawinan.
2. Warga Negara Indonesia yang mempunyai Hak Milik dan sesudah berlakunya
UUPA ini kehilangan kewarganegaraannya.
3. Seseorang yang disamping kewarganegaraan Indonesianya mempunyai
kewarganegaraan asing.
Ketentuan atas pasal ini merupakan pelaksanaan dari pemutihan atas Hak Milik dari
warga Negara Belanda dan Timur Asing yang berdiam di Indonesia sejak masa penjajahan.
Pada saat itu segala hal yang berkaitan dengan pertanahan tunduk kepada hukum yang
diberlakukan oleh pemerintah Hindia Belanda di Indonesia, serta pada masa itu
diberlakukan pembagian golongan penduduk menjadi golongan Eropa Timur Asing dan
Pribumi.
2
Orang-orang yang disebutkan dalam pasal 21 ayat (3) dan ayat (4) UUPA tersebut
wajib melepaskan Hak Miliknya dalam jangka waktu 1 tahun sejak diberlakukannya hak
tersebut atau hilangnya kewarganegaraan itu. Dengan demikian hak tersebut lepas karena
hukum dan tanahnya jatuh pada negara, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain yang
membebaninya tetap berlangsung.
Bagi warga Negara Indonesia, Hak Milik atas sebidang tanah dapat terjadi
berdasarkan hukum adat atau peraturan dari pemerintah. Selain itu Hak Milik atas suatu
tanah dapat juga diperoleh berdasarkan transaksi jual beli, penukaran, penghibahan,
pemberian dengan wasiat, pemberian menurut adat, dan perbuatanperbuatan lain yang
dimaksudkan untuk memindahkan Hak Milik. Transaksi-transaksi tersebut hanya dapat
dilakukan antar Warga Negara Indonesia sehingga jika dilakukan dengan Warga Negara
Asing, transaksi tersebut batal dari hukum.
Negara sebagai penguasa atas tanah yang ada diseluruh wilayah Republik Indonesia
mempunyai kewenangan untuk memberikan, sekaligus mencabut Hak Milik yang telah
diberikan kepada warga negaranya. Hak Milik dapat dicabut oleh negara jika ada
kepentingan umum yang harus dilakukan misalnya untuk pembangunan jalan tol atau
perbaikan jalan.
Pencabutan Hak Milik atas negara tentunya tidak dapat dilakukan dengan begitu saja
tanpa memberikan konpensasi kepada pemegang Hak Milik Atas Tanah. Selain pencabutan
Hak Milik Atas Tanah yang disebabkan oleh kepentingan umum Hak Milik atas tanah juga
hapus karena sebab-sebab tertentu sebagaimana yang ditentukan dalam pasal (27) UUPA
yang mengatur bahwa Tanah jatuh kepada Negara disebabkan:
1. Hak Guna Usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung
oleh Negara, dalam jangka waktu sebagaimana tersebut dalam pasal (29) UUPA,
pada perusahaan pertanian, perikanan atau peternakan.
2. Hak Guna Usaha diberikan atas tanah yang luasnya paling sedikit 5 haktare, dengan
ketentuan bahwa jika luasnya 25 ha atau lebih harus memenuhi investasi modal yang
layak dan teknik perusahaan yang baik, sesuai dengan perkembangan zaman.
3. Hak Guna Usaha dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain.
Dapat ditarik kesimpulan bahwa Hak Guna Usaha diberikan untuk yang luasnya
paling sedikit 5 ha. Hak Guna Usaha adalah hak khusus yang diadakan dengan tujuan
4
kepentingan ekonomi, seperti untuk mengusahakan tanah yang bukan miliknya sendiri
guna perusahaan pertanian, perikanan dan peternakan. Hak Guna Usaha dapat pula
dialihkan kepada pihak lain dan dapat dibebani hak tanggungan. Hak Guna Usaha tidak
dapat diberikan kepada Warga Negara Asing.
Hak Guna Usaha untuk badan-badan hukum yang bermodal asing hanya mungkin
dengan pembebasan yang disebutkan dalam pasal (55) UUPA, yaitu berlaku untuk
sementara selama sisa waktu hakhak tersebut dengan jangka waktu paling lama 20 tahun.
Selain itu hanya terbuka kemungkinan untuk diberikan kepada badan hukum, baik yang
sebagian atau seluruhnya bermodal asing tersebut dapat memperoleh Hak Guna Usaha jika
diperlukan oleh undangundang yang mengatur pembangunan nasional semesta berencana.
Hak Guna Usaha diberikan untuk kepentingan ekonomi sehingga sudah sepantasnya
hak yang diberikan tersebut memiliki jangka waktu. Hal ini disebabkan seiring dengan
berkembangnya kehidupan manusia yang tentunya akan diikuti meningkatnya jumlah
penduduk, kebutuhan akan tanah juga akan meningkat sehingga Negara harus menjaga
agar tanah-tanah yang dikuasai oleh Negara menjadi beralih fungsi dan secara tidak
langsung akan berpengaruh terhadap ketidakseimbangnya dari ekosistem kehidupan.
