Anda di halaman 1dari 14

MATERI AJAR PERTEMUAN KE-1

A. INFORMASI UMUM

Mata Kuliah : Bahasa Indonesia


Kode/SKS : UNP1.60.1404
Pokok Bahasan : Sejarah Perkembangan Bahasa Indonesia, Fungsi dan Kedudukan,
serta Variasi dan Ragam Bahasa Indonesia
Pertemuan ke- :1
Dosen : 2129, Nursaid, enespoerba18@gmail.com

B. KOMPETENSI DASAR

Pada akhir pembelajaran, diharapkan mahasiswa memiliki kompetensi:


1. Memahami konsep teoretis tentang sejarah singkat bahasa Indonesia
2. Memahami konsep teoretis-praktis fungsi dan kedudukan bahasa Indonesia
3. memahami konsep teoretis-praktis tentang variasi dan ragam bahasa;
4. memahami konsep teoretis-praktis tentang penggunaan variasi dan ragam bahasa dalam
berkomunikasi bahasa Indonesia; dan
5. memahami konsep teoretis-praktis tentang penggunaan ragaman bahasa baku bahasa
Indonesia.

C. Materi

1. Sejarah Singkat Perkembangan Bahasa Indonesia


Bahasa Indonesia yang dipakai sekarang berasal dari bahasa Melayu. Bahasa tersebut
sejak lama digunakan sebagai bahasa perantara (lingua franca) atau bahasa pergaulan, tidak
hanya di Kepulauan Nusantara, tetapi juga di hampir seluruh Asia Tenggara. Hal ini
diperkuat dengan ditemukannya prasasti-prasasti kuno yang ditulis dengan menggunakan
bahasa Melayu.
Secara resmi, bahasa Indonesia dikumandangkan pada peristiwa Sumpah Pemuda
tanggal 28 Oktober 1928. Peresmian nama bahasa Indonesia tersebut bermakna politis sebab
bahasa Indonesia dijadikan sebagai alat perjuangan oleh kaum nasionalis yang sekaligus
bertindak sebagai perencana bahasa untuk mencapai negara Indonesia yang merdeka dan
berdaulat. Peresmian nama itu juga menunjukan bahwa sebelum peristiwa Sumpah Pemuda
itu nama bahasa Indonesia sudah ada. Fakta sejarah menunjukkan bahwa sebelum tahun 1928
telah ada gerakan kebangsaan yang menggunakan nama “Indonesia” dan dengan sendirinya
pada mereka telah ada suatu konsep tentang bahasa Indonesia.
Bahasa Melayu, sebagai salah satu bahasa di kepulauan nusantara, sudah sejak lama
digunakan sebagai bahasa perhubungan. Sejak abad ke-7 Masehi, bahasa Melayu, atau lebih
tepatnya disebut bahasa Melayu kuno yang menjadi cikal bakalnya, telah digunakan sebagai
bahasa perhubungan pada zaman kerajaan Sriwijaya. Selain sebagai bahasa perhubungan,
pada zaman itu bahasa Melayu berfungsi sebagai bahasa kebudayaan, bahasa perdagangan,
dan sebagai bahasa resmi kerajaan. Bukti-bukti sejarah, seperti prasasti Kedukan Bukit di
Palembang bertahun 684, prasasti Kota Kapur di Bangka Barat bertahun 686 , prasasti
Karang Brahi antara Jambi dan Sungai Musi bertahun 688 yang bertuliskan Prae-Nagari dan
berbahasa Melayu kuno, memperkuat dugaan di atas. Selain itu, prasasti Gandasuli di Jawa
Tengah bertahun 632 dan prasasti Bogor bertahun 942 yang berbahasa Melayu Kuno

1
2

menunjukan bahwa bahasa tersebut tidak saja dipakai di Sumatra, tetapi juga dipakai di Jawa.
Beberapa alasan lain yang mendorong dijadikannya bahasa Indonesia sebagai bahasa
kebangsaan adalah (1) bahasa Indonesia sudah merupakan lingua franca, yakni bahasa
perhubungan antaretnis di Indonesia, (2) walaupun jumlah penutur aslinya tidak sebanyak
penutur bahasa Jawa, Sunda, atau bahasa Madura, bahasa Melayu memiliki daerah
penyebaran yang sangat luas dan yang melampaui batas-batas wilayah bahasa lain, (3)
bahasa Melayu masih berkerabat dengan bahasa-bahasa nusantara lain sehingga tidak
dianggap sebagai bahasa asing lagi, (4) bahasa Melayu mempunyai sistem yang sederhana
sehingga relatif mudah dipelajari, (5) faktor psikologis, yaitu adanya kerelaan dan keinsafan
dari penutur bahasa Jawa dan Sunda, serta penutur bahasa-bahasa lain, untuk menerima
bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan, dan (6) bahasa Melayu memiliki kesanggupan
untuk dapat dipakai sebagai bahasa kebudayaan dalam arti yang luas.

2. Kedudukan dan Fungsi Bahasa Indonesia


Bahasa Indonesia mempunyai dua kedudukan yang sangat penting, yaitu sebagai
bahasa nasional dan bahasa negara. Sebagai bahasa nsional, bahasa Indonesia di antaranya
berfungsi mempererat hubungan antarsuku di Indonesia. Fungsi ini, sebelumnya, sudah
ditegaskan di dalam butir ketiga ikrar Sumpah Pemuda 1928 yang berbunyi “Kami putra dan
putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia”. Kata „menjunjung‟ dalam
KBBI antara lain berarti „memuliakan‟, „menghargai‟, dan „menaati‟ (nasihat, perintah, dan
sebaginya.). Ikrar ketiga dalam Supah Pemuda tersebut menegaskan bahwa para pemuda
bertekad untuk memuliakan bahasa persatuan, yaitu bahasa Indonesia. Pernyataan itu tidak
saja merupakan pengakuan “berbahasa satu”, tetapi merupakan pernyatakan tekad
kebahasaan yang menyatakan bahwa kita, bangsa Indonesia, menjunjung tinggi bahasa
persatuan, yaitu bahasa Indonesia (Halim dalam Arifin dan Tasai, 1995: 5). Ini berarti pula
bahasa Indonesia berkedudukan sebagai bahasa nasional yang kedudukannya berada di atas
bahasa-bahasa daerah.
Kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara dikukuhkan sehari setelah
kemerdekaan RI dikumandangkan atau seiring dengan diberlakukannya Undang-Undang
Dasar 1945. Bab XV Pasal 36 dalam UUD 1945 menegaskan bahwa bahasa negara ialah
bahasa Indonesia. Sebagai bahasa negara, bahasa Indonesia berfungsi sebagai bahasa dalam
penyelenggaraan administrasi negara, seperti bahasa dalam penyeelenggaraan pendidikan
dan sebagainya.
Di dalam kedudukannya sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia berfungsi sebagai:
(1) Lambang kebanggaan kebangsaan, 2) Lambang identitas nasional, 3) Alat penghubung
antarwarga, antardaerah, dan antarbudaya, 4) Alat pengembangan kebudayaan, ilmu
pengetahuan dan teknologi Sebagai lambang kebanggaan kebangsaan, bahasa Indonesia
mencerminkan nilai-nilai sosial budaya yang mendasari rasa kebangsaan kita. Atas dasar
kebanggaan ini, bahasa Indonesia kita pelihara dan kita kembangkan, serta rasa kebanggaan
memakainya senantiasa kita bina. Pada fungsi ini, bahasa Indonesia kita junjung di samping
bendera dan lambang negara kita.
Di dalam melaksanakan fungsi ini, bahasa Indonesia tentulah harus memiliki
identitasnya sendiri pula sehingga ia serasi dengan lambang kebangsaan kita yang lain.
Bahasa Indonesia dapat memiliki identitasnya hanya apabila masyarakat pemakainya
membina dan mengembangkannya sedemikian rupa sehingga tidak bergantung padai unsur-
unsur bahasa lain.
Berkat adanya bahasa nasional, kita dapat berhubungan satu dengan yang lain
sedemikian rupa sehingga kesalahpahaman sebagai akibat perbedaan latar belakang sosial
budaya dan bahasa tidak perlu dikhawatirkan. Kita dapat bepergian dari pelosok yang satu ke
3

