Anda di halaman 1dari 58

Tentang Marxisme

D.N. Aidit (Februari 1962)

Sumber: Tentang Marxisme. Cetakan Kedua. Djakarta: Akademi Ilmu Sosial Aliarcham, 1963. Scan PDF
Booklet "Tentang Marxisme "

ISI

Sepatah Kata Penerbit

Pengantar untuk Cetakan II

PENGANTAR

BAB I. FILSAFAT

BAB II. EKONOMI POLITIK

BAB III. SOSIALISME ILMU

-------------------------------------------------------------------

SEPATAH KATA PENERBIT


Buku ini semulanya adalah rangkaian ceramah Tentang Marxisme yang diberikan oleh Kawan D. N. Aidit,
Ketua CC PKI di hadapan para peserta Pelatihan Kemiliteran Pegawai Sipil (LKPS) Departemen Luar
Negeri Republik Indonesia dalam bulan Februari 1962. Dalam ceramah-ceramah itu naskah rangkaian
ceramah ini sebagian dibacakan dan sebagian lagi diuraikan pokok-pokoknya.

Dengan seizin pengarangnya, Akademi Ilmu Sosial Aliarcham memutuskan untuk membukukan naskah
rangkaian ceramah itu selengkapnya setelah diadakan penyempurnaan oleh pengarang, baik mengenai
redaksinya maupun mengenai penguraian beberapa masalah. Tulisan Kawan D. N. Aidit – Ketua Dewan
Kurator dan Dosen Luarbiasa Akademi Aliarcham – merupakan bahan pelajaran penting bagi para
mahasiswa Akademi Aliarcham, terutama karena karya-karya klasik tentang Marxisme-Leninisme
kebanyakan masih terdapat dalam bahasa asing dan jumlah peredarannya di negeri kita pun sangat
terbatas.

Pembukuan rangkaian ceramah ini akan sangat membantu pula untuk menyebarkan pengertian yang
tepat tentang Marxisme-Leninisme di kalangan masyarakat yang luas di Indonesia, pengertian bahwa ML
adalah ilmu masyarakat yang telah berakar dan tumbuh di bumi kita sendiri. Semakin luas dan semakin
tepat ML dipahami, maka semakin lancarlah usaha untuk “meng-Indonesiakan” ML. Ini akan mendorong
lebih maju perkembangan ilmu sosial yang progresif di negeri kita dan memperbesar pengabdiannya
kepada penyelesaian tuntutan-tuntutan Revolusi Agustus 1945 sepenuhnya, kepada pelaksanaan
Manipol dengan konsekuen.

Akademi Ilmu Sosial Aliarcham

Jakarta, Mei 1962.

----------------------------------------------------------
PENGANTAR UNTUK CETAKAN II

Berhubung dengan banyaknya permintaan akan buku Tentang Marxisme, maka Akademi Ilmu Sosial
Aliarcham telah memutuskan untuk menerbitkan Cetakan II dari buku tersebut.

Pada pokoknya dalam Cetakan II ini tidak diadakan perubahan-perubahan, kecuali beberapa perubahan
redaksional yang dilakukan oleh penulisnya.

AISA

Jakarta, November 1962

-------------------------------------------------------------------------------------

PENGANTAR

Para Saudara yang terhormat,


Mengadakan ceramah di hadapan petugas-petugas Departemen Luar Negeri bagi saya ini bukanlah yang
pertama kalinya. Pada tanggal 8 April 1961, atas permintaan Sdr. Menteri Luar Negeri Dr. Subandrio
saya telah memberikan ceramah di hadapan Konferensi Kepala-Kepala Perwakilan Republik Indonesia di
Asia Pasifik dan Afrika Timur Tengah. Saya mengucapkan banyak terima kasih atas kesempatan-
kesempatan ini, dan saya mempunyai keyakinan bahwa dengan bekerja sama demikian ini, kita akan
dapat lebih banyak menyumbangkan segala yang baik kepada urusan bangsa dan Rakyat kita.

Saya diminta oleh Dr. Subandrio untuk menguraikan di hadapan Saudara-Saudara TM. Satu tema yang
sangat luas. Apa yang dapat saya lakukan untuk memenuhi permintaan yang memang pada tempatnya
ini dalam keadaan singkatnya waktu untuk mempersiapkan diktat dan terbatasnya jam ceramah? Dalam
waktu beberapa hari ini saya telah mengumpulkan kembali catatan-catatan yang lama maupun yang
baru tentang studi mengenai ML, menyusunnya secara sistematis agar dapat menghidangkannya kepada
Saudara-Saudara yang perlu-perlu saja, tetapi menyeluruh, dalam beberapa kali ceramah.

Saya menyetujui pendirian Dr. Subandrio bahwa petugas-petugas Departemen yang dipimpinnya harus
mempelajari Marxisme, terlepas dari apakah mereka menyetujui atau tidak menyetujui Marxisme. Saya
kira, kita semua sependapat, bahwa untuk menyetujui atau tidak menyetujui sesuatu, orang harus
mengetahui apa yang disetujui atau tidak disetujuinya itu, dan itu hanya bisa dengan mempelajarinya
sungguh-sungguh. Sekarang memang kita sering menghadapi yang aneh-aneh. Ada orang yang setuju
kepada Marxisme, tetapi tidak mengetahui apa Marxisme itu sebenarnya, sehingga ada kalanya terjadi,
bahwa yang mereka kira Marxisme itu justru adalah lawan daripada Marxisme. Dan banyak orang yang
menentang mati-matian Marxisme, tetapi tidak mengetahui dan malahan samasekali tidak pernah
mempelajari Marxisme, atau jika mempelajarinya tidak dari buku-buku Marxisme tapi dari buku-buku
musuh Marxisme atau renegad-renegad Marxism. Sering terjadi, bahwa musuh-musuh Marxisme
menyerang apa yang dikiranya Marxisme, tetapi sebenarnya mereka telah menyerang apa yang juga
diserang oleh kaum Marxis. Misalnya, jika mereka menyerang materialisme, biasanya yang mereka
serang ialah materialisme Feuerbach atau materialisme vulgar, tetapi mereka mengira bahwa yang
diserangnya adalah materialisme Marx. Sungguh sangat memalukan, bahwa masih ada saja orang-orang
yang suka berbicara panjang lebar dan menulis buku-buku tebal tentang sesuatu yang tidak
diketahuinya.

Tetapi persetujuan saja tidak terbatas di situ. Saya menyetujui pendirian Dr. Subandrio agar pejabat-
pejabat negara yang bertanggungjawab mempelajari Marxisme, dengan alasan bahwa Marxisme tidak
hanya bukan barang selundupan di Indonesia, tetapi sesuatu yang sah, karena konsepsi Nasakom adalah
pengakuan hak hidup bagi Marxisme di negeri kita, sebagaimana juga halnya dengan hak hidup bagi
Nasionalisme dan agama. Oleh karena itu, menurut pendapat saya, soal mempelajari Marxisme di negeri
kita, di samping sangat perlu untuk menambah pengetahuan guna memahami berbagai gejala
internasional, menghadapi kenyataan adanya negara-negara sosiali atau gerakan kelas buruh sedunia,
adalah sangat perlu pula untuk memahami gejala-gejala nasional, untuk merealisasi aspirasi-aspirasi
nasional kita, untuk merealisasi gagasan Nasakom, Gotong Royong dan Sosialisme Indonesia.

Seperti sudah saya katakan dalam ceramah saya tanggal 8 April tahun yang lalu, Marxisme di Indonesia
sudah menjadi kenyataan sejarah, kenyataan sosiologis, kenyataan politis. Marxisme tumbuh sudah
lama di negeri kita, yaitu sejak tahun 1914 dengan berdirinya Perhimpunan Sosial Demokratis Hindia
(PSDH, Indische Sociaal Democratische Vereniging – ISDV) yang dalam bulan Mei tahun 1920 menjadi
PKI. Dalam tahun 1926 – 1927 Partai Marxis yang masih sangat muda ini telah memimpin satu
pemberontakan Rakyat anti-kolonialisme yang gagal, kemudian hampir duapuluh tahun dipaksa hidup di
bawah tanah oleh kaum kolonialis Belanda dan Fasis Jepang, tetapi sejak Revolusi Agustus 1945 ia
muncul kembali ke permukaan bumi, ambil bagian aktif dalam revolusi itu, dan sekarang telah
merupakan satu aliran dan kekuatan yang penting dalam kehidupan politik Rakyat Indonesia. Jadi, mau
tidak mau, suka tidak suka, Marxisme telah mendapat tempatnya sendiri di dalam kehidupan politik dan
sosial negeri kita, di dalam hati bagian tertentu yang tidak kecil dari Rakyat Indonesia.

Dalam ceramah saya tanggal 8 April tahun yang lalu tersebut di dalam telah saya singgung serba singkat
bahwa Marxisme terdiri dari tiga sumber dan tiga bagian, yaitu Filsafat, Ekonomi Politik dan Sosialisme.

Filsafat Marx bersumber pada filsafat klasik Jerman. Filsafat Marxisme adalah materialisme. Hasil yang
paling penting dari Marx di bidang filsafat ialah dialektika, yaitu ajaran tentang perkembangan dalam
bentuknya yang paling sempurna, paling dalam, bebas dari sifat berat sebelah, ajaran tentang
kerelatifan pengetahuan manusia yang memberikan pencerminan kepada kita tentang materi yang
berkembang abadi. Marx tidak berhenti pada memperdalam dan mengembangkan materialisme filsafat,
tapi ia melengkapinya, ia meluaskan pengertian materialisme filsafat tentang alam kepengertian tentang
masyarakat manusia. Penerapan (penggunaan, pelaksanaan) azas-azas pokok materialisme dialektik di
lapangan gejala sosial, gejala kemasyarakatan, itulah yang dinamakan materialisme histori. Materialisme
filsafat Marx telah menunjukkan kepada Rakyat pekerja jalan keluar dari perbudakan jiwa.

Saya bermaksud untuk menguraikan materialisme dialektik dan histori secara agak mendalam dalam
Bab I dari rangkaian ceramah-ceramah saya. Materialisme dialektik dan histori tidak hanya merupakan
salah satu bagian, tetapi juga dasar daripada Marxisme.

Ekonomi Politik Marx bersumber pada ekonomi klasik Inggris. Marx melanjutkan pekerjaan Adam Smith
(1723-1790) dan David Ricardo (1772-1823) yang berkat penyelidikannya di lapangan sistem ekonomi
telah meletakkan dasar-dasar untuk teori nilai kerja. Marx telah menyingkapkan hubungan antara
manusia dalam penukaran antara barangdagangan yang satu dengan barangdagangan yang lain. Dalam
hal ini ahli-ahli ekonomi borjuis hanya melihat hubungan antara barang-barang tidak menyingkapkan
hubungan antara manusia. Marx membuktikan bahwa dalam sistem kapitalis tenaga kerja manusia pun
menjadi barang perdagangan. Dan dari sinilah Marx menjelaskan bagaimana kaum buruh menghasilkan
nilai-lebih yang menjadi sumber kekayaan seluruh kelas kapitalis. Ajaran tentang nilai-lebih adalah batu-
alas teori ekonomi Marx. Ekonomi politik Marx menerangkan kedudukan kelas buruh yang
sesungguhnya dalam sistem umum kapitalisme.

Saya bermaksud untuk menguraikan secara agak mendalam tentang Ekonomi Politik Marx dalam Bab II
dari rangkaian ceramah-ceramah saya.

Sosialisme Marx bersumber pada ajaran Sosialisme klasik Prancis. Berbeda dengan ajaran-ajaran
sosialisme utopia Prancis, Sosialisme Marx adalah ilmiah, tidak berdasarkan semata-mata pada
“kemauan baik” dan “akal” subjektif, tetapi berdasarkan hukum objektif perkembangan masyarakat
manusia. Marx telah menarik kesimpulan dari sejarah dunia, bahwa perjuangan kelas adalah lokomotif
daripada kemajuan masyarakat, bahwa untuk menciptakan masyarakat sosialis, masyarakat dimana
tidak ada penghisapan atas manusia oleh manusia, masyarakat tak berkelas, tidaklah mungkin dengan
jalan mengharapkan belas kasihan kaum kapitalis atau usaha orang-orang yang baik budi saja, tetapi
harus dengan jalan mengadakan perjuangan kelas terhadap kaum kapitalis. Perjuangan kelas untuk
menghapuskan kelas!

Saya bermaksud untuk menguraikan secara agak mendalam tentang Sosialisme Ilmu dalam Bab III dari
rangkaian ceramah-ceramah ini.

--------------------------------------------------------------

BAB I. FILSAFAT
Sebagaimana telah saya kemukakan dalam pengantar ceramah ini, materialisme dialektik dan histori
(MDH) bukan hanya salah satu bagian, tetapi merupakan dasar daripada ajaran Marxisme
keseluruhannya. Maka, untuk dapat mengenal dan memahami, apalagi menguasai Marxisme, pertama-
tama dan terutama kita harus mengenal dan memahami filsafat materialisme dialektik dan histori.

Dalam tulisannya Tiga Sumber dan Tiga Bagian Marxisme Lenin antara lain mengatakan: “Filsafat Marx
adalah materialisme filsafat yang sudah disempurnakan, yang telah mempersenjatai umat manusia,
terutama kelas buruh, dengan alat-alat pengetahuan yang perkasa.”[1] Filsafat Marx adalah perkasa, ia
bukan hanya merupakan senjata untuk mengenal, tetapi juga untuk mengubah keadaan alam,
masyarakat maupun pikiran manusia sendiri.

Mengapa MDH itu perkasa?

“Ajaran Marx adalah perkasa, karena ia benar-benar kata Lenin, “Ia komplit dan harmonis, ia memberi
kepada manusia suatu pandangan dunia yang lengkap yang tak dapat didamaikan dengan takhayul
apapun, dengan reaksi apapun, atau dengan pembelaan atas penindasan borjuis apapun. Ia adalah
pewaris yang sah dari pada apa yang paling baik yang sudah diciptakan oleh umat manusia dalam abad
kesembilanbelas”.[2[ Dengan perkataan lain, MDH yang diciptakan oleh guru-guru besar kelas proletar,
K. Marx (1818 – 1883) dan F. Engels (1980 – 1895) dalam abad ke-19 itu adalah berdasarkan
pengalaman praktek sosial seluruh umat manusia di masa lampau (lebih dari 2000 tahun) serta hasil-
hasilnya yang terbaik dan termaju di bidang filsafat maupun di bidang ilmu alam dan ilmu sosial. Ia
merupakan suatu produk daripada proses perkembangan sejarah pada tingkatan tertentu – yaitu
kapitalisme, dimana proses perjuangan antara pikiran-pikiran yang ilmiah dengan yang takhayul, antara
filsafat materialisme dengan filsafat idealisme telah mencapai tingkat yang tertinggi. Proses perjuangan
ini merupakan pencerminan (refleksi) proses perjuangan kelas yang telah sampai pada tingkat terakhir di
sepanjang sejarah masyarakat berkelas. Oleh karena itu, maka untuk dapat mengenal dan memahami
MDH secara tepat, perlu kita terlebih dahulu mendapat gambaran, walaupun secara singkat dan garis
besar, tentang sejarah perkembangan filsafat.

1. Dua Kubu Dalam Dunia Filsafat

Sejarah perkembangan pikiran filsafat adalah suatu bagian dan juga suatu pencerminan (refleksi)
daripada proses sejarah perkembangan masyarakat manusia. Filsafat sebagai suatu bentuk khusus
kesadaran sosial mulai timbul dalam sejarah dunia pada jaman peralihan dari masyarakat komune-
primitif ke masyarakat pemilikan budak, dimana masyarakat mulai terbagi dalam kelas-kelas yang saling
bertentangan kepentingannya, mulai terjadi pemisahan antara kerja badan dengan kerja otak, dimana
mulai terjadi hubungan penindasan dan penghisapan atas manusia oleh manusia. Sejak itu, sebagaimana
dikatakan oleh Marx, sejarah masyarakat manusia adalah sejarah perjuangan kelas, maka sebagai
pencerminannya sejarah filsafat adalah sejarah perjuangan antara dua kubu besar: materialisme dan
idealisme.

Sebelum kita meninjau keadaan dua kubu besar filsafat tersebut serta proses perkembangannya perlu
dijelaskan terlebih dahulu pengertian mengenai materialisme dan idealisme dalam filsafat.

Sebagai kita ketahui, filsafat adalah pandangan dunia, adalah pandangan manusia yang paling umum
mengenai dunia keseluruhannya, mengenai gejala-gejala alam, masyarakat dan pikiran atau
pengetahuan manusia itu sendiri. Oleh karenanya, masalah pokok di dalam filsafat adalah masalah
hubungan antara pikiran dengan keadaan, antara dunia-subjektif dengan dunia-objektif.

Dalam karyanya Ludwig Feuerbach dan Akhir Filsafat Klasik Jerman, Engels menerangkan: “Masalah
terpokok dari seluruh filsafat, ialah masalah hubungan antara pikiran dengan keadaan, hubungan antara
jiwa dengan alam................ antara mana yang primer, jiwa atau alam............... Jawaban-jawaban yang
diberikan oleh para filsuf terhadap masalah ini membagi mereka dalam dua kubu besar. Mereka yang
menegaskan bahwa jiwa ada lebih dahulu daripada alam, dan oleh karenanya, dalam instansi terakhir,
menganggap adanya penciptaan dunia dengan satu atau lain bentuk.......... merupakan kubu idealisme.
Lain-lainnya yang menganggap alam adalah yang primer, tergolong ke dalam berbagai mazhab
materialisme”.[3] Jelasnya, pandangan dunia materialisme bertolak dari kenyataan objektif, sedang
pandangan dunia idealisme berpangkal pada pikiran atau ide. Demikianlah arti sebenarnya daripada
istilah-istilah materialisme dan idealisme di dalam filsafat.

Alangkah salah dan kacaunya kalau ada sementara orang mengatakan, misalnya, bahwa orang yang
berfilsafat materialisme itu hanya mengutamakan atau mengejar kenikmatan kehidupan materiil saja,
dan tidak mementingkan kehidupan spiritual ataupun moral, sebaliknya orang yang berfilsafat idealisme
itu adalah orang yang bercita-cita luhur dan bermoral tinggi, dan tidak lahap pada kenikmatan
kehidupan materiil, tidak mata duitan; bahwa orang itu adalah materialis karena ia tidak beragama, dsb.
dsb. Padahal, kenyataan banyak menunjukkan bahwa mereka yang berfilsafat materialisme itu justru
adalah orang-orang yang jauh daripada lahap kepada kenikmatan kehidupan materiil, yang “rame ing
gawe”, tapi “Sepi ing pamrih”, dan yang paling berani mengorbankan kepentingan dirinya, bahkan jiwa
raganya sendiri untuk mewujudkan cita-cita umat manusia yang paling luhur, yaitu masyarakat sosialis
dan Komunis yang bebas dari segala macam bentuk penindasan dan penghisapan oleh manusia atas
manusia. Pendeknya, bukti sangat banyak bahwa mereka yang materialis dalam filsafat mempunyai
ideal atau cita-cita itu. Sebaliknya, sangat banyak pula bukti bahwa mereka yang idealis dalam filsafat
dan yang mengaku dirinya idealis justru adalah orang-orang yang paling mementingkan dirinya sendiri,
yang paling rusak akhlaknya. Kata Engels: “Perkataan materialisme oleh si-filistin diartikan kerakusan,
kemabukan, mata keranjang, nafsu birahi, kesombongan, kelobaan, kekikiran, ketamakan, pengejaran
laba dan penipuan bursa – pendeknya, segala keburukan kotor yang ia sendiri melakukannya secara
sembunyi-sembunyi. Perkataan idealisme ia artikan kepercayaan akan kebajikan, filantorpi universal dan
secara umum suatu ‘dunia yang lebih baik’, yang dia sendiri sombongkan di muka orang lain tetapi yang
dia sendiri hanya percaya selama ia berada dalam kesusahan atau sedang mengalami kebangkrutan
sebagai akibat dari ekses-ekses ‘materialis’nya yang biasa. Waktu itulah ia menjanjikan lagu
kesayangannya, Apa manusia itu? – setengah binatang, setengah malaikat.”[4] Juga kenyataan-
kenyataan menunjukkan bahwa orang-orang yang tak beragam tidaklah otomatis materialis dalam
filsafat, dan orang yang idealis filsafatnya tidak mesti beragama, sungguhpun setiap agama itu dasar
filsafatnya adalah idealis. Sarjana-sarjana dalam ilmu alam juga tidak otomatis berfilsafat materialis.
Justru oleh karena itu, maka Engels memperingatkan: “Betapalah kacaunya jika kepada dua istilah itu
ditambahkan sesuatu pengertian yang lain”, maksudnya yang lain daripada pengertian filsafat. Dan ia
mengecam dengan kerasnya orang-orang yang menyalahgunakan dua istilah tersebut sebagai orang-
orang yang sudah kacau balau pikirannya.

Jadi, dalam membicarakan materialisme dan idealisme kita harus berpegang pada pengertian seperti
yang sudah diterangkan di dalam, kita harus berpegang pada pengertian filsafat dan bukan pengertian
moral.

(A) IDEALISME

Filsafat idealisme yang pada dasarnya berpendapat bahwa ide atau jiwa ada lebih dahulu, sedang alam
atau kenyataan objektif diciptakan atau diwujudkan oleh ide itu bersumber pada dua hal: 1) Kepicikan
pengetahuan atau takhayul dan 2) Watak kelasnya.

“Sejak jaman purbakala”, tulis Engels, “ketika manusia, yang masih sama sekali tidak tahu tentang
susunan tubuh mereka sendiri, di bawah rangsang ujud-ujud impian mulai percaya bahwa pikiran dan
perasaan mereka bukan aktivitas-aktivitas tubuh mereka, tetapi suatu nyawa yang tersendiri yang
mendiami tubuhnya dan meninggalkannya waktu mereka mati – sejak itu manusia didorong untuk
berpikir tentang hubungan antara nyawa dengan dunia luar. Jika pada waktu tubuhnya mati nyawa itu
meninggalkan tubuh dan hidup terus, maka tidak ada kesempatan untuk mendapatkan suatu kematian
lain yang jelas baginya”. [5] Dengan demikian timbul ide tentang kekekalan, timbul kebingungan karena
ketidaktahuan. Dari sinilah kemudian timbul dan berkembang berbagai macam bentuk-bentuk
kepercayaan, ketakhayulan dan filsafat idealisme.