Mengenai jangka waktu Hak Guna Usaha diatur dalam pasal (29) UUPA :
a. Hak Guna Usaha diberikan untuk waktu paling lama 25 (dua puluh lima) tahun.
b. Untuk perusahaan yang memerlukan waktu yang lebih lama dapat diberikan Hak
Guna Usaha untuk waktu paling lama 35 ( tiga puluh lima ) tahun.
c. Atas permintaan pemegang hak dan mengingat keadaan perusahaannya, jangka
waktu yang dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) pasal ini dapat diperpanjang
dengan waktu yang paling lama 25 tahun dengan kemungkinan untuk dapat
memperpanjang tersebut sudah dianggap cukup dan secara tidak langsung sudah
memberikan hasil Ekonomis kepada pemegang Hak Guna Usaha.
Sebagai suatu hak, Hak Guna Usaha tentunya dapat dimiliki oleh setiap orang, tetapi
tidk dapat diberikan kepada semua orang karena pemberian atas hak ini didasarkankan
pada kewarganegaraan seseorang sebagaimana diatur dalam pasal 30 ayat (1) UUPA
bahwa yang dapat mempunyai Hak Guna Usaha adalah warga Negara Indonesia dan badan
hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indoneisa.
Orang atau badan hukum yang mempunyai Hak Guna Usaha dan tidak lagi memiliki
syarat-syarat sebagaimana tersebut dalam pasal 30 ayat (1) UUPA, dalam jangka waktu
5
satu tahun wajib melepaskan atau mengalihkan hak itu kepada pihak lain yang memenuhi
syarat. Jika Hak Guna Usaha yang bersangkutan tidak dilepaskan atau dialihkan dalam
waktu tersebut, hak itu lepas karena hukum, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain
akan diberikan, menurut ketentuan-ketentuan yang ditegakan dengan Peraturan
Pemerintah.
Hak Guna Usaha tidak dapat dipunyai oleh Warga Negara Asing. Badan hukum
yang bisa mempunyai hak itu hanyalah badan-badan hukum yang bermodal nasional yang
progresif, baik asli maupun tidak asli. Bagi Badan-Badan Hukum yang bermodal asing,
Hak Guna Usaha hanya dibuka kemungkinannya untuk diberikan jika hal itu diperlukan
oleh undang-undang yang mengatur Pembangunan Nasional semesta berencana.
6
diatur pada pasal 35 ayat (2) UUPA bahwa “Hak Guna Bangunan dapat beralih dan
dialihkan kepada pihak lain”.
Dengan dapat dialihkannya Hak Guna Bangunan sesuai dengan ketentuan tersebut,
Hak Guna Bangunan dapat juga dijadikan jaminan hutang dengan dibebani Hak
Tanggungan sebagaimana diatur dalam pasal 39 UUPA bahwa “Hak Guna Bangunan dapat
dijadikan jaminan hutang dengan dibebani hak tanggungan”.
Berdasarkan pasal 36 ayat (1) UUPA, yang dapat memiliki Hak Guna Bangunan
adalah setiap Warga Indonesia dan badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum dan
berkedudukan di Indonesia. Setiap pemegang Hak Guna Bangunan memiliki kewajiban
yang harus dijalankan dan memiliki akibat hukuman yang harus ditanggung jika tidak
menjalankan kewajibannya. Hal ini dimaksudkan agar Hak Guna Bangunan tidak salah
gunakan oleh pihak-pihak yang memiliki maksud maksud tertentu, sehingga tindakan
penyalahgunaan Hak Guna Bangunan secara tidak langsung akan dapat menghambat dan
bakalan membuat situasi pertanahan di Indonesia menjadi kacau. Oleh karena itu
berdasarkan pasal 36 ayat (2) UUPA, diwajibkan bahwa “orang atau badan hukum yang
mempunyai Hak Guna Bangunan dan tidak lagi memenuhi syarat-syarat yang tertulis
dalam ayat (1) pasal ini dalam jangka waktu 1 tahun wajib melepaskan atau mengalihkan
hak itu kepada pihak lain yang memenuhi syarat. Ketentuan ini berlaku juga terhadap
pihak yang memperoleh Hak Guna Bangunan jika ia memenuhi syarat syarat tersebut. Jika
Hak Guna Bangunan yang bersangkutan tidak dilepaskan atau dialihkan dalam jangka
waktu tersebut maka hak itu hapus karena hukum, dengan ketentuan bahwa hak hak pihak
lain akan dipindahkan memuat ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dengan peraturan
pemerintah. Hal-hal yang dapat menyebabkan Hak Guna Bangunan hapus diatur pada
pasal 40 yaitu karena:
7
III.4 Hak Pakai
Sebagaimana yang dipaparkan sebelumnya bahwa tanah memiliki nilai ekonomi
yang tinggi sehingga menjadi salah satu benda yang berharga. Tanah bernilai tinggi karena
semakin banyak jumlah manusia yang membutuhkannya. Disamping itu ketersediaan tanah
juga berkurang sehingga nilai dan harganya semakin naik dari tahun ketahun. Tidak dapat
dipungkiri bahwa seluruh manusia menjalankan aktifitasnya diatas permukaan tanah
sehingga sudah sewajarnya jika terhadap tanah dibuat ketentuanketentuan yang dapat
melindungi pemilik tanah dari iktikat buruk pihak-pihak lain.
Dibagian sebelumnya telah dipaparkan mengenai hak-Hak Atas Tanah, bahwa hak-
Hak Atas Tanah tersebut merupakan hak untuk menggunakan dan memiliki tanah.
