Anda di halaman 1dari 10

11

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Landasan Teori

2.1.1 Teori Etika

Etika menjadi salah satu panduan bagi profesi auditor dalam

mempertanggungjawabkan segala aktivitasnya (Januarti, 2011). Auditor

Kantor Akuntan Publik adalah salah satu profesi yang tidak dapat lepas dari

permasalahan etika. Hal tersebut dibuktikan melalui kasus pemberian sanksi

oleh Dewan Kehormatan Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) kepada 10 KAP

yang melanggar standar audit pada tahun 2002 (Rustiana, 2005). Kasus

tersebut berkaitan dengan proses auditor dalam mengambil suatu keputusan

yang tepat dan cepat saat menjalankan tugas. Auditor dalam segala

aktivitasnya harus mempertimbangkan banyak hal karena banyaknya

kepentingan yang melekat pada proses audit (Damman, 2003). (J. S. L. Tsui,

1996) serta (J. Tsui & Ferdinand, 1996) juga menyatakan hal yang sama,

seorang auditor sering berada dalam konflik audit saat melaksanakan

tugasnya. Konflik yang terjadi akan berkembang menjadi dilema etika ketika

auditor menghadapi situasi pembuatan keputusan yang menyangkut

independensi dan integritas dengan imbalan ekonomis di sisi lain (Windsor &

Ashkanasy, 1995). (Bertens, 2000) menyatakan bahwa teori etika dapat

membantu proses pengambilan keputusan yang berkaitan dengan moral dan

justifikasi terhadap keputusan tersebut, sehingga kasus-kasus yang terjadi di


12

Indonesia diharapkan dapat berkurang di masa yang akan datang.

Etika adalah tatanan moral yang telah disepakati bersama dalam suatu

profesi dan ditujukan untuk anggota profesi (Risa, 2011). (Duska, 2003)

mengembangkan tiga teori etika, ketiga teori tersebut digunakan untuk

mengembangkan penelitian ini, yaitu:

1) Utilitarianisme Theory

Teori ini membahas mengenai optimalisasi pengambilan keputusan

individu untuk memaksimalkan manfaat dan meminimalkan dampak

negatif. Terdapat dua macam utilitarisme, yaitu:

a. act utilitarisme yaitu perbuatan yang bermanfaat untuk banyak

orang,

b. rule utilitarisme yaitu aturan moral yang diterima oleh

masyarakat luas.

2) Deontologi Theory

Teori ini membahas mengenai kewajiban individu untuk memberikan

hak kepada orang lain, sehingga dasar untuk menilai baik atau buruk

suatu hal harus didasarkan pada kewajiban, bukan konsekuensi

perbuatan. Deontologi menekankan bahwa perbuatan tidak pernah

menjadi baik karena hasilnya baik, melainkan karena kewajiban yang

harus dilakukan (Bertens, 2000).

3) Virtue Theory

Teori ini membahas watak seseorang yang memungkinkannya untuk

bertingkah laku baik secara moral. Terdapat dua bagian virtue theory,
13

yaitu:

a. pelaku bisnis individual, seperti: kejujuran, fairness,

kepercayaan dan keuletan,

b. taraf perusahaan, seperti: keramahan, loyalitas, kehormatan, rasa

malu yang dimiliki oleh manajer dan karyawan.

2.1.2 Sensitivitas Etika

(Shaub, Finn, & Munter, 1993) berpendapat bahwa sensitivitas etika

adalah kemampuan untuk menyadari adanya nilai-nilai etika dalam suatu

keputusan. (Hunt & Vitell, 2006) menjelaskan bahwa kemampuan seseorang

untuk memahami masalah etis dipengaruhi oleh lingkungan budaya,

lingkungan industri, lingkungan organisasi, dan pengalaman pribadi. Irawati

dan (Supriyadi, 2012) yang mengukur sensitivitas etika dengan memodifikasi

scenario sensitivitas etika (Shaub, 1989), yaitu kegagalan akuntan yang

berkaitan dengan waktu, penggunaan waktu untuk kepentingan pribadi dan

judgement akuntan yang berhubungan dengan prinsip akuntansi. Standar

Profesional Akuntan Publik (SPAP) tentang Standar Pengendalian Mutu

Nomor 1 bagi KAP menyatakan bahwa setiap individu dalam KAP harus patuh

pada ketentuan yang berlaku. Standar ini memperjelas definisi audit (Shaub et

al., 1993) dan (Hunt & Vitell, 2006) bagi auditor untuk semakin

meningkatkan kemampuannya memahami nilai etika.

