Anda di halaman 1dari 16

BANI ABBASIYAH

1. Pembangunan Daulah Bani Abbasiyah

Daulah Bani Abbasiyah diambil dari nama Al-Abbas bin Abdul Mutholib, paman Nabi
Muhammad SAW. Pendirinya ialah Abdullah As-Saffah bin Ali bin Abdullah bin Al-Abbas,
atau lebih dikenal dengan sebutan Abul Abbas As-Saffah. Daulah Bani Abbasiyah berdiri
antara tahun 132 – 656 H / 750 – 1258 M. Lima setengah abad lamanya keluarga
Abbasiyah menduduki singgasana khilafah Islamiyah. Pusat pemerintahannya di kota
Baghdad.

 Tokoh pendiri Daulah Bani Abbasiyah adalah ; Abul Abbas As-Saffah, Abu Ja’far Al-Mansur,
Ibrahim Al-Imam dan Abu Muslim Al-Khurasani. Bani Abbasiyah mempunyai kholifah
sebanyak 37 orang. Dari masa pemerintahan Abul Abbas As-Saffah sampai Kholifah Al-
Watsiq Billah agama Islam mencapai zaman keemasan (132 – 232 H / 749 – 879 M). Dan
pada masa kholifah Al-Mutawakkil sampai dengan Al-Mu’tashim, Islam mengalami masa
kemunduran dan keruntuhan akibat serangan bangsa Mongol Tartar pimpinan Hulakho Khan
pada tahun 656 H / 1258 M.[9]

 2. Peta Daerah Perkembangan Islam Pada Masa Bani Abbasiyah

 Pemerintahan daulah Bani Abbasiyah merupakan kelanjutan dari pemerintahan daulah Bani
Umayyah yang telah hancur di Damaskus. Meskipun demikian, terdapat perbedaan antara
kekuasaan dinasti Bani Abbasiyah dengan kekuasaan dinasti Bani Umayyah, diantaranya
adalah :

 a. Dinasti Umayyah sangat bersifat Arab Oriented, artinya dalam segala hal para
pejabatnya berasal dari keturunan Arab murni, begitu pula corak peradaban yang dihasilkan
pada dinasti ini.

 b. Dinasti Abbasiyah, disamping bersifat Arab murni, juga sedikit banyak telah terpengaruh
dengan corak pemikiran dan peradaban Persia, Romawi Timur, Mesir dan sebagainya.

Pada masa pemerintahan dinasti Abbasiyah, luas wilayah kekuasaan Islam semakin
bertambah, meliputi wilayah yang telah dikuasai Bani Umayyah, antara lain Hijaz, Yaman
Utara dan Selatan, Oman, Kuwait, Irak, Iran (Persia), Yordania, Palestina, Lebanon, Mesir,
Tunisia, Al-Jazair, Maroko, Spanyol, Afganistan dan Pakistan, dan meluas sampai ke Turki,
Cina dan juga India.[10]

 3. Bentuk-Bentuk Peradaban Islam Pada Masa Daulah Abbasiyah

 Masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah merupakan masa kejayaan Islam dalam berbagai
bidang, khususnya dalam bidang ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Pada zaman ini, umat
Islam telah banyak melakukan kajian kritis terhadap ilmu pengetahuan, yaitu melalui upaya
penterjemahan karya-karya terdahulu dan juga melakukan riset tersendiri yang dilakukan
oleh para ahli. Kebangkitan ilmiyah pada zaman ini terbagi di dalam tiga lapangan, yaitu :
kegiatan menyusun buku-buku ilmiah, mengatur ilmu-ilmu Islam dan penerjemahan dari
bahasa asing.[11]

 Setelah tercapai kemenangan di medan perang, tokoh-tokoh tentara membukakan jalan


kepada anggota-anggota pemerintahan, keuangan, undang-undang dan berbagai ilmu
pengetahuan untuk bergiat di lapangan masing-masing. Dengan demikian muncullah pada
zaman itu sekelompok penyair-penyair handalan, filosof-filosof, ahli-ahli sejarah, ahli-ahli
ilmu hisab, tokoh-tokoh agama dan pujangga-pujangga yang memperkaya perbendaharaan
bahasa Arab. [12]

 Adapun bentuk-bentuk peradaban Islam pada masa daulah Bani Abbasiyah adalah sebagai
berikut :

a. Kota-Kota Pusat Peradaban

 Di antara kota pusat peradaban pada masa dinasti Abbasiyah adalah Baghdad dan
Samarra. Bangdad merupakan ibu kota negara kerajaan Abbasiyah yang didirikan Kholifah
Abu Ja’far Al-Mansur (754-775 M) pada tahun 762 M. Sejak awal berdirinya, kota ini sudah
menjadi pusat peradaban dan kebangkitan ilmu pengetahuan. Ke kota inilah para ahli ilmu
pengetahuan datang beramai-ramai untuk belajar. Sedangkan kota Samarra terletak di
sebelah timur sungai Tigris, yang berjarak + 60 km dari kota Baghdad. Di dalamnya
terdapat 17 istana mungil yang menjadi contoh seni bangunan Islam di kota-kota lain.[13]

 b. Bidang Pemerintahan

 Pada masa Abbasiyah I (750-847 M), kekuasaan kholifah sebagai kepala negara sangat
terasa sekali dan benar seorang kholifah adalah penguasa tertinggi dan mengatur segala
urusan negara. Sedang masa Abbasiyah II 847-946 M) kekuasaan kholifah sedikit menurun,
sebab Wazir (perdana mentri) telah mulai memiliki andil dalam urusan negara. Dan pada
masa Abbasiyah III (946-1055 M) dan IV (1055-1258 M), kholifah menjadi boneka saja,
karena para gubernur di daerah-daerah telah menempatkan diri mereka sebagai penguasa
kecil yang berkuasa penuh. Dengan demikian pemerintah pusat tidak ada apa-apanya lagi.

