Anda di halaman 1dari 2

Nama : Diny Fariha Zakhir

NIM : 196020300111004
Kelas : Magister Akuntansi EE
Mata Kuliah : Akuntansi Multiparadigma
Dosen Pengampu : Dr. Aji Dedi Mulawarman, SP., MSA.

Akar Tradisi dan Nilai Budaya di Kota Samarinda

Saya adalah seorang anak yang lahir dan besar di Kota Samarinda, Kalimantan
Timur. Pada kesempatan kali ini, saya akan mencerikan sedikit sejarah terbentuknya Kota
Samarinda. Sebelum dikenal sebagai kota dengan nama Samarinda, kawasan Kota
Samarinda termasuk dalam Kerajaan Kutai Kartanegara yang berdiri pada tahun1300M di
Kutai Lama, yaitu sebuah kawasan di hilir Sungai Mahakam dari arah tenggara Samarinda.
Kerajaan Kutai Kartanegara merupakan taklukan dari Kerajaan Banjar yang semula
bernama Kerajaan Negara Dipa, ketika dipimpin oleh Maharaja Suryanata, sezaman dengan
era Kerajaan Majapahit (abad ke-14 – 25 M). Penduduk awal yang mendiami Kalimantan
bagian timur adalah Suku Kutai Kuni yang disebut Melanti termasuk ras Melayu Muda
sebagai hasil pencampuran ras Mongoloid, Melayu, dan Wedoid yang migrasi dari
Semenanjung Kra pada abad ke-2 SM.
Pada abad ke-13 M (1201-13000) sebelum dikenal dengan nama Kota Samarinda,
sudah ada perkampungan penduduk di enam lokasi, yaitu: (1) Pulau Atas; (2) Karang
Asam; (3) Karamumus (karang mumus); (4) Luah Bakung (Loa Bakung); (5) Sembuyutan
(Sambutan); dan (6) Mangkupelas (Mangkupalas). Peyebutan enam kampung tersebut
tercantum dalam manuskrip surat Salasilah Raja Kutai Kartanegara yang ditulis oleh Khatib
Muhammad Tahur pada 30 Rabiul Awal 1265 H (24 Februari 1849 M).
Kota Samarinda, Kalimantan Timur memang tidak memiliki suku asli. Kebanyakan
suku yang ada di Kota Samarinda adalah suku pendatang. Suku bangsa yang mayoritas ada
di Kota Samarinda, yaitu Suku Kutai, Banjar, Dayak, Bugis, Jawa, Toraja, Sunda, Minang,
Tionghoa, dan Buton.
Keberadaan suku Banjar di Samarinda dan daerah lainnya di Kalimantan Timur
sudah ada sejak pembentukan provinsi-provinsi pada tahun 1957, Pulau Kalimantan kecuali
daratan Malaysia dan Brunei merupakan satu provinsi dalam NKRI yakni Kalimantan
dengan ibukota Banjarmasin. Suku Banjar di Samarinda dalam konteks geografis bisa
disebut suku asli. Pada tahun 1565, terjadi migrasi suku Banjar dari Batang Banyu ke
daratan Kalimantan bagian timur. Ketika itu rombongan Banjar dari Amuntai di bawah
pimpinan Aria Manau dari Kerajaan Kuripan (Hindu) merintis berdirinya Kerajaan
Sadurangas (Pasir Balengkong) di daerah Paser. Selanjutnya suku Banjar juga menyebar di
wilayah Kerajaan Kutai Kartanegara, yang di dalamnya meliputi kawasan di daerah yang
sekarang disebut Samaarinda. Inilah yang melatarbelakangi terbentuknya bahasa Banjar
sebagi bahasa dominan mayoritas masyarakat Samarinda di kemudian hari, walaupun telah
ada beragam suku yang datang, seperti Bugis dan Jawa.
Riwayat kedatangan rombongan Bugis Wajo pertama kali ke Samarinda terdiri atas
bermacam-macam versi. Versi pertama, kedatangan rombongan Bugis Wajo yang dipimpin
La Mohang Daeng Mangkona di wilayah Kerajaan Kutai Kartanegara pada 21 Januari
1668. Raja Kutai saat itu, Aji Pangeran Dipati Maja Kusuma ing Martapura, memberikan
lokasikampung dataran rendah. Semula rombongan tersebut memilih daerah sekitar muara
