Anda di halaman 1dari 145

1

KATA PENGANTAR
EDISI III: 1996

Dua belas tahun sudah sejak tahun 1984, kami terlibat langsung pada tuntutan
lingkungan akademik pasca sarjana yang banyak memerlukan arahan dan bimbingan
metodologik dalam penyusunan disertasi dan tesis, dan tidak jarang menjangkau pula substansi
yang terbawa oleh runtutan tuntutan karakteristik metodologinya.
Setidaknya ada tiga hal yang menjadi pendorong mengapa buku Metodologi Penelitian
Kualitatif (MPK) ini dikembangkan terus yang pada kali ini menjadi Edisi III tahun
1996, - setelah revisi Edisi II tahun 1990, atas terbitan Edisi I tahun 1989. Pertama, buku ini
dikembangkan terus atas alasan: sifat spesifik buku ini yang membahas metodologi penelitian
diberangkatkan dari filsafat ilmu yang mendasari metodologi penelitiannya. Kedua, agar tumbuh
watak akademik sadar atas landasan filosofik atas pilihan metodoiogi masing-masing peneliti,
agar yang bersangkutan tumbuh keilmuannya dalam paradigma yang tepat dari filsafat disiplin
ilmunya sampai ke operasionalisasi metodologi penelitiannya. Atas alasan itu buku ini ditulis
dalam tatanan menurut filsafat ilmunya. Ketiga adalah telah tumbuhnya kecenderungan baru
untuk menjangkau nilai dan moral dalam, berilmu pengetahuan, sehingga disajikan pula
alternatif yang memerlukan metodologi yang mendukung kecenderungan tersebut. Nilai dan
moral dalam arti etik ataupun transendental.
Tidaklah berlebihan bila kami mengclaim bahwa buku kami Metodologi Penelitian
Kualitatif merupakan buku pertama yang menelaah metodologi diberangkatkan dari filsafat ilmu
yang melandasinya. Kami telah memberi pembekalan metodologi penelitian di Pasca Sarjana
sejak tahun 1984, dan menuangkan menjadi buku Metodologi Penelitian Kualitatif
diberangkatkan dari filsafat ilmu pada tahun 1989 (Edisi 1). Sepengetahuan kami barulah tahun
1994 terbit buku Hand Book of Qualitative Research yang diterbitkan oleh Sage Publications,
Inc. Yang menghimpun telaah metodologi penelitian kualitatif dan dikelompokkan sesuai dengan
filsafat ilmu yang mendasarinya lima taliun setelah buku kami edisi I terbit. Memang pada edisi
III kanii menggunakan buku Denzin & Lincoln tersebut sebagai referensi, yang menghasilkan
penataan pendekatan phenomenologik dalam urutan perkembangannya.
Dari mata kuliah Seminar Disertasi kami menghadapi banyak tuntutan atau lebih tepat
disebut harapan agar mereka dibantu bagaimana masalahnya atau tujuannya dapat dicapai; dan
kebanyakan mereka itu masing-masing telah memiliki prakonsep yang sadar atau kurang sadar
telah mengikuti filsafat ilmu tertentu dan dengan sendirinya harus mengikuti metodologi yang
sesuai. Dalam arti kata lain, beberapa mau menggunakan metodologi yang sedang mode, tetapi
tidak memahami filsafat ilmu dari metodologi tersebut.
Mencarikan metodologi penelitian yang sesuai dan sekaligus koheren dengan filsafat
ilmunya, dalam dialog dengan mahasiswa pasca sarjana yang cerdas benar-benar merupakan
perjalanan akademik yang mengasyikkan. Hasilnya menjadi buku Metodologi Penelitian
Kualitatif yang akan terus kami ekstensikan, dan hasil lain berupa tesis dan disertasi yang momot
aspek-aspek spesifik di mana kami sebagai promotor ataupun selaku konsultan menjadi ikut
memberi warna. Meskipun perlu diakui bahwa karya disertasi adalah karya yang menjadi
tanggungjawab promovendus, bukan promotor.
Arah telaah buku Handbook of Qualitative Research, yang diedit oleh N.K. Denzin dan
Yvona S. Lincoln lebih merekomendasikan wawasan pluralisme budaya, pluralisme ontologik.
Kami dalam buku Metodogi Penelitian Kualitatif ini menawarkan ragam alternatif yang
pemilihannya tergantung pada wawasan ontologik peneliti: apakah mengakui kebenaran
pluralistik atau mengakui kebenaran universal.
Dalam sejarah filsafat ilmu keduanya ada secara klasik, yang pluralistik berpegang pada
aktualisasi ilmu, pada appearance atau phenoumenon, sedangkan yang mengakui kebenaran

2
universal berpegang pada idealisasi ilmu, pada real existence atau noumenon. Sebagian lebih
mementingkan act locally, sedangkan sebagian lain lebih mementingkan think globally.
Di samping wawasan ontologik, wawasan epistemologik masing-masing dapat berperan
pula. Penganut positivisme berpegang teguh pada validitas kesimpulannya dengan
mengeksplisitkan prosedur kerjanya. Validitas kesimpulannya dibatasinya pada cara kerjanya,
valid by criteria. Sedangkan penganut positivisme mengaksentuasikan pada wawasan
epistemologiknya. Adakah ahli yang mengaksentuasikan pada wawasan aksiologik? Bila ilmu
hendak dikembangkan Qur’ani, maka setidaknya aksiologik perlu menjadi dasar paradigma
dalam mengembangkan ilmu dan teknologi.
Sikap akademik kami sendiri bagaimana? Dalam membimbing disertasi dan tesis, kami
cenderung menawarkan pilihannya kepada yang bersangkutan, hanya tuntutan kami sebagai
promotor atau pembimbing bahwa ada konsistensi sejak dari filsafatnya sampai ke
operasionalisasi metodologiknya; tidak boleh dicampuradukkan. Mungkin didahului telaah dan
argumentasi vang sepenuhnya disadari. Kami meluangkan promovendus untuk membuat
kombinasi operasionalisasi metodologik yang dia perkirakan sebagai lebih baik. Kami telah
membimbing beratus tesis S1 yang hampir seluruhnya menggunakan olahan kuantitatif statistis,
membimbing hampir 80 tesis S2 yang sebagian besar juga menggunakan olahan kuantitatif
statistis, dan sejak 1984 sampai akhir 1996 menjadi promotor hampir 30 disertasi S3 dan sekitar
10 di antaranya menggunakan olahan kuantitatif statistis dan sisanya kual itatif dengan beragam
pendekataii. Pengalaman tersebut setidakiiya memperjelas kami perbedaan tuntutan substantif
dan metodologiknya bagi ketiganya, termaSuk keragaman telaah substantif dan pendekatan
metodologik, yang seringkali membawa konsekuensi sistematika telaah.
Dalam MPK edisi III ini ada enam hal pokok yang direvisi atau lebih tepat diekstensi.
Pertama, diadakanya penataan lebih mendasar pada pendekatan phenomenologik, termasuk
dieksplisitkan model grounded research: kedua, ditulis bagian baru tentang pendekatan realisme
metaphisik, termasuk sistematisasi telaah metodologi penelitiannya; ketiga, tambahan bab
khusus tentang metodologi penelitian telaah teks, didudukkan tentang studi hukum, dan
difokuskan pada telaah bahasa dan karya sastra, karena sebagian dari disertasi yang kami
promotori memerlukan pemilihan model telaah teks; keempat, telaah metodologi penelitian
agama interdispliner dilanjutkan lebih jauh lagi untuk memberi landasan penataan integrasi ilmu
kauniyah dengan ilmu qauliyah serta memberi landasan pengembangan iptek; dan kelima, ditata
kembali telaah Mencari Metodologi Penelitian Masa Depan sesuai dengan ekstensi tersebut di
atas, dan keenam, dibuat perluasan contoh-contoh terapan metodologi bagi penulisan disertasi,
sesuai dengan bertambahnya bacaan dan pengalaman serta ragam disertasi yang dipromotori,
sehingga mempromotori disertasi dari para mahasiswa yang sangat cerdas, benar-benar
merupakan perjalanan akademik yang sangat mengasyikkan dan membahagiakan.
Semoga Allah memberi kami umur yang bermanfaat, disertai fikiran yang cerah,
memperoleh petunjuk-Nya, diberi kesehatan yang baik, sehingga keberadaan kami memberi
guna, bukan beban. Semoga do’a syukur dari yang telah berhasil dalam menyelesaikan disertasi
dan tesis mereka menyertakan do’anya bagi kami. Semoga Allah mengabulkan harapan kami.
Amien.
Yogyakarta, 19 Mei 1996

Prof. Dr. H. Noeng Muhadjir

3
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR 1996


DAFTAR ISI

BAGIAN PENDAHULUAN:

ORIENTASI UMUM METODOLOGI PENELITIAN KUALITATIF


LANDASAN FILOSOFIK DAN TEORETIK METODOLOGI
PENELITIAN KUALITATIF
A. Metoda dan Metodologi Penelitian
B. Metodologi Penelitian dan Model-Model Logika
C. Perintis Sistem Logika Modern
D. Metodologi Penelitian dan Positivisme
E. Metodologi Penelitian dan Rasionalisme
F. Metodologi Penelitian dan Phenomenologi
G. Teori Ilmu, Weltanschauung, dan Realisme
H. Kesimpulan Komparatif

BAGIAN PERTAMA:

METODOLOGI PENELITIAN KUALITATIF; PENDEKATAN POSITIVISTIK


CROSS SECTIONAL, KASUS KLINIK DAN GENETIK, SURVEI,
CONTENT ANALYSIS
1. STUDI CROSS SECTIONAL
A. Studi Cross Sectional dan Studi Longitudinal
B. Variabel Penelitian
C. Hipotesis
D. Desain Penelitian
E. Populasi dan Sampel
F. Data Kualitatif dan Analisis selama Pengumpulan Data
G. Penyajian Data
H. Menarik Kesimpulan
I. Validitas dan Kebermaknaan

II. STUDI KASUS: PENDEKATAN KLINIS DAN GENETIK


A . Arti Studi Kasus
B. Studi Kasus untuk Tujuan Klinik
C. Studi Kasus Genetik
III. SURVEI: PROSEDUR PENGAMBILAN SAMPEL
A. Survei B.
Prosedur Pengambilan Sampel
C. Pengembangan Desain Survei
IV. “CONTENT ANALYSIS”
A. Arti “Content Analysis”
B. Infrastruktur

4
BAGIAN KEDUA:

METODOLOGI PENELITIAN KUALITATIF PENDEKATAN


RASIONALISTIK

METODOLOGI PENELITIAN KUALITATIF RASIONALISTIK


A. Berfikir Rasionalistik
B. Konseptualisasi Teoretik Penting
C. Perlunya Grand Contents sebagai Landasan Penelitian
D. Ragam Tata Fikir Logik
E. Desain Penelitian dengan Pendekatan Rasionalistik
F. Penarikan Kesimpulan dan Pemaknaan

BAGIAN KETIGA:

METODOLOGI PENELITIAN KUALITATIF PENDEKATAN


PHENOMENOLOGIK
LOGIK DAN ETIK
1. MODEL GROUNDED RESEARCH
A. Upaya Mencari Sosok Kualitatif
B. Grounded Theory
C. Model Verifikasi Positivis Meminimkan Munculnya Teori Baru
D. Analisis Komparatif
E. Menemukan Teori
F. Sampling Teoretis
G. Dari Teori Substantif ke Teori Formal
H. Peran Pemikiran Berkelanjutan dan Peran Pengalaman Orang lain
II. MODEL ETHNOGRAPHIK-ETHNOMETODOLOGIK
A. Ethnographi dan Ethnometodologi
B. Modus Asumsi dan Sampel Penelitian Ethnographik
C. Konseptualisasi Teori Lebih Implisit
D. Desain Penelitian Ethnographik
E. Data Kualitatif
F. Hubungan Peneliti
G. Analisa Data
III. MODEL PARADIGMA NATURALISTIK
A. Model yang Menemukan Karakteristik Kualitatif Penuh
B. Egon B. Guba
C. Penelitian Naturalistik
D. Pardigma Schwartz dan Ogivly
E. Aksioma dalam Paradigma Naturalistik
F. Realistis, Observasi, dan Generalisaasi
G. Kausalitas dan Dampak Nilai
H. Arus Penelitian Naturalistik
I. Watak dan Konieks Naturalistik
J. Iterasi Empat Unsur Penelitian Naturalistik
K. 1. Laporan Penelitian Kasus
2. Kawasan dan Keterandalan Penelitian
3. Kredibilitas
4. Transferabilitas, Dependabilitas, Konfirmabilitas

5
L. Memproses Data Secara Naturalistik
IV. MODEL INTERAKSI SIMBOLIK
A. Interaksi Simbolik dan Para Pendahulu
B. Tujuh Proposisi Dasar
C. Mazhab Chicago dan Iowa
D. Prinsip Metodologi dalam Interaksi Simbolik
E. Metoda Pemaknaan

BAGIAN KEEMPAT:

METODOLOGI PENELITIAN KUALITATIF PENDEKATAN REALISME


METAPHISIK
A. Nomothetik dan Ideographik
B. Realisme Metaphisik: Keteraturan Semesta
C. Kebenaran atau Truths
D. Esensial, Holistik, dan Momot Nilai
E. Menemukan Teori

BAGIAN KELIMA:

METODOLOGI PENELITIAN STUDI TEKS: DARI STRUKTURALISME SAMPAI


POSTSTRUKTURALISME
Pendahuluan
A. Studi Geisteswissenschaften
B. Studi Teks: Studi Pustaka
C. Studi Hukum
D. Studi Bahasa dan Karya Sastra
E. Strukturalisme dan Linguist
F. Strukturalisme Genetik
G. Strukturalisme Dinamik
H. Strukturalisme Semiotik
I. Post Strukturalisme
J. Dekonstruksi

BAGIAN KEENAM:

METODOLOGI PENELITIAN AGAMA: DARI STUDI KLASIK SAMPAI


INTERDISIPLINER
A. Skopa Bahasan Metodologi Penelitian
B. Metodologi Penelitian Agama
C. Studi Islam Klasik
D. Studi Islam Orientalis
F. Historisisme Kritis
F. Studi Islam Phenomenologik
G. Studi Islam Kontekstual
H. Studi Islam Multidisipliner dan Interdisipliner
1. Renaissance dan Agama di Eropa
2. Zaman Keemasan Islam dan llmu
3. Kebangkitan Islam Abad ke- 15 Hijriah
4. Studi Islam Multidisipliner dan/atau Interdisipliner

6
5. Kebenaran dan Kebenaran
7. Menjangkau Berbagai Kebenaran Dimensional
8. Determinisme dan Indeterminisme Kebenaran
9. Logika Pembuktian Kebenaran
10. Alternatif Model Pengembangan Ilmu Menjadi Islami
11. Hukum Islam
12. Ijtihad Jama’i

BAGIAN KETUJUH:

MENCARI METODOLOGI PENELITIAN KUALITATIF UNTUK MASA DEPAN


A. Mengapa llmu Sosial?
B. Monisine Multifaset
C. Value Free dan Value Bound
D. Aktualisasi Phenomeunon dan Idealisasi Nomeunon
E. Determinisme dan Indeterminisme
F. Keterpercayaan

BAGIAN TERAPAN:

METODOLOGI BAGI PENULISAN DISERTASI DAN TESIS


A. Metodologi Penulisan Karya llmiah
B. Sistematika Model Baku Positivistik (Model A)
C. Sistematika Model Modifikasi Positivistik (Model B)
D. Sistematika Model dengan Grand-Concepts (Model C)
E. Sistematika Model Baku Kualitatif (Model E)
G. Sistematika Model Strukturalisme Seimotik (Model F)
H. Bangunan Kritik dengan Pendekatan Realisme Metaphisik (Model G)
I. Reinterpretasi Historik dan Interpretasi Sosiologik (Model H)
J. Terapan Teknis Metodologis (Model I)

DAFTAR REFERENSI DAFTAR DISERTASI YANG DITELAAH

7
BAGIAN PENDAHULUAN
ORIENTASI UMUM DAN METODOLOGI PENELITIAN KUALITATIF

LANDASAN FILOSOFIK DAN TEORETIK


METODOLOGI PENELITIAN
KUALITATIF

A. METODA DAN METODOLOGI PENELITIAN


Sementara orang tidak acuh dan mencampuradukkan antara metoda penelitian dengan
metodologi penelitian, sehingga sering dijumpai salah satu Bab dari karya penelitian berjudul
metodologi penelitian namun isinya metoda penelitian.
Apa perbedaannya? Metodologi penelitian membahas konsep teoretik berbagai metoda,
kelebihan dan kelemahannya, yang dalam karya ilmiah dilanjutkan dengan pemilihan metoda
yang digunakan. Sedangkan metoda penelitian mengemukakan secara teknis tentang
metoda-metoda yang digunakan dalam penelitiannya.
Penulis ingin mengimbau agar orang mulai memilahkan apakah dia akan menulis metoda
penelitian atau menulis metodologi penelitian bagi karya ilmiah yang sedang ditulisnya.
Setelah upaya mengingatkan hal tersebut, penulis perlu melangkah ke penyadaran kita
semua tentang metodologi penelitian itu sendiri. Sementara kita telah memperkenalkan
metodologi penelitian dalam maknanya yang teknis belaka. Misal: langsung membahas tentang
populasi dan teknik sampling, merumuskan masalah, mendesain tatarelasi, merancangkan
instrumen kuantifikasi data, dan sebagainya. Banyak ahli telah tenggelam pada berbagai teknik
sampling, teknik instrumentasi, teknik analisis tanpa menyadari bahwa dia telah menjadi
penganut filsafat ilmu tertentu. Pengguna metodologi tersebut akan menolak cara-cara kerja lain
sebagai spekulatif, subyektif, dan sebagainya.
Sebaliknya para penganut filsafat ilmu yang berbeda, memberi cap bohong, munafik
pada langkah-langkah kerja penelitian yang memulai tulisannya dengan alasan pemilihan judul,
dan semacamnya. Yang memberi cap tersebut lupa atau tidak tahu bahwa ada metodologi
penelitian berbeda yang menggunakan dasar filsafat ilmu yang lain, yang memang menuntut
langkah kerja semacam itu.
Berdasar uraian di atas penulis memandang bahwa setidak-tidaknya ilmuwan peneliti
yang bersangkutan perlu tahu dia menggunakan landasan filsafat ilmu yang mana untuk
metodologi penelitian yang digunakannya; sehingga yang bersangkutan sadar setidak-tidaknya
dalam dua hal, yaitu: sadar akan kelebihan dan kelemahan metodologi penelitian yang
digunakan, dan sadar bahwa ada metodologi penelitian lain yang menggunakan landasan filsafat
ilmu yang berbeda.
Arus kebutuhan studi pascasarjana menuntut standar kualitas akademik lebih tinggi, juga
dalam makna metodologi penelitiannya. Pemilihan dan penggunaan metodologi penelitiannya
tidaklah layak bila hanya seperti mantri kesehatan yang memberi obat atau injeksi berdasarkan
pengamatannya pada dokter atasannya dalam memberi obat atau injeksi pada pasiennya.
Mungkin tidak sedikit tesis atau disertasi yang disusun berdasar pembandingan berbagai tesis
atau disertasi, lalu ditiru cara kerjanya, tanpa memahami filsafat ilmu dan konsep teoretik yang
melandasi metodologi penelitian tesis atau disertasi yang diperbandingkannya. Akan lebih
menyedihkan lagi bila tesis atau disertasi yang ditiru cara kerjanya juga hasil kerja mantri,
sehingga dapat dibayangkan kemungkinan terjadinya erosi konsep teoretik dan filsafatnya.
Melalui tulisan ini penulis ingin mengimbau perlunya uraian filosofik metodologik dan
uraian teoretik yang melandasi metodologi penelitian dalam setiap tesis dan disertasi. Mungkin
uraian filosofik dan teoretik yang melandasi metodologi penelitiannya disajikan sebagai referensi
atau sebagai lampiran; sedangkan metoda penelitiannya dijadikan bagian anatomik dari tesis atau

8
disertasinya; yang dapat ditimbang-timbang manakah yang lebih tepat: disajikan sebagai
lampiran atau menjadi salah satu bab dari tesis atau disertasi. Dengan cara demikian para penguji
dan para pembaca dapat mengetahui apakah yang bersangkutan telah bekerja seperti dokter atau
bekerja seperti mantri.

B. METODOLOGI PENELITIAN DAN LOGIKA


Metodologi penelitian merupakan ilmu yang mempelajari tentang metoda-metoda
penelitian, ilmu tentang alat-alat dalam penelitian. Di lingkungan filsafat, logika dikenal sebagai
ilmu tentang alat untuk mencari kebenaran. Bila ditata dalam sistematika, metodologi penelitian
merupakan bagian dari logika.
Kita kenal lima model logika, yaitu: logika formil Aristoteles, logika matematik deduktif,
logika matematik induktif, logika matematik probabilistik, dan logika reflektif. Kelima model
tersebut menggunakan cara membuktikan kebenaran yang berbeda-beda. Logika formil
Aristoteles berupaya menyusun struktur hubungan antara sejumlah proposisi. Untuk membuat
generalisasi, logika Aristoteles mengaksentuasikan pada prinsip-prinsip relasi formal
antarproposisi.
Logika Aristoteles disebut logika tradisional kategorik. Proposisi merupakan penegasan
tentang relasi antarjenis. Dalam bahasa psikologik, proposisi adalah pendapat tentang hubungan
antarkonsep. Konsep atau persepsi seseorang tentang sesuatu atau sejumlah sesuatu di luar diri
kita, kita sebut kalkulus (arti asli kalkulus adalah batu kecil). Dalam logika dikenal dua kalkulus,
yaitu kalkulus jenis dan kalkulus probabilitas. Kalkulus jenis menghasilkan proposisi-proposisi
kategorik; sesuatu sebagai sesuatu atau bukan sesuatu, sesuatu yang spesifik termasuk dalam
sesuatu yang universal. Kalkulus probabilistik menyajikan proposisi-proposisi dalam
pernyataan-pernyataan kebenaran relatif, artinya: dalam pernyataan tersebut memberi peluang
atas kemungkinan benar dan kemungkinan salah.
Logika matematik deduktif membangun konstruksi pembuktian kebenaran dengan
mendasarkan diri pada proposisi-proposisi kategorik seperti logika tradisional Aristoteles.
Bedanya, logika Aristoteles mendasarkan pada kebenaran formalnya, sedangkan logika
matematik deduktif mendasarkan pada kebenaran materiil. Logika Aristoteles menguji
kebenaran formil dari proposisi khusus (yang disebutnya sebagai premis minor) berdasar
kebenaran formil dari proposisi universal (yang disebutnya sebagai premis mayor). Kontradiksi
antarkeduanya, berarti bahwa proposisi khususnya (atau minornya) ditolak. Konstruksi
keseluruhan pembuktiannya menggunakan silogisme: bahwa bila a termasuk dalam b dan b
dalam c, maka a termasuk dalam c. [(a < b).(b < c)] @ (a < c).
Logika matematik deduktif menguji kebenaran materiil kasus berdasar dalil, hukum,
teori, atau proposisi umum universal lain. Logika Aristoteles menuntut dipenuhi syarat formil,
sedangkan logika matematik deduktif melihat kebenaran materiil.
Proposisi universal dikenal dengan nama-nama: asumsi, aksioma, postulat, teori, dan
tesis. Asumsi merupakan proposisi universal yang self-evident benar dan tidak memerlukan
pembuktian. Aksioma merupakan pernyataan tentang sejumlah sesuatu memiliki tatahubungan
tertentu, dan benar; kebenaran itu (kalau perlu) dapat dibuktikan; aksioma biasa dikenal di
lingkungan matematik, paralel dengan itu dikenal postulat yang berlaku dalam ilmu sosial. Tesis
merupakan pernyataan yang telah diuji kebenarannya lewat evidensi, mungkin berlandaskan
emperi, yang lain mungkin melandaskan pada argumentasi; hal itu tergantung pada teori ilmu
yang dianut. Suatu teori merupakan suatu konstruksi pernyataan yang integratif yang di
dalamnya terkandung asumsi, aksioma/postulat, sejumlah tesis, dan sejumlah proposisi. Teori
yang valid momot lebih banyak tesis daripada proposisi.
Logika matematik induktif dapat kita bedakan menjadi dua, yaitu logika matematik
induktif kategorik dan logika matematik probabilistik. Logika matematik induktif
probabilistiklah yang digunakan oleh metodologi penelitian kuantitatif statistik.

9
Penulis memperkenalkan model logika reflektif. Asisten penulis yang cerdas segera
minta konfirmasi, yang dimaksud berfikir reflektif ataukah logika reflektif. Berfikir reflektif
adalah berfikir dalam proses mondar-mandir secara sangat cepat antara induksi dan deduksi,
antara abstraksi dan penjabaran. Dalam logika induktif umumnya memerlukan penyajian bukti
emperik yang cukup untuk membuat abstraksi; demikian pula dalam logika deduktif pada
umumnya, memerlukan penjabaran sistematik spesifik yang luas menyeluruh. Dalam logika
reflektif, proses berfikir membuat abstraksi dan proses berfikir membuat penjabaran berlangsung
cepat, dan yang lebih penting adalah produk membuat abstrak dan membuat penjabaran
berlangsung cepat menjadi ekstensif ataupun menjadi intensif dengan kualitas produk yang
rasional tinggi mutunya. Tinggi mutu dalam makna terpercaya dan emperik eviden.

C. PERINTIS SISTEM LOGIKA MODERN


Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan alam yang emperik induktif, logika formal
atau logika Aristoteles telah tumbang digantikan oleh logika yang dikembangkan oleh Leibniz,
Mill, dan Russel. Ketiganya tokoh ilmu yang hidup pada abad yang berbeda, yaitu berturut-turut:
abad ke-17, ke-19, ke-20. Leibniz membedakan tiga kemampuan kognitif, yaitu: indria,
imajinasi, dan argumentasi. Indria memberi persepsi sensual tentang obyek. Imaginasi oleh
Leibniz disebut indria internal yang menyajikan common sense, yang menyajikan materi
indriawi bagi matematik. Argumentasi merupakan berfungsinya kesadaran fikir manusia,
meskipun mungkin tanpa materi indriawi.
Tonggak utama teori ilmu Leibniz adalah: pembedaanya antara kebenaran faktual dan
kebenaran argumentatif. Materi kebenaran faktual diangkat dari pengamatan indriawi; sedangkan
kebenaran argumentatif merupakan kebenaran paling dalam. Argumentasi mempunyai dua
kapasitas dalam mengolah materi, yaitu: kemampuannya membuat analisis dan kemampuannya
membuat komparasi. Kebenaran faktual adalah kebenaran eksistensial yang bersifat kontigensial;
artinya kebenarannya tergantung pada hal lain. Ada satu kebenaran yang nonkontigensial, yaitu
keberadaan Tuhan. Kebenaran argumentatif adalah kebenaran generik, dan merupakan
kebenaran yang paling dalam. Kebenaran generik bersifat independen terhadap persepsi. Namun
tidak berarti bahwa emperi sensual tidak perlu, melainkan duduk perannya hanyalah sebagai
pemberi rambu-rambu, dan bukan penentu.
John Stuart Mill dengan Sistem Logikanya (1843) mengetengahkan tesisnya bahwa
argumentasi disyaratkan berdasar pengalaman emperik, menentang tesis lama bahwa
argumentasi fikir kita atau konstruksi alam semesta. Suatu pernyataan mungkin saja mendukung
eksistensi faktual atau mendukung relasi, koeksistensi, keruntutan, keterhimpunan, atau
kausalitas antarfakta. Namun kebenarannya harus diuji berdasar realitas yang kita amati, atau
berdasar argumentasi induktif; kebenaran harus kita uji secara induktif, dari yang khusus ke yang
umum.
Bertrand Russell semula adalah penganut filsafat idealisme. Dalam idealisme Hegel
setiap fakta di dunia ini mempunyai hubungan satu sama lain, dan merupakan suatu sistem yang
satu; suatu pandangan monistik dia, kebenaran; ada hukum umum yang berlaku universal; dunia
merupakan sistem yang rasional. Dalam perkembangannya filsafat Russell berubah menjadi
pluralisme ekstrim. Dunia bukan merupakan suatu sistem yang rasional, melainkan merupakan
kumpulan fakta dan kejadian. Kejadian-kejadian itu nampaknya mengikuti hukum-hukum
tertentu, dan menjadi tugas ilmu untuk menemukannya; tetapi untuk menemukan hukum yang
berlaku universal, nampaknya tak ada harapan.
Dari tiga perintis filsafat ilmu tersebut kita melihat perbedaan-perbedaan dasar dan
esensial, meskipun ketiganya termasuk ke dalam kelompok ahli yang menggunakan alur fikir
induktif; berlawanan dengan logika Aristoteles yang menggunakan alur fikir deduktif.
Dari uraian di atas kita melihat bahwa dasar pemikiran John Stuart Mill dapat kita
golongkan sebagai perintis bagi metodologi yang menggunakan pendekatan positivistik.

10
Sedangkan telaah Leibniz tentang kebenaran argumentatif yang mendudukkan emperi
sebagai rambu-rambu, bukan menentukan, merupakan rintisan ke pendekatan rasionalistik.
Adapun Bertrand Russell yang mengakui kebenaran pluralistik menjadi pendukung
pendekatan phenomenologik.

D. METODOLOGI PENELITIAN DAN POSITIVISME


Metodologi penelitan kuantitatif dengan teknik statistiknya diakui mendominasi analisis
penelitian sejak abad ke-18 sampai abad ini. Dengan semakin canggihnya teknologi komputer,
berkembang teknik-teknik analisis statistik yang mendukung pengembangan penelitian
kuantitatif Metodologi penelitian kuantitatif statistik menjadi lebih bergengsi daripada
metodologi penelitian kualitatif Lebih-lebih bila diperhatikan pula pada sejumlah kenyataan
bahwa ada sementara calon ilmuwan yang menggunakan metodologi kualitatif dengan alasan
dan bukti ketidakmampuannya menguasai teknik-teknik analisis statistik.
Pada segi lain, karena bergengsinya metodologi penelitian kuantitatif dengan
teknik-teknik statistiknya banyak ilmuwan ataupun pakar ilmu yang tenggelam ke dalam
teknik-teknik analisis statistik yang canggih, dan tidak tahu atau melupakan kelemahan di
samping keunggulan filsafat dan teori metodologi penelitian yang melandasinya.
Metodologi penelitian kuantitatif statistik bersumber dari wawasan filsafat positivisme
Comte, yang menolak metaphisik dan teologik; atau setidaktidaknya mendudukkan metaphisik
dan teologik sebagai primitif. Materialisme mekanistik-mekanistik sebagai perintis
pengembangan metodologi ini mengemukakan bahwa: hukum-hukum mekanik itu inheren dalam
benda itu sendiri; ilmu dapat menyajikan gambar dunia secara lebih meyakinkan didasarkan pada
penelitian emperik daripada spekulasi filosofik.
Positivisme logik lebih jauh mengembangkan metodologi aksiomatisasi teori ilmu ke
dalam logika matematik; dan dikembangkan lebih jauh lagi dalam logika induktif, yaitu; ilmu itu
bergerak naik dari fakta-fakta khusus phenomenal ke generalisasi teoretik. Menurut positivisme,
ilmu yang valid adalah ilmu yang dibangun dari emperi.
Dengan pendekatan positivisme dan metodologi penelitian kuantitatif, generalisasi
dikonstruksi dari rerata keragaman individual atau rerata frekuensi dengan memantau
kesalahan-kesalahan yang mungkin. Metodologi kuantitatif menuntut adanya rancangan
penelitian yang menspesifikan obyeknya secara eksplisit dielimanisakan dari obyek-obyek lain
yang tidak diteliti. Tatafikir logik sesuai dengan teknik analisis yang telah diperkembangkan,
metodolgi penelitian kuantitatif membatasi sejumlah tatafikir logik tertentu, yaitu: korelasi,
kausalitas, dan interaktif; sedangkan obyek data ditata. dalam tatafikir kategorisasi, interfalisasik
dan kontinuasi.
Bila diringkaskan, metodologi penelitian kuantitatif mulai dengan penetapan obyek studi
yang spesifik, dieliminasikan dari totalitas atau konteks besarnya; sehingga eksplisit jelas obyek
studinya. Disusun kerangka teori sesuai dengan obyek studi spesifiknya. Dari situ ditelorkan
hipotesis atau problematik penelitian, instrumentasi pengumpulan data, dan teknik sampling
serta teknik analisisnya; juga rancangan metodologik lain, seperti: penetapan batas signifikansi,
teknik-teknik penyesuaian bila ada kekurangan atau kekeliruan dalam hal data, administrasi,
analisis, dan semacamnya. Dengan kata. lain semua dirancangkan masak sebelum terjun ke
lapangan untuk meneliti.
Mungkin sementara pembaca mempertanyakan: mengapa buku ini membicarakan
metodologi penelitian kuantitatif, sedangkan buku ini, dilihat dari judulnya khusus
membicarakan metodologi penelitian kualitatif? Itu semua penulis kerjakan karena pada waktu
ini terdapat beberapa buku yang menampilkan metodologi penelitian kualitatif dengan filsafat
dan teori metodologi penelitian yang berbeda-beda. Salah satu daripadanya adalah metodologi
penelitian kualitatif yang landasan berfikirnya adalah filsafat positivisme dan teori metodologi
penelitiannya adalah yang kuantitatif. Bila dideskripsikan secara sederhana, metodologi

11
penelitian yang kami sebut terakhir tersebut menggunakan pola fikir kuantitatif (mengejar yang
terukur, teramati, yang emperi sensual, menggunakan logika matematik, dan membuat
generalisasi atas rerata); mengakomodasi deskripsi verbal menggantikan angka, atau
menggabungkan olahan statistik dengan olahan verbal dengan pola fikir tetap kuantitatif.
Menurut positivisme antologik, realitas dapat dipecah-pecah, dapat dipelajari
independen, dieliminasikan dari obyek yang lain, dan dapat dikontrol. Karena itu salah satu
konsekuensi mendasar dalam metodologi penelitiannya adalah: kerangka teori dirumuskan
sespesifik mungkin, dan menolak suatu ulasan meluas yang tidak langsung relevan. Penelitian
kualitatif yang menggunakan filsafat positivisme menuntut pembuatan kerangka teori seperti itu
pula.
Dari segi epistemologik, positivisme menuntut pilahnya subyek peneliti dengan obyek
penelitian (temasuk subyek pendukungnya). Maksud memilahkan subyek dari obyek agar dapat
diperoleh hasil yang obyektif. Tujuan penelitian yang berlandaskan filsafat positivisme adalah
menyusun bangunan ilmu nomothetik, yaitu ilmu yang berupaya membuat hukum dari genera-
lisasinya. Kebenaran dicari lewat hubungan kausal-linier; tiada akibat tanpa sebab, dan tiada
sebab tanpa akibat. Teori kebenaran yang dianut positivisme termasuk teori korespondensi,
sesuatu itu benar bila ada korespondensi atau isomorphisme antara pernyataan verbal atau
matematik dengan realitas emperik (yang dalam positivisme dibatasi pada emperi
sensual/indriawi).
Ditinjau dari segi aksiologik, positivisme menuntut agar penelitian itu bebas nilai
(value-free). Mereka mengejar obyektivitas agar dapat ditampilkan prediksi atau hukum yang
keberlakuannya bebas waktu dan tempat.
Uraian lebih lanjut tentang metodologi penelitian kualitatif yang melandaskan diri pada
filsafat positivisme akan dibahas di bagian pertama buku ini. Sebelum memilih menggunakan
metodologi penelitian yang melandaskan diri pada filsafat positivisme, diharapkan para peneliti
memperbandingkannya dengan metodologi penelitian yang diuraikan di Bagian Kedua dan
Ketiga. Hal itu penting agar masing-masing peneliti akan menggunakan metodologi penelitian
kualitatif yang sesuai dengan disiplin ilmunya, atau lebih tepat lagi kalau penulis katakan: secara
proporsional memilih metoda (termasuk teori metodologi dan filsafatnya) sesuai dengan
karakteristik obyek studi dan konseptualisasi teoretiknya.

E. METODOLOGI PENELITIAN DAN RASIONALISME


Metodologi penelitan kualitatif kedua yang akan dibahas berikut ini adalah metodologi
penelitian yang melandaskan pada filsafat rasionalisme. Menurut positivisme, ilmu yang valid
adalah ilmu yang dibangun dari emperi; sedangkan menurut rasionalisme ilmu yang valid
merupakan abstraksi, simplifikasi, atau idealisasi dari realitas, dan terbukti koheren dengan
sistem logikanya.
Penulis tampilkan metodologi penelitian kualitatif berlandaskan filsafat
rasionalisme atas sejumlah argumen.
Pertama, dilihat secara ontologik, positivisme lemah dalam hal membangun konsep
teoretik ilmu yang dikembangkan dengan metodologi yang melandaskan pada positivisme
menjadi tidak jelas, atau dapat dikatakan tiada urunan dalam membangun teori, sehingga
ilmu-ilmu yang dikembangkan dengan metodologi yang berlandaskan positivisme (dalam hal ini
penulis maksudkan adalah ilmu-ilmu sosial) menjadi semakin miskin konseptualisasi
teoretiknya; tidak ada teori-teori baru yang mendasar muncul. Banyak ilmu sosial mengalami
stagnasi. Psikologi terhenti perkembangannya sampai behaviorisme; yang berkembang
berikutnya adalah modifikasi-modifikasi atas behaviorisme dengan menambah sejumlah konsep-
konsep ilmu jiwa dalam, ilmu jiwa fikir, ilmu jiwa Gestalt, dan lain-lain dalam konseptualisasi
ataupun operasionalisasi behaviorisme. Teori ekonomi juga berhenti perkembangannya pada

12
teori klasik dan teori Keynesian; tiada teori baru, kecuali pembenahan-pembenahan, dan tetap
menampilkan kontroversi yang tak terselesaikan dalam pembuatan kebijakan ekonomi.
Argumen kedua, dilihat dari segi aksiologi, kebenaran emperik (yang sensual) itu telah
mendegradasikan harkat manusianya manusia. Kebenaran itu tidak hanya dapat diukur dengan
indra kita; ada kebenaran yang dapat ditangkap dari pemaknaan manusia atas emperi sensual;
kemampuan manusia untuk menggunakan fikir dan akalbudi memaknai empiri sensual itu lebih
memberi arti daripada emperi sensual itu lebih memberi arti daripada emperi sensual itu sendiri.
Karena itu secara aksiologik, penulis membedakan antara: emperi sensual, emperi logik, dan
emperi etik. Emperi sensual dapat diamati kebenarannya berdasar emperi indriawi manusia;
emperi logik dapat dihayati kebenarannya kerena ketajaman fikir manusia dalam memberi
makna atau indikasi emperi (yang tidak perlu menjangkau emperi secara tuntas); sedangkan
emperi etik dapat dihayati kebenarannya karena ketajaman akalbudi manusia dalam memberi
makna ideal atas indikasi emperi. Peran dari suatu skema berfikir deduktif yang secara hipotetik
atau tentatif mencari makna logik atau etik berbagai indikasi itu penting. Disebut skema
hipotetik karena kebenarannya memang masih perlu dipandang perlu untuk diuji-maknakan lagi
dari proses berpikir reflektif, dan disebut deduktif karena awal konstruksinya tidak dari emperi
tetapi dari kemampuan fikir atau kemampuan akalbudi manusia untuk mencoba membangun
suatu abstraksi, simplifikasi, atau idealisasi dunia manusia ini dan disebut tentatif, karena
konseptualisasi deduktif tersebut masih membuka kemungkinan pilihan nilai lain, yang secara
reflektif diuji-maknakan lagi. Proses berfikir reflektif dalam rasionalisme tidak terbatas pada
proses linier antara sebab dan akibat, juga bukan dalam makna induksi dan deduksi saja, tetapi
ada sejumlah proses mondar-mandir dalam tatafikir logik lainnya, seperti:
konvergensi-divergensi, instrumental-substansial, sentral-perifer, lateral sekuensial-vertikal, dan
lain-lain.
Argumen ketiga, dari segi ontologik dan aksiologik terdapat perbedaan mendasar antara
metodologi penelitian kualitatif yang berlandaskan positivisme dengan yang berlandaskan
rasionalisme. Tetapi dari segi epistemologik ada kesamaan mendasar antara keduanya, yaitu:
berusaha memilahkan antara subyek peneliti dengan obyeknya. Produk ilmunya juga sama, yaitu
menjangkau ilmu yang nomothetik, membuat prediksi dan membuat hukum-hukum. Upaya
membuat generalisasi dalam metodologi penelitian kualitatif yang berlandaskan filsafat
rasionalisme juga ada bedanya: pada positivisme berpangkal dari obyek spesifik dan berakhir
pada hasil analisis dari obyek spesifik itu pula; sedangkan pada rasionalisme ada dua tahap
generalisasi, yaitu: generalisasi dari obyek spesifik atas hasil uji-makna-emperik, dan pemaknaan
hasil uji-reflektif kerangka teoretik dengan pemaknaan indikasi emperik.
Teknik analisis untuk obyek-spesifik dapat dipilih teknik analisis kuantitatif dengan
teknik analisis kualitatif logik-verbal. Untuk teknik analisis kualitatif logik-verbal dapat dipilih;
akan menggunakan filsafat positivisme (upaya menganalisis rerata) atau menggunakan filsafat
rasionalisme (upaya mencari yang esensial. Bila dipilih teknik analisis kuantitatif statistik atau
teknik analisis logik verbal yang menganalisis rerata, berarti metodologi penelitian yang
digunakan menggabungkan antara positivisme dengan rasionalisme. Menggunakan rasionalisme
dalam menyusun kerangka teori dan memberikan pemaknaan hasil penelitian, dan menggunakan
positivisme dalam menguji emperik obyek spesifiknya, juga sering disebut postpositivisme.
Disebut postpositivisme karena konseptualisasi teoretik yang lemah pada positivisme dibenahi.
Penulis memandang lebih tepat rasionalisme karena secara mendasar ontologi dan aksiologiknya
berbeda.

F. METODOLOGI PENELITIAN DAN PHENOMENOLOGI


Ada sejumlah nama yang digunakan para ahli tentang metodologi penelitian kualitatif
yang akan penulis bahas di bawah ini, seperti: grounded research, ethnometodologi, paradigma
naturalistik, interaksi simbolik, semiotik, heuristik, hermeneutik, atau holistik yang kesemuanya

13
itu tercakup dalam klasifikasi metodologi penelitian kualitatif, atau phenomenologik. Aksentuasi
tertentu menjadikan masing-masing memilih nama yang lebih dipandang tepat. Wawasan dan
terapan berbagai penamaan tersebut akan diuraikan dalam buku ini, sehingga, penulis mencoba
memilih nama yang dapat dimaknai mencakup, serta tokoh yang lebih representatif. Di samping
maksud tersebut penulis juga mempertimbangkan komparabilitasnya dengan identitas
metodologi penelitian kualitatif yang telah disebut terdahulu. Karena itu metodologi penelitian
kualitatif yang ketiga ini penulis sebut sebagai yang berlandaskan phenomenologi. Telah terjadi
banyak ragam asentuasi dan pemaknaan phenomenologi. Dalam makna ontologik dan aksiologik
phenomenologi yang penulis pandang dapat memaknai mencakup berbagai metodologi
penelitian tersebut di atas adalah phenomenologinya Edmund Husserl sendiri yang
mengemukakan bahwa obyek ilmu, itu tidak terbatas pada yang emperik (sensual), melainkan
mencakup phenomena yang tidak lain daripada persepsi, pemikiran, kemauan, dan keyakinan
subyek tentang sesuatu di luar subyek; ada sesuatu yang transenden, di samping yang
aposteriorik.
Metodologi penelitian ini diperkembangkan oleh banyak ahli dari berbagai pendekatan
disiplin ilmu. Grounded research lebih berkembang di lingkungan sosiologi, dengan tokoh
utamanya Strauss dan Glasser. Ethnometodologi lebih berkembang di lingkungan antropologi
dan ditunjang antara lain oleh Bogdan, yang ahli sosiologi pendidikan. Interaksi simbolik yang
lebih berpengaruh di pantai Barat Amerika Serikat diperkembangkan oleh Blumer, ahli psikologi
sosial. Paradigma naturalistik diperkembangkan terutama oleh Guba yang semula memperoleh
pendidikan dalam phisika, matematika, dan penelitian kuantitatif Studi mendalam keterhubungan
antara metodologi penelitian tersebut dengan phenomenologi dilakukan oleh Kenneth Leiter.
Ontologik metodologi penelitian kualitatif berlandaskan phenomenologi sama dengan
yang berlandaskan rasionalisme, dan berbeda dengan yang berlandaskan positivisme.
Metodologi penelitian kualitatif berlandaskan phenomenologi menuntut pendekatan holistik,
mendudukkan obyek penelitian dalam suatu konstruksi ganda, melihat obyeknya dalam satu
konteks natural, bukan parsial. Beda dengan positivisme yang menuntut rumusan obyek
sespesifik mungkin; tetapi dekat dengan rasionalisme yang menuntut konstruksi teoretik yang
lebih mencakup.
Epistemologik metodologi penelitian kualitatif berlandaskan phenomenologi sangat jauh
berbeda dengan yang berlandaskan positivisme; positivisme menuntut penyusunan kerangka
teori (meskipun spesifik), sedangkan phenomenologi malahan. sepenuhnya menolak penggunaan
kerangka teori sebagai langkah persiapan penelitian. Membuat persiapan seperti itu menjadikan
hasil penelitian itu menjadi produk artifisial, jauh dari sifat naturalnya. Dalam hal melihat
kejadian dan tatafikir yang digunakan phenomenologi sejalan dengan rasionalisme, yaitu:
melihat obyek dalam konteksnya dan menggunakan tatafikir logik lebih dari sekedar linier
kausal; tetapi tujuan penelitiannya berbeda, phenomenologik membangun ilmu idiographik, se-
dangkan rasionalisme membangun ilmu nomothetik.
Aksiologik ada kesamaan antara yang phenomenologik dengan yang rasionalistik, yakni
keduanya mengakui kebenaran etik, ada valuebond menurut istilah Egon G.Guba. Dalam
metodologi penelitian kualitatif berlandaskan rasionalisme telah disebut tentang tiga strata
emperi, yaitu: emperi sensual emperi logik dan emperi etik. Aksiologik, phenomenologi Edmund
Husserl mengenal pula emperi transendental. Karena itu metodologi penelitian kualitatif
berlandaskan yang phenomenologi dapat penulis kemukakan sebagai mengakui empat kebenaran
emperik, yaitu: kebenaran emperik sensual, kebenaran emperik logik, kebenaran emperik etik,
dan kebenaran emperik transendental. Kemampuan penghayatan dan pemaknaan manusia atas
indikasi emperi manusia menjadi mampu mengenal keempat kebenaran tersebut di atas.
Epistemologik phenomenologi menuntut bersatunya subyek peneliti dengan subyek
pendukung obyek penelitian. Keterlibatan subyek peneliti di lapangan, menghayatinya menjadi
salah satu ciri utama penelitian phenomenologik. Berbeda dengan dua penelitian kualitatif

14
terdahulu (yang berlandaskan positivisme dan rasionalisme. Yang menuntut pilahnya subyek
peneliti dengan obyeknya).
G. TEORI ILMU, WELTANSCHAUUNG, DAN REALISME
Reichenbach (1938) mengemukakan bahwa tugas filsafat ilmu adalah membangun teori
ilmu bertolak dari Weltanschauung atau Lebenswelt. Toulmin (1953) mengemukakan bahwa
fungsi ilmu adalah membangun sistem idee-idee tentang semesta sebagai realitas; dan sistem
tersebut menyajikan teknik-teknik yang bukan hanya ajeg dalam memproses data, melainkan
tetapi lebih dari itu harus dapat diterima (sesuai dengan Weltanschauungnya). Teori-teori ilmu
menurut Toulmin terdiri atas hukum-hukum, hipotesis-hipotesis, dan idee-idee tentang semesta,
yang tertata hirarkhik. Menurut Toulmin teori-teori bersifat instrumentalistik, teori hanyalah
hukum-hukum untuk membuat inferensi.
Karl Popper (1935) menunjuk bahwa cara kerja positivist yang mendasar teori-teorinya
pada hasil observasi dapat palsu) perlu ditolak; karena tidak mampu menjawab problem sentral
ilmu, yaitu pengembangan ilmu. Atas alasan itu pula, Popper menolak pandangan instrumentalis
dan menampilkan pandangan esensialis dalam teori ilmu. Menurut Popper tujuan ilmuwan
adalah menemukan teori atau deskripsi semesta ini (terutama menemukan keteraturan-
keteraturannya atau hukum-hukumnya); teori yang baik mampu menyajikan esensi atau realitas.
Menurutnya teori merupakan terkaan-terkaan informatif tingkat tinggi tentang semesta ini.
Feyerabend (1965) mengembangkan lebih lanjut filsafat ilmu dari Popper. Feyerabend menolak
piralisme teoretik; dan menuntut agar sesuatu teori yang telah sangat teruji, dipertahankan
sampai tertolak atau termodifikasi oleh fakta-fakta baru. Dia mengetengahkan dua kondisi untuk
berteori, yaitu: kondisi yang ajeg dan kondisi keragaman makna.
Oleh para pakar filsafat ilmu, faham dari Popper dan Feyerabend sering dikelompokkan
ke dalam faham realisme metaphisik. Yang dalam ulasan selanjutnya faham dari Popper dan
Feyerabend (termasuk perintis pendahulunya, seperti Reichenbach dan Toulmin) kami sebut saja
sebagai realisme.
Ontologik, metodologi penelitian berlandaskan realisme menuntut lebih jauh lagi dari
rasionalisme; karena sifat holistiknya teori yang melandasi penelitian haruslah berakar pada
Weltanschauung. Dalam hal yang terakhir ini realisme sangat dekat dengan phenomenologi yang
menuntut theory-laden, teori yang momot nilai.
Epistemologik, realisme sejalan dengan rasionalisme, dan positivisme, yaitu nomothetik,
dan berlawanan dengan phenomenologik yang idiographik. Perbedaan-perbedaan oleh
Feyerabend dimaknai sebagai keragaman; sedangkan hal esensialnya sama dan tampil sebagai
keajegan dalam keragaman. Tegas-tegas realisme menekankan fungsi ilmu, yaitu
mengembangkan tesis, hukum, prinsip yang dapat dipakai untuk membuat inferensi atau ramalan
yang berlaku dalam ragam ruang dan waktu.
Aksiologik, realisme Popper lebih tajam lagi dalam hal value-bound-nya daripada
phenomenologik. Dibandingkan dengan rasionalisme, value-bound-nya rasionalisme bersifat
implisit-sekuensial, sedangkan pada realisme, value-bond-nya menjadi titik berangkat teori yang
dibangunnya. Maksud implisit sekuensial tersebut adalah bahwa nilai tidak dieksplisitkan, tetapi
tampil di antara pembahasan-pembahasan teoretik. Sedangkan maksud keterkaitan pada nilai
menjadi titik berangkat teori artinya nilai dipakai sebagai kerangka acu memaknai fakta. dan
dalam membangun argumentasi.