2.1.3 Pengalaman

Pengalaman adalah proses pembelajaran dan pertambahan potensi

tingkah laku yang diperoleh dari pendidikan formal maupun non formal
14

(Knoers & Haditono, 1999). Standar Profesional Akuntan Publik menyatakan

pelaksanaan audit harus dilakukan oleh orang yang memiliki keahlian dan

pelatihan teknis yang cukup sebagai seorang auditor. Pengalaman dapat

diperoleh melalui pelatihan, supervisi, maupun review kinerja yang diberikan

oleh auditor senior. (Januarti, 2011) berpendapat bahwa pengalaman auditor

berkembang searah dengan pengalaman audit, diskusi audit, pelatihan, dan

penggunaan standar. (Jones, 1991) juga menyatakan bahwa perkembangan

moral kognitif seseorang dipengaruhi oleh pengalaman. Auditor yang memiliki

pengalaman dianggap lebih konservatif saat mengahadapi dilema etika

(Larkin, 2000). Sikap konservatif tersebut membantu auditor untuk

meningkatkan sensitivitas etikanya. (Gusnardi, 2003) mengukur pengalaman

audit melalui jabatan auditor, lama bekerja, peningkatan keahlian, serta

pelatihan audit yang pernah diikuti.

2.1.4 Komitmen

(Nissim Aranya, Barak, & Amernic, 1981) serta (N Aranya & Ferris,

1984) mendefinisikan komitmen sebagai berikut:

1) sebuah kepercayaan, penerimaan tujuan dan nilai organisasi dan

atau profesi,

2) kesediaan mengerahkan usaha untuk organisasi dan/atau profesi,

3) keinginan mempertahankan keanggotaan dalam organisasi dan

atau profesi.

(Bline et al., 1992) menemukan bahwa komitmen profesional dan

komitmen organisasional mengindikasikan dua hal yang berbeda. Komitmen


15

organisasional dan komitmen profesional dibedakan secara empiris dan

diprediksi oleh variabel yang berbeda (Brierley, 1996) dan Leong et al.,

2003). (Kwon & Banks, 2004) menyatakan bahwa komitmen organisasional

berkaitan dengan jenis organisasi karyawan, sedangkan komitmen profesional

diperkirakan oleh dukungan untuk kelompok, sikap positif terhadap profesi

dan karakteristik pekerjaan. Penjelasan tentang komitmen profesional juga

diungkapkan oleh (Jeffrey, Weatherholt, & Lo, 1996), komitmen profesional

yang kuat akan mengarahkan auditor untuk taat pada aturan. (Chang & Choi,

2007) menemukan bahwa komitmen profesional dan organisasional adalah

pengalaman psikologis yang dapat dijelaskan oleh variabel individu dan

organisasi yang berbeda.

1) Komitmen profesional

(Larkin, 2000) menyatakan sikap yang profesional menunjukkan

tingkat loyalitas seorang individu pada profesi, seperti yang

dipersepsikan oleh individu tersebut. Profesionalisme membantu

auditor menciptakan pelayanan yang baik untuk klien atau

masyarakat melalui kemampuan profesionalnya. Tenaga profesional

didik untuk menjalankan tugas secara independen dan memecahkan

masalah yang muncul dalam pelaksanaan tugas dengan

menggunakan keahlian dan dedikasi secara profesional (Badjuri,

2009).