pelosok yang lain di tanah air dengan hanya memanfaatkan bahasa Indonesia sebagai satu-
satunya alat komunikasi.
Selain fungsi-fungsi di atas, bahasa Indonesia juga harus berfungsi sebagai alat yang
memungkinkan penyatuan berbagai suku bangsa dengan latar belakang sosial budaya dan
bahasa yang berbeda-beda ke dalam satu kesatuan kebangsaan yang bulat. Di dalam fungsi
ini, bahasa Indonesia memungkinkan berbagai-bagai suku bangsa itu mencapai keserasian
hidup sebagai bangsa yang bersatu dengan tidak perlu meninggalkan identitas kesukuan dan
kesetiaan kepada nilai-nilai sosial budaya serta latar belakang bahasa daerah yang
bersangkutan. Lebih dari itu, dengan bahasa nasional itu, kita dapat meletakkan kepentingan
nasional jauh di atas kepentingan daerah atau golongan.
Pada bagian terdahulu, secara sepntas, sudah dikatakan bahwai dalam kedudukannya
sebagai bahasa negara, bahasa Indonesia berfungsi sebagai: (1) bahasa resmi kenegaraan, 2)
bahasa pengantar di dalam dunia pendidikan, 3) alat perhubungan pada tingkat nasional untuk
kepentingan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan, dan 4) Alat pengembangan
kebudayaan, ilmu pengetahuan dan teknologi.
Sebagai bahasa resmi kenegaraan, bahasa Indonesia dipakai di dalam segala upacara,
peristiwa, dan kegiatan kenegaraan, baik dalam bentuk lisan maupun tulisan. Termasuk ke
dalam kegiatan-kegiatan itu adalah penulisan dokumen dokumen yang dikeluarkan oleh
pemerintah dan badan-badan kenegaraan lainnya, serta pidato-pidato kenegaraan.
Pada fungsi kedua ini, bahasa Indonesia dijadikan sebagai pengantar di lembaga-
lembaga pendidikan mulai taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi. Meskipun lembaga-
lembaga pendidikan tersebut tersebar di daerah-daerah, mereka harus menggunakan bahasa
Indonesia sebagai bahasa pengantar. Memang ada pengecualian untuk kegiatan belajar-
mengajar di kelas-kelas rendah sekolah dasar di daerah-daerah. Mereka diizinkan
menggunakan bahasa daerah sebagai pengantar.
Di dalam hubungannya dengan fungsi ketiga di atas, yakni alat perhubungan pada
tingkat nasional untuk kepentingan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan, bahasa
Indonesia dipakai bukan saja sebagai alat komunikasi timbal-balik antara pemerintah dan
masyarakat luas, dan bukan saja sebagai alat perhubungan antardaerah dan antarsuku,
melainkan juga sebagai alat perhubungan di dalam masyarakat yang sama latar belakang
sosial budaya dan bahasanya.
Sebagai alat pengembangan kebudayaan, ilmu pengetahuan dan teknologi, bahasa
Indonesia adalah satu-satunya alat yang memungkinkan kita membina dan mengembangkan
kebudayaan nasional sedemikian rupa sehingga ia memiliki ciri-ciri dan identitasnya sendiri,
yang membedakannya dari kebudayaan daerah. Pada waktu yang sama, bahasa Indonesia kita
pergunakan sebagai alat untuk menyatakan nilai-nilai social budaya nasional kita (Halim
dalam Arifin dan Tasai, 1995: 11-12).

3. Variasi Bahasa
Topik yang paling populer dan utama dalam sosiolinguistik adalah variasi bahasa.
Bahkan, berkembang pendapat bahwa sosiolinguistik adalah interdisipliner ilmu yang
menelaah variasi bahasa atau bahasa dalam masyarakat.
Variasi bahasa memang dipandang sebagai suatu fenomena kebahasaan yang
memiliki dua sisi. Dari sisi internal, variasi dianggap sebagai varian yang tidak memberikan
pengaruh atas struktur. Sementara itu, dari sisi lainnya yaitu sudut sosiolinguistik, variasi
sangat dicurigai karena selalu mengandung dan mengundang makna. Sebagai contoh, jika
ada tuturan /diberiken/, dalam kajian linguistik bentuk itu merupakan varian /diberikan/,
tetapi dari sudut linguistik akan diungkap kelompok (sosial) mana yang mengucapkan
/diberikan/ dan kelompok mana yang mengucapkan /diberiken/.
4

Selain sebagai fenomena yang memiliki dua matra, pembicaraan tentang variasi
menjadi lebih menarik lagi karena baik dalam bahasa Inggris maupun bahasa Indonesia,
dijumpai istilah-istilah yang tumpang tindih. Istilah-istilah tersebut, dalam bahasa Inggris
adalah variety, variation, register, dan style, sedangkan dalam bahasa Indonesia adalah ragam
bahasa, variasi bahasa, langgam bahasa, dan sebagainya. Jika dalam sosiolinguistik
perbedaan (variasi) pengucapan, misalnya, perlu dicurigai maka perbedaan istilah apa lagi
jika digunakan secara tumpang-tindih, perlu dibenahi.
Relevan dengan uraian tersebut, dalam handout (ragangan) perkuliahan ini disajikan
hal-hal yang berkaitan dengan variasi bahasa. Hal-hal tersebut mencakup pembenahan istilah
yang terkait dengan topik variasi bahasa, pengertian, penyebab, dan jenis variasi bahasa.