Dibagian ini akan dipaparkan fungsi lain dari tanah, yakni fungsi hasil dari suatu tanah.
Fungsi dari suatu tanah disebut juga dengan Hak Pakai. Hak Pakai adalah hak untuk
menggunakan atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau
sesuai dengan pasal 41 ayat (1) UUPA yang mendefinisikan Hak Pakai yaitu : "hak untuk
menggunakan dan / atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh negara
atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang dibutuhkan
dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam
perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian
pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan
ketentuanketentuan undang-undang ini".
Adanya suatu hak untuk menggunakan dan memungut hasil dari tanah yang dapat
diaplikasikan sebagai hak untuk mendiami tanah dengan atau tanpa bangunan untuk jangka
waktu yang disepakati oleh pemilik hak tanah, baik perseorangan, badan hukum, maupun
negara sebagai pihak yang menguasai tanah.
Perbedaan antara Hak Pakai dan hak lainnya adalah jangka waktu pemakaian atas
tanah tidak ditentukan dalam ketentuan undang-undang. Jangka waktu tersebut diserahkan
kepada para pihak dan juga dapat didasarkan pada keperluan atas penggunaan Hak Pakai
tersebut.
Untuk gedung-gedung kedutaan negara asing, dapat pula diberikan Hak Pakai
karena hak ini dapat berlaku selama tanahnya dipergunakan untuk tujuan tersebut.
Orangorang dan badan-badan hukum asing dapat diberi Hak Pakai karena hak ini hanya
memberi yang terbatas.
8
Berdasarkan penjelasan ini dapat disimpulkan bahwa Hak Pakai merupakan hak
yang hanya diberikan kepada seseorang untuk beraktifitas tanpa memiliki apapun terhadap
tanah dan bangunan yang berdiri di atasnya.
Berdasarkan pasal 41 ayat (2), Hak Pakai dapat diberikan dalam hal berikut :
1. Selama jangka waktu yang tertentu atau selama tanahnya dipergunakan untuk
keperluan yang tertentu.
2. Dengan cuma-cuma dengan pembayaran atau pemberian jasa berupa apapun.
Mengenai subjek yang dapat yang menggunakan Hak Pakai menurut pasal 42 UUPA
sebagai berikut :
a. Warga Negara Indonesia
b. Orang Asing yang berkedudukan di Indonesia.
c. Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia yang berkedudukan di
Indonesia.
d. Badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia.
Eksistensi dari Hak Pakai didahului sebelumnya oleh adanya Hak Milik.
Sebagaimana telah dipaparkan dibagian terdahulu, bahwa Hak Milik hanya dapat dimiliki
oleh perorangan atau badan hukum dan oleh negara. Oleh karena itu, pengaturan terhadap
Hak Pakai diatas Hak Milik mempunyai ketentuan dan aturan yang berbeda. Hal ini
disebabkan oleh perbedaan kewenangan yang dimiliki oleh pemegang Hak Milik.
Sebagai suatu hak, Hak Pakai dapat dialihkan dari pihak yang satu kepada pihak
yang lainnya. Diperkenankannya Hak Pakai untuk dialihkan disebabkan oleh sifat dan Hak
Pakai tersebut merupakan hak yang melekat kepada subjek Hak Atas Tanah yang
umumnya telah didaftarkan sebagai pemegang hak atas Hak Pakai. Meskipun demikian,
subjek Hak Atas Tanah tersebut tidak dapat mengalihkan Hak Pakai yang dimiliki kepada
subjek Hak Atas Tanah lain dengan seketika tanpa melalui persyaratan-persyaratan yang
wajib untuk dipenuhi.
Jika terjadi peralihan Hak Pakai atas tanah negara tanpa mendapatkan izin dari
negara, peralihan atas Hak Pakai tersebut tidak sah secara yuridis. Sementara itu jika
peralihan Hak Pakai atas tanah Hak Milik tanpa ada perjanjian yang mengatur mengenai
hak peralihan Hak Pakai diatas tanah Hak Milik sebelumnya, perjanjian Hak Pakai tersebut
juga tidak sah secara yuridis. Oleh karena itu yang harus diperhatikan jika hendak
9
mengalihkan Hak Pakai kepada pijak lain adalah adanya persetujuan dari pemegang Hak
Milik atas tanah tersebut
10
BAB IV
PENDAFTARAN TANAH
IV.1 Landasan Pendaftaran Tanah
Pendaftaran atas suatu tanah merupakan hal yang harus dilakukan oleh siapa saja
yang melakukan transaksi atas tanah, baik itu transaksi jual beli, sewa-menyewa, maupun
lain sebagainya. Pendaftaran atas suatu tanah harus dilakukan sesuai dengan prosedur
sebagaimana yang sudah ditutupkan oleh peraturan perundang-undangan.
Hak Milik atas suatu tanah ataupun bangunan yang berdiri diatas tanah akan
mendapatkan perlindungan secara hukum dan secara yuridis mutlak memperoleh
pengakuan dari negara apabila dilakukan pendaftaran atau dengan kata lain, pendaftaran
tanah merupakan tanda bukti hak.
