Anda di halaman 1dari 10

DISKUSI RESUME BUKU MAGANG II

1 NAMA MENTEE : IZMA SUCI MAIVANI, S.H


2 NIP : 199205262017122001
3 PPC ANGKATAN : III
4 PENGADILAN : PENGADILAN NEGERI SLAWI KELAS I B
MAGANG
5 BAGIAN/SUB : KEPANITERAAN PIDANA
6 MINGGU KE : XI
7 NAMA MENTOR : RIZQA YUNIA, SH

Presentasi Resume Buku magang II dilaksanakan di ruang rapat Pengadilan Negeri Slawi pada
hari Jumat, 22 Maret 2019 dari pukul 08.00 s/d 12.00 WIB, dihadiri oleh seluruh Mentee dan
mentor. Adapun presentasi setiap mentee meliputi:

1. Hukum Waris menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata


Pengarang: Djaja S. Meliala, SH.,MH
(Christa Yulianta P, SH)
Hukum waris adalah semua peraturan hukum yang mengatur kekayaan tentang peralihan
harta kekayaan baik yang berupa hak maupun kewajiban dari seseorang yang telah meninggal
dunia kepada seseirang atau lebih yang merupakan ahli warisnya. Hukum waris perdataa
barat diatur dalam buku II KUHPerdata. KUHPerdata memandang hak waris adalah hak
kebendaan atas harta kekayaan dari orang yang meninggal dunia (pasal 528 KUHPerdata).
Sistem pewarisan yang dianut oleh KUHPerdata adalah individual bilateral, artinya setiap
ahli waris dapat menuntut harta warisan dan memperoleh bagian yang menjadi haknya baik
harta warisan dari ayahnya maupun dari ibunya. Sistem ini berbeda dengan hukum adat yang
bersifat individual kolektif. Sistem pewarisan dalam hukum waris Islam juga bersifat
individual bilateral tetapi tidak mengenal sifat mutlak untuk melaksanakan pembagian harta
warisan atau membiarkan harta warisan dalam keadaan tidak terbagi-bagi dan dilaksanakan
dengan cara musyawarah. Dalam hukum waris dikenal beberapa asas diantaranya asas le
mort saisit le vif atau disingkat dengan hak saisine, artinya jika seseorang meninggal dunia
maka seketika itu pula segala hak dan kewajibannya beralih kepada para ahli warisnya. Asas
individual artinya ahli waris adalah perorangan ( pasal 825 jo Pasal 825a KUHPerdata). Asas
bilateral artinya seseorang mewaris tidak hanya dari ayahnya saja tetapi juga dari ibunya. Asa
persederajatan artinya hli waris yang derajatnya lebih dekat dengan si pewaris akan menutup
peluang ahli waris yang lebih jauh derajatnya. Asas kematian artinya suatu pewarisan hanya
dapat berlangsung karena kematian. Dalam KUHPerdata dikenal dua macam sistem
pewarisan yaitu pewarisan ab intestato yaitu pewarisan menurut Undang-undang dan sistem
pewarisan Testamentum yaitu sistem pewarisan menurut surat wasiat. Sistem pewarisan ab
intestato mengutamakan hubungan keluarga berdasarkan perkawinan dan keluarga sedarah
dan juga dikenal bagian mutlak/legitieme portie. Sedangkan sistem pewarisan testamentum
mementingkan unsur perseorangan, pewaris diperkenankan semasa hidupnya menyatakan
kehendak mengenai apa yang harus terjadi terhadap harta kekayaannya setelah ia meninggal.
2. Comtempt of Court di Indonesia
Pengarang: Dr. Lilik Mulyadi, SH.,MH
Budi Suharyanto, SH.,MH
(Romi Hardika,SH)
Contempt of Court berdasarkan pengertian Black’s Law Dictionary adalah tindak pidana
yang dilakukan oleh orang yang terlibat dalam sautu proses perkara maupun tidak, didalam
maupun diluar pengadilan, dilakukan perbuatan secara aktif atau pasif berupa tidak berbuat
yang bermaksud mencampuri atau mengganggu sistem atau proses penyelenggaraan
peradilan yang seharusnya (the due administration of justice), merendahkan kewibawaan dan
martabat pengadilan atau menghalangi pejabat pengadilan di dalam menjalankan pengadilan.