H. KESIMPULAN KOMPARATIF
Buku ini dimaksudkan sebagai buku teks Metodologi Penelitian Kualitatif khususnya
ilmu sosial dan agama. Pembekalan ini bermaksud mengenalkan alternatif-alternatif metodologik
bagi penelitian ilmu sosial dan agama. Bagi mahasiswa, metodologi penelitian mana yang
sebaiknya atau setepatnya dipakai untuk disiplin ilmunya atau obyek-obyek studi tertentunya

15
atau untuk kerangka teori tertentu, lebih banyak memerlukan rekomendasi dosennya atau
ahlinya.
Untuk mempermudah pemilihan metodologi penelitian yang tepat uraiannya disajikan
dalam bagian-bagian yang berbeda. Bagian pertama membahas metodologi penelitian kualitatif
yang berlandaskan filsafat positivisme, dengan teori metodologi yang berlaku sama dengan teori
metodologi penelitian kuantitatif Langkah-langkah atau tahap-tahap penelitiannya sama dengan
metodologi penelitian kuantitatif statistik, bedanya terletak pada rekaman data dan analisis, di
mana dapat digabungkan yang kualitatif dan yang kuantitatif atau sepenuhnya kualitatif. Untuk
obyek studi yang mudah dieliminasikan dari obyek lain, dalam arti kompleksitas serta
keterkaitan konteksnya mudah dipisahkan, obyek studinya mudah diamati dan diukur, serta
pertimbanganpertimbangan lain yang lebih relevan bagi disiplin yang bersangkutan dapat dipilih
penggunaan metodologi penelitian kualitatif yang dibahas pada bagian pertama buku ini.
Bagian kedua membahas metodologi penelitian kualitatif yang berlandaskan filsafat
rasionalisme atau dalam makna terbatas dapat pula disebut berlandaskan postpositivisme. Beda
terapan antara metodologi penelitian yang dibahas di bagian kedua terletak pada disusunnya
konseptualisasi teoretik (sebagai grand-theory atau grand-concepts) sebelum disajikan obyek
spesifiknya dan dibuat pemaknaan sesudah kesimpulan penelitian; sebagaimana diketahui
metodologi yang pertama menuntut perumusan obyek pada awal penelitian. Kecuali dua tahap
awal dan tahap akhir, terapan metodologik yang kedua mempunyai tahap-tahap yang sama
dengan yang pertama. Harap diperhatikan secara hati-hati kata-kata penulis yang menggunakan
kata beda terapan atau terapan yang sama. Kata tersebut tidak mengetengahkan apakah filsafat
dan teori metodologi penelitiannya beda atau juga sama. Secara garis besar telah diketengahkan
pada uraian terdahulu, sedang secara lebih rincinya dapat ditelaah pada bagian pertama dan
kedua buku ini.
Bagian ketiga buku ini membahas metodologi penelitian kualitatif phenomenologik,
yang pada edisi III ini penulis sistematisasikan dalam empat tahapan, yaitu tahap model
grounded research (yang merupakan ekstensi pertama edisi III buku ini), model
ethnometodologik, model paradigma naturalistik, dan model interaksi simbolik; yang secara
filsafat penulis cakup dengan nama metodologi penelitian kualitatif yang berlandaskan filsafat
phenomenologi. Meskipun tidak sepenuhnya tepat untuk semua model tersebut, dan hanya tepat
untuk model paradigma naturalistik. Model pertama masih berbau positivistik, model kedua
mereaksi dan menggugat kuantitatif, dan yang keempat semacam kembali lagi ke positivistik.
Ontologik metodologi ini menuntut pendekatan yang holistik, mengamati obyeknya
dalam konteksnya, dalam keseluruhannya, tidak diparsialkan, tidak dieliminasikan dari
integritasnya. Dalam hal tersebut menjadi sama dengan yang rasionalisme, dan menjadi berbeda
dengan yang positivisme.
Epistemologik, metodologi ini menuntut menyatunya subyek peneliti dengan obyek
penelitian dan subyek pendukungnya. Karena itu keterlibatan langsung di kancah dan
menghayati berprosesnya subyek pendukung obyek penelitian menjadi syarat utama penelitian
dengan metodologi kualitatif ini. Pada penelitian dengan metodologi phenomenologik menuntut
alokasi waktu yang sangat lama untuk melibatkan diri dikancah, sedangkan penelitian dengan
metodologi positivistik atau rasionalistik alokasi waktu terbesar akan lebih banyak tersita pada
persiapan penelitian, termasuk orientasi lapangan, mencari alternatif teknik sampling, dan
penyusunan instrumen pengumpulan data termasuk uji kualitasnya.
Dengan bahasa Wilhelm Windelband, tujuan penelitian phenomenologik adalah
menyusun bangunan ilmu idiographik, yaitu upaya memberikan deskripsi kultural atau human
atau individual yang khusus; tidak ada pretensi untuk mencari generalisasi; paling jauh
memberikan wawasan tentang kemungkinan transferabilitas, menurut istilah E.G. Guba
kemungkinan pemberian maknayang sama atau kasus dengan karakteristik yang sama.

16
Sedangkan tujuan penelitian positivistik ataupun rasionalistik adalah mengkonstruksi bangunan
ilmu nomothetik, yaitu upaya mencari hukum-hukum bagi phenomena emperik.
Bagian keempat buku ini membahas metodologi penelitian, berdasar bangunan realisme
metaphisik, yang merupakan ekstensi kedua edisi III buku ini. Realisme metaphisik bertolak dari
asumsi dasar bahwa semesta ini teratur. Keteraturan itu bersifat obyektif metaphisik; dalam
makna bahwa keteraturan obyektif itu disebut oleh Popper metaphisik, karena untestable.
Diperbandingkan dengan yang rasionalistik, dekat, dalam makna bahwa bangunan pemikirannya
sama-sama berangkat dari grand-concepts; bedanya yang rasionalistik menguji hipotesis dengan
teknik uji verifikasi, sedangkan yang realisme metaphisik Popper menguji grand-theory-nya
lewat uji falsifikasi. Diperbandingkan dengan phenomenologik, dekat dalam makna: pertama,
sama-sama menggunakan pendekatan holistik; dan kedua, sama-sama mengejar yang esensial;
sedangkan bedanya: yang phenomenologik membatasi diri pada penyimpulan idiographik,
sedangkan yang realisme metaphisik berupaya terus untuk membuat penyimpulan nomothetik.
Bagian kelima buku ini merupakan ekstensi ketiga edisi III buku ini. Bagian kelima ini
berisi tentang metodologi penelitian studi teks, terutama dalam makna studi karya sastra. Telaah
karya sastra, dari strukturalisme baik yang linguist atau klasik, strukturalisme genetik,
strukturalisme dinamik, strukturalisme semiotik, maupun oststrukturalisme. Dilihat dari keempat
pendekatan tersebut nampak dominan pendekatan phenomenologiknya. Meskipun pada
strukturalisme linguist yang awal, yaitu pada de Saussure dan pada Jacobson bersifat positivistik.
Juga pada yang genetik, memang dominan sifat positivistiknya. Tetapi pada lainnya umumnya
dominan phenomenologiknya.
Bagian keenam buku ini khusus membahas metodologi penelitian agama, khususnya
agama Islam. Pada bagian ini uraian metodologi direntangkan dari metodologi model klasik,
yang digunakan para ulama terdahulu, dilanjutkan dengan telaah orientalis yang positivistik,
dilanjutkan lagi dengan telaah Islamolog yang phenomenalogik. Pada telaah interdisplier dan
multidisipliner ditawarkan alternatif model pengembangan Islamisasi ilmu pengetahuan. Makna
Islamisasi ilmu pengetahuan bukannya berarti membuat ilmu pengetahuan cocok bagi ummat
Islam, melainkan menawarkan nilai-nilai moral Islam menjadi landasan moral universal dalam
berilmu pengetahuan.
Landasan phenomenologik antara lain menjangkau pada sifat idiographik, sedangkan
peneliti muda banyak yang ingin mengejar ilmu yang nomothetik, yang menghasilkan
generalisasi, yang menampilkan hukum-hukum untuk menginferensi masa depan. Beralih pilihan
pada yang rasionalistik; tetapi sifat keterkaitannya pada nilai tidak sekokoh pada phenomenologi.
Pengamatan kami tersebut menumbuhkan keprihatinan kami untukmencari landasan filsafat bagi
metodologi penelitian agama yang lebih tepat. Landasan filsafat tersebut menuntut
setidak-tidaknya dua hal: pertama, ontologik mengakui kebenaran transendental, dan kedua,
mendudukkan emperi dalam proporsinya, bukan dominan menentukan. Dari pencarian kami
tersebut, kami sampai pada teoriteorinya Reichenbach, Toulmin, Kuhn, Popper, dan Feyerabend,
yang oleh para pakar filsafat ilmu disebut sebagai penganut realisme metaphisik dan
epistemologik, yang dalam pembahasan selanjutnya kami sebut saja rasionalisme Popper atau
realisme metaphisik, atau realisme. Telaah realisme metaphisik di bagian keenam buku ini
ditampilkan dalam telaah interdisplier dan multi-disipliner serta telaah ijtihad jama’i. Sedangkan
telaah metodologi penelitian untuk realisme metaphisik penulis sajikan sebagai bagian keempat
buku ini.
Bagian ketujuh buku ini memberikan reorientasi wawasan dan operasionalisasi untuk
membantu para pembaca memilih alternatif metodologi penelitian secara tepat. Bagian
Kedelapan buku ini, disebut bagian terapan yang mengetengahkan contoh terapan
masing-masing pendekatan dalam wujud tesis atau disertasi.
Bagian kedelapan buku menyajikan terapan beragam pendekatan tersebut di atas dalam
beragam disertasi. Pengalaman penulis sebagai promotor hampir 30 disertasi sejak tahun 1984

17
sampai 1996 ini menjadikan semakin jelas eksplisitasi pendekatan metodologi pada konsekuensi
penulisan disertasi, sejak dalam bentuk langkah-langkah kerja penelitiannya sampai ke
sistematisasi penulisan disertasinya. Dengan pengalaman penulis bergelut sepenuhnya dalam
metodologi penelitian kuantitatif statistik sejak 1962 sampai 1984, dilanjutkan dengan tuntutan
bimbingan pada yang kualitatif sejak 1984 sampai 1996 ini, dilengkapkan pula dengan sangat
cerdasnya sebagian besar para mahasiswa, maka para pembaca akan dapat mencermati beda jelas
yang menggunakan pendekatan positivistik, yang rasionalistik, yang phenomenologik, yang
semiotik heuristik, yang semiotik hermeneutik, dan lainnya.

18
BAGIAN PERTAMA
METODOLOGI PENELITIAN
KUALITATIF PENDEKATAN
POSITIVISTIK:
STUDI CROSS SECTIONAL, STUDI KASUS, SURVEI, SERTA CONTENT ANALYSIS

METODOLOGI PENELITIAN
KUALITATIF PENDEKATAN
POSITIVISTIK

1. STUDI CROSS SECTIONAL

A. STUDI CROSS SECTIONAL DAN STUDI LONGITUDINAL


Dalam metodologi penelitian positivistik dikenal studi yang sifatnya berkelanjutan untuk
jangka waktu relatif panjang, mengikuti proses interaktif beragam variabel, dan studi yang
sifatnya mengambil sampel waktu, sampel perilaku, sampel kejadian pada suatu saat tertentu
saja. Yang pertama disebut studi longitudinal dan yang kedua disebut studi cross sectional.
Uraian di Sub Bagian I adalah studi cross sectional, Sub Bagian II studi longitudinal, Sub
Bagian III studi cross sectional yang superfisial, dan Sub Bagian IV suatu model studi pustaka
atau teks yang juga mulai dikenal dengan pendekatan positivistik.

B. VARIABEL PENELITIAN
Telah diuraikan di Bagian Pendahuluan bahwa berfikir positivistik adalah berfikir
spesifik, berfikir tentang emperi yang teramati, yang terukur, dan dapat dieliminasikan serta
dimanipulasikan, dilepaskan dari satuan besarnya. Satuan terkecil obyek penelitian disebut
variabel penelitian. Seorang mahasiswa, misalnya menjadi subyek pendukung dari berbagai
variabel yang dapat dijadikan obyek penelitian. Inteligensi, minat, status sosial, hobi, cita-cita,
prestasi akademik, kemampuan bahasa, kesehatan, dan banyak lagi yang melekat pada
mahasiswa tersebut dapat dijadikan obyek penelitian. Bila kita bermaksud meneliti mahasiswa
dalam segalanya dilihat dari kacamata positivistik akan ditertawakan atau dinyatakan tidak
mungkin; karena banyak sekali variabel yang harus diamati, diukur dan dikontrol. Kita harus
mampu mengeliminasikan sejumlah variabel yang diteliti dengan mengeliminasikan
variabel-variabel lain yang tidak diteliti. Ada sejumlah cara yang dikenalkan untuk mengadakan
eliminasi variabel, yaitu: eliminasi phisik, eliminasi dengan kontrol, dan eliminasi statistik.
Eliminasi phisik: minat yang diteliti minat teknik, maka mahasiswa yang, tidak mempunyai
minat teknik tidak dimasukkan menjadi subyek penelitian; eliminasi dengan kontrol: prestasi
akademiknya diperbandingkan, atau dipilih yang homogin. Sedang contoh eliminasi statistik
akan diberikan dalam sangkut-paut dengan teknik analisis.
Variabel penelitian sebagai satuan terkecil obyek penelitian dapat dibedakan antara: 1)
variabel yang relevan, 2) variabel yang mungkin relevan, dan 3) variabel tak relevan.
Sebagaimana diuraikan di atas, berfikir positivistik adalah berfikir spesifik, sehingga upaya
mengadakan kategorisasi variabel menjadi tiga tersebut penting, agar kita dapat memilahkan
yang spesifik (yaitu yang relevan) dari lainnya; dengan penelitian dimaksudkan agar kita dapat
menyisihkan variabel yang kita perkirakan relevan atau mungkin relevan menjadi
emperik -- terbukti mana yang relevan dan mana yang tak relevan.
Metodologi penelitian positivistik menuntut yang teramati-terukur. Dilihat dari segi ini
dapat pula dibedakan: 1) variabel yang dapat diamati secara langsung, dan 2) variabel yang tidak
dapat diamati secara langsung. Variabel yang diamatinya secara tak langsung dapat diamati
lewat gejalanya, lewat munculnya keragaman antarwaktu atau antarkelompok, atau dengan
cara-cara lain. Dalam hal variabel diamati secara tak langsung tersebut menampilkan variabel

19
secara konstruk, yaitu variabel yang pengamatannya dilakukan secara tak langsung dengan
berbagai cara sekaligus, yang hasilnya diuji-silang.
Tatafikir logik yang dominan dalam metodologi penelitian positivistik adalah kausalitas,
tiada akibat tanpa sebab, dan tiada sebab tanpa akibat. Dilihat dari segi ini variabel dibedakan
menjadi: 1) variabel independen dan 2) variabel dependen. Tatafikir lain tenggelam dan kalah
oleh arus tatafikir kausalitas. Tatafikir relasional (korespondensi, kausal, dan interaktif) menjadi
sentra pola fikir positivistik; dan tampil nyata dalam hipotesis, dalam desain penelitian, dan
dalam ragam teknik analisis.
Tidak semua variabel dapat dimanipulasikan, artinya tidak semua variabel dapat
dikontrol atau dipengaruhi oleh peneliti. Karena itu variabel dapat pula dibedakan antara: 1)
variabel statik, seperti umur, jenis kelamin, asal daerah, dan lain-lain, dan 2) variabel dinamik,
seperti kesehatan, prestasi belajar, motivasi kerja, dan lain-lain. Memilih variabel-variabel
dinamik akan lebih banyak manfaatnya bagi penelitian yang menggunakan hasil penelitian bagi
upaya-upaya perubahan atau pengembangan.
Dapat-tidaknya variabel itu dimanipulasikan juga terkait pada tipe studinya. Pada tipe
studi eksperimental, tata relasi variabel obyek studi dapat dipilih yang sepenuhnya dinamik; pada
studi observasi atau ex post facto variabel-variabelnya tidak dapat dimanipulasikan; meskipun
sejumlah variabel dapat dijadikan variabel dinamik, misal: karena sulitnya menempatkan dokter
gigi wanita sedangkan Indonesia masih memerlukan banyak dokter gigi, maka ditempuh
cara-cara sedemikian rupa sehingga masukan pada fakultas kedokteran gigi menjadi banyak
prianya. Dalam konsep umum/biasa pria-wanita merupakan variabel statik, dalam contoh
tersebut variabel tersebut diubah menjadi variabel dinamik.
Begitu pula variabel dependen pada sesuatu penelitian dapat didesain menjadi variabel
independen pada penelitian lain.

C. HIPOTESIS
Dua konsep atau lebih yang dibangun tatarelasinya dapat ditampilkan sesuatu sehingga
dapat ditampilkan nomen yang mencakup berbagai sesuatu tprsebut disebut konsep dengan
karakteristik umum atau esensial tertentu. Berbagai sesuatu mungkin kita beri nomen prestasi
akademik, pria, wanita, status sosial ekonomi dan sebagainya. Dengan tatarelasi tertentu konsep-
konsep tersebut dapat dijadikan hipotesis yang berbunyi: Prestasi akademik rata-rata pria lebih
tinggi dari wanita atau Prestasi akademik tertinggi dijumpai pada wanita, bukan pada pria. Kedua
hipotesis tersebut disebut hipotesis operasional. Hipotesis penelitiannya sendiri akan berbunyi:
Prestasi akademik pria lebih tinggi daripada wanita. Sedangkan hipotesis statistiknya akan
berbunyi: Ada perbedaan prestasi akademik antara pria dan wanita. Hipotesis tersebut sering juga
disebut sebagai hipotesis alternatif, sedang hipotesis nolnya akan berbunyi: Tidak ada perbedaan
prestasi akademik ahtara pria dan wanita.
Prestasi akademik, pria, wanita, dan lain-lain tersebut dapat disebut konsep karena
menjadi nomen dari sejumlah karakteristik umum atau esensial tertentu yang mencakup sejumlah
sesuatu. Dilihat dari segi penelitian konsep-konsep tersebut juga dapat disebut variabel. Untuk
keperluan penelitian sejumlah variabel yang dibangun dengan tatarelasinya dapat ditampilkan
sebagai hipotesis, sehingga hipotesis dapat disebut sebagai bangunan tatarelasi konsep atau
tatarelasi variabel.
Konsep yang paling sederhana adalah abstraksi tunggal dan individual. Proposisi atau
pendapat merupakan bangunan tatarelasi setidak-tidaknya dua konsep tunggal individual.
Proposisi mempunyai tentang dari yang individual subyektif sampai yang kolektif-subyektif
Untuk meningkatkan obyektivitas suatu proposisi, dibangun hipotesis yang sifatnya obyektif
teoretik; perlu diuji agar dapat menjadi konsep obyektif dan teruji emperik, yang biasa
disebuttesis. Dengan meminjam istilah Dudley Shapere, penulis membedakan antara: 1) konsep
eksistensial dengan 2) konsep idealisasi. Yang pertama lebih mendeskripsikan emperi, sedang

20
yang kedua lebih mendeskripsikan idealisasi kita. Yang kedua banyak muncul dalam ilmu-ilmu
normatif, tetapi dapat pula banyak muncul dalam phisika sekalipun. Bedanya: konsep idealisasi
dalam ilmu normatif lebih mendasarkan pada nilai (values), sedang pada phisika lebih
mendasarkan pada konseptualisasi teoretik atas indikasi emperik.
Menyusun sejumlah konsep dalam tatafikir tertentu dan disajikan dalam
pernyataan-pernyataan, kita sebut sebagai proposisi. Dengan teknik-teknik analisis statistik kita
biasa menyajikan tatafikir korelasional, yang mencakup: relasi, korelasi, kausalitas, dan
interaktif. Hipotesis ddn tesis itu tidak lain daripada proposisi-proposisi lanjut yang
dikonstruksikan dari banyak konsep. Metodologi penelitian kualitatif positivistik berupaya
membuat bangunan ilmu nomothetik, sehingga rumusan hipotesisnya, kesimpulannya, dan
tesisnya mengarah ke pembuatan generalisasi yang berlaku umum, bebas ruang dan waktu; dan
selanjutnya generalisasi tersebut diarahkan ke pencarian dan penemuan hukum-hukum yang
keberlakuannya bebas ruang dan waktu. Karena tatafikir logik yang dipakai terbatas pada
tatafikir korelasional (sesuai dengan teknik statistik yang ada), maka konstruksi rumusan
proposisi, hipotesis, kesimpulan, dan tesis perlu dibatasi pada bentuk-bentuk pernyataan yang
mengandung makna hubungan linier ataupun nonlinier: keterhubungan antarwaktu,
antarkelompok, sebab-akibat, timbal-balik, atau antarvarians. Pedoman tersebut juga berlaku
bagi perumusan generalisasi dan hukum-hukum produknya.
Generalisasi diambil dari rerata ragam individu (rerata dari biji tes 112 sampai 359,
misalnya) atau rerata dari frekuensi kejadian (rerata kasus kejahatan dalam setahun misalnya).
Dengan konsep tatarelasi dan rerata dapat diringkaskan ragam hipotesis yang dapat disajikan.
H1:u1 ≠ u2 (R.1.1)
Keterangan: H1 hipotesis alternatif; u1 dan u2 rerata, yang hubungan keduaya menjadi hipotesis;
≠ = tidak sama.
H1:r1 ≠ r2 (R.1.2)
Keterangan: rl dan r2 simbol korelasi, yang hubungan korelasional keduanya menjadi hipotesis.
H0:u1 = u2 (R.1.3)
Keterangan: H0 adalah hipotesis nol; = sama.
H0:r1 = r2 (R.1.4)
Hipotesis alternatif yang disajikan seperti (R.1.1.) dapat diganti menjadi:
H1:u1 > u2 (R.1.5)
di mana > berarti lebih besar dari; sedang hipotesis nolnya menjadi sebagai berikut :
H1:u1 ≤ u2 (R.1.6)
di mana ≤ berarti kurang dari atau sama dengan.
Harap diperhatikan bahwa hipotesis nol tidak selalu harus dirumuskan dengan “tidak ada
perbedaan” atau “tidak ada korelasi”, melainkan dapat pula dirumuskan seperti (R.1.5.) ataupun
(R.1.6.); yang berarti hipotesis afternatif dalam maknanya yang lebih luas merupakan hipotesis
nol pula.

D. DESAIN PENELITIAN
Dengan hipotesis kita mempunyai petunjuk arah tujuan yang hendak kita capai dengan
penelitian kita. Dengan desain penelitian, yang akan kita bahas, kita. memiliki petunjuk tentang
bagaimana kita berbuat untuk mencapai tujuan tersebut.
Ada sejumlah unsur-unsur yang perlu kita perhatikan pada waktu kita menyusun desain.
Berdasar pengalaman penulis unsur-unsur tersebut dapat dikategorisasikan menjadi: 1)
tatakonstruksi variabel penelitian, 2) populasi sampel, 3) instrumentasi pengumpulan data atau
teknik perekaman data, 4) teknik analisis, 5) uji instrumen atau uji kualitas rekaman, 6) makna
internal hasil penelitian, 7) makna eksternal hasil penelitian.
Perlu dicatat di fikiran kita, bahwa metodologi kualitatif positivistik menuntut
spesifiknya variabel yang akan menjadi obyek penelitian dengan yang tidak dijadikan obyek

21
penelitian. Dengan tatakonstruksi perencanaan penelitian berusaha menata hubungan organik
antarvariabel, dan sekaligus mengeliminasikan variabel yang tidak diteliti. Kerangka
konseptualisasinya dapat ditata sebagai penjajagan, pengembangan, mengkonstruksi teori,
mendeskripsi, atau kausalitas. Konseptualisasi tersebut dapat ditata berdasar pemikiran logik,
dan dapat pula ditata berdasar pengalaman emperik.
Sebagaimana telah dikemukakan di atas, tatafikir positivistik memfokuskan pada tatafikir
relasional, sehingga tatakonstruksi variabel hendaknya ditata demikian pula; perlu sinkron
dengan konseptualisasinya. Ragamnya dapat berupa korespondensi, kausalitas, atau interaktif.
Contoh, dari sejumlah variabel: minat, prestasi, kemampuan dasar, lingkungan keluarga,
pergaulan, dan pengalaman sukses, bila konseptualisasinya penjajagan, maka peneliti hanya
ingin tahu seberapa jauh peran masing-masing; bila hendak mengembangkan, maka peneliti
ingin menguji hasil penelitian terdahulu; bila hendak membangun teori bahwa kepribadian
merupakan kekuatan sentral akan berbeda penyusun konstruksi teorinya dengan teori bahwa
lingkungan sosial merupakan kekuatan sentral perkembangan seseorang. Bila konseptualisasinya
hendak mengetahui hubungan korespondensial saja, tidak ada risiko salah konstruksi. Berbeda
bila kita mengonsepkan bahwa sejumlah variabel dijadikan penyebab (variabel independen) dan
variabel lain menjadi dependen, bukan mustahil hasil uji emperik berbeda dengan pemikiran
rasional yang tertuang dalam kerangka konseptualisasinya. Suatu argumentasi yang kuat atau
bukti uji emperik lain diperlukan, bila kita hendak mengonstruksikan hubungan interaktif yang
mendeskripsikan urunan masing-masing variabel.
Langkah berikut setelah penyusunan kerangka konseptual adalah merumuskan
permasalahan penelitiannya. Pada umumnya kita sepakat bahwa kerja penelitian hatuslah
bermula dari adanya masalah yang hendak kita pecahkan atau uji sehingga emperik benar
(menuntut konsep positivistik). Masalah tersebut mempunyai rentangan dari persoalan yang
masih samar sampai ke proposisi yang kita sebut sebagai hipotesis atau proposisi bentuk lain
seperti proyeksi atau lainnya.
Mekanisme antara perumusan masalah, penyusunan kerangka konseptual, ataupun
pembuatan proposisi, tidaklah harus yang satu muncul lebih dahulu dari lainnya, melainkan lebih
bersifat interaktif dan saling lebih menajamkan dan menyempurnakan rumusan. Ada sejumlah
deskripsi tentang masalah dan beberapa deskripsi di antaranya dapat diketengahkan sebagai
contoh. Pertama, sesuatu menjadi masalah ketika dijumpai kesenjangan antara kenyataan dan
harapan. Angan kita mengharapkan pria dan wanita itu memiliki intelegensi yang sama, tetapi
sejumlah kasus tidak cocok dengan angan kita tersebut. Dari sini muncul masalah, yang kita
rumuskan lebih jauh menjadi hipotesis: Tidak ada perbeddan prestasi akademik antara pria dan
wanita. Kedua, sesuatu menjadi masalah ketika dijumpai kontradiksi antaremperi yang relevan.
Anak orang mampu, pandai. Logis, karena sarana untuk belajar dan dukungan lain cukup. Tetapi
mengapa juga ada anak orang mampu, bodoh? Sebaliknya juga tidak sedikit anak orang miskin,
pandai. Apa yang berperan sehingga ada yang jadi pandai, ada yang tidak? Ketiga, sesuatu
menjadi masalah ketika dijumpai tidak cocoknya teori dengan realitas, Menurut teori perilaku
sosial, partisipasi dipengaruhi oleh tingkat kesadaran. Di suatu lingkungan ternyata partisipasi
dipengaruhi oleh kerikuhan pada sanksi sosial. Keempat, sesuatu menjadi masalah ketika
konsekuensi logiknya belum diketahui atau belum dapat dipertanggungjawabkan. Berdasar
sejumlah asumsi atau postulat, populasi angkatan kerja Indonesia pada tahun 2010 akan menjadi
96 juta, misalnya. Karena itu percepatan upaya industrialisasi agar angkatan kerja sektor primer
tinggal 35%, dan sektor sekunder naik terus dari 18% menjadi sekitar 26% perlu dirancangkan
dengan teliti per subsektoralnya.
Berfikir reduktif-representatif merupakan salah satu dasar berfikir metodologi penelitian
positivistik. Memang tujuan penelitian positivistik itu nomothetik, ingin menemukan generalisasi
dan/atau hukum yang keberlakuannya bebas ruang dan waktu. Tetapi sekaligus juga ingin
bekerja efisien, tidak membuang waktu dan tenaga serta biaya yang tidak perlu, sehingga upaya

22
mereduksi kerja penelitian sekaligus tetap menjadi representatatif menjadi penting. Dalam
penyusunan desain penelitian, populasi dan sampel termasuk salah satu unsur yang perlu
dipersiapkan dengan baik.
Berfikir reduktif-representatif juga diperlukan dalam penyusunan instrumen dan/atau
perekaman data. Sifat pemarah atau pemurah tidak mungkin kita angkat dari rerata perilaku
orang sepanjang kehidupannya, sejak bangun tidtir sampai istirahat untuk tidur lagi. Mencari
pilihan waktu yang tepat untuk merekam watak tersebut tidak lain berlandaskan pola fikir
membuat reduksi tetapi representatif. Hal tersebut perlu pula dipersiapkan dengan baik.
Uji instrumentasi dan/atau uji validitas adat perlu pula dirancangkan dalam desain
penelitian. Teknik analisis, mencari makna internal dan eksternal perlu dirancangkan dalam
desain penelitian. Hal ini masing-:masing akan dibahas lebih lanjut.

E. POPULASI DAN SAMPEL


Efisiensi, itulah dasar pemikiran berbicara masalah populasi dan sampel. Populasi
merupakan keseluruhan dari siswa SD, penduduk perkotaan, mahasiswa S2, tetapi juga
keseluruhan produksi beras, keseluruhan ternak sapi, dan lain-lain. Agar efisien, orang berusaha
untuk mengambil sampel atau contoh, tetapi yang representatif, mewakili. Dalam berfikir
positivistik, dikenal dua cara pengambilan sampel, yaitu teknik random atau acak, dan teknik
purposive. Atas asumsi bahwa populasi itu homogin dengan distribusi perbedaan yang mengikuti
kurva normal, maka pengambilan sampel secara acak, akan menghasilkan kumpulan contoh yang
homogin - pula, dengan distribusi keragaman yang mengikuti kurva normal pula. Dalam
metodologi penelitian yang positivistik teknik purposive sampling digunakan bila peneliti
menduga bahwa populasinya (dilihat dari segi obyek studi yang dipilih) tidak homogin. Misal,
hendak meneliti perilaku strata sosial pada siswa SD. Dari strata sosialnya banyak
kemungkinannya tidak homogin, dan memang perlu dicari kawasan yang strata sosial siswanya
heterogen.
Unit sampel tidak hanya terbatas dalam arti individual, sejumlah siswa SD, penduduk
kecamatan, atau mahasiswa PTS. Dapat dibayangkan betapa sulitnya mengumpulkan data bila
sejumlah siswa, penduduk, atau mahasiswa yang menjadi sampel tersebut tersebar di berbagai
sekolah dan berbeda-beda kelas, di berbagai dusun dan desa, di berbagai PTS dan di berbagai
fakultas jurusan, dan program studi. Oleh karena itu. dikenal berbagai teknik pengambilan
sampel acak. Misal: secara acak dipilih beberapa SD, beberapa dusun, beberapa PTS untuk
mewakili seluruh SD, seluruh dusun, seluruh mahasiswa PTS. Dari setiap SD atau dusun atau
PTS dipilih secara acak sejumlah kelas, RT, atau program studi semester tertentu sebagai
sampel. Sampel individual disebut sampel acak sederhana, sedang pengambilan sampel lewat
penyampelan sekolah, kelas, RT, dusun, fakultas, program studi dan semester sebelum sampai ke
subyek responden disebut sampel acak berjenjang ganda (multi-stage random sampling).
Berapa banyak sampel itu hingga bisa dikatakan representatif terhadap populasinya?
Besar sampel tergantung pada beberapa hal, yaitu: (i) tipe sampel yang digunakan (sampel
sederhana, berstrata, berjenjang, dan lain-lain); (ii) spesifikasi hipotesisnya; (iii) prosentase
kemungkinan salah yang diterima, dan (iv) biaya (dalam arti waktu dan uang).
Penelitian kualitatif umumnya mengambil sampel lebih kecil, dan pengambilannya
cenderung memilih yang purposive daripada acak. Penelitian kualitatif lebih mengarah ke
penelitian proses daripada produk; dan biasanya membatasi pada satu kasus. Sejumlah peneliti
kualitatif berusaha untuk memperluas keberlakuan hasil penelitiannya dengan pengambilan
kasus sekaligus banyak, dan biasa disebut multiple-site studies atau multiplecase research.
Multiplesite studies bukan hanya menetapkan siapa yang akan diobservasi atau diwawancarai,
melainkan juga menetapkan konteksnya, kejadiannya, dan prosesnya. Konteks, kejadian dan
proses pada beragam lokasi dipilih untuk diperbandingkan. Untuk masing-masing lokasi dipilih
dengan prosedur yang sama dengan pengambilan sampel acak sederhana atau sampel acak

23
berjenjang. Misal kita hendak menelaah masalah transmigrasi, kita ambil sampel daerah asal
transmigran, daerah penerima transmigran, lokasi transmigran, dan daerah bukan pengirim dan
penerima transmigran. Misal, kita tertarik pada masalah korupsi; kita ambil sampel mereka yang
terpidana korupsi, mereka yang pensiun dengan konduite baik tanpa korupsi, subyek di luar yang
tak terkait sama sekali dengan kemungkinan korupsi.

F. DATA KUALITATIF DAN ANALISIS SELAMA PENGUMPULAN DATA


Dalam penelitian dengan pendekatan positivistik pada dasarnya menuntut instrumen
pengumpulan data yang lebih baku, lebih-lebih yang menggunakan metodologi penelitian yang
kuantitatif Pada metodologi penelitian kualitatif yang menggunakan pendekatan positivistik pada
umumnya lebih longgar terhadap instrumentasi pengumpulan data. Bertolak dari pertimbangan
tak perlu instrumen dan perlu instrumen kami ke tengahkan beberapa butir hal untuk dasar
pertimbangan. Sesuatu dasar tak terelakkan adalah metodologi positivistik mengejar produk ilmu
yang nomothetik: mencari generalisasi dan lebih jauh lagi mencari hukum-hukum. Untuk itu
bagaimanapun diperlukan data yang dapat diperbandingkan, ada parameter yang diperlukan, dan
perlu pembakuan instrumen agar dapat dibuat generalisasi. Meskipun demikian perlu disadari
bahwa dengan pembakuan instrumen, peneliti kualitatif menjadi buta terhadap situasi di
lapangan.
Dalam penelitian kualitatif dengan pendekatan positivistik umumnya lebih melihat
proses daripada produk dari obyek penelitiannya; sedangkan yang kuantitatif positivistik lebih
melihat pada produknya. Akibatnya peneliti yang sama mungkin dapat menggunakan yang
kaulitatif untuk obyek yang hendak dilihat prosesnya, dan menggunakan yang kuantitatif untuk
obyek yang hendak dilihat produknya. Dalam skopa wawasan yang lebih luas, hal tersebut akan
dibahas pada penelitian longitudinal dan cross sectional di bagian pertama im pula.
Data kualitatif yang dimaksud di bagian pertama buku ini adalah data yang disajikan
dalam bentuk kata verbal, bukan dalam bentuk angka. Data dalam bentuk kata verbal sering
muncul dalam kata yang berbeda dengan maksud yang sama, atau sebaliknya; sering muncul
dalam kalimat panjang lebar, yang lain singkat melainkan perlu dilacak kembali maksudnya; dan
banyak lagi ragamnya. Data kata verbal yang beragam tersebut perlu diolah agar menjadi ringkas
dan sistematis. Olahan tersebut mulai dari menuliskan hasil observasi, wawaneara, atau
rekaman, mengedit, mengklasifikasi, mereduksi, dan menyajikan. Mana bagian kegiatan yang
termasuk pengumpulan data dan mana yang termasuk analisis? Mana yang dikerjakan di
lapangan dan mana yang dikerjakan sesudahnya? Dua hal yang hendak ditekankan di sini
perbedaan antara yang kuantitatif dengan yang kaulitatif. Pertama, pada yang kuantitatif antara
aktivitas pengumpulan data dengan aktivitas analisis, benar-benar dituntut pilahnya secara jelas;
sedangkan pada yang kualitatif, atas karakteristik datanya yang kata-verbal menjadi memerlukan
olahan mulai dari mengedit sampai menyajikan dalam keadaan ringkas, dan dikerjakan di
lapangan. Kedua, pada yang kuantitatif dilakukan pembakuan instrumen, sehingga pemisahan
subyek peneliti dengan subyek responden merupakan keharusan; sedangkan pada yang kualitatif,
subyek peneliti harus lebih tanggap terhadap situasi di lapangan, meskipun tetap harus dijaga
pilahnya peneliti dari subyek responden.
Pada sub-bab ini akan ditelaah tentang pengumpulan data kualitatif dan teknik analisis
selama pengumpulan data. Sejumlah peneliti kualitatif berupaya mengumpulkan data berminggu,
berbulan, malahan bertahun, sesudah itu pulang kandang dengan maksud akan menganalisis
setelah meninggalkan lapangan, persis seperti yang dilakukan oleh peneliti kuantitatif. Cara
tersebut, bagi penelitian kualitatif salah, Banyak situasi atau konteks yang tak terekam dan
peneliti telah lupa penghayatan situasinya, sehingga berbagai hal yang terkait berubah menjadi
fragmen-fragmen tak berarti. Pengan demikian pekerjaan pengumpulan data bagi penelitian
kualitatif harus langsung diikuti dengan pekerjaan menuliskan, mengedit, mengklasifikasi,

24
mereduksi, dan menyajikan; yang selanjutnya penulis sebut saja sebagai analisis selama
pengumpulan data.
Sejumlah langkah analisis selama pengumpulan data kami angkat dari Miles dan
Huberman (1984).
Pertama, meringkaskan data kontak langsung dengan orang, kejadian dan situasi di
lokasi penelitian. Pada langkah pertama ini termasuk pula memilih dan meringkaskan dokumen
yang relevan.
Kedua, pengkodean. Pengkodean ini hendaknya memperhatikan setidak-tidaknya empat
hal: a) digunakan simbul atau ringkasan, seperti motivasi dengan kode mot; pertanian dengan
tan, kreativitas dengan kre, dan seterusnya; b) kode dibangun dalam suatu struktur tertentu.
Contoh: untuk kode subyek sampel dibuat kode 34205 atau 23116, di mana puluhan ribu
menunjuk kabupatennya, ribuan kecamatannya, ratusan desanya, dan 01 sampai 06 menunjuk
tokoh pemimpin formal, 07 sampai 12 menunjuk tokoh nonformal, dan 13 sampai 18 menunjuk
tokoh informal; c) kode dibangun dengan, tingkat rinci tertentu. Contoh: item yang mengungkap
sikap diberi kode S, perilaku L, valensi V, dan persepsi P; dan d) keseluruhannya dibangun
dalam suatu sistem yang integrati.f Contoh: MOTVS, KREPL, KOSPS, yang sekaligus
menunjuk item itu mengungkap motivasi atau kreativitas atau kosmopolitisme, yang
diungkapkan lewat valensinya (V), atau sikapnya (S), atau perilakunya (L), dan persepsinya (P).
Sedangkan kode dua huruf KID dan AK misalnya, dipakai untuk faktor yang ditemukan lewat
analisis faktor. Kode satu huruf, dua huruf, dan tiga huruf menjadi simbol untuk hal yang
berbeda. (Contoh kode tersebut diambil dari disertasi penulis).
Ketiga, dalam analisis selama pengumpulan data adalah pembuatan catatan obyektif.
Peneliti perlu mencatat sekaligus mengklasifikasikan dan mengedit jawaban atau situasi
sebagaimana adanya, faktual atau obyektif-deskriptif.
Keempat, membuat catatan reflektif. Tuliskan apa yang terangan dan terfikir oleh peneliti
dalam sangkut-paut dengan catatan obyektif tersebut di atas. Harap dipilahkan dan diberi kode
yang berbeda antara catatan obyektif dengan catatan reflektif.
Kelima, membuat catatan marginal. Miles dan Huberman memisahkan komentar peneliti
mengenai substansinya dengan yang mengenai metodologinya. Komentar substansial dia
masukkan ke dalam catatan marginal.
Keenam, penyimpanan data. Untuk menyimpan data setidak-tidaknya tiga hal perlu
diperhatikan: a) diberi label, b) mempunyai format yang uniform, dan memperhatikan
normalisasi tertentu, dan c) menggunakan angka indeks dengan sistem yang terorganisasi baik.
Ketujuh, analisis selama pengumpulan data merupakan pembuatan memo. Memo yang
dimaksud oleh Miles dan Riberman adalah teoritisasi ide atau konseptualisasi ide, dimulai
dengan pengembangan pendapat atau proposisi.
Kedelapan, analisis antarlokasi. Ada kemungkinan bahwa studi dilakukan pada. lebih
dari satu lokasi atau dilakukan oleh lebih dari satu staf peneliti. Pertemuan antarpeneliti untuk
menuliskan kembali catatan deskriptif, catatan reflektif, catatan marginal, dan memo
masing-masing lokasi atau masing-masing peneliti menjadi yang konform satu dengan lainnya,
perlu dilakukan.
Kesembilan, pembuatan ringkasan sementara antarlokasi. Isinya lebih bersifat matriks
tentang ada tidaknya data yang dicari pada setiap lokasi.