Akan tetapi, ketidaktahuan atau kepicikan pengetahuan manusia, yang disebabkan karena pembatasan
syarat-syarat sejarah yang ada padanya, atau oleh keterbatasan pengalaman praktek sosialnya,
bukanlah akar yang kuat bagi pertumbuhan filsafat idealisme. Sebab, seiring dengan perkembangan
masyarakat, dengan kemajuan praktek sosial manusia, makin besar pulalah kemampuan manusia untuk
mengenal dunia di sekitarnya. Pengetahuan manusia makin luas, dalam dan tepat mengenai keadaan di
sekelilingnya maupun mengenai dirinya sendiri, sehingga pandangan idealis yang bersumber pada
pengetahuan yang salah itu dengan sendirinya gugur. Tetapi kenyataan sejarah menunjukkan bahwa
filsafat idealisme dapat mempertahankan dirinya, bahkan dapat berpengaruh kuat, walaupun di dalam
keadaan dimana ilmu atau pengetahuan manusia telah berkembang sangat tinggi seperti sekarang ini.
Hal ini bisa terjadi justru karena pandangan idealisme itu dapat memberikan kegunaan kepada
kekuatan-kekuatan sosial tertentu, dan karenanya mendapatkan dukungan mereka. Dengan perkataan
lain, sebagaimana dikatakan oleh Lenin, filsafat idealisme “dikonsolidasi oleh kepentingan-kepentingan
kelas-kelas yang berkuasa”[6] – pemilik budak, kaum feodal atau borjuasi. Di sinilah letak akar kelas dari
idealisme.

Di dalam kubu idealisme terdapat berbagai macam aliran dengan bentuk-bentuknya yang bersesuaian
dengan keadaan sosial dimana mereka tumbuh dan berlaku. Akan tetapi, pada pokoknya mereka dapat
dibagi ke dalam dua macam golongan besar, yaitu: a) idealisme objektif, dan b) idealisme subjektif.

a) Idealisme Objektif

Sebagaimana telah dikemukakan di dalam, pokok pangkal dari segala macam idealisme adalah sama,
yaitu ide. Akan tetapi, ide itu dapat diartikan pikiran manusia, baik sebagai umat manusia
keseluruhannya maupun sebagai orang seorang, dan juga dapat diartikan ide yang berada di luar
manusia, misalnya, ide dewa-dewa, atau “ide absolut” ciptaan Hegel, dan entah berapa banyak lagi
sebutan-sebutan lainnya.

Idealisme objektif adalah pandangan dunia yang berpokok-pangkal pada ide yang berada di luar
manusia, yang “objektif”. Pandangan dunia semacam ini pada dasarnya mengakui adanya sesuatu yang
bukan-materiil, yang ada secara abadi di luar dunia dan manusia. Sesuatu yang bukan-materiil itu ada
sebelum dunia alam semesta ini ada, malah sebagai pencipta dunia alam semesta ini, termasuk manusia
dengan segala pikiran dan perasaannya. Semua yang materiil, menurut idealisme objektif, adalah hasil
ciptaan atau sebagai perwujudan konkret daripada ide. Dalam bentuknya yang amat primitif, pandangan
ini menyatakan dirinya dalam penyembahan kepada pohon, batu, dsb.

Akan tetapi, sebagai suatu sistem filsafat, pandangan dunia ini dalam sejarah dunia kita kenal pertama-
tama adalah sistem filsafat Plato (427 – 347 S.M.) atau platoisme. Menurut Plato, dunia luar yang dapat
ditanggap oleh panca indera atau cita rasa kita itu bukanlah dunia yang riil, melainkan bayangan
daripada dunia “idea” yang abadi dan riil. Oleh karenanya ia selanjutnya berpendapat bahwa
pengetahuan manusia itu adalah penemuan kembali atau pengingatan kembali (anamnesis) pada “idea”
itu, dan tujuan dari pengetahuan manusia adalah untuk menemukan kembali seluruh dunia “idea” itu.
Pandangan dunia Plato ini mewakili kepentingan kelas yang berkuasa pada waktu itu, yakni kaum
bangsawan pemilik-budak, dan ini nampak dengan jelasnya dalam ajarannya tentang “masyarakat ideal”
atau sosialisme kaum bangsawan. Tentang ini akan diterangkan di bagian lain yang mengenai sejarah
timbulnya cita-cita Sosialisme.

Pada Zaman Tengah (feodal), filsafat idealisme objektif mengambil bentuk yang dikenal dengan sebutan:
skolastisisme. Sistem filsafat ini adalah suatu pandangan dunia yang memadukan unsur-unsur idealisme
dari filsafat Aristoteles (384 – 322 S.M.) dengan teologi. Pokok pandangan filsafat skolastisisme ini ialah,
bahwa dunia kita ini merupakan satu tingkatan hierarki dari seluruh sistem hierarki dunia semesta yang
diciptakan oleh Tuhan, begitupun juga hierarki yang ada dalam masyarakat feodal merupakan
kelanjutan dari hierarki dunia ke-Tuhanan. Segala sesuatu yang ada dan yang terjadi di atas dunia kita
maupun di seluruh alam semesta ini tidak lain adalah pelaksanaan titah Tuhan atau sebagai perwujudan
konkret daripada ide Tuhan. Filsafat ini membela kepentingan kaum bangsawan feodal dan kekuasaan
gereja yang pada waktu itu merupakan tuan tanah besar di Eropa. Tokoh-tokoh yang terkenal dari aliran
filsafat ini antara lain dapat dikemukakan di sini, misalnya, Johannes Eriugena (833 – 800), Thomas
Aquinas (1225 – 1274), Duns Scotus (1270 – 1308), dsb.

Kemudian, dalam Zaman Modern, pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19, filsafat idealisme objektif
mengambil bentuknya yang terkenal dengan sistem filsafat Hegel (1770 – 1831). Menurut Hegel, hakikat
dari dunia ini adalah “ide absolut”, yang berada secara absolut dan “objektif” di dalam segala sesuatu,
dan tak terbatas pada ruang dan waktu. “ide absolut” ini, dalam proses perkembangannya
menampakkan dirinya dalam wujud gejala alam, gejala masyarakat dan gejala pikiran. Dengan demikian,
“ide absolut” itu tak lain adalah pencipta segala sesuatu di dunia ini. Filsafat Hegel mewakili kelas borjuis
Jerman yang pada ketika itu baru tumbuh dan masih lemah, kepentingan kelasnya menghendaki suatu
perubahan sosial, menghendaki hapusnya hak-hak istimewa kaum bangsawan jonker. Hal ini tercermin
dalam pandangan dialektiknya yang beranggapan bahwa segala sesuatu itu senantiasa berkembang dan
berubah, tidak ada yang abadi dan mutlak, termasuk juga kekuasaan kaum feodal. Akan tetapi, kekuatan
dan kedudukannya yang masih serba lemah itu membikin mereka tak berani secara terang-terangan
melawan filsafat skolastisisme dan ajaran agama yang berkuasa pada ketika itu, perlawanan mereka
terbatas pada usaha menggantikan Tuhan dengan “ide absolut”.

Bentuk filsafat idealisme objektif yang kita kenal pada zaman sekarang, antara lain, adalah neo-
Thomisme atau neo-skolastisisme. Neo-Thomisme adalah suatu aliran filsafat yang menghidupkan
kembali filsafat skolastisisme di zaman tengah, menghidupkan kembali ajaran-ajaran Thomas Aquinas,
dengan menyalahgunakan hasil-hasil ilmu. Dasar pandangannya ialah pengakuan Tuhan sebagai
pencipta dan penguasa yang maha kuasa atas dunia. Alam adalah “realisasi ide-ide suci”, dan sejarah
adalah “realisasi rencana suci”. Jadi, mereka mengakui adanya dunia objektif yang diciptakan oleh
Tuhan, dan manusia dibekali oleh Tuhan untuk mengenal dunia objektif itu atau kebenaran abadi.
Tetapi, menurut mereka, pengetahuan yang diberikan oleh ilmu itu tak dapat dipercaya dan hanya
terbatas pada kulit badaniah yang menyembunyikan kebenaran abadi, sedang filsafat hanya bisa
mencapai atau menyelami sebagian dari kebenaran itu. Jalan kebenaran yang tertinggi terletak hanya
lewat “wahyu”, “keyakinan agama”, dan oleh karenanya kesimpulan-kesimpulan umum ilmu dan filsafat
harus menyesuaikan diri padanya. Jelaslah bahwa filsafat neo-Thomisme ini merupakan suatu ajaran
yang hendak mengabdikan ilmu dan filsafat pada kepentingan kamu kapitalis dengan menggunakan
gereja. Aliran filsafat ini di dalam dunia kapitalis mempunyai pengaruh yang agak besar tidak hanya di
kalangan rakyat biasa, tetapi juga di kalangan kaum sarjana.

Demikianlah beberapa bentuk dari filsafat idealisme objektif yang dapat kita kenal dalam dunia filsafat.

Pikiran filsafat idealisme objektif itu juga dapat kita jumpai di dalam kehidupan sehari-hari dengan
berbagai macam bentuk. Perwujudannya yang paling umum, antara lain, adalah formalisme dan
doktrinisme. Kaum formalis dan doktrineris secara buta tuli mempercayai dalil-dalil atau formula-
formula sebagai kekuatan yang maha kuasa. Sebagai obat yang manjur untuk segala macam penyakit,
sehingga dalam melakukan tugas-tugas atau menyelesaikan persoalan-persoalan tidak bisa berpikir dan
bertindak secara hidup berdasarkan situasi dan syarat-syarat yang konkret. Mereka, kaum “textbook-
thinkers”, yang sering dikecam oleh Presiden Sukarno, juga adalah perwujudan pikiran idealisme objektif
dalam praktek. Juga bapakisme atau kultus individu (pemujaan pada seseorang) adalah perwujudan
konkret dari idealisme objektif, karena semua itu adalah bentuk-bentuk ketakhayulan.

b) Idealisme Subjektif

Berbeda dengan idealisme objektif, maka idealisme subjektif adalah pandangan dunia yang berpangkal
pada ide manusia, baik ide manusia secara keseluruhannya, maupun secara perorangan. Jelasnya, aliran
filsafat ini berpendapat bahwa dunia di sekeliling kita ini merupakan kumpulan daripada sensasi-sensasi
manusia, dengan perkataan lain, dunia luar yang ada di sekitar kita ini dipandangnya sebagai khayalan
belaka, sedang perasaan dan pikiran kita dipandangnya sebagai satu-satunya zat (substansi) yang riil.

Salah satu tokoh yang terkenal dari aliran idealisme subjektif ini adakah seorang uskup Inggris yang
bernama George Berkeley (1648 – 1753). Menurut Berkeley, segala sesuatu yang tertanggap oleh
sensasi atau perasaan kita itu bukanlah dunia materiil yang riil dan ada secara objektif, melainkan
khayalan daripada ide kita belaka. Sesuatu yang materiil, misalnya, bunga mawar merah, dianggapnya
sebagai suatu kumpulan dari berbagai macam perasaan tertentu, yaitu perasaan mengenai warna, bau,
bentuk, dsb. ; dan yang dimaksud dengan sensasi atau perasaan itu adalah ide yang telah kita sedari,
atau sebagai bentuk eksistensi daripada ide kita. Dengan demikian, Berkeley menyangkal adanya dunia
materiil yang objektif, dan hanya mengakui adanya dunia yang riil di dalam sensasi atau ide manusia.
Kesimpulan yang logis yang dapat ditarik dari pandangan idealisme subjektif ini adalah akuisme atau
solipsisme, suatu pikiran filsafat yang menyatakan bahwa yang ada secara riil di dunia ini hanyalah
“aku”, segala sesuatu lainnya, termasuk juga orang tuaku, tidak lain hanya sebagai perwujudan konkret
daripada sensasi aku. Untuk “menghindarkan diri dari solipsisme”, maka Berkeley menyatakan bahwa
hanya Tuhan yang berada tanpa tergantung pada sensasi, bahkan sebagai penggerak daripada sensasi
kita. Filsafat Berkeley ini adalah filsafat kaum borjuis besar Inggris pada abad ke-18, yang sudah
merupakan kekuatan reaksioner, dalam menentang materialisme, sebagai manifestasi kekhawatiran
terhadap revolusi, Berkeley sendiri secara terus terang menyatakan bahwa filsafat idealisnya ditujukan
untuk menyangkal materialisme dan untuk memperkuat eksistensi Tuhan.

Dalam abad ke-19, idealisme subjektif mengambil bentuknya yang terkenal dengan sebutan:
positivisme, yang dikemukakan pertama kalinya oleh filsuf Prancis bernama Auguste Comte (1798 –
1857). Menurut ajarannya, hanya “pengalaman” merupakan kenyataan yang “sesungguhnya”, selain
dari pengalaman manusia tidak ada lagi dunia kenyataan, dunia adalah hasil ciptaan dari pengalaman,
dan ilmu hanya bertugas untuk menguraikan pengalaman praktis itu. Kaum positivis mengaku dirinya
berdiri di dalam materialisme dan idealisme, hendak menyamakan begitu saja ilmu dengan filsafat,
tetapi sesungguhnya mereka bersama-sama dengan idealisme menyerang materialisme. Comte
membagi sejarah dalam tiga tingkatan: tingkatan teologi, tingkatan metafisik, dan tingkatan empiris.
Kapitalisme, menurut Comte, merupakan sistem yang paling rasional sebagai hasil daripada
kemenangan pikiran ilmiah pada tingkatan empiris. Dari sini jelaslah bahwa filsafat Comte atau
positivisme umumnya adalah pembelaan kepentingan kaum borjuis dan sistem kapitalisme.

Dalam masa peralihan ke abad ke-20, positivisme menyatakan dirinya dalam bentuk Mach-isme (Mach,
E, 1838 – 1916) yang juga disebut empirio-kritisisme, yang dikritik habis-habisan oleh Lenin dalam
karyanya Materialisme dan Empirio-kritisisme.
Sebagai kelanjutan dari filsafat positivisme pada awal abad ke-20 adalah pragmatisme yang sekarang
populer di Amerika Serikat. Tokoh-tokohnya yang terkenal antara lain adalah William James (1842 –
1910) dan John Dewey (1859 – 1952). Kaum pragmatis ini walaupun mengakui adanya dunia objektif,
tetapi, menurut mereka, dunia objektif tak ada artinya sama sekali kalau tidak dihubungkan dengan
pengalaman praktis manusia. Dalam hubungan ini, menurut mereka, benar atau tidaknya pengetahuan
atau teori kita tentang sesuatu bukanlah diukur dengan sesuai atau tidaknya dengan kenyataan objektif
itu, melainkan diukur dengan ada atau tidaknya “nilai kontan” (cash-value). Dengan demikian,
pragmatisme sebenarnya hanya mengakui adanya kebenaran subjektif, tidak mengakui adanya
kebenaran objektif. Filsafat ini adalah filsafatnya “big businessmen” atau kaum borjuis besar, mewakili
kepentingan kaum imperialis. Sebab, berdasarkan ajaran mereka ini, maka tindakan penindasan dan
penghisapan ataupun perang agresi terhadap orang atau bangsa lain, misalnya, pendudukan kaum
imperialis Belanda atas wilayah kita Irian Barat, asalkan bisa memberikan keuntungan kepada mereka,
adalah suatu kebenaran! Bekas Presiden Eisenhower menggunakan “prinsip” pragmatis terhadap
pemakaian senjata-senjata atom. “menurut pendapat saya”, kata Eisenhower, … penggunaan bom-bom
atom harus atas dasar ini. Apakah akan menguntungkan saya atau tidak, apabila saya mengadakan suatu
peperangan? … Apabila saya berpikir bahwa hasil bersih akan ada di pihak saya, saya akan
menggunakannya segera”. [7]

Bentuk lain dari idealisme subjektif yang juga sangat populer di dunia Barat pada masa kini dan selama
ini agak banyak dipropagandakan di negeri kita, adalah eksistensialisme. Pemukanya adalah seorang
filsuf Jerman bernama Martin Heidegger (1889 - …), yang banyak mengambil ajaran-ajarannya Soren
Kierkegaard (1813-1855), seorang mistik Denmark pada awal abad ke-19. Eksistensialis-eksistensialis
lainnya yang ternama antara lain Karl Jaspers (1883-…..) dan Jean Paul Sartre (1905-……..).

Pokok pandangan eksistensialisme adalah pengakuan bahwa manusia tak mampu mengenal dunia luar
yang serba misterius dan rumit itu, satu-satunya kenyataan yang dikenalnya adalah “aku ada”.
Sebagaimana dikemukakan oleh Sartre. Eksistensi itu tidak mengandung akal, kausalitas, keharusan!
Oleh karenanya, setiap individu harus bebas untuk berbuat apa saja yang dikehendakinya. Tetapi
kebebasan itu hanya dapat dicapai kalau memisahkan dirinya dari individu-individu lainnya, dari
masyarakat, karena dalam masyarakat, dalam hubungan dengan orang-orang lain, akan terampas
individualitasnya. Filsafat ini menanamkan rasa takut kepada manusia dengan mengemukakan bahwa
eksistensi dunia dan manusia itu mempunyai masa akhirnya. Maka itu carilah kepuasan yang sepuas-
puasnya menurut kehendakmu selama kamu masih ada (exist). Demikianlah eksistensialisme
mendemonstrasikan kekosongan spiritual dan degradasi moral yang berasal dari individualisme borjuis.
Filsafat ini sebagai pencerminan ketakutan borjuasi akan kehancurannya yang tak dapat dielakkan dan
sebagai bentuk manifestasinya ada kalanya berwujud tindakan yang kalap. Eksistensialisme, bersama-
sama dengan aliran-aliran idealisme subjektif lainnya, merupakan tanah ideologi yang subur bagi
pertumbuhan fasisme dan militerisme.

Demikianlah beberapa macam bentuk idealisme subjektif yang dapat kita temukan di dalam dunia
filsafat.

Di dalam kehidupan sehari-hari sering juga dapat kita jumpai pikiran-pikiran idealisme subjektif dalam
berbagai macam bentuk. Misalnya, tak jarang kita mendengar ucapan-ucapan seperti berikut:

“Baik atau buruknya keadaan masyarakat kita sekarang ini tergantung pada orang yang menerimanya, ia
adalah baik bagi mereka yang merasakannya baik, dan ia adalah buruk bagi mereka yang
menanggapinya buruk” ; atau “Keadaan masyarakat menjadi demikian buruknya tidak lain karena orang-
orang yang berkuasa banyak yang tidak jujur melakukan tugas kewajibannya, jika mereka diganti dengan
orang-orang yang jujur, keadaan akan berubah menjadi baik” ; atau “Tanpa aku yang memimpin, segala
pekerjaan akan menjadi berantakan”; atau “aku bisa, kau harus bisa juga!”; dsb.

Semuanya itu pada pokoknya mau menyatakan bahwa ide seseorang yang menciptakan atau
menentukan keadaan objektif.

(B) MATERIALISME

Berlawanan dengan filsafat idealisme, filsafat materialisme pada umumnya bersandar pada ilmu dan
mempunyai watak kelas yang revolusioner. Hal ini akan nampak dengan jelas di dalam proses
perkembangan sejarahnya.

a) Materialisme Primitif

Filsafat materialisme dialektik dan histori dilahirkan melalui suatu proses perkembangan sejarah yang
lama. Bentuk pertama filsafat materialisme adalah materialisme primitif atau materialisme spontan yang
dikemukakan oleh filsuf-filsuf Yunani Kuno pada 600 tahun sebelum masehi. Materialisme pada ketika
itu adalah sederhana, kesederhanaannya sesuai dengan tingkat perkembangan masyarakat pada zaman
itu. Sekalipun demikian, arti sejarahnya serta sumbangannya kepada pikiran manusia pada zaman-
zaman selanjutnya, terutama kepada kelahirannya materialisme dialektik adalah besar sekali.

Sebagai wakil-wakil yang tersohor daripada filsuf-filsuf materialisme Yunani antara lain adalah Thales
(640 – 546 S.M.), Anaximander (611 – 546 S.M.), Anaximenes, Heraclitus (kira-kira 500 tahun S.M.).
Democritus (kira-kira 460 – 360 S.M.), dsb. sekalipun ajaran-ajaran mereka berbeda-beda satu sama lain,
di antara mereka ada satu persamaan pendapat: bahwa dunia ini terdiri dari materi: bahwa segala
sesuatu di dunia ini pada hakikatnya adalah materi yang senantiasa berubah dan berkembang. Misalnya,
Thales mengatakan segala sesuatu itu bersumber pada air, air merupakan unsur pokok dari dunia ini.
Anaximenes berpendapat bahwa hakikat dari dunia ini adalah hawa. Heraclitus menganggap dunia ini
diciptakan oleh api. Pada antara abad ke-5 dan ke-4 sebelum Masehi, Democritus mengemukakan teori
atomnya yang mempunyai nilai ilmu yang sangat besar sekali.

Menurut Democritus, dunia ini terdiri dari atom; atom adalah bagian-bagian terkecil yang tak dapat
dipecah lagi dari segala benda. Perbedaan jumlah dan susunan atom membentuk benda-benda yang
berlainan. Kecuali atom, Democritus juga berpendapat bahwa masih ada satu hal lagi yang ada di dunia
ini, yaitu ruang. Ruang merupakan tempat dimana atom-atom itu bergerak, saling mendorong dan
bentrok. Sehingga terjadi berbagai macam gejala dan gerak. Mengenai ide dan pengetahuan,
Democritus menerangkannya sebagai pencerminan keadaan luar di dalam hati dengan melalui perasaan,
karenanya perasaan dipandangnya sebagai satu-satunya sumber pengetahuan. Kemudian, Epicurus (341
– 270 S.M.), sebagai penerus dari Democritus, menerangkan bahwa segala gejala pikiran, perasaan, dsb,
termasuk juga roh manusia, semuanya adalah perwujudan dari gerak atom-atom. Dengan demikian,
filsafat Epicurus berpendirian materi menentukan ide, bukan ide menentukan materi.