Istilah Contempt of Court pertama kali diadopsi di Indonesia dalam penjelasan Umum Angka
4 UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Hakikat contempt of court berkorelasi
dengan pernak-pernik kebebasan berbicara dan berekspresi serta kebebasan berpendapat,
kebebasan atau kemerdekaan pers, hakim mengadili perkaranya sendiri dan independensi
kekuasaan kehakiman yang merdeka. Konsekuensi dari dimensi antara contempt of court
dengan demokrasi bagaikan dua sisi mata uang: di satu sisi ia berfungsi menjaga
independensi kekuasaan kehakiman yang merdeka namun di sisi lain ia dapat pula dijadikan
alat bagi penguasa untuk menggerus nilai-nilai demokrasi. Merupakan keniscayaan untuk
menjaga independensi kekuasaan kehakiman sehingga dibutuhkan undang-undang khusus
tentang contempt of court. Ruang lingkup penerapannya pun tidak terbatas di lingkungan
pengadilan saja namun juga meliputi di luar lingkungan pengadilan termasuk pelaksanaan
putusan pengadilan. Selain itu, diperlukan pula pendekatan diskursus ilmiah kepada
masyarakat untuk meluruskan opini bahwa undang-undang contempt of court tidak bertujuan
untuk kepentingan hakim dan pengadilan namun untuk kebutuhan keadilan.
3. Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia
Prof. Dr. R. Wirjono Projodikoro, S.H.
(Nugroho Ahadi, SH)
Hukum pidana adalah peraturan hukum mengenai pidana. Kata “pidana” berarti hal yang
“dipidanakan”, yaitu oleh instansi yang berkuasa dilimpahkan kepada seorang oknum sebagai
hal yang tidak enak dirasakannya dan juga hal-hal yang tidak sehari-hari dilimpahkan.
Tentunya ada alasan untuk melimpahkan pidana ini, dan alasan ini selayaknya ada hubungan
dengan suatu keadaan, yang didalamnya seorang oknum yang bersangkutan bertindak kurang
baik. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia (KUHP), dalam Buku Kesatu
mengatur mengenai luas ruangberlakunya ketentuan-ketentuan undang-undang tentang
hukum pidana Indonesia. Pasal 1 ayat 1 KUHP berbunyi: Suatu perbuatan hanya merupakan
tindak pidana, jika ditentukan lebih dulu dalam suatu ketentuan perundang-undangan. Dari
pasal tersebut dapat ditentukan bahwa dalam suatu sanksi pidana hanya dapat ditentukan
dengan undang-undang dan bahwa ketentuan sanksi pidana tidak boleh berlaku surut. Sanksi
pidana tidak boleh berlaku surut demi kepastian hukum namun ada kalanya diperlukan
penyimpangan sebagaimana diatur dalam pasal 1 ayat 2 KUHP. Dalam Hukum pidana juga
tidak diperbolehkan adanya analogi. Persoalan analogi biasanya timbul bila ada suatu
peraturan hukum pidana yangtidak meliputi suatu perbuatan yang menurut pendapat orang
banyak seharusnya dilarang pula dengan ancaman pidana karena mirip sekali dengan
perbuatan yang disebutkan dalam peraturan hukum pidana tersebut sebagai tindak pidana.
Akan tetapi, seharusnya terdapat pengecualian dalam kasus tertentu atas penerapan analogi
dalam hukum pidana. Setiap masalah harus harus ditinjau sendiri-sendiri dan secara jujur
dilihat bagaimana in casu rasa keadilan sebaik-baiknya akan dipenuhi. Selain asas legalitas,
non retroaktif, dan larangan melakukan analogi, hukum pidana di Indonesia juga mengenal
prinsip-prinsip terkait dengan wilayah berlakunya hukum pidana. Prinsip tersebut
diantaranya, 1) Prinsip Teritorialitas yang diatur dalam Pasal 2 KUHP; 2) Prinsip
Nasionalitas Aktif yang diatur dalam Pasal 5 KUHP; 3) Prinsip Nasionalitas Pasif yang diatur
dalam Pasal 4 ke-1, ke-2 dan ke-3 KUHP kemudian 4) Prinsip Universalitas yang dianut
dalam Pasal 4 sub 4 KUHP.