a. Pengertian Variasi Bahasa


Dalam bahasa Indonesia, dijumpai beberapa kata atau istilah yang cenderung
dimaknai secara tumpang-tindih, misalnya kata variasi, ragam, langgam, laras, dan
sebagainya. Masih dapat dijumpai beberapa buah kata atau istilah yang maknanya mengacu
ke variasi (dalam cakupan bahasa, khususnya sosiolinguistik), misalnya kata dialek dan
logat. Oleh sebab itu, dalam bab ini perlu dilacak dan didudukkan pengertian kata atau
istilah tersebut, khususnya kata variasi bahasa, ragam bahasa, dan langgam bahasa.
Memang, kata variasi dapat ditukar dengan kata ragam, misalnya dalam pernyataan, “Menu
di rumah makan itu tidak bervariasi", menjadi, "Menu di rumah makan itu tidak beragam".
Namun, sebagai istilah khusus, misalnya dalam sosiolinguistik, tidak mungkin dua istilah
memiliki pengertian yang benar-benar sama. Paling tidak, nuansa pemakaiannya berbeda.
Tuturan “Besok, kita mengenakan pakaian seragam” merupakan tuturan yang lazim, tetapi
tuturan, “Besok, kita mengenakan pakaian yang sevariasi” bukanlah tuturan yang lazim.
Pakar sosiolinguistik, misalnya Chaer dan Leonie (1995:80) menyamakan
pengertian variasi bahasa dan ragam bahasa. Hal ini terlihat dalam pengungkapan teorinya
"... variasi atau ragam bahasa ....". Pada bagian berikutnya, Chaer dan Leonie (1995: 80)
menyatakan, "(Catatan: istilah variasi sebagai padanan variety bukan variation)".
Penyamaan kata variasi dengan ragam oleh kedua orang pakar itu menumbuhkan
pertanyaan, misalnya, "Jika kata variasi atau ragam bahasa diserap dari kata variety, apa
padanan kata variation dalam bahasa Indonesia?"
Dipicu oleh penjelasan Chaer dan Leonie tentang kata variety dan variation, dilacak
penggunaan dua kata tersebut dalam buku-buku sosiolinguistik dan kamus linguistik. Buku-
buku yang digunakan sebagai objek pelacakan tersebut ditulis oleh Trudgill (1974),
Hudson (1980), Wardhaugh (1988), Fasold (1984), dan Holmes (1995), sedangan kamus
yang dilacak adalah kamus yang ditulis oleh Kridalaksana (1993).
Trudgill (1974:109) tidak menjelaskan batasan istilah variety dan variation. Bahkan,
Trudgill menggunakan istilah style ketika mengutip contoh Geertz tentang tiga tuturan
bahasa Jawa yang artinya Are you going to eat rice and cassava now?" (Apakah Anda akan
makan nasi dan ubi sekarang?). Tuturan bahasa Jawa tersebut adalah sebagai berikut.
(1) Menapa panjenengan badhe dhahar sekul kaliyan kaspe samenika?
(2) Napa sampeyan ajeng nedha sekul lan kaspe saiki?
(3) Apa kowe arep mangan sega lan kaspe saiki?
Dalam menjelaskan tentang tiga tuturan berbahasa Jawa di atas, Trudgill (1974:109)
menyatakan hal sebagai berikut.
Many aspects of the social situation, then, can contribute to deciding which
linguistic variety is to be employed on a particular occasion linguistic varieties
of this type can be referred to as different styles (garis bawah dikutip asli
berdasarkan sumber).
5

Berdasarkan kutipan di atas serta penjelasan Trudgill, disimpulkan bahwa Trudgill


tidak menggunakan istilah variation, tetapi menggunakan istilah variety dan style.
Pakar lain, Hudson (1980:24) secara sederhana menjelaskan pengertian variety, yaitu
"... a set of linguistic items with similar distribution". Penjelasan Hudson ini dikomentari
Wardhaugh (1988:22) bahwa (1) seluruh tuturan berikut merupakan variety, misalnya
bahasa Inggris, bahasa Perancis, bahasa Inggris-London, bahasa Inggris yang digunakan
komentator sepak bola, dan lain-lain, serta (2) dalam konteks masyarakat anekabahasa, kata
variety memang dapat dimaknai sebagai "sesuatu yang lebih besar daripada bahasa", tetapi
dalam masyarakat ekabahasa, kata variety hendaknya dimaknai sebagai "sesuatu yang lebih
kecil daripada bahasa".
Karena tidak puas dengan penjelasan Hudson tentang variety, Wardhaugh
(1988:22) mengutip pendapat Ferguson (1971), yaitu sebagai berikut.
Any body of human speech patterns which is sufficiently homogeneous to be
analyzed by available techniques of synchronic description and which has a
sufficiently large repertory of elements and their arrangements or processes
with broad enough semantic scope to function in all normal contexts of
communication.
Kutipan di atas mengisyaratkan bahwa kata variety mengacu pada (1) seperangkat
khas butir linguistik atau pola tuturan manusia, dan (2) secara unik dapat dikaitkan dengan
faktor di luar tuturan atau eksternal seperti suatu kawasan geografis dan suatu kelompok
sosial.
Dalam menjelaskan tentang "Variation Studies: some Findings and Issues",
Wardhaugh (1988:155-86) tidak memberikan batasan yang tegas makna variation. Kata
variation dikaitkan dengan variabel linguistik, seperti terlihat dalam kutipan, "... using the
concept of the 'linguistic variable' to examine linguistic variation in society, ....".
Dalam uraiannya tentang telaah variation tersebut, Hudson mengungkap berbagai
hasil penelitian terdahulu tentang variation, misalnya penelitian Fischer yang meneliti
variabel /ng/ misalnya dalam pengucapan singing dan singin, serta penelitian Labov di
New York yang meneliti variabel /r/ seperti dalam pengucapan floor dan fourth.
Berdasarkan uraian itu, disimpulkan bahwa kata variation berpadanan dengan kata bahasa
Indonesia variasi. Hal ini akan diuraikan lebih lanjut.
Fasold (1984:158) tidak membicarakan secara khusus penggunaan istilah variety
dan variation. Penggunaan kata variety digunakan Fasold ketika menguraikan sikap bahasa
atau Language Attitudes, seperti terlihat dalam kutipan, "... where a society has linguistic
varieties in diglossic relationship, the usual attitude is that the High language is a purer
and better language than the Low language". Berdasarkan kutipan tersebut, disimpulkan
bahwa kata bahasa Inggris variety lebih tepat diindonesiakan menjadi ragam. Jadi, language
variety diindonesiakan menjadi ragam bahasa.
Holmes (1995:24) bahkan menyamakan kata variety dengan code. Hal ini terlihat
dalam kutipan, "... but English is the appropriate variety or code ....". Pada bagian lain,
Holmes (1995:24) menggunakan kata style, seperti dalam kutipan, "Kalala speaks an
informal style Shi, his tribal language, ....". Jadi, Holmes terlihat merujuk pandangan
Hudson dalam menggunakan kata variety, dan merujuk pandangan Trudgill dalam
menggunakan kata style. Untuk sementara, berdasarkan pandangan Trudgill dan Homes,
disimpulkan bahwa kata style lebih tepat diindonesiakan menjadi langgam, sehingga
language style diindonesiakan menjadi langgam bahasa.
Sebelum ditarik simpulan akhir tentang perbedaan cakupan makna kata variasi,
ragam, dan langgam, perlu dilacak lebih lanjut pendapat Kridalaksana. Kridalaksana
(1993: 225) menjelaskan kata variasi sebagai berikut.
6