Pendaftaran tanah di Indonesia didalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (PP Nomor 24 Tahun1997). Pasal 1 ayat
(1) Peraturan Pemerintah ini mendefinisikan Pendaftaran Tanah sebagai berikut :
“Pendaftaran Tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah
secara terus–menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan, pengalihan,
pembangunan, penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk data
dan daftar mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk
pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan
Hak Milik atau satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya”.
Dari definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa Pendaftaran Tanah merupakan salah
satu sarana bagi pemerintah untuk melakukan pendataan atas hak suatu tanah. Pendataan
ini mutlak diperlukan agar semua tanah yang berada diwilayah Republik Indonesia jika
kepemilikannya akan tidak menjadi terlambat juga tidak kekacauan dalam hal penguasaan
Hak Atas Tanah.
IV.2 Asas-asas Pendaftaran Tanah
Untuk mempermudah setiap warga negara Indonesia untuk melakukan pendaftaran
atas tanah, pemerintah menetapkan asas-asas pendaftaran tanah di Indonesia sebagaimana
yang diatur pada pasal 2 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1997
tentang Pendaftaran Tanah yang mengatur bahwa:
“Pendaftaran Tanah dilaksanakan berdasarkan asas sederhana, aman, terjangkau,
mutakhir, dan terbuka”.
1
Asas-asas Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah, Pendaftaran Tanah tersebut dilaksanakan untuk hal-hal sebagaimana
dijelaskan dibawah ini, yaitu sebagai berikut:
2
tanah tersebut. Apabila hal ini teradi hak itu akan menimbulkan permasalahan hukum yang
rumit dan tentunya hal ini dapat menimbulkan kerugian material dan waktu untuk
menyelesaikan permasalahan kepemilikan atas suatu tanah dan bangunan.
Banyaknya tanah yang bersertifikat ganda maupun yang tidak bersertifikat terjadi
disebabkan oleh berbagai macam faktor. Namun secara garis besar, hal ini terjadi karena
nilai ekonimi dari tanah yang semakin lama semakin tinggi sehingga hal ini membawa
dampak bagi pihak–pihak yang beritikat tidak baik untuk menguasai tanah secara sepihak
dengan tujuan agar dapat memperoleh keuntungan ekonimis yang tinggi.
3
PP nomor 24 tahun 1997 membedakan jenis–jenis tanah apa saja yang harus
didaftarkan sebagimana yang dituturkan pada pasal 9 ayat (1) mengenai objek pendaftaran
tanah, meliputi:
a. Bidang bidang tanah yang dipunyai dengan Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak
Guna Bangunan dan Hak Pakai.
b. Tanah Hak Pengelolaan
c. Tanah Wakaf
d. Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun
e. Hak Tanggungan
f. Tanah Negara
1. Pemberian hak atas sebidang tanah secara individual adalah pemberian hak atas
sebidang tanah kepada seseorang atau kepada sebuah badan hukum tertentu atau
kepada beberapa orang atau kepada beberapa badan hukum yang secara bersama
bertindak sebagai penerima hak yang dilakukan dengan satu pembayaran.
2. Pemberian hak secara kolektif adalah pemberian hak atas beberapa bidang tanah
yang diberikan kepada seseorang atau kepada sebuah badan hukum tertentu atau
kepada beberapa orang atau kepada beberapa badan hukum yang secara bersama
bertindak sebagai penerima hak yang dilakukan dengan satu pembayaran.
Hak–Hak Atas Tanah yang diberikan secara individual maupun secara kolektif wajib
untuk dicantumkan sebagai persyaratan untuk izin peralihan hak. Izin peralihan hak ini
didaftarkan didalam sertifikat.
Dalam PP nomor 24 tahun 1997, dikenal adanya dua sistem dari pendaftaran tanah
di Indonesia. Yakni sistem pendaftaran secara sistematik dan sistem pendaftaran secara
seporadik.
1. Pendaftaran secara sistematik sebagaimana dijelaskan pada pasal 1 ayat (10) nomor
24 tahun 1997 sistematik adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali
yang dilakukan secara serentak yang meliputi semua objek pendaftaran tanah yang
belum didaftar dalam wilayah atau bagian wilayah suatu desa/kelurahan.
4
2. Pendaftaran tanah secara Seporadik dijelaskan pada pasal 1 ayat (11) PP Republik
Indonesia nomor 24 tahun 1997 seporadik adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk
pertama kali mengenai satu atau beberapa objek pendaftaran tanah dalam wilayah
atau bagian wilayah suatu desa/kelurahan secara individual atau massal.
5
yang dilakukan adalah dengan membuat peta dasar pendaftaran. Pasal 1 ayat (14) PP
nomor 24 tahun 1997 mendefinisikan peta dasar pendaftaran sebagai peta yang memuat
titik–titik bidang dasar teknik dan unsur–unsur geogarfis, seperti sungai, jalan, bangunan,
dan batas fisik bidang -bidang tanah.
Pembuatan peta sebagaimana yang dimaksud, dilakukan dengan teknik tertentu yang
dikenal sebagai titik dasar tematik. Pada pasal 1 ayat (13) PP nomor 24 tahun 1997
mendefinisikan titik teknik dasar sebagai titik yang mempunyai koordinat yang diperoleh
dari suatu pengukuran dan perhitungan dalam suatu sistem tertentu yang berfungsi sebagai
titik kontrol atau titik ikat untuk pengukuran dan rekontruksi batas. Berdasarkan pada titik
teknik dasar ini, kemudian dilakukan penetapan atas batas bidang–bidang tanah.
