Pokok Bahasan:
I. Pendahuluan
II. Penyakit Jaringan Pulpa:
II.1. Faktor-faktor penyebab penyakit pulpa
II.2. Mekanisme terjadinya inflamasi pulpa
II.3. Klasifikasi penyakit pulpa
II.4. Pulpitis Reversibel
II.5. Pulpitis Irreversibel
II.5.1. Pulpitis Kronis Hiperplastik
II.5.2. Resorpsi Internal
II.6. Degeneratif Pulpa
II.7. Nekrosis Pulpa
1
Materi Kuliah Konservasi Gigi semester V
I. PENDAHULUAN
Telah diketahui bahwa secara histologis jaringan pulpa mempunyai fungsi induktif, formatif,
nutritif, defensif dan sensatif. Adapun pengertian dari masing-masing fungsi tersebut adalah:
- Fungsi Induksif: yaitu pulpa berpartisipasi dalam induksi dan pengembangan odontoblas
dan dentin. Bila ini terbentuk maka menginduksi pembentukan enamel.
- Fungsi Formatif: yaitu fungsi odontoblas yang khusus dalam pembentukan dentin
- Fungsi Nutritif: yaitu mensuplai nutrisi dalam rangka pembentukan dentin lewat tubulus
dentin.
- Fungsi Defensif: oleh odontoblas akan mempengaruhi dentin terhadap rangsangan dan
oleh sel-sel radang yang memiliki imunokompeten terhadap respon radang dan
imunologik
- Fungsi Sensatif: yaitu melalui sistem saraf mengirim rangsangan ke SSP yang
manifestasinya berupa rasa nyeri.
Salah satu fungsi utama jaringan pulpa adalah formatif yang diperankan oleh odontoblas
untuk membentuk dentin primer, sekunder maupun dentin reparatif. Dentin primer terbentuk di
saat gigi dalam pertumbuhan, dentin sekunder terbentuk setelah gigi erupsi, sedangkan dentin
tersier atau reparatif dibentuk sebagai repons terhadap rangsangan.
Jaringan pulpa mudah merespon dengan adanya rangsangan, baik rangsangan fisis, kimia
maupun bakteri. Jaringan pulpa membentuk dentin reparatif sebagai respon, selain itu juga
menimbulkan rasa nyeri yang merupakan sinyal sebagai tanda bahwa jaringan pulpa dalam
keadaan terancam. Oleh karena adanya hubungan timbal balik antara jaringan pulpa dan
periapikal, maka jaringan pulpa yang mengalami keradangan dan tidak dirawat atau
perawatannya kurang baik maka penyakit pulpa dapat menjalar ke daerah periapikal.
Pada bab ini akan dibahas mengenai faktor-faktor penyebab, klasifikasi dan mekanisme
penyakit pulpa, yang sangat diperlukan untuk menentukan rencana perawatan saluran akar yang
akan dilakukan.
2
Materi Kuliah Konservasi Gigi semester V
II.1.2. Kimiawi
A. Asam fosfat, monomer akrilik, dll
B. Erosi (asam)
II.1.3. Bakterial
A. Toksin yang berhubungan dengan karies
3
Materi Kuliah Konservasi Gigi semester V
B. Invasi langsung pulpa dari karies atau trauma
C. Kolonisasi mikrobial di dalam pulpa oleh mikro organisme blood–bone (anakerosis)
Apabila pertahanan tersebut tidak dapat mengatasi, maka terjadilah radang pulpa yang
disebut pulpitis. Radang adalah merupakan reaksi pertahanan tubuh dari pembuluh darah,
syaraf dan cairan sel di jaringan yang mengalami trauma.