 Dalam pembagian wilayah (propinsi), pemerintahan Bani Abbasiyah menamakannya


dengan Imaraat, gubernurnya bergelar Amir/ Hakim. Imaraat saat itu ada tiga macam,
yaitu ; Imaraat Al-Istikhfa, Al-Amaarah Al-Khassah dan Imaarat Al-Istilau. Kepada
wilayah/imaraat ini diberi hak-hak otonomi terbatas, sedangkan desa/ al-Qura dengan
kepala desanya as-Syaikh al-Qoryah diberi otonomi penuh.

 Selain hal tersebut di atas, dinasti Abbasiyah juga telah membentuk angkatan perang yang
kuat di bawah panglima, sehingga kholifah tidak turun langsung dalam menangani tentara.
Kholifah juga membentuk Baitul Mal/ Departemen Keuangan untuk mengatur keuangan
negara khususnya. Di samping itu juga kholifah membentuk badan peradilan, guna
membantu kholifah dalam urusan hukum.[14]

 c. Bangunan Tempat Pendidikan dan Peribadatan

 Di antara bentuk bangunan yang dijadikan sebagai lembaga pendidikan adalah madrasah.
Madrasah yang terkenal saat itu adalah Madrasah Nizamiyah, yang didirikan di Baghdad,
Isfahan, Nisabur, Basrah, Tabaristan, Hara dan Musol oleh Nizam al-Mulk seorang perdana
menteri pada tahun 456 – 486 H. selain madrasah, terdapat juga Kuttab, sebagai lembaga
pendidikan dasar dan menengah, Majlis Muhadhoroh sebagai tempat pertemuan dan diskusi
para ilmuan, serta Darul Hikmah sebagai perpustakaan.

 Di samping itu, terdapat juga bangunan berupa tempat-tempat peribadatan, seperti
masjid. Masjid saat itu tidak hanya berfungsi sebagai tempat pelaksanaan ibadah sholat,
tetapi juga sebagai tempat pendidikan tingkat tinggi dan takhassus. Di antara masjid-
masjid tersebut adalah masjid Cordova, Ibnu Toulun, Al-Azhar dan lain sebagainya.[15]

 d. Bidang Ilmu Pengetahuan

 Ilmu pengetahuan pada masa Daulah Bani Abbasiyah terdiri dari ilmu naqli dan ilmu ‘aqli.
Ilmu naqli terdiri dari Ilmu Tafsir, Ilmu Hadits Ilmu Fiqih, Ilmu Kalam, Ilmu Tasawwuf dan
Ilmu Bahasa. Adapaun ilmu ‘aqli seperti : Ilmu Kedokteran, Ilmu Perbintangan, Ilmu Kimia,
Ilmu Pasti, Logika, Filsafat dan Geografi.[16]

 
4. Kemunduran Daulah Bani Abbasiyah

 Kehancuran Dinasti Abbasiyah ini tidak erjadi dengan cara spontanitas, melainkan melalui
proses yang panjang yang diawali oleh berbagai pemeberontakan dari kelompok yang tidak
senang terhadap kepemimpinan kholifah Abbasiyah. Disamping itu juga, kelemahan
kedudukan kekholifahan dinasti Abbasiyah di Baghdad, disebabkan oleh luasnya wilayah
kekuasaan yang kurang terkendali, sehingga menimbulkan disintegrasi wilayah.

 Di antara kelemahan yang menyebabkan kemunduran Dinasti Abbasiyah adalah sebagai
berikut :

 a. Mayoritas Kholifah Abbasiyah periode akhir lebih mementingkan urusan pribadinya dan
cenderung hidup mewah.

 b. Luasnya wilayah kekuasaan Abbasiyah, sementara komunikasi pusat dengan daerah sulit
dilakukan.

 c. Ketergantungan kepada tentara bayaran.

 d. Semakin kuatnya pengaruh keturunan Turki dan Persia, yang menimbulkan
kecemburuan bagi bangsa Arab murni.

 e. Permusuhan antara kelompok suku dan agama.

 f. Perang Salib yang berlangsung beberapa gelombang dan menelan banyak korban.

 g. Penyerbuan tentara Mongol di bawah pimpinan Panglima Hulagu Khan yang menghacur
leburkan kota Baghdad.