G. PENYAJIAN DATA
Sebelum banyak model penyajian data dari Miles dan Huberman (M&H) diketengahkan
di sini, seperti juga delapan dari sepuluh langkah diambil dari M&H, perlu penulis dudukkan
landasan filsafat kedua penulis tersebut. Dalam bukunya Qualitative Data Analysis (1984) dapat
kita telaah bahwa mereka penganut filsafat positivisme dalam metodologi penelitian. Juga
mereka jelas-jelas menyatakan : We think of ourselves as logical positivists who recognize and

25
try to atone for the limitations of that approach. Soft-nosed logical positivism, may be. Di mana
pula duduknya penulis buku ini dalam metodologi penelitian? Buku ini dimaksudkan sebagai
buku teks yang momot (akomodatif) terhadap landasan-landasan filsafat yang beragam, dan
mengharapkan para pembacanya mampu mendudukkan setiap produk penelitian dalam
proporsinya jangan menuntut sesuatu yang memang bukan karakteristik penelitian dengan
landasan filsafat yang berbeda.
M&H membantu para peneliti kualitatif positivistik dengan model-model penyajian data
yang analog dengan model-model penyajian data penelitian kuantitatif statistis, dengan
menggunakan tabel, grafik, matriks, dan semacamnya; bukan diisi dengan angka-angka,
melainkan dengan kata atau phrase verbal. Dengan narasi verbal apa yang disajikan dalam 15
sampai 20 halaman dapat diringkaskan menjadi 1 atau 1/2 halaman bentuk matriks, demikian
M&H. Bukunya Qualitative Data Analysis sajian utamanya adalah mengenai model-model
penyajian data untuk analisis kualitatif M&H dengan model-modeinya itu dimaksudkan untung
mendorong tumbuhnya kreativitas membuat modelnya sendiri-sendiri, bukan sekedar konsumen
model-model M&H. Cara penulis mengetengahkan model-model M&H juga, tidak akan
menyajikan secara langsung dari M&H, melainkan diangkat konsepnya dan bila perlu diberi
contoh lain.
M&H menyajikan 9 model dengan 12 contoh penyajian data kualitatif bentuk matriks,
gambar, atau grafik analog dengan model yang biasa digunakan dalam metodologi penelitian
kuantitatif statistik.
Model 1 adalah model untuk mendeskripsikan model penelitian. Contoh yang diberikan
M&H mirip dengan sosiogram. Untuk mendeskripsikan konteks kita dapat pula mengambil
bentuk organigram (kalau hubungan tatahirarkhi penting dalam penelitian yang bersangkutan),
atau menyajikan peta geografis, karena letaknya dapat menggambarkan interaksi spasialnya
dengan daerah lain.
Model 2 adalah model yang perlu dipakai untuk memantau komponen atau dimensi
penelitian, yang disebut dengan checklist matrix. Karena matriks itu tabel dua dimensi, maka
pada barisnya dapat disajikan komponen atau dimensinya, pada kolomnya disajikan kurun
waktunya, atau penelitiannya (bila jumlahnya lebih dari satu). Isi checklist hanyalah tanda-tanda
singkat: apakah data ada atau tidak, atau apakah data sudah terkumpul atau belum, dan
semacamnya.
Model 3 adalah model untuk mendeskripsikan perkembangan antarwaktu. Perkembangan
antarwaktu, seperti model 2 yang pada kolomya disajikan kurun waktunya. Bedanya dengan
model 3, isi tiap segmen bukan sekedar tanda check, melainkan deskripsi verbal dengan satu
kata, atau phrase; deskripsi perkembangan antarwaktu dapat pula disajikan dengan phrase
seperti semakin otoriter, mengarah ke akademik, pendapatan naik, dan seterusnya, sehingga
deskripsi perkembangan antarwaktu cukup memerlukan satu kolom saja; kolom lain dapat
difungsikan untuk mendeskripsikan hal lain.
Model 4 adalah matriks tataperan, yang mendeskripsikan pendapat, sikap, kemampuan,
atau, lainnya dari berbagai pemeran seperti siswa-pegawai-guru-kepala sekolah-penilik,
petani-pegawai-wiraswasta, dan semacamnya; kalau itu disajikan pada barisnya, maka pada
kolomnya dapat disajikan metodanya atau tekniknya, seperti lewat observasi-wawancara,
ditanyakan-tak ditanyakan, dan semacamnya. Hal yang lebih ditonjolkan dalam matriks
tataperan mungkin tataperan antarkelompok seperti di atas (siswa-pegawai-guru dan seterusnya),
dapat pula yang disajikan tataperan antarwaktu: guru pada tahun pertama, kedua dan seterusnya.
Model 5 adalah matriks konsep terklaster. Sejumlah penelitian mungkin menampilkan
sejumlah variabel yang tata hubungan logiknya tidak begitu saja dapat dijelaskan, sehingga bila
dituangkan dalam matriks baik pada baris maupun pada kolomnya nampak sebagai tak
berhubungan. Keterhubungan dapat tampak logis ketika diberi penjelasan atau diberi kriteria

26
pengklasterannya. Untuk meringkaskan berbagai hasil penelitian dari berbagai ahli yang pokok
perhatiannya berbeda, model ini dapat membantu.
Model 6 adalah matriks tentang efek atau pengaruh. Model ini hanya mengubah
fungsi-fungsi kolom-kolomnya, diganti untuk mendeskripsikan perubahan sebelum dan sesudah
mendapat penyuluhan, sebelum dan sesudah. deregulasi, dan yang semacamnya.
Model 7 adalah matriks dinamika lokasi. Melalui model ini diungkap dinamika lokasi
untuk berubah. Pada barisnya diisi tentang komponen atau fungsi; sedangkan pada kolomnya
efek jangka pendek, efek jangka panjang; atau barisnya diisi dengan hambatan dan kesulitan,
sedangkan kolomnya diisi issuesnya, bagaimana dilaksanakan, dan bagaimana dipecahkan.
Model ini berguna bagi peneliti yang memang hendak melihat dinamika sosial suatu lokasi;
tetapi memang tidak banyak penelitian yang mengungkap hal tersebut cukup sulit.
Model 8 adalah menyusun daftar kejadian. Daftar kejadian dapat disusun kronologis atau
diklasterkan.
Model 9 adalah jaringan klausal dari sejumlah kejadian yang ditelitinya. Dari deskripsi
atau sajian yang diringkaskan dalam berbagai model tersebut diharapkan agar mempermudah
kita untuk merumuskan prediksi kita. Ringkasan prediksi dapat pula disusun dalam bentuk tabel
satu dimensi. Itulah model-model penyajian hasil analisis selama di lapangan pada lokasi
tunggal. Hasil analisis tersebut nantinya perlu diadakan analisis lebih dalam lagi setelah kita
meninggalkan lapangan.
Untuk mehyajikan hasitanalisis silang antarlokasi atau antarkasus (dalam
arti antar yang terekam dari sejumlah penelitian) selama di lapangan penulis pilihkan sejumlah
model dari M&H yang tak dapat dikonsepkan langsung dari 9 model yang tersaji di atas. Penulis
sebut saja sebagai model 11 dan seterusnya. Model 11 adalah matriks konsekuensi prediksi.
Model ini diangkat dari cara berfikir multivariat, yaitu pendekatan kuantitatif statistik yang
menduga berperannya banyak variabel pada sesuatu atau beberapa sesuatu. Pada baris
matriksnya disajikan lokasi atau penelitiannya; sedangkan pada kolom matriksnya disajikan
variabel-variabelnya, dikelompokkan yang independen, yang dependen; mungkin yang
anteseden dan yang intervening. Pada masingmasing segmen diisi deskripsi verbal singkat.
Model 12 adalah model tabel kontigensi. Dengan tabel dua dimensi, masing-masing ditata dalam
klasifikasi: sangat sedang, dan kurang (entah sangat baik, sangat pandai, sangat kaya, sangat
aktif, sangat toleran, sangat terbuka, dan sebagainya). Setiap lokasi atau kasus diisikan pada
segmen yang sesuai.

H. MENARIK KESIMPULAN
Berbagai model yang diketengahkan di atas hanyalah cara untuk mereduksi data yang
dapat beratus halaman, menjadi data ringkas sejumlah kurang dari 20 halaman. Untuk
memahami yang beratus halaman perlu membacanya secara sekuensial, sedangkan untuk
membaca matriks, tabel, diagram, dan semacamnya dapat dilakukan simultan, segala hal yang
tampil sekaligus. Bagi peneliti penyusun sajian hasil analisis akan dengan cepat memahami isi
matriksnya, dan mempermudah yang bersangkutan untuk membuat kesimpulannya. Memang
tujuan berbagai model penyajian hasil analisis lebih diperuntukkan bagi peneliti dalam
menganalisis lebih lanjut. Sedangkan penyajian hasil analisis berbentuk matriks tetap akan
memerlukan waktu lama bagi pembaca untuk memahaminya, tidak akan terpaut jauh dari
membaca laporan dengan narasi verbal yang beratus halaman.
M&H menyajikan 12 siasat untuk menarik kesimpulan dengan menelaah sajian matriks,
graphik, dan semacamnya itu.
Siasat 1: menghitung. Dalam penelitian kualitatif angka hampir diabaikan. Tetapi secara
jujur harus kita akui bahwa kalau lebih banyak orang, desa, atau bank menjawab bermanfaat.
Jumlah jawaban yang banyak tersebut tak dapat kita abaikan.

27
Siasat 2: temukan pola atau tema. Dengan kemampuan berfikir Gestalt kita sering
mampu membuat loncatan menangkap karakteristik tertentu bila data ditata atau dilihat dari
dimensi tertentu; sehingga kita menemukan pola atau tema tertentu. Indikasi emperiknya tidak
tuntas, apalagi kalau digunakan siasat 1, pola atau tema tak akan ketemu.
Siasat 3: nampak cukup beralasan. Secara konvensional tak terlihat hubungan logis
antara sejumlah sesuatu; tetapi ada kemungkinan terjadi lain, dan setelah kita telaah dalam,
sepertinya cukup beralasan terjadi demikian. Berupaya mencari arti dibalik yang logis
konvensional, dan menemukan yang cukup beralasan, penting. Mahasiswa kami memperoleh
kesimpulan penelitian bahwa ibu yang kurang terdidik mempunyai balita yang lebih sehat
daripada ibu yang lebih terdidik. Menafsirkan bahwa ibu yang kurang terdidik patuh pada
petunjuk puskesmas, sedangkan yang terdidik tak acuh terhadap, petunjuk karena sudah merasa
pandai, merupakan penafsiran yang cukup beralasan.
Siasat 4: mengklasterkan. Secara konvensional kita biasa mengelompokkan berbagai
sesuatu sebagai produk industri, alat rumahtangga, hak milik, alat pendidikan, dan sebagainya.
Atas kriteria tertentu dengan melihat dimensi lain tertentu berbagai sesuatu yang lain kelompok
atau lain kelas dapat kita jadikan satu klaster. Dari klaster tersebut mungkin kita menemukan
sesuatu untuk menarik kesimpulannya.
Siasat 5: membuat metaphor. Menjelaskan teori fungsionalisme dengan menganalogikan
dengan konstruksi bangunan. Selalu mencari fihak lain yang lemah sebagai yang salah
dimetaphorkan mencari kambing hitam. Dengan metaphor kita dapat menampilkan pola atau
malahan teori.
Siasat 6: memecah variabel. Mahasiswa mengadakan penelitian dengan mengkorelasikan
dua variabel, tak terbukti. Kami minta untuk mengelompokkan item dan jawabannya pada
klaster baru yang dapat disebut sebagai subvariabel. Pembuktian pada subvariabel satu terbukti
korelat, pada subvariabel lainnya tidak. Ide ini dapat digunakan untuk menerapkan siasat 6.
Keberadaan penonton menghasilkan kesimpulan inkonklusif terhadap prestasi pemain
sepak-bola. Ketika dipecah menjadi: kecepatan menggiring bola dan ketepatan memasukkan
bola.
Siasat 7: dari yang spesifik cari idee generalisasinya. Dari suatu kejadian, bukan
mustahil kita dapat menangkap artinya pada banyak kejadian, atau malahan diduga pada semua
kejadian.
Siasat 8: memfaktorkan. Idee pemfaktoran ini diangkat dari konsep factor analysis
dalam kuantitatif statistik. Penataan dalam klaster (siasat,4) kriteria pengelompokkannya dapat
sangat beragam dasarnya. Sedangkan pada pemfaktoran kriteria pengelompokkannya lebih
mendasar, lebih kepada karakteristik esensialnya.
Siasat 9: cari relasi antar variabel. Konsep mencari relasi antarsatuan terkecil obyek
penelitian adalah konsep dasar penelitian positivistik. Inti dasar konsepnya adalah: sesuatu
variabel itu dapat digolongkan menjadi tiga, yang relevan, yang mungkin relevan, dan tidak
relevan dengan variabel lain. Fungsi penelitian positivistik adalah menguji yang mungkin
relevan untuk memperoleh jawaban: relevan atau tidak relevan.
Siasat 10: cari intervening variables. Mungkin relasi variabel A dan B kabur; ketika
Anda masukkan variabel Q, relasi A dengan B dapat menjadi lebih jelas.
Siasat 11: Konstruksikan matarantai logik antara berbagai evidensi.
Siasat 12: susunlah konsep atau teori yang koheren. Bukan mustahil konsep yang satu
mempunyai kontradiksi dengan konsep yang lain; dan bukan mustahil kontradiksinya itu intern,
antara teori operasionalisasinya. Membuat koheren adalah membuat semua konsep dalam tata
lebih rendah cocok dengan konsep dalam tata lebih tinggi.

I. KONSEP KEBENARAN: OBYEKTIVITAS, RELIABILITAS, DAN VALIDITAS

28
Dalam metodologi penelitian kita sering diperkenalkan konsep obyektivitas, reliabilitas,
dan validitas. Dasar berfikir positivistik dalam upaya mencari kebenaran dilandaskan pada besar
kecilnya frekuensi kejadian atau variansi obyek. Dalam positivisme, pengujian ketiganya
melandaskan pada dua hal tersebut, dan ketiganya dipakai sebagai ukuran apakah sesuatu
penelitian itu berkualitas tinggi atau tidak. Sesuatu penelitian dipandang obyektif, bila siapapun
dengan prosedur kerja yang sama menghasilkan kesimpulan penelitian yang sama. Reliabilitas
dapat dibedakan menjadi dua: keajegan internal dan stabilitas antarkelompok. Dengan belah dua
random atau dengan pengulangan pengukuran antarwaktu kita menguji keajegan internal atau
consistency; sedangkan dengan memperbandingkan frekuensi atau variansi antarkelompok kita
menguji stabilitas antar kelompok atau stability. Consistency dan stability adalah ragam prosedur
untuk menguji reliabilitas. Validitas adalah kebenaran. Kebenaran bagi positivisme diukur
berdasar besarnya frekuensi kejadian atau berdasar berartinya (significancy) variansi obyeknya.
Dalam penelitian kualitatif kebenaran tidak diukur berdasar frekuensi dan variansi,
melainkan dilandaskan pada diketemukan hal yang esensial, hal yang intrinsik benar. Untuk
mengejar kebenaran positivisme mengejar lewat populasi yang luas serta sampel yang
representatif. Sedangkan penelitian kualitatif mengejar kebenaran lewat diketemukan sumber
terpercaya sehingga hal yang hakiki, yang intrinsik, yang esensial dapat diketemukan.
Peralihan berfikir tentang konsep kebenaran positivistik ke konsep kebenaran kualitatif
tidaklah dapat berjalan mulus. Sementara ahli masih kacau. Pengalaman penulis sebagai
promotor disertasi mengamati hal tersebut. Dalam hal itu. penulis berupaya menjaga konsistensi
berfikir, hendak mengukur kebenaran dengan frekuensi/variansi ataukah dengan penemuan
esensial. (Mengapa tidak menyinggung skripsi S1 dan tesis S2? Karena kekhilafan berfikir pada
dataran tersebut memang masih harus kita maklumi; tetapi tidak boleh terjadi pada dataran calon
doktor).
Pada pendekatan rasionalistik, penulis memberi alternatif untuk mencari kebenaran atas
frekuensi/variansi (positivistik kuantitatif) atau mencari kebenaran lewat penemuan esensi
(phenomenologik kualitatif).
Pada pendekatan phenomenologik, yang ditulis pada bagian ketiga buku ini penulis
menyajikan perkembangan model-model kualitatif dalam upayanya mencari paradigma
kualitatif. Mulai dari keinginan mencari yang kualitatif tetapi tetap saja menggunakan paradigma
positivistik kuantitatif sampai menemukan metodologi penelitian kualitatif dengan paradigma
kualitatif Kirk & Miller dalam bukunya Reliability and Validity in Qualitative Research dari
judul bukunya pun dapat dijadikan contoh yang berupaya berkualitatif tetapi masih terjebak pada
paradigma kuantitatif. Meskipun pada isi buku tersebut dalam banyak sekali hal telah memberi
urunan bagi pembangunan fondasi yang kokohbagi paradigma kualitatif.

29
H. STUDI KASUS
PENDEKATAN KLIMK DAN GENETIK

A. ARTI STUDI KASUS


Metodologi penelitian yang diuraikan terdahulu berupaya mencari kebenaran ilmiah
dengan cara. mencari rerata dari frekuensi kejadian atau rerata dari keragaman individual.
Banyaknya kejadian atau banyaknya individu serta representasinya menjadi pertimbangan utama
untuk menetapkan kebermaknaan (signifikansi) penarikan kesimpulan.
Metodologi penelitian yang dicakup dalam judul Studi Kasus Pendekatan Genetik
berupaya mencari kebenaran ilmiah dengan cara mempelajari secara mendalam dan dalam
jangka waktu lama. Bukan banyaknya individu dan juga bukan rerata yang menjadi dasar
pertimbangan penarikan kesimpulan, melainkan didasarkan ketajaman peneliti melihat:
kecenderungan, pola, arah, interaksi banyak faktor, dan hal lain yang memacu atau menghambat
perubahan. Perubahan bagi pendekatan genetik bertolak dari asumsi bahwa sesuatu itu
berkembang dari yang elementer menjadi yang lebih sempurna; banyaknya hambatan, arah
menjadi sempurna tidak akan pernah tercapai, yang muncul adalah penyimpangan atau deviasi
perkembangan.
Studi kasus dilihat dari dimensi tertentu dapat pula disebut studi longintudinal
diperlawankan dengan studi cross sectional. Studi longitudinal berupaya mengobservasi
obyeknya dalam jangka waktu lama dan terusmenerus; sedangkan studi cross sectional berupaya
mempersingkat waktu observasinya dengan cara mengobservasi pada beberapa tahap atau
tingkat perkembangan tertentu, dengan harapan, dari sejumlah tahap atau tingkat tersebut akan
dapat dibuat kesimpulan yang sama dengan longitudinal. Untuk mempersingkat waktu penelitian
upaya lain juga muncul, yaitu: simultaneous cross sectional, di mana tahap perkembangan tidak
diambil pada subyek yang sama, melainkan pada subyek yang berbeda. Pada cross sectional
perkembangan anak dilihat pada subyek yang sama ketika dia balita, ketika dia remaja, ketika
dia dewasa, dan ketika dia lanjut usia; penelitian tersebut menjadi harus menunggu sepanjang
hidup subyek tersebut. Pada simultaneous cross sectional, untuk meneliti perkembangan, diambil
subyek yang balita, yang remaja, yang dewasa, dan yang usia lanjut; sehingga waktu penelitian
dapat dipersingkat menjadi beberapa bulan saja. Yang longitudinal dan cross sectional tersebut
beberapa ahli menyebutnya sebagai metoda, beberapa lainnya sebagai prosedur, dan ada pula
yang menyebut sebagai teknik. Semua istilah tersebut dapat saja dipakai, asal digunakan dalam
porsinya yang tepat. Bila gunakan sebagai pendekatan, maka longitudinal akan sama dengan
pendekatan genetik; dan cross sectional sama dengan pendekatan positivistik kuantitatif dan juga
positivistik kualitatif. Simultaneou cross section menjadi teknik ketika pertimbangan utama
penggunaannya adalah mencari alternatif waktu yang lebih efisien; menjadi metoda ketika, pusat
perhatiannya pada pertimbangan apakah hasilnya dapat sama baik dengan yang longitudinal, dan
seterusnya.
Studi kasus sebagai studi longitudinal oleh Horton & Hunt (1976) dibedakan menjadi
yang retrospektif dan prospektif. Studi kasus -retrospektif telah lebih awal digunakan untuk
kepentingan klinis. obyek studi ini adalah penyimpangan yang terkait ke broken home,
lingkungan miskin, perilaku sosial atau antisosial, intelegensi rendah, dan psikoneurosis. Studi
kasus prospektif mengambil obyek perkembangan normal, baik individu, kelompok, atau satuan
sosial lain seperti: kehidupan budaya, politik, lembaga kerja, atau lainnya. Studi kasus
retrospektif, desainnya selalu mengarah ke keperluan kuratif, bukan untuk keperluan penelitian
belaka. Studi kasus prospektif digunakan untuk keperluan penelitian, mencari kesimpulan, dan
diharapkan dapat ditemukan pola, kecenderungan, arah, dan lainnya; yang dapat digunakan
untuk membuat perkiraan-perkiraan perkembangan masa depan. Studi kasus untuk keperluan
klinis subyek yang menjadi obyek studi biasanya tunggal; sehingga kasus dalam hal itu berarti
kasus yang terjadi pada satu orang. Studi kasus prospektif jumlah subyeknya biasanya cukup

30
banyak, lebih dari satu orang; mungkin pula berpuluh. Apalagi kalau unit analisisnya bukan
orang, melainkan satuan tertentu, seperti petani, wiraswasta, pegawai; seperti desa X, desa Y;
urban; rural; provinsi A, provinsi B; atau malahan negara K, negara L; dan juga negara
berkembang, negara industri. Studi tentang itu, masing-masing dapat saja disebut sebagai studi
kasus. Cukup banyak ragam kemungkinan untuk memberikan label studi kasus, dan sampai
batas-batas tertentu memang cukup rasional. Hal esensial yang perlu dipegang adalah: studi
kasus itu merupakan studi yang mendalam tentang individu dan berjangka waktu relatif lama.
Sedangkan studi kasus yang “cross sectional” merupakan studi yang singkat tetapi menjangkau
populasi yang relatif lebih luas. Catatan: individu dengan tanda petik dalam pengertian di atas
sudah memasukkan konsep unit analisis sebagaimana dicontohkan di atas; dan cross sectional
dengan tanda petik ganda dalam pengertian, tanda petik pertama menunjukkan bahwa itu istilah
asing, sedang tanda petik kedua menunjuk, mengklasifikasikan penelitian positivistik kualitatif
dan kuantitatif masuk ke dalamnya, yang tidak biasa kita kerjakan.
Ada istilah yang sering rancu pemaknaannya, yaitu Ex post facto. Ex post facto adalah
suatu model studi yang prosesnya telah selesai. Sebutan ex post facto itu dapat terkait dengan
studi longitudinal; dan dapat pula terkait studi cross sectional, untuk obyek telaah yang telah
selesai prosesnya. Untuk lebih mempertaiam makna dan fungsi arti ex post facto, penulis
cenderung menawarkan penggunaan istilah ex post facto hanya untuk telaah obyek yang
prosesnya sudah final, tidak dapat diulang atau dilanjutkan pada subyek yang sama. Misal: peran
bimbingan orang tua yang anaknya telah sukses; efektivitas program setelah yang bersangkutan
lulus; kepemimpinan setelah mengundurkan diri; evaluasi kurikulum setelah kurikulum tidak
dipakai; kebijakan ekonomi setelah kebijakan tersebut diganti kebijakan lain. Penulis kurang
sependapat atas pemberian label ex post facto untuk penelitian yang prosesnya masih berlanjut,
seperti efektivitas kurikulum SMA dengan mengambil responden siswa kelas 2; kepemimpinan
pamong desa pada waktu pemimpin tersebut masih menjabat; kebijakan pendidikan yang masih
berjalan. Alasan mereka menggunakan label ex post facto untuk penelitian itu, karena yang
mereka ungkap adalah produk. Tetapi mereka lupa bahwa produk tersebut (misal dengan
responden siswa kelas 2 SMU, kepemimpinan orang yang masih menjabat, dan lainnya) pada
hakikatnya cross section dari proses yang masih berlanjut.
Ada lagi suatu teknik studi yang kita kenal dengan nama tracer study, yang kita
terjemahkan dengan studi penelusuran. Dalam terapan asalnya adalah studi ex post facto yang
bukan hanya terhenti setelah selesai mengikuti pendidikan, melainkan dilacak terus sampai yang
bersangkutan bekerja; jadi bukan berhenti pada efek langsung, melainkan dilanjutkan pada
dampak yang lebih jauh lagi. Tracer study dalam artinya yang sekarang telah - diperluas menjadi
studi longitudinal dan mengobservasi obyek untuk diungkap pola, arah, kecenderungan dalam
jangka waktu yang lama, berkelanjutan, dan terus-menerus. Dengan deskripsi tersebut tracer
study menjadi sama saja dengan pendekatan genetik atau pendekatan longitudinal. Bedanya
dengan dua yang terakhir terletak pada desain penelitiannya. Desain penelitian tracer study
mengaksentuasikan peranan waktu dalam desain dan dalam teknik analisis. Sebagian besar
teknik analisisnya berada di kawasan statistik kuantitatif; meski ada satu dua yang dapat
dimodifikasi menjadi kualitatif dengan bantuan deskripsi numerik.

B. STUDI KASUS UNTUK TUJUAN KLINIK


Studi kasus untuk tujuan klinik berbeda desainnya dengan studi kasus dalam arti umum
lebih luas. Desain studi kasus untuk tujuan klinik mencakup paling tidak 5 komponen penting
yaitu: 1) identifikasi status situasi bagi perlakuan kuratif, 2) pengumpulan data, pengujian
kemampuan indra, kesehatan, pendidikan, dan mental, serta mengadakan penelaahan
biographinya; 3) membuat diagnosis dan identifikasi faktor penyebab; 4) penyesuaian,
perlakuan, dan terapi (program rehabilitasi); dan 5) program tindaklanjut (program revalidasi).

31
Dalam perkembangannya, unit analisisnya tidak terbatas pada orangseorang, melainkan
dapat saja diperluas sehingga unit analisisnya satuan sosial tertentu. Studi kasus dengan unit
analisis orang-seorang diperlukan oleh penyuluh, pembimbing, konsultan psikologik, psikiater,
dan neorolog; sedangkan studi kasus dengan unit analisis satuan sosial tertentu diperlukan oleh
para pekerja sosial, pendidik sosial, ahli pembangunan masyarakat, dan sosiatri. Bila unit
analisisnya satuan sosial, dengan sendirinya komponen 2) di atas perlu dimodifikasi menjadi
studi derajat kesehatan, pendapatan, tingkat kriminalitas, dan hal lain yang diperkirakan relevan.
Dua wawasan baru yang perlu dimasukkan dalam mengadakan studi kasus, termasuk
tindaklanjutnya. Pertama, para pakar tidak lagi memandang bahwa setiap orang itu berperilaku
tak normal, melainkan memandang bahwa orang pada umumnya berperilaku normal;
ketidaknormalan itu hanyalah penyimpangan. Kedua, orientasi klien mendatangi pekerja sosial,
telah berkembang menjadi perlunya pekerja sosial mendatangi warga masyarakat, yang besar
kemungkinan warga tersebut tidak menyadari kesulitannya sendiri. Wawasan itu membawa
konsekuensi upaya identifikasi dan upaya membuat diagnosis dan terapinya.
Identifikasi status situasi bagi keperluan kuratif mencakup upaya-upaya: menajamkan
obyeknya, bukan pada subyeknya; menajamkan wawasan teoretik dan mampu memilih teknik
studi yang tepat; yang mau dikerjakan itu tindakan korektif atau tindakan pengembangan; dan
mengidentifikasi tingkat penyimpangan atau hambatan.
Pengumpulan data sebagai tahap kedua bagi studi kasus ini perlu diarahkan pada mencari
faktor penyebab penyimpangan untuk landasan membuat diagnosis serta membuat terapinya.
Biographi tentang sekolahnya, tentang kehidupan keluarganya, dan pergaulan sosialnya
merupakan sumber utama bagi pengujian penyimpangannya. Data tersebut perlu dilengkapi
dengan pengujian kesehatannya, kemampuannya, dan mentalnya.
Membuat diagnosis merupakan langkah ketiga bagi studi kasus untuk tujuan klinik.
Sejumlah subyek memerlukan diagnosis khusus, seperti: a) kelompok tuna mental dan tuna
daksa, b) kelompok tuna sosial, moral, dan emosional, c) mereka yang hasil belajarnya di bawah
rata-rata, dan d) mereka yang bakat latennya tidak mendapat peluang tersalur. Teknik-teknik
diagnosisnya mencakup: tes kemampuan dasar, hasil belajar, dan kepribadian; observasi
kebiasaan, sikap, dan reaksinya; menganalis pekerjaan tertulis klien; menganalisis berbagai
jawaban dan reaksi oral; wawancara, dan lainnya.
Langkah keempat dalam studi kasus ini adalah: mengadakan berbagai penyesuain,
memberikan perlakuan (treatment), dan membuat terapi. Pada tahap ini, diagnosis yang telah
dibuat diuji lagi sebeium dikenai perlakuan tertentu; menumbtihkan kesadaran pada orang tua,
ataupun pada anak untuk siap mengadakan berbagai penyesuaian itu penting. Proses terapi dari
Carl Rogers yang non-directive atau dient-centered yang digunakan, misalnya. Sampai dengan
langkah keempat pada berbagai forum penulis sebut sebagai proses rehabilitasi, proses membuat
subyek menjadi habil kembali; menjadi mampu untuk tumbuh/bertindak normal.
Langkah kelima adalah tindak lanjut, yang biasa penulis sebut proses revalidasi; upaya
menjadikan subyek menjadi valid, menjadi dapat diterima, diakui kemampuan partisipasinya,
dan diberi peluang penuh untuk berprestasi.

C. STUDI KASUS GENETIK


Studi kasus berikut adalah studi kasus untuk memahami perkembangan pribadi,
kelompok, lembaga, dan juga bukan mustahil perkembangan suatu masalah. Contoh untuk yang
terakhir: tentang perpajakan dari waktu ke waktu, status sosial ekonomi guru, proses akulturasi
nonpribumi, dan lainnya. Studi ini berjangka lama, menggunakan observasi intensif. Umumnya
data dikumpulkan dari informan dan wawancard bebas; analisis dan kesimpulan khusus berlaku
bagi kasus obyek penelitian itu sendiri. Tujuan utama studi kasus adalah memahami secara
menyeluruh suatu kasus (yang mungkin pribadi, satuan sosial, atau masalah), masa lampau dan
perkembangannya. Studi kasus genetik lebih bersifat prospektif, lebih melihat ke depan, melihat

32
kepentingan perkembangan masa depan. Skopa studi kasus pada dasarnya mencakup seluruh
siklus perkembangan obyek, tetapi dapat pula membatasi pada obyek-obyek spesifik. Studi kasus
lebih bersifat penjelajahan; kesimpulannya lebih bersifat deskriptif. Dalam studi kasus, situasi
wajar alami penting.
Desain penelitian studi kasus yang paling sederhana adalah studi kasus tunggal. Kasus
tunggal tersebut dapat dipelajari secara longitudinal atau secara simultaneous cross sectional.
subyek pada yang longintudinal tunggal; sedangkan pada yang simultaneous cross sectional
untuk setiap phase perkembangan diambil subyek yang berbeda. Yang kedua desainnya menjadi
lebih kompleks, tetapi menjadi menyingkat waktu. Desain lain dalam studi kasus adalah
digunakan teknik kelompok kontrol dan kelompok kembar. Studi kasus dalam penelitian
kualitatif banyak menggunakan teknik proyeksi, seperti mengobservasi perkembangan intelek
anak lewat lukisan yang dibuat; ekspresi spontan lewat permainan; lewat otobiographi. Untuk
perkembangan phisik secara longintudinal dicari ragam pola morphologi antar individu.
Analisis studi kasus menyangkut obyek-obyek seperti: laju perkembangan dalam arti
kecenderungan, pola, dan juga ketidakteraturan dan penyimpangan; tingkat kedewasaan, dalam
arti tampilan perilaku dan integrasinya; karakteristik pribadi: tidak ada anak yang sama, telaah
untuk melihat sifat khasnya penting; mempelajari masa lampaunya untuk membuat diagnosis dan
mencari faktor penyebab; dan memprediksikan masa depannya, membuat prognosis berdasar
asumsi stabilitas perkembangannya.
Simultaneous cross sectional dapat didesain, misalnya perkembangan bahasa pada anak:
dengan mengambil obyek anak usia balita, usia SD, usia SMP, dan usia SLA; pertumbuhan
ekonomi: mengambil daerah agraris tradisional, agraris modern, daerah industri rumah dan
tangga, daerah indutri modern.
Kelemahan metoda tersebut terletak pada konteks waktu yang tak dapat diperhitungkan.
Konteks usia SLA akan tidak sama dapat diperhitungkan; konteks SLA bagi balita subyek
penelitian akan tidak sama dengan konteks SLA yang sekarang menjadi subyek penelitian. Ada
tiga metoda untuk mengatasi itu. Pertama dengan cohort sequential method, pengamatan dilaku-
kan pada beberapa kelompok angkatan selama kurun waktu yang sama, dengan ketentuan:
Cohort yang lebih tua, mulai diamati lebih awal, dan diakhiri lebih awal pula. Kedua, dengan
time sequential method, pengamatan dilakukan terhadap beberapa angkatan selama dua kali
pengamatan sehingga memungkinkan dibuat perbandingan antarusia dan antarwaktu. Ketiga,
dengan cross sequential method, pengamatan dilakukan pada beberapa kelompok usia yang sama
pada dua waktu yang berbeda.
Catatan penulis: untuk meningkatkan kualitas hasil penelitian Studi Kasus, baik yang
klinik maupun yang genetik, penulis rekomendasikan untuk menggunakan paradigma kualitatif
daripada tetap berada dalam konteks paradigma kuantitatif. Silakan membaca bagian ketiga buku
ini.

33
III. SURVEI: PROSEDUR PENGAMBILAN
SAMPEL

A. SURVEI
Bila dibandingkan, Bagian Pertama I, II, dan III adalah sebagai berikut. Yang pertama
studi ekstensif, yang kedua intensif, sedangkan yang ketiga sangat ekstensif tetapi superfisial.
Tentang survei akan diberikan deskripsi umum sekedarnya, sedangkan penelaahan
selanjutnya lebih difokuskan pada bagian penting dari survei, yaitu prosedur pengambilan
sampel.
Survei diperbandingkan dengan studi kasus. Sampel survei sangat luas, sedangkan studi
kasus adalah studi populasi kecil. Survei bertujuan membuat generalisasi, dan sebagian malahan
untuk membuat prediksi. Generalisasi dari studi kasus terbatas pada kasus lain yang memiliki
karakteistik dan tipe yang sama. Generalisasi demikian disebut generalisasi pada parent
population-nya, bukan generalisasi yang biasa dipakai. Generalisasi yang biasa dipakai adalah
generalisasi dari studi sampel yang representatif terhadap populasinya; generalisasi ini disebut
generalisasi pada mother population-nya. (Catatan: parent di atas ditulis tanpa s). Survei lebih
bersifat cross sectional, sedangkan studi kasus merupakan studi longitudinal. Metoda
pengumpulan data pada studi kasus lebih mengutamakan penggunaan observasi, wawancara, dan
dokumentasi; sedangkan survei paling banyak menggunakan kuesioner. Studi kasus banyak
menggunakan pendekatan informal, sedangkan survei lebih banyak menggunakan pendekatan
formal. Kesimpulan kasus bersifat deskriptif, sedangkan survei bersifat inferensial.
Ada dua macam survei, yaitu: survei untuk memperoleh data dasar, guna memperoleh
gambaran umum, yang bermanfaat untuk membuat perencanaan dan kebijakan publik; dan
survei vang digunakan untuk mengungkap pendapat, sikap dan harapan publik. Yang pertama
sering kita kenal sebagai sensus, seperti sensus penduduk, sensus sosek, dan lainnya. Yang kedua
sering dipakai untuk memprediksi suara pemilih dalam pemilihan Presiden, Gubernur, anggota
Kongres, dan senat di Amerika Serikat, juga di sejumlah negara demokrasi. Yang pertama
mengungkap fakta, yang kedua mengungkap efek suka tak suka. Perlu pemahaman khusus untuk
mampu membedakan keduanya. Hal tersebut penulis uraikan secara rinci dalam buku
Pengukuran Kepribadian dan juga dalam Metodologi Riset Lanjut.

B. PROSEDUR PENGAMBILAN SAMPEL


Konsep dasar pengambilan sampel dalam survei, seperti metodologi penelitian
positivistik lainnya, adalah representativitas terhadap populasinya. Dasar pengambilan sampel
untuk survei setidak-tidaknya dapat dibedakan menjadi empat, yaitu pengambilan sampel: secara
sistematik, secara acak, dengan kuota, dan secara, purposive. Pengambilan sampel secara
sistematik berpangkal dari tertatanya populasi secara, wajar; pelanggan telepon tersusun secara
alfa-betis; orang kesepuluh (dari yang membeli, dari yang datang, dari daftar, atau alasan lain);
daftar nama tersusun urut berdasar pangkat; penghuni rumah dinas terkait dengan senioritas;
nomor urut nasabali bank sebelum dan sesudah ada sistem hadiah atau bunga harian; dan banyak
lagi contoh lain. Pengambilan sampel sistematik tersebut memang memudahkan peneliti.
Sejumlah kelemahan dari cara, itu perlu disadari. Misal susunan nama alfabetis di Indonesia
nampaknya didominasi huruf awal S; daftar pelanggan telepon sudah bias menjadi sampel
golongan menengah ke atas. Banyak hal lain yang perlu dipertimbangkan. Pengambilan sampel
secara acak, dari konsep positivistik, paling ideal. Kesulitannya adalah pengambilan keputusan
apakah memang homogin sehingga dapat dipakai sebagai sampel secara acak. Kadang-kadang
sesuatu yang diperkirakan homogin acak, ternyata telah tersusun sistematik. Untuk survei
pendapat, pengambilan sampel dengan kuota lebih dominan. Penetapan kuota ataujatah atau
target sekian responden menjadi dasar lain yang dapat dipakai untuk dasar pengambilan sampel.
Bila pada populasinya terdapat kelompok-kelompok seperti: usia, etnik, sosek, atau lainnya,

34
dalam penetapan kuota sering dikaitkan dengan kelompok tersebut, sehingga ada semacam kuota
untuk masing-masing. Untuk menyebut quota sampling itu juga stratified sampling perlu
penjelasan lebih eksplisit tentang karakter penstrataannya. Dasar pengambilan sampel yang
keempat adalah cara purposive. Pada populasi yang nampak homogin dengan mata peneliti yang
tajam tampak heterogenitas yang terjadi secara, sistematik. Misal: daerah subur penduduknya
lebih kaya dari daerah tandus; rasa aman etnik kadang menumbuhkan kecenderungan untuk
mengelompok dalam daerah hunian yang sama; yang pergi ke pasar swalayan beda dengan yang
pergi ke pasar tradisional; yang masuk PTN prestisius cenderung yang berkualitas baik, campur
yang kaya dan miskin; yang masuk PTS prestisius cenderung yang ekonomik mampu, campur
yang kualitas baik dan kualitas kurang.
Dari dasar-dasar pengambilan sampel tersebut penulis menawarkan penggunaan prosedur
pengambilan sampel berjenjang ganda. Tahap I disampel areanya (misal: dari sekian kabupaten,
dari sekian sekolah, dari sekian kampung, dari sekian bank) dipilih beberapa daripadanya; cara
memilih dapat secara acak, sistematik, atau secara purposive. Tahap 2 disampel satuan
kelompoknva (misal: dari sekian desa, dari sekian kelas, dari sekian RT, dari sekian bagian)
dipilih beberapa daripadanya; cara memilihnya dapat acak, sistematik, atau kuota. Tahap 3
disampel respondennya (dari sekian penghuni desa, dari sekian siswa di kelas, dari sekian kepala
rumah tangga, dari sekian karyawan) dipilih beberapa daripadanya; cara memilihnya dapat
secara acak, dapat berdasar kuota, atau semua jadi responden.
Khusus untuk pemilihan subyek ada empat metoda seleksi. Pertama, ambil yang
langsung dapat diperoleh. Mendatangi desa langsung mewawancarai yang sedang senggang dan
ketemu; mendatangi sekolah, langsung menggunakan siswa dari kelas yang tak ada pelajaran;
mewawancarai pekerja pabrik, langsung yang dapat diwawancarai; dan seterusnya. Kedua, ambil
kesempatan yang memudahkan. Untuk mengambil responden dari berbagai daerah, diambil
responden ketika ada rapat kerja, seminar, kongres, atau lainnya yang bersifat nasional. Ketiga,
pilih sampel yang bukan ... Petunjuk yang bukan dimaksudkan agar sampel tidak menjadi bias.
Mewawancarai tentang etos kerja jangan ambil yang penganggur, jangan ambil yang belum
bekerja. Kehidupan rumah tangga, jangan ambil yang bukan suami-istri untuk diwawancarai.
Keempat, sampel diambil dari mereka yang secara sukarela mau menjadi sampel; usaha aktif
datang dari sampel itu sendiri. Kuesioner dilampirkan dalam surat kabar atau majalah; pembaca
yang berminat aktif menyediakan diri untuk menjawab. Pada praktiknya keempat prosedur
pengambilan sampel tersebut dikombinasikan. Hal tersebut harap diangkat idenya saja. Pilihan
tergantung kreativitas peneliti.

C. PENGEMBANGAN DESAIN SURVEI


Karena banyaknya ragam hal yang perlu dipertimbangkan, desain survei tidak mudah
untuk dapat disusun sekali jadi; perlu ditelaah kembali berdasar penjajagan, sebelum final untuk
dipakai survei. Pokok komponen yang perlu secara berulangkali direvisi adalah: unit analisisnya,
jumlah wawancaranya, lama wawancara, dan biaya. Dari keempat komponen tersebut bisa
menambah atau mengurang atas berbagai pertimbangan, untuk representativitas, signifikansi,
dan untuk pertimbangan biayanya.
Pertanyaan-pertanyaan yang perlu terjawab dalam penyusunan desain survei ada lima,
dan hal yang perlu dirancangkan ada empat.
Pertanyaan tersebut, pertama: berapa banyak sampel yang akan-diambil, hal ini terkait
pada luasnya populasi, jumlah biaya yang tersedia, keragaman populasi, dan sifatnya yang
superfisial. Karena sifatnya yang suporfisial, tuntutan menjangkau sampel yang representatif
tetapi kecil jumlahnya perlu ditemukan teknik pengambilan sampel yang tepat. Pertimbangan
yang mengarah ke acak berstrata, jenjang ganda, sistematik, atau multipurpose lebih direko-
mendasikan.

35
Pertanyaan kedua adalah pengambilan distribusi sampel pada populasi. Hal praktis
penting yang perlu menjadi dasar pertimbangan adalah: a) mudahnya mendapatkan asisten
peneliti di lokasi penelitian, b) kemampuan mensupervisi kegiatan di lapangan, c) kemungkinan
kelompok penganalisis sekaligus penyusun laporan final, d) biaya perjalanan antarlokasi, dan e)
kemungkinan keragaman sampel: mungkin terkonsentrasi, mungkin menyebar. Yang terakhir
nampaknya perlu penjelasan. Keragaman etnik di Indonesia menyebar di berbagai pulau di
Indonesia; sedangkan keragaman etnik di Jakarta, terkonsentrasi dalam kota Jakarta saja.
Kampung Kauman terkonsentarsi penganut agama Islam; di kawasan tertentu terkonsentrasi
etnik Cina. Masalah tersebut perlu terjawab dan tertuang dalam desain.
Pertanyaan ketiga menyangkut penetapan unit sampel. Banyak manfaatnya untuk
menampilkan sampel dalam beberapa jenjang/tahap/strata atau semacamnya. Misal: mengklaster
unsur sampel atas dasar portimbangan geografis akan banyak menghemat biaya.
Pertanvaan keempat berkait dengan teknik seleksi responden. Telah diketengahkan
tentang empat metoda seleksinya; sehingga tak perlu diulang lagi di sini.
Pertanyaan kelima menyangkut prosedur estimasi. Para pakar survei cenderung
menyarankan penggunaan desain survei yang kompleks (berstrata, berjenjang, dan lain-lain),
bukan desain sederhana, yang langsung mengambil sampel secara acak. Dalam metodologi
penelitian kuantitatif, estinlasi dari desain sederhana cukup didasarkan pada rerata dan proporsi;
dalam metodologi yang sama, estimasi dari desain kompleks memerlukan metoda ratio dan
regresi. Dalam metodologi penelitian kualitatif, sejunilah pakar menyarankan penggunaan
self-weighing. Berikan argumentasi mengapa unit sampel ditata dalam strata atau jenjang atau
dalam sistimasisasi lain.
Empat hal yang perlu dirancangkan dan dimasukkan dalam desain. Pertama pertama,
merancang dan menguji kuesioner yang akan dipakai; kedua merancangkan ketenagaan, latihan
dan supervisinya; ketiga, merancangkan agardiperoleh dan dijaga kerjasama dengan responden;
dan keempat, memilih saat yang tepat untuk survei.
Dalam merancang kuesioner dua hal perlu dijawab: bagaimana responden dijangkau
(dengan pos, lewat wawancara perorangan atau kelompok, dan lain-lain) dan spesifikasi data
yang ingin diperoleh. Bila spesifikasinya cukup dapat dijawab dengan ya atau tidak dan jumlah
item tidak banyak, mungkin responden dapat dijangkau lewat telepon. Dalam merancang
ketenagaan, perlu terjawab lebih dahulu tingkat keterlibatan yang diharapkan dari tenaga
lapangan itu. Kualifikasinya berbeda antara pengumpul data kuesioner yang tertutup dengan
yang terbuka; lebih-lebih yang memerlukan wawancara. Juga berbeda lagi bila pekerja lapangan
juga dilibatkan pada pengelolaan data awal, dan lain lagi bila dilibatkan dalam analisis final.
Untuk memperoleh kerja sama dan terjaganya kerja sama itu perlu ditimbang kata
pengantar kuesioner, pengembalian kuesioner dengan perangko berlangganan, dirahasiakannya
identitas responden, ada penghargaan berupa souvenir kenangan atau ucapan terima kasih, ada
sponsor lembaga terhormat, dan banyak lagi kemungkinannya. Memilih saat yang tepat, misal:
mewawancarai petani pada musim panen tidak tepat, survei pendapat tentang kriminalitas di saat
banyak pelanggaran hukum itu tepat; pembinaan olah raga ketika prestasi kita melorot itu tepat.
Catatan penulis: Model kuantitatif penulis pertimbangkan masih lebih kokoh untuk digunakan
bagi penelitian survei menjangkau populasi sangat luas dengan sampel kecil, asal teknik
pengambilan sampelnya tepat.