Variasi - variation: 1. ujud pelbagai manifestasi bersyarat maupun tak


bersyarat dari suatu satuan; 2. konsep yang mencakup variabel dan
varian.
Dalam penjelasan berikutnya tentang kata variabel dan varian, Kridalaksana
(1993: 224-5) menyatakan hal berikut.
Variabel - variable: 1. sosiolinguistik = satuan bahasa yang paling terpengaruh
oleh variasi sosial dan stilistis, dan dalam jangka panjang paling
mudah berubah.
Varian = variant: 1. nilai tertentu dari suatu variabel, misalnya variabel /e/
dalam bahasa Indonesia mempunyai varian [e] dan [E].
Sementara itu, dalam menjelaskan istilah tentang ragam dan ragam bahasa,
Kridalaksana (1993: 184) mengungkapkan hal berikut.
Ragam - lih. ragam bahasa ragam bahasa (register, manner of discourse,
key), variasi bahasa menurut pemakaian, yang berbeda-beda
menurut topik yang dibicarakan, menurut hubungan pembicara
kawan bicara dan orang yang dibicarakan, dan menurut medium
pembicaraan.
Berdasarkan pelacakan makna dan pemakaian kata-kata variasi, ragam, dan
langgam, disimpulkan tiga hal. Pertama, kata variasi dalam bahasa Indonesia merupakan
padanan kata variation dalam bahasa Inggris yang artinya ujud berbagai (pelbagai)
manifestasi bersyarat maupun tak bersyarat dari suatu satuan (mungkin fonem, morfem,
maupun sintaksis) yang dihasilkan oleh alat ucap manusia dan dapat dikaitkan dengan
faktor eksternal seperti daerah geografis maupun kelompok sosial. Dalam bidang morfem,
misalnya, pengucapan kata (telur) bervariasi dengan (telor). Kedua, kata ragam dalam
bahasa Indonesia merupakan padanan kata variety dalam bahasa Inggris yang artinya
akumulasi ujud pelbagai manifestasi bersyarat maupun tak bersyarat dari suatu satuan
(mungkin fonem, morfem, maupun sintaksis) yang dihasilkan oleh alat ucap manusia dan
dapat dikaitkan dengan faktor eksternal seperti daerah geografis maupun kelompok sosial.
Karena merupakan akumulasi, maka bentuk ragam baku, ragam nonbaku, ragam resmi,
ragam geografis dan sebagainya merupakan bentuk yang berterima, tetapi bentuk variasi
baku, variasi nonbaku, variasi resmi, variasi geografis merupakan bentuk-bentuk yang tidak
berterima dalam bahasa Indonesia. Ketiga, kata style dalam bahasa Inggris lebih tepat
diindonesiakan menjadi langgam dalam bahasa Indonesia, yang artinya ragam bahasa
dalam masyarakat Indonesia yang mengenal undhak-usuk (tata krama) tertentu dalam
berbahasa yang disebabkan oleh konteks komunikasi terutama mitratutur dan topik, misalnya
dalam masyarakat Jawa, Sunda, dan Minangkabau. Dalam masyarakat Jawa dikenal langgam
ngoko dan langgam kromo, dalam masyarakat Sunda dikenal langgam alus dan langgam
kasar, dalam masyarakat Minangkabau dikenal langgam kato mandaki, langgam kato
manurun, langgam kato malereang, dan langgam kato mandata yang secara umum dikenal
sebagai kato nan ampek.
Meskipun tidak dijelaskan dalam uraian terdahulu, menurut penulis perlu dibatasi
makna kata laras. Kata laras lebih tepat dipadankan dengan kata bahasa Inggris register,
yaitu ragam bahasa (yang di dalamnya memiliki ciri variasi yang khas pula) yang
dikaitkan dengan bidang kerja atau profesi dan bidang keilmuan tertentu. Sebagai contoh,
kata atau istilah morfologi dalam laras kebahasaan berkaitan dengan ilmu tentang morfem
sedangkan dalam laras geologi berkaitan dengan ilmu tentang tekstur tanah. Oleh sebab
itu, dalam bahasa Indonesia bentuk-bentuk seperti laras bahasa jurnalistik, laras bahasa
militer, laras bahasa kesehatan, dan sebagainya merupakan bentuk-bentuk yang berterima.
Kata jenis, misalnya jenis bahasa mengacu pada bahasa dalam pengertian umum,
misalnya bahasa Inggris, bahasa Indonesia, bahasa pertama, bahasa asing, bahasa kedua,
7

dan lain-lain. Jadi, pembicaraan tentang variasi, ragam, langgam, dan laras hanya dikaitkan
dengan satu bahasa atau dalam satu bahasa, sedangkan jika membicarakan jenis bahasa
berati membicarakan tentang lebih dari satu bahasa atau antarbahasa.

b. Sumber Pencetus Variasi Bahasa


Menurut Nababan (1984:13-14) bahasa memiliki dua aspek mendasar, yaitu bentuk
(fisik) yang berupa ujaran lisan maupun tertulis dan makna atau isi (mental) yang secara
umum dikategorikan sebagai makna leksikal, fungsional, dan struktural. Unsur bentuk
cenderung bervariasi karena beberapa faktor misalnya (a) perbedaan daerah, (b) kelompok
sosial, (c) situasi berbahasa atau tingkat formalitas, dan (d) waktu, misalnya bahasa
Indonesia tahun 1928 dibandingkan dengan bahasa Indonesia tahun 2008.
Chaer dan Leonie (1995:81) mengungkapkan dua pandangan tentang adanya variasi.
Pertama, variasi itu dilihat sebagai akibat adanya keragaman sosial penutur bahasa itu dan
keragaman fungsi bahasa itu. Jadi, variasi bahasa itu terjadi sebagai akibat dari adanya
keragaman sosial dan keragaman fungsi bahasa. Andaikata penutur bahasa itu adalah
kelompok yang homogen, baik etnis, status sosial, maupun lapangan pekerjaannya maka
variasi itu tidak ada. Kedua, variasi atau ragam bahasa itu sudah ada untuk memenuhi
fungsinya sebagai alat interaksi dalam kegiatan masyarakat yang beraneka ragam atau
bervariasi.
Hartman dan Stork (1972) (dalam Chaer dan Leonie, 1995:81) membedakan variasi
bahasa berdasarkan kriteria (a) latar belakang geografi dan sosial penutur, (b) medium
yang digunakan, dan (c) pokok pembicaraan. Preston dan Shuy (1979) (dalam Chaer dan
Leonie, 1995:81) membagi variasi bahasa, khususnya untuk bahasa Inggris-Amerika
berdasarkan (1) penutur, (2) interaksi, (3) kode, dan (4) realisasi.
Halliday (1970) (dalam Chaer dan Leonie, 1995:83) membedakan variasi bahasa
berdasarkan (1) pemakaian dikaitkan dengan fakor goegrafi yang disebut dialek, dan (2)
pemakaian yang dikaitkan dengan bidang tertentu seperti pekerjaan yang disebut register.
Pembedaan ini masih terlalu umum.
Pateda (1987:52) yang mengutip pendapat Ferguson dan Gumperz menyarikan
bahwa aspek-aspek yang mendasari pengklasifikasian variasi bahasa ada delapan, yaitu (1)
tempat, (2) waktu, (3) pemakai, (4) situasi, (5) dialek yang dihubungkan dengan sapaan, (6)
status, dan (7) pemakaiannya. Sebelum diuraikan berbagai variasi bahasa yang disebabkan
oleh sumber pencetus berkembangnya variasi bahasa tersebut, terlebih dahulu perlu dikaji
kedudukan kajian tentang variasi bahasa dalam linguistik umum. Di samping itu, perlu
diungkapkan kajian-kajian khusus variasi bahasa dikaitkan dengan bidang keilmuan
tertentu.

4. Kajian tentang Variasi Bahasa dalam Linguistik


Dalam linguistik umum juga diakui adanya variasi bahasa. Penyebab adanya variasi
bahasa itu dalam pandangan linguistik umum dikelompokkan menjadi dua, yaitu (a) variasi
internal atau variasi sistemik dan (b) variasi eksternal atau variasi ekstrasistemik. Variasi
bahasa yang disebabkan oleh faktor internal adalah variasi yang muncul yang disebabkan
oleh lingkungan kebahasaan (linguistic environment). Berdasarkan perbedaan lingkungan
tersebut, timbullah morfem, fonem, leksem, alofon, alomorf, dan aloleks. Kajian mendalam
tentang hal-hal itu ditemukan dalam linguistik umum. Variasi bahasa juga dilatarbelakangi
oleh perbedaan faktor-faktor eksternal, misalnya daerah, kelompok sosial, situasi, dan
waktu. Jadi, variasi itu berkembang karena faktor-faktor di luar sistem bahasa itu sendiri.
Relevan dengan uraian sebelumnya, variasi-variasi bahasa pada akhirnya
berakumulasi dan membentuk ragam-ragam bahasa. Ragam bahasa yang berhubungan
dengan daerah atau faktor geografis disebut dialek, ragam bahasa yang disebabkan oleh
8

perbedaan kelompok sosial disebut sosiolek, ragam bahasa yang disebabkan oleh perbedaan
waktu disebut kronolek, dan ragam bahasa yang disebabkan oleh perbedaan fungsi atau
situasi berbahasa disebut fungsiolek.
Kenyataan tentang adanya perbedaan ragam bahasa menarik perhatian pakar berbagai
bidang keilmuan sehingga secara khusus berkembang beberapa interdisipliner keilmuan.
Ragam-ragam bahasa yang disebabkan oleh perbedaan geografis dikaji dalam dialektologi
atau geografi linguistik.