4. Hapusnya Hak Menuntut dan Menjalankan Pidana
Alfitra, SH.,MH
(Yudita Trisnanda, SH)
Tahap awal proses penyelesaian perkara pidana yang menjadi tugas penuntut umum adalah
melakukan penelitian berkas perkara yang menurut istilah di dalam KUHAP adalah
prapenuntutan. Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara
pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam
undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang
pengadilan. Setiap jaksa penuntut umum harus sadar bahwa penuntutan merupakan proses
yang sangat penting dalam keseluruhan proses hukum acara pidana, karena pada tahap
penuntutan inilah terdakwa akan dibuktikan apakah ia benar-benar bersalah atau tidak di
depan sidang pengadilan. Faktor yang mempengaruhi proses penuntutan perkara pidana yakni
faktor hukum atau perundang-undangan, faktor aparat penegak hukum, faktor sarana dan
prasarana yang mendukung dan faktor masyarakat. Alasan-alasan yang menyebabkan
diperingannya pidana umum yakni belum berumur 16 (enam belas) tahun, anak yang
umurnya telah mencapai 8 (delapan) tahun tetapi belum 18 (delapan belas) tahun dan belum
pernah kawin, perihak percobaan kejahatan dan pembantuan kejahatan. Jaksa Agung
mempunyai tugas dan wewenang menyampingkan perkara demi kepentingan umum.
Undang-undang tidak memberikan penjelasan dan batasan mengenai pengertian kepentingan
umum serta tidak memberikan jaminan terhadap kemungkinan penyalahgunaan wewenang
untuk menerapkan asas oportunitas. Di samping itu, penuntut umum juga berwenang untuk
menghentikan penuntutan terhadap suatu perkara pidana karena tidak cukup bukti atau
peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana atau perkara itu ditutup demi hukum.
Hapusnya hak penuntutan antara lain karena ne bis in idem, terdakwa meninggal dunia,
adanya daluwarsa. Hapusnya terpidana menjalani pidana karena meninggalnya terpidana,
adanya waktu daluwarsa, pemberian amnesti dari Presiden dan pemberian grasi dari Presiden.
5. Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia
R. Wiyono
(Juliani Fransiska, SH)
Konvensi tentang Hak-Hak Anak (Convention on The Rights of The Child), Resolusi Nomor
109 Tahun 1990 yang diratifikasi dengan Keputusan Presiden RI Nomor 36 Tahun 1990
dijadikan salah satu pertimbangan dibentuknya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012
tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA). Pasal 1 angka 1 UU SPPA menyebutkan
bahwa SPPA adalah sistem mengenai proses penyelesaian perakra “anak yang berhadapan
dengan hukum”. Berdasarkan Pasal 1 angka 2 UU SPPA, Anak yang berhadapan dengan
hukum terbagi atas 3, yaitu: Anak yang berkonflik dengan hukum, Anak yang menjadi
korban tindak pidana, Anak yang menjadi saksi tindak pidana. Asas yang dianut oleh SPPA
yaitu: Perlindungan, Keadilan, Non Diskriminasi, Kepentingan Terbaik Bagi Anak,
Penghargaan Terhadap Pendapat Anak, Kelangsungan Hidup dan Tumbuh Kembang Anak,
Pembinaan dan Pembimbingan. Dalam SPPA diatur juga kewajiban mengutamakan
pendekatan keadilan restoratif yaitu wajib diupayakan diversi. Keadilan Restoratif
merupakan suatu proses diversi artinya semua pihak yang terlibat dalam suatu tindak pidana
tertentu bersama - sama mengatasi masalah serta menciptakan suatu kewajiban untuk
membuat segala sesuatunya menjadi lebih baik dengan melibatkan korban, anak dan
masyarakat dalam mencari solusi untuk memperbaiki, rekonsiliasi dan menentramkan hati