36
IV. CONTENT ANALYSIS
A. ARTI CONTENT ANALYSIS
Content analysis berangkat dari aksioma bahwa studi tentang proses dan isi komunikasi
itu merupakan dasar bagi semua ilmu sosial. Pembentukan dan pengalihan perilaku dan polanya
berlangsung lewat komunikasi verbal. Kebudayaan dan pengalihannya di sekolah, di lembaga
kerja, di berbagai institusi sosial berlangsung lewat komunikasi. Konflik sosial atau politik yang
mungkin berpangkal dari kepentingan yang berbeda tukar dapat difahami; komunikasi verbal
dapat membantunya. Content analysis merupakan analisis ilmiah tentang isi pesan suatu
komunikasi, demikian Barcus. Secara teknis content analysis mencakup upaya: a) klasifikfsi
tanda-tanda yang dipakai dalam komunikasi, b) menggunakan kriteria sebagai dasar klasifikasi,
dan c) menggunakan teknik analisis tertentu sebagai pembuat prediksi.
Deskripsi yang diberikan para ahli sejak Janis (1949), Berelson (1952) sampai Lindzey &
Aronson (1968) yang dikutip Albert Widjaja dalam disertasinya (1982) tentang content analysis
menampilkan tiga syarat, yaitu: obyektivitas, pendekatan sistematis, dan generalisasi. Analisis
harus berlandaskan aturan yang dirumuskan secara eksplisit. Untuk memenuhi syarat sistematis,
untuk kategorisasi isi harus menggunakan kriteria tertentu. Hasil analisis haruslah menyajikan
generalisasi; artinya, temuannya haruslah mempunyai sumbangan teoretik; temuan yang hanya
deskriptif rendah nilainya. Satu syarat lain yang diperdebatkan adalah perlu tidaknya data
dikuantifikasikan. Diakui, data kuantitatif dapat memberikan deskripsi lebih jelas, 30% menolak
lebih jelas daripada kurang dari separo yang menolak. Beberapa membedakan antara yang
kuantitatif dengan yang numerik; deskripsi yang diperlukan cuma numeriknya, demikian Kaplan
dan juga Goldsen. George dan juga Kraucer menyatakan bahwa content analysis kualitatif lebih
mampu menyajikan nuansa dan lebih mampu melukiskan prediksinya lebih baik.
B. INFRASTRUKTUR
Carney (1972) mengetengahkan komponen dalam analisis isi dalam tatasusunan sebagai
berikut. Ada problim, yang perlu dikonsultasikan kepada kerangka acu teoretik. Perlu diuji
validitas metoda yang digunakan serta perlu ditetapkan sampelnya, dengan hasil akhir berupa,
kategori-kategori dan unit-unit rekaman dan konteks. Menyusun dalam unit-unit perlu format
terbakukan. Unit rekaman adalah berbagai sesuatu yang perlu dihitung, mungkin berupa kata,
tema, atau interaksi. Unit konteks merupakan suatu, karangan yang di dalamnya terdapat unit
rekaman; sedangkan unitkonteks memberikan makna dari karangan itu. Menghitung dalam arti
kuantitatif memang didasarkan pada frekuensi, sedang dalam arti kualitatif menyangkut
pemaknaan dan mencari arti, diangkat dari intensitas kejadiannya. Carney membandingkan
content analysis tipe klasik dengan yang berorientasi teoretik.
Tabel: Perbandingan Dua Infrastruktur ”Content Analysis”
Tipe ”Content Analysis”
Rinci Infrastruktur
Tipe Klasik Tipe Oritentasi Toret
Unit rekaman kata tema
Unit konteks kalimat bab
Hitung via frekuensi (intensitas)
Text dalam satuan besar dalam satuan kecil
Sampel jenjang ganda purposive
Tujuan deskripsi isi yang dimanifestasikan membuat inferensi
berdasarkan isi laten
Bentuk pembandingan untuk direk indirek
menjangkau data
Kriteria untuk norma induktif dari data data luar teoretik

37
Pembandingan yang penulis kerjakan pada tokoh-tokoh contentanalysis, kita peroleh
rentangan landasan fikiran dari yang positivistik kuantitatif (Berelson, 1952), positivistik
kualitatif (Holsti, 1969), yang positivistik mengakomodasi yang kualitatif di samping yang
kuantitatif (1981), sampai yang mendorong ke pengembangan yang naturalistik (Guba, 1985)
dan ke interaksi simbolik (Krippendorff, 1980). Dari tipe content analysis yang disajikan oleh
Carney (1972) tersebut di atas, kita melihat tipe klasiknya mempunyai tanda-tanda menggunakan
landasan berfikir positivistik, menggunakan frekuensi dan penyampelan jenjang ganda;
sedangkan pada tipe orientasi teoretik ada tanda-tanda mengarah ke landasan lain, yaitu:
rasionalistik (menggunakan kriteria konsep teoretik) dan phenomenologik (mencari arti lewat
intensitas, bukan frekuensi; dan pengambilan sampel secara purposive). Penulis menyebut ada
tanda-landa itu berarti bahwa penetapan landasan filosofik tidak hanya ditangkap dari
tanda-tanda, melainkan juga berdasar telaahan lebih dalam. Tetapi memang sampai saat ini
masih ada yang menggunakan content analysis yang landasannya positivistik. Oleh karena itu
uraian tentang content analysis penulis masukkan ke bagian pertama.
Untuk mendeskripsikan content analysis yang positivistik kualitatif penulis angkat
pendapat-pendapat yang dikemukakan oleh Holsti. Holsti mengetengahkan lima ciri content
analysis. Pertama, teks perlu diproses dengan aturan dan prosedur yang telah dirancangkan.
Kedua, teks diproses secara sistematis; mana yang termasuk dalam suatu kategori, dan mana
yang tidak termasuk ditetapkan berdasar aturan yang sudah ditetapkan. Ketiga, proses
menganalisis teks tersebut haruslah mengarah ke pemberian sumbangan pada teori; ada relevansi
teoretiknya. Keempat, proses analisis tersebut mendasarkan pada deskripsi yang
dimanifestasikan. Kelima, bagaimanapun content analysis haruslah menggunakan teknik-teknik
kuantitatif
Catatan penulis : Dengan ditulisnya bagian kelima, sebaiknya para pembaca
memperbandingkan content analysis ini dengan bagian kelima tersebut. Penulis lebih
menganjurkan untuk meninggalkan content analysis dan menggantinya dengan salah satu dari
model-model yang ditelaah di bagian kelima.

38
BAGIAN KEDUA
METODOLOGI PENELITIAN
KUALITATIF
RASIONALISTIK

METODOLOGI PENELITIAN
KUALITATIF
RASIONALISTIK

A. BERFIKIR RASIONALISTIK
Berfikir rasionalistik yang kami maksud adalah berfikir bertolak dari filsafat
rasionalisme, bukan sekedar berfikir menggunakan rasio. Rasionalisme sebagai filsafat ilmu
merupakan lawan langsung dari positivisme. Menurut positivisme, semua ilmu itu berasal dari
emperi sensual; sedangkan menurut rasionalisme, semua ilmu itu berasal dari pemahaman
intelektual kita yang dibangun atas kemampuan argumentasi secara logik, bukan dibangun atas
pengalaman empiri, seperti positivisme. Perlu kami tambahkan, ilmu yang dibangun berdasarkan
rasionalisme menekankan pada pemaknaan emperi; pemahaman intelektual kita dan
kemampuan berargumentasi secara logik perlu didukung dengan data emperik yang relevan, agar
produk ilmu yang melandaskan-diri pada rasionalisme memang ilmu, bukan sekedar fiksi.
Bukti perkembangan ilmu sosial menunjukkan bahwa ilmu sosial tidak maju pesat antara
lain karena membatasi diri dari berfikir positivistik: emperi yang diakui sebagai benar, hanya
emperi yang indriawi atau sensual. Pengetahuan kita kehilangan makna, atau ilmu kita tak
mampu memaknai indikasi emperik yang kita hayati.
Filsafat ilmu positivistik telah banyak memberikan landasan kemajuan yang dramatik
kepada masyarakat manusia selama berabad-abad, tetapi sekarang ini kehilangan
pemahamannnya yang paling dalam.
Ada beberapa kritik keras terhadap positivisme yang dilancarkan oleh rasionalisme.
Pertama, kita tidak perlu mempertajam pembedaan antara analisis dengan sintesis. Kita
tidak perlu mempertajam pemilihan tahap pengobservasian dengan tahap teori. Proses
analisis-sintesis dan proses induksi-deduksi itu berlangsung terus-menerus, terjadi secara.
reflektif selama kita berada di lapangan ataupun ketika kita menuangkannya dalam laporan
penelitian. Antara emperi dan kemampuan intelektual kita memberikan pemaknaan itu sama
pentingnya, kalau tidak dapat dikatakan bahwa kemampuan pemaknaan lebih penting.
Positivisme lebih mementingkan emperi sensual dan mengabaikan pencarian makna dibalik yang
sensual, akibatnya hasil-hasil penelitian ilmu sosial menjadi kehilangan makna.
Kedua, fakta itu momot teori, dalam istilah para ahli filsafat ilmu disebut fakta itu
theory-laden. Fakta sebagai fakta menjadi tidak-ada artinya dan tidak terpahami manusia, kecuali
diberikan pemaknaan berdasar teori tertentu. Positivisme terlalu mengunggulkan fakta
fragmentarik. Memang fakta itu penting demi menjamin hasil ilmu (ilmu sosial maksud kami)
agar memiliki relevansi yang tinggi dengan emperi, karena bila tidak ada relevansi dengan
emperi, ilmu (sosial) hanya akan menjadi fiksi, bukan ilmu.
Ketiga, bukan semua argumentasi dan pemaknaan itu justifikasi. Berargumentasi dan
memberikan makna perlu dibedakan antara konteks penemuan dengan konteks justifikasi,
menurut istilah Dudley Shapere. Berargumentasi dan memberikan makna yang selalu didahului
dan diikuti uji emperi secara terus-menerus merupakan upaya berfikir rasionalistik;
berargumentasi dan memberikan pemaknaan dengan postulat atau aksioma yang diterima apriori
merupakan upaya berfikir justifikasi. Bagi positivisme, semua argumentasi dan pemaknaan tanpa
bukti emperi sensual akan dimasukkan ke dalam justifikasi; bagi rasionalisme emperi itu lebih
dari yang sensual saja.

39
Keempat, realitas itu bukan hanya yang sensual; sinar laser itu realitas, ruang angkasa itu
realitas, konteks ilmu dari peninggalan piramida Mesir itu realitas, jarak sekian juta tahun cahaya
itu realitas, 9 milyar langkah per detik dalam kerja komputer itu realitas. Tetapi realitas-realitas
tersebut tidak mudah terhayati secara sensual; pengetahuan teoretik kita yang mampu
menangkap dan memahami emperi tersebut. Oleh karena itu di atas emperi sensual ada emperi
logik atau emperi teoretik. Lebih lanjut rasionalisme juga mengakui tentang penghayatan
manusia mengenai nilai baik-buruk; manusia mampu menghayati sesuatu emperi itu sebagai
layak, patut, bermoral, atau tidak. Diperbandingkan dengan positivisme, rasionaiisme mengenal
tiga realitas, yaitu: emperi sensual, emperi logik atau teoretik, dan emperi etik; sedangkan
positivisme hanya mengakui realitas emperi sensual. Positivisme hanya mengakui realitas emperi
sensual. Kesamaan positivisme dengan rasionalisme dari segi ontologi adalah: keduanya
menganut faham monisme mengena, realitas, yaitu: realitas itu tunggal. Bedanya: positivisme
hanya mengakui emperi sensual; sedangkan rasionalisme meskipun mengakui realitas itu
tunggal, tetapi mengakui adanya perspektif realitas, yaitu: realitas dalam prespektif sensual,
dalam perspektif logik-teoretik, dan dalam perspektif etik.

B. KONSEPTUALISASI TEORETIK PENTING


Metodologi penelitian kualitatif positivistik, seperti juga metodologi penelitian
kuantitatif, mengajarkan, kepada kita tentang perlunya merancangkan penelitian atas obyek yang
eksplisit teramati dan terukur. Sedangkan tata fikir yang digunakan terbatas pada sejumlah tata
relasi seperti korelasi, hubungan kausal, dan hubungan interaktif yang saling mempengaruhi.
Eksplisit dalam terapannya menjadi menyederhanakan atau lebih jauh lagi memparsialkan
masalahnya, terlepas dari konteksnya. Memparsialkan yang paling menyedihkan adalah
membuat tata relasi terbatas pada dua variabel saja; menjadi lebih sedih lagi ketika tata relasi
tersebut ditampilkan dijudul menjadi studi korelasi dan disajikan sebagai hipotesis dengan
pernyataan ada hubungan positif antara................., dan selanjutnya dibuat kesimpulan penelitian
ada korelasi yang signifikan antara............., tanpa memberikan makna yang lebih jauh.
Kesemuanya itu terjadi hanya karena didikte oleh teknik analisis yang dikuasainya. Isi skripsi
atau tesis yang nyata-nyata didikte oleh teknik analisis dan bukan hanya mempengaruhi judul,
hipotesis, dan kesimpulan penelitiannya dapat kami ketengahkan contohnya. Teknik uji t-test
digunakan untuk uji perbedaan dalam teknik analisis metodologi penelitian kuantitatif, yang juga
berperan pada teknik analisis metodologi penelitian kualitatif yang menggunakan pendekatan
positivistik. Karena teknik analisis yang dikuasai hanyat-test maka judul skripsi atau tesisnya,
hipotesisnya, dan kesimpulannya dirumuskan ada perbedaan prestasi akademik antara pria dan
wanita, misalnya. Menjadi lebih mengecewakan karena secara konseptual teoretik (sebelum
penelitian) mahasiswa menyusun skripsi atau tesis tersebut tidak menampilkan argumentasi
teoretik mana yang prestasi akademiknya lebih tinggi. Teori atau kajian pustaka yang ditulisnya
tidak menampilkan bukti-bukti terdahulu dan konsep-konsep serta argumentasi yang menyatakan
bahwa salah satu dari pria atau wanita mempunyai prestasi akademik lebih tinggi. Bila konsep
teori atau hasil kajian pustaka menyatakan bahwa tidak ada perbedaan prestasi akademik antara
pria dan wanita, bukankah pernyataan tersebut sudah sesuai dengan jiwa emansipasi. Dengan
demikian tidak ada masalah, sehingga menjadi tidak memenuhi syarat untuk diteliti. Sementara
kita merasa bangga mampu menampilkan 10 masalah, merumuskan menjadi 10 hipotesis, dan
menguji simpulkan dalam 10 kesimpulan. Yang penting bukan 10-nya melainkan ada tidaknya
makna yang dapat diperaskan dari 10 masalah menjadi satu atau tiga masalah yang tertata dalam
tata konstruksi tertentu. Bila ada tata konstruksi yang baik, hasil penelitian tersebut pada
waktunya dapat dipakai untuk memberikan urunan pada penyusunan suatu teori, atau malahan
dapat dipakai untuk membangun suatu teori.
Memparsialkan obyek penelitian dengan ekses-eksesnya (teknik analisis mendikte judul,
hipotesis, kesimpulan, dan juga teori; dan lebih jauh tidak adanya tata konstruksi pemikiran kita)

40
menjadikan penelitian dengan metodologi penelitian yang menggunakan landasan filsafat
positivisme, baik yang ditampilkan dalam metodologi penelitian kualitatif maupun yang
ditampilkan dalam metodologi penelitian kuantitatif telah menghilangkan atau setidak-tidaknya
mengkaburkan makna lebih dalam dari berbagai studi, termasuk studi ilmu sosial. Itu perlu kita
sadari, dan perlu kita cari jalan pemecahannya yang lebih mendasar, yaitu perlu
diperkembangkan kemampuan konseptualisasi teoretik, bukan sekedar memparsialkan obyek,
melainkan melihat kesatuan holistiknya.

C. PERLUNYA GRAND-CONCEPTS SEBAGAI LANDASAN PENELITIAN


Dari uraian. di atas nampak ekses-ekses dari memparsialkan studi dengan
memvariabelkan obyek penelitian yang dieliminasikan dari konteksnya. Epistemologik,
metodologi penelitian dengan pendekatan positivistik memang menuntut obyek yang
dispesifikasikan, dieliminasikan dari obyek lain; dan pada dasarnya disertai asumsi bahwa obyek
lain (yang biasa disebut variabel) dalam keadaan tak berubah. Epistemologik, metodologik
penelitian dengan pendekatan rasionalistik menuntut sifat holistik, obyek di teliti tanpa
dilepaskan dari konteksnya; paling jauh diteliti dalam fokus atau aksentuasi tertentu, tetapi
konsteksnya tidak dieliminasikan. Sifat holistik yang dituntut oleh pendekatan rasionalistik
adalah digunakannya konstruksi pemaknaan atas emperi sensual, logik, ataupun etik.
Argumentasi dan pemaknaan atas emperi (tertnasuk hasil-hasil penelitian terdahulu) menjadi
penting sebagai landasan penelitian kualitatif berlandaskan pendekatan rasionalisme.
Seperti juga metodologi penelitian berlandaskan positivisme, metodologi penelitian
berlandaskan rasionalisme juga mengejar diperolehnya generalisasi atau hukum-hukum baru,
sehingga ilmu yang diperkembangkan dengan metodologi penelitian berlandaskan rasionalisme
juga termasuk ilmu nomotlietik. Bedanya yang positivistik bertolak dari obyek spesifik,
sedangkan yang rasionalistik bertolak dari grand-concepts, yang mungkin sudah merupakan
grand theory, tetapi juga. tidak ditolak kemungkinannya belum menampilkan teori besar, tetapi
masih merupakan konsep besar.
Konstruksi teori itu dibangun dari konseptualisasi teoretik; sebagai hasil pemaknaan
emperi dalam arti sensual, logik, ataupun etik. Semua itu dibangun dari berbagai ragam konsep.
Proposisi atau. pendapat dikonstruksikan dari sejumlah konsep. Konsep mendeskripsikan esensi
dari sejumlah sesuatu. Ciri esensial dari sapi mendeskripsikan sapi; ciri esensial kuda
mendeskripsikan kuda. Ciri nonesensial dapat menumbuhkan tumpang tindih konsep antara sapi
dengan kuda. Warna putih pada kuda merupakan ciri nonesensial. Bagi anak umur 2 tahun
melihat kuda putih, dia sebut sapi; dan sapi cokelat ketua-tuaan dia sebut kuda. Mengapa
demikian? Konsep yang tersusun dalam alam pikirannya: sapi berwarna putih, dan kuda
berwarna cokelat. Sedangkan ciri warna tersebut nonesensial.
Hipotesis, tesis, teori, danjuga asumsi, postulat, dan aksioma adalah proposisi-proposisi
bentuk lanjut yang dikonstruksikan dari banyak konsep. Konsep (dengan meminjam istilah
Spahere) kami pilahkan menjadi dua, yaitu: konsep eksistensial dan konsep ideealisasi. Konsep
eksistensial lebih mendeskripsikan emperi atau phenomena, seperti merah, kuning, putih, atau
ungunya bunga. Konsep black tulip atau anak manis atau masyarakat press yang
bertanggungjawab adalah konsep idealisasi. Konsep ideealisasi memang lebih banyak diwarnai
oleh pandangan moral manusia, tetapi juga banyak konsep idealisasi yang tumbuh dari
konseptualisasi teoretik ilmuwan bertolak dari indikasi emperik. Konsep eksistensial dibangun
dari generalisasi bukti emperik. Sedangkan konsep idealisasi dapat dipilahkan menjadi dua, yaitu
konsep yang dibangun atau konsep teoretik yang dibumbui oleh indikasi emperik (konsep
tentang ruang angkasa, sinar laser tahun 1940-an, teori relativitas dari Einstein) dan konsep yang
dibangun dari pandangan moralitas manusia tentang learning society, tentang masyarakat
Pancasila.

41
Dengan tata fikir tertentu, dua konsep atau lebih dapat dikonstruksikan menjadi
proposisi, hipotesis, tesis, asumsi, postulat, aksioma, ataupun teori. Dilihat dari segi strukturnya,
teori sekaligus dapat mengandung berbagai hal dari yang disebut lebih dahulu. Teori seharusnya
mengandung sejumlah tesis dan postulat atau aksioma. Beberapa bagian dari teori diisi dengan
hipotesis, asumsi, dan bukan mustahil proposisi-proposisi. Teori itu mungkin merupakan
abstraksi dari phenomena dan maknanya, mungkin simplifikasi daripadanya, atau mungkin
ideealisasi daripadanya. Proposisi yang masih berupa pendapat itu merupakan hasil
mengkonstruksi sejumlah konsep yang sifatnya lebih pribadi atau lebih khusus keberlakuannya.
Proposisi yang telah menjadi tesis merupakan konstruksi sejumlah konsep yang mendeskripsikan
pendapat yang lebih publik, yang kebenarannya diakui oleh lebih banyak fihak.

D. RAGAM TATA FIKIR LOGIK


Metodologi penelitian dengan pendekatan positivistik mendudukkan tata fikir logik relasi
menjadi dominan, kalau tidak dapat dikatakan itu saja yang dikenalnya. Tata fikir relasi yang
dimaksudkan adalah tata fikir korelasi, tata fikir sebab-akibat, dan tata fikir relasi timbal-balik
atau interaktif Metodologi penelitian dengan pendekatan rasionalistik mengenal tata fikir logik
lain di samping tata fikir relasi. Kesemua tata fikir logik yang diperkenalkan di bawah ini
merupakan alat yang dapat menjadi pilihan yang terbuka, yang satu dengan yang lain dapat
dikombinasikan untuk mengkonstruksikan sejumlah konsep menjadi proposisi, hipotesis,
postulat, aksioma, asumsi, ataupun untuk menkonstruksi teori.
Kami mencoba menghimpun dan mengklasterkan sejumlah tata fikir logik. Kriteria
pengklasteran konsisten untuk setiap klaster; dengan menggeser dimensi kriterianya mungkin
sekali sesuatu istilah dipindahkan ke klaster lain, atau disusun klaster baru dengan sejumlah
istilah yang tersebar dalam banyak klaster menjadi satu klaster. Karena itu klaster yang kami
tampilkan jangan disebut sebagai taksonomi, cukuplah disebut klaster tata fikir logik. Keter-
batasan jangkauan teoretik kami memungkinkan jumlah istilah dalam sesuatu klaster dapat terus
ditambah; di samping tetap mungkin ditampilkan klaster-klaster baru. Untuk memudahkan, kami
berikan nama klaster dengan menggunakan alfabet dari A, B, dan seterusnya. Nomen
klaster-kiaster berikut mengubah nomen klaster yang pernah kami sajikan dalam suatu forum
penataran metodologi penelitian; kesemuanya itu dengan maksud agar membantu
penggunaannya secara lebih mudah; di samping juga ditambahkan sejumlah istilah dan
dipertajam pemaknaan masing-masing istilahnya.
KLASTER A: Proses pemikiran kita sering mengikuti pola fikir genetik atau pola fikir historik
atau pola fikir proses perkembangan; lawan dari pola fikir sistematik atas hakiki substansinya.
Pola fikir genetik memaknai berbagai sesuatu bertolak dari asumsi bahwa segala sesuatu itu
berkembang dari yang lebih elementer ke yang lebih sempurna. Perlu menjadi perhatian bagi
pengguna pola fikir genetik ini, untuk tidak selalu mengartikan yang lebih kemudian pasti lebih
sempurna; karena mungkin merupakan perkembangan yang menyimpang, mungkin dalam
involusi (terjadi penurunan kualitas secara terusmenerus), atau kemungkinan lain.
Tata fikir dalam klaster ini setidak-tidaknya dapat dikemukakan: (1) Pola fikir
evolusioner, yaitu pola fikir yang memaknai segala sesuatu itu berkembang, dan melalui proses
panjang dalam arti waktu, di dalamnya ada proses tumbuh, adaptasi, seleksi, dan persaingan;
dalam telaah makro: adaptasi dan sebagainya itu dalam arti perkembangan ontogenesa mengikuti
perkembangan philogenesanya; dalam arti mikro perkembangan evolusioner adalah perkem-
bangan fungsi intern dalam ontogenesanya sendiri. Dekat dengan pola fikir tersebut adalah (2)
pola fikir historik, di mana pemaknaan perkembangan dalam kaitan dengan waktu di masa
lampau menjadi dominan. Pola Fikir lain yang mengkait pada waktu adalah pola fikir prediktif,
yang dapat dibedakan menjadi: (3) pola fikir prediktif linier, yaitu memperkirakan
perkembangan berikut mengikuti perkembangan linier yang lampau, dan (4) pola fikir antisipatif.
Pola fikir antisipatif mengakui tentang perkembangan yang linier terduga, dan tak terduga.

42
Dalam memprediksi masa depan pola fikir antisipatif memasukkan idealisme, harapan
perkembangan dengan yang secara aktif menciptakan kondisi agar perkembangan masa depan
sesuai harapannya. Pola fikir antisipatif secara aktif membangun kondisi dan mengidealkan
perkembangan ke masa datang. Pemaknaan antisipatif lebih dalam akan dibahas di klaster J. Pola
fikir genetik yang berikut (5) pola fikir kontekstual. Dalam pemaknaan genetik, pola fikir
kontekstual melihat keterkaitan atau berpadunya perkembangan masa lampau-kini-mendatang.
Pemaknaan lebih dalam, dan juga ragam pemaknaan akan dibahas di klaster J dan klaster B.
Sesuatu pola fikir baru yang genetikjuga yaitu (6) pola fikir morphogenetik. Pola fikir ini
mengakui bahwa perkembangan itu dapat berlangsung kualitatif dan kuantitatif, serta dapat
berlangsung berkelanjutan (seperti pola A, 1 dan 2) dan dapat tidak berkelanjutan. Pola fikir
morphogenetik dalam klaster A ini dengan dikombinasikan pola fikir klaster lain dapat dipakai
untuk membangun grand-theory atau untuk dasar sistematisasi ulasan kita.
Teori evolusi dari Darwin mengikuti pola fikir genetik, khususnya pola evolusioner; teori
genetik dari Mendel menjelaskan proses perubahan perkembangan biologik; teori perkembangan
sejarah dari Toynbee mengikuti hukum kesejarahan, berarti mengikuti pola fikir ini, yaitu: teori
evolusi dan teori rekonstruksi sejarah. Cara berfikir Alvin Toffler dan juga Daniel Bell didomi-
nasi oleh pemikiran antisipatif. Studi perbandingan agama-agama Semitik sangat tepat disajikan
dalam pola fikir genetik ini.
KLASTER B: Pola fikir yang disajikan dalam klaster ini juga banyak berpengaruh pada
pembentukan grand-theory atau menjadi pola sistematisasi ilmu pengetahuan.
Pola fikir tersebut (1) pola fikir sistematik. Berdasar ciri hakiki obyek ilmu diadakan
klasifikasi yang satu sama lain dapat ditampilkan eksplisit. Tampilan eksplisit yang sering kita
kenal seperti: taksonomi, yang malahan telah berkembang menjadi salah satu subdisiplin biologi.
Juga taksonomi kognitif dari Bloom merupakan contoh lain. Tetapi taksonomi afektif dari
Krathwohle, tidak tepat disebut taksonomi. Terapan sistematisasi juga muncul dalam sistematika
ilmu ekonomi mikro menjadi makro; yang makro dipusatkan pada analisis pendapatan nasional,
yang mikro dipusatkan pada teori harga. Ilmu pendidikan diklasifikasikan menjadi faktor subyek
didik, pendidik, tujuan, dan konteks pendidikan.
Pola berfikir berikut (2) pola fikir fungsional. Bukan esensi substansi yang menjadi fokus
perhatian fungsionalisme, melainkan esensi fungsi yang diperankannya. Grand-theory yang
berlandaskan pada konsep fungsionalisme seperti aliran sosiologi fungsionalisme struktural dari
Merton. Teori fungsionalisme juga muncul sebagai teori substantif kepemimpinan dalam
psikologi sosial; peran aktual seseorang menetapkan status seseorang. Pola fikir fungsionalisme
juga muncul sebagai grand-theory sosiologi aliran interaksionisme pula.
Pola fikir berikut adalah (3) pola fikir pragmatik. Sesuatu itu menjadi berharga bila ada
kegunaannya. Kalau seleksi hal yang perlu dipelajari pada yang pertama didasarkan ciri hakiki
obyek telaah; pada yang kedua didasarkan peran fungsionainya, sedangkan pada yang ketiga
didasarkan pada urgensi.
Perbedaan antara yang fungsional dengan yang pragmatik terletak pada yang pertama
lebih kepada peran strukturainya, yang kedua lebih kepada peran tujuannya. Grand-theory
pendekatan teknologik dalam pendidikan berada di antara pola fikir pragmatik dan pola fikir
fungsional.
Pola fikir berikut adalah (4) pola fikir kontekstual dalam artinya yang sempit. Pengertian
kontekstual dalam arti yang empit adalah pola fikir yang mementingkan kekinian, kondisi atau
situasi masa kini. Itu kita masukkan dalam klaster ini karena kontekstual tersebut dalam seleksi
hal (masalah)nya menggunakan kriteria peran fungsional atau kepentingan kini. Harap
diperbedakan jelas arti kontekstual dalam klaster B ini dengan yang disajikan dalam klaster A
dan J.
Pola fikir berikut adalah (5) pola fikir elektik. Inti pemikiran dari pola ini adalah
dipilihnya semua yang terbaik. Dari aliran manapun, dari filsafat manapun, dari teori manapun,

43
asal lebih baik dari lainnya, itulah yang dipilih. Cara terbaik untuk mengembangkan penggunaan
eklektisisme misalnya dalam pendekatan multidisiplin ataupun interdisiplin dengan sejumlah
kriteria seperti: (a) dapat diintegrasikan, (b) dapat dioperasionalkan, (c) valid by level, artinya:
diakui validitas konsep atau temuan itu oleh disiplin ilmunya sendiri. Yang dimaksud dengan
multidisiplin adalah sesuatu disiplin ilmu secara tunggal mengembangkan ilmunya dengan
memanfaatkan konsep dan temuan disiplin lain; sedangkan yang dimaksud dengan interdisiplin
adalah sejumlah disiplin ilmu yang bekerja bersama untuk kepentingan tertentu.
Pola fikir berikut adalah (6) pola fikir utopik. ideealisasi sesuatu sebagai yang diharapkan
sebagai sesuatu yang perlu dijangkau, sesuatu yang dicitakan tetapi mungkin tidak dapat
terjangkau, seperti salah satu aliran sosialisme. Tetapi sejumlah utopi yang dilandaskan misalnya
pada konsep teoretik ilmu mungkin akan dapat menjadi realitas di masa depan. Cerita Flash
Gordon lebih merupakan utopi atau malahan fiksi untuk tahun 1937; tetapi menjadi sesuatu yang
dilihat mungkin sesudah Perang Dunia ke-2, dan malahan telah menjadi realitas sejak tahun
1970-an. Konsep learning society itu merupakan utopi etik dalam lingkungan pendidikan.
Dapatkah itu dicapai atau tidak, wallahua’lam. KLASTER C : Klaster pola fikir yang
dikelompokkan di sini memiliki ciri sentral bergerak dari kutub statika ke kutub lain dinamika.
Akan diurutkah dari statika. elementer ke dinamika elementer, berkembang kembali ke statika,
tetapi lebih kompleks ke dinamika lebih kompleks pula.
Pola fikir tersebut mulai dari (1) pola fikir struktural. Sesuatu itu duduk menurut
fungsinya, seperti fungsi fondasi, tiang, dan atap pada rumah; peran masing-masing sudah pasti
dan tidak dapat saling menggantikan.
Pola fikir berikut (2) pola fikir mekhanistik. Ada interdependensi antara fungsi satu
dengan yang lain. Komponen-komponen pada mobil tidak dapat saling menggantikan. Bukan
mustahil suatu organisasi kantor ditata dengan pola fikir mekhanistik, meskipun
pengorganisasian demikian nampak naif Kesemuanya tertutup dalam satu sistem, yang pilah dari
yang di luarnya.
Pola fikir berikut adalah (3) pola fikir organik. Cara berfikir ini antara lain ditampilkan
oleh Herbert Spencer dalam sosiologi. Masyarakat dianalogikan dengan organisme hidup: ada
interdependensi antarorgan, setiap organ menjalankan fungsinya sendiri; gangguan pada organ
satu mempengaruhi keseluruhan; terdapat sifat berkembang, yang pada dasarnya berlangsung
linier berkelanjutan. Seseorang yang menjadi buta, memerankan pendengaran dan perasaannya
lebih baik.
Berbeda dengan pola fikir berikut, yaitu (4) pola fikir psiko-dinamik atau sosio-dinamik,
yang sifat berkembangnya dapat menjadi tak terduga; interdependensi lebih terbuka, dalam arti
ada kemungkinan saling menggantikan, atau setidak-tidaknya terjadi komplementasi bila ada
organ yang tak berfungsi. Grand-theory yang mengikuti pola ini misalnya: teori konflik dalam
sosiologi, teori psikodinamik dalam psikologi.
Pola fikir berikut adalah (5) pola fikir interaktif Mungkin sulit untuk menata dalam
hierarki mana yang lebih kompleks dengan derajat yang lebih tinggi antara pola keempat dengan
kelima ini. Setidak-tidaknya: pada yang keempat, satu fihak saja yang aktif sedangkan pada yang
kelima, kedua fihak saling aktif. Interdepedensi dalam pola interaktif terkait erat dengan
intensitas aksi kedua belah fihak. Grand-theory yang mengikuti pola fikir ini muncul seperti
teori interaksionisme dalam sosiologi, teori aksi sosial dari Talcot Parson, dan teori
interaksionisme dalam psikologi. Grand-theo’ry dialektika dari Hegel ataupun Karl Marx dapat
dimasukkan pada yang mengikuti pola fikir interaktif.
Pola fikir selanjutnya dalam klaster ini adalah (6) pola fikir sistemik. Pola fikir ini
bertolak dari asumsi bahwa segala sesuatu itu merupakan jaringan interaksi interdependen, ada
interdependen dalam arti aktivitas, sekuensi atau tataurutan, waktu, dan hasil. Upaya penataan
managerial nampak dominan dalam pola fikir sistemik. Pada tahun 1970-an sampai medio
1980-an pola fikir sistemik tersebut dominan dalam banyak disiplin ilmu, yang kita kenal

44
sebagai pendekatan sistemik. Menurut hemat kami pendekatan tersebut bagus sekali, hanya saja
sebagian dari para ahli nampak menggunakannya secara berlebihan, segalanya disistemkan.
Pola fikir yang kami dudukkan berikut adalah (7) pola fikir sinergik. Dari segi waktu
idee pola fikir ini mendahului atau malahan mengilhami idee berfikir sistemik; kami dudukkan
lebih kemudian karena interdependensi pada pola fikir keenam masih bersifat mekhanistik,
sedang pola yang ketujuh sudah lebih organis/hidup. (Kami beri tanda petik, karena tokoh-tokoh
pendekatan sistemik sebagian akan menolak cap mekhanistik tersebut).
Pola fikir pada klaster A, B, dan C tersebut di atas banyak berpengaruh dan diterapkan
untuk membangun grand-theory, grand-concepts ataupun sebagai pendekatan klaster D, E, F,
dan G berikut ini lebih banyak berpengaruh pada pembentukan ontologi metodologik disiplin
ilmu.
KLASTER D: Pola fikir dalam klaster ini menyajikan ragam istilah yang mendeskripsikan
kedudukan pernyataan-pernyataan yang dibuat orang. Apakah pernyataan itu lebih
mendeskripsikan tangkapan dia tentang realitas ataukah lebih mendeskripsikan realitas itu
sendiri.
Pola pertama adalah (1) pola fikir perseptif Realitas itu ada sebagaimana yang
dipersepsikannya, sebagaimana yang dia tangkap. Ragamnya akan dipengaruhi oleh pandangan
filsafatnya, sehingga apa yang dipersepsikan itu: a) ada yang memandangnya sebagai ilusi yang
tidak ada senyatanya, b) ada yang memandangnya sebagai realitas menurut dia dengan mengakui
realitas menurut orang lain; ini berarti memandang bahwa realitas itu ganda, dan c) yang
memandang bahwa persepsi itu memang menyatakan tentang realitas yang ada, dan tunggal.
Pola fikir berikut adalah yang mengakui bahwa pernyataan itu mendeskripsikan realitas
phenomena sebagaimana adanya, yang pilah dari persepsi subyektif subyek. Pola berfikir
tersebut kami sebut dengan istilah (2) deskripsi. Bedanya dengan yang pertama, yang kedua
memilahkan obyek dari subyek, sedangkan yang pertama, subyek masih campur dengan obyek.
Pola fikir berikut adalah (3) penafsiran. Pernyataan yang dibuat membawa campurnya kembali
subyek. Bedanya dengan yang pertama, yang pertama masih sensual superfisial, sedangkan pada
yang ketiga ini campurnya subyek karena ketajaman fikir manusia untuk mampu menangkap di
balik yang sensual atau superfisial. Menafsirkan untuk mencari arti dibalik yang tersurat.
Pola fikir berikut, yaitu (4) pola fikir mencari makna atau membuat pemaknaan. Mencari
makna merupakan upaya untuk menangkap dibalik yang tersurat, tetapi juga mencari makna
yang tersirat serta mengaitkan dengan hal-hal terkait yang sifatnya mungkin logik-teoretik,
mungkin etik, mungkin transendental. Untuk memahami lebih jauh tentang yang terakhir harap
dibaca klaster G. Kategori persepsi menjadi: yang ilusi, yang ganda, dan yang tunggal tersebut
dapat pula dipakai untuk mengadakan kategorisasi deskripsi, penafsiran, dan pemaknaan. Seperti
misalnya pandangan ontologik positivisme dan rasionalisme bahwa realitas itu tunggal;
phenemenologik yang memandang realitas itu ilusi merupakan contoh-contoh dari penggunaan
pola fikir tersebut di atas.
KLASTER E: Pada pola klaster D, kategorisasi realitas dilihat dari segi produk pernyataan
subyek. Pada klaster E ini realitas dilihat dari perwujudannya. Untuk itu kami tampilkan pola
fikir yang melihat perwujudan itu sebagai: (1) wujud aksidental, (2) wujud aktual, dan (3) wujud
esensial. Positivisme memandang bahwa perwujudan yang ada itu ada yang aktual dan
aksidental, yang mempunyai arti hanya yang aktual; rasionalisme dan phenomenologi
memandang ada ketiga perwujudan itu, tetapi yang berarti hanyalah yang esensial; skeptisisme
memandang bahwa semua perwujudan itu aksidental, dan realitas itu hanya ilusi. Perujudan
aksideentai itu adalah perwujudan yang keberadaannya itu kebetulan dan sementara. Perwujudan
aktual itu ada sebagai realitas pada fungsi atau peran tersebut; keberadaannya terkait pada
berperan dan berfungsinya sesuatu; bila sesuatu itu tidak berfungsi atau berperan perwujudan
aktual tak akan muncul. Perwujudan esensial itu ada melekat pada ciri hakiki dari sesuatu; dan
menjadi ada selama sesuatu itu memang ada.

45
KLASTER F: Dilihat dari segi tujuan, realitas itu dapat dipilahkan menjadi dua, yaitu: (1) yang
instrumental, dan (2) yang substansial. Pemilahan yang instrumental dan substansial itu banyak
dipakai oleh para ahli untuk mengembangkan pemikiran sesuatu. Karena itu keduanya kami
sebut pula sebagai pola fikir. Pola fikir instrumental melihat realitas sesuatu sebagai medium
atau sarana atau alat untuk mencapai sesuatu tujuan. Sedangkan pola fikir substansial
memandang bahwa realita itu merupakan tujuan itu sendiri. Membaca bagi anak SD memang
berfungsi untuk membaca; tujuan substansialnya memang mampu membaca. Membaca cepat
bagi siswa SMA merupakan tujuan instrumental, sedang tujuan substansialnya menguasai
berbagai ilmu pengetahuan. Mengikuti pola fikir John Dewey, yang filosof, bahwa sesuatu
tujuan itu merupakan means (alat) untuk mencapai sesuatu ends (tujuan), yang pada gilirannya
sesuatu ends akan menjadi means untuk mencapai ends lain berikutnya. Bagi Talcot Parsons
adaptasi merupakan tujuan instrumental untuk mencapai eksistensi sebagai tujuan substansial.
KLASTER G: Filsafat positivisme hanya mengakui kebermaknaan ilmu itu yang berlandaskan
pada pengalaman sensual; rasionalisme mengakui kekuatan fikir manusia untuk memberikan
makna pada lingkungan dan pada diri manusia; sedangkan Phenomenologi Edmund Husseri
mengakui kebenaran transendental. Dengan demikian dunia ilmu mengenal adanya empat
emperi, yaitu: (1) emperi sensual, (2) emperi logik, (3) emperi etik, dan (4) emperi transendental.
Phenomena dari emperi-emperi tersebut berupa: fakta sensual atau gejala yang tertangkap indria
bagi emperi sensual, realitas logik bagi emperi logik, moralitas atau nilai-nilai budaya manusia
sebagai emperi etik, dan keimanan sebagai phenomena emperi transendental.
Sekali lagi kami kemukakan, klaster D, E, F, dan G merupakan klaster yang dipakai paira
ahli untuk menampilkan konsep ontologik tentang realitas. Karena itu dapat digunakan untuk
mengevaluasi atau mengkonstruksikan teori ontologi. klaster H, 1, dan J berikut ini merupakan
ragam metoda berfikir yang memberi ciri esensial epistemologik yang dianut oleh disiplin ilmu
tertentu atau dianut oleh pendekatan filsafat ilmu tertentu.
KLASTER H: klaster H ini menjadi ciri esensial epistemologik dari semua metodologi
penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan. Pola fikir tersebut sebagai berikut:
Yang pertama adalah (1) pola fikir deduktif, yaitu berfikir dari konsep abstrak yang lebih
umum ke berfikir mencari hal yang lebih spesifik atau konkret. Pola fikir deduktif ini menguasai
ilmu pra-teknologi Islam dan pra-IPA di Eropa. Pola fikir tersebut sampai kini pun masih
berpengaruh pada sejumlah studi yang menuntut untuk selalu bertolak dari premis mayor atau
postulat-postulat yang biasa dikenal sebagai studi dogmatik, pada sejumlah agama.
Pola fikir berikut adalah (2) pola fikir induktif, yaitu pola fikir yang berawal dari emperi
dan mencari abstraksi. Pola fikir induktif dinyatakan dipakai oleh metodologi penelitian
berlandaskan phenomenologi, dan memberi cap yang positivistik itu cenderung deduktif
Menurut hemat kami keduanya termasuk ke dalam yang menggunakan pola-fikir induktif
Keduanya membangun ilmunya dari emperi; bedanya, yang phenomenologi membangun dari
emperi yang sedang ditelitinya, sedang positivisme membangun ilmu dari emperi yang sedang
ditelitinya dan dari emperi penelitian terdahulu.
Pola fikir berikut adalah (3) pola fikir reflektif, yaitu berfikir yang prosesnya
mondar-mandir antara yang emperik dengan yang abstrak. emperi yang kasus dapat saja
menstimulasi berkembangnya konsep abstrak yang luas; dan menjadikan mampu melihat
relevansi emperi pertama dengan emperi-emperi lain yang tertnuat dalam konsep abstrak baru
yang dibangunnya. Mondar-mandirnya berfikir reflektif itu tidak hanya berlangsung antara yang
emperik dengan yang abstrak; dikaitkan dengan berfikir antisipatif, merefleksi tersebut dapat
merefleksi wawasan masa lampau-kini-mendatang tak linier; dikaitkan dengan pola fikir lain di
klaster akan kita jumpai pola makna reflektif yang jauh lebih luas. Metodologi penelitian
kualitatif yang rasionalistik yang disajikan di Bagian Kedua mengikuti pola fikir refiektif.
Kemampuan menangkap makna dari emperi kasus mcnjadi abstraksi lebih bermakna didudukkan
penting dalam metodologi penelitian rasionalistik. Peran emperi dalam metodologi penelitian

46
rasionalistik adalah untuk menjamin relevansi emperik dari konseptualisasi teotetik, agar produk
ilmunya bukan fiksi, melainkan menampilkan kemampuan manusia menangkap makna paling
dalam dari berbagai phenomena.
Pola fikir keempat dalam klaster ini adalah (4) pola fikir verstehen, intuitif, yang
prosesnya lebih banyak tidak terpantau tetapi produk pemikirannya diakui valid dan berkualitas
tinggi; emperik relevan.
KLASTER I: klaster ini juga menjadi ciri esensial episternologik metodologi penelitian,
khususnya dalam arti produk yang hendak dihasilkan dari penelitiannya.
Pola fikir pertama adalah: (1) pola fikir kategorik. Asumsi dasarnya adalah bahwa segala
sesuatu itu dapat dikelompok-kelompokkan dan dapat dipilahkan satu dari yang lain. Kriteria
kategorisasi tersebut dapat saja diangkat dari pola fikir sistematik, pola fikir fungsional, atau pola
fikir lain tersebut pada klaster B, tetapi juga tidak mustahil secara kreatif-inovatif diangkat dari
klaster lain.
Pola fikir kedua adalah (2) pola fikir idiographik, yaitu tiada kesamaan antara sesuatu
dari sesuatu lain karena beda waktu dan konteks. Abstraksi yang dibasilkan oleh pola kedua ini
adalah deskripsi spesifik kasus dalam kaitan waktu dan konteks; sedangkan pola fikir kategorik
menghasilkan kategorisasi abstrak dari phenomena yang diharapkan dapat berlaku umum bebas
waktu dan konteks.
Pola ketiga adalah (3) pola fikir tipologik, yang merupakan modifikasi dari pemikiran
kategorik. Asumsi dasarnya adalah abstraksi bahwa karakteristik umum dan mutlak beda itu
tidak ada; yang ada adalah kemiripan karakteristik yang batas bedanya tak pasti atau berlaku lola
atau pattern dalam keragaman. Misal teori kepemimpinan otoriter, demokratik, dan laissezfaire
pada konsep lama adalah kategorik, pada konsep lebih baru menjadi tipologik, artinya: tidak ada
kepemimpinan yang murni demokratik, yang ada adalah kecenderungan demokratik dengan
nuansa otoriter, yang lain dengan nuansa laissez faire, misalnya.
Pola fikir berikut adalah (4) generalisasi. Semua upaya keilmuan yang dikerjakan oleh
pakar yang menggunakan pola fikir generalisasi bertolak dari asumsi bahwa phenomena beragam
antarkasus, antarkonsteks, dan antarwaktu, tetapi dapat ditarik ciri esensial umum; sehingga
suatu kerja ilmiah dipandang lebih berbobot bila mampu menampilkan generalisasi atau
penarikan kesimpulan umum yang keberlakuannya lebih tahan lama. Pola fikir idiographik
bertolak dari pandangan ontologik bahwa realitas itu ganda, terkait pada waktu. dan konteks;
sedangkan pola fikir generalisasi bertolak dari pandangan ontologik bahwa realitas itu tunggal,
berlaku sepanjang sejarah hidup manusia dan di manapun.
Pola fikir berikut adalah (5) pola fikir nomothetik. Pola fikir ini adalah pengembangan
lebih lanjut dari pola fikir generalisasi tetapi juga mencari hukum-hukum atau prinsip-prinsip
yang mampu diterapkan sepanjang waktu dan dalam konteks manapun. Dalam pengembangan
mencari kesimpulan umum, secara induktif ataupun reflektif dapat ditempuh lewat dua cara.
Pertama, mengumpulkan karakteristik khusus yang cukup dan representatif dan ditarik
kesimpulan umum. Itulah yang disebut dengan generalisasi. Kedua, menemukan karakteristik
esensial pada satu kasus, dilanjutkan menemukan karakteristik esensial yang lebih umum dari
dua kasus, tiga kasus, dan seterusnya. Kesimpulan yang dibuat dengan cara ini disebut
kesimpulan generative.
KLASTER J: Pola dasar berfikir dalam klaster ini adalah bagaimana keterkaitan antara
phenomena, termasuk pemaknaannya. Asumsi dasar pola klaster ini, bahwa sesuatu mempunyai
keterkaitan dengan sesuatu lain.
Pola fikir pertama adalah (1) pola fikir linier, yaitu berfikir mengikuti alur fikir garis
lurus. Sesuatu yang terjadi demikian di masa lampau akan terjadi demikian pula di masa
mendatang. Keragaman kejadian tetap dapat diprediksikan dari rerata kejadian di masa lampau.
Pola fikir kedua adalah (2) pola fikir interdependen atau interaktif. Pola fikir ini
memaknai keterkaitan bukan menunjuk yang satu sebagai sebab, yang satu lainnya sebagai

47
akibat, tetapi mengakui adanya pengaruh timbal balik. Sehat dan makan bergizi tinggi menjadi
sehat, menumbuhkan selera makan lebih baik, dan seterusnya.
Pola fikir berikut adalah (3) pola fikir multilinier, yang mengakui bahwa sesuatu tidak
dapat dimaknai dalam hubungannya dengan sesuatu lain, tetapi dilihat keterkaitannya dengan
banyak. sesuatu yang interdependen atau interaktif. Sehat, makan bergizi mempunyai kaitan pula
dengan belanja cukup, suasana bahagia, lingkungan sehat, keluarga harmonis, dan banyak lagi.
Mana penyebabnya? Multisebab; dan beberapa terapan teknis bukan hanya multi sebab, tetapi
multiintedependen atau multi- interaktif Pola fikir keempat adalah (4) pola fikir vertikal. Dasar
pandangan pola fikir ini, bahwa segala sesuatu itu dapat dikategorisasikan dan selanjutnya dapat
ditunjuk mana yang implisit dan mana yang eksplisit. Kemampuan mengadakan analisis, penting
dalam penerapan pola fikir ini. Ada semacam keterhubungan antara berfikir sistematik (klaster
B) berfikir kategorik (klaster I) dan berfikir vertikal. Pola fikir berikut adalah (5) pola fikir
hierarkik. Tatahubungan vertikal yang implisit dan eksplisit dikembangkan menjadi tatahierarkik
lebih tinggi dan lebih rendah. Contoh paling jelas untuk ini adalah taksonomi dalam biologi.
Taksonomi biologi mengadakan sistematisasi sekaligus kategorisasi dan penataan hierarkik
berbagai macam tumbuhan.
Pola fikir keenam adalah (6) pola fikir horizontal. Keterbiasaan kita pada upaya
sistematisasi, kategorisasi, dan penataan hierarkik, mengakibatkan kita sering sulit
mengembangkan kemampuan berfikir horizontal. Meloncatkan pemikiran kita dari kategori satu
ke kategori lain, dari kasus emperik yang memiliki abstraksi berbeda menuntut kemampuan
non-konvensional. Berfikir begini juga kami sebut berfikir lateral.
Pola fikir ketujuh dalam klaster ini adalah (7) berfikir divergen, yaitu berfikir yang
menjelajah ke luar dari yang konvensional yang konvensional di sini dalam arti berfikir seperti
lazimnya, baik ketika berfikir linier, interdependen, multilinier, vertikal, atau hierarkik.
Perbedaan antara pola fikir horizontal dengan berfikir divergen memang tidak terlalu tajam;
hanya saja pada berfikir divergen lebih banyak terjadi loncatan-loncatan pemikiran, dan sifat
inovatif lebih menonjol.
Pola fikir kedelapan adalah (8) pola fikir heterarkhik. Kebiasaan kita menata berbagai
sesuatu dalam tata-hierarkik, ada hubungan vertikal, ada yang implisit dan eksplisit dalam
kategori lain; itu kebiasaan berfikir kita. Kemampuan berfikir horizontal, dikembangkan lebih
lanjut menjadi kemampuan berfikir heterarkhik. Dalam berfikir heterarkhik bukan sekedar
mensejajarkan berbagai sesuatu sebagai sederajat setingkat, melainkan harus mampu men-
deskripsikan keterhubungan bermakna. Bagaimana menyusun sistematik berbagai substansi
dalam sesuatu disiplin tidak dalam tatahirarkik, melainkan tataheterarkhik. Itu tuntutan yang
cukup sulit, bagi kita yang terbiasa berfikir linier, vertikal, dan sejenisnya.
Pola Berfikir berikut adalah (9) pola berfikir sekuensial. Dilihat dari substansinya, pola
fikir sekuensial termasuk berfikir horizontal, yaitu mampu meloncatkan pemikiran kita dari
kategori satu ke yang lain, dari kasus dalam abstraksi satu ke kasus dalam abstraksi yang
berbeda. Bedanya dengan yang horizontal atau lateral adalah: pada yang horizontal sekeuensial
kemampuan meloncatkan pemikiran itu telah masuk unsur divergen (yang kreatif inovatif),
heterarkhik (menangkap makna keterhubungan non-konvensional), dan mampu bergerak bebas
secara reflektif antara yang konkret dari satu kategori ke yang abstrak dari kategori berbeda.
Pola fikir kesepuluh dalam klaster ini adalah (10) pola fikir antisipatif. Dalam
pemaknaan klaster A, pola fikir antisipatif dijelaskan berbedanya dengan prediksi; pada prediksi
kita berfikir linier, sedangkan pada antisipatif kita masukkan ideal isme kita, harapan kita, upaya
penciptaan kondisi, sehingga yang terjadi di masa depan bukan sekedar linier dari kejadian,
melainkan sudah masuk penciptaan kondisi, menjadi lebih sesuai dengan harapan kita. Dalam
antisipasi ada ketajaman pemaknaan idealisasi rasional-logik, etik, dan/atau transenden. Setelah
diuraikan pola fikir interdependen, multilinier, divergen, heterarkhik, dan sekeunsial, maka
makna antisipatif dalam klaster J ini lebih dieksplisitkan dari yang diuraikan dalam klaster A.