 Masa Daulah Abbasiyah adalah masa keemasan Islam, atau sering disebut dengan istilah
‘’The Golden Age’’. Pada masa itu Umat Islam telah mencapai puncak kemuliaan, baik dalam
bidang ekonomi, peradaban dan kekuasaan. Selain itu juga telah berkembang berbagai
cabang ilmu pengetahuan, ditambah lagi dengan banyaknya penerjemahan buku-buku dari
bahasa asing ke bahasa Arab. Fenomena ini kemudian yang melahirkan cendikiawan-
cendikiawan besar yang menghasilkan berbagai inovasi baru di berbagai disiplin ilmu
pengetahuan. Bani Abbas mewarisi imperium besar Bani Umayah. Hal ini memungkinkan
mereka dapat mencapai hasil lebih banyak, karena landasannya telah dipersiapkan oleh
Daulah Bani Umayah yang besar.
Menjelang tumbangnya Daulah Umayah telah terjadi banyak kekacauan dalam berbagai
bidang kehidupan bernegara; terjadi kekeliruan-kekeliruan dan kesalahan-kesalahan yang
dibuat oleh para Khalifah dan para pembesar negara lainnya sehingga terjadilah
pelanggaran-pelanggaran terhadap ajaran Islam.

 Di antara kesalahan-kesalahan dan kekeliruan-kekeliruan yang dibuat adalah :

 1. Politik kepegawaian didasarkan pada klan, golongan, suku, kaum dan kawan.

 2. Penindasan yang terus-menerus terhadap pengikut-pengikut Ali RA pada khususnya dan
terhadap Bani Hasyim pada umumnya.

 3. Penganggapan rendah terhadap kaum muslimin yang bukan bangsa Arab, sehingga
mereka tidak diberi kesempatan dalam pemerintahan.

 4. Pelanggaran terhadap ajaran Islam dan hak-hak asasi manusia dengan cara yang
terang-terangan. [1]

 Bani Abbas telah mulai melakukan upaya perebutan kekuasaan sejak masa Khalifah Umar
bin Abdul Aziz (717-720 M) berkuasa. Khalifah itu dikenal liberal dan memberikan toleransi
kepada berbagai kegiatan keluarga Syiah.[2] Keturunan Bani Hasyim dan Bani Abbas yang
ditindas oleh Daulah Umayah bergerak mencari jalan bebas, dimana mereka mendirikan
gerakan rahasia untuk menumbangkan Daulah Umayah dan membangun Daulah Abbasiyah.
Gerakan ini didahului oleh keturunan Bani Abbas, seperti Ali bin Abdullah bin Abbas,
Muhammad serta Ibrahim.[3]

 Di bawah pimpinan Imam mereka Muhammad bin Ali Al-Abbasy mereka bergerak dalam
dua fase, yaitu fase sangat rahasia dan fase terang-terangan dan pertempuran.[4] Selama
Imam Muhammad masih hidup gerakan dilakukan sangat rahasia. Propaganda dikirim ke
seluruh pelosok negara, dan mendapat pengikut yang banyak, terutama dari golongan-
golongan yang merasa ditindas, bahkan juga dari golongan-golongan yang pada mulanya
mendukung Daulah Umayah Setelah Imam Muhammad meninggal dan diganti oleh anaknya
Ibrahim, pada masanya inilah bergabung seorang pemuda berdarah Persia yang gagah
berani dan cerdas dalam gerakan rahasia ini yang bernama Abu Muslim Al-Khurasani.
Semenjak masuknya Abu Muslim ke dalam gerakan rahasia Abbasiyah ini, maka dimulailah
gerakan dengan cara terang-terangan, kemudian cara pertempuran, dan akhirnya dengan
dalih ingin mengembalikan keturunan Ali ke atas singgasana kekhalifahan, Abu Abbas
pimpinan gerakan tersebut berhasil menarik dukungan kaum Syiah dalam mengobarkan
perlawanan terhadap kekhalifahan Umayah. Abu Abbas kemudian memulai makar dengan
melakukan pembunuhan sampai tuntas semua keluarga Khalifah, yang waktu itu dipegang
oleh Khalifah Marwan II bin Muhammad. Begitu dahsyatnya pembunuhan itu sampai Abu
Abbas menyebut dirinya sang pengalir darah atau As-Saffar.[5] Maka bertepatan pada
bulan Zulhijjah 132 H (750 M) dengan terbunuhnya Khalifah Marwan II di Fusthath, Mesir
dan maka resmilah berdiri Daulah Abbasiyah.

 Dalam peristiwa tersebut salah seorang pewaris takhta kekhalifahan Umayah, yaitu
Abdurrahman yang baru berumur 20 tahun, berhasil meloloskan diri ke daratan Spanyol.
Tokoh inilah yang kemudian berhasil menyusun kembali kekuatan Bani Umayah di seberang
lautan, yaitu di keamiran Cordova. Di sana dia berhasil mengembalikan kejayaan
kekhalifahan Umayah dengan nama kekhalifahan Andalusia [6]

 B. Tiga Dinasti dalam Daulah Abbasiyah

 Pada awalnya kekhalifahan Daulah Abbasiyah menggunakan Kufah sebagai pusat


pemerintahan, dengan Abu Abbas As-Safah (750-754 M) sebagai Khalifah pertama.
Kemudian Khalifah penggantinya Abu Jakfar Al-Mansur (754-775 M) memindahkan pusat
pemerintahan ke Baghdad. Di kota Baghdad ini kemudian akan lahir sebuah imperium besar
yang akan menguasai dunia lebih dari lima abad lamanya. Imperium ini dikenal dengan
nama Daulah Abbasiyah.