2) Komitmen organisasional

(Mowday, Porter, & Steers, 1983) menyatakan bahwa komitmen


16

organisasi terbangun bila masing-masing individu mengembangkan

tiga sikap dalam organisasi, yaitu sebagai berikut:

a. Identification merupakan pemahaman atau penghayatan tujuan

organisasi.

b. Involvement merupakan perasaan menyenangkan yang muncul

untuk terlibat dalam suatu pekerjaan dalam organisasi dan

pekerjaan yang dilakukan.

c. Loyalty merupakan perasaan bahwa organisasi adalah tempat

bekerja dan tempat tinggal sehingga muncul kesetiaan terhadap

organisasi.

2.1.5 Orientasi Etika

Orientasi etika merupakan alternatif pola perilaku seseorang untuk

menyelesaikan dilema etika dan konsekuensi yang diharapkan oleh fungsi

yang berbeda (O’Higgins & Kelleher, 2005). Orientasi etika berhubungan dengan

faktor eksternal seperti lingkungan budaya, lingkungan industri, lingkungan

organisasi dan pengalaman pribadi yang merupakan faktor internal individu

tersebut (Hunt & Vitell, 2006). Norma etis, standar perilaku individu, standar

perilaku dalam keluarga, serta standar perilaku dalam komunitas mengarahkan

perilaku seseorang untuk mengenali permasalahan (Tsalikis & Fritzsche,

1989).

(Finn, Chonko, & Hunt, 1988) mengembangkan penelitian (Hunt &

Vitell, 2006) dengan menggunakan skala idealisme dan relativisme untuk

membentuk orientasi etika. (Forsyth, 1980) dan (Shaub et al., 1993)


17

mengidentifikasi idealisme dan relativisme sebagai prediktor penting

penilaian moral. Sikap idealis diartikan sebagai sikap yang tidak melanggar

nilai-nilai moral, serta tidak memihak dan terhindar dari berbagai

kepentingan, sedangkan relativisme adalah sikap penolakan terhadap nilai-

nilai moral yang bersifat absolut.

2.1.6 Akuntan Publik

Definisi mengenai Profesi Akuntan Publik dan Kantor Akuntan Publik

(KAP) tertuang pada Peraturan Menteri Keuangan No. 17/PMK.01/2008.

Profesi Akuntan Publik adalah akuntan yang telah memperoleh izin dari

Menteri untuk memberikan jasa sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri

Keuangan. KAP merupakan suatu badan usaha yang telah mendapatkan izin

dari Menteri Keuangan RI, sebagai wadah bagi Akuntan Publik dalam

memberikan jasanya. Ijin KAP akan diterbitkan apabila pemohon telah

memenui beberapa persyaratan yang telah ditetapkan sebagai berikut:

1) memiliki nomor Register Negara untuk Akuntan,

2) memiliki Sertifikat Tanda Lulus Ujian Sertifikasi Akuntan Publik

(USAP), Pendidikan Profesional Berkelanjutan (PPL), Satuan Kredit

PPL (SKP) dalam dua tahun terakhir,

3) pengalaman praktik paling sedikit seribu jam dalam lima tahun

terakhir dan lima ratus jam diantaranya pernah memimpin dan/atau

mensupervisi perikatan audit umum yang disahkan oleh Pemimpin

KAP,

4) memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP),


18

5) tidak pernah dikenakan sanksi pencabutan izin Akuntan Publik,

6) membuat Surat Permohonan, melengkapi Permohonan Izin Akuntan

Publik, membuat persyaratan tidak merangkap jabatan dengan surat.