Mekanisme dari penetapan atas batas bidang–bidang tanah ini diatur dalam pasal 17 PP
nomor 24 tahun 1997 yang mengatur bahwa:
1. Untuk memperoleh data fisik yang diperlukan bagi pendaftaran tanah, bidang–
bidang tanah yang juga akan dipetakan diukur, setelah ditetapkan letaknya, batas–
batasnya dan memuat keperluannya ditempatkan tanah-tanah batas disetiap sudut
bidang tanah yang bersangkutan.
2. Dalam penetapan batas bidang tanah pada pendaftaran tanah secara sistematik dan
pendaftaran tanah secara seporadik, diupayakan pemetaan batas berdasarkan
kesepakatan para pihak yang berkepentingan.
3. Penetapan tanda-tanda batas termasuk pemeliharaannya wajib dilakukan oleh
pemegang Hak Atas Tanah yang bersangkutan.
4. Bentuk, ukuran dan teknik penempatan tanda batas ditetapkan oleh menteri.
Dapat terjadi suatu peristiwa seperti ini. Ada tanah yang telah dimiliki dengan suatu
hak, tetapi tanah tersebut belum terdaftar maupun belum ada surat ukur atas gambar
situasinya sehingga dapat menimbulkan keraguan atas pemetaan batas atas tanah tersebut.
Selain itu dapat juga terjadi batas tanah yang ada berdasarkan surat ukur dan gambar
situasi tidak sesuai lagi dengan keadaan yang sebenarnya. Hal ini tentunya dapat
menimbulkan masalah, sebab dapat terjadi pemilik tanah yang bersebelahan menganggap
bahwa tanah yang ditempati atau dimilik tersebut sebagian adalah miliknya. Masalah ini
tentunya dapat berkembang kepermasalahan hukum. Oleh kerena itu untuk memecah
terjadinya hal ini, berdasarkan pasal 18 PP nomor 24 tahun 1997 diatur mengenai jalan
keluar terhadap permasalahan tersebut, yakni sebagai berikut:
6
1. Penetapan batas bidang tanah yang sudah dipunyai dengan suatu hak yang belum
terdaftar atau yang sudah terdaftar, tetapi belum ada surat ukur/gambar situasinya
atau surat ukur/gambar situasinya yang tidak sesuai lagi dengan keadaan yang
sebenarnya dilakukan oleh adjudikasi dalam pendaftaran tanah secara sistematik
atau oleh kepala kantor pertanahan dalam pendaftaran tanah secara seporadik,
berdasarkan penunjukan batas oleh pemegang Hak Atas Tanah yang bersangkutan
dan sedapat mungkin disetujui oleh para pemegang Hak Atas Tanah yang
berbatasan, yang dituangkan dalam suatu berita acara yang ditandatangani oleh
mereka yang memberikan persetujuan.
2. Pemasangan batas bidang tanah yang akan diberikan dengan hak baru dilakukan
sesuai ketentuan sebagimana dimaksud pada pasal 18 ayat (1) PP nomor 24 tahun
1997 atau atas penunjukan instansi yang berwenang dalam bentuk berita acara
sebagaimana yang ditetapkan oleh menteri.
Apabila terjadi peristiwa yang masing masing pihak tetap berpegang pada
pendapatnya sehingga tidak tercapai kesepakatan mengenai batas-batas tanah, dalam hal ini
pengukuran atas tanah yang bermasalah dalam penentuan batas-batasnya tersebut
dilakukan berdasarkan pada batas-batas yang sesuai dengan kesepakatan yang ada
dilapangan, seperti yang tegaskan dalam pasal 19 ayat (1) PP nomor 24 tahun 1997. PPRI
nomor 24 tahun 1997 yaitu sebagai berikut “jika dalam penetapan batas bidang tanah
sebagaimana dimaksud dalam pasal 18 ayat (1) tidak diperoleh kesepakatan atas pemegang
Hak Atas Tanah yang bersangkutan dengan pemegang Hak Atas Tanah yang berbatasan,
pengukuran bidang tanahnya diupayakan untuk sementara dilakukan berdasarkan batas-
batas yang menurut kenyataannya merupakan batas-batas bidang tanah yang
bersangkutan”.
Pengukuran berdasarkan pada fakta yang ada dilapangan sebagaimana yang diatur
dalam pasal 19 ayat (1) tersebut dilakukan dengan kehadiran dari para pihak. Hal ini
dilakukan dengan tujuan agar pengukuran tersebut dapat diterima oleh para pihak dan
permasalahan mengenai batas tanah yang terjadi diantara para pihak dapat diselesaikan.
Namun dapat terjadi bahwa pada saat pengukuran salah satu pihak tidak hadir sehingga
pengukuran dilakukan dengan berdasarkan pada fakta yang ada dilapangan dan
pengukuran ini bersifat sementara. Hal ini berarti masih terbuka kemungkinan bagi pihak
yang berkepentingan, terutama pihak yang berbatasan dengan tanah tersebut untuk
7
melakukan ataupun meminta untuk dilakukan pengukuran atas tanah tersebut. Hal tersebut
diatur dalam pasal 19 ayat (2) sampai dengan ayat 4 PP nomor 24 tahun 1997 yang berisi
sebagai berikut:
Apabila hal-hal sebagaiman yang dimaksudkan pada pasal 19 ayat (2) sampai
dengan ayat (4) PP nomor 24 tahun 1997 tetap tidak dapat diterima oleh masingmasing
pihak, para pihak maupun salah satu pihak dapat mengajukan permasalahan tersebut
kepengadilan guna mendapatkan putusan yang berkekuatan hukum tetap, sebagaimana
yang dituturkan pasal 19 ayat (5) PP 24 tahun 1997.