4
Materi Kuliah Konservasi Gigi semester V
I. Pulpitis (inflamasi)
A. Reversibel
1. Dengan gejala/simtomatik (akut)
2. Tanpa gejala/asimtomatik (kronis)
B. Irreversibel
1. Akut
a. Luar biasa responsif terhadap dingin
b. Luar biasa responsif terhadap panas
2. Kronis
a. Tanpa gejala dengan terbukanya pulpa
b. Pulpitis hiperplastik
c. Resorpsi internal
5
Materi Kuliah Konservasi Gigi semester V
1. Pulpitis reversibel
2. Pulpitis Irreversibel
3. Pulpitis hiperplastik
4. Nekrosis pulpa
6
Materi Kuliah Konservasi Gigi semester V
spontan dan tidak berlanjut bila penyebabnya ditiadakan. Perbedaan klinis antara pulpitis
reversibel dan irreversibel adalah kuantitatif; rasa sakit pulpitis irreversibel adalah lebih parah
dan beralngsung lebih lama.
Pada pulpitis reversibel penyebab rasa sakit umumnya peka terhadap suatu stimulus,
seperti air dingin atau aliran udara, sedangkan irreversibel rasa sakit dapat datang tanpa
stimulus yang nyata. Pulpitis reversibel asimtomatik dapat disebabkan karena karies yang
baru mulai dan menjadi normal kembali setelah karies dihilangkan dan gigi direstorasi
dengan baik.
Pulpitis reversibel dapat berkisar dari hiperemia ke perubahan inflamasi ringan hingga
sedang terbatas pada daerah dimana tubuli dentin terlibat. Secara mikroskopis terlihat dentin
reparatif, gangguan lapisan odontoblas, pembesaran pembuluh darah dan adanya sel inflamasi
kronis yang secara imunologis kompeten. Meskipun sel inflamasi kronis menonjol dapat
dilihat juga sel inflamasi akut.
Pulpitis reversibel yang simtomatik, seacara klinik ditandai dengan gejala sensitif dan rasa
sakit tajam yang hanya sebentar. Lebih sering diakibatkan oleh rangsangan dingin daripada
panas. Ada keluhan rasa sakit bila kemasukan makanan, terutama makanan dan minuman
dingin. Rasa sakit hilang apabila rangsangan dihilangkan, rasa sakit yang timbul tidak secara
spontan.
Cara praktis untuk mendiagnosa pulpitis reversibel adalah:
- Anamnesa: ditemukan rasa sakit / nyeri sebentar, dan hilang setelah rangsangan
dihilangkan
- Gejala Subyektif: ditemukan lokasi nyeri lokal (setempat), rasa linu timbul bila ada
rangsangan, durasi nyeri sebentar.
- Gejala Obyektif: kariesnya tidak dalam (hanya mengenai enamel, kadang-kadang
mencapai selapis tipis dentin), perkusi, tekanan tidak sakit.
- Tes vitalitas: gigi masih vital
- Terapi: jika karies media dapat langsung dilakukan penumpatan, tetapi jika karies
porfunda perlu pulp capping terlebih dahulu, apabila 1 minggu kemudian tidak ada
keluhan dapat langsung dilakukan penumpatan.
7
Materi Kuliah Konservasi Gigi semester V
Perawatan terbaik untuk pulpitis reversibel adalah pencegahan. Perawatan periodik untuk
mencegah perkembangan karies, penumpatan awal bila kavitas meluas, desensitisasi leher
gigi dimana terdapat resesi gingiva, penggunaan pernis kavitas atau semen dasar sebelum
penumpatan, dan perhatian pada preparasi kavitas dan pemolesan dianjurkan untuk mencegah
pulpitis lebih lanjut. Bila dijumpai pulpitis reversibel, penghilangan stimulasi (jejas) biasanya
sudah cukup, begitu gejala telah reda, gigi harus dites vitalitasnya untuk memastikan bahwa
tidak terjadi nekrosis. Apabila rasa sakit tetap ada walaupun telah dilakukan perawatan yang
tepat, maka inflamasi pulpa dianggap sebagai pulpitis irreversibel, yang perawatannya adalah
eksterpasi, untuk kemudian dilakukan pulpektomi.