Selain daripada itu materialisme Yunani kuno juga mengandung pandangan metodologi dialektik.
Misalnya, Thales beranggapan bahwa segala sesuatu itu senantiasa berada dalam keadaan gerak, A bisa
berubah menjadi B, B juga bisa berubah menjadi C; demikianlah segala sesuatu itu berubah terus
menerus. Anaximander juga berpendapat bahwa segala sesuatu itu bergerak dan berubah, bahkan ia
menerangkan gerak dan perubahan itu adalah suatu proses perjuangan dari dua hal yang berlawanan:
panas dan dingin. Akan tetapi, pandangan Heraclitus dalam hal ini lebih maju lagi. Menurut Heraclitus,
segala sesuatu itu “mengalir”, “panta nhei”. Heraclitus tidak hanya menerangkan segala sesuatu itu
“mengalir”, berkembang, tetapi juga menjelaskan bahwa perkembangan itu sendiri adalah proses
perjuangan dari kontradiksi.

Demikianlah beberapa pokok pandangan materialisme primitif. Sudah tentu dalam menerangkan segala
sesuatu itu filsuf-filsuf materialis Yunani tidak memberikan pembuktian-pembuktian secara ilmiah. Ini
bisa dipahami, mengingat tingkat perkembangan tenaga produktif masyarakat yang masih sangat
rendah pada waktu itu. Sungguhpun demikian, filsafat ini pada ketika itu mewakili kepentingan kaum
pedagang yang baru saja tumbuh, dan oleh karena itu secara historis progresif. Sebagaimana kita
mengetahui, pada waktu itu di Pesisir Tenggara Yunani, ekonomi barangdagangan mulai berkembang
dan menggantikan ekonomi alamiah. Kaum pedagang, golongan yang progresif pada waktu itu,
berusaha menghapuskan segala perintang perkembangan perdagangan dan mulai menuntut berbagai
ilmu praktis yang bersangkutan dengan usahanya, misalnya, astronomi, ilmu ukur, dsb.

b) Materialisme Mekanik

Materialisme primitif Yunani pada abad ke-4 sebelum Masehi sudah mulai menurun pengaruhnya, dan
diganti oleh idealisme yang diwakili oleh Plato dan kemudian Aristoteles. Sejak itu dunia filsafat dikuasai
oleh idealisme dalam jangka waktu sangat lama sekali, yaitu kira-kira 1700 tahun lamanya. Sepanjang
masa itu merupakan zaman gelap bagi materialisme.

Baru pada akhir jaman feodal, yaitu pada akhir abad 17, dimana kaum borjuis sebagai kelas baru yang
mewakili cara produksi baru sudah mulai tumbuh dengan kuatnya, materialisme mulai muncul kembali
dalam bentuk yang umumnya kita sebut materialisme modern. Materialisme modern ini sudah tentu
jauh lebih maju daripada materialisme primitif, sesuai dengan tingkat perkembangan masyarakat dan
tingkat ilmu pada waktu itu. Materialisme modern ini lahir sebagai senjata ideologi kelas borjuis dalam
perjuangannya melawan kelas feodal yang berkuasa pada ketika itu. Oleh karenanya, materialisme
modern ini justru tumbuh dan berkembang luas terutama di negeri-negeri dimana gelombang revolusi
borjuis sedang pasang, yaitu di negeri Belanda, Inggris dan Prancis.

Sebagai wakilnya yang tersohor dalam abad ke-17 antara lain adalah seorang ahli pikir Belanda bernama
Spinoza (Benedictus, 1632 – 1677). Menurut Spinoza dunia ini terdiri hanya dari satu substansi, kecuali
itu tidak ada zat lainnya. Substansi ini olehnya disebut “Tuhan”. Akan tetapi, “Tuhan” yang dimaksudkan
itu, menurut penjelasannya, bukanlah Tuhan dalam dunia agama atau Tuhan yang menciptakan dunia
dan manusia, melainkan alam dan hukum-hukumnya. Spinoza berbeda dengan Descartes (1596 – 1650).
Descartes menganggap yang ada di dunia ini dua unsur: Tuhan dan benda. Sedang Spinoza hanya
mengakui satu zat saja: alam. Walaupun ia sudah mengatasi dualismenya Descartes, tetapi ia belum
konsekuen meninggalkan pandangannya yang memisahkan dan mempertentangkan dunia materi
dengan ide. Menurut pendapatnya, substansi itu mempunyai dua sifat: pikiran dan eksistensi (artinya
memiliki ruang); hakikat dari substansi itu dinyatakan sepenuhnya oleh tiap sifat itu. Dua sifat itu
merupakan dua segi daripada satu hal yang sama, yaitu alam, mereka masing-masing berdiri sendiri-
sendiri, satu sama lain tidak saling bergantungan. Ini menunjukkan masih adanya sisa pengaruhnya
dualisme Descartes di dalam alam pikiran Spinoza. Selanjutnya Spinoza juga memandang dunia sebagai
suatu mesin, segala sesuatu yang ada di dalam dunia ini dihubungkan satu dengan lainnya oleh satu tali.
Ia juga menggunakan metode mekaniknya pada etika dan politik. Dalam karya utamanya Ethica Ordine
geometrico demonstrata antara lain ia berkata: “Janganlah menangis, janganlah ketawa, tapi pahamilah
– inilah justru tugas manusia yang sesungguhnya”. Ia juga mengatakan bahwa individu tak dapat
memisahkan dirinya dari masyarakat, kehidupan kemasyarakatan merupakan keharusan; di dalam
kehidupan semacam ini, tiap individu harus memadukan antara “mempertahankan dirinya” dengan
“mencintai sesamanya”. Mengenai negara, ia berpendapat bahwa negara seharusnya tidak mengekang
kepribadian manusia, sebaliknya harus memberikan syarat-syarat untuk mengembangkan kegiatan-
kegiatan materiil dan spiritual manusia.

Dari uraian di dalam, jelaslah kiranya sistem pemikiran Spinoza adalah rasionalisme dan mekanisme,
suatu sistem ideologi borjuis pada abad 17 yang menyatakan perlawanannya terhadap hak-hak istimewa
kaum feodal serta perlawanan terhadap penindasan atas demokrasi borjuis, sementara itu juga
merupakan suatu ajaran atheisme yang menentang teologi dan takhayul. Filsuf-filsuf kenamaan dari
materialisme modern yang sezaman dengan Spinoza, antara lain adalah Bacon (Francis. 1561 – 1626),
Hobbes (Thomas, 1588 – 1679). Locke (John. 1632 – 1704) di Inggris dan Cassendt (Pierre. 1592 – 1655)
di Prancis. Zaman mereka merupakan periode pertama dari pertumbuhan materialisme mekanik. Aliran
filsafat ini kemudian mencapai puncak perkembangannya di Prancis pada abad 18 yang umumnya kita
sebut materialisme Prancis. Sebagai wakil-wakilnya yang terkemuka antara lain ialah Holbach (Paul d’,
1723 – 1789) dan Lamettrie (Julien Offray de, 1709 – 1751).

Dalam menjawab masalah terpokok dalam filsafat, materialisme Prancis secara tegas menyatakan
bahwa materi adalah primer, ide sekunder; ide dilahirkan dan ditentukan oleh materi. Holbach
mengatakan: “Materi adalah sesuatu yang selalu dengan cara-cara tertentu menyentuh pancaindra kita,
sedang sifat-sifat yang kita kenal dari berbagai macam hal ihwal itu adalah hasil dari berbagai macam
impresi atau berbagai macam perubahan yang terjadi di dalam alam pikiran kita terhadap hal ihwal itu”.
[8]) Dengan demikian, materialisme Prancis telah menyangkal dan menggulingkan pandangan mistisisme
religius, teori tentang Pencipta dunia (demiurge), yang sebelum itu telah lama menguasai alam pikiran
manusia. Bahkan secara terang-terangan Holbach menyatakan: “nampaknya agama itu diada-adakan
hanya untuk memperbudak Rakyat dan supaya mereka tunduk di bawah kekuasaan raja lalim. Asal
manusia merasa dirinya di dalam dunia ini sangat celaka, maka ada orang datang mengancam mereka
dengan kemarahan Tuhan, memaksa mereka diam dan mengarahkan pandangannya ke atas langit,
dengan demikian membikin mereka tak dapat melihat sebab sesungguhnya daripada kemalangannya
itu, juga berpikir menggunakan cara-cara yang diberikan kepadanya oleh dunia alam untuk melakukan
perjuangan terhadap bencana-bencana itu.”[9])
Materialisme Prancis adalah materialisme mekanik, yang menerangkan bahwa tiap gejala adalah
bagaikan mesin, dikuasai oleh hukum-hukum mekanika. Segala macam gerak dipandangnya hanya
sebagai gerak mekanik, yaitu pergeseran tempat dan perubahan jumlah saja. Bahkan manusia serta
aktivitasnya disamakan dengan mesin. Ini nampak dengan mencolok sekali dari karya Lamettrie yang
berjudul Manusia adalah mesin. Menurut pendapatnya tubuh manusia itu adalah mesin yang paling
sempurna; perasaan, pikiran, roh dan sifat-sifat manusia lainnya sama halnya dengan sifat mesin. Tanpa
tubuh, tiada perasaan, tiada pikiran. Mereka tidak melihat adanya peranan aktif daripada pikiran atau
ide terhadap materi. Pandangan yang mekanik ini adalah salah satu ciri, malahan ciri kelemahan
daripada materialisme Prancis.

Selanjutnya kaum materialisme Prancis abad 18 dalam salah satu epistemologi (teori tentang
pengetahuan), secara tegas menentang pandangan idealisme yang menyatakan bahwa sebagian akal
manusia didapatnya tidak dari pengalaman sensasionalnya melainkan sudah ada semenjak ia dilahirkan.
Kaum materialisme Prancis (juga di Inggris dan Belanda) berpendapat bahwa pengalaman itu adalah
satu-satunya sumber pengetahuan, pengalaman ini didapatnya dari hubungan langsung materi objektif
dengan panca indera kita. Mereka mengutamakan pengetahuan sensasional, dan mengabaikan peranan
pengetahuan rasional. Oleh karenanya materialisme mekanik sekaligus juga sensualisme atau
empirisme. Ini juga merupakan kelemahannya.

Akan tetapi kelemahannya yang paling besar ialah pandangan sejarahnya. Karena mengenai gejala
masyarakat, mereka berpijak pada idealisme. Menurut pandangan mereka, kekuatan penggerak
perkembangan masyarakat adalah pikiran atau ide. Oleh karenanya mereka berpendirian jalan satu-
satunya untuk mengubah sistem masyarakat ialah pembangunan mental, pendidikan, pembasmian
kebodohan, dsb.

Walaupun materialisme mekanik mengandung banyak kelemahan, tetapi pada ketika itu ia merupakan
pandangan dunia yang revolusioner, suatu kemajuan dalam dunia pikiran. Kemajuannya itu ditentukan
oleh kemajuan-kemajuan yang terdapat dalam hubungan sosial ekonomi dan ilmu, tetapi syarat-syarat
sejarah itu juga menentukan kelemahan-kelemahannya.

c) Lahirnya Materialisme Marxis

Pada masa peralihan dari abad ke-18 ke abad ke-19, di Jerman, dimana kapitalisme berkembang agak
terbelakang, ideologi borjuis berwujud dalam bentuk yang umumnya kita sebut filsafat klasik Jerman.
Sebagai puncak perkembangan aliran filsafat ini adalah Hegelianisme. Sebagaimana telah dijelaskan
dalam kita membicarakan tentang idealisme objektif, filsafat Hegel adalah idealisme objektif. Pokok-
pokok pandangannya mengenai masalah terpokok dalam filsafat telah dikemukakan juga, di sini tak
perlu diulang lagi. Yang akan dikemukakan di sini ialah mengenai segi-segi positifnya serta
sumbangannya terhadap materialisme Marxis, dan sedikit tentang latar belakang sosialnya.

Sumbangan ajaran Hegel dalam sejarah perkembangan pikiran manusia besar sekali nilainya, bukan
pandangan idealismenya, melainkan ajaran dialektikanya, “jiwa” filsafatnya. Hegel sendiripun pernah
mengatakan: “ yang penting di dalam filsafat ialah metode, bukan kesimpulan-kesimpulan khusus
mengenai ini atau itu”. Hegel telah berhasil mengkristalisasi segala unsur dialektik yang terdapat di
dalam sistem pemikiran dari filsuf-filsuf besar yang ada sebelumnya, sehingga tercipta metodologi
dialektik yang komplit. Dengan demikian ia telah menggulingkan metafisika, metodologi kuno yang
sudah lama menguasai alam pikiran manusia dan ilmu.

Hegel mengemukakan, bahwa kaum materialis Inggris dan Prancis pada abad 17 dan 18, dan juga kaum
idealis yang menjadi lawannya, semuanya adalah ahli pikir metafisik. Ia menunjukkan kesalahan-
kesalahan atau kelemahan-kelemahan metafisika. Pertama, kaum metafisik memandang segala sesuatu
tidak dari keseluruhannya, tidak dari saling hubungannya, tetapi ditinjaunya sebagai sesuatu yang berdiri
sendiri-sendiri; sedang Hegel memandang dunia sebagai satu badan kesatuan, segala sesuatu di
dalamnya terdapat saling hubungan yang organik. Kedua, kaum metafisik melihat sesuatu tidak dari
geraknya, melainkan sebagai yang diam, mati, tidak berubah-ubah, sedang Hegel melihat dari
perkembangannya, dan perkembangan itu disebabkan adanya kontradiksi intern. Kaum metafisik
berpendirian “segala yang bertentangan adalah irrasional”. Mereka tak mengetahui bahwa akal (reason,
raison) itu sendiri adalah pertentangan (kontradiksi). Ketiga, sumbangan Hegel yang penting ialah
kritiknya mengenai pandangan evolusi vulgar, yang pada ketika itu sangat merajalela, dengan
mengemukakan teorinya tentang “lompatan” (sprong) dalam proses perkembangan. Sebelum Hegel
sudah banyak filsuf yang mengakui bahwa dunia ini berkembang, dan meninjau sesuatu dari proses
perkembangannya, tetapi pandangannya tentang perkembangan hanya terbatas pada perubahan-
perubahan berangsur-angsur, perubahan evolusioner saja. Sedang Hegel berpendapat, dalam proses
perkembangan itu pertentangan intern makin mendalam dan meruncing, dan pada suatu tingkat
tertentu perubahan berangsur-angsur berhenti, terputus, terjadilah “lompatan”. Setelah “lompatan” itu
terjadi, maka kualitas sesuatu itu mengalami perubahan.

Dengan tersusunnya dialektika Hegel, maka dalam dunia pikiran manusia terjadi revolusi
menghancurkan metodologi metafisik yang berkuasa lebih dari 2000 tahun lamanya. Logika dialektik
Hegel telah memberi dorongan yang kuat bagi kemajuan pikiran ilmiah dan meletakkan dasar yang kuat
pula bagi materialisme Marxis.
Akan tetapi dialektika Hegel itu diselubungi dengan kulit mistik, reaksioner, yaitu pandangan
idealismenya, sehingga ia memutarbalikkan keadaan yang sebenarnya. Hukum dialektika, yaitu hukum
tentang saling hubungan dan perkembangan gejala-gejala yang berlaku di dunia ini dipandangnya bukan
sebagai suatu hal yang objektif, yang primer, melainkan sebagai perwujudan dari “jiwa absolut”, yang
sekunder. “Kulit” yang reaksioner inilah yang kemudian dibuang oleh Marx, dan isinya yang “rasional”
diambil serta ditempatkan pada kedudukannya yang benar.

Kontradiksi yang ada di dalam filsafat Hegel ini justru mencerminkan keadaan masyarakat Jerman dalam
zaman revolusi borjuis-demokratis. Hegel sendiri juga pernah mengatakan bahwa filsafat itu “adalah
pernyataan zaman di dalam pikiran”. Pada ketika itu kapitalisme di Jerman mulai berkembang, tetapi
kekuatan borjuis masih lemah, sedang kekuasaan feodal masih kokoh dan kuat. Dialektika Hegel yang
revolusioner itu menyatakan tuntutan kelas borjuis, sedang idealismenya yang reaksioner itu di samping
sesuai dengan keinginan kelas feodal yang berkuasa, mencerminkan kelemahan dan watak
kompromisnya borjuasi Jerman pada ketika itu. Kelemahan dan watak kompromis mereka itu tidak
hanya karena ketidakmampuannya melawan feodalisme yang masih kuat itu, tetapi juga karena
ketakutannya kepada kelas proletar yang sudah mulai ‘bergelora”.

Pada pertengahan abad 19, kapitalisme di Jerman sudah berkembang dengan pesat, kekuasaan feodal
mulai guncang tetapi masih mampu mempertahankan diri dengan gigih dan nekat. Dalam keadaan itu,
muncullah materialisme Feuerbach (Ludwig, 1804 – 1872) yang tidak hanya mewakili kepentingan kaum
borjuis, tetapi juga borjuis kecil yang sangat menderita pada waktu itu.

Materialisme Feuerbach pertama-tama menentang idealisme Hegel, menyangkal adanya “jiwa absolut”,
dan secara tegas menyatakan bahwa hakikat dunia ini adalah alam yang materiil. Ia dengan tajam
mengemukakan bahwa segala idealisme tidak berbeda dengan teologi yang sudah tidak sesuai dengan
tuntutan zaman dan harus diganti dengan filsafat baru. Filsafat baru ini, menurut Feuerbach, harus
bertolak dari materi yang benar-benar ada di ruang dan waktu dan dapat dirasakan oleh kita, pendeknya
harus materialis dan atheis. Selanjutnya Feuerbach mengkritik filsafat Hegel, dikatakannya bahwa Hegel
berdiri di dalam teologi berusaha menegasi teologi. Menurut Feuerbach, kedudukan Tuhan digantinya
dengan manusia, keTuhanan diganti dengan kemanusiaan, secara tegas ia mengatakan, manusia itu
sendiri adalah Tuhan. Tidak hanya sampai di situ, ia bahkan mengatakan bahwa bukan Tuhan yang
menciptakan manusia, sebaliknya “Tuhan adalah bayangan manusia di dalam cermin”. Ia berpendapat,
sebagaimana Holbach, bahwa agama itu pada permulaannya adalah untuk memenuhi sesuatu
kebutuhan manusia, akan tetapi, setelah ia dilahirkan, pastor dan yang berkuasa (kaum bangsawan dan
paderi) menggunakannya untuk memperbudak Rakyat banyak atas nama Tuhan. Demikianlah Ludwig
Feuerbach.
Filsafat Feuerbach mengandung beberapa kelemahan yang serius. Pertama, materialisme Feuerbach
adalah naturalis. Ia memandang manusia bukan sebagai manusia kemasyarakatan, melainkan sebagai
manusia alamiah. Dengan demikian, pengertiannya terhadap manusia adalah makhluk di luar hubungan
produksi kemasyarakatan, maka dari itu ia tak dapat melihat peranan yang aktif dari manusia dalam
mengubah alam. Kedua, materialismenya juga tak mendalam (intuitif). Dalam mengkritik filsafat Hegel,
seluruh ajaran Hegel, termasuk dialektikanya, ia salahkan. Ia tak memahami kebenaran dialektika Hegel
yang antara lain juga mengajarkan bahwa di dalam setiap sesuatu itu terdapat segi positifnya dan segi
negatifnya, di dalam yang jelek ada yang baik, di dalam yang baik ada yang jelek. Oleh karenanya,
materialisme Feuerbach seperti filsafat borjuis lainnya, masih tetap intuitif, metafisik, non-dialektik.
Kelemahan-kelemahannya inilah oleh Marx dikupas secara kritis.

Dari uraian tersebut di dalam jelaslah bahwa Marx dan Engels telah merombak dialektika Hegel dan
materialisme Feuerbach secara fundamental dan kritis, sehingga menciptakan materialisme baru,
materialisme dialektik dan historis, yang lebih tinggi dan sempurna daripada semua macam
materialisme sebelumnya.

Maka adalah keliru, kalau oleh sementara orang materialisme dialektik dan histori dianggap atau
diartikan secara mekanis sebagai penggabungan dialektika Hegel dan materialisme Feuerbach. Marx
sendiri berkata: “ Dialektika saya tidak hanya berbeda dengan Hegel secara fundamental, tetapi adalah
lawannya yang langsung. Bagi Hegel, proses hidup otak manusia, yaitu proses pemikiran, yang dengan
nama ‘idea’, olehnya malahan diubah menjadi subjek yang berdiri sendiri, adalah pencipta (demiurgos)
daripada dunia nyata, dan dunia nyata itu hanyalah bentuk luar, bentuk gejala daripada ‘idea’.
Sebaliknya, bagi saya, ide tidak lain daripada dunia materiil yang dicerminkan oleh otak manusia, dan
diterjemahkan dalam bentuk-bentuk pikiran...... Pandangan dialektika Hegel berdiri di dalam kepalanya.
Ia harus dibalikkan kembali pada kedudukannya yang benar. Jika mau menemukan intisarinya yang
rasional di dalam kulitnya yang mistik”. [10])

Pendeknya, Marx dan Engels telah merombak dialektika Hegel secara materialis dan merombak
materialisme Feuerbach secara dialektik.

2. Pokok-Pokok Pandangan Materialisme Dialektik

(A) DUNIA ADALAH MATERIIL


Sama dengan aliran-aliran materialisme lainnya, materialisme dialektik pertama-tama mengakui bahwa
keadaan atau materi adalah primer, sedangkan pikiran atau ide adalah sekunder, adalah yang dilahirkan
dan ditentukan oleh materi. Ini berarti bahwa segala macam gejala yang ada di dunia ini mempunyai
satu dasar yang sama, yaitu materi. Dengan perkataan lain, dunia semesta ini pada hakikatnya adalah
materiil, dan dunia materiil ini adalah satu-satunya dunia yang nyata (riil).

a) Apakah materi itu?

Akan tetapi, apakah materi itu?

Dalam menjawab pertanyaan ini kita harus dapat membedakan dua macam pengertian, yaitu pengertian
materi dalam filsafat dan pengertian materi dalam ilmu alam.

Menurut filsafat, materi itu adalah segala sesuatu yang ada di luar dan tidak tergantung pada kesadaran
manusia, tidak diciptakan dan dikendalikan oleh sesuatu ide apapun, dan dapat menimbulkan sensasi
serta melahirkan refleksi di dalam pikiran manusia. Dengan demikian, pengertian materi dalam filsafat
adalah berdasarkan pada hubungan antara keadaan dengan pikiran, antara objek dengan subjek.