 Dalam beberapa hal Daulah Abbasiyah memiliki kesamaan dan perbedaan dengan Daulah
Umayah. Seperti yang terjadi pada masa Daulah Umayah, misalnya, para bangsawan
Daulah Abbasiyah cenderung hidup mewah dan bergelimang harta. Mereka gemar
memelihara budak belian serta istri peliharaan (harem). Kehidupan lebih cenderung pada
kehidupan duniawi ketimbang mengembangkan nilai-nilai agama Islam. Namun tidak dapat
disangkal sebagian khalifah memiliki selera seni yang tinggi serta taat beragama. Tidak
berlebihan kalau dikatakan bahwa Daulah Abbasiyah mengalami pergeseran dalam
mengembangkan pemerintahan. Sehingga dapatlah dikelompokkan masa Daulah Abbasiyah
menjadi lima periode sehubungan dengan corak pemerintahan. Sedangkan menurut asal
usul penguasa selama masa 508 tahun Daulah Abbasiyah mengalami tiga kali pergantian
penguasa. Yaitu Bani Abbas, Bani Buwaihi, dan Bani Saljuk, seperti tersebut di bawah ini.
Kenyataan itu menunjukkan bahwa masa pemerintahan itu diwarnai oleh intrik istana
maupun perebutan kekuasaan secara internal. [7]

 
a. Bani Abbas (750-932 M)

 1. Khalifah Abu Abbas As-Safah (750-754 M)

 2. Khalifah Abu Jakfar al-Mansur (754-775 M)

 3. Khalifah Al-Mahdi (775-785 M)

 4. Khalifah Al-Hadi (785-786 M)

 5. Khalifah Harun Al-Rasyid (786-809 M)

 6. Khalifah Al-Amin (809-813 M)

 7. Khalifah Al-Makmun (813-833 M)

 8. Khalifah Al-Muktasim (833-842 M)

 9. Khalifah Al-Wasiq (842-847 M)

 10. Khalifah Al-Mutawakkil (847-861 M)

 11. Khalifah Al-Muntasir (861-862 M)

 12. Khalifah Al-Mustain (862-866 M)

 13. Khalifah Al-Muktazz (866-869 M)

 14. Khalifah Al-Muhtadi (869-870 M)

 15. Khalifah Al-Muktamid (870-892 M)

 16. Khalifah Al-Muktadid (892-902 M)

 17. Khalifah Al-Muktafi (902-908 M)

 18. Khalifah Al-Muktadir (908-932 M)

 
b. Bani Buwaihi (932-1075 M)

 19. Khalifah Al-Kahir (932-934 M)

 20. Khalifah Ar-Radi (934-940 M)

 21. Khalifah Al-Mustaqi (940-944 M)

 22. Khalifah Al-Muktakfi (944-946 M)

 23. Khalifah Al-Mufi (946-974 M)

 24. Khalifah At-Tai (974-991 M)

 25. Khalifah Al-Kadir (991-1031 M)

 26. Khalifah Al-Kasim (1031-1075 M)

 c. Bani Saljuk (1075-1258 M)

 27. Khalifah Al-Muqtadi (1075-1084 M)

 28. Khalifah Al-Mustazhir (1074-1118 M)

 29. Khalifah Al-Mustasid (1118-1135 M)

 30. Khalifah Ar-Rasyid (1135-1136 M)

 31. Khalifah Al-Mustafi (1136-1160 M)

 32. Khalifah Al-Mustanjid (1160-1170 M)

 33. Khalifah Al-Mustadi (1170-1180 M)

 34. Khalifah An-Nasir (1180-1224 M)

 35. Khalifah Az-Zahir (1224-1226 M)

 36. Khalifah Al-Mustansir (1226-1242 M)


 37. Khalifah Al-Muktasim (1242-1258 M)

 C. Periodisasi dalam Daulah Abbasiyah

 a. Periode pertama (750-847 M)

 Diawali dengan tangan besi

 Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa pendiri dari Daulah Abbasiyah ini adalah Abu
Abbas As-Safah. Di awal pemerintahannya untuk mengukuhkan eksistensi kekhalifahan
Daulah Abbasiyah, maka Abu Abbas menerapkan kebijakan-kebijakan yang cukup tegas,
kebijakan itu adalah memusnahkan anggota keluarga daulah Bani Umayah, serta
menggunakan suatu agen rahasia yang berfungsi untuk mengawasi gerak dan gerik
keturunan Bani Umayah, bila perlu membunuhnya. Koordinator pelenyapan keluarga Bani
Umayah itu diserahkan kepada Abdullah pamannya Abu Abbas.[8]

 Perlakuan kejam itu tidak hanya kepada orang-orang Umayah yang masih hidup,
melainkan juga kepada mereka yang sudah meninggal, dengan cara mengeluarkan jenazah
mereka dan membakarnya. Sedangkan makam yang tidak digali, adalah makam Muawiyah
bin Abi Sufyan dan Umar bin Abdul Aziz.[9] Sehingga akhirnya menimbulkan banyak
pemberontakan, namun pemberontakan-pemberontakan yang ada dapat dipatahkan oleh
Abu Abbas. Setelah Abu Abbas meninggal dia diganti oleh Abu Jakfar Al-Mansur (754-775
M)