yang tidak berdasarkan pembalasan. Hukum Acara Peradilan Anak dan Peradilan Umum
memiliki beberapa perbedaan yang mendasar seperti: Sidang tertutup untuk umum kecuali
pembacaan putusan, batas umur seorang anak dapat diajukan ke persidangan adalah 12 tahun,
tidak menggunakan atribut kedinasan/toga pada saat pemeriksaan anak di persidangan,
pentingnya mendengarkan dan mempertimbangkan hasil penelitian kemasyarakatan dalam
putusan, apabila tidak dipertimbangkan maka putusan menjadi batal demi hukum, kewajiban
pendampingan oleh orang tua, penasihat hukum dan pembimbing kemasyarakatan dan
pekerja sosial di tiap tingkat pemeriksaan, hakim wajib memerintahkan pendampingan
hukum bagi anak yang tidak memiliki penasihat hukum. Masa penahanan anak selama
menjalani pemeriksaan juga berbeda dari pidana biasa, yaitu Penahanan oleh penyidik hanya
7 hari dengan perpanjangan oleh Penuntut Umum 8 hari, Penahanan oleh Penuntut Umum
hanya 5 hari dengan perpanjangan oleh Hakim Pengadilan Negeri 5 hari, Penahanan oleh
Hakim 10 hari dengan perpanjangan oleh Ketua Pengadilan Negeri 15 hari, Penahanan di
tingkat banding 10 hari dengan perpanjangan oleh Ketua Pengadilan Tinggi 15 hari,
Penahanan di tingkat Kasasi 15 hari dengan perpanjangan oleh Ketua Mahkamah Agung 20
hari. Sanksi yang diterapkan dalam UU SPPA terdiri dari Sanksi Pidana, Sanksi Tindakan
dan Sanksi Administratif. Ketentuan Pidana untuk pidana anak diatur khusus dalam Undang -
Undang 23 Tahun 2002 Juncto Undang-Undang 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak.
6. Mencapai Tujuan Pemidanaan dalam Perkara Pencurian Ringan
Dwi Hananta, SH.,MH
(Izma Suci Maivani, SH)
Pencurian diatur dalam Pasal 362 KUHP “Barang siapa mengambil suatu benda yang
seluruhnya atau sebagian milik orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan
hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau denda
paling banyak sembilan ratus rupiah”. Selain pencurian dalam bentuk pokok dikenal juga
Pencurian ringan yang diatur dalam pasal 364 KUHP “Perbuatan yang diterangkan dalam
pasal 362 dan pasal 363 butir 4, begitu juga apa yang diterangkan dalam pasal 363 butir 5,
asal saja tidak dilakukan dalam sebuah rumah atau dalam pekarangan yang tertutup yang ada
rumahnya, maka jika harga barang yang dicuri itu tidak lebih dari dua ratus lima puluh
rupiah, dihukum sebagai pencurian ringan dengan hukuman penjara selama - lamanya tiga
bulan atau denda sebanyak - banyaknya Rp 900”. Permasalahannya adalah substansi atau
peraturan perundang-undangan yang berlaku tidak lagi sesuai dengan perkembangan
masyarakat. Para pelaku pencurian ecek-ecek tersebut harus menghadapi persidangan pidana
dengan acara pemeriksaan biasa dengan dakwaan pasal 362 atau pasal 363 KUHP yang
ancaman pidananya penjara paling lama 5 atau 7 tahun karena batasan tindak pidana
pencurian ringan yang ditentukan dalam pasal 364 KUHP sangat kecil jika dibandingkan
dengan harga barang dan nilai uang pada kondisi terkini. Pasal 364 KUHP menentukan
bahwa pencurian ringan hanya dapat didakwakan terhadap pencurian dengan harga barang
yang dicuri tidak lebih dari Rp. 250,00 (dua ratus lima puluh rupiah). MA Menerbitkan
PERMA No. 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah
Denda dalam KUHP, yang menyesuaikan ketentuan tentang batas tindak pidana ringan dalam
KUHP yang batasannya disesuaikan menjadi 10.000 kali dari nilai batasan sebelumnya,
sehingga batasan pencurian ringan yang termasuk di dalamnya juga disesuaikan menjadi Rp.
