Anda di halaman 1dari 2

Nama : Ribka Darningsih

Nim : 4193510015
Kimia Nondik B’19

Nanopartikel : Racun Pembunuh Tak Kasat Mata di Udara

Penelitian menyatakan polutan berukuran paling kecil, nanopartikel sebagai penyebab


utama penyakit dan kematian. Namun alat pengukur polusi udara saat ini tidak dapat
menghitung zat beracun berukuran mikroskopik ini. Setelah bertahun – tahun polusi udara
menghiasi dilingkungan kehidupan, kita masih kesehatan terbesar yang datang dari kerusakan
lingkungan ini. Contohnya, kita tahu bahwa partikel polusi padat yang tak kasat mata dapat
memasuki paru-paru dan aliran darah kita. Kita juga diberitahu bahwa gas NOx – termasuk
nitrogen dioksida adalah ancaman bagi kesehatan terbesar di kota – kota. Tapi pada
kenyataannya, NOx bertanggung jawab atas tak lebihnya dari 14% kematian karena polusi
udara di Eropa.
Pada saat ini belum ada ditemukan zat pembunuh yang mampu mengatasi racun
pembunuh tak kasat mata tersebut. Nanopartikel dapat menyebabkan kerusakan pada organ
dalam tubuh kita. Rata – rata partikel tertinggi dapat kita jumpai didalam mobil dam bus :
semakin dekat kita dengan sumber polusi, atau pipa knalpot yang mengeluarkan asap emosi,
semakin tinggi pula jumlah nanopartikel itu.
Penelitian dan makalah ilmiah Kumar tentang topik ini, yang diterbitkan sejak 2008,
telah membuka diskusi tentang paparan nanopartikel dan menjadikan Kumar profesor di
Universitas Surrey.
"Penelitian pertama saya di 2008 adalah penjelasan dan analisis," ujar Kumar. "Ketika asap
emisi keluar dari kendaraan, mereka berbentuk gas, kemudian menyebar menjadi partikel-
pertikel nano. Lalu mereka bergabung kembali menjadi partikel yang lebih besar.
"Dari knalpot, Anda mendapatkan satu juta partikel per sentimeter kubik udara. Di jalan,
jumlahnya 100.000 sementara di trotoar jumlahnya 10.000."Penelitian ini menemukan 90%
dari seluruh partikel di jalanan yang sibuk adalah nanopartikel dengan ukuran di bawah
100nm.Ini bisa menjadi masalah kesehatan, jelas Kumar, "karena semakin kecil partikel,
maka semakin besar area permukaannya. Area permukaan yang besar berarti [potensi]
keracunan semakin besar, karena mereka akan memengaruhi area permukaan yang lebih
besar di dalam tubuh manusia."
Nanopartikel juga bisa menembus dinding paru-paru dan masuk ke sistem peredaran
darah, dengan cara yang tidak bisa dilakukan oleh partikel PM2,5 yang lebih besar. Bila
mereka sudah berada di aliran darah dan paru-paru, mereka bisa menimbulkan peradangan,
lalu berpindah ke organ-organ lain di dalam tubuh.Hingga baru-baru ini, tidak diketahui
secara pasti ukuran partikel yang bisa masuk ke organ lain, dan seberapa besar yang
menempel di paru-paru dan saluran udara bagian atas.Kepingan terakhir teka-teki ini dijawab
oleh sebuah tim peneliti yang dipimpin oleh Profesor David Newby di Universitas Edinburgh
pada 2017. Dr Jen Raftis, salah satu ilmuwan dalam riset tersebut, berkata: "Ada banyak ide
tentang bagaimana kita bisa menunjukkan keberadaan nanopartikel [di dalam aliran darah],
banyak teknik imaji. Tapi tidak ada teknik yang memiliki resolusi sebesar itu, maka kami
lantas memutuskan untuk menggunakan emas."Sebuah mesin yang dipinjam dari Belanda
memakai elektroda untuk menyemprot emas pada nanopartikel yang berukuran 2nm. Mula-
mula, tim Edinburgh menggunakan tikus untuk menghirup nanopartikel emas; kemudian,
giliran relawan manusia.

"Kami memakai emas karena kami yakin aman," kata Raftis meyakinkan. "Secara klinis,
emas tidak bereaksi dan tidak menyebabkan tekanan oksidasi di dalam tubuh."

Emas juga lebih mudah dideteksi, tidak seperti partikel karbon yang akan berkamuflase bila
dimasukkan ke dalam tubuh manusia yang terdiri dari karbon.

Link : https://www.bbc.com/indonesia/vert-fut-50922154

Anda mungkin juga menyukai