Anda di halaman 1dari 4

amu mungkin bosan soal COVID-19, tapi kamu pasti belum tahu kronologi

sebenarnya virus ini muncul di Wuhan. Kandidat Doktor di Cina ini menceritakannya.

Kalau Karl Marx hidup di zaman now, mungkin dia tidak akan menyatakan.

“Hegel bemerkt irgendwo, daß alle großen weltgeschichtlichen Thatsachen und


Personen sich so zu sagen zweimal ereignen. Er hat vergessen hinzuzufügen: das
eine Mal als große Tragödie, das andre Mal als lumpige Farce.”

Kalimat yang muncul dalam esai-esainya yang diberi judul Der achtzehnte Brumaire
des Louis Bonaparte. Google translate sendiri ya, kalau penasaran apa artinya.

Dari pernyataan itu tadi, mubah hukumnya bagi Karl Marx untuk setuju pada Hegel
yang berpendapat bahwa apa-apa yang terjadi di masa lampau bisa saja berulang.
Tapi, saya kira polanya tidak melulu wajib seperti yang pernah dibilang Marx:
kejadian yang pertama sebagai tragedi (tragödie), dan kejadian kedua sebagai
lelucon (farce).

Bila Bung dan Nona tak percaya, silakan tanya pada Pemerintah Cina yang sudah
membuktikan bahwa berulangnya sejarah justru tetap berbentuk sebagai tragedi.
Tak ada leluconnya sama sekali.

Bahkan, karena pada era globalisasi kita terkoneksi sangat mudah antara satu
dengan yang lain, tragedi yang diakibatkan oleh satu kesalahan kecil bakal bisa
dirasakan dampaknya ke seluruh dunia.

Betapa tidak?

Ketika kepolisian pada 3 Januari 2020 memerintahkan Li Wenliang untuk berhenti


menyebarkan “rumor” soal 7 pasien yang dikarantina di rumah sakit tempat Li
bekerja lantaran positif mengidap penyakit mirip SARS, pihak keamanan barangkali
tak pernah menyangka kalau tindakannya itu akan menjadi awal mula
menyebarnya coronavirus disease 2019 (COVID-19).

Li sendiri merupakan dokter mata di Rumah Sakit Pusat Kota Wuhan, Provinsi
Hubei, yang letaknya tak jauh dari pasar grosir makanan Laut Huanan. Tempat yang
ditengarai sebagai tempat COVID-19 berasal.
Syahdan, pada 30 Desember 2019 sore, Li menerima kiriman foto laporan hasil
diagnosis seorang pasien dari pasar tersebut. Di situ ada keterangan yang dilingkari
dengan warna merah tebal bahwa pasien tersebut positif terkena “SARS
coronavirus”.

Melihat itu, ingatan Li mungkin langsung terbawa pada situasi tatkala negerinya
digempur SARS saat pergantian tahun 2002 ke 2003.

Sebagai dokter, Li pasti tidak ingin negaranya mengulangi kesalahan yang sama:
karena ditutup-tutupi dan tak segera diinformasikan ke publik, SARS yang bermula
dari kota kecil Foshan, Provinsi Guangdong di Cina bagian selatan, akhirnya
menjalar ke mana-mana.

Apalagi, saat itu, Cina sebentar lagi akan merayakan tahun baru Imlek (yang artinya
akan ada arus mudik dalam skala besar) sehingga memungkinkan virus menyebar
secara kolosal.

Dulu, SARS cepat menular karena masifnya lalu-lalang penduduk Cina yang pulang
kampung untuk “lebaran” ini. Diperparah dengan polah Pemerintah Cina yang
sempat meremehkan SARS dengan bikin pernyataan, “bisa dicegah dan bisa
dikendalikan” (kefang kekong).

Padahal—saat itu—SARS diam-diam terus menjangkiti penduduk mereka. Sehari


dan sehari lagi. Seorang dan seorang lagi. Satu desa dan satu desa lagi.