“dalam hal telah diproleh kesepakatan melalui musyawarah mengenai batas-batas
yang dimaksudkan atau diperoleh kepastiannya berdasarkan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap, diadakan penyesuaian terhadap data yang ada pada
peta pendaftaran yang bersangkutan”.
Apabila telah tercapai kata sepakat mengenai batas-batas atas tanah, langkah
selanjutnya adalah pengukuran dan pembuatan peta pendaftaran tanah. Pengukuran dan
8
pembuatan peta pendaftaran tanah merupakan bagian penting sebelum dilakukan
pendaftaran atas tanah tersebut. Sebab pengukuran dan pembuatan peta ini berdasarkan
pada data-data konkret yang diperoleh dilapangan dan fakta yang sesungguhnya ada.
Dengan demikian hal yang tercantum didaftar tanah merupakan hal yang sesungguhnya.
Artinya yang hal tercantum dipendaftaran tanah, tercatat juga disertifikat yang nantinya
akan diterbitkan sehingga pihak lain tidak memiliki hak untuk membantah ataupun
mengakui bahwa tanah yang sertifikatnya telah diterbitkan tersebut adalah miliknya.
Proses pengukuran dan pemetaan bidang-bidang tanah dan pembuatan peta
pendaftaran tanah diatur dalam pasal 20 PP nomor 24 tahun 1997, yaitu sebagai berikut:
1. Jika dalam wilayah pendaftaran tanah secara seporadik belum ada peta dasar
pendaftaran, dapat digunakana peta lain, sepanjang peta tersebut memenuhi syarat
untuk peta pendaftaran.
2. Jika peta pendaftaran dan peta lainnya belum tersedia, pembuatan peta dasar
pendaftaran dilakukan bersamaan dengan pengukuran dan pemetaan bidang tanah
yang bersangkutan.
3. Ketentuan lebih lanjut mengenai pengukuran dan pemetaan bidang-bidang tanah dan
pembuatan peta pendaftaran ditetapkan oleh menteri.
Setelah tanah tersebut dipetakan, langkah selanjutnya adalah membuat daftar tanah.
Pembuatan daftar tanah ini dilakukan dengan membubuhkan nomor pendaftaran atas tanah
dipeta pendaftaran dan dibubuhkan didalam daftar tanah. Bentuk, isi, cara pengisian,
penyimpanan dan pemeliharaan daftar tanah diatur oleh menteri. Hal mengenai pembuatan
daftar tanah ini diatur dalam pasal 21 ayat (1) dan ayat (2) PP nomor 24 tahun 1997.
Jika suatu tanah yang sudah dipetakan dan dibuat daftar atas tanah tersebut, langkah
berikutnya adalah membuat surat ukur atas tanah tersebut. Surat ukur ini dilakukan
berguna untuk keperluan pendaftaran Hak Atas Tanah tersbeut sebagaimana yang di
maksudkan pada pasal 22 ayat (1) PP nomor 24 tahun 1997. Sebagaimana yang telah
dipaparkan sebelumnya bahwa hak atas suatu tanah dapat berupa hak yang baru muncul
dan dapat juga merupakan hak yang sudah ada sebelumnya. Untuk pendaftaran hak bagi
tanah yang dikategorikan sebagai hak baru, hak pengelolaan, tanah wakaf, Hak Milik, Hak
Milik Atas Satuan Rumah Susundan pemberian hak tanggungan, sebagaimana yang diatur
pada pasal 23 PP 24 tahun 1997 yaitu sebagai berikut:
Sementara itu pembuktian hak lama atas suatu tanah diatur pada pasal 24 pp nomor
24 tahun 1997, yaitu sebagai berikut:
1. Untuk keperluan pendaftaran hak, Hak Atas Tanah, yang berasal dari konfersi hak-
hak lama dibuktikan dengan alat-alat bukti mengenai adanya hak tersebut berupa
bukti-bukti tertulis, keterangan saksi dan atau pernyataan yang bersangkutan yang
kadar kebenarannya oleh panitia adjudikasi dalam pendaftaran tanah secara
sistematik atau oleh kepala kantor pertanahan dalam pendaftaran tanah secara
seporadik, dianggap cukup untuk mendaftar hak, pemegang hak dan hak-hak pihak
lain yang membebaninya.
2. Dalam hal tidak atau tidak teresedia secara lengkap alat-alat pembuktian
sebagaimana dimaksudkan pada pasal 24 ayat (1) PP nomor 24 1997, pembuktian
hak dapat dilakukan berdasarkan kenyataan penguasaan fisik bidang tanah yang
bersangkutan selama 20 tahun atau lebih secara berturut turut oleh peraturan
pendaftaran dan pendahulu-pendahulunya, dengan syarat:
a. Penguasaan tersebut dilakukan dengan itikat baik dan secara terbuka oleh yang
bersangkutan sebagai yang berHak Atas Tanah, serta diperkuat oleh kesaksian
orang yang dapat dipercaya.
b. Penguasaan tersebut, baik sebelum maupun selama pengumuman sebagaimana
dimaksud dalam pasal 26 tidak dipermasalahkan oleh masyarakat hukum adat
atau desa/kelurahan yang bersangkutan ataupun pihak lainnya.