Sedangkan pengertian materi dalam ilmu alam adalah mengenai susunan (struktur) dan organisasi
daripada segala sesuatu yang ada di dunia alam ini. Dengan demikian, pengertian materi dalam ilmu
alam itu didasarkan pada tingkat perkembangan pengetahuan manusia terhadap alam.

Jadi, pengertian materi dalam filsafat adalah luas dan bersifat umum, ia tidak terbatas pada benda-
benda atau proses-proses alam saja, tetapi melingkupi juga gejala-gejala sosial, sedang pengertian
materi dalam ilmu alam hanya khusus mengenai benda-benda alam saja. Selanjutnya, pengertian materi
dalam filsafat bersifat mutlak dan abadi, karena bagaimanapun majunya pengetahuan manusia, ini tak
akan mengubah kebenaran bahwa materi itu berada secara objektif dan tak tergantung pada kesadaran
manusia. Sebaliknya, pengertian materi dalam ilmu alam bersifat relatif dan sementara, karena ia
tergantung pada perkembangan pengetahuan manusia. Misalnya, perkembangan teori atom adalah
perkembangan pengetahuan manusia tentang materi di dunia alam.

Sudah tentu, di samping ada perbedaannya, dua macam pengertian itu juga mempunyai persamaannya,
yaitu: pengertian materi dalam filsafat itu merupakan perluasan atau generalisasi dari pengertian materi
dalam ilmu alam. Jelasnya, hubungan antara dua macam pengertian materi itu adalah hubungan antara
yang umum dengan yang khusus, antara yang abstrak dengan yang konkret, antara yang absolut dengan
yang relatif.

b) Apakah ide itu?

Sebagaimana telah dikemukakan di dalam, materialisme dialektik berpendapat bahwa ide itu dilahirkan
dan ditentukan oleh materi. Ini mengandung dua pengertian.

Pertama, dipandang dari proses kelahiran ide atau pikiran, maka nyatalah bahwa perasaan (sensasi) dan
pikiran itu tidak dilahirkan oleh sembarang materi, melainkan semacam materi tertentu yang kita sebut
otak, atau lebih tepatnya, suatu organisme sistem urat syaraf yang telah mencapai tingkat
perkembangan yang sangat tinggi. Tanpa otak tak akan ada pikiran atau ide. Otak atau sistem urat syaraf
manusia adalah hasil tertinggi dari proses perkembangan alam. Oleh karenanya, ide adalah suatu produk
(hasil) dari proses perkembangan alam.

Kedua, dipandang dari isinya, bagaimanapun sesuatu ide adalah pencerminan (refleksi) dari kenyataan
objektif. Marx menerangkan bahwa ide itu “tidak lain daripada dunia materiil yang dicerminkan oleh
otak manusia, dan diterjemahkan dalam bentuk-bentuk pikiran”[11]) Dan pencerminan itu hanya bisa
terjadi dengan adanya kontak langsung antara kesadaran manusia dengan dunia luar, dengan adanya
praktek sosial manusia. Oleh karenanya, ide juga merupakan produk dari proses perkembangan praktek
sosial manusia.

Dengan demikian, jelaslah bahwa pengertian ide menurut materialisme dialektik tidak hanya
berlawanan dengan pandangan idealisme, yang beranggapan bahwa ide itu merupakan sesuatu yang
berdiri sendiri tak tergantung pada materi, bahkan sudah ada lebih dahulu daripada materi. Oleh Lenin
filsafat idealisme dengan tajamnya dinamakan “filsafat tidak berotak”. Pengertian ide menurut
materialisme dialektik juga bertentangan dengan pandangan-pandangan materialisme vulgar dan
materialisme metafisik yang menyatakan, misalnya, bahwa segala materi atau benda mempunyai ide,
sebagaimana dikemukakan juga oleh Plekhanov bahwa batupun mempunyai ide: atau yang
beranggapan bahwa ide atau pikiran itu merupakan suatu zat yang ditimbulkan oleh proses fisiologis
seperti halnya berliur, atau sebagaimana sering dikemukakan oleh sementara orang bahwa pikiran itu
adalah fosfor. Pandangan-pandangan semacam ini timbul karena menganggap ide itu merupakan sifat
(attribute) dari segala macam benda atau sebagai produk dari proses perkembangan alam saja, tetapi
tidak melihat bahwa ide itu juga sebagai hasil dari proses perkembangan praktek sosial manusia, sebagai
hasil dari proses perkembangan masyarakat.

c) Peranan aktif daripada ide

Materialisme dialektik di satu pihak berpendirian bahwa materi itu ada lebih dahulu, dan ide itu
dilahirkan dan ditentukan oleh materi, tetapi di pihak lain juga mengakui adanya peranan aktif daripada
ide terhadap materi. Ini mengandung dua pengertian.

Pertama, sebagaimana telah dikemukakan di dalam, ide itu adalah pencerminan daripada kenyataan
objektif, tetapi pencerminan ini bukanlah pencerminan yang sederhana dan langsung, sebagaimana
halnya kaca cermin, yang hanya bisa mencerminkan gejala luar saja, melainkan pencerminan yang aktif,
melalui suatu proses pencerminan yang rumit sehingga dapat mencerminkan kenyataan objektif
sebagaimana adanya, baik mengenai bagian luarnya maupun hakikatnya. Justru adanya peranan aktif
daripada ide inilah yang memungkinkan manusia menyempurnakan alat-alat atau perkakas-perkakas
untuk memperbesar kemampuannya dalam mengenal atau mencerminkan keadaan maupun mengubah
keadaan.

Kedua, peranan aktif ide terhadap materi atau keadaan itu berarti bahwa dalam mengenal dan
mengubah keadaan itu manusia bertindak secara sadar, dengan motif atau tujuan tertentu, yaitu untuk
memenuhi kebutuhan praktek sosialnya, untuk kehidupannya. Ide revolusioner, yaitu ide yang
mencerminkan hukum-hukum perkembangan keadaan. Sebaliknya, ide reaksioner, yaitu ide yang
berlawanan dengan hukum-hukum perkembangan keadaan objektif, memainkan peranan menghambat
kemajuan!

Dengan demikian materialisme dialektik menentang pandangan agnostisisme dari Kant (Immanuel, 1724
– 1804). Menurut Kant, manusia tak akan dapat mengenal atau mencerminkan keadaan objektif
sebagaimana adanya. Kemajuan ilmu, misalnya penguasaan dan penggunaan tenaga atom adalah benar,
adalah sesuai dengan kenyataan (atom) sebagaimana adanya. Dengan demikian terbuktilah juga
ketidakbenarannya pandangan agnostisisme itu, dan memperkuat pandangan materialisme dialektik.

Di samping itu, pandangan materialisme dialektik juga bertentangan dengan pandangan mekanik yang
mengabaikan peranan aktif daripada ide terhadap materi.
Dengan dikemukakan keprimerannya materi dan peranan aktif ide terhadap materi, materialisme
dialektik mengajarkan kepada kita supaya dalam memandang dan memecahkan sesuatu masalah harus
bertolak dari kenyataan yang konkret, harus berdasarkan data-data keadaan secara objektif, jangan
sekali-kali bersandar pada dugaan subjektif dan dalil-dalil atau buku-buku yang mati, dan juga harus
ditujukan untuk kebutuhan praktek yang konkret. Di pihak lain ia memperingatkan kita betapa
pentingnya peranan teori, berhubung dengan adanya peranan aktif daripada ide, untuk mengenal dan
mengubah keadaan, sebagaimana dikatakan oleh Lenin: “tanpa teori revolusioner tak akan ada gerakan
revolusioner.”[12]

(B) DUNIA MATERIIL ADALAH SATU KESATUAN ORGANIK

Ciri terpenting yang membedakan materialisme filsafat Marx dengan aliran-aliran materialisme lainnya
sebelum Marx ialah bahwa caranya (metodenya) mendekati gejala-gejala alam, caranya mempelajari
dan memahami gejala-gejala ini adalah dialektik, sedangkan keterangannya (interpretasinya) mengenai
gejala-gejala alam, pengertiannya (konsepsinya) mengenai gejala-gejala ini, teorinya, adalah materialis.

Yang dimaksud dengan metode dialektik adalah suatu cara mengenal, mempelajari dan menganalisa
segala sesuatu dengan berdasarkan hukum dialektika, yaitu hukum tentang saling hubungan dan
perkembangan gejala-gejala yang berlaku secara objektif di dunia semesta ini.

Oleh karena itu, materialisme dialektik Marx memandang dunia materiil ini bukan sebagai suatu
tumpukan gejala-gejala yang terjadi secara kebetulan saja, tiada hubungan tertentu, terpisah satu sama
lain dan berdiri sendiri-sendiri, tetapi sebagai satu kesatuan yang organik, dimana segala gejala saling
hubungan secara organik, saling bergantungan, saling mempengaruhi dan saling menentukan satu sama
lain. Misalnya, kehidupan masyarakat manusia tak dapat dipisahkan dari keadaan alam sekitarnya, satu
sama lain mempunyai hubungan tertentu, dan saling hubungan antara manusia dengan alam akan
mempengaruhi dan menentukan pula saling hubungan manusia yang satu dengan yang lain di dalam
masyarakat; dan semuanya itu akan mempengaruhi dan menentukan pula alam pikiran manusia.
Dengan demikian, gejala-gejala alam, masyarakat dan pikiran terjalin dalam satu hubungan yang
organik.

a) Saling hubungan gejala-gejala adalah objektif


Dalam mengakui dunia materiil ini sebagai suatu kesatuan yang organik, tidak cukup hanya mengakui
adanya saling hubungan antara gejala-gejala, tetapi yang penting ialah mengakui bahwa saling
hubungan antara gejala-gejala itu adalah suatu hukum yang objektif berlaku di dunia semesta ini, bukan
terkaan atau buatan manusia secara subjektif, juga bukan sebagai perwujudan dari kemauan atau
keinginan “ide absolut” dsb. hal ini justru merupakan suatu ciri yang membedakan dialektika Marx yang
materialis dengan dialektika Hegel yang idealis.

Misalnya, sering kita berjumpa dengan hal sbb.: seorang anak sering menderita sakit atau sakit-sakitan,
oleh orang tuanya dianggap karena nama yang diberikan kepadanya tidak cocok, lalu diubah, diberi
nama lain. Jadi menganggap nama seseorang mempunyai hubungan tertentu dengan keadaan
kesehatannya. Ini adalah pandangan idealis. Karena saling hubungan semacam ini adalah terkaan
subjektif, bukan saling hubungan dengan objektif.

Misal yang lain: sementara orang mengakui adanya saling hubungan antara penindasan imperialisme
dengan gerakan kemerdekaan nasional. Tetapi saling hubungan ini dianggap sebagai realisasi kehendak
“ide absolut” atau takdir. Demikianlah dialektika idealis sebagaimana diajarkan oleh Hegel, yang oleh
Marx dan Engels dikatakan dialektika yang berdiri terbalik, yaitu kaki di dalam kepala di bawah.
Sesungguhnya di antara penindasan imperialisme dengan perjuangan kemerdekaan nasional bangsa-
bangsa tertindas terdapat saling hubungan yang objektif. Bangsa-bangsa itu bangkit berjuang untuk
merebut kemerdekaan nasionalnya dari imperialisme yang menjajah negeri-negeri mereka. Perjuangan
untuk kemerdekaan nasional itu menumbuhkan rasa patriotisme yang wajar. Pada pihak lain,
imperialisme merupakan suatu kekuatan internasional, ia tidak mungkin dikalahkan tanpa suatu front
internasional anti-kolonial dan cinta damai yang kuat, yang merupakan “samenbundeling van alle
revolutionaire krachten” di bidang internasional, atau persatuan “the new emerging forces”. Oleh sebab
itu patriotisme yang sejati harus dipadukan dengan rasa internasionalisme yang sadar, internasionalisme
yang bertujuan mencapai kebebasan seluruh umat manusia dari penghisapan dan penindasan,
internasionalisme Sosialis. Oleh sebab itu, saling hubungan antara patriotisme dengan internasionalisme
pun merupakan saling hubungan yang objektif dan bukan yang diada-adakan secara subjektif.

Oleh karena itu kaum materialis dialektik berpendapat, bahwa saling hubungan antara gejala-gejala itu
berlaku secara objektif, tidak tergantung pada kesadaran manusia. Maka itu, untuk mengenal secara
tepat saling hubungan itu kita harus meneliti dan mempelajarinya secara ilmiah, sedikitpun tak boleh
ditambahkan dengan dugaan-dugaan subjektif. Pahamilah kenyataan itu sebagaimana adanya dan
temukanlah interkoneksi (salinghubungan) yang ada padanya.

b) Segala sesuatu ditentukan oleh keadaan, tempat dan waktu


Dengan mengakui adanya saling hubungan organik antara gejala-gejala berarti juga bahwa adanya
sesuatu hal tak dapat dipisahkan dari keadaan di sekitarnya, atau adanya sesuatu hal mempunyai syarat-
syarat tertentu. Arti dari sesuatu hal ditentukan oleh keadaan atau situasinya. Bilamana situasinya
berubah, maka artinya pun berubah pula. Misalnya, tumbuhnya cara produksi kapitalis atau kapitalisme
memerlukan syarat-syarat tertentu, yaitu di satu pihak sudah ada kapital, di lain pihak sudah tersedia
buruh upahan. Dan syarat-syarat ini baru terdapat pada akhir zaman feodal di Eropa. Pada ketika itu
kapitalisme mempunyai arti yang revolusioner dalam melawan feodalisme, kelas borjuis mempunyai
peranan revolusioner dalam melawan kaum feodal. Tetapi kapitalisme dan kelas borjuis di negeri-negeri
Eropa Barat dan Amerika pada waktu sekarang sudah tidak revolusioner lagi, melainkan reaksioner,
karena kelas borjuis di negeri-negeri tersebut sudah tidak menginginkan lagi adanya perubahan
revolusioner dalam masyarakat, mereka mati-matian mempertahankan sistem masyarakat yang ada,
mereka mengulangi apa yang dilakukan oleh kaum feodal yang sudah mereka jatuhkan itu.

Dengan demikian jelaslah bahwa materialisme dialektik bertentangan dengan pandangan metafisik yang
beku, yang berusaha mengabadikan atau memutlakkan arti sesuatu, atau memandang dan menganalisa
sesuatu dipisahkan dari keadaan sekitarnya, dari hubungannya dengan hal-hal lain. Misalnya,
memandang kapitalisme sebagai sesuatu yang berdiri sendiri; karena kapitalisme adalah suatu sistem
penghisapan atas manusia oleh manusia, maka dianggap sebagai suatu sistem yang reaksioner dan
harus ditentang secara mutlak dimana saja dan pada waktu kapan juga. Sebagai kelanjutan daripada
anggapan yang keliru ini, ialah menilai peranan kaum kapitalis nasional di negeri kita sekarang secara
mutlak sebagai kelas yang reaksioner, karena mereka menghisap kelas buruh. Jadi, tidak melihatnya
dalam saling hubungannya dengan imperialisme dan feodalisme, sehingga tak terlihat peranan
revolusioner borjuasi nasional dalam tingkat revolusi Indonesia sekarang yang secara objektif anti-
imperialisme dan anti feodalisme.

Pendeknya, dengan pandangan saling hubungan ini kita diajarkan supaya dalam memandang dan
memecahkan sesuatu masalah jangan dipisahkan dari hubungan keseluruhannya, karena tiada satu hal
yang tidak ada sebab atau akibatnya, segala sesuatu ditentukan oleh keadaan, tempat dan waktu.

c) Saling hubungan yang pokok dan bukan pokok

Setiap hal mempunyai saling hubungan dengan banyak hal lainnya, baik secara langsung maupun secara
tidak langsung. Akan tetapi, di antara sekian banyak saling hubungan itu tidaklah semuanya sama
artinya, peranannya, atau kedudukannya. Di antaranya ada saling hubungan yang memainkan peranan
menentukan, ada yang hanya memainkan peranan mempengaruhi saja; ada yang bersifat keharusan,
ada juga yang bersifat kebetulan; ada yang merupakan sebab, ada pula yang merupakan akibat; ada
yang pokok, ada yang bukan pokok; dsb, dsb.

Misalnya, masalah pembebasan Irian Barat mempunyai saling hubungan dengan banyak hal, yang secara
umum kita dapat golongkan dalam bidang-bidang ekonomi, politik, militer dan kebudayaan atau
ideologi. Untuk dapat membebaskan Irian Barat pertama-tama diperlukan adanya kesadaran dan
kebulatan tekad dari seluruh rakyat Indonesia dan seluruh aparat pemerintah sehingga dapat
memobilisasi seluruh kekuatan, baik materiil maupun spiritual yang ada padanya. Tetapi untuk
mencapai persatuan nasional dan mobilisasi seluruh potensi nasional yang dimaksud itu tak dapat hanya
dengan agitasi saja tanpa memberikan perspektif yang baik bagi kehidupan materiil dan spiritual bagi
rakyat. Oleh karena itu dibutuhkan adanya ketegasan di bidang politik untuk menjamin kebebasan
demokratis bagi rakyat dan semua elemen patriotik di satu pihak, dan untuk menindas musuh-musuh
rakyat di pihak lain. Hanya dengan demikian baru bisa ditimbulkan kesadaran dan kegairahan bagi
seluruh rakyat dan seluruh potensi nasional untuk membebaskan Irian Barat maupun untuk mengatasi
segala kesulitan-kesulitan yang dihadapinya, terutama masalah keuangan dan ekonomi, masalah
sandang pangan. Oleh karena itu, saling hubungan pembebasan Irian Barat dengan kebijaksanaan di
bidang politik seperti tersebut di dalam (demokrasi, persatuan nasional dan mobilisasi massa rakyat)
merupakan saling hubungan yang pokok. Ini sesuai dengan pengalaman sejarah pada masa Revolusi
Agustus 1945 yang membenarkan bahwa “politik adalah panglima” atau seperti yang disebutkan dalam
Resopim “Manipol memimpin bedil” dan bukan “bedil yang memimpin Manipol”. Dalam meninjau saling
hubungan antara masalah pembebasan Irian Barat dengan kebijaksanaan-kebijaksanaan di bidang
politik, dapat pula kita bagi dalam dua segi: politik luar negeri dan politik dalam negeri. Hubungannya
dengan politik dalam negeri merupakan faktor yang pokok, yang menentukan. Politik luar negeri adalah
pencerminan kebijaksanaan-kebijaksanaan politik dalam negeri.

Pandangan demikian ini berlawanan dengan pandangan metafisik yang cenderung menyamaratakan
saling hubungan yang bersegi banyak itu, sehingga mengaburkan pokok persoalannya, yang berakibat
berlarut-larutnya persoalan sehingga tak terselesaikan.

Oleh karenanya, pengakuan adanya saling hubungan antara gejala-gejala adalah penting, tetapi lebih
penting lagi ialah membeda-bedakan di antaranya mana yang pokok dan yang bukan pokok, yang
penting dan yang tidak penting, yang bersifat kebetulan dan yang bersifat keharusan, yang merupakan
sebab dan yang merupakan akibat, dsb. dsb. hanya dengan demikian kita baru bisa memecahkan
persoalan secara tepat dan efisien.

(C) DUNIA MATERIIL SENANTIASA BERGERAK DAN BERKEMBANG – PATAH TUMBUH HILANG BERGANTI
Materialisme dialektik tidak hanya memandang dunia materiil sebagai satu kesatuan yang organik,
bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini mempunyai saling hubungan yang organik, tetapi lebih lanjut
juga berpendapat bahwa dunia materiil ini senantiasa di dalam keadaan bergerak dan berkembang.

“Seluruh alam”, kata Engels dalam karyanya yang terkenal Dialektika Alam, “dari sesuatu yang sekecil-
kecilnya sampai pada yang sebesar-besarnya, dari sebutir pasir sampai matahari, dari Protista sampai ke
manusia, adalah dalam keadaan senantiasa timbul dan lenyap, dalam keadaan senantiasa mengalir,
dalam keadaan gerak dan berubah yang tak henti-hentinya”.[13]

Dalam tulisannya Anti-Dühring, Engels menerangkan lebih lanjut: “Gerak adalah bentuk eksistensi
materi. Dimanapun tak pernah ada, dan juga tak mungkin ada materi tanpa gerak ... Materi tanpa gerak
sama tidak mungkinnya seperti gerak tanpa materi. Oleh karena itu gerak, sebagaimana materi itu
sendiri, tak dapat diciptakan dan dilenyapkan; sebagaimana dinyatakan oleh filsafat yang lebih tua
(Descartes), kuantitas dari pada gerak yang ada di dunia selamanya sama. Oleh karena itu gerak tak
dapat diciptakan, ia hanya dapat ditransfer.”[14]

Jelaslah bahwa pandangan materialisme dialektik demikian ini berdasarkan kenyataan objektif – alam,
masyarakat maupun pikiran manusia – yang memang dalam keadaan senantiasa bergerak dan
berkembang, sebagaimana dikatakan oleh Heraclitus: “Panta rhei”, atau sebagaimana peribahasa kita
mengatakan “patah tumbuh hilang berganti” atau “zaman beralih musim bertukar”.

a) Gerak materi adalah gerak sendiri

Dengan dikatakan gerak adalah bentuk eksistensi materi berarti bahwa gerak materi itu bukan
disebabkan karena dorongan dari kekuatan di luar materi, melainkan oleh kekuatan-kekuatan yang ada
di dalam materi itu sendiri. Kemajuan-kemajuan yang telah dicapai dalam ilmu alam, misalnya tentang
atom, transmutasi unsur-unsur dan sebagainya, telah membenarkan hal ini. Pengalaman sejarah juga
telah membuktikan bahwa perkembangan masyarakat bukan disebabkan oleh kekuatan yang berada di
luar masyarakat itu, melainkan ditentukan oleh kekuatan-kekuatan yang berada di dalam masyarakat itu
sendiri.
Dengan demikian tidaklah berarti bahwa materialisme dialektik tidak mengakui peranan faktor luar
terhadap gerak materi. Materialisme dialektik berpendapat bahwa faktor luar itu hanya dapat
mempengaruhi gerak materi tetapi bukan yang menentukan. Yang menentukan adanya gerak materi
adalah faktor-dalam yang ada pada materi itu sendiri. Singkatnya, faktor-luar merupakan syarat dan
faktor-dalam merupakan sebab daripada gerak atau perubahan materi. Misalnya, seorang bayi lahir
bukan disebabkan oleh bidan, bidan hanyalah membantu lahirnya sang bayi. Misal lain, perkembangan
pembangunan nasional semesta berencana di negeri kita ini ditentukan oleh faktor-faktor yang ada di
dalam negeri kita sendiri, sedangkan faktor-faktor yang ada di luar negeri kita, seperti bantuan kredit,
dsb. hanya memainkan peranan mempengaruhi saja, bukan yang menentukan. Begitupun juga
perkembangan masalah Irian Barat ditentukan oleh faktor dalam negeri, oleh kekuatan-kekuatan
seluruh rakyat kita dari Sabang sampai Merauke. Faktor-luar hanya dapat memainkan peranannya
melalui faktor-dalam.