Prognosa untuk pulpa adalah baik, bila iritasi diambil cukup dini, kalau tidak kondisinya
dapat berkembang menjadi pulpitis irreversibel.
8
Materi Kuliah Konservasi Gigi semester V
dapat datang dan pergi secara spontan, tanpa penyebab yang jelas. Rasa sakit seringkali
dilukiskan oleh pasien sebagai menusuk, tajam atau menyentak-nyentak, dan umumnya
adalah parah. Rasa sakit bisa sebentar-sebentar atau terus-menerus tergantung pada tingkat
keterlibatan pulpa dan tergantung pada hubungannya dengan ada tidaknya suatu stimulus
eksternal. Terkadang pasien juga merasakan rasa sakit yang menyebar ke gigi di dekatnya, ke
pelipis atau ke telinga bila bawah belakang yang terkena.
Secara mikroskopis pulpa tidak perlu terbuka, tetapi pada umunya terdapat pembukaan
sedikit, atau kalau tidak pulpa ditutup oleh suatu lapisan karies lunak seperti kulit. Bila tidak
ada jalan keluar, baik karena masuknya makanan ke dalam pembukaan kecil pada dentin, rasa
sakit dapat sangat hebat, dan biasanya tidak tertahankan walaupun dengan segala analgesik.
Setelah pembukaan atau draenase pulpa, rasa sakit dapat menjadi ringan atau hilang sama
sekali. Rasa sakit dapat kembali bila makanan masuk ke dalam kavitas atau masuk di bawah
tumpatan yang bocor.
Cara praktis untuk mendiagnosa pulpitis ireversibel adalah:
- Anamnesa: ditemukan rasa nyeri spontan yang berkepanjangan serta menyebar
- Gejala Subyektif: nyeri tajam (panas, dingin), spontan (tanpa ada rangsangan sakit), nyeri
lama sampai berjam-jam.
- Gejala Obyektif: karies profunda, kadang-kadang profunda perforasi, perkusi dan tekan
kadang-kadang ada keluhan.
- Tes vitalitas: peka pada uji vitalitas dengan dingin, sehingga keadaan gigi dinyatakan vital.
- Terapi: pulpektomi
Dengan pemeriksaan histopatologik terlihat tanda-tanda inflamasi kronis dan akut. Terjadi
perubahan berupa sel-sel nekrotik yang dapat menarik sel-sel radang terutama leukosit
polimorfonuklear dengan adanya kemotaksis dan terjadi radang akut. Terjadi fagositosis oleh
leukosit polimorfonuklear pada daerah nekrosis dan leukosit mati serta membentuk eksudat
atau nanah. Tampak pula sel-sel radang kronis seperti sel plasma, limfosit dan makrofag.
Perawatan terdiri dari pengambilan seluruh pulpa, atau pulpektomi, dan penumpatan suatu
medikamen intrakanal sebagai desinfektan atau obtuden (meringankan rasa sakit) misalnya
kresatin, eugenol, atau formokresol. Pada gigi posterior, dimana waktu merupakan suatu
9
Materi Kuliah Konservasi Gigi semester V
faktor, maka pengambilan pulpa koronal atau pulpektomi dan penempatan formokresol atau
dressing yang serupa di atas pulpa radikuler harus dilakukan sebagai suatu prosedur darurat.
Pengambilan secara bedah harus dipertimbangkan bila gigi tidak dapat direstorasi.
Prognosa gigi adalah baik apabila pulpa diambil kemudian dilakukan terapi endodontik
dan restorasi yang tepat.
10
Materi Kuliah Konservasi Gigi semester V
Jaringan granulasi ini merupakan jaringan penghubung vaskuler, berisi polimorfonuklear,
limfosit dan sel plasma.