Karang Mumus. Tetapi daerah ini terdapat kesulitan dalam pelayaran karena daerah yang
arusnya berputar dan banyak kotoran sungai. Selain itu terlindung oleh ketinggian Gunung
Selili. Dengan kondisi seperti itu, Raja Kutai memerintahkan La Mohang Daeng Mangkona
bersama pengikutnya membuka perkampungan di tanah rendah bagian seberang Samarinda.
La Mohang Daeng Mangkona mulai membangun daerah baru itu dengan bantuan seluruh
pengikutnya.
Versi kedua, menurut catatan Kesultanan Kutai Kartanegara, waktu kedatangan
rombongan Bugis Wajo di Samarinda pertama kali terjadi pada tahun 1708, pada masa Raja
Adji Pangeran Anum Panju Mendapa. Versi ketigam menurut cerita rakyat, rombongan
Bugis Wajo merantau ke Samarinda pada masa pemerintahan Raja Kutai Aji Pangeran
Dipati Anom Panji Mendapa ing Martadipura (1730-1732). Latar belakangnya disebabkan
kepadat pemunkiman para pendatang Bugis Wajo du Muara Sungai Kendilo, daerah Paser.
Sedangkan untuk nama Samarinda sendiri, ada beraneka versi mengenai latar
belakang terciptanya nama Samarinda. Versi pertama, berdasarkan ukuran tinggi rumah-
rumah rakit/terapung penduduk Bugis Wajo di Samarinda Seberang yang tidak ada yang
lebih tinggi antara satu dengan yang lain sehingga disebut “sama-rendah”, yang juga
bermakna tatanan kemasyarakatan yang egaliter. Versi kedua, berdasarkan persamaan
ukuran tinggi Sungai Mahakam dengan daratan di tepiannya yang sama-sama rendah. Versi
ketiga, berdasarkan asala kata dari bahasa Sansekerta, yaitu “Samarendo” yang berarti
selamat sejahtera. Versi keempat, berdasarkan cerita rakyat bahwa nama Samarinda berasal
dari bahasa Melayu dari kata “samar” dan “indah”.
Samarinda sejak dekade 1960-an dijuluki sebagai “pusat emas hijau”. Predikat ini
dilatarbelakangi oleh keadaan alam Samarinda dan sekitarnya yang memiliki hutan
belantara sangat luas dengan jenis pepohonan berukuran besar yang cocok untuk bahan
bangunan dan industri.
Budaya masyarakat di Kalimatnatan Timur, antara lain menenun sarung khas
Kalimantan Timur. Alat tenun yang digunakan oleh pengrajin yaitu alat tradisional yang
disebut Gedikan atau menggunakan Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM). Desa Budaya yang
terkenal yaitu Desa Budaya Pampang, di desa tersebut kita dapat menjumpai rumah adat
Lamin, tari-tarian, wanita dayak telingga panjang, upacara adat serta kehidupan sehari-hari
suku dayak kenyah secara lebih dekat dimana mayoritas mata pencahariannya bercocok
tanam.
Selain Desa Budaya Pampang, terdapat satu tradisi di Kalimantan Timur yang rutin
dilakukan setahun sekali oleh masayarakat di Kutai Kartanegara (Tenggarong), yaitu
upacara adat Erau. Tradisi upacara Erau dilaksanakan sebagai bentuk dari rasa syukur
kepada Sang Pencipta atas melimpahnya hasil panen. Dahulu, Erau merupakan hajatan
besar bagi Kesultanan Kutai dan masyarakt di seluruh wilayah kekuasaan yang kini
mencakup sebagian besar wilayah Kalimantan Timur.
Selain Erau, juga terdapat budaya Ngehawa’k (upacara adat pernikahan suku daya),
Dahau (upacara adat pemberian nama anak), Ngugu Tahun (upacara adat sebagai bentuk
ungkapan syukur kepada Sang Pencipta atas pemberian kehidupan dan penghidupan),
Beliatn (upacara adat ritual penyembuhan), Nebe’e Rau (upacara adat tanam padi), dan
Ngerangka’u (uapcara kematian).

Anda mungkin juga menyukai