Pandangan demikian ini berlawanan dengan pandangan idealis maupun materialis metafisik yang
umumnya menganggap gerak materi itu disebabkan oleh kekuatan-kekuatan di luar materi itu. Kaum
metafisik, yang pada dasarnya berpendapat bahwa segala sesuatu itu adalah diam dan statis, dalam
menghadapi kenyataan yang bergerak, berkembang dan berubah, tak bisa lain daripada menarik
kesimpulan bahwa gerak atau perkembangan materi itu disebabkan oleh dorongan dari kekuatan-
kekuatan di luar materi itu, oleh faktor-faktor-luar, yang pada akhirnya tak dapat menghindarkan diri
terjerumus ke dalam lembah idealis, yaitu menganggap bahwa gerak materi adalah pelaksanaan atau
realisasi dari “ide absolut” dsb., sebagaimana dialami oleh ahli ilmu-alam Inggris yang besar pada abad
ke-17, Isaac Newton (1642-1727).

b) Diam adalah salah satu bentuk gerak

Dengan pandangan bahwa dunia materiil itu selalu bergerak dan berkembang, tidaklah berarti bahwa
materialisme dialektik menyangkal adanya keadaan diam atau statis. Materialisme dialektik
berpendapat bahwa gejala demikian itu adalah suatu bentuk dari pada gerak materi, suatu bentuk gerak
di dalam keadaan tertentu dimana imbangan kekuatan-kekuatan-dalam dengan kekuatan-kekuatan-luar
daripada materi itu mencapai keseimbangan yang sifatnya sementara dan relatif. Keadaan demikian ini
disebut juga sebagai kestabilan relatif daripada kualitas.

Dengan demikian, materialisme dialektik berpendapat bahwa bentuk gerak materi atau kenyataan
objektif itu beraneka corak dan ragamnya, makin berkembang praktek sosial manusia, makin maju ilmu,
makin banyaklah kita kenal akan bentuk-bentuk gerak materi. Engels mengatakan: “gerak materi, tak
dapat digolongkan begitu saja ke dalam semacam gerak mekanis yang sederhana dan mati, semacam
gerak sederhana yang berupa pergeseran tempat saja; panas dan sinar, listrik dan magnet,
persenyawaan (kombinasi) dan peruraian (diasosiasi) dalam kimia, kehidupan, dan akhirnya ide,
semuanya adalah gerak materi”. [15]

Jelaslah, bahwa gerak materi itu beraneka bentuk ragamnya, dari gerak yang paling sederhana, yaitu
perubahan jumlah dan tempat – mekanis, sampai pada yang paling rumit yang berupakan kehidupan
alam organik, termasuk juga pikiran. Tidak saja materi yang khusus mempunyai bentuk geraknya yang
khusus, satu materi yang sama juga mempunyai berbagai macam bentuk geraknya pada tingkat-tingkat
proses perkembangannya. Misalnya, bentuk gerak masyarakat kapitalis pada tingkat pra-monopoli
berbeda dengan pada tingkat monopoli. Dan bentuk gerak materi yang satu dapat berubah bentuk
menjadi gerak yang lain. Semuanya itu telah dibuktikan dengan penemuan-penemuan dalam ilmu-alam,
misalnya dari bentuk gerak aliran air bisa berubah menjadi bentuk gerak aliran listrik, dan diubah lagi
menjadi bentuk gerak mekanik, dsb.

Pandangan demikian ini bertentangan dengan pandangan gerak daripada materialisme mekanis yang
beranggapan gerak mekanis sebagai satu-satunya bentuk gerak bagi semua materi.

c) “The new emerging forces” pasti menang

Dengan mengakui bahwa segala sesuatu dalam keadaan gerak dan berkembang, bahwa tidak ada satu
hal yang abadi, semuanya merupakan proses perkembangan, semuanya “patah tumbuh, hilang
berganti”, berarti bahwa segala sesuatu ada masa lahir dan pertumbuhannya dan ada masa lenyap atau
perubahannya. Jika ada sesuatu yang baru tumbuh, sekalipun kelihatannya kecil dan lemah pada
permulaan perkembangannya, dalam proses perkembangan selanjutnya pasti menjadi besar dan kuat.
Sebaliknya, suatu hal yang mula-mula kelihatannya besar dan kuat, tetapi mewakili kekuatan lama, jadi
tidak mempunyai hari depan, akhirnya pasti lenyap. Demikianlah imperialisme dan kolonialisme yang
oleh Bung Karno disebut “the old established forces” (kekuatan lama yang bercokol) sekalipun
kelihatannya besar dan kuat, tetapi sebenarnya ada dalam keadaan yang sedang lapuk dan hampir mati,
adalah “macan kertas”. Sebaliknya, kekuatan-kekuatan gerakan kemerdekaan nasional dan kekuatan-
kekuatan Sosialisme yang oleh Bung Karno disebut “the new emerging forces” (kekuatan baru yang
sedang tumbuh), walaupun pada mulanya kelihatan kecil dan lemah, tetapi berada dalam proses
perkembangan tumbuh besar dan kuat, dan akhirnya pasti dapat mengalahkan ‘the old established
forces” dan memperoleh kemenangan yang sepenuhnya.
Dengan demikian, pandangan materialisme dialektik mengajarkan kepada kita supaya senantiasa
berorientasi pada kekuatan-kekuatan atau segi-segi yang sedang tumbuh, yang mempunyai hari depan.
Ini berarti, bahwa sebagai suatu prinsip kehidupan politik, kita harus selalu memandang ke depan, dan
tidak ke belakang. Demikianlah juga dalam kehidupan organisasi, masalah penciptaan dan pemeliharaan
tenaga-tenaga muda atau kader-kader yang baru dan segar, merupakan suatu pekerjaan yang penting.
Dan hanya dengan demikian kehidupan organisasi bisa terus berkembang maju, dari tingkat yang rendah
ke tingkat yang lebih tinggi.

(D) DUNIA MATERIIL BERKEMBANG MENURUT HUKUMNYA SENDIRI

Sebagaimana telah dikemukakan di dalam, dialektika adalah hukum tentang saling hubungan dan
perkembangan gejala-gejala. Jadi, saling hubungan gejala-gejala dan perkembangan gejala-gejala
merupakan dua segi daripada dialektika yang tak dapat dipisahkan satu dengan lainnya.

Dari uraian di dalam jelaslah kiranya, bahwa adanya saling hubungan gejala-gejala sudah mengandung
arti adanya gerak atau sebagai suatu bentuk gerak; begitupun juga gerak sendiri daripada setiap materi
sudah mengandung arti adanya juga saling hubungan intern maupun ekstern daripada materi. Jelaslah,
oleh karena segala sesuatu itu saling hubungan satu sama lain, maka bila ada satu hal bergerak dan
berubah, segera akan mempengaruhi hal-hal lainnya; dan oleh karena segala sesuatu itu senantiasa
bergerak dan berkembang, maka membikin satu sama lain terjalin dalam saling hubungan yang makin
rumit.

Sungguhpun demikian, tidaklah berarti bahwa saling hubungan dan perkembangan gejala-gejala itu
terjadi dan berlangsung secara kebetulan atau tidak ada ketentuan-ketentuannya, sebagaimana
anggapan kaum metafisik; sebaliknya, materialisme dialektik berpendapat, dan memang demikian
kenyataannya, bahwa saling hubungan dan perkembangan gejala-gejala di dunia ini mempunyai
ketentuan-ketentuannya, mempunyai hukum-hukumnya.

Bagaimana hukum dialektika atau hukum tentang perkembangan itu? Engels merumuskan dalam tiga
hukum dasar:

a. Hukum tentang kesatuan dan perjuangan dari segi-segi yang berlawanan atau tentang kontradiksi;
b. Hukum tentang perubahan kuantitatif ke perubahan kualitatif; dan

c. Hukum tentang negasi daripada negasi.

Baiklah sekarang saja terangkan secara singkat isi pokok daripada tiga hukum dasar dialektika itu.

a) Hukum tentang kontradiksi

Hukum kontradiksi ini merupakan “inti” atau “jiwa” daripada dialektika, karena ia menerangkan sumber
dan hakikat perkembangan. Lenin mengatakan: “Terbaginya kesatuan dan pengenalan atas bagian-
bagiannya yang berkontradiksi adalah hakikat dari dialektika”.[16] Oleh karenanya ia adalah salah satu
ciri terpenting yang membedakan dialektika dengan metafisika. Dan merupakan kunci bagi kita untuk
memahami dengan baik dialektika keseluruhannya.

Hukum ini menyatakan bahwa segala sesuatu terdiri dari bagian-bagian atau segi-segi yang berbeda-
beda atau berkontradiksi, dan gerak atau perkembangan sesuatu itu terutama disebabkan adanya saling
hubungan yang berupa “persatuan dan perjuangan” antara segi-segi bertentangan yang ada di
dalamnya. Kalau diterjemahkan ke dalam bahasa kita sendiri, maka dapatlah kita katakan hukum ini
adalah hukum “bhinneka tunggal ika”.

Pengenalan manusia bahwa dunia kenyataan ini mengandung kontradiksi-kontradiksi sebagai sumber
perkembangannya, sebagaimana telah dikemukakan dalam bagian terdahulu, sudah dimulai oleh filsuf-
filsuf Yunani Kuno, dan kemudian makin diperkuat kebenarannya oleh hasil-hasil ilmu, misalnya,
sebagaimana dikemukakan oleh Lenin, adanya plus (+) dan minus (-), diferensial dan integral dalam ilmu
pasti (matematika); adanya aksi dan reaksi dalam mekanika; adanya listrik positif dan negatif dalam
fisika; adanya persenyawaan (kombinasi) dan peruraian (disosiasi) atom-atom dalam ilmu kimia; dan
adanya perjuangan kelas dalam ilmu kemasyarakatan.[17] Jelaslah bahwa kontradiksi itu ada secara
objektif, bukanlah buatan atau terkaan manusia dalam pengalaman praktek sosialnya, sungguhpun
demikian, hingga kini masih saja ada sementara orang yang tak dapat atau tidak mau memahami
kebenaran hukum kontradiksi ini, dan melontarkan ejekan, sebagaimana pernah dilakukan oleh Duhring,
bahwa hukum kontradiksi daripada dialektika itu adalah suatu kegilaan yang besar. Bahkan ada juga di
antaranya yang menuduh filsafat kaum Marxis atau Komunis ini adalah filsafat berbolak-balik yang tiada
ketegasannya, atau menuduh kaum Komunis paling keranjingan untuk menimbulkan dan mengobarkan
pertentangan-pertentangan di dalam masyarakat atau perjuangan kelas guna kepentingannya, dsb.
Terhadap mereka saya hanya hendak mengulangi kembali jawaban yang pernah diberikan oleh Engels,
Engels berkata: “otak yang berpikir secara metafisik itu secara mutlak tak mampu beralih dari ide
tentang diam ke ide tentang gerak, sebab kontradiksi yang ditunjukkan di dalam telah menutup
jalannya”.[18] Adapun berpikir secara metafisik, kalau bukan karena kekhilafan atau kebiasaan yang
jelek, adalah karena dorongan keinginan subjektif yang keras untuk menutup-nutupi kenyataan guna
mengabadikan kepentingan dan kedudukan kelasnya. Kaum Marxis tidak berkepentingan untuk
menutupi kenyataan atau menutup matanya terhadap kenyataan, dan justru karena kaum Marxis
membuka matanya lebar-lebar terhadap kenyataan, maka dapat memahami secara mendalam dan
tepat akan kontradiksi-kontradiksi yang berlaku di dunia ini, adanya perjuangan kelas di dalam
masyarakat, sehingga tahu pula bagaimana seharusnya berjuang untuk melenyapkan perjuangan kelas
untuk selama-lamanya.

Hukum kontradiksi adalah umum dan universal. Segala hal ihwal pada waktu dan tempat manapun juga,
selalu mengandung kontradiksi di dalamnya. Sudah tentu, tiap-tiap hal mempunyai kontradiksinya
sendiri-sendiri yang khas, yang membedakan hal yang satu dari lainnya. Satu hal yang sama, pada
tingkat-tingkat yang berbeda dari proses perkembangannya, juga mempunyai kekhususan-kekhususan
dalam kontradiksi-kontradiksinya, yang membedakan tingkat perkembangannya yang satu dari yang
lainnya. Kesadaran bahwa kontradiksi berlaku secara umum dan universal, berarti bahwa kita harus
mengenal kekhususan-kekhususan kontradiksi yang ada pada sesuatu hal yang konkret. Dan dalam
mempelajari kekhususan kontradiksi itu yang terpenting ialah untuk mengenal kontradiksi-pokok dan
segi-pokok daripada kontradiksi.

Di dalam proses perkembangan sesuatu hal yang rumit terdapat banyak kontradiksi. Kontradiksi-
kontradiksi yang dikandungnya mempunyai arti atau peranan dan kedudukan yang berbeda-beda di
sepanjang proses perkembangannya. Seperti dikatakan oleh Kawan Mau Tje-Tung, pada setiap tingkat
perkembangannya, “hanya satu di antaranya yang merupakan kontradiksi pokok yang memegang
peranan memimpin dan menentukan, sedangkan yang lain-lainnya menempati kedudukan yang

sekunder atau yang dibawahkan”.[19] Dengan perkataan lain, kontradiksi pokok adalah kontradiksi
“yang memegang peranan memimpin” pada suatu tingkat di dalam proses perkembangan sesuatu.
Misalnya, pada ketika imperialis Belanda melakukan agresi ke-I terhadap tanah air kita pada akhir tahun
1945, berbagai kelas di dalam negeri, kecuali sekelompok kecil kaum pengkhianat, dapat bersatu
melakukan perang nasional melawan imperialis Belanda dan sekutu-sekutunya. Pada waktu itu,
kontradiksi antara imperialisme dengan nasion atau Rakyat Indonesia menjadi kontradiksi-pokok,
sedangkan kontradiksi-kontradiksi di kalangan berbagai kelas di dalam negeri ditempatkan pada
kedudukan yang sekunder. Tetapi dalam perkembangan selanjutnya, oleh karena berhasilnya tipu-
muslihat kaum imperialis lewat kaki tangannya dalam negeri untuk memecah belah persatuan nasional
kita, terjadilah peristiwa tragedi nasional, yaitu Peristiwa Madiun di zaman kabinet Hatta, pada bulan
September 1948. Pada saat itu, kontradiksi antara kaum reaksi dalam negeri dan borjuasi nasional
dengan Rakyat pekerja Indonesia menjadi kontradiksi-pokok, sedangkan kontradiksi antara kaum
agresor Belanda dengan nasion Indonesia dibawahkan. Kemudian, dengan terjadinya agresi ke-II
imperialis Belanda dengan sekutu-sekutunya, maka terjadilah mutasi kembali, yaitu kontradiksi antara
kaum imperialis Belanda dengan nasion Indonesia menjadi kontradiksi-pokok. Tetapi, dengan
ditandatanganinya persetujuan KMB, kaum imperialis berhasil dengan secara tidak langsung membantu
kaum reaksioner di dalam negeri dengan menaikkannya ke atas panggung kekuasaan politik untuk
menindas Rakyat Indonesia. Dengan demikian kontradiksi antara reaksi dalam negeri dengan Rakyat
Indonesia menjadi kian tajam dan menonjol, sehingga terjadi rentetan peristiwa-peristiwa, seperti
“Larangan mogok natsir”, “Razzia Agustus Sukiman”, “Traktor Maut Rum”, dan sebagai salah satu
puncaknya ialah “pemberontakan ‘PRRI-Permesta’”. Semenjak kaum pemberontak pada pokoknya
dihancurkan, kaum imperialis kehilangan tamengnya yang penting, kontradiksi antara imperialis dengan
nasion Indonesia kembali menjadi kontradiksi-pokok sampai saat ini.

Demikianlah kita melihat bahwa kontradiksi-pokok pada tiap tingkat perkembangan proses revolusi kita
ini serta mutasi-mutasi kontradiksi-pokok itu memberikan ciri dan arah pada tiap tingkat perkembangan
itu. Sungguhpun demikian, jika ditinjau seluruh proses perkembangan tingkat revolusi Indonesia dewasa
ini, maka kontradiksi pokoknya adalah antara kaum imperialis dengan nasion Indonesia dan antara
Feodalisme dengan massa Rakyat yang terbesar, terutama kaum tani. Kontradiksi antara feodalisme
dengan massa Rakyat adalah termasuk kontradiksi-pokok, karena feodalisme adalah basis sosial
daripada imperialisme. Tetapi di dalam segala-galanya, yang terpokok ialah kontradiksi antara
imperialisme dengan nasion Indonesia.

Oleh karena kontradiksi-pokok memainkan peranan yang memimpin kontradiksi-kontradiksi lainnya


pada suatu tingkat perkembangan tertentu, maka ia merupakan mata rantai persoalan yang harus
dipecahkan lebih dulu, dan hanya dengan demikian kontradiksi-kontradiksi lainnya baru bisa dan lebih
mudah diselesaikan. Tetapi ini tak berarti bahwa kontradiksi-kontradiksi yang bukan pokok tidak ada
peranannya atau pengaruhnya sama sekali terhadap penyelesaian kontradiksi pokok. Sebaliknya,
perkembangan kontradiksi-kontradiksi itu mempunyai pengaruh yang tidak kecil terhadap penyelesaian
kontradiksi-pokok. Misalnya, kontradiksi-pokok yang harus kita selesaikan lebih dahulu pada tingkat
revolusi Indonesia sekarang adalah kontradiksi antara imperialisme dengan Rakyat atau nasion
Indonesia, sedangkan kontradiksi-kontradiksi lainnya yang merupakan kontradiksi-kontradiksi di
kalangan Rakyat adalah kontradiksi-kontradiksi yang bukan pokok. Dalam usaha untuk menyelesaikan
kontradiksi-pokok dalam revolusi kita tingkat sekarang ini, perkembangan kontradiksi-kontradiksi di
kalangan Rakyat mempunyai pengaruh yang besar. Jika pengurusan kontradiksi-kontradiksi di kalangan
Rakyat tidak tepat, ia akan mempersulit atau menghambat penyelesaian kontradiksi-pokok, lebih-lebih
kalau sampai terjadi mutasi, yaitu kontradiksi di kalangan Rakyat berubah menjadi kontradiksi pokok,
sedangkan kontradiksi antara imperialisme dengan Rakyat menjadi kontradiksi yang bukan pokok, maka
akan berarti revolusi kita mengalami kemunduran. Justru oleh karena itu, dalam usaha untuk
menyelesaikan revolusi kita sekarang ini, di samping kita harus mengarahkan ujung tombak kita kepada
imperialisme – terutama imperialis Belanda yang kini masih menjajah wilayah dan Rakyat kita di Irian
Barat, kita harus pula mengurus secara tepat kontradiksi-kontradiksi di kalangan Rakyat, tidak hanya
untuk mencegah terjadinya mutasi kontradiksi-pokok, tetapi juga untuk membantu atau memudahkan
penyelesaian kontradiksi-pokok. Untuk itulah maka, kaum Komunis Indonesia mengemukakan
pendiriannya: meletakkan kepentingan kelas dan Partai di bawah kepentingan nasion; dan untuk itu
pula kaum Komunis mengibarkan Tripanji Bangsa; Demokrasi (untuk Rakyat), Persatuan (nasional
revolusioner) dan Mobilisasi (segenap potensi nasional). Sudah tentu, musuh-musuh kita senantiasa
berusaha dengan segala tipu daya, terutama dengan intrik-intrik “anti-Komunis” supaya kontradiksi di
kalangan Rakyat berpindah (mutasi) menjadi kontradiksi-pokok. Oleh karena itu, kewaspadaan nasional
menghendaki pertama-tama diperkuatnya front persatuan yang berporoskan Nasakom dan
diberantasnya segala macam intrik dan kegiatan “anti-Komunis” dan penyakit “komunisto-phobi”. Di
sinilah arti penting kampanye Presiden Sukarno melawan “komunisto-phobi” dilihat dari segi
kepentingan seluruh nasion. Inilah sebabnya mengapa kaum Komunis Indonesia menerima ide
“Gotongroyong” dan menerima UUD 1945 yang di dalamnya terkandung Pancasila sebagai alat
pemersatu segenap kekuatan nasional revolusioner.

Setiap kontradiksi terdiri atas dua segi. Dua segi dalam kontradiksi itu mempunyai arti, peranan dan
kedudukan yang tidak sama. Di antaranya ada satu segi yang mewakili kekuatan-kekuatan lama atau
“the old established forces”, dan segi lainnya yang mewakili kekuatan-kekuatan yang baru atau “the
new emerging forces”, atau dengan perkataan lain segi negatif dan segi positif. Selain dari itu,
kedudukan dua segi itu dalam proses perkembangan kontradiksi memainkan peranan yang tidak sama,
ada yang menguasai dan ada yang dikuasai, ada yang memimpin dan ada yang dipimpin. Dalam keadaan
tertentu dua segi itu bisa berada dalam kedudukan yang seimbang, tetapi ini bersifat sementara dan
relatif. Segi yang berperanan menguasai atau berdominasi dalam seluruh proses perkembangan
mempunyai arti yang menentukan kualitasnya kontradiksi itu. Segi yang berperanan memimpin pada
tingkat-tingkat perkembangan tertentu mempunyai arti yang menentukan terhadap arah yang dituju
oleh perkembangan kontradiksi itu pada tingkat tertentu.