2.1.7 Budaya Etis Organisasi

(Wolf & Enid, 1992) menyatakan budaya adalah suatu proses

pentransferan nilai- nilai kepada anggota yang baru sebagai suatu pedoman untuk

berperilaku. Budaya dapat berkembang dari upaya yang tidak disadari, tetapi

sistematis dalam kurun waktu tertentu. Budaya organisasi merupakan pola

pemikiran, perasaan dan tindakan dari suatu kelompok sosial, yang membedakan

dengan kelompok sosial yang lain (Hofstede, 1994). Budaya etis organisasi

merupakan pandangan luas tentang persepsi karyawan pada tindakan etis

pemimpin akan pentingnya etika di perusahaan dan memberikan penghargaan

ataupun sanksi atas tindakan tidak bermoral (Hurt & Moses, 1986). Budaya

organisasi merupakan salah satu variabel penting bagi seorang pemimpin, karena

mencerminkan nilai-nilai yang diakui dan menjadi pedoman bagi pelaku anggota

organisasi tersebut.

2.2 Hasil Penelitian Sebelumnya

(Supriyadi, 2012) meneliti pengaruh orientasi etika pada komitmen

profesional, komitmen organisasional, dan sensitivitas etika auditor dengan

gender sebagai pemoderasi. Pengumpulan data menggunakan metode survey.

Sampel berjumlah 138 pemeriksa BPK Perwakilan Yogyakarta dan Jawa

Tengah. Teknik analisis yang digunakan adalah SEM. Hasilnya terdapat

pengaruh komitmen profesi dengan komitmen pada organisasi, komitmen


19

organisasional berpengaruh secara signifikan terhadap sensitivitas etika

pemeriksa BPK.

(Januarti, 2011) mengembangkan penelitian mengenai pengaruh

pengalaman, komitmen profesional, orientasi etis, dan nilai etika pada

persepsi dan pertimbangan etis. Sampel berjumlah 183 auditor BPK di Jakarta

dan Semarang. Teknik analisis yang digunakan adalah regresi. Hasilnya

adalah orientasi etika berpengaruh signifikan terhadap persepsi dan

pertimbangan etis, sedangkan pengalaman, komitmen profesional, dan nilai

etika organisasi tidak berpengaruh signifikan terhadap persepsi dan

pertimbangan etis.

Pengaruh orientasi etika pada komitmen dan sensitivitas etika diteliti oleh

(Aziza & Salim, 2007). Sampel penelitian eksperimen ini adalah auditor yang

bekerja pada KAP di Bengkulu dan Sumatera Selatan. Jumlah sampel yang

diteliti sebanyak 32 auditor KAP. Teknik analisis yang digunakan yaitu Path

Analysis. Hasilnya orientasi etika berpengaruh terhadap komitmen. Komitmen

profesional dan organisasional tidak berpengaruh terhadap sensitivitas etika.

(Falah, 2010) meneliti tentang pengaruh budaya etis organisasi dan

orientasi etis terhadap sensitivitas etika. Metode pengumpulan sampel dalam

penelitian ini adalah metode survey. Sampel berjumlah 116 aparatur Bawasda

di Provinsi Papua. Teknik analisis yang digunakan adalah Path Analysis.

Hasilnya budaya etis organisasi berpengaruh pada idealisme dan tidak pada

relativisme, sedangkan relativisme berpengaruh signifikan pada sensitivitas

etika dan idealisme tidak berpengaruh.


20

(Woods, 2002) menguji pengaruh budaya etis organisasi dan orientasi etis

pada etika judgment akuntan. Penelitian tersebut menggunakan Path Analysis

membuktikan bahwa budaya etis organisasi mempengaruhi orientasi etika dan

etika judgment akuntan.

(Khomsiyah & Nur Indriantoro, 1998) meneliti pengaruh orientasi etika

terhadap komitmen professional, komitmen organisasional dan sensitivitas

etika auditor Pemerintah DKI Jakarta dengan metode Path Analysis. Hasil

yang diperoleh bahwa orientasi etika mempengaruhi komitmen profesional,

komitmen organisasional dan sensitivitas etika.

(Shaub et al., 1993) meneliti pengaruh orientasi etika pada komitmen

profesi dan organisasi, serta sensitivitas etika dengan teknik analisis Manova.

Hasilnya adalah orientasi etika mempengaruhi sensitivitas etika, komitmen

profesi dan organisasi.

Anda mungkin juga menyukai