2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah). Selain memuat tentang penyesuaian batasan
tindak pidana ringan, PERMA No. 2 Tahun 2012 tersebut juga memuat penyesuaian jumlah
denda dalam KUHP yang salah satu tujuannya adalah untuk mengefektifkan kembali pidana
denda.
Alasan Penghapus Pidana Teori dan Studi Kasus
7.
Dr. H. M. Hamdan, SH.,MH
(Nike R. Malau, SH)
Dalam hukum pidana ada beberapa alasan yang dapat dijadikan dasar bagi Hakim untuk
membebaskan atau melepaskan terdakwa dari ancaman hukuman yaitu alasan penghapus
pidana. Alasan-alasan tersebut adalah alasan penghapus pidana menurut Undang-Undang
(KUHP) dan alasan penghapus pidana yang diluar undang-undang baik sebagai alasan
pembenar maupun sebagai alasan pemaaf. Undang-undang atau KUHP sendiri tidak
membedakan dengan jelas antara alasan pembenar dan alasan pemaaf. KUHP hanya
merumuskan tentang orang-orang yang tidak boleh dihukum. Hal ini dirumuskan dalam bab
III Buku Kesatu KUHP dibawah judul “Pengecualian, Pengurangan dan Pemberatan”.
Perbedaan antara alasan pemaaf dan alasan pembenar hanya dapat dijumpai dalam doktrin
dan pendapat ahli hukum yang sangat diperlukan atau penting dalam hal terjadinya
penyertaan atau keikutsertaan dalam suatu tindak pidana. Alasan penghapus pidana adalah
peraturan yang terutama ditujukan kepada Hakim. Peraturan ini menetapkan berbagai
keadaan pelaku, yang telah memenuhi perumusan delik sebagaimana telah diatur dalam
Undang-Undang yang seharusnya dipidana, akan tetapi tidak dipidana. Dari sudut pandang
doktrin hukum pidana, alasan penghapus pidana dapat dibagi dua yaitu alasan penghapus
pidana yang merupakan alasan pemaaf dan alasan pembenar. Dalam KUHP terdapat beberapa
alasan penghapus pidana yang berlaku umum yaitu Pasal 44 KUHP (pelaku yang
sakit/terganggu jiwanya), Pasal 48 KUHP (perbuatan yang dilakukan dalam keadaan
terpaksa), Pasal 49 ayat (1) KUHP (perbuatan yang dilakukan untuk membela diri), Pasal 49
ayat (2) KUHP (pembelaan diri yang melampaui batas), Pasal 50 KUHP (melaksanakan
peraturan perundang-undangan), Pasal 51 ayat (1) KUHP (melakukan perintah jabatan yang
sah), Pasal 51 ayat (2) KUHP (melakukan perintah jabatan yang tidak sah tetapi dianggap
sah). Alasan penghapusan pidana yang berlaku khusus yaitu berlaku untuk tindak pidana
tertentu saja sebagaimana yang disebutkan dalam pasal-pasal tersebut.