 Abu Jakfar Al-Mansur adalah Khalifah Daulah Abbasiyah yang dikenal paling kejam. Namun
dialah yang paling berjasa dalam mengkonsolidasikan dinasti Abbasiyah sehingga menjadi
kuat dan kokoh, dia meletakkan dasar-dasar pemerintahan bani Abbasiyah dan tidak-
segan-segan melakukan tindakan tegas kepada pihak-pihak yang mengganggu
pemerintahannya.[10]

 Untuk menunjang langkah menuju masa kejayaan beberapa kebijakan penting yang
diambil oleh Al-Mansur yaitu memindahkan ibukota dari Kuffah ke Baghdad, sebuah kota
indah yang terdapat di tepi aliran sungai Tigris dan Eufrat. Sementara itu perbaikan juga
dilakukan di bidang administrasi pemerintahan yang disusun secara baik dan pengawasan
terhadap berbagai kegiatan pemerintah diperketat. Petugas pos-pos komunikasi dan surat-
menyurat ditingkatkan fungsinya menjadi lembaga pengawas terhadap para gubernur. Hal
ini dilakukan untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya gerakan separatis dan
pemberontakan. Tak urung gejala pemberontakan itu memang muncul di mana-mana,
misalnya beberapa daerah taklukan melepaskan diri. Namun demikian pemberontakan-
pemberontakan yang ada dapat dipatahkan oleh Khalifah Abu Jakfar Al-Mansur. Selain itu
salah satu kebijakan Al-Mansur adalah melakukan invasi dan perluasan daerah kekuasaan,
antara lain ke wilayah Armenia, Mesisah, Andalusia dan Afrika.

 Kalau dasar-dasar pemerintahan Daulah Abbasiyah ini telah diletakkan dan dibangun oleh
Abu Abbas As-Safah dan Abu Jakfar Al-Mansur, maka puncak keemasan dinasti itu berada
pada tujuh Khalifah sesudahnya. Sejak masa Khalifah Al-Mahdi (775-785) hingga Khalifah
Al-Wasiq (842-847 M).[11]

 Pergeseran Kebijakan

 Puncak popularitas daulah ini berada pada zaman Khalifah Harun Al-Rasyid (786-809 M)
dan putranya Al-Makmun (813-833 M). Kedua penguasa ini lebih menekankan pada
pengembangan peradaban dan kebudayaan Islam ketimbang perluasan wilayah seperti
pada masa Daulah Umayah. Orientasi pada pembangunan peradaban dan kebudayaan ini
menjadi unsur pembeda lainnya antara dinasti Abbasiyah dan dinasti Umayah yang lebih
mementingkan perluasan daerah. Akibat kebijakan yang diambil ini, provinsi-provinsi
terpencil di pinggiran mulai terlepas dari genggaman mereka.[12]

 Ada dua kecenderungan yang terjadi. Pertama, seorang pemimpin lokal memimpin suatu
pemberontakan yang berhasil menegakkan kemerdekaan penuh seperti Daulah Umayah di
Andalusia (Spanyol) dan Idrisiyah (Bani Idris) di Marokko. Cara kedua, yaitu ketika orang
yang ditunjuk menjadi gubernur oleh Khalifah manjadi sangat kuat, seperti Daulah Aglabiah
(Bani Taglib) di Tunisia dan Tahiriyah di Khurasan.[13]

 Pada zaman Al-Mahdi, perekonomian meningkat. Irigasi yang dibangun membuat hasil
pertanian berlipat ganda dibanding sebelumnya. Pertambangan dan sumber-sumber alam
bertambah dan demikian pula perdagangan internasional ke timur dan ke barat dipergiat.
Kota Basra menjadi pelabuhan transit yang penting yang serba lengkap.[14]

 Tingkat kemakmuran yang paling tinggi adalah pada zaman Harun Al-Rasyid. Masa itu
berlangsung sampai dengan masa Al-Makmun. Al-Makmun menonjol dalam hal gerakan
intelektual dan ilmu pengetahuan dengan menerjemahkan buku-buku dari Yunani.

 Kecenderungan orang-orang muslim secara sukarela sebagai anggota milisi mengikuti


perjalanan perang sudah tidak lagi terdengar. Ketentaraan kemudian terdiri dari prajurit-
prajurit Turki yang profesional. Militer Daulah Bani Abbasiyah menjadi sangat kuat.
Akibatnya, tentara itu menjadi sangat dominan sehingga Khalifah berikutnya sangat
dipengaruhi atau menjadi boneka mereka.
 Sebagai respon dari kenyataan tersebut Khalifah Al-Wasiq (842-847 M) mencoba
melepaskan diri dari dominasi tentara Turki tersebut dengan memindahkan ibukota ke
Samarra, tetapi usaha itu tidak berhasil mengurangi dominasi tentara Turki.

 Salah satu faktor penting yang merupakan penyebab Daulah Abbasiyah pada periode
pertama ini berhasil mencapai masa keemasan ialah terjadinya asimilasi dalam Daulah
Abbasiyah ini. Berpartisipasinya unsur-unsur non Arab, terutama bangsa Persia, dalam
pembinaan peradaban Baitul Hikmah dan Darul Hikmah yang didirikan oleh Khalifah Harun
Al-Rasyid dan mencapai puncaknya pada masa Khalifah Al-Makmun.