Baca juga:  Akui Saja, Sejak Kecil Kita Memang Dididik untuk Rasis

Begitu menerima kiriman foto itu, Li spontan meneruskannya ke grup Wechat yang
di dalamnya berisi kawan-kawan seprofesi dengannya.

“Ingatkan keluarga dan orang-orang terkasih kalian untuk waspada,” tulis Li pada
jam 18:42, mewanti-wanti sohib-sobihnya. Kontan saja, pesan Li itu langsung di-
screenshot temannya, lalu diunggah ke medsos, dan… viral.

Sayang, belum sempat khalayak luas berjaga-jaga, sekitar sejam berselang, Komite
Kesehatan Wuhan (Wuhan Weijianwei) mengeluarkan surat pemberitahuan yang
melarang siapa pun menyebarluaskan informasi perihal membludaknya penanganan
pasien yang sakit “radang paru-paru tanpa diketahui sebabnya” (bu ming yuanyin
feiyan).

Iya. Itu lah “nama bayi” COVID-19 yang waktu itu masih diidentifikasi dan barangkali
belum jelas pula jenis kelaminnya apa.

Esok harinya, 31 Desember 2019, Komite Kesehatan Wuhan mengeluarkan surat


pemberitahuan lagi yang dengan tegas menyatakan:

“Sampai saat ini penelitian [kami] tidak menemukan [‘radang paru-paru’ ini] dengan
jelas menyebar dari orang ke orang, tidak ditemukan [pula adanya] tim medis yang
tertular.”

Padahal, pada hari itu, Komite Kesehatan Wuhan mendata sudah ada 27 orang
yang sama-sama mengidap “radang paru-paru” misterius ini. Alias naik 20 orang dari
7 orang yang dilaporkan Li sehari sebelumnya.

Oke, sepertinya tak masalah. “Terkendali,” kata komite ini.

Meski dikatakan “terkendali” (kekong), tapi memasuki tahun 2020 Komite Kesehatan
Wuhan melaporkan adanya kenaikan pengidap radang paru-paru misterius itu: dari
44 orang pada tanggal 3 Januari 2020 (bertepatan dengan pemanggilan Li ke kantor
polisi) menuju 59 orang pada 5 Januari.

Seakan tak peduli peningkatan yang terkena penyakit itu, tanggal 6-10 Januari 2020,
Pemerintah Kota Wuhan menghelat rapat besar bagi anggota DPRD (lianghui) kota.

Kalau Bung dan Nona bertanya mengapa sepanjang tanggal 6 sampai 10 Januari
Komite Kesehatan Wuhan tidak mengumumkan lagi adanya masyarakat Wuhan
yang terjangkit radang paru-paru misterius ini di situsweb-nya?

Hm, tak menutup kemungkinan hajatan akbar itu lah biang keladinya.

Acara-acara politik begini memang mensyaratkan stabilitas. Tidak boleh gaduh. Ada
banyak isu strategis yang sedang dipertaruhkan politisi-politisi Kota Wuhan. Politik
dulu, isu kesehatan nanti belakangan.
Celakanya, berbarengan dengan penutupan pagelaran DPRD Kota Wuhan pada
tanggal 10 itu, rutinitas tahunan ‘chunyun’ alias mudik Imlek dimulai. Dan sehari
sesudahnya, tanggal 11 Januari, giliran DPRD Provinsi Hubei (Wuhan ada di
provinsi ini) yang menggelar ‘lianghui’.

Pada tanggal itu lah, Komite Kesehatan Wuhan melaporkan adanya satu orang
meninggal.

Yap. Ini adalah orang pertama yang mati gara-gara COVID-19.

Kapan wafatnya?

Tak jelas. Yang pasti, dilaporkan Kantor Berita Xinhua mengutip pernyataan dr.
Wang Guangfa yang pernah ditugaskan Komite Kesehatan Nasional Cina (Guojia
Weijianwei) untuk terjun ke Wuhan, virus ini “kefang kekong”, bisa dicegah dan bisa
dikendalikan.

Anda mungkin juga menyukai