8. Tindak Pidana Aborsi
Dr. Dr. Hj. Trini Handayani, SH.,MH
Aji Mulyana, SH.,MH
(Sheilla Korita, SH)
Hukum kedokteran pada dasarnya bertumpu pada hak-hak dasar manusia yang melekat sejak
lahir, hak dasar manusia yang melekat sejak lahir, hak dasar pertama adalah Hak aAtas
Pemeliharaan Kesehatan (The Right To Health Care) dan hak kedua adalah Hak Untuk
Menentukan Nasib Sendiri (The Right To Self Determination). Selain itu pula terdapat hak
lainnya yang melekat dengan sendirinya terhadap diri setiap orang yaitu hak untuk
bereproduksi. Dimana setiap orang memiliki hak yang sama untuk menjalani kehidupan
bereproduksi dan kehidupan seksual yang sehat, aman serta bebas dari paksaan dan atau
kekerasan dengan pasangan yang sah. Ada kalanya seorang wanita dapat mengalami
kehamilan meskipun belum menikah dikarenakan beberapa faktor, misalnya karena terjaid
tindak pidana pemerkosaan yang menyebabkan seorang wanita hamil. Berdasarkan Undang-
undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan diberikan hak kepada wanita tersebut untuk
menggugurkan kandungannya karena disebabkan depresi atau malu atas kehamilannya.
Sebelum Undang-undang ini diundangkan terhadap wanita yang menggugurkan
kandungannya tersebut dapat dipidana akan tetapi setelah melewati perdebatan mengenai hak
asasi manusia yang mana apabila suatu pengguguran kandungan atau aborsi dilakukan
dengan alasan-alasan pembenar yang sah maka hal tersebut dapat dilegalkan. Selain karena
pemerkosaan, apabila terdapat indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini
kehamilan, baik yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik
berat dan atau cacat bawaan, maupunyang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi
tersebut hidup diluar kandungan maka aborsi di legalkan oleh negara. Aborsi adalah
pengeluaran hasil konsepsi (zygote yang merupakan hasil pertemuan sel telur dan
spermatozoa) sebelum janin dapat hidup diluar kandungan. Berikut adalah proses
pengakhiran hidup dari janin sebelum diberi kesempatan untuk tumbuh:
1. Spontaneous Abortion, gugur kandungan yang disebakan trauma kecelakaan atau
sebab-sebab alami. Contohnya adalah seorang wanita yang keguguran dikarenakan
jatuh dari tangga, dan lain sebagainya.
2. Induced Abortion, Pengguguran kandungan yang dengan sengaja atau buatan.
Induced Abortion diklasifikasikan menjadi 3 (tiga) macam, yaitu:
 Therapeutic Abortion, yaitu aborsi yang dilakukan untuk menyelamatkan jasmani
maupun rohani dari sang ibu, misalnya seorang ibu yang mempunyai penyakit
jantung akut atau wanita yang hamil disebabkan oleh perkara pemerkosaan.
 Eugenic Abortion, yaitu aborsi yang dilakukan dikarenakan janin cacat yang
diindikasikan tidak dapat hidup diluar kandungan.
 Elektive Abortion, aborsi yang dilakukan dengan alasan-alasan lainnya, misalnya
hamil diluar nikah, hamil dari hasil perselingkuhan, dan lain sebagainya.
9. Kejahatan Transfer Dana: Evolusi dan Modus Kejahatan melalui Sarana
Lembaga Keuangan Bank
Prof.Dr. Johannes Ibrahim, SH.,M.Hum
Yohanes Hermanto Sirait, SH.,LL.M
(Tito Santano S, SH)
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia,Lembaga adalah badan (organisasi) yag tujuannya
melakukan suatu penyelidikan keilmuan atau melakukan suatu usaha, sedangkan Keuangan
adalah neraca dan laba rugi. Jadi, secara harfiah, lembaga keuangan aritnya badan
(organisasi) yang melakukan suatu usaha yang berkaitan dengan neraca dan laba rugi.
Menurut buku ini, kejahatan dapat diklasifikasikan dalam 2 Jenis.
1. Mala in se : Kejahatan yang secara tradisi dianggap jahat dan tidak bermoral seperti
pembunuhan, pemerkosaan dan penyerangan fisik orang lain.
2. Mala prohibita : Kejahatan yang dianggap salah hanya karena ada hukum
melarangnya. Yang berarti jika tidak terdapat suatu ketentuan yang melarang maka
tidak dapat dikatakan salah (Mala prohibita offenses).