48
Karena itu makna antisipatif secara eksplisit mengandung unsur kemampuan menampilkan yang
tak terduga, yang ideal sekaligus logik, etik, transenden valid, dan inovatif-kreatif.
Pola berikut adalah (11) pola fikir kontekstuil. Dalam klaster B, kontekstual diartikan
sebagai situasional; sebagian kita memaknai demikian, dan sebagian kita tidak setuju pemaknaan
kontekstual sebagaimana kami maknakan di klaster A, yang akan kami lengkapkan di klaster J
ini. Terapan pemaknaan kontekstual dalam klaster A seperti teori medan (field-theory) dari Kurt
Lewin. Dalam klaster J ini makna kontekstual akan dikembangkan lebih lanjut.
Kontekstual dapat pula diartikan keterhubungan antara yang sentral dengan yang perifer.
Studi Al-Qur’an secara kontekstual menurut hemat kami adalah mendudukkan nash Qur’an dan
Hadits sebagai yang sentral dan terapan masa lampau-kini-dan mendatang sebagai perifernya.
Karena itu, makna kontekstuai dalam studi Islam yakni, mendudukkan yang teks pada
sentralnya, sedangkan konteksnya pada perifer. Kami tidak sependapat pemaknaan studi Islam
kontesktual menjadi memaknai Qur’an dan Hadits disesuaikan dengan situasinya. Pemaknaan
keterhubungan yang lampau-kini-mendatang serta yang sentral dan perifer dalam pola fikir
kontekstual menjadi mengembangkan kemampuan pemaknaan keseluruhan dari pola fikir dalam
klaster J ini. Kemampuan berfikir antisipatif menjadi implisit, seperti juga menjadi implisitnya
yang divergen, yang heterarkhik, yang sekuensial ke dalam yang antisipatif.
Sekali lagi penulis kemukakan bahwa klaster H, I, dan J merupakan ragam metoda
berfikir yang memberi ciri esensial epistemologik yang dianut disiplin ilmu tertentu atau
pendekatan filsafat ilmu tertentu. Klaster K dan L berikut ini dapat digunakan untuk membantu
menyusun keseluruhan bangunan konsepnya atau teorinya, sekaligus mencermati integritas dan
atau kontradiksinya.
KLASTER K: Sebagian kita mempunyai idealisasi integrasi, bersatupadunya yang berbeda,
bersatunya yang terpisah-pisah, dan semacamnya. Sebagian lain dari kita mempunyai idealisasi
yang agak berlawanan dari idealisasi integrasi, seperti idealisasi-idealisasi pola fikir horizontal,
lateral, divergen, heterarkhik,
dan kreatif. Sekarang berkembang pula pola fikir paradoks dalam integritas. Pola mencari
bersatunya berbagai sesuatu, kami masukkan dalam pola fikir klaster K ini.
Pola fikir pertama adalah (1) korespondensi. Keterhubungan sesuatu dengan sesuatu lain
yang lebih bersifat fragmentarik; keterhubungannya belum mengandung makna sama sekali;
keterhubungannya masih bersifat kebetulan.
Pola fikir kedua (2) relevansi. Keterhubungan sesuatu dengan sesuatu lain masih bersifat
fragmentarik, kebermaknaannya belum lagi memerankan hubungan menuju integrasi.
Pola fikir berikut adalah (3) pola fikir konvergensi. Berbagai sesuatu nampak berbeda,
dilihat kemungkinannya untuk dipersatukan. Pola fikir berikut adalah (4) pola fikir Gestalt, yang
menyatakan bahwa keseluruhan itu lebih dari bagian-bagiannya. Kebermaknaan plus, yang lebih
dari sekedar addisi menjadi pola pokok dari berfikir Gestalt.
Pola fikir kelima dalam klaster ini adalah (5) integrasi. Berbagai sesuatu dilihat
kemungkinannya untuk dapat dipersatukan. Keterhubungan dan kebermaknaan sudah dilihat
menyeluruh.
Pola fikir keenam adalah (6) pola fikir thermostatik. Pola fikir ini bersifat metaphor,
menganologikan gejala. sosial sebagai gejala holistik yang secara otomatis menata dirinya
sendiri; dalam temperatur yang sudah minus 370C fungsi pendingin otomatis terhenti, dan ketika
panas almari es sudah menjadi minus 130C fungsi pendingin secara. otomatis bekerja lagi.
Integrasinya berfungsi dinamik otomatik.
Pola fikir berikut adalah (7) pola fikir triangulasi. Mampu melihat integrasinya lewat
phenomena yang beragam. Konsep ini juga metaphor dari teknik pencarian pemancar radio. Pola
fikir kedelapan adalah (8) pola fikir sinkronisasi. Phenomenanya beragam, aktivitasnya beragam,
konteks dan waktunya berbeda, tetapi mampu melihat integrasinya yang bermakna.

49
Pola fikir berikut adalah (9) pola fikir kongruensi. Sesuatu dilihat fungsinya mampu
memberikan komplementasi pada yang lain.
Pola berikut adalah (10) pola fikir konkurensi. Sesuatu dilihat fungsinya untuk mampu
menggantikan fungsi komponen lain.
Pola kesebelas dalam klaster ini adalah (11) harmoni. Berbagai sesuatu menampilkan
dirinya sendiri, tetapi dapat diintegrasikan karena adanya keselarasan satu dengan yang lain.
Pola fikir berikut adalah (12) konformitas. Berbagai sesuatu tampil beragam, tetapi
menggunakan kerangka acu atau kriteria yang sama, sehingga terjadi integrasi dalam artian nilai
atau kriteria. Contoh: warga negara berperilaku beragam dan tidak harus sama, tetapi
kesemuanya mengacu atau cocok dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.
Pola fikir berikut adalah (13) pola fikir koherensi. Perilaku yang konform itu perilaku
yang tampilannya berbeda tetapi cocok atau sesuai dengan nilai yang diterima oleh satuan
masyarakatnya. Keadaan tersebut disebut dengan koherensi, ada kesatuan nilai meskipun dalam
keragaman perilaku. Pola fikir berikut adalah (14) morphogenetik. Proses pertumbuhan itu tidak
selalu linier berkelanjutan, mungkin saja terjadi proses perkembangan yang tidak linier dan tidak
berkelanjutan. Pengakuan terhadap kemungkinan pendadakan dalam pertumbuhan dengan proses
tak terduga menjadi pola fikir keempat belas dari klaster ini.
KLASTER L: Pola fikir klaster ini mempunyai ciri esensi adanya kontradiksi intern. Pada
umumnya para ahli berpendapat bahwa bila suatu konstruksi teori memiliki kontradiksi intern,
maka bangunan teoretik tersebut dapat diklasifikasikan lemah. Ada beberapa kontradiksi intern,
pertama adalah (1) kontradiksi, suatu terminologi yang netral, artinya mengandung makna ada
pertentangan, yang mungkin saja kontradiksi dengan unsur luar, dan mungkin pula dengan unsur
intern, dalam hal ini kontradiksi dengan konstruksi teori; mungkin konsep atau tesis yang satu
bertentangan dengan konsep atau tesis lain dalam bangunan kerangka teori itu. Pola fikir
kontradiski yang lain adalah (2) kontroversi (3) paradoks (4) dilema, dan (5) dialektika.
Salah satu tuntutan produk ilmu adalah relevansinya dengan emperi. Seharusnya suatu
produk ilmu tidak menampilkan kontroversi, pertentangan pendapat dengan ilmuwan lain pada
umumnya. Kami katakan seharusnya, karena tidak semestinya sesuatu teori tampil berbeda dari
pendapat-pendapat pakar yang ada; tetapi ilmuwan-ilmuwan berkualitas tinggi mampu
menampilkan temuan yang kontroversial, seperti teori relativitas dalam phisika oleh Einstein,
yang bertentangan secara kontroversial dengan teori phisika lama, yaitu teori kuantum. Dilihat
dari segi lain contoh teori relativitas Einstein dapat pula dipakai sebagai contoh dari paradoks,
yaitu sepintas nampak aneh, tetapi pada hakekatnya berisi kebenaran. Pada tampilan pertama,
teori relativitas mengundang pendapat yang kontroversial, pada taraf penelaahannya me-
nimbulkan paradoks; eksternal.
Suatu kerangka teori atau konstruksi teori mungkin pula menampilkan paradoks internal,
yaitu bila ada pertentangan antara konseptualisasi teoretik dengan jabaran operasionalnya.
Paradoks internal mutakhir ditampilkan oleh John Naisbitt baik dalam judul maupun isi bukunya
Global Paradox. Pola fikir Naisbitt ini benar-benar menampilkan pola fikir nonkonvensional;
berbeda dengan alur fikir linier integrasi (klaster K) dan termasuk yang berbobot positif dalam
alur fikir kontradiksi (klaster L), yang umumnya berindikator negatif. Pola fikir Naisbitt dalam
bukunya tersebut benar-benar menampilkan paradoks internal, bahwa pada satu sisi kita tak
dapat mengelak untuk menjadi global, tetapi pada sisi lain kita perlu membangun organisasi
yang kecil agar semakin kuat. Unik memang.
Pendapat para ahli yang selalu bertentangan mengenai sesuatu hal dan sulit bagi kita
untuk memihak salah satunya, tetapi bagaimanapun kita harus menampilkan sesuatu (entah
memihak atau memberi pemaknaan lain) seperti misalnya tentang pendidikan single track atau
double track. Cukup banyak kelemahan dari masing-masing dapat diketengahkan, dan tetap sulit
bagi kita untuk memilih, sedangkan harus dipilih. Itulah dilema. Banyak dilemma dalam ilmu
sosial kita jumpai. Kita tidak dapat menghindar dari berbagai di lema yang kita jumpai; dan

50
dalam hal itu kita harus memilih. Apakah kita harus memilih atau membuat rumusan baru,
terserah; tetapi konstruksi teori kita menuntutnya. Memang cukup banyak bukti bahwa double
track menghambat proses demokratisasi pendidikan; banyak anak produk sekolah kejuruan tidak
memperoleh peluang untuk masuk strata sosial atas. Bila sekolah kejuruan disebut sebagai
menyiapkan tenaga produktif tingkat menengah, tetapi kenyataan di tempat-tempat di mana
teknologi cepat berubah (sebagai pemaknaaa kami atas penelitian David Clark, 1983) tamatan
SMA digaji lebih tinggi daripada tamatan STM. Di negara pendekarnya demokrasi, Amerika
Serikat, demi demokratisasi pendidikan mereka mengubah pendidikan menjadi single track.
Derasnya masukan ke Perguruan Tinggi (dan juga pada semua jenjang pendidikan) tetap menjadi
segregasi tersamar. Mereka sama-sama berhak masuk ke SD, SMP, SMA, dan PT. Tetapi
bagaimanapun satuan masyarakat dan orang tua yang mampu akan bersedia dan mampu
menyandang dana bagi anak-anaknya untuk memperoleh pendidikan berkualitas tinggi dan
notabene dengan hasil berkualitas tinggi pula. Lembaga kerja yang mampu menggaji tinggi akan
memilih tamatan sekolah yang berkualitas tinggi pula. Ini yang terjadi. Di India di mana
demokrasi belum berlangsung baik, kebijakan demokratisasi pendidikan jelas-jelas dijegal oleh
established groups. Dengan berbagai cara strata sosial bawah dipersulit memasuki pendidikan
padajenjang lebih tinggi. Jadi, manapun yang kita pilih single track atau double track tetap
merupakan dilema. Di Pasca Sarjana kepada para mahasiswa kami tampilkan rumusan yang lain,
yang tampilannya tidak harus memihak, tetapi rumusannya lebih mendasar.
Kembali ke pola fikir terdahulu (yang lebih mendeskripsikan kesalahan berfikir) pola
fikir dialektik lebih dimaknai sebagai instrumentasi bagi dinamisasi perubahan sosial. Dengan
menciptakan antitesis atau yang sudah berjalan, diharapkan tumbuh suatu sintesis. Mekanisme
dialektik tersebut dipakai oleh banyak kawasan dan dikenal sebagai teori konflik, suatu grand
theory dalam sosiologi di samping fungsionalisme struktural, interaksionisme, juga exchange
theory. Teori konflik dianut dalam demokrasi liberal ataupun dalam ajaran komunisme.
Bedanya, pada komunisme, konflik diinstitusikan dan dipakai sebagai strategi perjuangan abadi
proletar melawan borjuis. Sedangkan konflik di negara demokrasi liberal lebih bersifat
pancamuka, dan mempunyai dua fungsi: positif dan negatif. Apakah pola fikir dialektika akan
dipakai sebagai salah satu model kerangka teori, penulis serahkan kepada para pembaca sendiri.
Pendapat penulis tentang dialektika sebagai instrumen dinamika sosial penulis ketengahkan
dalam buku Teori Perubahan Sosial.
Catatan: Dari pengalaman penulis membimbing disertasi dan juga tesis, banyak promovendi
yang merancangkan proposal disertasinya dan juga tesisnya memilih konsep-konsep yang
terbagus (dan tentunya menjadi lebih ideeal) yang tersebar diklaster-klaster A sampai L. Tetapi
dari evaluasi penulis proposal tersebut menjadi bak sampah kumpulan hal-hal terbagus, karena
tidak mungkin dioperasionalkan atau malahan kontradiktif secara esensial.

E. DESAIN PENELITIAN DENGAN PENDEKATAN RASIONALISTIK


Pendekatan rasionalistik yang ditampilkan dalam buku ini, tidaklah bertolak belakang
dari logika deduktif, melainkan bertolak dari logika reflektif Abstraksi dari kasus sebagai konsep
spesifik melalui berfikir horizontaldivergen diperkembangkan menjadi konsep abstrak yang lebih
umum. Sebaliknya konsep abstrak umum yang samar diperkembangkan spesifikasinya lewat
proses berfikir sistematik-hirarkik-heterarkik menjadi konsep spesifik yang lebih jelas dan
mampu memberi eksplanasi, prediksi, atau rambu operasionalisasi. Itulah proses mencari
kebenaran dalam logika reflektif. Relevansi dengan emperi penting, tetapi yang lebih penting
adalah tertangkapnya makna di balik yang emperi. Itulah landasan filosofik pendekatan
rasionalistik dalam metodologi penelitian.
Desain penelitian rasionafistik bertolak dari kerangka teoretik yang dibangun dari
pemaknaan hasil penelitian terdahulu, teori-teori yang dikenal, buah-buah fikiran para pakar,

51
dan dikonstruksikan menjadi sesuatu yang mengandung sejumlah problematik yang perlu diteliti
lebih lanjut. Kerangka teoritik tersebut setidak-tidaknya perlu momot tiga komponen.
Pertama, ada grand-concept (s) yang melandasi seluruh pemikiran teoretik dari penelitian
tersebut. Untuk peneliti S1 dan S2 mungkin penampilan eksplisit dari grand-concept(s)nya tidak
perlu, tetapi untuk disertasi penulis pandang perlu dipersyaratkan. Grand-theory dapat diangkat
dari klaster A, B, atau C. Teori Evolusi Darwin, teori Genetik Mendel, teori Perkembangan
Sejarah Toynbee, Gelombang Ketiga Toffler, Masyarakat Pascaindustri Daniel Bell kesemuanya
berangkat dari pola-pola fikir tersebut diklaster A. Teori makro fungsionalisme dari Talcot
Parsons, pragmatisme dari Willian James, teori interaksi simbolik dari Blumer, eklektisme
psikologik Sumadi Suryobroto, kepemimpinan fungsional Noeng Muhadjir, kesemuanya
berangkat dari tata fikir tersebut pada klaster B.
Komponen kedua untuk membangun kerangka teori adalah teori substantif. Teori konflik
dalam sosiologi merupakan grand-theory, teori kepemimpinan monomorphik-polimorphik
merupakan teori substantif; teori tentang refleks bersyarat dalam behaviorisme merupakan
grand-theory, perilaku stereotype merupakan teori substantif; teori relativitas dari Einstein
merupakan grand-theory. Komponen ketiga dari perkerangkaan teori adalah hipotesis atau tesis
yang hendak diuji kebenarannya secara emperik. Membangun kerangka teori dengan tiga
komponen tersebut berlangsung reflektif, dapat dimulai dari komponen manapun tetapi akhirnya
harus menampilkan hipotesis, suatu teori spesifik yang layak (feasible) dan mungkin diuji
dengan emperj. Perkerangkaan teori yang baik akan mampu menampilkan sejumlah hipotesis
yang mempunyai hubungan bermakna terhadap teori substantifnya (syukur bila mempunyai
hubungan bermakna plila dengan suatu grand-theory).
Kebermaknaan teoretik seperti itu perlu diikuti dengan kebermaknaan emperik. Upaya
untuk menjangkau kebermaknaan emperik dapat dikerjakan dengan mengembangkan
konseptualisasi tentang populasi dan sampel secara tepat. Pada landasan emperik pendekatan
rasionalistik ada dua pilihan: kuantitatif atau kualitatif.. Bila landasan emperik yang dipilih yang
kualitatif, sampel perlu dipilih secara purposive. Yang kuantitatif mencari makna dari rerata dan
simpangan-bakunya, yang kualitatif mencari makna dari pengungkapan esensinya. Fungsi
populasi dalam pendekatan rasionalistik sama dengan pendekatan positivistik, yaitu untuk
membuat kesimpulan generalisasi. Generalisasi dalam sangkut-paut dengan populasi dapat
dibedakan menjadi dua, yaitu generalisasi hasil penelitian sampel pada mother-population-nya
dan generalisasi hasil penelitian sampel pada parent-population-nya. (parent tanpa s!!!).
Mother population adalah populasi yang unit-unitnya mempunyai peluang untuk menjadi
sampel penelitian. Parent-population adalah populasi yang tersebar di manapun yang memiliki
karakteristik (teoretik) yang sama dengan sampel penelitian. Pengakuan terhadap peran
kesimpulan penelitian terhadap satuan lain yang lebih besar menjadikan penelitian dengan
pendekatan rasionalistik menjadi nomo-thetik, mengejar untuk mencari hukum-hukum atau
prinsip-prinsip yang berlaku umum, bebas ruang dan waktu, sama dengan pendekatan
positivistik.
Instrumentasi pengumpulan data perlu ajeg kerangka fikirnya dengan pengambilan
sampel. Bila kuantitatif maka prosedur penyusunan instrumen perlu mengikuti aturan-aturan
kuantitatif; bila kualitatif prosedur pengumpulan data dapat berlangsung lebih luwes, meskipun
menjadi lebih mudah tergelincir menjadi subyektif. Menjaga agar data yang terkumpul itu
obyektif, perlu dijaga dari upaya-upaya tambal-sulam data dan jangan mengadakan analisis
ketika sedang mengumpulkan data. Data harus dijaga agar obyektif, dalam arti terjaga dari
subyektivitas peneliti dan juga subyektivitas subyek responden.
Teknik analisisnya perlujuga ajeg seperti instrumentasi pengumpulan data dan prosedur
pengambilan sampel. Bila kuantitatif, sebaiknya digunakan pula teknik analisis statistik; bila
kualitatif, memang tepat digunakan teknik analisis data verbal dengan mencari esensi. Agar
konsekuen dengan pemikiran rasionalistik, dalam pemaknaan hasil analisis hendaknya

52
meluaskan kebenaran emperik menjadi lebih luas daripada emperi sensual; perlu menjaga emperi
logik dan emperi etik. tata fikir yang digunakanpun menjadi tidak terbatas pada korespondensi,
relasi, kausalitas, dan interdepedensi saja, melainkan dapat pula dikembangkan pemaknaan
dengan menggunakan tata fikir lain seperti berfikir divergen, horizontal, holographik, dan
lain-lain.
Metodologi penelitian kualitatif rasionalistik berangkat dari pendekatan holistik berupa suatu
grand-concept(s), diteliti pada obyek spesifik, dan didudukkan kembali hasil penelitiannya pada
grand-concept(s)nya.
Bila diperbandingkan antara metodologi penelitian kuafitatif posifivistik dengan yang
rasionalistik, pokok-pokoknya adalah sebagai berikut Pertama, yang positivistik menspesifikkan
obyek penelitiannya dengan mengeliminasikan dari variabel atau faktor lain; yang rasionalistik
mendudukkan obyek spesifik dalam totalitas holistik. Kedua, yang positivistik menggunakan tata
fikir tertentu saja, yaitu: korespondensi, relasi, kausalitas, dan interdepedensi; sedangkan yang
rasionalistik dapat menggunakan alternatif penalaran dengan menggunakan ragam tata fikir yang
penulis sajikan dalam buku ini. Ketiga, yang positivistik membatasi hasil penelitian sampai
pembuatan kesimpulan; sedangkan pada yang rasionalistik dilanjutkan dengan pemaknaan.

F. PENARIKAN KESIMPULAN DAN PEMAKNAAN


Ilmu yang dibangun berdasarkan rasionalisme menekankan kepada pemaknaan emperi.
Pemahanaman intelektual mendalam menjadi bagian terpenting bagi rasionalisme. Membuat
kesimpulan bagi rasionalisme tidak sekedar menyajikan hasil analisis fragmentarik, melainkan
menyajikan sesuatu yang dapat menjadi bagian penting dari suatu konstruksi lebih besar;
kesemuanya itu mengarah ke membangun suatu tesis baru, atau lebih jauh lagi membangun teori
baru. Descartes sebagai eksponen pertama dari rasionalisine menyajikan model pembuktian
berangkat dari aksioma, yang membuktikan sendiri kebenarannya. Spinoza memberi urunan
berikut dalam membangun rasionalisme: pembuktian berangkat dari perumusan, dari postulat,
dan theoreem. Leibniz lebih lanjut menekankanbahwa dengan inteligensi yang mumpuni setiap
fakta dapat dilihat keterikatannya dengan yang lain. Hegel sebagai rasionalis sekaligus ideealis
mengemukakan pendapat bahwa dunia ini merupakan organisme yang bagian-bagiannya saling
terikat, dan tak dapat difahami kecuali melihat keterkaitannya dalam suatu keseluruhan.
Frederick Suppe membuat sinyalemen bahwa suatu gerakan baru atau pendekatan baru
yang memfokus ke rasionalisme sedang tumbuh. Tokoh-tokohnya seperti Imre Lakatos, Stephen
Toulmin, dan Dudley Shapere mencoba mencari jalan tengah antara positivis yang sensual
dengan filsafat ilmu yang melandaskan diri pada Weltanschauung seperti Hanson, Feyerabend,
dan Kunh. Secara ontologik rasionalisme, seperti telah kami kemukakan di muka, mengakui tiga
emperi, yaitu: emperi sensual, emperi logik, dan emperi etik. Epistemologik upaya mencari
kebenaran bagi rasionalisme dengan demikian menggunakan ketiga emperi tersebut untuk
membangun konstruksi teoretik tertentu. Rasionalisme lebih mengarah ke monisme teoretik
daripada pluralisme teoretik.
Membuat kesimpulan bagi rasionalisme perlu mengarah ke membangun suatu teori baru.
Teori dalam bentuk verbal tidak lain dari suatu proposisi, suatu pendapat, yang diharapkan
mampu mewadahi semua kasus emperi yang relevan.
Blalock Jr., mengetengahkan sejumlah model konstruksi teori, yang dapat
dikelompokkan menjadi dua, yaitu model kausal dan model dinamik. Sejumlah teori yang
dibangun dalam pernyataan kovarian dicontohkan pula oleh Blalock dalam bukunya Theory
Construction. Zetterberg menampilkan generalisasi sebagai teori: semakin tinggi pembagian
kerja, semakin,tinggi solidaritas. Semakin tinggi pembagian kerja, semakin rendah penolakan
terhadap penyimpangan. Homans menampilkan teori: Bila frekuensi interaksi meningkat, tingkat
saling menyukai meningkat pula, dan vice versa. Ralf Dahrendorf menampilkan proposisi:
Intensitas konflik antarkelompok menurun sejauh kelompok-kelompok lebih terbuka. Gibbs dan

53
Martin menyajikan teori: tingkat bunuh diri penduduk beragam terbalik dengan stabilitas dan
tahan lamanya hubungan sosial di masyarakat.
Dalam contoh-contoh tersebut istilah teori, generalisasi, dan juga proposisi digunakan
dalam konteks yang sama. Apakah ketiganya memang sama? Keterhubungan antara ketiganya
telah kami uraikan pada awal paragraf ini.
Khusus tentang model kausal. Dalam model ini Blalock menyajikan tiga model, yaitu:
model tipologi, modelpenyusunan akibat, dan model penyusunan sebab. Model tipologi dapat
dikembangkan dengan dua pendekatan: membuat lebih kompleks dan membuat lebih sederhana.
Dari sekian banyak kasus, diangkat dalam pola fikir dikotomik (seperti rural-urban; pendapatan
cukup kurang; pria-wanita), atau pola fikir antar dua kutub (seperti: lebih otoriter-lebih
demokratik; lebih statik-lebih dinamik). Nampaknya model tersebut sederhana, tetapi mengarah
ke lebih kompleks; karena bila dibuat klasifikasi silang, yang dua tersebut akan menghasilkan
tiga kemungkinan kombinasi, tipologi tiga dikotomi akan menghasilkan delapan kemungkinan
kombinasi, empat menghasilkan enambelas, lima menghasilan tigapuluhdua, dan seterusnya.
Pendekatan yang mengarah ke penyederhanaan berupaya mencari titik-titik dalam
mengkonstruksi teori ataupun dalam menganalisis data, untuk dapat membuat hukum abstrak
dalam kondisi ideeal; kasus yang tak sesuai dengan hukum tersebut dijelaskan sebagai
penyimpangan, pertumbuhan, atau kesalahan.
Khusus model penyusunan sebab. Perilaku kriminal didudukkan sebagai variabel
dependen satu-satunya; dengan studi pustaka atau cara lain disusun sejumlah variabel
independen, yang terus dapat dicari dan ditambahkan. Tata hubungan antara variabel dependen
dengan independen, dapat dibuat berjenjang, dapat dibuat analisis berjenjang. Nye dkk.
misalnya, dari studi pustaka terkumpul 68 proposisi tentang stabilitas keluarga; ke-68 proposisi
tersebut mempunyai tingkat abstraksi yang berbeda dan mencakup hal yang beragam sekali
(meskipun seluruhnya terkait dengan stabilitas keluarga). Nye dkk. menyederhanakannya
menjadi 10. Dalam disertasi, penulis menampilkan 13 variabel, yang disederhanakan menjadi
tiga faktor.
Khusus model penyusunan akibat. Janowitz menyusun sejumlah dependen variabel dari
satu independen variabel mobilitas vertikal; Lenski menyusun sejumlah dependen variabel dari
satu independen variabel faktor religieus.
Model dinamik yang disajikan oleh Blalock mendudukkan interdependensi antarvariabel;
adajaringan hubungan interaktif antara banyak variabel.
Model penyusunan teori, membuat tesis, hipotesis, ataupun proposisi dengan struktur
verbal seperti tersebut di atas sedikit banyak dikendalikan oleh teknik-teknik analisis kuantitatif
statistik, meskipun dengan penyajian verbal seperti di atas memungkinkan menggunakannya
untuk metodologi penelitian kualitatif. Tatafikir logik yang digunakan tesebut terbatas pada tata
fikir korespondensi, korelasi kausal, dan paling jauh sampal interrelasi yang interaktif
interdependen. Sedangkan tata fikir logik masih banyak sekali. Model berfikir genetik yaitu
berfikir dengan pola asumsi adanya proses berkembang dari yang elementer ke yang lebih
sempurna; tampilannya menjadi teori evolusi dari Darwin, teori genetik dari Mendel, teori
perkembangan sejarah dari Toynbee, teori gelombang ketiga yang antisipatif dari Toffler, teori
akselerasi perubahan dari Noeng Muhadjir, dan banyak lagi.
Model berfikir genetik tersebut dalam konsep paling akhir dapat memasukkan pola fikir
holographik (pada bagian yang terkecil Pull mengandung Gestalt), atau pola fikir morphogenetik
(perkembangan dapat linier dapat tak terduga). Model berfikir fungsional berupaya untuk
melihat keberadaan sesuatu ditentukan pada fungsinya; terapannya dapat fungsional struktural
(piramida angkatan kerja), fungsional interdependen (pendekatan sistem), pragmatik (yang
bertahan ada, yang berguna), eklektik (yang terbaik dan dapat difungsikan yang dipakai).
Model berfikir berikut adalah model berfikir bertolak dari asumsi pluralisme (sehingga
tampilan kesimpulan penelitiannya mengarah ke idiographik) atau bertolak dari asumsi monisme

54
(sehingga tampilan kesimpulannya mengarah ke nornothetik). Ideee untuk mencari model untuk
mengkonstruksi teori, menampilkan tesis, kesimpulan ataupun proposisi berlandaskan rasio-
nalisme dapat menggunakan ragam tata fikir logik yang tersaji dalam buku ini.
Pemaknaan atau mencari makna, mencari meaning. Bagi pendekatan positivistik mencari
meaning adalah mencari signifikansi. Oleh karena itu penganut positivisme, akan menghentikan
analisisnya sampai teruji kebermaknaan dalam uji signifikansi, artinya menunjuk kepercayaan
prediksi atas kemungkinan salah; teknik pembuktiannya mendasarkan pada frekuensi atau
keragamein kejadian.
Bagi rasionalisme mencari makna secara ontologik bergerak antara yang emperik
sensual, yang logik, dan yang etik; secara epistemologik menggunakan berfikir reflektif,
verstehen, menggunakan pola fikir divergensi, kreatif, inovatif untuk mendapatkan makna yang
lebih jauh dari sekedar signifikansi. Dari Bloom kita mengenal tiga tipe pemahaman, yaitu
pemahaman terjemahan, pemahaman penafsiran, dan pemahaman ekstrapolasi. Yang pertama
pemahamannya terbatas pada pengubahan simbol dari hitungan statistik ke verbal, dari bahasa
satu ke bahasa lain. Yang kedua pemahamannya sudah mulai menjangkau yang tersirat, bukan
hanya yang tersurat. Yang ketiga pemahamannya sudah menghubungkan antara yang tersurat
dan tersirat dengan sesuatu di luarnya.
Kesimpulan penelitian yang menghentikan pemahamannya sampai kesimpulan statistik,
ataupun terhenti sampai penjabaran verbal dari kesimpulan statistik masih berada pada tahap
pemaknaan penterjemahan. Pemaknaan berikut adalah kemampuan mencari arti di balik yang
tersurat. Yang tersurat mungkin emperik sensual, dicari makna logik atau etiknya. Yang
tertangkap kejadian kasus, dengan ketajaman reflektif dan juga verstehen mungkin tertangkap
makna universalnya. Itulah pemaknaan penafsiran.
Pemaknaan yang diharapkan lebih berkembang dari hasil-hasil penelitian adalah
pemaknaan yang lebih jauh lagi, yaitu pemaknaan ekstrapolasi. Kemampuan berfikir divergen
tetapi juga sintesis, kemampuan berfikir kreatif sekaligus inovatif, mampu menggunakan berfikir
holographik dan morphogenetik, mampu secara lincah bergerak antara berfikir hierarkik dan
heterarkhik, mampu berfikir konstekstual sekaligus antisipatif, mampu membijakkan diri untuk
bergerak dari yang sensual sampai ke yang etik, itulah modal dan cara kerja yang diharapkan
untuk dapat memberi makna lebih dalam dan lebih jauh dari hasil suatu penelitian. Membangun
konseptualisasi masa depan kehidupan kemanusiaan itulah yang perlu dicapai, bukan menyajikan
fragmen-fragmen kehidupan tanpa menyadari integritas totalnya.

55
BAGIAN KETIGA
METODOLOGI PENELITIAN KUALITATIF PENDEKATAN PHENOMENOLOGIK

LOGIK DAN ETIK


Dilihat dari sisi filsafat ilmu ada perbedaan mendasar antara pendekatan positivistik dan
rasionalistik di satu fihak dengan pendekatan phenomenologik di lain fihak (dan juga realisme
metaphisik). Pendekatan dua yang pertama hanya mengakui kebenaran emperik sensual dan
emperik logik. Artinya: hanya mengakui sesuatu sebagai kebenaran bila dapat dibuktikan secara
emprik indrawi dan dalam konteks kausalitas dapat dilacak dan dijelaskan.
Sedangkan dua pendekatan yang kedua mengakui adanya kebenaran emperik etik yang
memerlukan akalbudi untuk melacak dan menjelaskan serta berargumentasi. Akalbudi disini
mengandung makna bahwa kita perlu menggunakan kriteria lebih tinggi lagi dari sekedar truth
or false. Nilai moral yang digunakan pada dua yang pertama terbatas pada nilai moral tunggal,
yaitu: truth or false. Nilai moral yang digunakan pada dua yang kedua mengacu pada nilai moral
ganda yang hierarkik. Bila diinventarisasikan nilai moral (nm) tersebut adalah: nm agama, nm
ilmu (truth or false), nm individual, nm phisik. Nm agama memiliki tatahierarkik tertinggi,
sedangkan nm lainnya memiliki hubungan verikal dengan nm agama, dan memiliki hubungan
horizontal antara nilai moral satu dengan lainnya. Beberapa memiliki hubungan horizontal lateral
dan beberapa memiliki hubungan horizontal sekuensial (baca lebih rinci pada Noeng Muhadjir,
Ilmu Pendidikan dan Perubahan Sosial, Suatu Teori Ilmu Pendidikan).
Asumsi dasar dari pendekatan phenomenologik (dan juga realisme metaphisik) adalah
bahwa manusia dalam berilmu pengetahuan tidak dapat lepas dari pandangan moralnya, baik
pada taraf mengamati, menghimpun data, menganalisis ataupun dalam membuat kesimpulan.
Tidak dapat bukan keterpaksaan, melainkan momot etik.
Para ilmuwan pada bidang-bidang yang normalif seperti ilmu pendidikan dan ilmu
agama banyak yang mengacaukan hal-hal berikut. Harus pergi itu keharusan yang sifatnya
imperatif. Sebaiknya anda menghadiri acara tersebut merupakan suatu anjuran atau saran. Yang
imperatif ataupun yang anjuran tersebut tidak momot konsekuensi moral. Bersedia menjadi saksi
momot konsekuensi moral hukum. Amar maruf nahi mungkar momot moral kebajikan sosial.
Meskipun kedua pernyataan tersebut bukan berbentuk kalimat imperatif ataupun kalimat anjuran.
Pernyataan, postulasi, aksioma, teori yang momot moral tertentu dapat disebut momot ethic atau
etika. Kalau itu beruva teori, maka teori tersebut momot ajaran etika tertentu; kalau itu berupa
postulasi, maka postulasi tersebut momot ajaran etika tertentu.
Ilmu pendidikan dan ilmu agama dapat menyebut normatif karena dalam teorinya, dalam
postulasinya momot ajaran etika tertentu.
Kekacauan yang terjadi adalah mengisruhkan atau mencampuradukkan antara yang
imperatif, yang amr, yang anjuran, dengan yang etika. Ilmu pendidikan dan ilmu agama disebut
ilmu normatif karena mengeksplisitkan nilai moral dalam berteori, dalam berpostulasi, dan
seterusnya, bukan dengan cara membuat kesimpulan, membuat teori yang menampilkan
kata-kata sebaiknya, diseyogiakan, mesti, harus, dan semacamnya. Banyak buku-buku yang
ditulis, dan kesimpulan argumentatif ataupun kesimpulan hasil penelitian menjadi tidak
berharga, karena konseptualisasi pemikirannya hanya menganjurkan atau mengharuskan, dan
mereka mengklaim sebagai normatif Bila’makna normatif dalam ilmu pendidikan dan ilmu
agama hanya seperti itu maka ajakan meninggalkan berfikir normatif benar, sama benarnya
dengan ajakan meninggalkan berfikir spekulatif dalam berilmu pengetahuan zaman renaissance.
Tetapi ajakan meninggalkan berfikir spekulatif tersebut menjadi salah, ketika kita mesti
meninggalkan ketajaman akal cerdas kita, akal budi kita untuk berfikir reflektif dalam
membangun teori atau konsep yang sangat bermakna. Ajakan meninggalkan berfikir normatif
juga menjadi salah bila hanya sekedar menampilkan pernyataan tentatif, pernyataan

56
menseyogikan, yang kesemuanya tidak didasarkan hasil analisis emperik, melainkan lebih
didasarkan pada wishfull thinking.
Pendekatan phenomenologik (dan juga realisme metaphisik) bukan hendak berfikir
spekulatif, melainkan hendak mendudukan tinggi pada kemampuan manusia untuk berfikir
reflektif, dan lebih jauh lagi untuk menggunakan logika reflektif di samping logika induktif dan
deduktif, serta logika materfil, dan logika probabilistik. Pendekatan phenomenologik (dan juga
realisme metaphisik) bukan hendak menampilkan teori dan konseptualisasi yang sekedar berisi
anjuran atau imperatif, melainkan mengangkat makna etika dalam berteori dan berkonsep.
Kesalahan-kesalahan konsep normatif tersebut bukan hanya terjadi pada kita, ilmuwan
Indonesia, melainkan juga pada ilmuwan lain. Pada suatu waktu penulis memberi kuliah
menajemen pendidikan di Pasca Sarjana. Referensi penulis tidak menggunakan buku-buku asing
manajemen industri. Mengapa? Karena konseptualisasinya, kesimpulan atas penelitian
manajemen pendidikan mengarah ke yang sebaiknya, yang seharusnya, bukan menampilkan
manajemen emperik faktual atau lebih berbobot lagi yang momot etika tertentu. Mengapa
penulis menggunakan referensi buku-buku asing manajemen industri, karena kesimpulannya itu
emperik faktual, bersifat substansial sehingga dapat memberi acuan pada model manajemen,
model kepemimpinan, model proses membuat keputusan, dan seterusnya, yang emperik faktual,
atau lebih berbobot momot etik.

57
METODOLOGI PENELITIAN
KUALITATIF

1. MODEL GROUNDED RESEARCH


A. UPAYA MENCARI SOSOK KUALITATIF
Pada tahun 1970-an diselenggarakan pelatihan penelitian ilmu-ilmu sosial di Surabaya, di
Ujung Pandang, dan di Banda Aceh, yang isinya tidak lain adalah memperkenalkan grounded
research kepada ilmuwan-ilmuwan di Indonesia. Menurut hemat penulis ini adalah salah satu
model dari metodologi penelitian yang berupaya mencari sosok kualitatif. Sosok penelitian
kualitatif ini berupaya melepaskan diri dari pola fikir kuantitatif, yang isomorphik dengan
matematik; dan berupaya mencari sosoknya sendiri yang kualitatif.
Model-model kualitatif yang penulis himpun dapat penulis kelompokkan menjadi empat
model, yaitu: model grounded research dari Glaser & Strauss, model ethnometodologi dari
Bogdan, model paradigma naturalistik dari Guba & Lincoln, dan model interaksi simbolik dari
Blurner.
Dalam evaluasi penulis, model pertama banyak memberi sumbangan operasionalisasi
kualitatif, terutama dalam upaya mencari dan merumuskan teori berdasar data emperik. Tetapi
bagaimanapun pada akhirnya kembali juga pada kerangka fikir kuantitatif yang selalu berupaya
mencari teori yang berlaku universal lewat pembuktian emperik. Glaser & Strauss akhirnya juga
memberi peluang pengembangan teori substantif menjadi teori formal. Teori formal dibangun
bukan berdasarkan satu area substantif, melainkan dibangun dari banyak area substantif yang
beragam.
Model kedua memang lebih banyak memberi sumbangan pada banyak konsep berfikir
kualitatif, tetapi dalam banyak hal masih terpaku pada pemikiran kuantitatif, seperti masih
menggunakan konsep validitas, reliabilitas, dan sebagainya.
Model ketiga, yaitu: model paradigma naturalistik, menurut evaluasi penulis adalah
model yang hampir sepenuhnya berhasil, termasuk juga menggunakan konsep-konsep model
pertama dan kedua yang memang cocok unttik ciri kualitatif, dan layak serta representatif untuk
mewakili metodologi penelitian kualitatif, Oleh karena itu berfikir kualitatif yang paling
konsekuen, adalah berfikir menggunakan model paradigma naturafistik.
Model keempat, yaitu model interaksi simbolik yang pada akhir perjalanannya, yaitu
pada K. Denzin penerus interaksi simbolik telah menjurus kembali ke pemikiran
kuantitatif-statistik-positivistik, misalnya dalam membangun scientific concepts (setidaknya
pada waktu Denzin menulis disertasinya). Dalam tugasnya menjadi editor Handbook of
Qualitatvie Research, 1994, bersama Lincoln, konsep K. Denzin sukar dilacak, karena Denzin
menulis bersama Lincoln; tetapi nampaknya dari tulisan terakhirnya tahun 1991 dalam artikel
Current Perspectives in Social Theory, Denzin mengarah ke dekonstruktionist.

B. GROUNDED THEORY
Para ahli ilmu sosial, khususnya para ahli sosiologi, berupaya menemukan data emperi,
bukan membangun teori secara deduktiflogis. Itulah yang disebut dengan grounded theory, dan
model penelitiannya disebut grounded research. Penemuan teori dari data emperik yang
diperoieh secara sistematis dari penelitian sosial, itulah tema utama dari metodologi penelitian
kualitatif model grounded research.
Teori berdasar data, seperti teori birokrasi dari Weber dan teori bunuh diri dari Durkheim
dapat bertahan puluhan tahun karena teori tersebut ditemukan berdasar data; berbeda dengan
teori konflik dari Lewis Coser atau Dahrendorf atau teori kelas dari Marx, yang disusun secara
deduktif dapat membawa para penganutnya jauh tersesat. Pandangan, sikap, dan gagasan dapat
menjadi bahaya besar bagi penyusunan teori.