Segi yang baru pada permulaan proses perkembangan kontradiksi masih kecil dan lemah, dan karenanya
merupakan segi yang dipimpin dan dikuasai. Tetapi dalam proses perkembangan selanjutnya, ia tumbuh
makin besar dan kuat, sehingga kedudukannya pun berubah menjadi yang memimpin, dan kemudian
berdominasi. Apabila ini terjadi, berartilah kualitas kontradiksi itu berubah.

Memahami keadaan dua segi dalam kontradiksi adalah penting sekali artinya bagi usaha-usaha
menyelesaikan kontradiksi itu. Hanya dengan mengenal secara tepat keadaan musuh dan keadaan kita
sendiri, kita dapat menyelesaikan kontradiksi antara kita dengan musuh itu secara lebih tepat. Dan
dalam mengenal keadaan dua segi yang berkontradiksi itu pertama-tama kita perlu mengetahui mana
yang merupakan segi baru, segi yang mempunyai hari depan, dengan maksud agar kita berorientasi
pada segi baru ini serta menyiapkan syarat-syarat yang diperlukan untuk pertumbuhannya. Selanjutnya
perlu diketahui syarat-syarat yang diperlukan untuk menempati kedudukan yang memimpin dan lebih
lanjut dikembangkan untuk menjadi segi yang menguasai. Demikianlah juga seharusnya kita
menghadapi masalah pembebasan Irian Barat. Kita harus teguh berorientasi dan percaya kepada
kekuatan Rakyat Indonesia sendiri, harus menyiapkan syarat-syarat yang menguntungkan bagi
pertumbuhan kekuatan Rakyat itu. Membesar-besarkan kekuatan musuh, apalagi mengekang
pertumbuhan kekuatan Rakyat, adalah tindakan yang bertentangan dengan arah perkembangan, dan
tindakan yang khianat.

b) Hukum tentang perubahan kuantitatif ke perubahan kualitatif

Hukum tentang perubahan kuantitatif ke perubahan kualitatif menerangkan jalannya proses


perkembangan segala sesuatu. Hukum ini mengungkapkan bahwa perkembangan segala sesuatu itu
terdiri dari dua tingkatan yaitu tingkatan perubahan kuantitatif dan tingkatan perubahan kualitatif.
Perubahan kuantitatif berlangsung secara berangsur-angsur, secara evolusioner; tetapi sampai pada
batas tertentu, apabila bingkai lama diterjang, ia menimbulkan perubahan kualitatif yang berlangsung
secara tiba-tiba, secara revolusioner, dan merupakan suatu lompatan. Perubahan kuantitatif
menyiapkan perubahan kualitatif, dan perubahan kualitatif menyelesaikan perubahan kuantitatif yang
lama dan melahirkan serta mengembangkan perubahan kuantitatif yang baru. Demikianlah proses
perkembangan segala sesuatu itu merupakan rentetan perubahan kuantitatif dan perubahan kualitatif
yang silih berganti secara terus-menerus tak kunjung hentinya.

Berdasarkan hukum ini maka dalam memandang dan mengubah segala sesuatu kita harus mengetahui
dengan jelas kuantitas dan kualitasnya, mengetahui dengan jelas perubahan-perubahan kuantitatif apa
yang diperlukan untuk memungkinkan lahirnya perubahan kualitatif yang dituju. Hanya mengenal
perubahan kualitatif saja, tetapi mengabaikan perubahan kuantitatif yang diperlukan, berarti kita
membuat kesalahan avonturisme. Sebaliknya hanya puas dengan perubahan-perubahan kuantitatif saja,
tidak menghendaki perubahan kualitatif, berarti kita membuat kesalahan reformisme.

Misalnya, untuk mengubah masyarakat Indonesia dari kualitas sekarang ini – yang belum merdeka
penuh dan setengah-feodal – menjadi kualitas sosialis, kita harus mengetahui perubahan-perubahan
kuantitatif dan kualitatif apa yang harus dilaluinya. Dalam Manifesto Politik R.I. secara tepat telah
dikemukakan, bahwa untuk mencapai masyarakat sosialis, harus dilalui satu masa peralihan, yaitu
Indonesia yang merdeka dan berdaulat penuh, bebas dari pengaruh imperialisme dan feodalisme. Ini
sangat jelas, karena masyarakat sosialis tidak bisa dibangun dalam Indonesia yang belum merdeka
penuh (politik, ekonomi, kultural) serta masih setengah-feodal. Dan sebagaimana sering dikatakan oleh
Presiden Sukarno, kita bukan hanya tidak boleh evolusioner dan reformis, tetapi juga tidak boleh
melakukan “fasen-sprong” (melompati tingkat yang objektif harus dilalui).

Untuk dapat mencapai Indonesia yang merdeka penuh, kini sedang diperlukan perubahan-perubahan
kuantitatif, yaitu perubahan perimbangan kekuatan antara Rakyat Indonesia di satu pihak dan musuh-
musuh Rakyat di pihak lain. Perubahan kuantitatif itu harus diusahakan demikian rupa sehingga
kekuatan Rakyat kian hari kian bertambah besar dan kekuatan-kekuatan imperialisme serta kaum
reaksioner di dalam negeri kian hari bertambah lemah, sehingga pada suatu saat terjadi perubahan
kualitatif dari Indonesia sekarang menjadi Indonesia baru yang merdeka dan berdaulat penuh. Dengan
itu selesailah perubahan kuantitatif yang lama, yaitu perubahan perimbangan antara kekuatan Rakyat
dan kekuatan musuh-musuh Rakyat, dan sementara itu terjadi perubahan-perubahan kuantitatif yang
baru, yaitu, misalnya, perubahan-perubahan kuantitatif dalam keluasan dan kecepatan pembangunan
ekonomi, dalam susunan kelas dalam masyarakat, dsb., dan perubahan-perubahan kuantitatif ini
ditujukan untuk melahirkan perubahan kualitatif yang baru, untuk melahirkan masyarakat sosialis. Jika
ada orang yang hendak mengubah masyarakat kita sekarang ini sekaligus menjadi masyarakat sosialis
tanpa melalui suatu masa peralihan, maka ia melakukan suatu kesalahan avonturis. Sebaliknya, kalau
ada orang yang hanya menghendaki perubahan-perubahan kuantitatif, perbaikan upah buruh,
membatasi tanah milik tuan tanah feodal, dsb., dan tidak menjuruskan perubahan-perubahan ini kepada
perubahan kualitatif, yaitu kepada masyarakat Indonesia yang merdeka penuh dan masyarakat sosialis,
maka ini adalah kesalahan reformis.

Pendeknya, jika dengan secara sadar kita menggunakan hukum ini dalam praktek perjuangan, maka kita
dapat menentukan secara tepat garis strategi dan garis taktik perjuangan.

c) Hukum tentang negasi daripada negasi

Hukum negasi daripada negasi mengungkapkan arah atau kecenderungan umum daripada gerak atau
perkembangan segala sesuatu. Ia mengungkapkan penggantian kualitas lama dengan kualitas baru
dalam proses perkembangan dan peningkatan dari bentuk-bentuk yang rendah dan sederhana ke
bentuk-bentuk yang lebih tinggi, yang lebih kompleks. Oleh sebab itu hukum negasi daripada negasi ini
menyatakan watak progresif dari perkembangan, bahwa perkembangan mengikuti garis maju. Hukum
ini juga menunjukkan bahwa perkembangan segala sesuatu itu tidak merupakan garis lingkaran yang tak
mengenal ujung-pangkalnya, juga bukan garis lurus yang menaik, melainkan garis spiral.
Dalam tulisannya yang berjudul Karl Max, Lenin antara lain mengatakan: “Suatu perkembangan
nampaknya mengulangi tingkat-tingkat yang sudah pernah dilaluinya, tetapi mengulanginya secara lain,
mengulanginya di dalam dasar yang lebih tinggi (‘negasi daripada negasi’), dengan demikian, suatu
perkembangan, dapat dikatakan, merupakan spiral, bukan garis lurus”.[20] Sebagai ilustrasi mengenai
hukum ini, Engels pernah memberikan suatu contoh seperti berikut:

“Mari kita ambil sebagai contoh sebutir jelai ……… jika butir jelai itu berada dalam keadaan yang baginya
normal, jika jelai itu ditabur di dalam tanah yang cocok, dan kemudian di bawah pengaruh hawa panas
dan lembab ia mengalami perubahan yang khas, ia berkecambah; butir jelai seperti yang semula tidak
ada lagi, ia dinegasi, dan dari jelai itu muncul sebatang pohon, negasi terhadap jelai itu ……….. Ia
tumbuh, berbunga, menjadi subur dan akhirnya sekali lagi menghasilkan butir-butir jelai, dan segera
butir-butir jelai itu masak batangnya mati, pada gilirannya ia dinegasi. Sebagai akibat daripada negasi ini
kita sekali lagi mempunyai butir jelai semula, tetapi bukan satu, melainkan lipat sepuluh, dua puluh dan
tiga puluh kali”. [21]

Sejarah perkembangan masyarakat juga menunjukkan proses perkembangan negasi daripada negasi.
Misalnya, masyarakat komune-primitif (tidak berkelas) dinegasi oleh masyarakat-masyarakat berkelas
(perbudakan, feodal, dan kapitalis), dan kemudian dinegasi lagi oleh masyarakat sosialis dan Komunis
(tidak berkelas). Masyarakat sosialis dan Komunis menunjukkan ciri-ciri yang ada semula di dalam
masyarakat komune-primitif, yaitu a.I, hak milik bersama atas alat-alat produksi, meskipun dasarnya
berlainan sama sekali. Hak milik bersama atas alat-alat produksi dalam masyarakat sosialis dan Komunis
adalah atas dasar yang jauh lebih tinggi, karena tenaga produktif masyarakatnya sudah jauh lebih maju.
Saya pernah menghadapi pertanyaan: apakah masyarakat Komunis tidak akan dinegasi legi oleh
masyarakat berkelas? Hukum negasi daripada negasi, sebagaimana hukum-hukum dialektika lainnya,
akan terus berlaku, hal ini sudah pasti. Tetapi, bagaimana perwujudan konkretnya, tidak dapat kita
ketahui sekarang, sebab pada dewasa ini belum ada satu negeripun dimana sudah terdapat masyarakat
komunis. Dalam pada itu, bagaimanapun nantinya bentuk perwujudan daripada hukum negasi daripada
negasi itu, hukum ini pasti mengakibatkan kemajuan dan bukan kemunduran perkembangan.

Hukum dialektika ini mengajarkan kepada kita bahwa dalam memandang dan mengubah
(menyelesaikan) sesuatu masalah, di samping kita harus mengenal secara tepat tingkat-tingkat
perkembangan yang dialaminya, kita harus pula mengetahui dengan jelas faktor-faktor negasi yang
dikandungnya serta syarat-syarat yang diperlukan untuk terjadinya negasi itu serta perkembangannya,
dan dengan demikian baru kita bisa mengubah keadaan ke tingkat perkembangan yang lebih tinggi.
Misalnya, perkembangan masyarakat kita sekarang ini, di dalamnya mengandung beberapa faktor
negasi; yang mungkin menegasi atau mengubah masyarakat kita menjadi: 1) masyarakat jajahan dalam
bentuk baru (neo-kolonialisme): 2) masyarakat kapitalis: dan 3) masyarakat peralihan yang menuju ke
Sosialisme. Tetapi, penetapan Garis Besar Haluan Negara atau Manipol dan pelaksanaannya secara
konsekuen adalah justru untuk mencegah terjadinya kemungkinan negasi yang 1) dan 2), yang
kemungkinannya dalam syarat-syarat sejarah dewasa ini memang kecil, dan menjamin perkembangan
menurut negasi yang ke 3). Inilah keterangan secara filsafat mengapa kaum Komunis Indonesia
menerima Manipol dan memperuangkan pelaksanaannya secara konsekuen.

Demikianlah pokok-pokok pandangan materialisme dialektik

3. Materialisme Histori

Materialisme histori adalah penerapan materialisme dialektik di dalam sejarah dan kehidupan
masyarakat. Dengan lahirnya materialisme histori ini terjadilah suatu revolusi di dalam pandangan
sejarah. Ia telah mendobrak pandangan sejarah idealis yang hampir 2000 tahun lamanya menguasai
alam pikiran manusia, dan menegakkan pandangan sejarah yang ilmiah. Dan ini merupakan suatu ciri
yang penting yang membedakan materialisme Marx dengan materialisme- materialisme sebelumnya,
karena materialisme sebelum Marx tak dapat memegang teguh dan konsekuen pandangan materialis
dalam menghadapi masalah-masalah sosial dan sejarah.

Lenin berkata: “Penemuan konsepsi materialis tentang sejarah, atau lebih tepat lagi, penerangan dan
peluasan materialisme secara konsekuen ke dalam bidang gejala-gejala sosial, telah mengatasi dua
kelemahan pokok daripada teori-teori sejarah dahulu. Pertama, mereka paling-paling hanya meneliti
motif-motif ideologis daripada aktivitas sejarah manusia, tanpa menyelidiki apa yang melahirkan motif-
motif itu, tanpa berpegang pada hukum-hukum objektif yang menguasai perkembangan sistem
hubungan sosial, dan tanpa melihat akar-akar daripada hubungan-hubungan itu pada tingkat
perkembangan produksi materiil: kedua, teori-teori dahulu tidak meliputi aktivitas massa penduduk,
sedang materialisme histori untuk pertama kalinya mempelajari keadaan sosial daripada kehidupan
massa dan perubahan-perubahan di dalamnya dengan ketepatan (keakuratan) ilmu-alam”.[22]

Dengan materialisme histori, Marx menunjukkan hukum-hukum objektif perkembangan masyarakat,


menjelaskan secara ilmiah sebab-sebabnya kelahiran, perkembangan dan kehancurannya sesuatu
sistem masyarakat. Ia menyatakan bahwa pencipta sejarah adalah massa. Rakyat pekerja, bukan
individu-individu istimewa, misalnya raja, pahlawan, dsb.
Ajaran Marx tentang ekonomi politik dan tentang Sosialisme ilmiah, yang akan diuraikan kemudian,
adalah justru perwujudan konkret daripada materialisme histori mengenai perkembangan masyarakat
manusia pada tingkat tertentu – Kapitalisme. Oleh karenanya, di sini saja tak perlu menjelaskan semua
isi pokoknya.

Yang hendak saya kemukakan di bagian ini hanya mengenai dua hal, yaitu: (A) tentang perjuangan kelas,
dan (B) tentang peranan Rakyat pekerja dan individu di dalam sejarah.

(D) TENTANG PERJUANGAN KELAS

Kini masih ada saja sementara orang mengatakan bahwa mereka dapat menerima ajaran Marxisme,
kecuali ajarannya tentang perjuangan kelas. Pernyataan demikian ini sebenarnya merupakan suatu
bentuk penolakan terhadap seluruh ajaran Marxisme. Sebab, ajaran Marx tentang perjuangan kelas
adalah “jiwa” daripada Marxisme.

Perjuangan kelas adalah suatu proses perkembangan objektif daripada sejarah sejak masyarakat terbagi
dalam kelas-kelas yang saling bertentangan kepentingannya. Timbulnya kelas-kelas di dalam masyarakat
adalah akibat yang wajar daripada kemajuan tenaga produktif masyarakat pada tingkat perkembangan
sejarah tertentu – peralihan dari masyarakat komune-primitif ke masyarakat pemilikan-budak, dimana
manusia telah dapat menghasilkan hasil-lebih dari kerjanya sendiri sehingga dengan demikian
terciptalah syarat-syarat bagi segolongan orang untuk merampas dan memiliki hasil-lebih kerja orang
lain dengan melalui perampasan dan pemilikan atas alat-alat produksi. Oleh karena itu, timbulnya
perjuangan kelas dalam sejarah serta perkembangannya tak dapat dipisahkan dari timbul dan
perkembangannya sistem hak milik perseorangan atas alat-alat produksi. Dengan perkataan lain, dapat
dikatakan juga, bahwa tujuan perjuangan kelas, atau tujuan revolusi sebagai bentuk tertinggi daripada
perjuangan kelas, adalah untuk mengubah sistem hak milik atas alat-alat produksi, dan pada tingkat
perkembangannya terakhir – dalam zaman kapitalisme, adalah untuk menghapuskan sistem hak milik
perseorangan atas alat-alat produksi dan menjadikan alat-alat produksi milik masyarakat. Dengan
demikian mengakhiri riwayat masyarakat berkelas.

Dengan ini jelaslah kiranya bahwa pandangan-pandangan yang menyangkal ajaran Marx tentang
perjuangan kelas, atau usaha-usaha revisionis yang hendak mengebiri ajaran Marx dengan membuang
teori perjuangan kelasnya, adalah pandangan yang mewakili kepentingan kelas bermilik, adalah cara
untuk “melanggengkan” adanya kelas-kelas, untuk “melanggengkan” penghisapan atas manusia oleh
manusia (I’exploitation de I’homme par I’homme).
Akan tetapi, perjuangan kelas pada tingkat perkembangan kelas pada tingkat perkembangan sejarah
tertentu, atau dalam masyarakat tertentu, mempunyai bentuk dan isinya yang tertentu pula, sesuai
dengan tingkat perkembangan tenaga produktif masyarakat yang bersangkutan. Ini berarti bahwa
perjuangan kelas yang bertujuan untuk mengubah sistem hak milik atas alat-alat produksi itu tak dapat
dilakukan menurut keinginan atau kemauan subjektif manusia sendiri. Suatu sistem hak milik tertentu
tumbuh di dalam dasar tingkat perkembangan produksi kemasyarakatan tertentu. Oleh karenanya, garis
strategi dan taktik perjuangan kelas yang berlaku dalam masyarakat tertentu harus bersesuaian dengan
hukum-hukum perkembangan produksi yang berlaku di dalam masyarakat itu.

Revolusi Indonesia pada tingkat melawan imperialisme dan feodalisme sekarang adalah suatu bentuk
perjuangan kelas, perjuangan antara kaum penindas dan penghisap, yaitu kaum imperialis dan kaum
tuan tanah feodal serta kaki tangannya, dengan kaum tertindas dan terhisap, yaitu Rakyat Indonesia
yang terdiri dari kelas buruh, kaum tani, kaum borjuis kecil, kaum inteligensia, kaum pengusaha
nasional, dsb, yang dirugikan oleh imperialisme dan feodalisme. Tujuan perjuangan kelas ini , tujuan
revolusi tingkat sekarang ini, pertama-tama bukanlah untuk menghapuskan hak milik perseorangan
kaum pengusaha nasional, kaum tani dan borjuis kecil kota, melainkan hak milik perseorangan kaum
imperialis dan kaum tuan tanah feodal serta kaki tangannya. Karena itulah kaum komunis tidak dapat
menyetujui pandangan-pandangan yang ingin pada waktu sekarang juga menghapuskan hak milik
perseorangan kaum pengusaha nasional, kaum tani dan borjuis kecil, yang ingin sekaligus melenyapkan
segala bentuk hak milik perseorangan yang ada sekarang dan menggantinya dengan hak milik sosialis
dengan jalan menyita atau menasionalisasi tanah dan alat-alat produksi lainnya milik kaum tani, borjuis
kecil dan pengusaha nasional. Kaum pengusaha nasional dan kaum produsen kecil, termasuk kaum tani,
pada tingkat perkembangan produksi masyarakat kita sekarang dan satu masa tertentu di kemudian hari
masih dapat memainkan peranan yang progresif (atau positif). Fikiran-pikiran yang ingin menghapuskan
hak milik perseorangan kaum tani, borjuasi kecil dan pengusaha nasional pada tingkat perjuangan
sekarang adalah pikiran avonturis yang melemahkan konsentrasi kekuatan nasional dan oleh karena itu
sangat membahayakan revolusi kita.

Di samping itu kaum Komunis juga tidak menyetujui pikiran-pikiran yang menyatakan bahwa masyarakat
sosialis Indonesia yang merupakan perspektif revolusi kita di kemudian hari bukan atau tidak sesuai
dengan Sosialisme ilmiah Marx, karena, menurut interpretasinya, masyarakat sosialis Indonesia itu tidak
menghapuskan hak milik perseorangan atas alat-alat produksi. Jika masyarakat sosialis Indonesia yang
kita cita-citakan itu adalah masyarakat adil dan makmur, yang menghapuskan segala macam bentuk
sistem penghisapan dan penindasan, menghapuskan “I’exploitation de I’homme par I’homme”, maka
mau tidak mau harus menghapuskan segala macam bentuk hak milik perseorangan atas alat-alat
produksi.
(B) TENTANG PERANAN MASSA RAKYAT PEKERJA DAN INDIVIDU DIDALAM SEJARAH

Berlawanan dengan teori-teori sejarah yang terdahulu, yang umumnya berpendapat bahwa pencipta
sejarah adalah raja-raja, pahlawan-pahlawan, pemimpin-pemimpin, dsb., pendeknya individu-individu
yang istimewa, maka materialisme histori Marx berpendapat bahwa pencipta sejarah yang
sesungguhnya adalah massa Rakyat pekerja.

Sebab, tanpa aktivitas manusia memproduksi kebutuhan-kebutuhan materiil masyarakat, masyarakat


tak akan dapat berlangsung hidupnya, tak akan ada sejarahnya. Sedangkan yang melakukan produksi
kebutuhan-kebutuhan materiil itu adalah massa Rakyat pekerja. Oleh karenanya, perkembangan sejarah
masyarakat adalah perkembangan sejarah produksi, adalah perkembangan sejarah massa Rakyat
pekerja. Massa Rakyat pekerja tidak hanya merupakan pencipta kekayaan materiil masyarakat, tetapi
juga merupakan pencipta kekayaan spiritual masyarakat.