Dalam hal ini, mala prohibita offenses sering dimasukkan ke dalam kategori
“Kejahatan tanpa korban” seperti prostitusi, penggunaan obat-obatan terlarang, dan
judi yang mana sulit untuk mengidentifikasi siapa yang menjadi korban sebenarnya.
Buku ini sepakat dengan buku Mochammad Anwar dalam bukunya yang berjudul Tindak
Pidana di Bidang Perbankan, yang membedakan pengertian tindak pidana perbankan dengan
tindak pidana di bidang perbankan.
Perbedaan tersebut didasarkan pada perlakuan peraturan terhadap peraturan-peraturan yang
telah melanggar hukum yang berhubungan dengan kegiatan dalam menjalankan usaha bank.
Sehingga, dalam buku ini, penulis membagi 2 pengertian Tindak Pidana dalam Perbankan,
yaitu, Tindak Pidana Perbankan dan Tindak Pidana di bidang Perbankan.
1. Tindak Pidana Perbankan adalah setiap perbuatan yang melanggar ketentuan
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
juncto Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 7 Tahu 1992 tentang Perbankan
Yaitu :
a) Tindak Pidana yang berkaitan dengan Perizinan
b) Tindak Pidana yang berkaitan dengan rahasia bank
c) Tindak Pidana yang berkaitan dengan Pengawasan dan pebminaan Bank
2. Tindak Pidana di Bidang Perbankan adalah setiap perbuatan yang melanggar
ketentuan-ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992
tentang Perbankan juncto
10. Hukum Pembuktian dalam Beracara Pidana, Perdata dan Korupsi di Indonesia
Dr. Alfitra, SH.,MH
(Triana Angelica, SH)

Hukum pembuktian adalah merupakan seperangkat kaidah hukum yang mengatur tentang
pembuktian, yakni segala proses, dengan menggunakan alat-alat bukti yang sah, dan
dilakukan tindakan-tindakan dengan prosedur khusus guna mengetahui fakta-fakta yuridis di
persidangan, sistem yang dianut dalam pembuktian, syarat-syarat dan tata cara mengajukan
bukti tersebut serta kewenangan hakim untuk menerima, menolak, dan menilai suatu
pembuktian. Alat bukti adalah segala sesuatu yang ada hubungannya dengan suatu perbuatan,
dimana dengan alat-alat bukti tersebut, dapat dipergunakan sebagai bahan pembuktian guna
menimbulkan keyakinan hakim atas kebenaran adanya suatu tindak pidana yang dilakukan
oleh terdakwa. Alat bukti yang diakui dalam acara perdata diatur secara enumeratif dalam
Pasal 1866 KUH Perdata dan Pasal 164 HIR yang terdiri dari bukti tulisan, bukti dengan
saksi, persangkaan, pengakuan, dan sumpah. Tulisan ditinjau dari segi yuridis memiliki
beberapa aspek yakni tanda bacaan berupa aksara, disusun berupa kalimat sebagai
penyertaan, ditulis pada bahan tulisan, ditandatangani pihak yang membuat, foto dan peta
bukan tulisan, mencantumkan tanggal. Jangkauan kebolehan pembuktian dengan saksi yakni
diperbolehkan dalam segala hal, kecuali ditentukan lain oleh UU dan menyempurnakan
prmulaan pembuktian tulisan. Persangkaan adalah kesimpulan yang ditarik dari suatu
peristiwa yang telah terkenal atau yang dianggap terbukti ke arah suatu peristiwa yang tidak
terkenal artinya sebelum terbukti. Pengakuan adalah pernyataa atau keterangan yang
dikemukakan salah satu pihak kepada pihak lain dalam proses pemeriksaan suatu perkara,
dilakukan dimuka hakim. Sumpah bertujuan agar orang yang bersumpah dalam memberi
keterangan atau pernyataan takut atas murka Tuhan YME apabila dia berbohong. Dalam
Pasal 184 KUHAP terdapat macam-macam alat bukti yakni keterangan saksi, keterangan
ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Pembuktian terbaik diatur dalam UU No. 20
Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberatasan Tindak
Pidana Korupsi.