 Pada masa itu perpustakaan-perpustakaan tampaknya lebih menyerupai sebuah universitas


ketimbang sebuah taman bacaan. Orang-orang datang ke perpustakaan itu untuk
membaca, menulis, dan berdiskusi. Di samping itu, perpustakaan ini juga berfungsi sebagai
pusat penerjemahan. Tercatat kegiatan yang paling menonjol adalah terhadap buku-buku
kedokteran, filsafat, matematika, kimia, astronomi dan ilmu alam. Di masa-masa
berikutnya para ilmuwan Islam bahkan mampu mengembangkan dan melakukan inovasi
dan penemuan sendiri. Di sinilah letak sumbangan Islam terhadap ilmu dan peradaban
dunia.

 Zaman Keemasan

 Kekhalifahan Bani Abbas biasa dikaitkan dengan Khalifah Harun Al-Rasyid, yang
digambarkan sebagai Khalifah yang paling terkenal dalam zaman keemasan kekhalifahan
Bani Abbasiyah. Dalam memerintah Khalifah digambarkan sangat bijaksana, yang selalu
didampingi oleh penasihatnya, Abu Nawas, seorang penyair yang kocak, yang sebenarnya
adalah seorang ahli hikmah atau filsuf etika. Zaman keemasan itu digambarkan dalam kisah
1001 malam sebagai negeri penuh keajaiban.

 Sebenarnya zaman keemasan Bani Abbasiyah telah dimulai sejak pemerintahan pengganti
Khalifah Abu Jakfar Al-Mansur yaitu pada masa Khalifah Al-Mahdi (775-785 M) dan
mencapai puncaknya di masa pemerintahan Khalifah Harun Al-Rasyid.

 Di masa-masa itu para Khalifah mengembangkan berbagai jenis kesenian, terutama
kesusasteraan pada khususnya dan kebudayaan pada umumnya. Berbagai buku bermutu
diterjemahkan dari peradaban India maupun Yunani. Dari India misalnya, berhasil
diterjemahkan buku-buku Kalilah dan Dimnah maupun berbagai cerita Fabel yang bersifat
anonim. Berbagai dalil dan dasar matematika juga diperoleh dari terjemahan yang berasal
dari India. Selain itu juga diterjemahkan buku-buku filsafat dari Yunani, terutama filsafat
etika dan logika. Salah satu akibatnya adalah berkembangnya aliran pemikiran muktazilah
yang amat mengandalkan kemampuan rasio dan logika dalam dunia Islam. Sedangkan dari
sastera Persia terjemahan dilakukan oleh Ibnu Mukaffa, yang meninggal pada tahun 750 M.
Pada masa itu juga hidup budayawan dan sastrawan masyhur seperti Abu Tammam
(meninggal 845 M), Al-Jahiz (meninggal 869 M), Abul Faraj (meninggal 967 M) dan
beberapa sastrawan besar lainnya.[15]

 Kemajuan ilmu pengetahuan bukan hanya pada bidang sastra dan seni saja juga
berkembang , meminjam istilah Ibnu Rusyd, Ilmu-ilmu Naqli dan Ilmu Aqli. Ilmu-ilmu Naqli
seperti Tafsir, Teologi, Hadis, Fiqih, Ushul Fiqh dan lain-lain. Dan juga berkembang ilmu-
ilmu Aqli seperti Astronomi, Matematika, Kimia, Bahasa, Sejarah, Ilmu Alam, Geografi,
Kedokteran dan lain sebagainya. Perkembangan ini memunculkan tokoh-tokoh besar dalam
sejarah ilmu pengetahuan, dalam ilmu bahasa muncul antara lain Ibnu Malik At-Thai
seorang pengarang buku nahwu yang sangat terkenal Alfiyah Ibnu malik, dalam bidang
sejarah muncul sejarawan besar Ibnu Khaldun serta tokoh-tokoh besar lainnya yang
memiliki pengaruh yang besar bagi perkembangan ilmu pengetahuan selanjutnya.

 b. Periode kedua (847-945 M)[16]

 Kebijakan Khalifah Al-Muktasim (833-842 M) untuk memilih unsur-unsur Turki dalam


ketentaraan Kekhalifahan Daulah Abbasiyah terutama dilatar belakangi oleh adanya
persaingan antara golongan Arab dan Persia pada masa Al-Makmun dan sebelumnya. Di
masa Al-Muktasim (833-842 M) dan Khalifah sesudahnya Al-Wasiq (842-847 M), mereka
mampu mengendalikan unsur-unsur Turki tersebut. Akan tetapi, Khalifah Al-Mutawakkil
(847-861 M) yang merupakan awal dari periode ini adalah seorang Khalifah yang lemah.
Pada masanya orang-orang Turki dapat merebut kekuasaan dengan cepat setelah Al-
Mutawakkil wafat. Mereka telah memilih dan mengangkat Khalifah sesuai kehendak mereka.
Dengan demikian Bani Abbasiyah tidak lagi mempunyai kekuatan dan kekuasaan, meskipun
resminya mereka adalah penguasa. Usaha untuk melepaskan dari dominasi Turki selalu
mengalami kegagalan. Pada tahun 892 M, Baghdad kembali menjadi Ibukota. Sementara
kehidupan intelektual terus berkembang.