Sepanjang sejarah masyarakat berkelas, dimana massa Rakyat pekerja merupakan golongan yang
tertindas, penciptaan kekayaan spiritual memang tak mungkin dilakukan langsung oleh massa Rakyat
pekerja, melainkan secara tidak langsung dengan nelalui sarjana-sarjana, sastrawan-sastrawan dan
seniman-seniman yang umumnya lahir dari kalangan kelas penindas. Sebab, sarjana-sarjana, sastrawan-
sastrawan dan seniman-seniman itu mungkin melakukan akivitas-aktivitasnya serta memperoleh hasil-
hasil yang besar, karena segala kebutuhan materiil untuk hidupnya maupun untuk segala keperluan bagi
pekerjaannya telah diciptakan oleh massa Rakyat pekerja. Tanpa basis produksi materiil yang dilakukan
oleh massa Rakyat Pekerja, penciptaan kekayaan spiritual apapun tak mungkin terjadi. Selain itu, setiap
penciptaan kekayaan spiritual baik yang berupa penemuan-penemuan di bidang ilmu-alam ataupun
ilmu-sosial, maupun karya-karya sastra ataupun karya-karya kesenian, tak dapat dipisahkan dari
pengalaman praktek produksi massa Rakyat pekerja. Penemuan dalam pertanian tak terlepas dari
pengalaman praktek produksi kaum tani, penemuan mesin-mesin baru juga berdasarkan pengalaman
praktek kaum buruh. Begitupun karya-karya dalam kesusastraan dan kesenian, tak dapat dipisahkan dari
kehidupan massa Rakyat, dari pengakuan dan penghargaan massa Rakyat.

Dengan pengakuan bahwa massa Rakyat pekerja adalah pencipta sejarah, tidaklah berarti bahwa kaum
Marxis meremehkan peranan individu atau pemimpin-pemimpin dalam sejarah. Kaum Marxis mengakui
bahwa peranan individu dalam sejarah adalah penting, tetapi bukan yang menentukan. Sebab,
pemimpin adalah sebagian dari Massa, tak terpisahkan dari massa, dan ditentukan oleh massa.
Pemimpin adalah bagian yang paling sadar, paling berpengalaman di dalam gerakan massa, paling
mendapatkan kepercayaan dari massa. Dan justru oleh karena itu, maka pemimpin tidak hanya
mempunyai kemampuan untuk memecahkan persoalan-persoalan yang dihadapi oleh massanya, juga
untuk mengorganisasi dan memobilisasi segala kekuatan massa untuk merealisasi konsepsi jalan keluar
dari segala kesulitan itu, untuk mencapai cita-cita massa. Pendeknya, pemimpin dilahirkan oleh gerakan
masa, dan kepemimpinannya didasarkan pada kepentingan dan kekuatan massa. Oleh karena itu, adalah
tepat kalau Bung Karno sebagai presiden RI sering mengatakan bahwa tanpa rakyat Indonesia, beliau
sebagai individu tak mempunyai arti apa-apa, dan sebagai pemimpin Rakyat seseorang harus menjadi
“penyambung lidah Rakyat”. Tetapi, di pihak lain, individu pemimpin juga memainkan peranan aktif
terhadap massanya, terhadap perkembangan gerakan massanya. Jika pemimpin itu salah bertindak,
atau menyeleweng dari kepentingan dan cita-cita massa, maka ia akan merugikan dan mengakibatkan
kemunduran gerakan massa. Tentunya ini bersifat sementara, karena pemimpin semacam ini akan
dikoreksi atau disingkirkan oleh massanya sendiri. Sebaliknya, kalau pemimpin itu mempunyai
kecakapan yang besar dan mahir melakukan tugas kepemimpinannya, maka ia akan mendorong
perkembangan gerakan masa dengan cepat. Pendeknya, antara massa dengan pemimpinnya terdapat
saling hubungan, saling mempengaruhi dan saling menentukan, “loro-loro ning atunggal”, mempunyai
hubungan dialektik. Kultus individu menandakan hubungan yang tidak sehat, tidak dialektis, antara
massa dengan pemimpinnya. Pemimpin yang dipuja menjadi menjauhkan diri dari massa, sedang massa
yang memujanya tidak kritis terhadap pemimpinnya dan memastikan daya kreasinya sendiri, dengan
demikian tiada hubungan “persatuan” dan “perjuangan” antara massa dengan pemimpinnya, tiada
hubungan dialektik.

Lain halnya dengan martabat atau kewibawaan pemimpin dan kecintaan massa terhadap pemimpinnya.
Martabat atau kewibawaan pemimpin yang besar tidak ditegakkan dengan paksaan atau sengaja dibuat-
buat dengan menggunakan segala aparat yang ada pada pemimpin itu. Walaupun jalan ini juga bisa
membuat seseorang menjadi pemimpin, tetapi sifatnya sementara, tak tahan lama, karena kekuatan
massa tak dapat ditaklukkan oleh kekuatan kekerasan apapun, ketajaman mata massa tak dapat
disilaukan oleh segala macam tipu muslihat, mereka pasti akan memberikan vonis kepadanya.

Martabat atau kewibawaan pemimpin tak dapat dipisahkan dengan kepercayaan dan kecintaan massa
yang wajar kepadanya. Dan kepercayaan dan kecintaan massa itu tak dapat dibeli dengan uang atau
emas, tak dapat dengan gertakan kekuatan senjata, melainkan hanya dengan kesetiaan dan
kepercayaan pemimpin itu kepada massanya, di samping kecakapan individunya dalam melaksanakan
tugasnya sebagai pemimpin.

Dengan mengakui kebenaran, bahwa pencipta sejarah yang sesungguhnya adalah massa Rakyat pekerja,
tidaklah berarti bahwa massa Rakyat dapat membuat sejarah sekehendaknya sendiri, melainkan hanya
dengan menurut hukum-hukum perkembangan sejarah yang objektif.
Mengenal peranan massa Rakyat pekerja dan individu atau pemimpin dalam sejarah serta hubungan
dialektik antara massa dengan pemimpinnya adalah penting bagi kita semua, baik sebagai kader-kader
organisasi massa, kader-kader partai ataupun kader-kader pemerintahan. Karena dengan demikian kita
dapat menempatkan diri kita secara tepat dalam hubungan dengan massa Rakyat, dan hanya dengan
demikian kita dapat meningkatkan kemampuan dan martabat kita sebagai kader atau sebagai
pemimpin.

Demikianlah beberapa pokok masalah dalam materialisme histori. Adapun masalah-masalah lainnya
seperti tentang hubungan antara keadaan sosial dengan kesadaran sosial, hubungan antara tenaga
produktif dengan hubungan produksi, hubungan antara dasar dengan bangunan-atas masyarakat, dsb.
akan saya bicarakan dalam bagian-bagian tentang ekonomi politik dan tentang Sosialisme ilmiah.

Dari uraian tentang filsafat Marxisme seperti di dalam, maka jelaslah bahwa filsafat materialisme
dialektik adalah hasil tertinggi dari perkembangan sejarah filsafat, karena mendasarkan dirinya pada
hasil-hasil ilmu yang termaju di sepanjang sejarah umat manusia. Di samping itu, ia juga mempunyai ciri
yang menonjol, yang membedakannya dari filsafat-filsafat lainnya, yaitu bahwa filsafat materialisme
dialektik tidak hanya menjelaskan gejala-gejala alam, masyarakat dan pikiran, tetapi yang terpenting
memberikan senjata kepada manusia untuk mengubah keadaan dunia objektif, maupun subjektif. Marx
sendiri pernah mengatakan: “Filsuf-filsuf telah menafsirkan dunia dalam berbagai cara; tetapi soalnya
ialah untuk mengubah dunia.[23] Justru oleh karena itulah, oleh karena harus mengubah dunia, maka
Marx juga pernah mengetengahkan, bahwa filsafat materialisme dialektik dan histori mendapatkan
kekuatan materiil pada proletariat, dan proletariat mendapatkan senjata moril pada filsafat
materialisme dialektik dan histori.

BAB II. EKONOMI POLITIK

Sebagaimana bagian-bagian lain dari ajaran Marxisme, ajaran ekonomi politik Marxis adalah
berdasarkan hasil-hasil ilmiah yang sudah dicapai oleh ilmu ekonomi politik pada abad 18 dan 19,
terutama ajaran Adam Smith dan David Ricardo. Tetapi ajaran ekonomi politik kedua orang Inggris ini
adalah terbatas karena tidak bisa melanjutkan analisa mereka keluar dari batas-batas sistem ekonomi
kapitalisme.
Dalam kerja utamanya Das Kapital, Marx menyingkapkan hukum-hukum ekonomi yang menguasai
perkembangan masyarakat kapitalis dan memperlihatkan keharusan masyarakat kapitalis itu diganti
dengan sistem masyarakat yang lebih maju, masyarakat sosialis. Ajaran ekonomi politik Marxis telah
terbukti sebagai senjata ilmiah yang ampuh untuk merombak semua susunan ekonomi yang
berdasarkan penghisapan atas manusia oleh manusia, khususnya susunan ekonomi kapitalis. Dengan
dibimbing oleh ajaran-ajaran ini, maka sudah ada sejumlah negeri yang dengan sukses membangun
ekonomi sosialis, bebas dari “I’exploitation de I’homme par I’homme”. Dan tidak ada satu negeripun
yang sudah membangun Sosialisme tanpa berpedoman pada ajaran ekonomi politik Marxis ini.

Dalam rangkaian ceramah-ceramah ini akan kita bahas terlebih dulu beberapa pengertian pokok dan
umum dari ajaran ekonomi politik Marxis, kemudian beberapa masalah khusus dari kapitalisme dan
Sosialisme.

1. Produksi Kekayaan Materiil Adalah Dasar Kehidupan (Eksistensi) Masyarakat

Masalah yang sudah terjadi berabad-abad menyibukkan pikiran manusia ialah masalah tentang apa yang
menentukan sifat suatu sistem masyarakat, bagaimana masyarakat manusia berkembang, apakah
Rakyat yang sudah turun temurun hidup melarat dan sengsara dapat memperbaiki nasibnya, apakah
kebebasan dan kemakmuran dapat dicapai untuk semua manusia, ataukah hanya untuk golongan kecil
saja, apakah miskin dan kaya itu takdir, ataukah dapat kemiskinan dilenyapkan. Semua masalah ini
menyangkut kepentingan vital dari kehidupan manusia, sehingga tidak mengherankan bahwa banyak
ahli-pikir berusaha memberi jawaban atas masalah-masalah tersebut. Abad demi abad telah
berlangsung dan bersamaan dengan itu bermacam-macam teori dan konsepsi telah terbantah sama
sekali, bukan saja oleh kritik ahli-ahli pikir lainnya tapi juga oleh kritik waktu, oleh seluruh
perkembangan sejarah itu sendiri.

Memang, jalan untuk mencapai pengetahuan mengenai sebab-sebab perkembangan sejarah masyarakat
sangat sulit dan berliku-liku. Ini disebabkan karena, berbeda dengan peristiwa-peristiwa dalam alam,
peristiwa-peristiwa masyarakat lebih sukar diobservasi dan dianalisa. Di samping itu, kekuatan-kekuatan
dalam alam bersifat spontan dan tidak berkenaan dengan seseorang, sedangkan dalam masyarakat kita
menghadapi manusia-manusia yang selalu mempunyai kemauan tertentu dan mengejar tujuan tertentu.
Oleh sebab itu, mungkin orang mengira bahwa guna memahami perkembangan masyarakat manusia,
cukuplah untuk menyelidiki motif-motif manusia ketika bertindak dan berbuat sesuatu. Tetapi ini tidak
akan membawa manusia kepada pengertian yang sesungguhnya mengenai perkembangan masyarakat.
Masalahnya ialah: mengapa seseorang mempunyai motif tertentu dan orang lain mempunyai motif lain.
Lagipula, macam-macam orang mempunyai macam-macam motif yang menggerakkan mereka.
Tindakan-tindakan yang berdasarkan macam-macam motifnya itu berbentrokan satu sama lain dan
timbul peristiwa sejarah. Tapi hasil peristiwa sejarah itu bisa sangat berlainan daripada apa yang
dikehendaki atau dituju oleh orang-orang tersebut.

Misalnya, banyak orang yang turut serta melaksanakan Revolusi Agustus 1945 berpikir bahwa dengan
lenyapnya penjajahan dan tercapainya kemerdekaan, akan terbentuklah masyarakat yang adil dan
makmur. Tapi hingga kini masyarakat itu belum tercapai dan bagi banyak orang nasibnya masih sama
kalau tidak bertambah buruk.

Uraian ini menunjukkan bahwa dalam masyarakat terdapat suatu kontradiksi, yaitu kontradiksi antara
kegiatan subjektif yang sadar dari masing-masing orang di satu pihak, dengan perkembangan objektif
yang “spontan” dari masyarakat sebagai keseluruhan di pihak lain. Adanya kontradiksi ini sudah
ditemukan dan diketahui sebelum Marx, tapi belum ada yang dapat menjelaskannya secara ilmiah.
Karena tidak mampu menjelaskan kontradiksi ini secara tepat maka sebagian orang menganggap sejarah
hanya sebagai kumpulan peristiwa-peristiwa yang kebetulan, sebagian yang lain yang percaya akan
adanya keharusan (Notwendigkeit) dalam peristiwa-peristiwa sejarah itu, tapi tak memahami apa yang
menentukan keharusan itu, menjadi penganut fatalisme, menyerah kepada takdir yang tak dapat
dielakkan manusia.

Timbulnya sistem masyarakat kapitalis menyingkapkan akar-akar ekonomi yang materiil dari perjuangan
kelas, dan munculnya kelas buruh di dalam panggung sejarah berarti munculnya kelas yang pertama
dalam sejarah yang mempunyai kepentingan langsung akan penjelasan ilmiah terhadap perkembangan
masyarakat. Maka terbuka jalan untuk perubahan revolusioner dalam studi tentang masalah-masalah
masyarakat.

Marxisme menunjukkan bahwa masyarakat berkembang bukan karena kekuatan-kekuatan yang berada
di luar masyarakat, tapi oleh kekuatan-kekuatan di dalam masyarakat itu sendiri. Di pihak lain Marxisme
membuktikan bahwa manusia tidak membuat sejarah mereka secara sesukanya, tapi atas dasar syarat-
syarat materiil objektif yang mereka warisi dari abad-abad yang silam. Di antara syarat-syarat materiil
masyarakat, produksi kekayaan materiil yang diperlukan bagi kehidupan manusia, merupakan syarat
yang menentukan. Sudah tentu, faktor-faktor materiil lain seperti geografi, iklim, kepadatan penduduk
dll., mempunyai pengaruh terhadap kehidupan masyarakat, tapi faktor-faktor ini tidak dapat merupakan
dasar dari proses perkembangan masyarakat itu. Berbagai sistem masyarakat bisa terdapat dalam
keadaan geografi, iklim ataupun kepadatan penduduk yang sama. Tapi faktor yang primer bagi
kelangsungan hidup setiap masyarakat ialah kegiatan bekerja manusia untuk menghasilkan barang-
barang keperluan hidupnya, artinya manusia harus berproduksi sebagaimana dikatakan oleh Engels :
“…………. manusia harus lebih dulu makan, minum, mempunyai perumahan dan pakaian sebelum dapat
mengusahakan politik, ilmu, kesenian, agama, dll.”[24] Tanpa kegiatan berproduksi itu, setiap
masyarakat akan binasa, betapa tinggipun perkembangan intelektual yang sudah dicapai dalam
masyarakat itu.

2. Tenaga-tenaga Produktif Dan Hubungan-hubungan Produksi masyarakat

Proses produksi kekayaan materiil dalam masyarakat berpangkal pada tiga faktor, yaitu: 1. Kerja
manusia, 2. Sasaran kerja dan 3. Alat-alat kerja.

Kerja adalah kegiatan bersengaja dari manusia yang dimaksudkan untuk mengubah dan menyesuaikan
benda-benda alam sehingga dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan manusia. Kerja adalah keharusan
alam, syarat mutlak bagi kehidupan manusia. Tanpa kerja tidak mungkin ada kehidupan manusia.
Aktivitas kerja inilah yang membedakan manusia dari binatang. Binatang secara pasif harus
menyesuaikan diri dengan alam sekelilingnya, sedangkan manusia dengan perkakas-perkakas yang
dibuatnya dapat mempengaruhi serta mengubah alam sekelilingnya dan memperoleh bahan-bahan
yang diperlukannya.

Sasaran kerja (objek kerja, Arbeitsgegenstand) adalah apa saja yang dikenakan kerja manusia. Sasaran
kerja mungkin sesuatu yang sudah terdapat dalam alam, misalnya, kayu yang ditebang di hutan atau
bijih yang digali dari dalam bumi. Sasaran kerja yang sudah pernah dikenakan kerja, seperti bijih besi
dalam pabrik pengolahan logam, kapas dalam pabrik pemintalan dsb. dinamakan bahan mentah atau
bahan baku.

Alat-alat kerja (Arbeitsmittel) ialah segala benda yang dipergunakan manusia sebagai alat untuk
mengenakan kerjanya pada sasaran kerja dan mengubahnya. Dalam alat-alat kerja itu termasuk
pertama-tama perkakas-perkakas produksi, selanjutnya juga tanah, bangunan perusahaan, jalan-jalan,
terusan-terusan, gudang-gudang, dsb. Perkakas-perkakas produksi (Produktionsinstrumente) memegang
peranan yang menentukan di antara alat-alat kerja itu. Ini meliputi bermacam-macam perkakas, yang
dipakai manusia dalam kerja, mulai dari perkakas-perkakas batu yang kasar dari manusia primitif sampai
kepada mesin-mesin modern. Berbagai tingkat sejarah perkembangan masyarakat bukan dibedakan
menurut barang-barang apa yang diproduksi, melainkan menurut bagaimana, dengan perkakas-
perkakas produksi apa barang-barang itu diproduksi.
Sasaran kerja dan alat-alat kerja merupakan alat-alat produksi (Produktionsmittel, means of production).
Alat-alat produksi itu sendiri, bila tidak disatukan dengan tenaga kerja, hanya merupakan setumpukan
barang-barang mati. Untuk dapat memulai proses kerja, tenaga kerja mesti menjatuhkan diri dengan
perkakas-perkakas produksi. Tenaga kerja ialah kecakapan manusia bekerja, yaitu keseluruhan kekuatan
jasmani dan rohani manusia, dengan mana manusia itu dapat memproduksi barang-barang materiil.
Alat-alat produksi, dengan pertolongan mana barang-barang materiil dihasilkan, dan manusia yang
dengan kecakapan tertentu menggerakkan alat-alat ini, merupakan tenaga-tenaga produktif
masyarakat. Rakyat pekerja adalah tenaga produktif pokok masyarakat manusia pada semua tingkat
perkembangannya.

Tenaga-tenaga produktif mencerminkan hubungan manusia terhadap benda-benda dan kekuatan-


kekuatan alam yang digunakan untuk memproduksi kekayaan materiil. Tetapi dalam produksi, manusia
tidak hanya mempengaruhi alam melainkan juga mempengaruhi sesama manusia. “Mereka hanya
berproduksi dengan bekerjasama menurut cara tertentu dan saling menukarkan kegiatan mereka. Untuk
berproduksi, mereka memasuki perhubungan dan pertalian timbal-balik yang tertentu, dan hanya di
dalam perhubungan dan pertalian kemasyarakatan inilah dilakukan pengaruh mereka atas alam,
dilakukan produksi”.[25] Perhubungan dan pertalian tertentu yang terbentuk antara manusia-manusia
dalam proses produksi kekayaan materiil merupakan hubungan-hubungan produksi. Hubungan-
hubungan produksi meliputi: bentuk-bentuk hak milik atas alat-alat produksi; kedudukan kelas-kelas,
golongan-golongan masyarakat dalam produksi dan hubungan-hubungan timbal-balik antara mereka;
bentuk-bentuk distribusi dari hasil-hasil produksi.

Watak dari hubungan-hubungan produksi ditentukan pertama-tama oleh soal milik siapakah alat-alat
produksi (tanah, hutan, perairan, bahan mentah, perkakas-perkakas produksi, alat-alat perhubungan
dll.). milik orang-seorang, golongan-golongan masyarakat atau kelas-kelas yang mempergunakan alat-
alat produksi itu untuk menghisap Rakyat pekerja ataukah milik masyarakat yang bertujuan memenuhi
kebutuhan-kebutuhan materiil dan kultural dari massa Rakyat. Misalnya, di negeri kita terdapat jutaan
kaum tani yang mampu bekerja, jadi merupakan tenaga produktif yang besar. Tetapi banyak di antara
mereka tidak dapat mempergunakan tenaganya, dan hidup sebagai setengah-penganggur. Sebabnya
ialah karena alat produksi yang pokok, yaitu tanah, tidak mereka miliki. Jadi untuk dapat berproduksi,
mereka harus mengadakan hubungan produksi tertentu dengan si pemilik tanah, yaitu hubungan
berdasarkan penyewaan tanah dari tuan tanah. Akibatnya ialah bahwa sebagian besar dari hasil
panennya harus dibayarkan kepada tuan tanah dalam bentuk sewa tanah, sehingga sangat menekan
daya produksi tani penyewa. “Berkat” hak miliknya atas tanah, maka tuan tanah dapat memiliki
sebagian dari hasil kerja tani.
Contoh lain, ialah apa yang selalu kita jumpai di negeri-negeri kapitalis. Ratusan ribu, bahkan jutaan
buruh menganggur dalam keadaan teknik sangat maju dan produktivitas kerja sudah mencapai tingkat
yang jauh lebih tinggi daripada dalam sistem-sistem masyarakat pra-kapitalis. Tapi pabrik-pabrik yang
dapat memberikan pekerjaan kepada kaum buruh-penganggur itu malah ditutup atau bekerja jauh di
bawah kapasitas. Jadi, ada pekerja yang cukup, ada mesin-mesinnya, ada bahan-bahannya, tapi produksi
tidak jalan atau dikurangi. Sebabnya hanya karena pekerjanya bukan pemilik alat-alat produksi. Alat-alat
produksi bahkan dimiliki oleh orang-orang yang sama-sekali tidak turut serta dalam proses produksi.
Dengan demikian proses produksi hanya dapat berlangsung jika antara kaum buruh dengan kaum
kapitalis (yaitu pemilik alat-alat produksi) terjadi hubungan produksi tertentu berdasarkan penjualan
tenaga kerja oleh kaum buruh kepada kapitalis. Tujuan proses produksi di sini adalah untuk menghidupi
dan memperkaya pemilik-pemilik alat-alat produksi.

Lain keadaannya bila alat-alat produksi menjadi milik masyarakat, sehingga kaum pekerja tidak terpisah
lagi dari alat-alat produksinya. Di sini tidak mungkin lagi orang hidup dari kerja orang lain dan kedudukan
sosial semua anggota masyarakat menjadi sederajat.

Contoh-contoh tersebut menjelaskan bahwa peranan yang menentukan dalam sistem hubungan-
hubungan produksi dimainkan oleh satu atau lain bentuk hak milik atas alat-alat produksi.