58
Pedoman-pedoman untuk melahirkan suatu teori antara lain adalah: digunakannya logika
yang konsisten, kejelasan masalah, efisiensi, integrasi, ruang lingkup, dan beberapa lainnya.
Meski bagaimanapun, menurut model grounded peran bagaimana proses ditemukannya teori
merupakan hal yang terpenting. Proses yang diharapkan dalam model ini adalah penemuan teori
berdasar data emperik, bukan sebagai hasil berfikir deduktif.

C. MODEL VERIFIKASI POSITIVIST MEMINIMKAN MUNCULNYA TEORI BARU


Pendekatan rasionalisme mengkritik pendekatan positivisme, karena tiadanya payung
grand-theory maka terjadi pemiskinan teori; dengan model positivistik yang dihasilkan hanyalah
tesis-tesis spesifik (yang penulis sebut sebagai penemuan tulang-tulang berserakan, yang tidak
dapat direkonstruksi apakah menjadi dinausaurus atau mammouth atau campur aduk dengan
tulang kuda, kerbau dan tulang gajah).
Model grounded mengkritik tentang tugas pengembangan ilmu pengetahuan (dengan
pendekatan kuantitatif-positivistik) yang hanya adalah mengadakan verifikasi. Dengan model
verifikasi teori terjadi penipisan temuan teori-teori baru. Glasser dan Strauss menggugat bahwa
dengan-tugas verifikasi maka ilmuwan-ilmuwan kemudian hanyalah bertugas membuktikan
parsial dari teori-teorinya orang-orang besar seperti Weber, Parsons, dan lainnya.
Blumer diminta membuat evaluasi karya besar yang berpengaruh, yaitu The Polish
Peasant karya Znaniecke. Data dalam karya Znaniecke tersebut cukup banyak untuk membuat
teorisasi, tetapi tidak cukup untuk membuat verifikasi. Deskripsi juga sangat rinci dan panjang,
tetapi membuahkan teori yang minim. Mengapa demikian? Znaniecke menjawab bahwa tidak
cukup kerangka konseptual untuk mengadakan pendekatan pada data. Dari sisi Glaser & Strauss
menunjuk biang keladinya pada tuntutan model verifikasi, yang pada satu sisi memerlukan teori
(yang kadang dicari-cari) dan pada sisi lain menuntut tuntasnya data untuk menguji signifikansi
pembuktian.

D. ANALISIS KOMPARATIF
Analisis komparatif memang telah banyak dikenal sejak Weber, Durkheim, dan juga
Mannheim. Analisis komparatif dan juga eksperimen keduanya menggunakan logika
perbandingan. Komparasi yang dibuat adalah komparasi fakta-fakta replikatif Dari komparasi
fakta-fakta dapat dibuat konsep atau abstraksi teoretisnya. Dari komparasi, kita dapat menyusun
kategori teoretis pula. Lewat komparasi kita juga dapat membuat generalisasi. Fungsi
generalisasi adalah untuk membantu memperluas terapan teorinya, memperluas daya
prediksinya.
Dengan data komparatif dan analisis eksplisit (yakni: tidak menguji hipotesisnya secara
langsung) dapat mengarah ke ditemukannya keragaman, dan selanjutnya bukan mustahil
menghasilkan modifikasi teori. (Catatan: bukan menemukan teori).

E. MENEMUKAN TEORI
Menemukan teori apa? yang perlu ditemukan adalah teori berdasar data, bukan teori hasil
telaah deduktif-logik.Glasser & Strauss (G&S) lebih lanjut mengetengahkan dua jenis teori,
yaitu: teori substantif dan teori formal. Teori substantif ditemukan dan dibentuk untuk daerah
substantif tertentu; sedangkan teori formal ditemukan dan dibentuk untuk kawasan kategori
konseptual teoretik. Kedua tipe teori tersebut, dalam klasifikasi Merton termasuk kategori middle
range theories, yang menampilkan keberlakuannya pada daerah substantif tertentu atau
menampilkan generalisasinya pada dimensi formal tertentu pada sejumlah daerah substantif
tertentu; dan tidak menjangkau apa yang disebut grand theories yang kcberlakuannya meliputi
semua hal, all inclusive. (Bandingkan dengan konsep penulis tentang keteraturan substansial dan
keteraturan esensial di Bagian Keempat: Pendekatan Realisme Metaphisik; dan bandingkan pula
dengan konsep penulis tentang root values dan instrumental values dalam Ilmu Pendidikan dan

59
Perubahan Sosial, 1987; juga klasifikasi penulis tentang teori-teori dinamika perubahan sosial
dan teori-teori arah perubahan sosial dalam Teori Perubahan Sosial, 1984; dan bandingkan
pula dengan konsep penulis tentang mother population dan parent (tanpa s) population dalam
penelitian kuantitatif-statistis).
Dalam pandangan Q&S, dengan analisis komparatif, peneliti berupaya
memperbandingkan kategori-kategori serta ciri-cirinya untuk merumuskan teorinya, dilanjutkan
dengan mengembangkan teorinya, mungkin modifikasi, mungkin pula mengganti dengan teori
baru. Menemukan dan mengembangkan terus teorinya, itulah kerja berkelanjutan dari peneliti
yang menggunakan model grounded research. Untuk menjangkau perumusan teori pada tingkat
derajat lebih tinggi, G&S menganjurkan untuk mengadakan penelitian di daerah-daerah
nontradisional, di mana masih langka referensi hasil penelitiannya. Mencari bidang
nontradisional, dapat dalam makna lokasi (yang akan menemukan teori substantif), tetapi juga
dapat diartikan dalam makna dimensi telaah (yang akan menemukan teori formal).
Hipotesis dalam penelitian grounded adalah suatu pernyataan ilmiah yang akan terus
dikembangkan (dalam makna dimodifikasi atau diubah atau diperkaya atau dipertajam
spesifikasinya); berbeda dengan hipotesis dalam penelitian dengan pendekatan positivistik dan
rasionalistik, yang niatan pertama dalam penelitiannya adalah mencari bukti untuk mendukung
kebenaran hipotesisnya. Sepertinya hipotesis itu sebagai sesuatu yang final, dan dicarikan
dukungan lewat penelitian emperik.

F. SAMPLING TEORETIS
Untuk menemukan teori, para peneliti perlu memiliki sensitivitas teoretis. Artinya begitu
menjumpai sejumlah data mampu segera menyusun konsep lokal, menemukan ciri-ciri pokok
dari sasaran penelitiannya, apakah rumah sakit, apakah sekolah, ataukah pabrik. Konsep lokalnya
rumah sakit diketahui adanya dokter, perawat, pasien, obat, dan lainnya; konsep lokalnya
sekolah ada guru, siswa, bahan pelajaran, dan lainnya. Sensitivitas teoretis tampil berupa
pengonsepan atau abstraksi atau perumusan prateori setelah menjumpai ciri-ciri spesifik setelah
menemukan data di lapangan. Bila belum juga mampu membuat konsep prateori, demikian
G&S, seorang peneliti sosiologi menjadi belum dapat melanjutkan penelitiannya, karena belum
akan dapat menentukan arah penelitiannya, belum mengetahui tujuan teoretisnya, sehingga akan
belum mampu menetapkan kriteria teoretis dalam pemilihan kelompok-kelompok sampel, serta
subkelompok-subkelompoknya. Dari data subkelompok tersebut dimaksudkan untuk
menemukan keragaman ciri, untuk memilahkan ciri pokok dari ciri tambahan. Kriteria teoretis
dalam pemilihan kelompok sampel tidak mengarah ke struktur populasi (sebagaimana
pendekatan positivistik) melainkan mengarah ke relevansi teoretis. Relevansi teoretis tersebut
akan menyangkut karakteristik atau ciri-ciri relevan substantif bila yang sedang dirumuskan
adalah teori substantif, demikian pula akan menyangkut ciri relevan formal, bila yang sedang
dirumuskan adalah teori formal.
Sampel pada penelitian grounded berbeda dasar pemikirannya dengan sampel pada
positivistik-kuantitatif-statistik. Tujuan penelitian positivistik mengarah ke pengujian atau
verifikasi teori, sehingga sampel dipilih berdasar struktur populasi dan menjadi representasi
populasi untuk pengujian teori atau hipotesis. Sedangkan tujuan penelitian grounded adalah
untuk menemukan atau lebih tepat mengembangkan rumusan teori atau mengembangkan
konseptualisasi teoretik berdasar data-data yang berkelanjutan dapat lebih menajamkan rumusan
teorinya berdasar data; sehingga pemilihan sampel pada penelitian grounded mengarah ke
pemilihan kelompok atau subkelompok yang akan memperkaya penemuan ciri-ciri utama.
Minimisasi perbedaan ciri utama pada pemilihan kelompok atau subkelompok akan
mengokohkan konseptualisasi teori, sedangkan maksimisasi perbedaan ciri utama tetapi secara
teoretis tetap diambil kelompok yang teoretis relevan, akan memperluas daerah atau tingkat
keberlakuan teori yang ditemukan. Minimisasi perbedaan dapat membantu banyak untuk

60
perumusan teori substantif; sebaliknya maksimisasi perbedaan ciri kelompok dapat membantu
perumusan teori formal.
G&S tetap membuka peluang dan mengakui kegunaan bahan dokumen atau referensi berdasar
data relevan sebagai cara untuk meningkatkan efisiensi kerja penelitian.

G. DARI TEORI SUBSTANTIF KE TEORI FORMAL


Di muka G&S telah membedakan antara teori substantif dengan teori formal. Teori
substantif memiliki jangkauan generalisasi pada suatu daerah substantif penelitian; sedangkan
teori formal memiliki jangkauan generalisasi pada dimensi tertentu pada sejumlah daerah
substantif. G&S melanjutkan telaahnya tentang mungkinnya menampilkan teori formal pada satu
daerah kasus, tetapi tetap mencermati ciri-ciri kelompok/subkelompok pada dimensi tertentu.
Telaah satuarea dengan cara berfikir G&S dapat menampilkan teori substantif, tetapi dapat juga
dikembangkan menjadi teori formal. G&S juga memberi peluang mengembangkan teori
substantif ke teori formal dengan menggunakan telaah komparatif, dengan menggunakan
artikel-artikel, dan dengan menggunakan diskusi; memang dalam hal- demikian itu peneliti
membangun teori formal tidak langsung atas data. Tetapi perlu disadari bahwa teori formal
dengan dasar data yang minim akan menimbulkan banyak kesulitan.
Teori formal yang lebih dianjurkan oleh G&S adalah teori formal multiarea. Ciri
kelompok dimensi tertentu dan dikomparasikan antarmulti-area dapat menghasilkan teori formal,
yang berguna untuk membuat prediksi, yang tak terikat waktu dan tempat.
Hasil penelitian di Indonesia menyatakan bahwa di kota-kota besar penghasilan lulusan
STM lebih kecil daripada lulusan SMA, sedangkan di kota-kota kecil penghasilan lulusan STM
lebih besar daripada lulusan SMA. Hasil penelitian di Taiwan beberapa puluh tahun yang lalu,
menyatakan bahwa lulusan sarjana muda memberi penghasilan lebih tinggi dari lulusan sarjana.
Atau Pasca PD II gaji tukang di negeri Belanda lebih tinggi daripada gaji insinyur! Tesis-tesis
substantif tersebut dapat dikembangkan menjadi tesis formal: misal penghasilan seseorang
terkait langsung dengan tingkat kebutuhan dunia kerja. Dari hasil penelitiannya Hayman
menyimpulkan di negara maju home background factors lebih berpengaruh pada prestasi belajar,
sebaliknya di negara berkembang school background factors lebih berpengaruh. Itu merupakan
contoh tesis formal, yang dapat dilacak tesis substantifnya, yang mungkin saja berupa tesis
substantif bahwa pada keluarga terdidik home background lebih berpengaruh, dan pada keluarga
kurang terdidik school background lebih berpengaruh, atau mungkin saja dikembangkan teori
formal lain bahwa kadar intensitas hubungan menentukan pengaruh keberhasilan seseorang.
Catatan: pada bagian terdahulu telah penulis kemukakan bahwa teori itu merupakan konstruksi
pernyataan yang momot tesis, hipotesis, asumsi, postulat, dan juga pendapat. Teori yang lebih
valid adalah tebri yang lebih banyak momot tesis tetap tidak berubahah. Karena model grounded
menuntut teori substantif berdasar data, maka hubungan phrase teori dan phrase tesis terletak
pada momotnya data secara penuh pada tesis substantif, dengan kata lain tesis substantif yang
momot data penuh dapat disebut teori substantif.
Demi kehati-hatian, sejumlah ahli sosiologi menghindar untuk membuat teori formal
grounded secara langsung. Melalui pmbentukan teori substantif satu kasus (single case),
dikembangkan ke teori substantif multikasus (multi case), barulah mengembangkannya menjadi
teori formal satu area (single site) ke teori formal multi area (multi site). Term kasus (case)
menampilkan integritas substansi populasi; term area (site) menampilkan integritas dimensional.
Analisis substantif satu kasus ataupun multi-kasus, akan menghasilkan kesimpulan pada mother
population; sedangkan analisis satu area ataupun multiarea akan menghasilkan kesimpulan pada
parent populationnya.
Contoh disertasi yang multicase dan multisite dengan judul yang mirip tetapi dengan
teknik analisis kualitatif yang berbeda adalah disertasi Dr. Ridlwan Nasir yang berjudul
Dinamika Sistem Pendidikan. Studi di Pondok-Pondok Pesantren Kabupaten Jombang

61
Jawa Timur (1996) yang menggunakan teknik multicase, dibandingkan disertasi Dr. Mastuhu
tentang Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren (1994) yang menggunakan teknik multisite.
Kemiripan judul terpaksa harus dipertanggungjawabkan oleh Dr. Ridlwan Nasir atas kenyataan
bahwa disertasi Mastuhu telah diujikan di IPB Bogor tahun 1989 dan dipublikasikan tahun 1994;
sedangkan disertasi Rid1wan Nasir memang telah mulai disusun pada tahun 1988 dan baru
diujikan tahun 1995/ 1996 di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

H. PERAN PEMIKIRAN BERKELANJUTAN DAN PERAN PENGALAMAN ORANG


LAIN
Peran pengalaman orang lain atau pengalaman sendiri di masa lampau dapat saja
direfleksikan sebagai pengganti observasi sendiri sebagai peneliti. Dengan modal pengetahuan
dasar metodologi time sampling dan behavior sampling penulis sebagai guru mengadakan
pengamatan perbandingan terhadap kepemimpinan dua Kepala Sekolah. Pada studi lanjutnya,
penulis menggunakan data pengamatan untuk menyusun tesis penulis.
Tentu saja menggunakan pengalaman sendiri atau pengalaman orang lain (dari hasil
wawancara atau dari pembacaan karangan di media massa) tidak dapat menjadi data dasar untuk
membangun teori kalau tidak ada kerangka pemikirannya. Apakah berarti kerangka pemikiran
harus ada dahulu? Bila demikian bukan grounded.
Penulis selalu saja mengamati kepemimpinan anak-anak pandunya, menghayati sendiri
tentang diri sendiri, dan mencoba terus mencari dan mengaitkan dengan beragam teori
kepemimpinan. Skripsi penulis tentang Group Work, menampilkan teori kepemimpinan
kelompok informal; tesis penulis tentang Personnel Management menguji teori kepemimpinan
di lembaga kerja. Disertasi penulis tentang Opinion Leader membangun teori integratif kepe-
mimpinan di masyarakat.
Kerangka pemikiran tidak berarti membuat kerangka fikir apriori, melainkan kerangka
fikir yang dibangun secara reflektif berpangkal pada pengalaman sendiri (atau orang lain) yang
dihayati, dicari esensinya, dicari maknanya, dan dikembangkan terus pemikirannya yang
diperkaya dengan teori-teori lain. Ketnampuan keilmuan kita akan cepat memperkaya khasanah
ilmu bila kita lincah sekaligus cermat dan kritis mengembangkan teori substantif menjadi teori
substantif lain karena tambahan pengalaman, karena beda konteks, dan lebih jauh lagi
mengembangkannya menjadi teori formal.
Apakah dari teori formal dapat dibangun menjadi grand theory ? Penulis berupaya terus
melacak jalan berfikir Glaser & Strauss.
Pada sisi lain, apakah teori substantif dari G&S yang esensialis dapat dikembangkan
menjadi teori instrumentalis? Penulis juga terus melacaknya.

62
II. MODEL
ETHNOGRAPHIK-ETHNOMETODOLOGIK

A. ETHNOGRAPHI DAN ETHONOMETODOLOGI


Ethnographi merupakan salah satu model penelitian yang lebih banyak, terkait dengan
anthropologi, yang mempelajari peristiwa kultural, yang menyajikan pandangan hidup subyek
yang menjadi obyek studi. Lebih jauh ethonographik telah diperkembangkan menjadi salah satu
model penelitian ilmu-ilmu sosial yang menggunakan landasan filsafat phenomenologi. Studi
ethnographik merupakan salah satu deskripsi tentang cara mereka berpikir, hidup, berperilaku;
kalau subyek studi kita anak-anak TK, maka kita peneliti berupaya menghayati dan
mendeskripsikan bagaimana anak TK menghayati interaksi di TK, bagaimana persepsi mereka
(bukan persepsi berdasar angan kita yang dewasa). Ethnographi bukan deskripsi kehidupan
masyarakat kita dalam beragam situasinya, sebagaimana adanya: dalam kehidupan keseharian-
nya, cara mereka memandang kehidupan kesehariannya, cara mereka memandang kehidupan,
perilakunya, dan semacamnya Ethnomethodologi merupakan metodologi penelitian yang
mempelajari bagaimana perilaku sosial dapat dideskripsikan sebagaimana adanya. Istilah
ethnomethodologi dikemukakan oleh Harold Garfinkel.
Ethnomethodologi berupaya untuk memahami bagaimana masyarakat memandang,
menjelaskan dan menggambarkan tatahidup mereka sendiri. Agar dapat dibuat laporan
ethonographik perlu dipelajari metodologinya, yaitu ethnomethodologi.
Model-model penelitian lain yang serumpun (yaitu yang sama-sama kualitatif dengan
pendekatan phenomenologik) adalah: model grounded research dengan tokoh utamanya Glaser
& Strauss, model paradigma naturalistik dengan tokoh utamanya Guba dan Lincoln, dan model
interaksi simbolik dengan tokoh utamanya Blumer dan Kuhn. Ketiga model tersebut bersama
model ethnographik-ethnometodologik merupakan sampel utama perkembangan metodologi
penelitian kualitatif.

B. MODUS ASUMSI DAN SAMPEL PENELITIAN ETHNOGRAPHIK


Konseptualisasi metodologik model peneliti ethnographik dapat dikerangkakan menjadi
empat dimensi, yaitu: a) induksi-deduksi, b) generatif-verifikatif, c) konstruktif-enumeratif, dan
d) subyektif-obyektif Penelitian ethnographik lebih cenderung mengarah ke kutub induktif,
generatif, konstruktif, dan subyektif.
Dimensi induktif-deduktif menunjuk kedudukan teori dalam studi penelitian; penelitian
deduktif berharap data emperik dapat mendukung teori; sedangkan penelitian induktif berharap
dapat menemukan teori yang dapat menjelaskan datanya. Dimensi generatif-verifikatif menunjuk
kedudukan evidensi dalam studi penelitian; penelitian verifikatif berupaya mencari evidensi agar
hipotesisnya dapat diaplikasikan lebih luas, dapat diperlakukan universal; sedang penelitian
generatif lebih mengarah ke penemuan konstruksi dan proposisi dengan menggunakan data
sebagai evidensi.
Dimensi konstruktif-enumeratif menunjukkan seberapajauh unit analisis suatu penelitian
dirumuskan atau dijabarkan. Dalam penelitian dengan strategi konstruktif mengarahkan
penelitiannya untuk menemukan konstruksi atau kategori lewat analisis dan proses
mengabstraksi; sedangkan strategi enumeratif dimulai dengan menjabarkan atau merumuskan
unit analisis. Desain penelitian dapat pula dilihat pada dimensi kontinum antara, subyektif
dengan obyektif. Yang dimaksud dengan subyektif di sini adalah: merekonstruksi penafsiran dan
pemaknaan hasil penelitian berdasar konseptualisasi masyarakat yang kita jadikan obyek studi
kita; sedangkan yang dimaksud dengan pendekatan obyektif adalah penerapan kategori
konseptual dan tatarelasi yang telah didesain pada obyek penelitian kita. (Bandingkan dengan
Guba yang menghindar dari penggunaan istilah subyektif-obyektif yang dianggapnya sudah

63
mempunyai konotasi lain tertentu, yaitu: yang subyektif itu yang pribadi, yang memihak; dan
yang obyektif itu yang publik, tak memihak dan universal).
Mishler mengemukakan bahwa ethnographi menekankan antara lain pada: digunakannya
metoda kualitatif dan analisis holistik. Goetz dan LeCompte dalam bukunya Ethnograpy and
Qualitative Design (1984) mengemukakan bahwa ahli ilmu sosial yang menggunakan model
penelitian manapun, dalam hal ini penulis fokuskan maksud Goetz dan Le Compte pada, studi
ethnographik, menekankan pembentukan teori berdasar data emperik, atau teori yang di-
konstruksi di lapangan, sedangkan studi positivistik dan juga rasionalistik menggunakan teori
yang disusun dari penelitian lain sebagai dasar penelitian baru.
Studi ethnographik menetapkan sampel atas prinsip pragmatik atau teoretik (atau
purposive menurut istilah Guba), bukan atas prinsip acak berdasarkan probabilitas. Tujuan
pengambilan sampel tersebut dimaksudkan agar hasil penelitian memiliki komparabilitas (dapat
diperbandingkan) dan transabilitas (dapat diterjemahkan) pada kasus-kasus hasil penelitian
lainnya. Adanya kesamaan tertentu, misal: satuan sosialnya, metodanya, analisisnya, dan
lain-lain dapat membantu kita untuk membuat perbandingan atau menerjemahkannya dalam
konteks lain tetapi mirip. Mungkin kedua, istilah tersebut dekat dengan transferabilitas dalam
istilah Guba.
Peneliti ethnographik dituntut Untuk memahami secara mendalam konteks yang diteliti,
tanpa membawa prakonsep atau praduga atau teori yang dimilikinya. Peneliti ethnographik
dianjurkan untuk mengkonstruksi konsepnya berdasar proses induktif atas emperi, dikonstruksi
sesuatu sesuai dengan cara memandang atau pola, perilaku masayarakat yang menjadi obyek
penelitiannya, bukan dikonstruksikan menurut teori peneliti itu sendiri. Peneliti ethnographik
berupaya memasuki kawasan tak dikenalnya tanpa membuat generalisasi berdasatkan
pengalamannya sendiri.
Peneliti ethnographik mempelajari phenomena sebagai kejadian wajarnya; berbeda
dengan penelitian eksperimental ataupun quasi eksperimental yang menguji hubungan akibat
dari perlakuan khusus: diberi motivasi, ditingkatkan gizinya, diberi pelajaran, dan lain-lain. Studi
ethnographik menekankan tentang peran timbal-balik antara sejumlah variabel yang berada
dalam situasi wajar dan dalam konteks yang tidak dimanipulasikan. Prosedur kerja dalam
pengumpulan data dan analisis ethnographi bersifat eklektik; menggunakan banyak teknik
pengumpulan data yang fungsinya dapat dipakai untuk uji-silang antardata. Ethnographi
menyebutnya bukan membuat konvergensi metodologik, melainkan membuat triangulasi: dari
dua titik kutub dua metoda dicari alternatif terbaik metodologik. Kegandaan sumber data dan
cara untuk mengumpulkan dan menganalisis informasi merupakan ciri khas studi ethnographik.
Dalam upaya menjangkau komparabilitas dan transabilitas studi ethnographik memilih
pragmatik atau teoretik atau purposive sampling. Para ahli ethnographi lebih suka menggunakan
istilah creation-based selection bagi penetapan sampel, menggantikan istilah purposive
sampling, karena sampel acakpun tetap purposive.
Seleksi berdasar kriteria merupakan proses memilih unit-unit data yang memiliki
sejumlah keragaman. Goetz dan LeCompte mengetengahkan lima cara seleksi berdasar kriteria,
yaitu: a) seleksi sederhana, b) seleksi komprehensif, c) seleksi kuota, d) seleksi menggunakan
jaringan, dan e) seleksi berdasar perbandingan antarkasus. Seleksi sederhana menggunakan
kriteria tunggal. Seleksi komprehensif dalam penetapan sampel berlandaskan pada kasus, tahap
dan unsur reievan. Seleksi berdasar kuota biasadigunakan untuk populasi besar. Sebagai contoh
misal : pertama-tama mengidentifikasi subgrup yang relevan, (misal : profesional, manajerial,
teknisi, dan pekerja; pendidikan umum, pendidikan kejuruan) dilanjutkan dengan
pengelompokan lebih kecil (misal: yang bekerjadi industri pengolahan, konstruksi, transportasi,
listrik dan energi, dan pertambangan; kelas 1, 2, dan 3; kelompok ethnik). Masing-masing
ditetapkan jumlahnya sebagai sampel. Seleksi menggunakan jaringan menetapkan sampelnya
berdasar informasi dari warga masyarakat obyek penelitian. Pembandingan antarkasus: yang

64
ekstrim, yang khas, yang teladan, yang ideal, atau dasar lain yang dapat untuk dasar
perbandingan.

C. KONSEPTUALISASI TEORI LEBIH IMPLISIT


Beberapa penulis studi ethnographik memang menulis tentang konseptualisasi teori,
tetapi pada umumnya jarang yang menuntut eksplisitasi teori, karena memang tidak sesuai
dengan watak dasar penelitian ethnographik yang membekalkan sikap untuk tidak membawa
prakonsepsi lain daripada yang diperoleh di dalam konteks obyek penelitian yang sedang akan
ditelitinya. Masukilah kawasan tak dikenal tanpa membawa konsep generalisasi berdasar
pengalaman sendiri.
Meskipun demikian tidak dapat disangkal bahwa peneliti ethnograhik secara tidak sadar
atau setidak-tidaknya secara implisit mempunyai perkerangkaan tertentu sebelum terjun
kelapangan dan akan menjadi eksplisit dalam sistematisasi penulisan laporan penelitiannya.
Beberapa penulis studi ethnographik memang membahas konseptualisasi teori, yang
padagaris besarnya para ahli tersebut mengelompokkannya secara hierarkik menjadi: 1) grand
theory (termasuk mode 1-modeinya), 2) teori-teori formal, dan 3) teori substantif lebih rinci
tentang teori-teori tersebut telah dibahas pada model grounded research. Eksplisilasi teori
penelitian dilakukan di lapangan, pada waktu mengembangkan desain, menetapkan sampel,
analisis data, dan pemaknaan hasil temuan. Sesuai dengan sifat penelitian ethnographik yang
lebih idiographik daripada nomothetik, teori yang banyak dieksplisitkan adalah teori jenjang
ketiga, yaitu teori substantif Dalam sosiologi teori substantif dicontohkan oleh Smith dan
Geoffrey (1968) seperti keluarga, kenakalan remaja, sosialisasi pria-wanita, atau hubungan
artaretnik. Dalam antropologi dicontohkan seperti masyarakat petani, organisasi kekerabatan,
masyarakat kota, kepercayaan rakyat, atau kolonialisme.
Sedangkan grand-theory termasuk model yang dipilih sering lebih implisit atau malahan
tak disadari. Grand-theory/model tersebut seperti: fungsionalisme struktural, interaksionisme
simbolik, teori pertukaran sosial, teori konflik, teori evolusi, teori psikodinamik, rekonstruksi
sejarah, behaviorisme, teori Keynesian. Dalam penyusunan skripsi S1 atau tesis S2 penulis
belum menuntut konsistensi penggunaan grand-theory ataupun model teorinya, tetapi penulis
sudah menuntut koherensinya dengan sesuatu grand-theory atau model teori bagi penulisan
disertasi S3.

D. DESAIN PENELITIAN ETHNOGRAPHIK


Penelitian ethnographik termasuk penelitian kualitatif yang memerlukan partisipasi
cukup lama bagi peneliti di lapangan; waktu yang diperlukan sekitar 6 bulan sampai 3 tahun.
Bogdan menyarankan setidak-tidaknya empat dasar untuk memilih obyek studi. Pertama,
jadilah praktisi, artinya: tidak terlalu luas dan tak terlalu kompleks, sesuai dengan tingkat
kemampuan Anda, lokasinya memungkinkan dan menarik (ingat selama berbulan atau bertahun
Anda harus berada di atau pulang-balik ke situ). Kedua, pilihlah tempat di mana Anda agak
asing. Mengapa? Untuk studi pertama (sebelum menjadi berpengalaman) Anda sulit memilahkan
atau mengambil jarak Anda sebagai peneliti dengan Anda sebagai warga, bila Anda memilih
tempat di mana Anda tinggal atau bekerja. Ketiga, jangan terlalu berpegang kaku pada rencana
Anda, karena kurangnya pengalaman Anda, rencana Anda mungkin kurang tepat
merumuskannya. Untuk mengatasi kelemahan tersebut, ada baiknya Anda mengadakan
penjajagan dahulu di lapangan. Keempat, sejumlah topik sulit untuk dijadikan obyek penelitian.
Meskipun Anda, tertarik, topik tertentu seperti spesifikasi anggaran dan belanja instansi,
kebijakan personalia, dan semacamnya sulit untuk dapat menembus tembok kerahasiaan yang
banyak dipasang oleh yang berkepentingan.
Penelitian ethnographik mengenal dua macam desain penelitian, yaitu: desain studi kasus
dan desain multiple site and subject studies.

65
Studi kasus merupakan pengujian yang mendalam dan merinci dari satu konteks, dari
satu subyek, dari satu kumpulan dokumen, atau dari satu kejadian khusus. Ada sejumlah tipe
kasus dalam penelitian kualitatif, yaitu: studi kasus tentang sejarah perkembangan organisasi
(diadakan pelacakan perkembangan organisasi yang telah berumur 75 tahun, misalnya; studi
kasus observasi: dengan teknik observasi partisipan selama berbulan-bertahun diungkap institusi
sosial masyarakat; studi kasus berupa hasil interview sejarah hidup atau biographi seseorang, bila
yang dipilih orang besar hal tersebut dipakai untuk menjelaskan peristiwa sejarah; bila dipilih
orang kebanyakan hal itu dimaksudkan untuk mengungkap bagaimana pemikiran orang
kebanyakan dalam perkembangan sejarah.
Umumnya orang berpendapat studi kasus itu hanyalah studi deskriptif saja. Meskipun
cenderung deskriptif, ada ragam tujuan dan bentuk yang dapat dipilih, apakah inau menampilkan
yang teoretik, yang abstrak, ataukah yang sangat konkret operasional. Bila peneliti menggunakan
dua atau tiga subyek atau kasus disebut multi case studies. Tujuannya tetap deskriptif, paling
jauh komparatif.
Dalam penelitian kualitatif ada desain lain, yaitu multiple site studies. Logika yang
digunakan untuk desain ini berbeda dari multi case studies, orientasinya lebih diarahkan ke
pengembangan teori, dan biasanya memerlukan banyak lokasi dan subyek daripada hanya dua
atau tiga. Untuk mengerjakan multiple site studies lebih dituntut pengalaman berfikir teoretik dan
kecakapan menghimpun data untuk mendukung konsepnya. Ada beberapa pendekatan yang
dapat digunakan, dua diantaranya akan kami sajikan di sini, yaitu: induksi analitik dan qonstant
comparative method.
lnduksi analitik merupakan suatu pendekatan untuk mengumpulkan dan menganalisis
data baik untuk mengembangkan maupun untuk menguji teori. Apa yang disajikan oleh Bogdan
mengenai induksi analitik (1982) berbeda dari yang digunakan oleh Znanecki, 934; Lindesmith,
1947; atau Cressey, 1950. Induksi analitik yang kami sajikan berikut adalah yang disebut oleh
Bogdan sebagai induksi analitik yang dimodifikasi. Induksi analitik ini bertolak dari problem
atau pertanyaan atau isu spesifik yang dijadikan fokus penelitian. Data dikumpulkan dan
dianalisis untuk mengembangkan model deskriptif penelitiannya. Data dikumpulkan dengan
wawancara bebas; dan dapat pula digunakan lewat observasi partisipan ataupun analisis
dokumentasi.
Blase (1980) mendeskripsikan bagaimana Jonah Glenn mengadakan penelitian dengan
pendekatan induksi analitik dengan fokus masalahnya efektivitas guru. Dia mulai dengan
mengadakan wawancara pada satu guru yang oleh banyak kolega disebut sebagai guru yang
efektif. Dari wawancara bebas dan diskusi dengan guru tersebut Jonah Glenn membangun
konsep teoretik tentang guru yang efektif. Guru tersebut dibiarkan bercerita tentang
suka-dukanya menjadi guru, tentang kariernya, bagaimana dia berfikir tentang tugasnya sebagai
guru dari waktu ke waktu, dan tentang efektivitas seorang guru menurut persepsinya. Dari
ceritanya terdeskripsikan tentang salah persepsi dia dahulu, tentang rencananya sebagai guru,
tentang hubungannya dengan siswanya, tentang suasana hubungan dengan kolega, guru, dengan
masyarakat, dan angan guru yang ideal. Dari wawancara tersebut peneliti mengonsepkan teori
tentang guru yang efektif. Konsep tersebut terus diperkembangkan melalui wawancaranya
dengan sejumlah guru-guru berikutnya. Sejumlah wawancara dilakukan pada guru-guru yang
diperkirakan mempersepsikan lain, tentang guru yang efektif. Dari sejumlah wawancara tersebut
peneliti menduga, bila yang diwawancarai guru-guru pendatang dari daerah lain, mungkin
persepsi tentang guru yang efektif berbeda. Bertolak dari dugaannya itu, Jonah Glenn lebih lanjut
mewawancarai guru-guru pendatang dari daerah lain. Kesimpulan akhir dari penelitian Jonah
Glenn mengetengahkan teori tentang guru yang efektif. Studi hipotetik seperti itu tidak akan
dapat setepat yang dideskripsikan. Mungkin sekali yang diwawancarai terbatas pada guru-guru
di suatu sekolah, sehingga teori efektivitas guru hanya diperkembangkan berdasar hasil studi
pada satu sekolah saja.

66
Dari deskripsi tersebut jelas bahwa bukan hanya teorinya saja yang diperkembangkan di
lapangan, melainkan juga problem, pertanyaan, atau masalahnya dapat dirumuskan kembali,
mungkin meluas, mungkin menyempit; terjadi perubahan atau pergeseran fokus atau aksentuasi.
Prosedur penelitian ethnometodologik memang berbicara tentang ragam subyek atau
ragam lain, tetapi tidak berbicara tentang proporsi. Metoda pengambilan sampel pada pendekatan
induksi analitik adalah purposeful sampling. Kita memilih seseorang subyek, bukan menimbang
tentang proporsi yang representatif, melainkan menimbang bahwa subyek tersebut akan me-
nyumbang dalam pengembangan teori.
Pendekatan kedua bagi multisite studies adalah metoda komparasi konstan. Semua studi
kualitatif phenomenologik mendesain pengumpulan data dan analisis menyatu, seperti yang telah
kita deskripsikan pada pendekatan induksi analitik: konsep teori dibangun dari data yang
dianalisis, diperkembangkan lagi berdasar data dan analisis baru, dan seterusnya. Pendekatan
dengan metoda komparatif konstan berbeda. dalam beberapa hal dari pendekatan induksi
analitik.
Pendekatan metoda komparatif konstan dipakai oleh Mary Schriver. Prosesnya sebagai
berikut. Mary ingin mempelajari tentang guru. Apanya, belum tahu. Tetapi Mary memperoleh
izin untuk meneliti tentang guru itu. Mary belum tahu apa yang akan ditelitinya. Dia mulai
dengan hadir pada ruang guru. Pada hari pertama dia peroleh kesan: semua berbicara tentang
orang lain, tentang siswanya, tentang kolega guru, dan tentang pegawai. Pada hari kedua, dari
observasinya diperoleh kesan bahwa mereka mempergunjingkan orang, membuat desas-desus.
Pada hari ketiga dia berpindah mengobservasi di ruang lain, dan diperoleh kesan bahwa
desas-desus itu hanya salah satu tipe, ada tipe lain. Pembicaraan guru nampak beragam: isinya,
intensitasnya. Sebagian menampilkan pembicaraan antara teman dekat, beberapa bicara berita
buruk, ada pula yang bicara berita baik saja. Mary terus berupaya untuk memperluas dimensi
dari teorinya tentang semua orang bicara.
Cara kerja Mary tersebut dapat dikerjakan oleh siapapun yang hendak menggunakan
pendekatan komparatif konstan; dan proses mencari pada konteks lain dapat dikeriakan terus
tanpa hatas, sampai peneliti yang bersangkutan memandang cukup bagi konseptualisasi teori
yang diharapkannya.
TAMBAHIAN: Untuk keperluan formal tertentu, seperti untuk memperoleh persetujuan
pembimbing, izin, atau pembiayaan, kita diminta membuat usulan penelitian. Usulan penelitian
dengan desain kuantitatif (dalam arti bertolak dari konsep teoretik/hasil penelitian terdahulu),
persiapan penelitian yang lebih memerinci, orang akan lebih mudah memberikan evaluasi
apakah usulan penelitian itu. akan dapat menghasilkan penelitian yang berbobot atau tidak.
Tetapi untuk desain penelitian kualitatif (dalam arti menolak prakonsep sebelum terjun ke
lapangan) orang memang sulit untuk mengevaluasi usulan sebagai bakal baik atau tidak. Untuk
itu ada dua alternatif yang disodorkan Bogdan. Pertama, sebelum menulis usulan terjun ke
lapangan untuk sesaat, dan membuat ulasan atas data yang terkumpul, agar dapat dijadikan
kualitas penelitiannya. Kedua, dibuat usulan atas dasar basil telaah pustaka, untuk menunjukkan
bahwa Anda mempunyai perhatian yang mendalam dan mengenal benar mengenai apa yang
hendak Anda teliti. Meskipun hasil telaah pustaka itu tidak semestinya dipakai untuk
konseptualisasi teoretik, tetapi mempunyai nilai komparabilitas atau transferabilitas.
Penelitian kualitatif ethnographik pada umumnya dilaksanakan oleh pelaku tunggal (lone
ranger); meskipun pada waktu ini sudah mulai muncul penelitian ethnographik yang
dilaksanakan oleh tim terdiri atas tiga atau empat Orang.

E. DATA KUALITATIF
Dalam penelitian dengan pendekatan manapun dibedakan antara emperi dengan data.
Emperi yang relevan dengan obyek penelitian dan dikumpulkan oleh peneliti disebut data.
Manusia dalam kewajarannya pun tidak berupaya untuk menangkap semua emperi, terjadi proses

67
selektif. Seseorang yang memperhatikan kombinasi warna, pada saat jalan-jalanpun
memperhatikan kombinasi warna yang dipakai orang; dan tidak memperbatikan hal lain.
Kalau Anda ke toko sepatu jangan pakai sepatu butut, karena yang diperhatikan
pramuniaganya hanyalah sepatu Anda; kalau Anda ke t-shirt section jangan Anda pakai kaos
butut, pramuniaganya tak akan memperhatikan yang lain, kecuali kaos yang Anda pakai. Setiap
kita memang cenderung selektif dalam mengamati emperi.
Sesudah kita mengadakan observasi atau wawancara, kita perlu membuat catatan.
Catatan itu mempunyai peran sentral dalam perekaman observasi partisipan ataupun dalam
wawancara. Kapan kita membuat catatan? Cari peluang terdekat antara ingatan masih segar
dengan sedang tidak bersama subyek responden. Peran kecepatan dan mendeskripsikan secara
jelas penting pula.
Bogdan membedakan catatan menjadi dua, yaitu yang deskriptif dan yang reflektif
Catatan deskriptif lebih menyajikan rinci kejadian daripada ringkasan, dan bukan evaluasi.
Mengutip pernyataan orang, bukan meringkaskan apa yang dikatakan itu merupakan catatan
yang lebih baik, sebagai catatan deskriptif. Deskripsi itu dapat disajikan pada dimensi-dimensi
berikut. Pertama, dideskripsikan tampilan phisiknya; kedua, dialog direkonstruksi sehingga
situasi interaktifnya menjadi kebih wajar; ketiga, dideskripsikan lingkungan phisiknya;
keempat, disajikan kejadian-kejadian khusus; kelima, lukisan aktivitas secara merinci; dan
keenam, bagaimanapun peneliti adalah bagian dari penelitian itu, sehingga perilaku, fikiran, dan
perasaan peneliti perlu pula dideskripsikan.
Catatan yang reflektif lebih mengetengahkan kerangka fikiran, idee, dan perhatian dari
peneliti. Lebih menampilkan komentar peneliti. Catatan reflektif berisi materi-materi seperti:
pertama, menghubungkan berbagai data, menambahkan. idee, pemikiran, dan menampilkan
kerangka fikir (oleh Glaser dan Strauss disebut memo analitik); kedua, refleksi tentang metoda.
Pusat perhatian dalam hal ini adalah masalah metodologik: menelaah desain, metoda, dan
prosedur lainnya; ketiga, refleksi tentang konflik dan dilema etik. Ada kemungkinan besar
terjadi beda nilai dari konteks budaya yang diteliti dengan yang meneliti, sehingga kemampuan
membuat refleksi yang menyimpang dapat terjadi; keempat, retleksi kerangka fikir peneliti.
Meskipun tidak dimaksudkan dalam penelitian ethnographik membawa prakonsep peneliti, tetapi
bagaimano.pun sulit untuk dihindari. Hal tersebut perlu disadari dan dieliminasikan seoptimal
mungkin; dan kelima, disajikan butir-butir hal yang dapat memperjelas hal yang mungkin rancu.
Mencatat segera sebelum berdiskusi dengan orang lain (maksudnya: peneliti lain)
penting. Mencatat kata-kata kunci atau membuat diagram kasar yang tidak mengganggu proses
interaksi dapat saja dilakukan. Bila kita menggunakan tape recorder untuk wawancara, mungkin
membantu mengubahnya menjadi catatan tertulis. Subyek responden ada yang terganggu dengan
perekaman, sehingga mungkin untuk subyek seperti itu jangan menggunakan alat perekam.
Metodologi phenomenologik pada dasarnya hanya mengenal dua metoda pengumpulan
data, yaitu observasi parsitisipan dan wawancara bebas. Bogdan menambahkan dokumen sebagai
kata-kata tertulis dari responden dapat pula digunakan. Dokumen dibedakan oleh Bogdan antara
yang pribadi dengan yang formal. Dokumen pribadi mencakup: buku harian, surat pribadi, dan
otobiographi. Sedangkan dokumen formaldibedakan menjadi: dokumen untuk keperluan
komunikasi eksternal, foto, data statistik, dan benda-benda (yang dalam antropologi disebut
sebagai produk budaya materiil).

F. HUBUNGAN PENELITI
Dalam penelitian dengan metodologi ini menuntut terciptanya hubungan yang lebih
akrab, lebih wajar, dan tumbuh kepercayaan bahwa peneliti tidak akan menggunakan hasil
penelitiannya untuk maksud yang salah atau merugikan mereka. Berupaya agar dapat diterima
penuh, bukan tujuan akhir melainkan awal dari keberhasilan peneliti ethnometodologik,
demikian Geertz).

68
Untuk mencipta hubungan akrab perlu dimulai dengan upaya agar dapat diterima; untuk
itu perlu memperoleh izin. Izin tersebut diharapkan datang dari yang berwenang atau
berpengaruh dari satuan masyarakat yang dijadikan obyek penelitian. Dalam struktur masyarakat
yang mempunyai struktur hierarki sentral, izin formal dari atas perlu, tetapi izin
aktual-fungsional dari tokoh masyarakat yang bersangkutan penting sebagai landasan tumbuhnya
hubungan akrab tanpa curiga dari satuan masyarakatnya. Sesudah dapat izin dari tokoh
masyarakat, penelitiannya dapat saja dilakukan secara terbuka, tetapi dapat pula secara tersamar.
Secara tersamar, peneliti dapat memerankan diri sebagai perangkat desa, sebagai pegawai
administrasi, sebagai mahasiswa, atau peran lain yang tersamar. Untuk memperoleh izin dari
tokoh masyarakat untuk desa, pimpinan formal lembaga kerja, atau lainnya memerlukan siasat.
Tiga pesan singkat diberikan oleh Bogdan, yaitu: telaten, luwes, dan kreatif
Hari-hari pertama menjadi penting bagi penelitian ethnometodologik. Bogdan
mengetengahkan lima saran: ada yang mengenalkan Anda (sebaiknya oleh tokoh
masyarakatnya); pada hari-hari pertama, kunjungannya yang singkat, jangan terlalu lama;
berupaya untuk pasif, dan berupayalah untuk mengakrab.
Dalam observasi partisipan hubungan peneliti dengan yang diobservasi berada di antara
kutub observasi murni dengan kutub terlibat penuh. Hal itu perlu disadari, agar tidak
berkembang menjadi partisipasi penuh, atau dalam istilah antropologi going native, menjadi
pribumi. Dalam keadaan yang terakhr itu, peneliti dapat menjadi kabur tentang fokus
penelitiannya; dan dapat bergeser menjadi tidak tepat. Peneliti ethnometodologik penting sekali
mampu menginternalkan tujuan penelitian pada saat mengumpulkan data, agar analisis yang
dibuatnya di lapangan dapat tepat.
Wawancara merupakan metoda kedua dalam penelitian ethnometodologik, juga bagi
penelitian dengan pendekatan phenomenologik pada umumnya. Wawancara dapat difungsikan
dalam dua cara: pertama, sebagai metoda utama pcnelitian, dan kedua, sebagai pelengkap dari
metoda observasi. Mulailah wawancara dengan omong-omong biasa, untuk mencari dasar
wawancara selanjutnya. Ada dua. cara untuk menstrukturkan hasil penelitian. Pertama,
berpegang pada fokus tertentu dalam wawancara; kedua, wawancara dipandu oleh beberapa
pertanyaan, demikian Merton dan Kendall.