Usaha perawatan harus ditunjukkan pada pembuangan jaringan polipoid diikuti oleh
eksterpasi pulpa, jika masa pulpa hiperplastik telah diambil dengan kuret periodontal atau
eksavator sendok, perdarahan biasanya banyak dan dapat dikendalikan dengan tekanan.
Kemudian jaringan yang terdapat pada kamar pulpa diambil seluruhnya, dan atau dressing
formonukresol ditempatkan berkontak dengan jaringan pulpa. Hal terbaik yang dapat
dilakukan setelah pulpa polip terambil adalah dengan pulpectomy yaitu prosedur
pengambilan jaringan pulpa secara menyeluruh dalam satu kali kunjungan (one visit).
Harapan bagi pulpa tidak baik, tetapi prognosis gigi baik setelah perawatan endodontik
dan restorasi yang memadai.
11
Materi Kuliah Konservasi Gigi semester V
Perawatan yang dapat dilakukan pada kasus resorpsi internal adalah eksterpasi pulpa
untuk menghentikan proses resorpsi internalnya. Diindikasikan perawatan endodontik
rutin, tetapi obturasi kerusakan memerlukan suatu bahan khusus, lebih diutamakan
dengan cara guta-percha. Pada kebanyakan pasien, resorpsi internal berkembang tanpa
terlihat karena tidak menimbulkan rasa sakit, sampai akar berlubang. Dalama kasus
seperti ini, pasta kalsium hidroksida dimampatkan pada saluran akar dan diperbaharui
secara periodik sampai kerusakan menjadi baik. Perbaikan selesai bila terjadi rintangan
atau karies mengapur, baru kemudian diisi dengan gutta-percha.
Prognosis adalah terbaik sebelum terjadi perforasi akar atau mahkota. Jika telah
terjadi perforasi akar-mahkota, prognosisnya berhati-hati dan tergantung pada
terbentuknya rintangan mengapur atau pembukaan ke perforasi yang memungkinkan
perbaikan secara bedah.
12
Materi Kuliah Konservasi Gigi semester V
beberapa pasien batu pulpa terkadang menimbulkan rasa sakit yang menyebar (refered pain),
dan dicurigai sebagai fokus infeksi oleh beberapa klinisi.
Degenerasi atrofik, tidak ada diagnosis kliniknya, pada jenis degenerasi ini sering terjadi
pada penderita usia lanjut. Secara histopatologis dijumpai lebih sedikit sel-sel skelat, dan
cairan interselular meningkat. Jaringan pulpa kurang sensitif daripada normal. Yang disebut
”atrofi retikuler” adalah suatu artifiak (artifact) dihasilkan oleh penundaan bahan fiksatif
dalam mencapai pulpa. Biasanya terlihat saluran akarnya sempit dan seringkali menyulitkan
bila dilakukan perawatan saluran akar.
Degenerasi fibrous, bentuk degenerasi pulpa ini ditandai dengan pergantian elemen
selular oleh jaringan penghubung fibrus. Dapat terlihat jelas pada saat pengambilan jaringan
pulpa berupa jaringan keras. Penyakit ini tidak menyebabkan gejala khusus untuk membantu
dalam diagnosa klinik.
13
Materi Kuliah Konservasi Gigi semester V
Pada pemeriksaan histopatologis tampak debris seluler dan mikroorganisme mungkin
terlihat di dalam kavitas pulpa. Jaringan periapikal mungkin normal atau menunjukkan
sedikit inflamasi yang dijumpai pada ligamen periodontal.
Perawatan yang perlu dilakukan adalah preparasi dan obturasi saluran akar. Prognosis
bagi gigi baik, apabila dilakukan terapi endodontik yang tepat.
DAFTAR PUSTAKA
1. Grossman LI. 1998. Endodontic Practice. 8th ed. Philadelphia, London:
Lea and Febiger.
2. Walton and Torabinajed. 1996. Prinsip dan Praktik Endodonsi. Edisi
ke-2. Jakarta: EGC.
14