Tenaga-tenaga produktif dan hubungan-hubungan produksi masyarakat menyatakan dua segi dari
produksi, yaitu segi teknik dan segi kemasyarakatan dari produksi. Ilmu ekonomi politik mempelajari
segi kemasyarakatan daripada produksi, yaitu mempelajari hubungan-hubungan produksi dalam
pengaruhnya yang timbal-balik dengan tenaga-tenaga produktif. Tenaga-tenaga produktif dan
hubungan-hubungan produksi sebagai suatu kesatuan merupakan cara produksi.

Tenaga-tenaga produktif adalah unsur yang paling mobil dan revolusioner dalam produksi.
Perkembangan produksi mulai dengan perubahan-perubahan dalam tenaga-tenaga produktif –
pertama-tama dengan perubahan-perubahan dan perkembangan perkakas-perkakas produksi, dan
kemudian perubahan-perubahan yang bersesuaian terjadi juga di lapangan hubungan-hubungan
produksi. Sebaliknya pula, hubungan-hubungan produksi antara manusia mempengaruhi tenaga-tenaga
produktif secara aktif.

Tenaga produktif masyarakat hanya dapat berkembang dengan tiada rintangan, apabila hubungan-
hubungan produksi sesuai dengan tingkat perkembangan tenaga-tenaga produktif, bingkai hubungan-
hubungan produksi yang ada itu menjadi terlalu sempit baginya sehingga tenaga-tenaga produktif
menjadi bertentangan dengan hubungan-hubungan produksi yang lama. Pertentangan inilah yang
menjadi dasar ekonomi bagi revolusi sosial dalam masyarakat-masyarakat berkelas yang berdasarkan
penghisapan atas manusia oleh manusia. Di dalam masyarakat-masyarakat semacam itu bentrokan-
bentrokan antara tenaga-tenaga produktif dengan hubungan-hubungan produksi dinyatakan dalam
bentuk perjuangan kelas. Penghapusan hubungan-hubungan produksi yang lama terjadi melalui
pergolakan-pergolakan besar, yaitu revolusi-revolusi. Tujuan revolusi ialah melenyapkan pertentangan
antara tenaga-tenaga produktif yang baru dengan hubungan-hubungan produksi yang lama, dan
membentuk hubungan produksi baru yang sesuai dengan tingkat perkembangan tenaga-tenaga
produktif yang sudah dicapai. Dengan jalan revolusi-revolusi sosial ini masyarakat maju ke-tingkat
perkembangan yang lebih tinggi. Maka, Marx menamakan revolusi-revolusi itu sebagai lokomotif-
lokomotif sejarah yang menggerakkan masyarakat manusia maju.

3. Hukum Ekonomi Utama Perkembangan Masyarakat. Keobjektifan Hukum-hukum Ekonomi

Pemahaman tentang saling hubungan dan saling pengaruh antara tenaga-tenaga produktif dengan
hubungan-hubungan produksi memungkinkan kita mengerti secara tepat sebab-sebab yang melahirkan
revolusi, tujuan revolusi, jalannya untuk menyelesaikan revolusi dll., pendeknya soal-soal pokok revolusi.
Dengan demikian kita bisa menghindarkan diri dari penafsiran-penafsiran yang subjektif tentang sebab-
sebab revolusi, tentang musuh-musuh dan sahabat-sahabat revolusi, tentang tujuan revolusi dan jalan
penyelesaiannya. Misalnya, “teori” yang banyak disebarkan kaum reaksioner ialah bahwa revolusi itu
ditimbulkan oleh karena Rakyat dari negeri yang berevolusi hidup melarat dan sengsara atau jumlah
penduduknya terlalu padat. Kepalsuan “teori” ini dengan mudah dapat dibuktikan oleh siapa saja yang
mau mempelajari sejarah. Revolusi-revolusi telah timbul di berbagai negeri yang sangat berbeda-beda
taraf hidup Rakyatnya dan kepadatan penduduknya. Pengertian tentang dasar ekonomi dari revolusi-
revolusi sosial juga memungkinkan kita membedakan sebab-sebab objektif dengan peristiwa-peristiwa
yang langsung mencetuskan revolusi (“aanleiding”, “occasion”). Misalnya, Revolusi Besar Prancis tahun
1789 dimulai dengan penyerangan terhadap Bastille, tapi sebab objektif dari timbulnya Revolusi Prancis
itu bukan penyerangan terhadap Bastille, melainkan adanya pertentangan yang meruncing antara
hubungan-hubungan produksi feodal dengan tingkat perkembangan tenaga-tenaga produktif yang
menuntut dilenyapkannya hubungan-hubungan produksi feodal dan digantikannya dengan hubungan
produksi yang baru – hubungan produksi kapitalis. Pertentangan ini menyatakan diri dalam
pertentangan dan perjuangan-perjuangan kelas, yaitu kaum tani, borjuasi (kaum kapitalis) dan kaum
buruh di satu pihak dengan kaum feodal di pihak lain.

Begitu pula Revolusi Agustus 1945 kita dimulai dengan Proklamasi Kemerdekaan, tapi sebab objektif dari
revolusi kita bukanlah proklamasi itu, melainkan penindasan kaum imperialis dan feodal terhadap
Rakyat kita. Perlawanan Rakyat kita terhadap imperialisme dan feodalisme adalah perwujudan dari
pertentangan antara hubungan-hubungan produksi yang bersifat kolonial dan setengah-feodal dengan
tingkat perkembangan tenaga-tenaga produktif di negeri kita. Pertentangan ini hanya dapat diselesaikan
jika hubungan produksi kolonial dan setengah-feodal itu dilenyapkan.

Syarat-syarat materiil bagi penggantian hubungan-hubungan produksi yang lama oleh yang baru, lahir
dan berkembang di dalam pangkuan susunan lama. Karena itu hubungan-hubungan produksi yang lama
cepat atau lambat akan diganti oleh hubungan-hubungan produksi yang baru, yang sesuai dengan
tingkat perkembangan yang sudah tercapai dan dengan watak tenaga-tenaga produktif masyarakat.
Hubungan-hubungan produksi yang baru ini memberikan keleluasaan lebih lanjut bagi perkembangan
tenaga-tenaga produktif. Tercapainya persesuaian antara hubungan-hubungan produksi yang baru
dengan tingkat perkembangan tenaga-tenaga produktif berarti bahwa masyarakat manusia telah
mencapai tingkat yang lebih maju dalam perkembangannya.

Oleh karena itu, hukum ekonomi umum daripada perkembangan masyarakat adalah hukum
penyesuaian hubungan-hubungan produksi dengan watak tenaga-tenaga produktif. Hukum ini berlaku
untuk semua bentuk masyarakat. Di samping itu masing-masing bentuk masyarakat mempunyai hukum-
hukum ekonominya yang khusus.

Hukum ekonomi adalah hakikat dari gejala-gejala dan proses-proses ekonomi, adalah hubungan yang
bersifat keharusan dan tetap, yaitu hubungan sebab-akibat yang terus berlangsung dan hubungan
ketergantungan satu sama lain yang terkandung pada gejala-gejala dan proses-proses itu. Hukum-
hukum ini adalah objektif, yaitu hukum-hukum itu timbul atas dasar syarat-syarat ekonomi tertentu
terlepas dari kemauan manusia dan akan hilang kekuatannya dengan lenyapnya syarat-syarat ekonomi
yang tertentu itu. Manusia tidak dapat sesukanya menghapuskan atau menciptakan hukum-hukum
ekonomi. Manusia hanya bisa mengenali hukum-hukum ini dan menggunakannya untuk mengubah
hubungan-hubungan ekonomi demi kepentingan-kepentingan masyarakat. Tetapi dengan
mempengaruhi ekonomi sesuai dengan hukum-hukum yang sudah dikenal dan kebutuhan-kebutuhan
perkembangan ekonomi yang sudah mematang, maka manusia mengambil bagian dalam melahirkan
hubungan-hubungan ekonomi yang baru dengan hukum-hukum yang khas bagi hubungan-hubungan
ekonomi itu. Oleh sebab itu Marxisme bertentangan dengan fatalisme, karena fatalisme menganggap
manusia tidak berdaya terhadap kekuatan-kekuatan dan hukum-hukum yang berlaku dalam masyarakat.

4. Dasar (Basis) Dan Bangunan-Atas

Tingkat perkembangan tenaga-tenaga produktif menentukan watak dari hubungan-hubungan produksi


manusia, yaitu susunan-ekonomi masyarakat. Susunan ekonomi ini merupakan basis atau dasar di dalam
mana timbul bermacam-macam hubungan-hubungan sosial, pandangan-pandangan dan lembaga-
lembaga. Pandangan-pandangan kemasyarakatan (politik, yuridis, filsafat, agama, dll.), lembaga-
lembaga dan organisasi-organisasi (Negara, gereja, partai-partai politik dll.) yang timbul di dalam dasar
yang tertentu itu, merupakan bangunan-atas masyarakat.

Teori tentang dasar dan bangunan-atas menjelaskan bagaimana dalam analisa terakhir cara produksi
menentukan segala aspek dari kehidupan sosial dan ekonomi dengan semua hubungan lainnya dari
masyarakat yang tertentu.

Dalam hal ini sering kali dituduhkan kepada Marxisme, bahwa Marxisme semata-mata
mempertimbangkan faktor ekonomi saja dan mengabaikan sama sekali peranan ide. Mereka katakana
bahwa kelemahan Marxisme terletak pada paham determinisme ekonominya. Sesungguhnya tuduhan
ini salah alamat, sama sekali tidak tepat ditujukan ke alamat Marxisme. Apa yang digambarkan sebagai
“Marxisme” itu adalah Marxisme yang divulgarkan. Jika itu yang dinamakan Marxisme, maka Marx
pernah berkata: “apa yang saya tahu, ialah bahwa saya bukan Marxis”.[26]

Kaum Marxis memang penganut determinisme, tapi bukan apa yang dinamakan determinisme ekonomi.
Prinsip determinisme adalah pengakuan terhadap watak objektif dari hubungan universal, penentuan
gejala berdasarkan hubungan sebab-akibat, berlakunya keharusan dan keteraturan dalam alam dan
masyarakat. Determinisme itu adalah prinsip dasar seluruh pemikiran ilmiah yang sejati, karena hanya
dengan mengetahui sebab-sebab gejala-gejala maka asal-usulnya dapat dijelaskan secara ilmiah, dan
hanya dengan mengetahui hukum yang menguasai gejala-gejala itu maka perkembangannya lebih lanjut
dapat diramalkan. Mengenai masyarakat, sebagaimana sudah diterangkan di atas, Marxisme
menganggap susunan-ekonomi sebagai unsur yang pada akhirnya (ultimately) menentukan. Tapi itu
tidak berarti bahwa menurut Marxisme, setiap ide atau lembaga dalam masyarakat secara langsung
dihasilkan oleh sesuatu keperluan ekonomi tertentu. Masyarakat, sebagaimana segala hal-ikhwal lainnya
harus dipelajari secara konkret, dalam perkembangannya yang kompleks dan yang senyata-nyatanya.
Maka pastilah bukan Marxisme, dan juga bukan ilmu, jika kita dari perincian syarat-syarat ekonomi
tertentu mencoba menyimpulkan bagaimana persisnya bentuk bangunan-atas yang timbul di dalam
dasar itu, atau menetapkan setiap ciri-detail bangunan-atas mempunyai ciri yang bersesuaian degannya
di dalam dasar. Sebaliknya, kita perlu mempelajari bagaimana perkembangan bangunan-atas itu
sesungguhnya dalam setiap masyarakat dan setiap zaman, dengan menyelidiki fakta-fakta tentang
masyarakat dan zaman itu.

Engels pernah menjelaskan tentang sebabnya timbul salah-tafsir terhadap marxisme itu sebagai berikut:
“Marx dan saya, kami sendiri, sebagian memikul kesalahan akan kenyataan bahwa penulis-penulis muda
kadang-kadang member tekanan yang lebih besar pada segi ekonomi daripada yang seharusnya. Kami
dulu perlu menekankan prinsip pokok ini dalam pertentangan dengan lawan-lawan kami, yang
menyangkal prinsip itu, dan kami tidak selalu mempunyai waktu, tempat atau kesempatan untuk
memperkenankan unsur-unsur lain yang terlibat dalam interaksi itu menampakkan diri dengan
semestinya (to come into their rights)”. “Tetapi”, demikian Engels melanjutkan “bila mengenai hal
menjadikan suatu bagian dari sejarah, yaitu hal penerapan praktis, maka soalnya lain, dan di situ tidak
mungkin terjadi kesalahan”.[27]

Oleh sebab itu, walaupun bangunan-atas muncul di dalam dasar yang tertentu, ia aktif mempengaruhi
kembali dasar, mempercepat atau menghambat perkembangannya. Dengan perubahan dalam dasar
ekonomi berubah pula bangunan-atasnya.

Dalam mengkritik pemutarbalikan Marxisme itu Engels menulis: “Menurut paham materialis tentang
sejarah, unsur yang akhirnya (ultimately) menentukan dalam sejarah adalah produksi dan reproduksi
kehidupan yang nyata. Lebih daripada itu Marx dan saya tidak pernah menyatakan. Oleh sebab itu, jika
ada orang yang memutarbalikkan ini dengan mengatakan bahwa unsur ekonomi adalah satu-satunya
unsure yang menentukan, maka ia mengubah dalil itu menjadi kalimat tanpa-arti, abstrak dan tanpa
guna. Keadaan ekonomi adalah basis, tetapi berbagai unsur dari bangunan-atas: bentuk-bentuk politik
dari perjuangan kelas dan hasil-hasilnya, yaitu: konstitusi-konstitusi yang dibentuk oleh kelas yang
menang setelah pertempuran yang sukses, dsb., bentuk-bentuk yuridis, dan bahkan pencerminan semua
perjuangan yang nyata ini di dalam otak para pesertanya., teori-teori politik, yuridis, filsafat, pandangan-
pandangan keagamaan dan perkembangannya lebih lanjut menjadi sistem-sistem dogma, juga
melakukan pengaruhnya terhadap jalannya perjuangan-perjuangan historis dan dalam banyak kejadian
lebih besar pengaruhnya (preponderate) dalam menentukan bentuknya”.[28]Dan lagi Engels
menekankan: “sekali suatu unsur historis dilahirkan oleh unsur-unsur lain, pada akhirnya (ultimately)
oleh fakta-fakta ekonomi, maka unsur itu juga bertindak (react) dan dapat bertindak terhadap keadaan
sekelilingnya dan bahkan terhadap sebab-sebab yang melahirkan unsur itu sendiri”.[29]

Demikianlah beberapa soal yang perlu diperhatikan untuk mencegah pemahaman secara terlalu
sederhana (simplistis). Sebagaimana diperingatkan oleh Engels: “Sayang, ……….terlalu sering terjadi
bahwa orang mengira mereka sudah sepenuhnya memahami suatu teori baru dan dapat
menerapkannya tanpa banyak rebut sejak dari saat mereka menguasai prinsip-prinsipnya yang pokok,
dan bahkan itupun tidak selalu mereka kuasai secara tepat”.[30]

5. Watak Kelas Dari Ajaran Ekonomi Marxis


Terhadap Marxisme kerap kali dinyatakan keberatan bahwa ajaran-ajarannya selalu memihak, sehingga
“bersifat berat sebelah dan tidak mungkin objektif”, demikian kata lawan-lawan Marxisme.

Lenin pernah berkata: “Penyelidikan terhadap hubungan-hubungan produksi di dalam suatu masyarakat
yang tertentu menurut sejarah, dalam kelahirannya, perkembangannya dan keruntuhannya –
demikianlah isi dari ajaran ekonomi Marx”.[31] Jadi, ajaran ekonomi Marxis harus mempelajari hukum-
hukum ekonomi yang berlaku di dalam masyarakat yang diselidikinya. Di atas sudah diterangkan bahwa
hukum-hukum ekonomi ini merupakan hukum-hukum objektif dan dalam hal ini sepenuhnya sama
dengan hukum-hukum objektif yang berlaku dalam alam. Tetapi, berbeda dengan hukum-hukum alam,
hukum-hukum ekonomi berlaku di dalam masyarakat dan langsung mengenai kepentingan-kepentingan
manusia, golongan-golongan manusia atau kelas-kelas. Ada kelas-kelas yang diuntungkan oleh
berlakunya suatu hukum ekonomi tertentu, ada yang dirugikan oleh hukum itu. Oleh sebab itu timbul
sikap yang berbeda-beda dari berbagai kelas itu terhadap hukum tersebut. Mereka yang diuntungkan
berkepentingan akan segera terlaksananya hukum tiu, berusaha mengenalnya dan menggunakannya.
Sedangkan kelas yang dirugikan berusaha sekuat-kuatnya melawan hukum itu, berusaha menutupinya
atau memutarbalikannya. Misalnya, hukum bahwa feodalisme pada tingkat perkembangannya yang
tertentu harus diganti oleh kapitalisme, dipergunakan oleh kelas borjuis dengan melaksanakan revolusi
borjuis anti-feodal, sebagaimana antara lain terjadi di Prancis (1789). Di pihak lain, kaum bangsawan
feodal melakukan segala daya upaya untuk menggagalkan revolusi itu dan merebut kembali kekuasaan
Negara.

Begitu juga di Indonesia, kita sendiri berpengalaman bagaimana kaum penjajah dengan sarjana-
sarjananya, betapa “ilmiah” pun dasar pendidikannya, tidak dapat atau tidak mau mengenal hukum
yang objektif bahwa penjajahan melahirkan perlawanan Rakyat yang menentang penjajahan dan
berjuang untuk kemerdekaan nasional, dan bahwa kemerdekaan nasional adalah sesuatu yang tak-
terelakkan. Oleh sebab itu timbul bermacam-macam “teori” yang dalam bentuk kasarnya terang-
terangan menyatakan keunggulan (superioritet) bangsa penjajah atas bangsa yang dijajah, dan dalam
bentuk “halus”nya menggambarkan penjajahan sebagai pelaksanaan “kewajiban suci” bangsa-bangsa
maju untuk membantu bangsa-bangsa “terbelakang”. Betapa jauhnya “teori” semacam itu dapat
menyangkal kenyataan-kenyataan dan meninggalkan sifat ilmiahnya, dapat kita lihat dari “teori” prof.
Reesing (yang belum lama berselang di bantah oleh prof. Dr. Sucipto) yang dengan tak kenal-malu
menyatakan bahwa Indonesia tidak pernah dijajah Belanda. Sebaliknya, bagi Rakyat Indonesia adalah
mudah untuk mengenal hukum objektif mengenai perjuangan kemerdekaan nasional, dan Rakyat
berkepentingan untuk mengenal hukum itu sedalam-dalamnya untuk dapat mengetahui perwujudan-
perwujudan konkret dari pelaksanaannya. Teori-teori revolusioner telah membantu menjelaskan hukum
itu.
Demikianlah, kita melihat bahwa kepentingan yang bertentangan dengan suatu hukum objektif
membuat kelas itu “buta” terhadap hukum itu, sedangkan kepentingan yang sesuai membuat kelas itu
“melek” terhadap hukum itu. Oleh sebab itu, suatu ilmu sosial, termasuk ilmu ekonomi politik, dapat
bersifat sungguh-sungguh ilmiah dan objektif bukannya dengan “berdiri di dalam kelas-kelas”, “tidak
memihak kesini, tidak memihak ke sana”, tapi justru dengan secara teguh memihak pendirian kelas yang
maju, kelas yang kepentingannya sepenuhnya sesuai dengan hukum-hukum perkembangan sejarah.
Kelas semacam itu, ialah kelas buruh, karena kelas buruh timbul dalam sistem masyarakat kapitalis,
sistem masyarakat terakhir yang berdasarkan penghisapan atas manusia oleh manusia. Kelas buruh
hanya mungkin sampai kepada tujuan perjuangannya, yaitu pembebasan dirinya dari penghisapan, jika
sistem kapitalisme hapus sama sekali.

Pada zaman kita sekarang ini sudah jelas, bahwa perkembangan masyarakat manusia di seluruh dunia
yang menuju terbentuknya masyarakat tanpa penghisapan atas manusia oleh manusia merupakan
hukum perkembangan yang objektif. Dengan membebaskan diri dari kapitalisme, kelas buruh akan
menamatkan riwayat segala bentuk penghisapan, maka dengan sendirinya ia merupakan satu-satunya
kelas yang kepentingannya sepenuhnya sesuai dengan hukum perkembangan tersebut. Oleh sebab itu,
Marxisme dengan ajaran ekonominya yang mendasarkan diri pada pendirian kelas buruh, justru
merupakan ajaran ilmiah dan objektif karena ia berpihak pada sesuatu yang berjuang untuk suatu
perspektif yang objektif, yaitu masyarakat tanpa penghisapan atas manusia oleh manusia. Sejarah
gerakan buruh sedunia dan juga gerakan kemerdekaan nasional kita sendiri membuktikan bahwa setiap
orang yang dengan jujur menginginkan serta memperjuangkan pembebasan manusia dari segala macam
penindasan, dapat memahami Marxisme dan mempergunakannya bagi kemajuan masyarakat manusia.

Sekianlah beberapa pengertian pokok dan umum mengenai ajaran ekonomi politik Marxis.

6. Tingkat-tingkat Perkembangan masyarakat

Menurut kenyataan sejarah masyarakat manusia, maka dapat kita simpulkan bahwa masyarakat
manusia telah mengalami berbagai tingkat perkembangan. Kita dapat membedakannya dalam lima
macam cara produksi yang mewakili lima tipe pokok susunan atau sistem masyarakat. Lima sistem
masyarakat itu ialah: sistem komune-primitif, pemilikan-budak, feodalisme, kapitalisme, dan Sosialisme.

Sistem-sistem masyarakat tersebut dalam perwujudannya di berbagai negeri sudah barang tentu
mempunyai kekhususan-kekhususannya tersendiri, tetapi masing-masing sistem masyarakat
mempunyai sifat-sifat dasar yang khas. Yang sama di semua negeri dan yang pertama-tama ditentukan
oleh watak dari hubungan-hubungan produksi dalam masyarakat itu.

System komune-primitif (Urkomunismus, Urgemeinschaft) adalah sistem masyarakat sebelum


masyarakat terbagi dalam kelas-kelas. Sistem pemil

Anda mungkin juga menyukai