 Akibat adanya persaingan internal di kalangan tentara Turki, mereka memang mulai
melemah. Mulailah Khalifah Ar-Radi menyerahkan kekuasaan kepada Muhammad bin Raiq,
Gubernur wasit dari Basra. Di samping itu, Khalifah memberinya gelar Amirul Umara
(Panglima para panglima). Meskipun demikian, keadaan Bani Abbas tidak menjadi lebih
baik. Dari dua belas Khalifah pada periode ini, hanya empat orang yang wafat dengan
wajar, selebihnya, kalau tidak dibunuh, mereka digulingkan dengan paksa.

 
Pemberontakan masih bermunculan pada periode ini, seperti pemberontakan Zanj di
dataran rendah Irak Selatan dan pemberontakan Karamitah yang berpusat di Bahrain.
Namun bukan itu semua yang menghambat upaya mewujudkan kesatuan politik Daulah
Abbasiyah. Faktor-faktor penting yang menyebabkan kemunduran Bani Abbas pada periode
ini adalah sebagai berikut, pertama, luasnya wilayah kekuasaan Daulah Abbasiyyah yang
harus dikendalikan, sementara komunikasi lambat. Berbarengan dengan itu kadar saling
percaya di kalangan para penguasa dan pelaksana pemerintahan sangat rendah, Yang
kedua, profesionalisasi tentara menyebabkan ketergantungan kepada mereka menjadi
sangat tinggi. Ketiga, kesulitan keuangan karena beban pembiayaan tentara sangat besar.
Setelah kekuatan militer merosot, Khalifah tidak sanggup lagi memaksa pengiriman pajak
ke Baghdad.

 c. Periode Ketiga (945-1055 M)

 Posisi Daulah Abbasiyah yang berada di bawah kekuasaan Bani Buwaihi merupakan ciri
utama dari periode ketiga ini. Keadaan Khalifah lebih buruk ketimbang di masa sebelumnya,
lebih-lebih karena Bani Buwaihi menganut aliran Syiah. Akibatnya kedudukan Khalifah tidak
lebih sebagai pegawai yang diperintah dan diberi gaji. Sementara itu Bani Buwaihi telah
membagi kekuasaannya kepada tiga bersaudara. Ali menguasai wilayah bagian selatan
negeri Persia, Hasan menguasai wilayah bagian utara, dan Ahmad menguasai wilayah Al-
Ahwaz, Wasit dan Baghdad. Dengan demikian Baghdad pada periode ini tidak lagi menjadi
pusat pemerintahan Islam, karena telah dipindah ke Syiraz di mana berkuasa Ali bin
Buwaihi yang memiliki kekuasaan Bani Buwaihi.

 Dalam bidang ilmu pengetahuan, Daulah Abbasiyah masih terus mengalami kemajuan pada
periode ini. Pada masa inilah muncul pemikir-pemikir besar seperti Al-Farabi (870-950 M),
Ibnu Sina (980-1037 M), Al-Biruni (973-1048 M), Ibnu Misykawaih (930-1030 M) dan
kelompok studi Ikhwan As-Safa. Bidang ekonomi, pertanian, dan perdagangan juga
mengalami kemajuan. Kemajuan itu juga diikuti dengan pembangunan kanal, mesjid dan
rumah sakit. Patut dicatat pula bahwa selama masa Bani Buwaihi berkuasa di Baghdad,
telah terjadi beberapa kali bentrokan sosial aliran ahlu sunnah dan syiah, dan
pemberontakan tentara.

 d. Periode Keempat (1055-1199 M)

 Periode keempat ini ditandai dengan berkuasanya Bani Saljuk dalam Daulah Abbasiyah.
Kehadiran Bani Saljuk ini adalah atas ’’undangan’’ Khalifah untuk melumpuhkan kekuatan
Bani Buwaihi di baghdad. Keadaan Khalifah sudah mulai membaik, paling tidak
kewibawaannya dalam bidang agama sudah kembali setelah beberapa lama dikuasai orang-
orang Syiah.

 Seperti halnya pada periode sebelumnya, ilmu pengetahuan juga berkembang dalam
periode ini. Nizam Al-Mulk, Perdana Menteri pada masa Alp Arselan dan Maliksyah,
mendirikan Madrasah Nizamiyah (1067 M) dan Madrasah Hanafiyah di Baghdad. Cabang-
cabang Madrasah Nizamiyah didirikan hampir di setiap kota di Irak dan Khurasan. Madrasah
ini menjadi model bagi perguruan tinggi di kemudian hari. Madrasah ini telah melahirkan
banyak cendikiawan dalam berbagai disiplin ilmu. Misalnya yang dilahirkan dalam periode
ini adalah Az-Zamakhsari, penulis dalam bidang Tafsir dan Usul ad-dien (Teologi), Al-
Ghazali dalam bidang ilmu kalam dan tasawuf, dan Umar Khayyam dalam bidang ilmu
perbintangan. Dalam bidang politik, pusat kekuasaan juga tidak terletak di kota Baghdad.
Mereka membagi wilayah kekuasaan menjadi beberapa provinsi dengan seorang gubernur
untuk mengepalai masing-masing provinsi. Pada masa pusa kekuasaan melemah, masing-
masing provinsi memerdekakan diri. Konflik-konflik dan peperangan yang terjadi di antara
mereka melemahkan mereka sendiri, dan sedikrit demi sedikit kekuasaan politik Khalifah
menguat kembali, terutama untuk negeri Irak. Kekuasaan mereka berakhir di Irak di tangan
Khawarizmisyah pada tahun 1199 M.