G. ANALISIS DATA
Analisis data.merupakan upaya mencari dan menata secara sistematis catatan hasil
observasi, wawancara, dan lainnya untuk meningkatkan pemahaman peneliti tentang kasus yang
diteliti dan menyajikannya sebagai temuan bagi orang lain. Sedangkan untuk meningkatkan
pemahaman tersebut analisis perlu dilanjutkan dengan berupaya mencari makna (meaning). Hal
mencari makna akan dijelaskan pada akhir subbab ini.
Bogdan membedakan analisis selama di lapangan dan analisis sesudah meninggalkan
lapangan. Langkah-langkah analisis selama di lapangan disebutkan oleh Bogdan antara lain:
pertama, usahakan mempersempit fokus studi. Mempersempit fokus tidak sama dengan
menspesifikkan obyek studi. Yang pertama berfikir holistik (ingat phenomenologik), yang kedua
berfikir parsial (ingat positivistik). Dengan mempersempit fokus, peneliti dapat lebih
mempersempit skopa data yang dikumpulkan. Kedua, tetapkan tipe studi Anda. Mungkin
pembaca dapat mencari idee tentang penetapan tipe studi dengan menelaah klaster tatafikir logik
di bagian kedua, terutama klaster A, B, dan C. Sejumlah obyek studi akan secara otomatis
menerapkan tipe tertentu, misal: telaah sejarah dengan sendirinya mengarah ke, tipe historik,
lelaah taksonomi tumbuhan dengan sendirinya mengarah ke tipe sistematik, telaah perkem-
bangan anak dengan sendirinya mengarah ke tipe genetik. Beberapa peneliti mungkin sekali
menempuh cara eklektik, dengan menggabungkan sejumlah tipe atas sejumlah alasan. Langkah
ketiga yang disarankan oleh Bogdan adalah mengembangkan secara terus menerus pertanyaan
analitik. Selama di lapangan peneliti bertanya, mencari jawab, dan menganalisisnya, selanjutnya

69
mengembangkan pertanyaan, baru untuk memperoleh jawaban, begitu dilakukan terus menerus
(baca tentang induksi analitik dan komparatif konstan) maka penelitian itu dapat mengarah ke
penyusunan grounded theory. Bila analisis itu dilakukan dengan mengaitkan temuan substantif
peneliti dengan issues teoretik, temuan peneliti akan menjadi lebih berharga. Langkah keempat
lain yang disarankan Bogdan adalah: tuliskan komentar peneliti sendiri (di depan kami sebut
sebagai catatan reflektif). Komentar peneliti tersebut secara bertahap berkembang perlu pula
diringkaskan, mengarah ke kepentingan tesebut pada langkah ketiga. Cakupannya dapat
menyangkut: hal-hal substantif, metodologik, dan teoretik. Langkah kelima yang tidak kalah
pentingnya adalah upaya penjajagan idee dan tema penelitian pada subyek responden sebagai
analisis penjajagan. Langkah ini tentu saja harus dilakukan pada tahap-tahap awal penelitian.
Tentu saja perlu dipilih subyek memang suka membantu. Langkah keenam adalah membaca
kembali kepustakaan yang relevan selama di lapangan. Cara ini membantu untuk
mengembangkan idee penulisan, tetapi perlu disadari bahayanya; peneliti dapat terpengaruh pada
idee, konsep, atau model yang dipakai penulis buku yang bersangkutan. Langkah ketujuh yang
disarankan oleh Bogdan adalah: gunakan metaphora, analogi dan konsep-konsep.
Pada awal subbab ini telah kami kemukakan bahwa analisis data perlu dilanjutkan
dengan mencari pemaknaan. Glaser mengatakan :.findings are soon forgotten, but not ideas.
Sehingga kitajangan terjebak ke pengumpulan sampah tetapi berupaya membangun idee;
memang idee perlu berlandaskan data. Data bukan tujuan, melainkan alat untuk memperjelas
fikiran kita dan mencari generalisasi idee kita, demikian Wright Mills. Cara membangun idee
tersebut dapat ditempuh dengan ragam alternatif yang penulis sajikan di Tata Fikir Logik di
Bagian Kedua buku ini. Agar data dan idee yang terhimpun tidak menggunung, perlu diberi
peluang untuk mengungkap sebagian. Ada dua cara yang disarankan Glaser, yaitu:
membicarakan sejumlah idee dengan kolega atau membuat komentar tertulis. Cara pertama
mungkin dapat menimbulkan bias, tetapi mungkin pula tepat bagi peneliti yang sering terjebak
ke pemikiran konvergen. Cara kedua sebaliknya menjadi tidak tepat bagi yang pemikirannya
cenderung konvergen dan kurang kreatif, tetapi dapat memurnikan konseptualisasinya bagi yang
kuat kemampuan dalam membangun konsep.
Analisis sesudah meninggalkan lapangan ada baiknya dimulai dengan mengambil
istirahat beberapa lama; dan siap kembali bekerja dengan fikiran yang segar. Ada dua langkah
awal sebelum kita. sampai ke proses penulisan laporan penelitian. Pertama, membuat
kategorisasi masalah/temuan dan menyusun kodenya. Kategori tersebut tentunya menggunakan
pola fikir tertentu (lihat alternatifnya pada tatafikir logik klaster A, B, dan C). Kedua, menata
sekuensi atau urutan penelaahannya. Tatafikir logik klaster H sampai dengan L dapat dipakai
untuk mencari alternatif cara penelaahannya.
TAMBAHAN: Struktur tulisan nonfiksi untuk laporan penelitian ethnographik terdiri atas:
pendahuluan, pokok isi, dan kesimpulan atau penutup. Dalam pendahuluan termasuk: latar
belakang, kedudukannya terhadap penelitian lain, dan desain penelitiannya. Dalam tulisan gaya
jurnalistik, hal terakhir memang tidak biasa ditampilkan. Pokok Isi menjadi semakin beragam,
dan dapat terdiri atas banyak bab. Pola sajiannya dapat dipilih dari ragam alternatif tatafikir logik
tersebut di Bagian Kedua, khususnya klaster A s.d. C dan H s.d. L. Kesimpulan atau Penutup
mencakup: ringkasan analisis beserta kesimpulannya, pemaknaan lebih dalam, kemungkinan
implikasi atau ekstensifikasi bagi penelitian lain. Perlu dicatat di sini bahwa penelitian
ethnographik cenderung ke idiographik daripada nomothetik. Keberlakuan pada kasus lain lebih
bersifat komparabilitas atau translabilitas, demikian Bogdan.
Kembali ke masalah analisis. Pada positivisme dikenal validitas dan reabilitas;. pada
model paradigma naturalistik konsep keduanya diganti dengan kredibilitas. Pada
ethnometodologi digunakan dua konsep yang penulis pandang dapat dipakai untuk mengganti
konsep validitas-reabilitas ataupun konsep kredibilitas, yaitu: indeksikalitas dan refleksikalitas.
Indeksikalitas adalah keterkaitan makna kata, perilaku, dan lainnya pada konteksnya.

70
refleksikalitas adalah tatahubungan atau tatasusunan sesuatu dengan atau dalam sesuatu lain.
Bila kedua tata tersebut diubah akan terjadi perubahan makna. Tuntutan syarat indeksikalitas dan
refleksikalitas menjamin terhindarnya penemuan ethnographik tetap mendeskripsikan natural
reality, bukan penafsiran para ahli, bukan produk artificial thinking. Catatan: sejumlah penganut
ethnometodologi masih terjebak dan mengkonsepkan pemikiran validitas dan reliabilitas,
termasuk Goetz dan LeCompte yang bukunya menjadi referensi kami juga.

71
III. MODEL PARADIGMA NATURALISTIK

A. MODEL YANG MENEMUKAN KARAKTERISTIK KUALITATIF PENUH


Dalam perjalanan yang panjang penuh makna akhirnya penulis dapat mencermati adanya
empat tahapan perkembangan pemikiran dalam mencari metodologi penelitian kualitatif.
Tahapan pertama, yaitu: model grounded research; tahapan kedua adalah Model
Ethnographik-Ethnometodologik; tahapan ketiga adalah Model Paradigma Naturalistik; dan
tahapan keempat adalah Model Interaksi Simbolik. Model pertama dan kedua sudah penulis
bahas di depan, sedangkan model ketiga sedang penulis bahas pada waktu ini; dan model
keempat akan penulis bahas sesudah membahas model ketiga.
Model grounded research penyumbang pertama pemikiran kualitatif dengan
mengetengahkan bahwa konsep harus dibangun dari emperi, teori harus dibangun dari data.
Fungsi penelitian bukan untuk memverifikasi teori, melainkan untuk membuat teori. Bukan data
dicocokkan dengan teori, melainkan data digunakan untuk membangun teori. Grounded research
yang diwakili oleh B.G. Glaser dan A.L. Strauss (1964) merupakan perintis metodologi kualitatif
dengan menekankan hal-hal di atas, tetapi kerangka pemikiran filosofiknya masih tetap sama
dengan yang kuantitatif, yaitu arah membangun teori substantif, teori formal, dan tidak menolak
arah pengembangan untuk memunculkan grand theory. Bila dilihat dari model Paradigma
Naturalistik, penyajian model grounded, masih terbatas. Itulah penulis sebut sebagai tahapan
pertama dari karakteristik kualitatif yang sempurna.
Model ethnometodologi sebagai tahapan kedua dari karakteristik kualitatif maju satu
langkah lagi, bukan berkutat pada membangun teori atas data (model grounded), melainkan
merumuskan lebih jelas menjadi generative sebagai lawan verifikatif, konstruktif (menemukan
konstruksi, mengabstraksi) bukan enumeratif (menjabarkan unit analisis), dan merekonstruksi
pemaknaan penelitian berdasar konseptualisasi masyarakat. Kerangka pemikiran tersebut masih
terkait dengan (dalam makna merespons menolak) yang kualititatif. Belum independen berfikir
dalam konstruksi kualitatif yang independen. Juga, konsep tentang kualitas penelitian, seperti
Goetz dan LeCompte, masih menggunakan konsep reliabilitas dan validitas.
Model paradigma naturalistik penulis sebut sebagai model yang telah menemukan
karakteristik kualitatif yang sempurna. Artinya bahwa kerangka pemikirannya, filsafat yang
melandasinya, ataupun operasionalisasi metodologinya bukan reaktif atau sekedar merespons
dan bukan sekedar menggugat yang kuantitatif, melainkan membangun sendiri kerangka
pemikirannya, filsafatnya, dan operasionalisasi metodologinya. Lebih jauh harap ditelaah
uraian-uraian selanjutnya.

B. EGON G. GUBA
Egon G. Guba yang pernah penulis temui pada tahun 1988 di University of Ohio di
Athens adalah tokoh sentral dari paradigma naturalistik. Pendidikan yang diperolehnya:
Baccalaureat dalam matematika dan phisika, klaster dalam statistik dan pengukuran, serta Doktor
dalam penelitian kuantitatif. Perhatiannya pada penelitian naturalistik tumbuh karena permintaan
pihak lain yang memintanya (selaku Direktur Penelitian dan Layanan Pendidikan Ohio State
University) untuk membuat evaluasi suatu proyek, ternyata tidak berguna bila digunakan
metodologi penelitian yang biasa digunakan (metodologi kuantitatif). Bersamaan dengan itu
pertanyaan-pertanyaan yang mengusik dari Yvonna Lincoln, mahasiswa yang sangat cerdas,
yang akhirnya menjadi asistennya, tentang metoda-metoda evaluasi menumbuhkan
skeptisismenya pada metodologi kuantitatif. Pernyataan-pernyataanya menjadi formal pada
monograph yang ditulisnya tahun 1977 di UCLA. Sejak itu perhatian terpusat pada model
metodologi penelitian kualitatif yang kita kenal sebagai paradigma naturalistik. Buku
Naturalistic Inquiry yang terbit tahun 1985 dan ditulis bersama Yvonna Lincoln, penulis pakai

72
sebagai sumber dan kerangka penulisan tentang paradigma naturalistik. Dalam edisi III ini
dilengkapi dari Denzin and Yvonne Lincoln, 1994.

C. PENELITIAN NATURALISTIK
Guba mengetengahkan empatbelas karakteristik yang mempunyai hubungan sinergistik,
artinya bila salah satu karakteristik dipakai, karakteristik yang lain akan tampil dengan profil
yang berbeda-beda. Ada hubungan logik, interdependensi, dan koherensi. Karakteristik tersebut
adalah:
Pertama, konteks natural, yaitu suatu konteks kebulatan menyeluruh, yang tak akan
difahami dengan membuat isolasi atau eliminasi sehingga terlepas dari konteksnya. Suatu
phenomena hanya dapat ditangkap maknanya dalam keseluruhan dan merupakan suatu bentukan
hasil peran timbal-balik, bukan sekedar hubungan kausal linier saja.
Kedua, instrumen human. Sifat naturalistik menuntut agar diri sendiri atau manusia lain
menjadi instrumen pengumpul data atas kemampuannya menyesuaikan diri dengan berbagai
ragam realitas, yang tidak dapat dikerjakan oleh instrumen nonhuman, mampu menangkap
makna; interaksinya momot nilai, lebih-lebih untuk menghadapi nilai lokal yang berbeda,
sehingga hanya instrumen human yang mampu mengadaptasi; tidak dapat dikerjakan oleh
instrumen nonhuman seperti kuesioner.
Ketiga, pemanfaatan pengetahuan tak terkatakan. Sifat naturalistik memungkinkan kita
mengangkat hal-hal tak terkatakan yang memperkaya hal-hal yang diekspresikan. Realitas itu
mempunyai nuansa ganda yang sukar difahami tanpa memperkaya yang terekspresikan dengan
yang tak terkatakan.
Keempat, metoda kualitatif. Sifat naturalistik lebih memilih metoda kualitatif daripada
kuantitatif, karena lebih mampu mengungkap realitas ganda; lebih mengungkap hubungan wajar
antara peneliti dengan responden; dan karena metoda kualitatif lebih sensitif dan adaptif terhadap
peran berbagai pengaruh timbal-balik.
Kelima, pengambilan sampel secara porposive. Sifat naturalistik meng hindari
pengambilan sampel acak, yang menekan kemungkinan munculnya kasus menyimpang; menurut
penulis pengambilan sampel acak peran sejumlah variabel menjadi moderate, karakteristik
ekstrim tidak muncul. Paradigma naturalistik memilih pengambilan sampel secara purposive atau
teoretik. Dengan pengambilan sampel secara purposive, hal-hal yang dicari dapat dipilih pada
kasus-kasus ekstrim, sehingga hal-hal yang dicari tampil menonjol dan lebih mudah dicari
maknanya. Hasil yang dicapai dengan pengambilan sampel ini bukan untuk mencari generalisasi.
Dengan istilah Guba, hasil penelitian pada satu kasus mungkin dapat transferabel pada kasus
lain; dengan konsep positivistik, hasil penelitian tersebut dapat digeneralisasikan pada parent
population-nya, yaitu pada populasi yang memiliki ciri-ciri kasus itu. Konsep generalisasi pada
metodologi positivistik diganti konsep transferabilitas pada E.G.Guba.
Keenam, analisis data induktif. Sifat naturalistik lebih menyukai analisis
induktif daripada deduktif, karena dengan cara tersebut konteksnya akan lebih mudah
dideskripsikan.
Ketujuh, grounded theory. Sifat naturalistik lebih mengarahkan penyusunan teori (yang
lebih mendasar) diangkat dari emperi. bukan dibangun secara a priori. Generalisasi a priorik
nampak bagus sebagai ilmu nomothetik, tetapi lemah untuk dapat sesuai dengan konteks
idiographik.
Kedelapan, desain sementara. Sifat naturalistik cenderung memilih penyusunan desain
sementara daripada mengkonstruksikannya secara apriori, karena realitas ganda sulit
dikerangkakan; karena peneliti sulit mempolakan lebih dahulu apa yang ada di lapangan; dan
karena banyak sistem nilai yang terkait dan interaksinya tak terduga.
Kesembilan, hasil yang disepakati. Sifat naturalistik cenderung menyepakatkan makna
dan tafsir atas data yang diperoleh dengan sumbernya; sebaiknya hipotesis kerja diuji dan dicari

73
kepastiannya pada penduduk yang tinggal dalam konteksnya, karena responden lebih memahami
konteksnya daripda peneliti; karena responden dapat lebih baik memahami dan mengartikan
pengaruh pola nilai lokal.
Kesepuluh, modus laporan studi kasus. Sifat naturalistik lebih menyukai modus laporan
studi kasus daripada modus lain, karena dengan modus laporan studi kasus deskripsi realitas
ganda yang tampil dari interaksi peneliti dengan responden dapat terhindar dari bias; laporan
semacam itui dapat menjadi landasan bagi generalisasi naturalistik individual (istilah Stake) dan
mempunyai transferabilitas pada kasus lain (istilah Guba). Modus laporan tersebut
memungkinkan tampilnya pandangan nilai peneliti, teori substansiainya, paradigma
metodologinya, dan nilai kontekstualnya.
Kesebelas, penafsiran idiographik. Sifat naturalistik mengarah ke penafsiran data
(termasuk penarikan kesimpulan) secara idiographik (dalam arti keberlakuan khusus), bukan ke
nomothetik (dalam arti mencari hukum keberlakuan umum), karena penafsiran yang berbeda
nampaknya lebih memberi makna untuk realitas yang berbeda konteksnya; nampaknya
penafsiran yang lebih membobot berat pada hal khusus lokal lebih valid, karena peran interaktif
berbagai faktor lokal lebih menonjol, juga sistem nilainya.
Keduabelas, aplikasi tentatif. Sifat naturalistik cenderung lebih menyukai aplikasi
tentatif daripada aplikasi meluas atas hasil temuannya, karena realitas itu ganda dan berbeda
karena interaksi antara peneliti dengan responden itu bersifat khusus dan tak dapat
dipublikasikan.
Ketigabelas, ikatan konteks terfokus. Metodologi positivistik menuntut obyek penelitian
dispesifikkan, dieliminasikan dari obyek lain; sedangkan pada metodologi naturalistik menuntut
pendekatan holistik, kebulatan keseluruhan; hanya pada karakteristik ketigabelas ini yang
holistik tersebut ditelaah dengan mengaksentuasikan pada fokus sesuai dengan masalahnya,
evaluasinya, atau tugas-tugas yang hendak dicapai. Dengan pengambilan fokus, ikatan kese-
luruhannya tidak dihilangkan, tetap terjaga keberadaannya dalam konteks, tidak dilepaskan dari
sistem nilai lokalnya.
Keempatbelas, kriteria keterpercayaan. Sifat naturalistik mencari kriteria keterpercayaan
yang sesuai dengan penelitiam naturalistik. Metodologi pasitiviotik positivistik membedakan
empat kriteria keterpercayaan penelitian, yaitu: validitas internal, validitas eksternal, reliabilitas,
dan obyektivitas. Dalam metodologi naturalistik keempatnya diganti oleh Guba dengan
kredibilitas, transferabilitas, dependanbilitas, dan konfirmabilitas.

D. PARADIGMA SCHWARTZ DAN OGIVLY


Apa yang disajikan di bawah ini bukan paradigma penelitian melainkan paradigma
displin ilmu. Substansial paradigma ini membantu paradigma naturalistik sebagai pendekatan
penelitian, dan diketengahkan oleh Peter Schwatrz dan James Ogivly dalam suatu monograph
yang terbit tahun 1979. Bila diringkaskan paradigma tersebut adalah sebagai berikut:
Pertama, gerakan dari realitas sederhana ke realitas kompleks. Realitas sekarang ini
menjadi semakin jelas bahwa ada diversitas dan interaktivitas. Sekarang ini sudah tidak cukup
dengan studi yang membatasi pada sejumlah variabel, dan mengasumsikan variabel lain konstan.
Keragaman dan peran timbal balik menjadi realitas yang tak dapat ditolak.
Kedua, gerakan dari konsep tata hierarkik ke heterarkhik. Paradigma lama berlandaskan
prinsip hierarkik; ada tata hierarkik alam yang inheren sifatnya, ada hak penguasa, keunggulan
pria atas wanita, tabel unsur-unsur kimia, dan lain-lain. Sekarang ini difahami lain, kalaupun
adatata, banyak dari tata tersebut mempunyai hubungan horizontal; yang satu sama lain saling
tergantung, saling mempunyai peranan, peran pria wanita itu komplementer, ada hak dan
kewajiban penguasa, nilai rasionaletik sederajat dengan nilai sosial-manusiawi, dan lain-lain.
Heterarkhik adalah bergesernya kekuasaan dari tunggal menjadi kekuasaan demokrasi,

74
bergesernya dari peran tunggal menjadi hambatan dan pengaruh timbal balik; dari kompromi
atau rerata menjadi keragaman dan tak terduga.
Ketiga, gerakan dari citra mekhanik ke citra holographik. Konsep ini memang bersifat
metaphorik, sehingga pemahamannya tidak mudah, dibuat analogipun juga. tidak dapat tepat
sama. Citra mekhanik kita tampilkan antara lain, bagaimana bulan dan bintang-bintang beredar
mengorbit pada porosnya, sedangkan citra holographik, pada satu tahap perlu penjelasan
matematik, pada tahap lain memerlukan penjelasan mekhanisme phisik, dan seterusnya. Gestalt
mengajarkan kepada kita keseluruhan itu lebih dari sekedar bagian-bagiannya; maka
holographik mengajarkan setiap bagian mengandung keseluruhan pada setiap bagian
mengandung informasi dari keseluruhannya. Betapapun kecilnya suatu bagian, menurut citra
holographik, memungkinkan kita memperoleh informasi keseluruhannya.
Keempat, gerakan dari determinasi ke interdeterminasi. Percaya pada hubungan
mekhanistik alam semesta memudahkan dia mencitra yang lain demikian pula. Memahami
adanya keragaman dan peran interaktif berbagai faktor, baik dalam arti rasional maupun etik
menjadikan kita. faham indeterminasi itu rasional logik, dan moral adil.
Kelima, gerakan dari hubungan kausal linier ke hubungan kausal timbalbalik. Ilmuwan
yang mencitra dependensi mekhanik, yang berarti mencitra determinasi pada setiap rincinya,
akan menjurus pemikirannya pada kausalitas linier. Berfikir -refiektif yang membatasi pada
induksi-deduksi, yang masih linier, telah penulis kembangkan di bagian kedua buku ini menjadi
kontekstual, dalam makna masa lampau-kini-mendatang, dalam makna sentral-peripher, dan
dalam makna vertikat-horizontal-sekuensial.
Keenam, gerakan dari perakitan ke morphogenesis. Deskripsi metaphorik perubahan
bentuk, dideskripsikan di atas sebagai perubahan bentuk dari citra mekhanik ke citra
holographik. Dari perakitan ke morphogenetik itu merupakan deskripsi metaphorik tentang
perubahan itu sendiri, yaitu dari citra perakitan (dari komponen-komponen dengan
fungsi-fungsinya dirakit menjadi satu integritas) ke citra morphogenetik (perubahan dramatik
dan tak terduga, berproses membangun bentuk tata lebih tinggi dari tata lebih rendah). Proses
morphogenetik tersebut memerlukan diversivitas, keterbukaan, kompleksitas, kausalitas
timbalbalik, dan indeterminasi. Dalam kondisi seperti itu perubahan kualitatif yang hebat dapat
terjadi.
Ketujuh, gerakan dari tinjauan obyektif ke perspektif. Obyektivitas itu ilusi, demikian
Schwartz dan Ogivly. Kita tak dapat netral, ada subyektivitas kita. Kita tidak bebas nilai, tetapi
mempunyai orientasi nilai. Dengan subyektivitas kita dan dengan orientasi nilai kita, kita mampu
menangkap berbagai makna yang terkandung dalam emperi kehidupan kita, yang tidak
terungkap dengan sikap obyektif dan iletral kita. Subyektif yang kita kemukakan berbeda
konotasinya dengan subyektif dalam konotasi biasa. Dalam konotasi biasa subyektif akan
menibawa kita kepada bias, mempribadi, tak berlaku umum, sedang subyektifitas yang kita
maksud memiliki konotasi tak terduga, divergensi, keterbukaan, dan adanya peluang alternatif
serta prioritas. Dengan pemikiran yang seJalan, pada berbagai forum penulis menggunakan
istilah proporsional, bukan prespektif, misalnya pada akhir Bagian Pendahuluan.

E. AKSIOMA DALAM PARADIGMA NATURALISTIK


Dari empatbelas karakteristik penelitian naturalistik dari Guba dan tujuh paradigma
substansial dari Schwartz dan Ogivly dapat diketengahkan lima aksioma untuk membangun
paradigma naturalistik.
Aksioma 1: Realitas.
a. Realitas itu kompleks:
1) sistem dan organisme tak dapat dipisah-pisahkan, keberadannya tergantung pada
interaksi timbalbaliknya;
2) makna tidak atomistik tetapi kontekstual.

75
b. Ada tata dalam realitas:
1) semua yang nampak tertata itu ditentukan oleh alam fikir kita; itu merupakan tatafikir
kita;
2) orientasi perilaku manusia itu pluralistik: dalam orientasinya pada nilai, pada politik, dan
lain-lain. Prinsip tatahubungannya lebih ke heterarkhik daripada hierarkik.
c. Realitas itu tampil dalam berbagai perspektif
1) perspektif yang dipakai seseorang mempengaruhi apa yang nampak sebagai realitas;
2) apa yang kita yakini mempengaruhi penampakkan realitas,;
3) realitas ada sebagaimana dikenal manusia, bukan ada. Sebagaimana adanya.
d. Ada keterhubungan timbalbalik antarberbagai sesuatu
1) segala sesuatu saling berhubungan;
2) ada jaringan keterhubungan alam semesta;
3) ada keterkaitan timbalbalik antara yang mengenal dan yang dikenal.
Aksioma 2 : Interaksi yang mengenal dengan yang dikenal.
a. Hubungan itu indeterminatif:
1) ada keterlibatan timbalbalik antara yang mengenal dengan yang dikenal;
2) proses observasi mempengaruhi hasil;
b. Kausalitas itu timbalbalik
c. Pengenal kita itu bersifat perspektif
1) dari mana dan cara bagaimana mempengaruhi apa yang kita lihat;
2) pengetahuan dijaga (dari bias) bukan dengan mengabstraksilean dari semua perspektif,
melainkan dengan membuat keseimbangan perspektif ganda untuk menghindarkan bias;
3) obyektivitas itu ilusi.
Aksioma 3 : Keterkaitan pada waktu dan konteks.
a. Keterkaitan pada waktu dan konteks menjadikan sesuatu itu kompleks
1) sistem dan organisme tak dapat dipisahkan dari lingkungannya, karena makna dan
eksistensinya terkait pada sistem dan organisme lain;
2) pengetahuan menjadi bermakna bila berada dalam konteks;
3) penelitian haruslah memperhitungkan sifat permanen dan generalisasinya.
b. Ada tata heterarkhik:
sistem atau organisme mana yang dominan, tergantung pada keseluruhan situasi dan
ditentukan oleh interaksi sistem dan organisme.
c. Sesuatu itu bersifat holographik:
informasi itu menyebar pada seluruh sistem, bukan terkonsentrasi pada titik tertentu.
d. Berlaku prinsip indeterminatif.
dalam sistem atau organisme yang kompleks kemungkinan masa datang dapat dikenal, tetapi
akibat tepat sukar dapat diketahui berdasar kondisi sekarang.
e. Ada kausalitas timbalbalik:
1) untuk memahami seluruh sistem diperlukan pengenalan sejarah atau prosesnya, yang
tidak dapat difahami berdasar kondisi sekarang;
2) kausalitas timbalbalik cenderung memproduk hasil yang tak dapat diduga.
f. Terjadi proses morphogenetik:
perubahan itu tidak hanya berlangsung berkelanjutan dan kuantitatif, tetapi juga tak
berkelanjutan dan kualitatif
Aksioma 4 : Pembentukan timbalbalik dan simultan.
a. Struktur tersusun heterarkhik:
struktur sistem dan organisme bekerja heterarkhik, membentuk jaringan pengaruh dan
hambatan timbalbalik.
b. Ada kausalitas timbalbalik:

76
1) kausalitas deterministik kaku diganti inovasi tak terduga, yang muncul secara
morphogenetik melalui interaksi dan fluktuasi kausal timbalbalik,
2) kausalitas timbalbalik bukan mengarah ke stabilitas, tetapi mengarah ke perubahan
simbiotik dan evolusi.
c. Sistem terbentuk secara morphogenetik:
1) sistem dan organisime baru dan berbeda terbentuk dari yang lama lewat proses yang
kompleks;
2) tata sistem dan organisme lebih tinggi tersusun dari tata lebih rendah; tata juga dapat
muncul dari tiada tata.
Aksioma 5 : Keterkaitan pada nilai.
a. Kepentingan kita memberi perspektif pengetahuan kita:
1) semua pengetahuan kita itu pada hakikatnya adalah pengetahuan atas kepentingan,
meskipun kita tak bermaksud mengkaitkan dengan kepentingan tertentu dalam kita
mengembangkannya; suatu keharusan ilmiah untuk mengadakan penelitian, bila manusia
memang berkepentingan;
2) konsep paradigma bergeser dengan sendirinya, hal tersebut membuka kemungkinan
adanya program penelitian dengan asumsi yang sangat beragam.

F. REALITAS, OBSERVASI, DAN GENERALISASI


Bagi Guba realitas itu ganda, karena dikonstruksikan oleh orang berbeda sesuai dengan
pandangannya sendiri, Universitas Harvard, proyek bom atom Manhattan, Watergate, dan era
perang Vietnam itu tidak pernah ada dalam realitas lain daripada yang dikenal orang. Pengenalan
orang terhadap hal tersebut berbeda-beda, sehingga masing-masing pasti ada kurangnya dan ada
kelirunya dibanding yang lain. Realitas tersebut disebut constructed realitv. Kebenarannya
ditentukan oleh kesepakatan kelompok, meski bukan sekedar konsensus. Hal yang membatasi
(sehingga realitas menjadi ganda dan tak dapat tunggal) adalah adanya hambatan ekstern, yaitu
sulitnya memperoleh kesepakatan.
Dalam terapan penelitian itu berarti bahwa kita perlu memperlengkapi kognisi kita dan
pembaca kita sehingga realitas yang kita deskripsikan dalam penelitian kita menjadi realitas yang
beda dan kelirunya pengenalan dapat minimal, agar dapat dicapai kesepakatan kita (peneliti dan
pembaca) bahwa realitas hasil penelitian tersebut memperoleh kesepakatan kelompok.
Realitas yang kita deskripsikan merupakan suatu keseluruhan dalam konteksnya, yang
tidak dapat diparsialkan.
Bagi paradigma naturalistik Guba, observasi itu interaktif, antara peneliti dengan yang
diteliti, dan ada pengaruh dan hambatan timbalbalik. Karena itu peneliti harus memandang yang
diobservasi sebagai subyek, mereka beraktivitas, segala sesuatunya indeterminan, dan secara
bersama peneliti dan yang diobservasi membangun data penelitian. Subyek yang diobservasi
bukan subyek diam, melainkan secara aktif mereaksi sebagai subyek, itulah yang dikatakan oleh
Guba bahwa manusia itu makhluk yang beraktivitas, aktif mereaksi, Peneliti dengan yang
diobservasi tidak pilah dikhotomik, melainkan menyatu dan membangun data penelitian.
Mungkin peneliti tidak segera memahami makan sesuatu kejadian di lokasi penelitian, yang
menjadi subyek sumber informasi dapat membantu menjelaskan, sehingga pemaknaannya dapat
dikatakan disusun bersama antara peneliti dan subyek observasi.
Di Bagian Pendahuluan dan diuraikan terdahulu pada bagian ini telah dikemukakan
bahwa Guba mengganti generalisasi dengan transferabilitas. Pada uraian berikut akan dibahas
mengapa demikian?
Berulangkali orang mengemukakan bahwa tujuan ilmu adalah membuat prediksi dan
mengontrol. Untuk dapat menjalankan fungsi tersebut perlu semacam hukum-hukum yang dapat
dipakai untuk membuat prediksi dan mempunyai hukum-hukum yang dapat dipakai untuk
mengontrol pengembangan dan perkembangan obyek ilmu yang bersangkutan. Ilmu yang

77
mencari hukum untuk keperluan tersebut biasa disebut ilmu nomothetik yang mencari
generalisasi nomik atau nomologik. Dengan demikian generalisasi dengan tujuan tersebut
menjadi pernyataan yang mengandung kebenaran universal, bebas waktu dan tempat, bebas
konteks, dan tahan uji terhadap nilai.
Sejumlah kelemahan generalisasi menurut konsep klasik dikemukakan oleh Kaplan
(1964), yang intinya sebagai berikut: Pertama, terikat asumsi determinisme. Membuat
generalisasi yang keberlakuannya universal, memerlukan asumsi bahwa ada hubungan tertentu
yang pasti dan ajeg antara sejumlah sesuatu, seliingga dapat diprediksikan kejadian selanjutnya;
kedua, terikat pada logika induktif Generalisasi tak ada dalam senyatanya; itu merupakan kreasi
aktif fikir kita. Generalisasi yang diharapkan memprediksi keberlakuan umum pada kasus
spesifik, memerlukan pengujian berulang kali pada emperi-emperi spesifik; itu berarti proses
induktif menjadi mutlak perlu; ketiga, terikat pada asumsi bebas konteks dan waktu.
Generalisasi nomologik memperlakukan generalisasinya sebagai hukum yang berlaku umum,
bebas konteks dan waktu. Mungkinkan itu? Pengalamah membuktikan kepada kita tentang
adanya sikon, situasi dan kondisi yang perlu diperhatikan; Keempat, terjebak pada dilema
nomothetik-idiographik. Ilmu pengetahuan alam, yang nomothetik mendasarkan diri pada
hukum, sedangkan humaniora, yang idiographik mendasarkan diri pada sifat individual khusus.
Data menunjukkan bahwa 80% wanita dengan tanda-tanda seperti itu terkena kanker leher
rahim; cukup beranikah kita mengatakan pada pasien itu (sebelum kita memeriksa lebih
mendalam individual khusus pada yang bersangkutan) bahwa Anda besok pagi supaya siap
untuk operasi histerektomi; kelima, terjebak pada konsep reduksionisme. Upaya membuat
generalisasi tidak lain dari upaya mereduksi keseluruhan menjadi sampel-sampel yang
diasumsikan representatif, Masalahnya: apakah keseluruhan itu terjangkau dan apakah sampel
yang diambil itu memang sudah menjangkau dimensi atau komponen yang ada pada
keseluruhan?
Untuk mengganti generalisasi klasik dengan sejumlah kelemahan tersebut Guba
menawarkan rumusan baru dari Cronbach (1975), yaitu hipotesis kerja. Dertgan memberi
peluang perhatian pada kondisi lokal, sesuatu generalisasi merupakan hipotesis kerja (baru),
bukan kesimpulan.
Apakah hipotesis kerja dari konteks A dapat diterapkan pada konteks B? Guba lebih,
lanjut menawarkan (yang telah berulang kami sebut di uraian terdahulu) transferabilitas, sesuatu
yang diperoleh dari kasus satu dapat ditransfer, dalam arti dengan beberapa tingkat kesesuaian,
bukan kesesuaian penuh, pada kasus lain.
Di samping tawaran Cronbach dan Guba tersebut Schawrtz dan Ogivly menawarkan
generalisasi holographik. Menurut citra holographik, pada setiap bagian (betapapun kecilnya)
mengandung makna keseluruhannya. Dengan menemukan keseluruhan esensi sesuatu (itu
pendapat kami), maka kita dapat memahami keseluruhan sesuatu tersebut. Sesuatu esensi yang
holographik, memungkinkan kita menangkap esensi dari satuan lebih besar, dan dapat
menampilkan karakteristik obyek studi kita, entah diberi nama hipotesis kerja baru (pada akhir
penelitian), entah deskripsi idiographik yang transferabel pada kasus lain, atau generalisasi
holographik. Terserah pilihan para pembaca yang hendak mengikuti model paradigma
naturalistik dari Guba ini.

G. KAUSALITAS DAN DAMPAK NILAI


Konsep eksplandsi menurut metodologi positivistik berpusat pada kausalitas, atas asumsi
semua peristiwa sosial merupakan dunia kausal deterministik. Benarkah ilmu sosial selayaknya
berorientasi dan berasumsi demikian?
Manusia adalah makhluk antisipatorik. Manusia dapat memproduk akibat dengan
mengantisipasi sebab; berarti akibat, mendahului sebab. Ada tanda-tanda bahwa dia dapat tidak
lulus, dan pahit akibatnya. Agar diperoleh akibat yang manis cerah, mahasiswa tersebut belajar

78
keras luar biasa; akibat dirancangkan sesuai dengan maunya, penyebabnya disesuaikan dengan
akibat yang dirancangkannya.
Dalam metodologi positivistik, kausalitas itu linier, sedangkan dalam metodologi
phenomenologik kausalitas itu timbalbalik, heterakhik, indeterminatif, dan morphogenetik.
Dengan adanya aksi timbalbalik maka hubungan kausal linier tak terjadi, yang terjadi adalah
saling berperan, sederajat, tak terduga, menuju ke bentuk yang lebih sempurna dengan cara dan
proses beragam. Yang terjadi adalah saling membentuk, mutual shaping.
Positivisme menuntut penelitian harus bebas nilai (value-free). Metodologi penelitian
positivistik berupaya menyingkirkan segala yang dapat disebut subyektif Konotasi subyektif
dalam positivisme adalah semua yang menjadi bersifat pribadi, yang tidak berlaku umum,
termasuk juga yang terkait pada nilai-nilai seperti politik, agama, dan lain-lain.
Phenomenologi, termasuk paradigma naturalistik berpendapat bahwa bagaimanapun
orang berupaya untuk tidak mempunyai kepentingan, tetap saja ada kepentingan masuk dalam
penelitian kita; mengejar yang obyektif bebas nilai itu ilusi; penelitian bagaimanapun menjadi
terkait nilai (value-bound). Pengenalan kita bersifat perspektif. bagaimana dan dari mana kita
mengenal dan mempengaruhi apa yang kita kenal. Bagi phenomenologi: teori dan fakta
ditentukan oleh nilai (value-determined). Bandingkan dengan rasionalisme: teori ditentukan oleh
nilai, dan fakta momot teori (theory-laden); dan bandingkan pula positivisme: teori harus bebas
nilai, dan fakta itu realitas emperik sensual.
Pendekatan phenomenologik mengakui empat sumber dampak nilai dalam penelitian,
yaitu: nilai dari fihak peneliti itu sendiri, nilai dalam konteks kultural obyek penelitian, nilai
yang terjabarkan dalam substansi penelitian, dan nilai yang terjabarkan dalam metodologi
penelitian.
Pada uraian E, F, dan G tersebut di atas kita membahas lima aksioma dasar dari
paradigma naturalistik, pada filosophik dan pada teoretik metodologik penelitiannya. Pada uraian
berikut kita membahas paradigma naturalistik pada operasional metodologi penelitiannya. Kita
mulai dengan uraian sinergestik tentang prosedur dan metoda sebagai realisasi dari lima aksioma
paradigma naturalistik, implementasi studi lapangan, merancangkan bagaimana agar rekaman
kita terpercaya, memproses data yang berlangsung berkelanjutan selama penelitian, dan akhirnya
membahas tentang penyusunan laporan.

H. ARUS PENELITIAN NATURALISTIK


Perlu diperhatikan atau perlu diperbandingkan perbedaan mendasar tahap-tahap dalam
penelitian yang menggunakan pendekatan positivistik dan rasionalistik di satu fihak dengan yang
menggunakan pendekatan phenomenologik di lain fihak, lebih khusus lagi pada, uraian berikut
ini pendekatan naturalistik, yang melandaskan diri pada lima aksioma paradigma naturalistik.
Sesuatu yang jelas sulit bagi yang terbiasa pada cara kerja positivistik ke cara kerja
phenomenologik; lebih mudah mengembangkan cara kerja positivistik ke cara kerja rasionalistik.
Berikut disajikan arus kerja penelitian naturalistik yang diangkat dari bagan arus penelitian
naturalistik dari Yvonna Lincoln dan Guba.
Penelitian naturalistik cukup logis bila dilaksanakan dalam konteks natural/wajar.
Penelitian demikian menuntut manusia sebagai instrumen penelitian, karena lebih mampu
menyesuaikan pada situasi tak tentu, dapat membangun dari suasana yang tak terkatakan, di
samping dari yang terkatakan juga sesuai dengan menerapkan metoda yang lebih manusiawi,
yaitu: interviu dan observasi yang dapat menangkap nuansa yang tak terungkap dengan metoda
yang lebih distandarkan.

79
Perbedaan yang tajam dengan metodologi positivistik dan rasionalistik, metodologi
model paradigma naturalistik menuntut langsung terjun ke lapangan, dan empat unsur sekaligus
di tata dan dikembangkan: menetapkan sampel secara purposive, mengadakan analisis ddta
secara kualitatif, mengembangkan grounded-theory secara induktif, dan mengembangkan desain
penelitiannya. Pada waktu terjun ke lapangan tersebut, peneliti tidak membawa desain dan
instrumen (seperti kuesioner, angket, interviu-guide, dan semacamnya), dan juga tidak membawa
prakonsep tertentu. Di lapangan, sambil mengamati sampelnya, menganalisis datanya, mencoba
mencari alternatif grounded-theory-nya, dan membuat desain penelitiannya, - yang kesemuanya
itu akan terus dapat berubah atau diperkembangkati, sesuai konteks dan sikon yang tak tentu.
Upaya menata dan mengembangkan keempat unsur tersebut terus dilakukan sehingga
diperoleh hasil sebagaimana disepakatkan dengan responden; dan dapat dilihat cukup dan

80
mungkinnya sebagai laporan. Laporan itu diharapkan mengandung deskripsi idiographik, tetapi
sekaligus mengandung makna tranferabilitasnya pada kasus lain.

I. WATAK DAN KONTEKS NATURALISTIK


Penelitian dengan paradigma naturalistik menuntut dilaksanakannva penelitian dalam
konteks naturalistik, dengan harapan makna yang diangkat dari penelitian tersebut memang dari
konteksnya, bukan dari prakonsep penelitinya; pemaknaan hasil interviu dan/atau observasi tidak
dapat tidak terkait ke waktu dan konteks tertentu.
Manusia sebagai Instrumen
Guba dan Lincoln (1981) mengetengahkan tujuh karakteristik yang menjadikan manusia
sebagai instrumen penelitian memiliki kualifikasi baik, yaitu: sifatnya yang responsif, adaptif,
lebih holistik, kesadaran pada konteks tak terkatakan, inampu memproses segera, mampu
mengejar klarifikasi dan mampu meringkaskan segera, dan mampu menjelajahi jawaban
ideosinkretik dan mampu mengejar pemahaman yang lebih dalam.
Pengetahuan tak terkatakan adalah semua yang kita ketahui dikurangi yang terkatakan.
Termasuk dalam pengetahuan tak terkatakan seperti perilaku kita yang dapat diamati tetapi tak
terkatakan: perilaku kita ketika bingung berbeda dengan ketika kita bahagia, lain ketika kita
bergembira; berbeda karena kita laki-laki dengan bila kita perempuan; hakim berupaya mencari
yang salah dan tidak salah dengan mengungkap yang tak terkatakan, tetapi nampak dalam
perilakunya, ekspresinya, cara mengatakan, dan semacamnya. Paradigma naturalistik
menggunakan pengetahuan tak terkatakan menjadi eksplisit dan legal; seperti juga hakim yang
mengaktualkan yang tak terkatakan tetapi terungkap lewat perilaku dan lainnya menjadi dasar
pertimbangan pengambilan keputusannya. Dalam laporan penelitian pengetahuan tak terkatakan
harus diubah menjadi pengetahuan terkatakan oleh peneliti.

Metoda-metoda Kualitatif
Metoda kualitatif lebih diutamakan dalam paradigma naturalistik, bukan karena
antikuantitatif, melainkan karena metoda kualitatif lebih manusiawi, bagi manusia sebagai
instrumen penelitian. Metoda interviu dan observasi, dan juga teknik-teknik analisisnya lebih
merupakan ekstensi dari perilaku manusia, seperti mendengarkan, berbicara, melihat,
berinteraksi, bertanya, minta penjelasan, mengekspresikan kesungguhan dan menangkap yang
tersirat.

J. ITERASI EMPAT UNSUR PENELITIAN NATURALISTIK


Pengambilan Sampel Purposive
Bagi positivisme, pengambilan sampel langsung terasosiasi tentang masalah
representativitas. Bahkan dalam pengambilan sampel acak, positivisme bertolak dari asumsi
bafiwa setiap unsur dalam populasi mempunyai peluang yang sama untuk terpilih sebagai
sampel.
Berfikir representativitas tersebut mungkin bila kita pasti tentang homogenitas populasi. Tetapi
bagi penelitian naturalistik spesifikasi yang homogin tersebut menjadi sub-unit yang lebih kecil
dengan karakteristik lebih spesifik dipandang lebih membantu untuk bertolak dari hal yang lebih
kontekstual. Berbeda dengan konsep positivistik yang bertolak dari konsep asumsi homogenitas
atau populasi berdistribusi normal. Penelitian naturalistik bertolak dari asumsi bahwa konteks
akan lebih mendekatkan kepada karakteristik idiographik.
Michael Quinn Patton (1980) mengetengahkan pengambilan sampel dalam enam tipe,
yang lebih berharga daripada pengambilan sampel secara acak, yaitu:
(a) sampel ekstrim atau kasus yang menyimpang untuk mendapatkan informasi kasus
ekstrimnya;
(b) sampel kasus tipikal, untuk menghindari penolakan informasi yang memang khusus;

81
(c) sampel yang memberikan keragaman maksimal, untuk merekam keragaman yang unik;

(d) sampel pada kasus-kasus ekstrim, untuk memperoleh informasi aplikasi maksimum pada
kasus lain, karena bila pada kasus yang ekstrim dapat berlaku, tentunya pada kasus kurang
ekstrim akan dapat pula digunakan;
(e) sampel untuk kasus-kasus sensitif, untuk menarik perhatian pada studi tersebut;
(f) sampel yang memudahkan, untuk menghemat uang, waktu, atau kegiatan penelitian itu
sendiri.
Glaser dan Strauss mengetengahkan sampel teoretik, yang hampir sinonim dengan
sampel purposive. Mengangkat pemikiran sampel teoretik dari Glaser dan Strauss, Guba
mengetengahkan empat karakteristik sampel purposive, yaitu:
(a) desain sampel yang sementara sifatnya. Spesifikasi sampel jangan dirancang a priori;
perhatikan konteksnya, bukan a priori pada teknik acak, seperti pada positivisme; .
(b) seleksi berkelanjutan unit-unit sampel. Mengoptimalkan keragaman merupakan tujuan
terbaik yang perlu dicapai dalam pengambilan sampel. Unit-unit sampel diseleksi secara
berkelanjutan sesuai dengan informasi yangdiperoleh di lapangan. Antara pengambilan
sampel, analisis, pencarian teori, dan penyusunan desain merupakan empat yang diiterasi
(diputar terus) untuk saling menyempurnakan. Keempat unsur tersebut bukan tahapan,
melainkan unsur yang diiterasikan secara timbal balik untuk saling menyempurnakan;
(c) penyesuain atau pemfokusan sampel secara berkelanjutan. Dari informasi dan pemahaman
lebih dalam di lapangan memungkinkan peneliti untuk merevisi pengambilan sampelnya;
(d) seleksi sampel menuju ke kejenuhan informasi. Dalam penelitian positivistik penetapan
jumlah sampel dirancangkan sebelum terjun ke lapangan; jumlah sampel dirancangkan
sesuai dengan derajat keterpercayaan (berdasar logika probabilistik) yang hendak dicapai.
Dalam penelitian naturalistik besar sampel ditetapkan di lapangan atas prinsip kejenuhan
informasi. Bila dengan sampel yang telah diambil, ada informasi yang masih diperlukan,
dikejar lagi sampel yang diperkirakap momot informasi yang befum diperoleh; sebaliknya,
bila dengan menambah sampel hanya diperoleh informasi yang sama, berarti jumlah sampel
sudah cukup, karena informasinya sudah jenuh.