11. Peran Orangtua dalam Proses Persidangan Tindak Pidana Perjudian yang
dilakukan oleh Anak
Lanka Asmar, SHI.,MH
(Satya F. Lestari, SH)
Dalam hukum positif anak lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa, orang yang
dibawah umur atau kerap disebut sebagai anak yang dibawah pengawasan wali. Oleh sebab
itu seorang anak tidak dapat dipisahkan dengan orang tuanya. Pengaturan mengenai orang tua
dalam proses persidangan perkara tindak pidana perjudian yang dilakukan oleh anak sesuai
dengan maksud pasal 55, 57 ayat (1), 57 ayat (2) dan pasal 59 ayat (1) Undang-undang
Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dan Pasal 3 huruf j, pasal 23 ayat (2), pasal
32 ayat (1), pasal 55 ayat (1), pasal 56 ayat (1), pasal 60 ayat (1) undang-undang Nomor 11
Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak. Kebijakan hukum yang dilakukan dalam
memutus tindak pidana perjudian yang dilakukan oleh anak di Pengadilan Negeri Balige
terdiri dari:
a. Kebijakan hukum pidana terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana perjudian
b. Kebijakan hukum pidana terhadap anak sebagai korban tindak pidana perjudian
c. Kebijakan non penal dalam penanggulangan tindak pidana perjudian yang dilakukan
oleh anak.
12. Viktimologi: Perlindungan Saksi dan Korban
Bambang Waluyo, SH.,MH
(Indraswara Nugraha, SH)
Viktimologi, dari kata victim (korban) dan logi (ilmu pengetahuan) ialah ilmu pengetahuan
tentang korban (kejahatan). Menurut kamus Crime Dictionary bahwa victim adalah “orang
yang telah mendapat penderitaan fisik atau penderitaan mental,kerugian harta benda atau
mengakibatkan mati atas perbuatan atau usaha pelanggaran ringan dilakukan oleh pelaku
tindak pidana dan lainnya. Menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang
perlindungan Saksi dan Korban yang dinyatakan bahwa korban adalah “seseorang yang
mengalami penderitaan fisik,mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu
tindak pidana. Asas dan tujuan dari Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 ialah
menegaskan mengenai perlindungan saksi dan korban untuk memberikan rasa aman kepada
saksi dan/atau korban dalam memberikan keterangan pada setiap proses peradilan pidana.
Rasa aman disini dapat diartikan bebas dari ancaman, sehingga tidak merasa terancam atau
terintimidasi haknya, jiwa, raga, harta serta keluarganya. Lembaga Perlindungan Saksi dan
Korban sebagai lembaga yang bertugas dan berwenang untuk memberikan perlindungan dan
hak-hak lain kepada saksi dan/atau korban harus bersikap profesional,mempunyai integritas
dan tanggung jawab penuh dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya.
Rasa aman agar proses peradilan pidana dapat berjalan sesuai cita-cita peradilan dan
memenuhi rasa keadilan dan kebenaran serta kepastian hukum. Pada hakikatnya pengadilan
membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan, sehingga
tujuan peradilan dapat tercapai. Hal ini juga sesuai dengan asas peradilan yaitu harus
dilakukan dengan cepat, sederhana dan biaya ringan serta bebas,jujur, dan tidak memihak
harus diterapkan secara konsekuen dalam seluruh tingkat peradilan. Pemenuhan terhadap
hak-hak korban merupakan hal terpenting dalam perlindungan korban dan/atau saksi.
Pengaturan mengenai hak-hak korban dan saksi terletak pada pasal 5 Undang-Undang No. 31
Tahun 2014. Justru dengan dipenuhinya hak-hak ini secara efektif, efisien, tidak berbelit,
tidak prosedural dan objektif merupakan dambaan semua, bukan hanya saksi dan/atau
korban.

Slawi, 27 / 12 / 2018 Slawi, 27 / 12 / 2018


Mentee Mentor

Izma Suci Maivani, SH Diana Dewiani, SH


------------------------------- ---------------------------------

Anda mungkin juga menyukai