 e. Periode Kelima (1199-1258 M)

 Telah terjadi perubahan besar-besaran dalam kekhalifahan Daulah Abbasiyah dalam


periode kelima ini. Pada periode ini, Khalifah Abbasiyah tidak lagi berada di bawah dinasti
tertentu. Mereka merdeka dan berkuasa tetapi hanya di baghdad dan sekitarnya. Sempitnya
wilayah kekuasaan Khalifah menunjukkan kelemahan politiknya. Pada masa inilah datang
tentara Mongol dan Tartar menghancurkan Baghdad tanpa perlawanan pada tahun 1258 M.

 Faktor-faktor yang membuat Daulah Abbasiyah menjadi lemah dan kemudian hancur dapat
dikelompokkan menjadi dua faktor yaitu faktor intern dan faktor ekstern. Di antara faktor-
faktor intern adalah, pertama, adanya persaingan tidak sehat di antara beberapa bangsa
yang terhimpun dalam Daulah Abbasiyah, terutama Arab, Persia dan Turki. Kedua,
terjadinya perselisihan pendapat di antara kelompok pemikiran agama yang ada, yang
berkembang menjadi pertumpahan darah. Ketiga, munculnya dinasti-dinasti kecil sebagai
akibat perpecahan sosial yang berkepanjangan. Keempat, terjadinya kemerosotan tingkat
perekonomian sebagai akibat dari bentrokan politik.

 
Sedangkan faktor-faktor ekstern yang terjadi adalah, pertama, berlangsungnya perang salib
yang berkepanjangan dalam beberapa gelombang. Dan yang paling menentukan adalah
faktor kedua yaitu, adanya serbuan tentara Mongol dan Tartar yang dipimpin oleh Hulagu
Khan, yang berhasil menjarah semua pusat-pusat kekuasaan maupun pusat ilmu, yaitu
perpustakaan di Baghdad.

 Kekejaman Bangsa Mongol[17]

 Khalifah Al-Muktasim, Khalifah Daulah Abbasiyah yang paling akhir, beserta seluruh putra-
putranya dan semua pembesar-pembesar kota Baghdad mati dibunuh semuanya oleh
tentara Mongol. Sebagian besar penduduk kota itu disembelih laksana binatang saja.
Sesudah itu mereka merampas harta benda penduduk dan melakukan perbuatan-perbuatan
kejam dab ganasnya tiada terperikan. Sekalian isi istana dan perbendaharaan negara
mereka rampas semuanya. Istana dan gedung-gedung yang indah, madrasah dan mesjid-
mesjid yang mengagumkan mereka rusak. Buku-buku pengetahuan yang tak ternilai
harganya, mereka lemparkan ke dalam sungai Tigris sehingga hitam lantaran tinta yang
luntur. Mereka membakar di sana-sini sehingga api mengamuk di seluruh kota. Peristiwa
kekejaman ini berlaku sampai 40 hari lamanya. Di atas bumi kota Baghdad, tak ada lagi
yang kelihatan, selain dari tumpukan bara hitam yang masih berasap.

 Daulah Abbasiyah Lenyap

 Dengan kematian Al-Muktasim lenyaplah Daulah Abbasiyah dari bumi ini, berkubur dalam
bumi kota Baghdad yang telah hangus di bawah runtuhan gedung-gedung dan istana.

 Dalam masa lima abad lamanya, yakni sejak dari Abu Abbas As-Safah memerintah pada
750 M sampai hari mangkatnya Al-Muktasim pada 1258 M, telah ada 37 orang Khalifah
menduduki singgasana Daulah Abbasiyah.

 Penutup

 Masa Daulah Abbasiyah adalah masa keemasan Islam, Pada masa ini kedaulatan umat
Islam telah sampai ke puncak kemuliaan, baik kekayaan, kemajuan ataupun kekuasaan.
Pada zaman ini telah lahir berbagai ilmu Islam dan berbagai ilmu penting telah
diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Selain itu sumbangan umat Islam bagi peradaban
dunia juga dihasilkan oleh para cendikiawan-cendikiawan besar yang hidup di masa Daulah
Abbasiyah ini. Namun ada pelajaran penting yang dapat kita petik dari perjalanan panjang
Daulah Abbasiyah yang selama berabad-abad menguasai dunia yakni agar umat Islam
jangan terlena dengan kekuasaan dunia, karena keterlenaan dan hidup bermegah-megah
menyebabkan kita jauh dari ajaran Allah SWT. Hal juga merupakan pemicu bagi umat Islam
untuk kembali bangkit merebut kejayaan Islam yang pernah dirasakan pada masa Daulah
Abbasiyah.

Anda mungkin juga menyukai