5. Pengklasifikasian Variasi Bahasa


1) Variasi Bahasa ditinjau dari Variasi Formalitas Komunikasi
Martin Joos (1967, dalam Nababan, 1984:22-23) mengungkapkan adanya ragam-
ragam bahasa yang disebabkan oleh variasi tingkat formalitas dalam komunikasi. Karena
Joos membahas masalah fungsi bahasa dalam komunikasi berdasarkan formalitas, maka
pakar ini mengungkap tentang fungsiolek. Jika fungsiolek dikaitkan dengan kedudukan
penutur dengan mitra tutur serta topik, sebenarnya apa yang diungkapkan Joos lebih tepat
dinyatakan sebagai kajian tentang langgam bahasa. Variasi tingkat formalitas yang
diungkapkan Joos ada lima, yaitu sangat resmi atau beku, resmi, aktual atau situasi
kebanyakan, santai, dan akrab.
Variasi formalitas pada tingkat paling tinggi mengakibatkan adanya ragam beku
(frozen style). Ragam beku adalah ragam bahasa yang paling resmi yang dipergunakan
dalam situasi-situasi yang khidmat dan upacara-upacara resmi. Dalam bentuk tertulis, ragam
beku ini terdapat dalam dokumen-dokumen bersejarah seperti penulisan undang-undang
dasar dan dokumen-dokumen penting lainnya. Contoh yang paling mudah didapatkan
adalah tulisan peringatan dalam lembaran uang kertas rupiah, misalnya, "Barang siapa ....".
Variasi formalitas berikutnya adalah situasi resmi pada umumnya, tetapi tidak
mencapai tingkat sangat formal atau beku. Situasi resmi ini menyebabkan berkembangnya
ragam bahasa resmi (formal style), yaitu ragam bahasa yang dipakai dalam pidato-pidato
resmi, rapat dinas, atau rapat resmi pimpinan suatu badan.
Variasi formalitas di bawah resmi adalah situasi kebanyakan atau situasi yang dapat
dijumpai dalam kegiatan komunikasi pada umumnya. Situasi komunikasi seperti ini
menyebabkan berkembangnya ragam usaha (consultative style). Ragam usaha adalah ragam
bahasa yang dipakai dalam pembicaraan-pembicaraan biasa di sekolah, perusahaan, dan
rapat-rapat usaha yang berorientasi pada hasil atau produksi. Dengan kata lain, ragam ini
berada pada tingkat yang paling operasional. Menurut Alwasilah (1985:54), pembicara
dalam menggunakan ragam konsultatif ini tidak perlu merencanakan dengan cermat apa
yang akan diungkapkan dan bagaimana mengungkapkannya.
Variasi formalitas berikutnya adalah tingkat santai sehingga menyebabkan
berkembangnya ragam santai (causal). Ragam santai adalah ragam bahasa santai
antarteman dalam berbincang-bincang, rekreasi, berolahraga dan sebagainya. Kridalaksana
(1993:142) mengatakan bahwa dalam ragam santai sering juga ditandai oleh penggunaan
slang dan elips dan biasanya dipergunakan dalam lingkungan akrab. Ragam ini biasanya
dipergunakan dalam pergaulan sehari-hari, terutama dalam percakapan. Oleh karena itu,
ragam santai sering disebut dengan ragam percakapan atau ragam tutur.
Variasi formalitas paling rendah adalah tingkat akrab sehingga menyebabkan
berkembangnya ragam akrab (intimate). Ragam akrab adalah ragam bahasa antaranggota
yang akrab dalam keluarga atau teman-teman yang tidak perlu berbahasa secara lengkap
dengan artikulasi yang terang, tetapi cukup dengan ucapan-ucapan yang pendek.
Kridalaksana (1993:142) mengemukakan bahwa ragam akrab juga dipakai bila pembicara
menganggap lawan bicara sebagai sesama atau sebagai orang yang lebih muda atau lebih
rendah statusnya, atau bila topik pembicaraan bersifat tidak resmi.
9

2) Variasi dari segi Penutur


Pengkajian tentang variasi bahasa yang disebabkan oleh faktor penutur dikaitkan
dengan matra kedudukan penutur sebagai individu, tinggal di suatu daerah (geografis),
waktu individu berkomunikasi, dan status individu dalam kelompok atau masyarakatnya.
Variasi bahasa yang ditimbulkan berdasarkan perbedaan matra dalam memandang individu
itu pada akhirnya membentuk ragam-ragam bahasa yang berbeda pula, yaitu (1) idiolek, (2)
dialek, (3) kronolek, dan (4) sosiolek.
Idiolek adalah ragam bahasa yang disebabkan oleh akumulasi variasi kemampuan dan
kebiasaan individu itu menghasilkan serta mendayagunakan bahasa (lisan maupun tulis).
Sebagai contoh, dua orang anak yang berasal dari satu keluarga, misalnya Tini (perempuan,
kakak) dan Joni (laki-laki, adik), jika dicermati, ternyata memiliki idiolek berbeda.
Umpamanya, dalam menyebut ego pertama ('saya'), Tini cenderung menggunakan kami,
sedangkan Joni saya. Selain itu, Tini cenderung menggunakan bunyi /s/ ringan seperti dalam
kata [sakit], sedangkan Joni cenderung menggunakan bunyi seperti /sy/, sehingga
menyebut [sakit] seakan-akan menjadi [syakit]. Dua perbedaan itu menandakan bahwa Tini
dan Joni memiliki idiolek tersendiri.
Dialek adalah ragam bahasa yang disebabkan oleh akumulasi variasi kemampuan
dan kebiasaan individu/kelompok individu itu menghasilkan serta mendayagunakan bahasa
(lisan maupun tulis) serta dapat dikaitkan dengan tempat tinggal individu yang bersangkutan
dengan lokasi daerah (geografis) tertentu. Sebagai contoh, dua orang anak, misalnya Abi
dan Yuli, ternyata cenderung mengucapkan /m/ pada akhir bunyi kata-kata bahasa Minang-
kabau yang seharusnya /n/ seperti [ayam] menjadi [ayan], [kalam] menjadi [kalan].
Ternyata, Abi dan Yuli dibesarkan di Solok sehingga dalam berbahasa Minangkabau kedua
orang itu menggunakan dialek Solok.
Kronolek adalah ragam bahasa yang disebabkan oleh akumulasi variasi
kemampuan dan kebiasaan individu/kelompok individu itu menghasilkan serta
mendayagunakan bahasa (lisan maupun tulis) serta dapat dikaitkan dengan perbedaan
waktu yang digunakan individu/kelompok yang bersangkutan. Sebagai contoh, dalam karya
sastra sebelum Angkatan 20 (Balai Pustaka), misalnya hikayat, dalam mengawali cerita
cenderung digunakan ungkapan "Alkisah hata maka pada suatu hari, ...." Ciri tersebut
menunjukkan kronolek bahasa Indonesia dalam karya sastra, yaitu pada tahun sekitar 20-an.
Sosiolek adalah ragam bahasa yang disebabkan oleh akumulasi variasi kemampuan
dan kebiasaan individu/kelompok individu itu menghasilkan serta mendayagunakan bahasa
(lisan maupun tulis) serta dapat dikaitkan dengan jenis kelompok sosial tertentu. Pengertian
kelompok sosial (lazim juga disebut strata sosial) bersifat relatif. Strata sosial dapat
dibedakan berdasarkan kasta (misalnya di Bali dan India, kelompok masyarakat pemeluk
agama Hindu), berdasarkan ekonomi (seperti dilakukan Trudgill, 1974 yang membagi
strata sosial berdasarkan penghasilan menjadi lima, yaitu kelas atas, menengah-atas,
menengah, menengah bawah, dan bawah), berdasarkan jenis pekerjaan, berdasarkan
tingkat pendidikan, dan sebagainya.
Dalam pengkajian sosiolek juga ditemukan beberapa istilah yang menunjukkan
adanya akumulasi variasi tertentu yang menghasilkan ragam-ragam bahasa tertentu pula.
Istilah-istilah yang terkait dengan sosiolek itu adalah (1) akrolek, (2) basilek, (3) vulgar, (4)
slang, (5) kolokial, (6) jargon, (7) argot, (8) ken, dan ada juga yang menambahkan lagi
dengan (9) prokem.
Akrolek adalah ragam bahasa sosial yang dianggap lebih tinggi atau lebih bergengsi
daripada ragam sosial lainnya. Masyarakat Jawa khususnya Jawa Tengah, misalnya
mengenal bahasa Bagongan sebagai ragam sosial tertinggi di antara ragam-ragam sosial
lainnya. Ragam ini memiliki status tinggi karena hanya dipergunakan oleh orang-orang
istana kerajaan atau bangsawan. Jika dalam komunikasi sehari-hari pemakai bahasa
10