10
Alat bukti tersebut dikumpulkan dan diteliti oleh Panitia Adjudikasi apabila
pendaftaran tanah tersebut merupakan pendaftaran secara sistematis dan akan dilakukan
oleh Kepala Kantor Pertanahan apabila Pendaftaran Tanah tersebut dilakukan secara
seporadik sebagaimana yang tertuang dalam pasal 25 ayat (1) PP 24 tahun 1997. Daftar
isian dalam peta bidang yang telah dikumpulkan akan diumumkan selama 30 hari dalam
hal pendaftaran tersebut dilakukan secara seporadik. Hal ini dilakukan agar dapat
mengetahui ada tidaknya pihak-pihak yang keberatan atas pendaftaran tersebut. Pihak yang
berkeberatan dalam hal ini adalah pihak-pihak yang berkepentingan atas tanah tersebut.
Pengumuman ini dapat dilakukan dikantor panitia adjukasi dan kantor kepala desa dalam
hal pendaftaran tanah secara sistematis. Dilakukan juga dikantor kelurahan pertanahan
kelurahan, media massa, suatu tempat lain yang dianggap perlu jika pendaftaran tanah
dilakukan secara seporadik sebagaimana diatur dalam pasal 26 PP no 24 tahun 1997.
Dalam jangka waktu pengumuman sebagaimana disebutkan dalam pasal 26 PP no
24 tahun 1997, diberikan kesempatan bagi pihak-pihak yang berkepentingan untuk
mengajukan keberatan mengenai data fisik atau data yuridis atas pendaftaran tanah
tersebut.
Adapun prosedur yang harus ditempuh bagi pihak yang berkeberatan adalah dengan
mengadakan musyawarah untuk mufakat, jika musyawarah tersebut berhasil, akan
dibuatkan berita acara penyelesaian. Jika ada perubahan pada pengumuman atas
pendaftaran tersebut, perubahan tersebut akan diadakan atau dilakukan pada peta bidang-
bidang tanah atau daftar isian yang bersangkutan. Sebaliknya jika musyawarah untuk
mufakat tidak memberi hasil atau gagal, ketua panitia adjudikasi dan kepala kantor
pertanahan memberitahukan secara tertulis kepada pihak yang berkeberatan untuk
mengajukan masalah tersebut ke pengadilan sebagaimana diatur dalam pasal 27 PP nomor
24 tahun 1997.
Setelah jangka waktu pengumuman tercapai akan dibenarkan dan disahkan dalam
suatu berita acara oleh panitia adjudikasi untuk pendaftaran tanah yang dilakukan secara
sistematik dan oleh kepala kantor pertanahan dalam hal pendaftaran tanah dilakukan secara
seporadik. Berita acara pengesahan tersebut nerupakan dasar untuk pembukuan Hak Atas
Tanah yang bersangkutan dalam buku tanah, pengakuan Hak Atas Tanah dan pemberian
Hak Atas Tanah.
Sebagai suatu hak, pembuktian bahwa hak yang dimiliki adalah sah tentunya
merupakan hak yang mutlak dan harus dimiliki. Dalam hal tanah, pembuktian Hak Atas
11
Tanah merupakan hal yang mutlak harus dilakukan. Sesuai dengan pasal 29 ayat (2) PP
nomor 24 tahun 1997 yang mengatakan bahwa pembukuan dalam buku tanah yaitu
pencatatannya di surat ukur sebagaimana yang dimaksud pada pasal 29 ayat (1) PP nomor
24 tahun 1997, hal itu merupakan bukti bahwa hak yang bersangkutan beserta pemegang
haknya dan bidang tanahnya yang diuraikan dalam surat ukur secara hukum telah didaftar
menurut peraturan pemerintah ini.
IV.6 Pemeliharaan Data Pendaftaran Tanah
Pendaftaran tanah terdiri atas dua kegiatan utama, yaitu pendaftaran tanah untuk
pertama kali dan pemeliharaan data pendaftaran tanah. Pasal 1 ayat (9) PP nomor 24 tahun
1997 mendefinisikan pendaftaran tanah untuk pertama kali sebagai kegiatan pendaftaran
tanah yang dilakukan terhadap objek pendaftaran tanah yang belum didaftar berdasarkan
peraturan pemerintah nomor 10 tahun 1961 tentang pendaftaran tanah atau PP nomor 24
tahun 1997 ini.
Sebagai suatu objek yang masuk kedalam kategori harta benda, sudah sewajarnya
apabila terjadi peralihan Hak Milik atas suatu tanah. peralihan Hak Milik atas suatu tanah
tentunya berakibat pada perubahan atas data kepemilikan atas suatu tanah sehingga apabila
peralihan atas kepemilikan atas suatu tanah tidak diikuti dengan pendaftaran atas
perubahan kepemilikan, maka akan dapat menimbulkan permalasalahan hukum.