Bagongan ternyata orang kebanyakan, maka mitratutur orang itu akan menertawakannya
karena dianggap aneh.
Basilek adalah ragam bahasa sosial yang dianggap sebagai ragam yang kurang
bergengsi atau dipandang rendah dibandingkan dengan ragam-ragam bahasa-sosial lainnya.
Dalam bahasa Jawa, misalnya, dikenal ragam bahasa krama Ndesa karena ragam ini
digunakan oleh rakyat kebanyakan di desa-desa. Dilihat dari status sosial bahasa, basilek
ini lebih rendah dibandingkan dengan ragam Bagongan dan ragam sosial lainnya.
Vulgar adalah variasi sosial yang ciri-cirinya digunakan oleh kelompok yang
kurang terpelajar atau kurang berpendidikan. Pada zaman Romawi sampai pertengahan,
di Eropa, bahasa-bahasa Eropa dianggap bahasa vulgar karena golongan intelek
menggunakan bahasa Latin. Seseorang yang tidak menguasai bahasa Latin (lisan maupun
tulis) dianggap tidak atau kurang intelek.
Slang (cenderung dibaca sleng) adalah variasi sosial yang bersifat khusus dan rahasia.
Slang bersifat temporal, karena slang pada suatu saat akan dilupakan dan muncul slang
yang lain yang lebih baru. Jadi, ciri khas slang adalah bidang kosakata, bukan fonologis dan
gramatikal (morfologis dan sintaksis). Masyarakat Jawa memandang slang sebagai
"slengekan" yang artinya main-main atau tidak serius. Pemakai slang kebanyakan golongan
remaja atau praremaja. Mereka menggunakan slang untuk mengembangkan identitas diri
dan kelompok. Jadi, terlihat kompleksitas fungsi suatu ragam bahasa. Di satu sisi, slang
merupakan penyatu identitas kelompok (misalnya kelompok remaja tertentu di suatu
daerah tertentu), di sisi lain slang merupakan pewatas agar suatu kelompok tidak
diintervensi kelompok lain, misalnya kelompok orang tua.
Kolokial adalah akumulasi variasi bahasa yang dipergunakan dalam percakapan
sehari-hari. Kata kolokial berasal dari colloqium yang artinya percakapan atau konversasi.
Jadi, ragam kolokial tidak digunakan dalam bahasa tulis. Sebagai contoh, seorang remaja
putri bertanya kepada rekannya, "Ang kapatang pai shoping, ya?". Rekannya, menjawab
menggunakan ragam yang sama, "Yo, gua ka KFC!"
Jargon adalah akumulasi variasi sosial yang digunakan secara terbatas oleh
kelompok-kelompok sosial tertentu. Ungkapan-ungkapan dalam ragam jargon kurang
dipahami oleh kelompok luar namun tidak bersifat rahasia, umpamanya kelompok montir,
politikus, negarawan, dan sebagainya. Perbedaan antara jargon dengan laras lain, misalnya
laras politik, terletak pada kebakuan makna kata/istilah yang digunakan. Dalam laras,
kata/istilah memiliki makna yang tetap sesuai dengan bidang ilmu atau profesi. Dalam
jargon, kata/istilah, atau slogan cenderung tidak menetap, tergantung pada penguasa atau
otoritar kepemerintahan.
Argot adalah variasi sosial yang digunakan secara terbatas pada profesi tertentu dan
bersifat rahasia. Letak khusus argot pada kosakata. Contoh argot dalam masyarakat
Indonesia adalah bahasa kaum atau kelompok waria. Kelompok waria, misalnya di sekitar
Kota Padang menggunakan kosakata tertentu, misalnya benong yang berpadanan dengan
kata bahasa Indonesia baku istri atau bini, kata panasonik yang berpadanan dengan panas.
Ken (cant) adalah variasi sosial tertentu yang bernada memelas, dibuat-buat,
merengek-rengek, dan penuh dengan kepura-puraan. Biasanya digunakan oleh para
pengemis, seperti tercermin dalam ungkapan the cant of beggar (bahasa pengemis).
Selain variasi dan ragam bahasa di atas, Pateda (1987:52) mengungkapkan
beberapa variasi bahasa berdasarkan penutur yaitu glosolalia dan rol. Pateda juga
menekankan bahwa telaah variasi bahasa dari segi penutur hendaknya difokuskan pada
penutur, bukan tuturannya.
Glosolalia adalah variasi ujaran yang dituturkan ketika orang sedang kesurupan
(trance). Variasi bahasa ini lazim ditemukan pada bahasa dukun atau saman ketika bekerja,
misalnya mengobati orang sakit. Dalam kultur Mentawai (Siberut), misalnya, ternyata
11

glosolalia bersifat individual, tergantung pada sikerei atau dukun. Artinya, glosilalia tidak
seragam antardukun.
Rol adalah variasi bahasa yang dipergunakan seseorang ketika mengemban peran
tertentu dalam suatu komunikasi. Untuk membedakan kajian tentang rol dengan variasi
lain yang didasarkan atas kedudukan atau status dan profesi seseorang, dapat dibatasi
bahwa pengkajian tentang rol hanya dapat dikaitkan dengan pemeranan (dalam drama
atau seni pertunjukan lainnya yang menggunakan dialog). Jadi, rol adalah variasi bahasa
yang digunakan sesuai dengan pemaham-annya terhadap apa peran yang diemban ketika
orang itu komunikasi.
Variasi bahasa juga dapat disebabkan oleh perbedaan status sosial seseorang. Yang
dimaksidkan dengan status sosial, adalah tingkat kedudukan penutur dilihat dari status
sosial yang lazimnya dikaitkan dengan jenis pekerjaan, tingkat pendidikan, kasta. Perbedaan
status sosial cenderung mengakibatkan perbedaan (1) penguasaan kosakata, (2) diksi, (3)
kosakata yang dihubungkan dengan aspek tertentu (kasar, dan sebagainya), dan (4) cara
pengungkapan.
Selain hal-hal di atas, perbedaan umur juga cenderung mengakibatkan adanya variasi
bahasa. Bahasa seorang anak berumur 5 tahun, 13 tahun, 17 tahun, dan seterusnya jelas
akan berbeda. Perbedaan itu mengakibatkan adanya variasi.

3) Variasi Bahasa berdasarkan Pemakaiannya


Menurut pemakaiannya, bahasa dapat dibagi atas (1) diglosia, (2) kreol, (3) lisan,
(4) nonstandar, (5) pijin, (6) register, (7) repertoar, (8) reputasi, (9) standar, (10) tulis, (11
bahasa tutur sapa, (12) kan, dan (13) jargon. Uraian singkat hal-hal itu adalah sebagai
berikut.
Diglosia pada awalnya merupakan gejala individual yang berkembang menjadi gejala
sosial. Diglosia adalah suatu masyarakat mempergunakan dua atau lebih bahasa untuk
berkomunikasi, ada variasi tinggi dan rendah.
Kreolisasi merupakan akibat kontak pemakaian bahasa. Kreolisasi adalah suatu
perkembangan linguistik yang terjadi karena dua bahasa berada dalam kontak dalam waktu
yang lama. Dalam kontak tersebut terjadi integrasi antara dua bahasa. Dalam integrasi ini,
pada umumnya terjadi bahwa salah satu bahasa menjadi sumber tata bahasa. Bahasa yang
terjadi pada awalnya adalah pijin (pidgin) yang timbul karena urgensi komunikasi yang
berkembang terus sehingga menjadi kreol. Pada perkembangan ini timbul (1) basilek
(basilect), (2) mesolek (mesolect), dan aksolek (acsolect). Basilek sama dengan pijin,
sedangkan aksolek sama dengan kreol.
Bahasa lisan adalah bahasa yang digunakan dalam komunikasi lisan. Lazimnya
pembicaraan tentang bahasa lisan dinatonimkan dengan bahasa tulis atau tertulis. Bahasa
lisan digunakan dalam komunikasi langsung, sedangkan bahasa tulis digunakan dalam
komunikasi tidak langsung.
Pijin lazim disebut sebagai bahasa campuran. Bahasa-bahasa ini berkembang di
daerah sengketa, di daerah yang masyarakatnya heterogen, misalnya di pelabuhan. Bahasa
pijin mungkin berakar pada suatu bahasa atau variasi, namun pada perkembangan selanjutnya
warna bahasa atau variasi itu hilang.
Dalam teori umum sosiolinguistik, register dikenal sebagai pemakaian bahasa yang
dihubungkan dengan pekerjaan seseorang. Dlam handout ini, istilah register diindonesiakan
menjadi laras bahasa. Register dapat diperinci menjadi (a) oratorical atau frozen, (b)
deliberative atau formal, (c) consultative, (d) casual, dan (e) intimate. Uraian tentang kelima
register itu disajikan dalam subab sebelumnya (di atas).
Istilah repertories lebih menunjuk kepada peralihan bahasa yang dipakai karena
pertimbangan terhadap lawan bicara. Istilah reportir verbal atau repertoir bahasa hanya
12

ditujukan kepada seseorang yang menguasai atau memiliki beberapa bahasa beserta ragam-
ragamnya. jadi, hanya dikenakan kepada dwibahasawan atau anekabahasawan
(multibahasawan).
Istilah reputations merujuk kepada pemilihan suatu bahasa karena faktor penilaian
terhadap suatu bahasa tersebut. Hal ini cenderung mengakibatkan alih kode, tetapi pemilihan
itu bukan didasarkan atas konteks atau situasi, melainkan berasarkan penilaiannya terhadap
bahasa.
Bahasa standar adalah bahasa yang memiliki stabilitas yang luwes dan b)
intelektualitas tinggi. Bahasa standar adalah bahasa yang terpelihara, baku, didayagunakan
dalam dunia pendidikan dan kebudayaan, serta perkembangannya ditangani oleh suatu
lembaga khusus.
Seperti diungkapkan sebelumnya, bahasa tulis adalah bahasa yang (1) dapat disimpan
dalam waktu relatif lama, (2) tidak bergantung pada penutur bahasa, maksudnya seorang
saja sudah dapat melaksanakannya, (3) pembaca dapat membaca berulang-ulang, (4) penulis
cenderung berhati-hati dalam memilih kata, isi, dan struktur lain, jadi dapat
dipertanggungjawabkan, (5) baik penulis maupun pembaca tidak diburu untuk melahirkan
kata dan kalimat dan pembaca tidak diburu untuk memahaminya.
Bahasa tutur sapa adalah bahasa sehari-hari dalam bertegur sapa. Bahasa ini
cenderung bersifat komunikatif dan digunakan oleh orang-orang yang sudah saling mengenal
atau merasa berasal dari kelompok (kultur) yang sama.
Ken adalah sejenis slang tetapi sengaja dibuat untuk merahasiakan sesuatu kepada
kelompok lain. Selain itu, ken juga merupakan variasi sosial tertentu yang bernada memelas,
dibuat-buat, merengek-rengek, dan penuh dengan kepura-puraan. Biasanya digunakan
oleh para pengemis, seperti tercermin dalam ungkapan the cant of beggar (bahasa
pengemis).
Jargon adalah bahasa (variasi) yang digunakan oleh kelompok tertentu namun tidak
bersifat rahasia. Jenis jargon yang sering digunakan di Indonesia adalah jargon politik, jargon
medis, dan sebagainya.

4) Variasi Bahasa dari Segi Situasi


Dari segi situasi, pada umumnya bahasa diklasifikasikan atas dua jenis yaitu bahasa
resmi (formal) dan nonresmi (nonformal). Selain itu, antara bahasa formal dan nonformal
terdapat variasi bahasa informal (kekeluargaan).

5) Variasi Bahasa dari segi Status Bahasa


Berdasarkan status bahasa, terdapat pengklasifikasian atas delapan variasi bahasa.
Kedelapan varian tersebut adalah (a) bahasa ibu, (b) bahasa daerah, (c) lingua franca, (d)
bahasa nasional, (e) bahasa negara, (f) bahasa pengantar, (g) bahasa persatuan, dan (h)
bahasa resmi. Pada umumnya, hal-hal ini sudah dibicarakan dalam bab-bab sebelum ini.
Selain delapan varian di atas, patut dibedakan pengertian antara bahasa nasional
dengan bahasa negara. Bahasa nasional adalah bahasa yang dipergunakan oleh suatu negara
untuk saling berkomunikasi antarsesama warga itu. Sementara itu, bahasa negara mengacu
kepada wilayah (bedakan dengan bahasa nasional, misalnya kasus bahasa di Singapura atau
di Malaysia).