Selain itu suatu tanah tentunya dapat mengalami perubahan, terutama dalam hal luas
tanah. Sebagai contoh tanah tersebut longsor atau terkikis atau sebab-sebab lainnya yang
mengakibatkan luas tanah tersebut menjadi berkurang. Oleh sebab itu sangat diperlukan
suatu data yang memuat keterangan-keterangan teknis dan yuridis suatu tanah. Dipasal 1
ayat (12) PP nomor 24 tahun 1997, pemeliharaan data pendaftaran tanah didefinisikan
sebagai kegiatan pendaftaran tanah untuk menyesuaikan data fisik dan yuridis dalam peta
pendaftaran, daftar tanah, daftar nomor, surat ukur, buku tanah dan sertifikat dengan
perubahan-perubahan yang terjadi kemudian.
Dari informasi tersebut dapat diketahui bahwa, tujuan utama dari dilaksanakannya
pemeliharaan data pendaftaran tanah adalah untuk dapat mengetahui status tanah tersebut,
sehingga dengan adanya data ini, akan memberikan kemudahan bagi pihak pihak yang
akan membutuhkan transaksi tanah sekaligus juga memberikan kepentingan hukum bagi
para pihak.
Sebagaimana yang telah dipaparkan sebelumnya bahwa kegiatan pendaftaran tanah
dapat dilakukan untuk pertama kali dan untuk kegiatan pemeliharaan. Pasal 12 ayat (1) PP
12
nomor 24 tahun 1997 menguraikan kegiatan-kegiatan yang dilakukan untuk pendaftaran
tanah pertama kali yaitu:
Sementara itu kegiatan yang dilakukan untuk pemeliharaan data pendaftaran tanah
Sebagaimana diuraikan di Pasal 12 ayat (1) PP nomor 24 tahun 1997 adalah:
1. Yang data fisik dan data yuridisnya sudah lengkap dan tidak ada yang
disengketakan, dilakukan pembukuannya dalam buku tanah menurut ketentuan Pasal
29 ayat (1) PP nomor 24 tahun 1997
2. Yang data fisik atau data yuridisnya belum lengkap dilakukan pembukuannya dalam
buku tanah dengan catatan memenuhi hal-hal yang belum lengkap
3. Yang data disik dan data yuridisnya disengketakan tetapi tidak diajukan gugatan ke
pengadilan dilakukan pembukuan dalam buku tanah dengan catatan mengenai
adanya sengketa tersebut dan kepada yang dilibatkan diberi tahukan oleh kepada
panitia adjudikasi untuk pendaftaran tanah secara sistematik atau kepala kantor
pertanahan untuk pendaftaran tanah secara seporadik. Untuk mengajukan gugatan
kepengadilan mengenai data yang disampaikan dalam waktu 60 hari dalam
pendaftaran tanah secara sistematik dan 90 hari dalam pendaftaran tanah secara
seporadik dihuting sejak disampaikannya pemberitahuan tersebut.
4. Yang data fisik dan data yuridisnya disengketakan dan diajukan gugatan
kepengadilan tetapi tidak ada perintah dari pengadilan untuk status quo dan tidak
13
ada putusan penyitaan dari pengadilan, dilakukan pembukuannya dalam buku tanah
dengan catatan mengenai adanya sengketa tersebut serta hal-hal yang disengketakan.
5. Yang data fisik dan data yuridisnya disengketakan dan diajukan ke kepengadilan
serta ada perintah untuk status quo atau putusan penyitaan dari pengadilan
pembukuannya dalam buku tanah dengan mengesampingkan nama pemegang
haknya dan hal-hal lain yang disengketakan serta mencatat didalamnya adanya sita
atau perintah status quo tersebut.
6. Permasalah-permasalahan yang terjadi sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 10
ayat (1) huruf b, huruf c, dan huruf d dampaknya dituturkan dalam Pasal 30 ayat (2),
ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) PP nomor 24 tahun 1997 yaitu sebagaimana berikut:
a. Pasal 30 ayat (2) Catatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dihapus
apabila telah diserahkan tambahan alat pembuktian yang diperlukan atau telah
lewat 5 tahun tanpa ada yang mengajukan gugatan ke pengadilan mengenai data
yang dibuktikan.
b. Pasal 30 ayat (3) Catatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dihapus
apabila :
Telah diperoleh penyelesaian secara damai antara pihak-pihak yang
bersangkutan.
Setelah dalam waktu 60 hari dalam pendaftaran tanah secara sistematik dan
90 dalam pendaftaran tanah secara seporadik yaitu disampaikannya
pemberitahuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c tidak
diajukan gugatan mengenai sengketa tersebut kepengadilan.
c. Pasal 30 ayat (4) Catatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dihapus
apabila :
Telah dicapai penyelesaian secara damai antara pihak-pihak yang
bersengketa.
Diperoleh keputusan pengadilan mengenai sengketa yang bersangkutan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
d. Pasal 30 ayat (5)
Penyelesaian pengisian buku tanah dan penghapusan catatan adanya sita atau
perintah status quo sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dilakukan
apabila:
14
Setelah diperoleh penyelesaian secara damai antara pihak-pihak yang
bersangkutan.
Diperoleh putusan pengadilan mengenai sengketa yang bersangkutan
yang telah terjadi memperoleh kekuatan hukum tetap dan pembebasan
sita atau status quo dari pengadilan.
15