6) Variasi Bahasa dari segi Sarana


Ragam lisan relatif berusia lebih tua dibandingkan dengan ragam tulis. Apa lagi
dalam masyarakat yang berbudaya bahasa lisan, ragam bahasa tulis merupakan ragam yang
jauh lebih muda usianya dibandingkan dengan ragam bahasa lisan. Hal itu disebabkan oleh
13

hakikat bahasa yang utama adalah lisan sedangkan bahasa tulis merupakan hasil
kodifikasi bunyi menjadi lambang bunyi beserta tata aturan grafis lainnya.
Seperti diungkapkan di atas, ciri-ciri ragam bahasa lisan berbeda dengan ciri-ciri
ragam bahasa tulis. Ragam bahasa lisan dibangun oleh unsur-unsur bahasa lisan yang
meliputi lafal (pengucapan), tata bahasa (yang meliputi kosakata/istilah, bentuk/pilihan
kata, kalimat, paragraf, dan wacana), serta alat-alat bantu komunikasi lainnya yang meliputi
isyarat, gerak tubuh, dan intonasi. Dengan kata lain, alat-alat bantu komunikasi tersebut
berbentuk unsur nonbahasa. Sementara itu, bahasa tulis dibangun oleh unsur-unsur bahasa
tulis yang meliputi ejaan dan tata bahasa.

D. RANGKUMAN
Perkembangan bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia bukanlah perkembangan
yang singkat dan sederhana. Banyak hal yang mempengaruhi hingg akhirnya bahasa Melayu
diterima dan dimodernisasi menjadi bahasa Indonesia.
Sebagai bahasa resmi dan kenegaraan, bahasa Indonesia memiliki fungsi yang penting
dan mendasar. Secara umum, praktik penyelenggaraan kenegaraan dan kemasyarakatan dapat
dilaksanakan berkat adanya bahasa Indonesia. Selain itu, bahasa Indonesia adalah bahasa
resmi yang digunakan dalam situasi formal termasuk proses pembelajaran.
Berdasarkan pelacakan makna dan pemakaian kata-kata variasi, ragam, dan
langgam, disimpulkan tiga hal. Pertama, kata variasi dalam bahasa Indonesia meru-pakan
padanan kata variation dalam bahasa Inggris yang artinya ujud berbagai (pelbagai)
manifestasi bersyarat maupun tak bersyarat dari suatu satuan (mungkin fonem, morfem,
maupun sintaksis) yang dihasilkan oleh alat ucap manusia dan dapat dikaitkan dengan
faktor eksternal seperti daerah geografis maupun kelompok sosial. Kedua, kata ragam
dalam bahasa Indonesia merupakan padanan kata variety dalam bahasa Inggris yang artinya
akumulasi ujud pelbagai manifestasi bersyarat maupun tak bersyarat dari suatu satuan
(mungkin fonem, morfem, maupun sintaksis) yang dihasilkan oleh alat ucap manusia dan
dapat dikaitkan dengan faktor eksternal seperti daerah geografis maupun kelompok sosial.
Ketiga, kata style dalam bahasa Inggris lebih tepat diindonesiakan menjadi langgam dalam
bahasa Indonesia, yang artinya ragam bahasa dalam masyarakat Indonesia yang mengenal
undhak-usuk (tata krama) tertentu dalam berbahasa yang disebabkan oleh konteks
komunikasi terutama mitra tutur dan topik, misalnya dalam masyarakat Jawa, Sunda, dan
Minangkabau.
Selain tiga simpulan di atas, dapat disimpulkan bahwa kata register dalam bahasa
Inggris diindonesiakan menjadi laras bahasa, yaiu ragam bahasa (yang di dalamnya
memiliki ciri variasi yang khas pula) yang dikaitkan dengan bidang kerja atau profesi dan
bidang keilmuan tertentu. Sebagai contoh, kata atau istilah morfo-logi dalam laras
kebahasaan berkaitan dengan ilmu tentang morfem sedangkan da-lam laras geologi
berkaitan dengan ilmu tentang tekstur tanah. Kata jenis, misalnya jenis bahasa mengacu
pada bahasa dalam pengertian umum, misalnya bahasa Inggris, bahasa Indonesia, bahasa
pertama, bahasa asing, bahasa kedua, dan lain-lain. Jadi, pembicaraan tentang variasi,
ragam, langgam, dan laras hanya dikaitkan dengan satu bahasa atau dalam satu bahasa,
sedangkan jika membicarakan jenis bahasa berati membicarakan tentang lebih dari satu
bahasa atau antarbahasa.
Pandangan para pakar tentang sumber pencetus variasi bahasa cenderung beragam.
Keberagaman itu disebabkan oleh perbedaan sudut pandang antarpakar dalam menelaah
variasi bahasa. Nababan, misalnya, menyatakan bahwa sumber variasi bahasa adalah (1)
perbedaan daerah, (2) kelompok sosial, (3) situasi berbahasa atau tingkat formalitas, dan
(4) waktu. Sementara itu, Chaer dan Leonie mengungkapkan dua pandangan tentang adanya
variasi. Pertama, variasi itu dilihat sebagai akibat adanya keragaman sosial penutur bahasa
14

itu dan keragaman fungsi bahasa itu. Kedua, variasi atau ragam bahasa itu sudah ada
untuk memenuhi fungsinya sebagai alat interaksi dalam kegiatan masyarakat yang
beraneka ragam atau bervariasi. Jadi, tidak ada variasi ragam yang dapat digunakan untuk
memenuhi seluruh kebutuhan komunikasi suatu masyarakat.
Dalam linguistik umum juga diakui adanya variasi bahasa. Penyebab adanya variasi
bahasa itu dalam pandangan linguistik umum dikelompokkan menjadi dua, yaitu (a) variasi
internal atau variasi sistemik dan (b) variasi eksternal atau variasi ekstrasistemik. Variasi
bahasa yang disebabkan oleh faktor internal adalah variasi yang muncul yang disebabkan
oleh lingkungan kebahasaan (linguistic environment). Variasi bahasa juga dilatarbelakangi
oleh perbedaan faktor-faktor eksternal, misalnya daerah, kelompok sosial, situasi, dan
waktu. Jadi, variasi itu berkembang karena faktor-faktor di luar sistem bahasa itu sendiri.

E. TUGAS
Tolong cermati tugas berikut karena akan digunakan sebagai materi untuk pertemuan
pembelajaran ke-2.
1) Guntinglah artikel atau berita di koran daerah (SKH Haluan, Singgalang, dll), bukan
koran nasional (seperti Kompas).
2) Cermati penggunaan kata (diksi), temukan apakah masih ada bahasa lokal (daerah) dalam
teks yang digunting tersebut.
3) Untuk kelanjutannya, cermati penggunaan ejaannya (EBI). Tandai penerapan EBI yang
salah, misalnya penulisan huruf, angka, dan pemakaian tanda baca.
4) Bawalah tugas tersebut pada pertemuan ke-2.
5) Terima kasih

F. KEPUSTAKAAN

Alwasilah, A. Chaedar. 1985. Sosiologi Bahasa. Bandung: Angkasa.


Chear, Abdul dan Leonie Agustina. 1995. Sosiolinguitik: Suatu Pengantar.. Jakarta: Rineka
Cipta.
Fasold, Ralph. 1984. The Sociolog Of Society. New York: Brazil Blackwell.
Holmes, Janet. 1994. An Introduction to Sociolinguistics. London: Longman.
Hudson, R.A. 1980. Sociolinguistics. Cambridge: Cambridge University Press.
Kridalaksana, Harimurti. 1993 Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia.
Lumaintaintang, Y.B. 1996. Penggunaan Bahasa Indonesia yang Baik dan Benar. (Makalah)
Jakarta: Depdikbud.
Nababan, P.W.J. 1984. Sosiolinguistik: suatu Pengantar. Jakarta: Gramedia.
Pateda, Mansoer. 1987. Sosiolinguitik. Bandung: Angkasa.
Trudgill. Peter. 1974. Socioliguistics: An Introduction. Harmonsworths, England: Penguin
Books.
Wardhaugh, Ronald. 1988. An Introduction to Sociolinguistics. New York: Bassil Beckwell.

Anda mungkin juga menyukai