Analisis Data Induktif


Sejumlah pakar metodologi penelitian naturalistik mempertentangkan metodologi
positivistik. Yang kedua disebutnya sebagai menggunakan modus analisis data secara deduktif,
sedangkan yang pertama menggunakan modus induktif Bila cap tersebut kita sodorkan pada
penganut metodologi positivistik, tentu mereka akan menolak. Penulis buku ini akan berada pada
posisi untuk tidak saling mendeskriditkan, dengan cara mendudukkan secara proporsional posisi
masing-masing. Penulis akan menggunakan pendekatan by-level, artinya mendeskripsikan
masing-masing sesuai deskripsinya sendiri, dan semua dihargai pada proporsinya, atau menurut
istilah Guba didudukkan dalam perspektifnya.
Yang dimaksud dengan analisis data induktif menurut paradigma naturalistik adalah
analisis atas data spesifik dari lapangan menjadi unit-unit dilanjutkan dengan kategorisasi. Kalau
metodologi positivistik, dan lebih-lebih metodologi rasionalistik dicap sebagai theory-free, para
pakar naturalistik menjawab, bahwa analisis induktifnya itu bukannya empty-headed melainkan
open-minded.
Grounded Theory
Naturalis menyusun teori pada waktu di lapangan, sedang positivis dan rasionalis
menyusun teori dan konseptualisasi sebelum ke lapangan. Elden mendeskripsikan grounded
theory sebagai local theory. Ford mendeskripsikan grounded theory bukan nomologik, bukan
deduktif, melainkan patterned theory; sifatnya open-ended dan dapat diperluas tiada
pembatasan. Sampai batas-batas tertentu, naturalis juga mengakui bahwa hasil penelitian dengan

82
paradigma naturalistik tetap mungkin membuat prediksi dan memproduk hipotesis; juga dapat
berperan untuk penelitian lanjutan; itu berarti bahwa hasil studi kasus pada yang satu tidak dapat
dipakai pada studi kasus lain. Untuk itu harap berhati-hati menerapkan penajaman metodologi
positivistik dan rasionalistik sebagai ilmu nomothetik dan phenomenologi (termasuk paradigma
naturalistik) sebagai ilmu idiographik.
Nampaknya para epistemologis cenderung memilih fakta yang momot teori
(theory-laden) daripada yang theory-free. Penmanfaatan grounded theory bagi penyusunan
desain sementara penting sekali bagi naturalis; melainkan perlu diingat bagi naturalis grounded
theory perlu terus menerus diperkembangkan dan diperbaiki. Itu dikerjakan lewat iterasi keempat
unsur penelitian naturalistik: penyusunan sampel, analisis induktif, grounded theory, dan desain
penelitiannya.
Desain Sementara
Naturalis menuntut agar desain disusun sementara, yang akan diubah dan
diperkembangkan sesuai konteksnya, tergantung pada interaksi peneliti dengan konteksnya;
semua itu sesuai dengan aksiomanya bahwa realitas itu ganda.
Langkah yang nampak indeterminate tersebut tidak berarti bahwa naturalis mulai dengan
empty-headed, meskipun berupaya untuk emply-headed.

K.1. LAPORAN PENELITIAN KASUS


Penelitian yang dihasilkan dengan pendekatan naturalistik disebut Guba sebagai
penelitian kasus, bukan penelitian sampel representasi populasi pada pendekatan positivistik dan
rasionalistik. Dengan beberapa perbedaan nuansa penelitian kasus dalam bahasa positivistik
merupakan penelitian pada popuiasi kecil. Perbedaan nuansif arti kasus pada penelitian
naturalistik bersumber pada omologi, epistemologi, dan aksiologi yang dipakai masing-masing.
Hasil yang Disepakatkan
Laporan penelitian kasus merupakan hasil pengungkapan fakta dan penafsiran. Tetapi
bagaimanapun peneliti naturalistik hendaknya mempunyai perhatian pada cara berfikir
responden, dan mempertimbangkan nilai-nilai yang dianut oleh responden.
Menurut naturalis, ilmu tak mungkin bebas nilai; ilmu bebas nilai itu ilusi dan delusi.
Bertolak dari aksioma naturalistik, Heron mengetengahkan dua hal: pertama, bahwa ada
maksud dari peneliti, meskipun harus diuji dahulu dengan responden sebelum tertuang sebagai
penafsiran peneliti; dan kedua, harus dijaga kredibilitas peneliti dari segi responden. Menjaga
kredibilitas responden ailtara lain menjaga kerahasiaan sumber informasi, membuat anonim, dan
semacamnya.

Laporan Kasus
Naturalis menghendaki agar laporan kasus itu menggunakan modus tujuail sebagai
berikut: (a) memungkinkan transferabilitas hasil laporan pada kasus lain, (b) laporan merupakan
bentuk jawaban dari berbagai aksioma paradigma naturalistik. Memang, sulit untuk
mengkomunikasikan realitas ganda; (c) laporan merupakan aiat koinuriikasi dengan pembaca.
Perlu dijaga agar tampilannya benar-benar grounded, holistik, dan seperti yang terjadi.
Gaya tulisan laporan kasus hendaknya dibuat lebih informal, seperti cerita novel yang
baik. Pembaca dibuat seakan-akan menghayati senyatanya, bukan bergaya laporan teknis kerja
ilmiah, meskipun anatomitas tetap terjaga. (Gaya para wartawan: sebut saja Amat meskipun itu
nama palsu, itu nampak lebih alami daripada nama terdakwa SD, itu dapat ditiru).
Menyadari keterbatasan hasil penelitian, naturalis menolak pernyataan nomothetik; yang
diketemukan dari penelitian hanya mempunyai makna idiograpilik, yaitu mempunyai makna
dalam konteks dan waktu tertentu.
Penafsiran idiographik mencakup pemahaman secara holistik.
Aplikasi Tentatif

83
Hasil penelitian naturalistik menjangkau deskripsi idiograpilik, bukan pernyataan
nomothetik; sehingga naturalis sadar bahwa hasil studinya itu berlaku khusus, tak dapat
diaplikasikan pada konteks lain. Meskipun demikian Guba mengakui kemungkinan
transferabilitas hasil studi bagi konteks yang berbeda; sifatnya bukan determinatif, melainkan
tentatif. Aplikasi pada konteks lain harus diikuti dengan upaya penyesuaian dan semacamnya.

K.2. KAWASAN DAN KETERANDALAN PENELITIAN


Dalam penelitian positivistik kita biasa menggunakan istilah limitasi penelitian, yaitu
penetapan batas kawasan yang diteliti dan yang tidak, dan sekaligus penetapan jangkauan yang
hendak dicapai. Yang pertama mengetengahkan variabel-variabel yang diteliti dan tidak diteliti,
yang kedua mengetengalikan apakah pengembangan, verifikasi, eksplorasi, atau lainya.
Penelitian naturalistik kita tahu lebih bersifat terbuka, tidak membawa prakonsep, tidak
membawa konsep mana yang inklusif dan mana yang eksklusif. Apakah berarti tidak ada limitasi
kawasan penelitian?
Wujud limitasi penelitian naturalistik ditampilkan dalam bentuk: menetapkan fokus atau
aksentuasi penelitian; analog dengan melihat bagian tertentu dari suatu keseluruhan dengan
mikroskop. Bagian yang diteliti tidak dipisahkan dari keseluruhannya; keterhubungan
antarbagian dengan keseluruhanya hanya dibatasi oleh batas yang nampak biasa dan yang
nampak membesar yang dengan mudah dapat digeser batas-batasnya, bila dikehendaki.
Dalam penelitian positivistik kita menguji keterandalan penelitian lebih kepada kualitas
instrumen penelitian, termasuk data-data yang diperoleh kualitas instrumen tersebut biasa
disebut: validitas (internal dan eksternal), reabilitas, dan obyektivitas.
Dalam epistemologi naturalistik, keterandalan penelitiannya ditumpukan pada
kredibilitas, transferabilitas, dependanbilitas, dan konfinnabilitas. Mengapa digunakan
keterandalan yang berbeda? Aksioma dasar penelitian positivistik diangkat dari ajarannya
tentang kebenaran emperi sensual dan eksplanasi kausalitas linier, yang pada pembahasan
terdahulu telah kita tunjuk ketidaksesuaiannya dengan aksioma-aksioma penelitian naturalistik.

K.3. KREDIBILITAS
Bagi positivism sesuatu itu sebagai benar bila ada isomorphisine antara data hasil studi
dengan realitas; realitas yang dimaksud adalah realitas phisik sensual, realitas yang teramati dan
terukur: realitas tersebut tunggal, yang kebenarannya diasumsikan teruji tanpa batas ruang dan
waktu. Berbeda dengan naturalis yang memandang bahwa realitas itu ganda, kebenaran itu
perspektif, sehingga kebenaran itu secara ontologik terkait kepada konteksnya, secara
epistemologik terkait pada, proses interaktif peneliti dengan responden, dan secara aksiologik
terkait pada nilai tertentu. Bagi naturalis sesuatu hasil studi dituntut kredibilitasnya
(menggantikan tuntutan validitas internal pada positivis).
Ada lima teknik yang dipakai naturalis Untuk menguji kredibilitas suatu studi, yaitu: a.
menguji terpercayanya temuan; b. pertemuan pengarahan dengan kelompok peneliti untuk
mengatasi ketidakjelasan, bias, dan lain-lain; c. analisis kasus negatif, yang fungsinya Untuk
merevisi hipotesis: d. menguji hasil temuan tentatif dan penafsiran dengan rekaman video, audio,
photo, atau semacamnya, dan e. menguji temuan pada kelompok-kelompok dari mana kita
memperoleh datanya.
Untuk menguji terpercayanya temuan, Guba mengetengahkan tiga teknik, yaitu a)
memperpanjang waktu tinggal dengan mereka, b) observasi lebih tekun, dan c) menguji secara
triangulasi. Ada tiga tujuan untuk tinggal lama dengan mereka, yaitu: (a) mempelajari budaya
mereka, (b) menguji informasi yang salah, dan (c) menumbuhkan kepercayaan. Tinggal lebih
lama yang bagi ahli antropologi berarti going native, dianggap oleh Guba sebagai membaha-
yakan. Tinggal lebih lama memungkinkan kita memperluas skopa, sedang mengobservasi lebih
tekun memungkinkan kita menghayati lebih dalam, demikian Guba. Istilah triangulasi

84
merupakan metaphor dari triangulasi radio, yaitu mencari titik sumber pemancar dengan
memasang anteria dua titik tertentu, dengan geometri dapat dicari titik sumber pernancar
tersebut. Denzin (1978) menyarankan enipat modus triangulasi, yaitu: (a) menggunakan sumber
ganda, (b) menggunakan metoda ganda, (c) menggunakan peneliti ganda, dan (d) menggunakan
teori yang berbeda-beda. Uji triangulasi menggunakan teori yang berbeda-beda dipertanyakan
oleh Guba. Mungkinkah itu? Guba membolehkan uji tersebut, sejauh semua teori itu tetap
menggunakan aksioma naturalis.
Teknik kedua untuk menguji kredibilitas studi naturalistik adalah pertemuan pengarahan
kelompok kerja peneliti; berbagai ketidakjelasan, kemungkinan bias, kemungkinan
pengembangan desain di lapangan didiskusikan dan dijelaskan. Yang memberikan penjelasan
pengarahan tersebut hendaknya tidak terlalu yunior dan jangan terlalu senior, pilihkan yang
dekat dengan mereka, dan tidak ada kekhawatiran kelompok peneliti yang bertanya dan banyak
tidak tahu menjadi dianggap tidak kompeten; tumbuhkan iklim bahwa tujuan pertemuan
pengarahan tidak ada kecuali agar hasil penelitian itu sukses dan bermutu karena terpercaya. Ada
empat tujuan diadakannya pertemuan pengarahan pada kelompok peneliti tersebut. Pertama,
agar sudut pandang para peneliti tidak bias, karena itu diperlukan untuk dasar pembuatan tafsir
dan makna; kedua, untuk mengembangkan inisiatif mencari peluang menguji hipatesis kerja;
ketiga, untuk mencari peluang mengembangkan desain yang masih sementara; dan keempat,
untuk memperjelas pemikiran para peneliti, untuk tidak mencampuradukkan dengan
perasaannya. Naturalistic inquiry is lonely business, demikian Guba mengangkat deskripsi
penelitian naturalistik dari berbagai hasil penelitian. Kita dapat membayangkan, dalam jangka
waktu lama seorang peneliti naturalistik harus berada dalam konteks yang lain budayanya,
sedangkan dia sebaiknya going native.
Teknik ketiga untuk menguji kredibilitas studi naturalistik adalah lewat analisis kasus
negatif. Teknik ini analog dengan uji statistik pada data kuantitatif. Fungsi analisis kasus negatif
ini khusus untuk mengadakan revisi hipotesis. Sebelum menjelaskan lebih lanjut, kami ingin
mengingatkan kembali, bahwa dalam penelitian naturalistik kita terjun ke lapangan dengan
empat unsur kesementaraan. Empat unsur yang sementara tersebut adalah: sampel, analisis
induktif, grounded theory, dan desain. Karena itu hipotesis yang direvisi tersebut bukannya
dibawa sebelum terjun ke lapangan, melainkan dibangun di lapangan. Dari penjelasan pengantar
tersebut kami akan memberikan contoh bagaimana Cressey (yang dikutip oleh Guba)
menggunakan teknik ketiga tersebut dalam penelitiannya.
Dengan teknik analisis tersebut Cressney merevisi hipotesisnya sampai lima kali. Dari
contoh di bawah ini semoga para peneliti yang terbiasa dengan metodologi penelitian positivistik
(dan juga yang menggunakan pendekatan rasionalistik) tidak menjadi kacau pemikirannya. Juga
sekaligus perlu dijelaskan bahwa hasil dari suatu studi dengan menggunakan paradigma
naturalistik bukan menghasilkan kesimpulan, melainkan menghasilkan hipotesis kerja (tawaran
Cronbach) atau transferabilitas (tawaran Guba), atau generalisasi holographik (tawaran
Scahwartz dan Ogivly).
Kelima hipotesis dan dasar/alasan revisi dari Cressney adalah sebagai berikut:
Hipotesis pertama: Penyalahgunaan uang terjadi bila seseorang yang dipercayakan
mengelola uang itu memandang bahwa penyalahgunaan uang itu hanya pelanggaran
teknis, bukan tindakan melanggar hukum.
Hasil intervieu pada para narapidana penyalahgunaan uang ternyata para napi tersebut
berpendapat bahwa tindakannya itu melanggar hukum. Karena itu Cressney menimbang
hipotesisnya perlu direvisi.
Hipotesis kedua: Penyalahgunaan uang terjadi bila seorang yang dipercayai tersebut
memerlukan uang untuk keperluan sangat mendesak.
Dari intervieu lebih lanjut ternyata yang menyalahgunakan itu kadang-kadang terdesak
kebutuhan, kadang-kadang tidak.

85
Hipotesis ketiga: Penyalahgunaan uang terjadi bila yang bersangkutan mempunyai
kewajiban finansial yang harus dipenuhi karena ada sanksi, dan harus dipenuhi secara
pribadi.
Ternyata tidak ada yang mempunyai kewajiban finansial, dan pada kurun waktu lain, ada
kewajiban finansial tanpa sanksi, dan tidak terjadi penyalahgunaan uang.
Hipotesis keempat: Kecuali rumusan hipotesis ketiga, penyalahgunaan uang terjadi
karena tak sesuainya pemasukan dengan pengeluaran. Kondisi-kondisi tersebut semua
terjadi, tetapi tidak ada penyalahgunaan uang.
Hipotesis kelima: Orang terpercaya menjadi penyalahguna uang bila dia berpendapat
bahwa dia mempunyai problem keuangan yang tak dapat dipikul orang lain, dan dia
sadar bahwa problemnya dapat dipecahkan secara diam-diam dengan melanggar
kepercayaan finansial, dan mampu menggunakan caranya sendiri
mumpertanggungjawabkan secara verbal atas penggunaan uang yang dipercayakannya
kepadanya.
Sebagian pembaca mungkin mempertanyakan, mengapa isi intervieu tidak dituntaskan? Itulah
satu contoh sifat kesementaraan atau keterbukaan atau keluwesan tanpa prakonsep dalam
penelitian berdasar paradigma naturalistik.
Cressney menguji hipotesis tersebut pada semua data yang dia kumpulkan dari dua ratus
napi penyalahguna uang, dan hasil intervieu tambahannya pada lembaga rehabilitasi. Tidak
dijumpai kasus negatif yang berlawanan dengan hipotesisnya yang kelima.
Teknik keempat untuk menguji kredibilitas hasil penelitian dengan menguji kembali
pada data rekaman seperti photo, audio-casette, video-casette, dan semacamnya.
Teknik kelima untuk menguji kredibilitas hasil penelitian adalah mencocokkan kepada
warga masyarakat obyek studi. Mencocokkan kembali perlu dilakukan secara informal dan
formal dan terus-menerus. Ringkasan intervieu disajikan kembali kepada yang diintervieu untuk
mendapatkan reaksi, atau disajikan pada orang lain untuk mendapat komentar, atau intervieu dari
kelompok satu diuji pada kelompok lain untuk memperoleh pemahaman lebih dalam.
Pencocokan kembali tersebut berguna untuk berbagai hal, seperti peluang untuk menangkap
maksudnya, peluang untuk membetulkan kesalahan, peluang untuk mendapatkan informasi
tambahan, bila itu berupa rekaman, apa yang sudah dikemukakan tidak dapat dikatakan sebagai
salahfaham, keliru tangkap, dan semacamnya.

K4. TRANSFERABILITAS, DEPENDABILITAS, DAN KONFIRMABILITAS


Membangun transferabilitas bagi naturalis sangat berbeda dengan membangun
generalisasi atau prediksi pada positivis. Bagi positivis, generalisasi atau prediksi (yang
dinyatakan dalam batas kepercayaan sekian persen) itu mungkin; sedangkan transferabilitas atau
keteralihan penuh itu tak mungkin bagi naturalis. Naturalis hanya berani menyajikan hipotesis
kerja disertai deskripsi yang terkait pada waktu dan konteks. (Ingat hipotesis kerja bagi naturalis
analog dengan kesimpulan penelitian bagi positivis).
Sekali lagi pembaca ingin mengingatkan, bahwa transferabilitas bagi naturalis analog
dengan generalisasi bagi positivis. Istilah transferabilitas ditawarkan oleh Guba, yang sama
dengan hipotesis kerja tawaran dari Cronbach, sama dengan generalisasi holographik tawaran
Schwartz dan Ogivly.
Bagi positivis reliabilitas adalah replikabilitas hasil temuan, artinya kemampuan hasil
studi untukdiulang kembali, dengan teknik uji belah-dua, teknik uji ulang, dan teknik bentuk
paralel. Sedangkan pada penelitian dengan paradigma naturalistik mengganti konsep reliabilitas
dengan konsep dependanbilitas. Pusat masalahnya sama, yaitu: dapat tidaknya dibuat replikasi
atau uji ulang. Karena studi dengan paradiguna naturalistik memandang bahwa realitas itu terkait
langsung dengan konteks dan waktu, maka menjadi tidak mungkin mengadakan replikasi hasil
studi. Untuk meningkatkan keterdekatan penelitian yang satu dengan penelitian lain pada lokasi

86
yang sama tergantung berbagai hal. Ketergantungan atau dependentabilitas itulah yang menjadi
foukus pemikiran paradigma naturalistik, mengganti konsep reabilitas. Guba menge tengahkan
beberapa teknik untuk itu. Pertama, menggunakan teknik-teknik yang dipakai untuk kredibilitas.
Kedua, dengan metoda-metoda overlap. Bentuk aplikasinya adalah teknik triangulasi seperti
yang telah dikemukakan untuk meningkatkan kredibilitas. Ketiga, teknik replikasi bertahap;
untuk studi dibentuk dua tim, masing-masing bergerak independen, tetapi secara periodik
bertemu. Teknik tersebut disebut oleh Guba, tetapi tidak direkomendasikan. Keempat, dengan
teknik audit, metaphor dari audit fiskal. Perhatian umum dari teknik ini adalah: kejujuran (bukan
menyajikan creative accounting, yang dalam konteks Indonesia menjadi laporan ABS), dan
ketepatan sudut pandang auditor.
Hal lain yang dituntut oleh positivis dari suatu penelitian adalah obyektivitas. Bagi
positivis yang obyektif itu bersifat publik, universal, dan tidak memihak; sedangkan yang
subyektif itu menjadi mempribadi, memihak, dan berat sebelah. Bagi paradigma naturalistik,
realitas itu ganda, dalam arti mempunyai berbagai perspektif. Keterikatan pada konteks dan
waktu menjadikan hasil studi itu berfaku kontekstual. Bagi paradigma naturalistik kebenaran itu
value-bound, terkait pada nilai. Untuk menghindari konotasi yang tidak tepat, maka paradigma
naturalistik tidak menggunakan istilah-istilah obyektif subyektif, melainkan menggunakan istilah
konfirmabilitas, kepastian.

L. MEMPROSES DATA SECARA NATURALISTIK


Dalam paradigma naturalistik data tidak dilihat sebagai apa yang diberikan alam,
melainkan hasil interaksi antara peneliti dengan sumber data, demikian Guba. Epistemologik kita
lihat beda konsep dengan yang positivistik, yang menuntut pilahnya peneliti dengan obyek
emperik (sensual); beda konsep dengan yang rasionalistik, yang meskipun menuntut pilahnya
peneliti dari obyek, tetapi ada peran aktif peneliti mencari makna di balik yang emperik sensual.
Antara berbagai model yang phenomenologik, pembaca akan menjumpai perbedaan nuansa
tentang hal tersebut.
Dalam pandangan positivisme, fakta adalah segala sesuatu yang emperik sensual,
sedangkan data adalah sesuatu yang obyektif yang relevan dengan yang dipermasalahkan;
sebagian besar dari data tersebut adalah fakta yang relevan. Bagi Guba yang phenomenologik,
atau tepatnya naturalistik, data merupakan produk dari proses memberikan interpretasi peneliti;
di dalam data sudah terkandung makna yang mempunyai referensi pada nilai (values). Data dari
Guba adalah konstruksi hasil interaksi peneliti dengan sumber data; sedangkan analisis data
merupakan rekonstruksi dari konstruksi tersebut. Perlu penulis ingatkan beda fungsi peneliti
dalam berelasi dengan sumber data pada positivisme dengan pada naturalistiknya Guba. Pada
positivisme, data terseleksi berdasar konsep teoretik atau hipotesis yang dikonstruksikan sebelum
penelitian; sedangkan pada naturalistik proses mengkonstruksi tersebut berlangsung di lapangan,
sebagai hasil interaksi antara peneliti dengan sumber data.
Ada sejumlah teknik analisis untuk penelitian kualitatif. Goetz dan LeCompte (1981)
mengenalkan sejumlah teknik analisis, yaitu: induksi analitik, metoda komparatif konstan, dan
analisis tipologik. Induksi analitik dapat dibaca pada model ethnometodologik; demikian pula
komparatif konstan. Pada analisis tipologik peneliti bertolak dari konstruksi teori tertentu, yang
disebut tipologi, sedangkan data yang masuk dikategorisasikan menurut konstruksi teori itu.
Dilihat dari segi naturalistik Guba, teknik analisis induksi analitik tak
sesuai dengan jiwa paradigma naturalistik karena induksi analitik berupaya untuk membangun
teori, membangun generalisasi, membangun universalisasi. Sedangkan analisis tipologik oleh
Guba dipandang tidak sesuai pula dengan jiwa paradigma naturalistik, karena secara a priopri
menampilkan konstruksi teori. Paradigma naturalistik memproses secara induksi murni. Guba
menunjuk cara Glaser dan Strauss mendeskripsikan tahap-tahap kerja metoda konstan
komparatif sebagai sesuai dengan jiwa naturalistik. Tahap-tahap kerja tersebut adalah: a)

87
memperbandingkan kejadian yang cocok dengan kategorinya, b) mengintegrasikan kategori
dengan ciri-cirinya, c) merumuskan teori, dan d) menuliskan teori. Meskipun metoda
membangun teori tersebut merupakan proses berkelanjutan, tetapi tahap-tahap lebih awal tetap
menyediakan pengembangan berkelanjutan bagi tahap lebih kemudian, hingga akhirnya proses
analisis secara keseluruhan diakhiri. biakhiri dalam makna bahwa berakhir bagi suatu penelitian,
tetapi tetap dapat diteruskan proses tersebut sampai kapanpun.
Mengategorikan kejadian-kejadian mungkin saja mulai dari mengelompokkan
berdasarkan namanya, fungsinya, atau alasan lain. Ketika mau memasukkan sesuatu yang baru
ke dalam kategori satu atau lainnya, sekaligus diperbandingkan dasar pengelompokannya;
mungkin saja perlu ada penggdseran. Pada tahap mencari dasar pengelompokan dengan cara
tersebut, peneliti sudah mulai melangkah mencari ciri-ciri setiap kategori. Dengan
pengembangan mengidentifikasi ciri-ciri, peneliti sudah melangkah lagi lebih lanjut ke
konseptualisasi abstrak atas situasi substansialnya, mengabstraksikan sejumlah kejadian yang
sudah dikelompokkan dan diidentifikasi ciri-cirinya. Dalam pemikiran metoda komparatif
konstan semua langkah tersebut dapat dilakukan berkelanjutan, tetapi bagaimanapun perlu
dihentikan pada taraf perkembangan tertentu. Bila peneliti sudah memandang perlu diakhiri
maka berhentilah membuat kategori dan tuliskan memo idee Anda, peneliti.
Pada tahap kedua, peneliti perlu berupaya mengintegrasikan kategori-kategori beserta
ciri-cirinya. Pada tahap ini peneliti bukan sekedar memperbandingkan atas pertimbangan
rasa-rasanya mirip atau sepertinya mirip, melainkan pada ada tidaknya muncul ciri berdasar
kategorinya. Dalam hal ini ciri jangan didudukkan sebagai kriteria, melainkan ciri didudukkan
tentatif, artinya: pada waktu hendak memasukkan kejadian pada kategori berdasar cirinya,
sekaligus diuji apakah ciri bagi setiap kategori tepat. Dengan langkah menjadikan ciri kategori
menjadi eksplisit, peneliti sekaligus dapat mulai berupaya untuk mengintegrasikan
kategori-kategori yang dibuatnya. Hubungan antarkategori menjadi semakin jelas dan
tatahubungan kategori menjadi semakin koheren, lebih dari sekedar taksonomi dari data
terkalsifikasi. Itu berarti telah tersusun atribut-atribut teori, atau setidak-tidaknya tersusun suatu
konstruksi situasi tertentu. Bila data dikumpulkan berdasar penyampelan purposive dan sekaligus
dianalisis, maka integrasi teori akan berlangsung dengan sendirinya. Bagi naturalis, data yang
diperlukan untuk pengintegrasian teori dapat saja dikumpulkan untuk melengkapi fungsi
integrasi.
Pada tahap ketiga, kita membuat perumusan teori. Bagi naturalistik, menyusun teori
sama dengan mengkonstruksi konsep. Pengembangan konstruksi teori dimulai dengan
perumusan teori, dimulai dengan mereduksi jumlah kategori-kategori sekaligus memperbaiki
rumusan dan integrasinya. Modifikasi rumusan semakin minimal, sekaligus isi data dapat terus
semakin diperbanyak. Data semesta yang digunakan oleh metoda komparatif konstan
dikonstruksikan dengan perumusan teori, dilengkapi terus dengan data baru, dirumuskan kembali
dalam arti diperluas skopa sekaligus dipersempit kategorinya. Dalam hal ini ada semacam seleksi
atas data baru berdasar kriteria teoretik, yaitu kriteria yang disusun berdasar rumusan teori
tersebut di atas, bukan kriteria teoretik yang diambil secara apriori dari luar penelitian itu
sendiri.
Tahap keempat adalah penulisan teori, yang telah penulis uraikan di muka dalam bentuk
laporan penelitian kasus.
Untuk memproses data secara naturalistik Guba mengetengahkan strategi:
Pertama, menyatukan dalam unit-unit. Kejadian-kejadian yang kita uraikan di atas
merupakan unit-unit informasi yang akan menjadi basis merumuskan kategori-kategori. Tugas
menyatukan dalam unit-unit, bukan memotongmotong teks menjadi tema atau kata-kata sehingga
kehilangan makna. Menyatukan dalam unit-unit haruslah berpegang pada dua prinsip, yaitu:
heuristik dan dapat ditafsirkan tanpa informasi tambahan. Unit-unit tersebut terhimpun lewat
catatan hasil observasi, wawancara, dokumen, rekaman, ringkasan, komentar peneliti, dan

88
lainnya. Kesemuanya itu perlu dilangkahkan lebih lanjut dengan pembuatan kartu indeks; dan
hal yang lebih penting lagi adalah kesemuanya itu dapat memberi informasi komprehensif. Kartu
indeks tersebut perlu dikodekan. sedemikian sehingga digunakan untuk berbagai tujuan. Penulis
membuat kode 42118, yang dapat dibaca: kabupaten Wonogiri (4), kecamatan Pracimantoro (2),
desa Sambiroto (1), dan pemimpin informal ke 6 (18); kode 24202, yang dapat dibaca:
kabupaten Banyumas (2), kecamatan Cilongok (4), desa Cikadang (2), dan pemimpin formal ke
2 (02); untuk mengkodekan sekaligus berbagai hal, yang nantinya dapat digunakan untuk
berbagai kepentingan. Acuh tak acuh pada pekerjaan awal ini akan menimbulkan kesulitan yang
banyak bila catatan sudah menggunung.
Kedua, kategorisasi. Tugas esensial dari strategi ini adalah menyatukan kartu data
informasi yang rasanya sama atau sepertinya sama dalam satu kategori. Pekerjaan ini mulai
dengan memberi catatan kode kategori pada kartu pertama, memberi kode lain atau berbeda pada
kartu kedua dan seterusnya. Cara kedua tersebut dapat terus dikerjakan, sampai pada suatu saat
penel iti ragu atau kacau sesuatu data baru dimasukkan kategori mana; sehingga terbuka
pemikiran untuk menambah kategori, atau mengubah dasar kategori-kategorinya. Hal itu akan
terjadi berulang kali, dan itu wajar. Yang kita perhatikan adalah kapan berhenti mengubah-ubah
kategori-kategori. Pada dasarnya rekonstruksi dapat dilakukan berkelanjutan; tetapi untuk suatu
penelitian kegiatan itu perlu ditetapkan kapan berhenti, karena langkah lain, yaitu analisis perlu
dikerjakan. Guba mengetengahkan empat kriteria untuk menetapkan kapan berhenti itu, yaitu:
tuntasnya sumber (berulang kali dicari informasi pada subyek yang sama atau berbeda, hasilnya
sama saja jenuhnya kategori-kategori (data baru dihimpun, tidak lagi memerlukan revisi
kategori-kategori), muncul keteraturan (ada semacam integrasi telah dicapai), dan sudah
mengarah ke meluas yang berlebihan (overextension) (ketika informasi baru dimasukkan,
bukannya memperjelas, melainkan mengalihkan fokus ke hal lain). Uraian tentang strategi
kategorisasi sudah implisit strategi mempolakan. Strategi berikut adalah mengadakan semacam
peninjauan kembali dari keria kategorisasi individual oleh tim; setiap anggota tim menyajikah
hasil kerjanya, dan minta masukan dari anggota tim lain. Dengan cara tersebut hasil pemrosesan
data baik sebagai hasil kerja individual maupun hasil kerja tim, telah diuji keterpercayaannya
dengan teknik uji kelompok.
Mungkinkah kita memproses data kualitatif dengan menggunakan komputer? Drass (I
98b) mengemukakan bahwa komputer hanya mampu menganalisis data sampai taraf mekhanik,
belum sampai taraf penafsiran. Kemampuan komputer hanya terbatas sampai memodifikasi
penyimpangan data; bukan menafsirkannya. Margaret O’brien (1982) membedakan dua kategori
program pemrosesan data bahasa, yaitu: metoda manajemen teks dan metoda analisis teks.
Metoda manajemen teks mencakup: mengedit, memilih format atau bentuk, dan memilih kata.
Yang tepat, dalam upaya mengubah materi teks menjadi format yang memudahkan analisis.
Sedangkan analisis teks membantu peneliti dalam menguji struktur bahasa agar dapat membuat
prediksi dari struktur tersebut. Komputer tak mampu membuat prediksi, komputer hanya mampu
menata. materi yang memungkinkan peneliti membuat penafsiran.
Memang banyak upaya untuk menggunakan komputer untuk membantu analisis
kualitatif, tetapi tetap saja banyak hal yang belum dapat dijangkau. O’brien membedakan metoda
analisis teks menjadi empat jenjang. Dalam klasifikasi penulis, tiga jenjang pertama termasuk
yang menggunakan landasan positivistik, sedangkan jenjang keempat dapat dimasukkan ke yang
mencari makna holistik, dan itu berarti dekat ke yang phenomenologik. Metoda analisis teks
jenjang keempat adalah metoda mengurai kalimat menurut tata bahasanya, mencari hubungan
sintaksis, meninjau dari segi semantiknya. Sekedar untuk menambah wawasan, metoda analisis
teks jenjang pertama, disebut metoda univariat (kata. menjadi unit analisis, dihitung
frekuensinya), jenjang kedua bivariat (data bahasa disimpan untuk diolah atas prinsip logika
Boolian: 1 dan 0 atau benar dan salah), dan jenjang ketiga. multivariat (data disimpan atas
prinsip Boolian dan menggunakan manipulasi matriks).

89
Pada akhirnya Guba mengakui bahwa memproses data secara naturalistik masih belum
berkembang baik. Miles (1979) mengemukakan bahwa penggunaan metoda analisis data
kualitatif belum terumuskan baik seperti pada yang kuantitatif Untuk analisis kualitatif terlalu
sedikit petunjuk dapat diperoleh. Adam (1981) dan Smith (1981) menunjuk sejumlah hambatan
atau keterbatasan pengolahan data secara naturalistik, beberapa di antaranya adalah:
a. data menggunung; sulit untuk direkam ringkas tanpa kehilangan makna ataupun konteksnya;
b. ada kecenderungan positif dan negatif-informasi yang mendukung konsep lebih diperhatikan,
yang bertentangan dengan konsep peneliti, cenderung diabaikan; dan
c. terlalu yakin atas keputusannya; ada kecenderungan untuk meyakinkan kebenaran
keputusannya, meskipun dihadapkan kepada evidensi yang perlu dipertimbangkan, atau
malahan bertentangan dengan keputusannya.

90
IV. MODEL INTERAKSIONISME SIMBOLIK

A. INTERAKSIONISME SIMBOLIK DAN PARA PENDAHULU


Interaksionisme simbolik penulis sajikan sebagai salah satu model metodologi penelitian
kualitatif berlandaskan pendekatan phenomenologik, karena memang filsafat yang melandasi
ataupun pendekatan metodologinya dapat dikatakan sama.
Interaksi simbolik memiliki perspektif teoretik dan orientasi metodologi tertentu. Pada
awal perkembangannya interaksi simbolik lebih menekankan studinya tentang perilaku manusia
pada hubungan interpersonal, bukan pada keseluruhan masyarakat atau kelompok. Karena itu
sementara ahli menilai bahwa interaksi simbolik hanya tepat diterapkan pada phenomena
mikrososiologik atau pada perspektif psikologi sosial. Pada perkembangan selan.jutnya interaksi
simbolikjuga mengembangkan studi pada perspektif sosiologiknya, sehingga kritik tersebut
menjadi tidak tepat lagi, karena pendekatan makrososiologikjuga telah diterapkan.
Proposisi paling mendasar dari interaksi simbolik adalah: perilaku dan interaksi manusia
itu dapat diperbedakdn karena ditampilkan lewat simbol dan maknanya. Mencari makna dibalik
yang sensual menjadi penting dalam interaksi simbolik.
Bagaimana konsep interaksi simbolik dibangun akan dilacak dari para pendahulu yang
pendapatnya dipakai sebagai landasan konsep interaksi simbolik. Akarnya dapat diangkat dari
idealisme Kant, dari moralist Ribot, dan evolusionisme kreatif dari Bergson; juga pragmatisme
John Dewey. Ide utama dari simbolik interaksionisme berangkat dari idealisme Jerman yang
mengemukakan bahwa manusia membangun dunianya, membangun realitas. Ribot
mengemukakan bahwa simpasi merupakan the foundation of all social existence; dan Max
Scheler mengembangkan tiga bentuk simpasi dari Ribot menjadi delapan bentuk simpasi, dua
bentuknya yang tertinggi adalah: Menschenliebe, mencintai sesama manusia dan Gottesliebe,
mencintai Tuhan.
Pola perilaku manusia itu tumbuh setapak demi setapak, tetapi kreatif sehingga tidak
dapat diramalkan, demikian Bergson. John Dewey mengemukakan bahwa semua organisme
berperan dalam membentuk lingkungannya. Komunikasi dengan bahasa memungkinkan
terbangunnya masyarakat manusia, demikian Dewey. Interaksi simbolik mengejar makna di
balik yang sensual, mencari phenomena yang lebih esensial daripada sekedar gejala. Karena itu
landasan filosofik dari interaksi simbolik adalah phenomenologi. Pokok-pokok fikiran para
pendahulu atau peletak landasan tersebut akan nampak operasionalsasinya pada uraian
selanjutnya.

B. TUJUH PROPOSISI DASAR


Konsep positivisme bertolak dari premis-premis seperti: perilaku semua organisme itu
pada dasarnya sama, bahwa yang kompleks itu dapat dianalisis menjadi bagian yang lebih
elementer, dan beberapa premis lainnya. Konsep interaksi simbolik bertolak dari
setidak-tidaknya tujuh proposisi dasar. Pertama, bahwa perilaku manusia itu mempunyai makna
dibalik yang menggejala. Diperlukan metoda untuk mengungkap perilaku yang terselubung.
Kedua, pemaknaan kemanusiaan perlu dicari sumbernya pada interaksi sosial manusia. Manusia
membangun lingkungannya (Dewey), manusia membangun dunianya (E. Kant), dan kesemuanya
itu dibangun berdasar simpasi (Ribot), dengan bentuk tertingginya berupa Menschenliebe dan
Gottesliebe. Ketiga, bahwa masyarakat manusia itu merupakan proses yang berkembang
holistik, tak terpisah, tidak linier dan tidak terduga, Keempat, perilaku manusia itu berlaku
berdasar penafsiran phenomenologik, yaitu berlangsung atas maksud, pemaknaan, dan tujuan,
bukan didasarkan atas proses mekhanik dan otomatik. Perilaku manusia itu bertujuan dan tak
terduga. Kelima, konsep mental manusia itu berkembang dialektik. Mengakui ada tesis,
antitesis, dan sintesis; sifatnya idealistik (E. Kant), bukan materialistik (K. Marx). Keenam,
perilaku manusia itu wajar dan konstruktif kreatif, bukan elementer-reaktif. Ketujuh, perlu

91
digunakan metoda introspeksi simpathetik; menekankan pendekatan intuitif untuk menangkap
makna.

C. MAZHAB CHICAGO DAN IOWA


Dua tokoh menonjol dari penganut interaksi simbolik, yaitu: H.G. Blumer dari
Universitas Chicago dan Manferd H.Kuhn dari State University of Iowa, yang berbeda pendapat
dalam banyak hal. Masing-masing mempunyai sejumlah pakar yang semula adalah
mahasiswanya di Chicago dan Berkeley (Blumer) dan di Des Moines (Kuhn).
Blumer menjurus ke pemaknaan idiographik, sedangkan Kuhn menjurus ke pencarian
prediksi universal. Blumer mencari pemaknaan yang dalam, sedangkan Kuhn mengarah ke
pencarian standardisasi dan obyektivitas. Blumer mengkritik metodologi kuantitatif sebagai
gagal menangkap makna, sedangkan Kuhn mentransformasikan konsep interaksi simbolik ke
dalam variabel-variabel. Blumer mendeskripsikan bahwa Iowa menggunakan scientific concepts
atau konsep definitif, sedangkan Chicago menggunakan sencilizing concepts atau konsep yang
hanya mengarahkan. Blurner menampilkan dimensi tak terduga dan indeterminisme atas perilaku
manusia, sedangkan mazhab Iowa menolak indeterminisme; dan Iowa berupaya menjelaskan
inovasi manusia sebagai tindak inovatif Blumer mengetengahkan bahwa aktivitas lebih banyak
mulai dari dorongan batin daripada stimuli dari luar. Sedangkan Kuhn berpendapat bahwa
perilaku itu ditentukan dalam interaksi sosial.

D. PRINSIP METODOLOGI DALAM INTERAKSI SIMBOLIK


Penganut interaksionisme berasumsi bahwa analisis lengkap perilaku manusia akan
mampu menangkap makna simbul dalam interaksi. Pakar sosiologi harus juga menangkap pola
perilaku dan konsep diri. Simbol itu beragam dan kompleks, verbal dan nonverbal, terkatakan
dan tak terkatakan.
Prinsip metodologi pertama adalah: simbol dan interaksi itu menyatu. Tak cukup bila kita
hanya merekam fakta, kira harus mencari yang lebih jauh, yaitu mencari konteks sehingga dapat
ditangkap simbul dan maknanya. Prinsip kedua: karena simbul dan makna itu tak lepas dari sikap
pribadi, maka jati-diri subyek perlu dapat ditangkap. Memahami konsep jati diri subyek dengan
demikian menjadi penting.
Prinsip metodologi ketiga adalah: peneliti harus sekaligus mengaitkan antara simbol
dengan jatidiri dcngan lingkungan dan hubungan sosialnya. Konsep jatidiri terkait dengan
konsep sosiologik tentang struktur sosial, dan lainnya.
Prinsip keempat adalah: hendaknya direkam situasi yang menggambarkan simbol dan
maknanya, bukan hanya merekam fakta sensual saja.
Prinsip kelima adalah: metoda-metoda yang digunakan hendaknya mampu merefleksikan
bentuk perilaku dan prosesnya.
Prinsip keenam adalah: metoda yang dipakai hendaknya mampu menangkap makna di
balik interaksi. Kadangkala ada yang menunjuk tentang perbedaan hasil penelitian pada daerah
kasus yang sama. Perlu dipertimbangkan bahwa banyak sekali kemungkinan terjadinya
perbedaan hasil penelitian, karena memang obyek yang diobservasi berbeda, atau analisisnya
berbeda, atau yang dipertanyakan berbeda.
Prinsip ketujuh mengemukakan bahwa sensitizing (yaitu sekedar mengarahkan
pemikiran) itu yang cocok dengan interaksionisme simbolik, dan ketika mulai memasuki
lapangan perlu dirumuskan menjadi yang lebih operasional, menjadi scientific concept (yaitu
konsep yang lebih definitif). Dari prinsip yang ketujuh ini nampaknya Norman K.Denzin hendak
memadukan pandangan Blumer dengan Kulin. Bila prinsip ketujuh ini kita gunakan, nampaknya
pengembangan. interaksionisme simbolik yang phenomenologik akan mengarah ke pemikiran
statistik kuantitatif atau positivistik. Suatu upaya yang mempermiskin konsep interaksionisme
simbolik, seperti yang dikerjakan oleh Goffman, dalam disertasinya di Chicago, yang

92
mendeskripsikan kehidupan manusia sebagai life as theater, sedangkan yang back-sluge, di luar
pentas dapat lain. Kehidupan menjadi produk ekspresi, seremonial tanpa makna, tanpa norma.

E. METODA PEMAKNAAN
Kita perlu kembali ke ontologi. Phenomenologi mengakui empat kebenaran emperik,
yaitu emperik sensual, emperik logik, emperik etik, dan emperik transendental. Menangkap
gejala bagi positivisme terbatas pada emperik sensual; bagi rasionalisme menangkap gejala
menjangkau sampai yang emperik sensual, logik dan etik; sedangkan bagi phenomenologi gejala
(atau lebih tepat disebut phenomena) ditangkap sampai sejauh yang transendental. Dengan
catatan: filsafat phenonienologi yang dipakai sebagai landasan Bagian Ketiga ini adalah
phenomenologinya Edmund Husserl, bukan yang lain, yang sebagian malahan berkembang
menjadi eksistensialisme atheis.
Selanjutnya perlu membedakan antara 1). terjemah atau translation, 2). tafsir atau
interpretasi, 3), ekstrapolasi dan 4). pemaknaan atau meaning. Membuat terjemah merupakan
upaya mengemukakan materi atau substansi yang sama dengan media yang berbeda; media
tersebut mungkin berupa bahasa satu ke bahasa lain, dari verbal ke gambar, dan sebagainya.
Pada penafsiran kita tetap berpegang pada materi yang ada, dicari latar belakangnya, konteksnya
agar dapat dikemukakan konsep atau gagasannya lebih jelas. Ekstrapolasi lebih menekankan
pada kemanipuan daya fikir manusia untuk menangkap hal di balik yang tersajikan. Materi yang
tersajikan dilihat tidak lebih dari tanda-tanda atau indikator bagi sesuatu yang lebih jauh lagi.
Memberikan makna merupakan upaya lebih jauh dari penafsiran, dan mempunyai kesejajaran
dengan ekstrapolasi. Pemaknaan lebih menuntut kemampuan integratif manusia: indriawinya,
daya fikirnya, dan akal budinya. Materi yang tersajikan, seperti juga juga ekstrapolasi dilihat
t1dak lebih dari tanda-tanda atau indikator bagi sesuatu yang lebih jauh. Di balik yang tersajikan
bagi ekstrapolasi terbatas dalam arti emperik logik, sedangkan pada pemaknaan dapat pula
menjangkau yang etik ataupun yang transendental. Catatan: makna atau meaning bagi
positivisme terbatas pada signifikansi.
Metoda pemaknaan ini penulis angkat dari Karl Mannheim yang ditulisnya sebagai
artikel dengan judul On the Interpretation qf Weltanschauung. Catatan: penulis memang
menajamkan pembedaan pemaknaan menjadi empat yaitu: terjemah, tafsir, ekstrapolasi, dan
pemaknaan, sedangkan Karl Mannheim tidak; tetapi penulis telaah bagian tertentu dari metoda
interpretasinya lebih-lebih yang menyangkut Weltanschauung, penulis timbang cocok untuk
dipakai sebagai metoda pemaknaan, dengan penulis eksplisitkan ontologi phenomenologinya.
Dari sesuatu yang muncul sebagai emperi kita coba cari kesamaan, kemiripan, kesejajaran dalam
arti individual, pola, proses, latar belakang, arah dinamikanya, dan banyak lagi kemungkinannya;
termasuk kemungkinan detrimentasinya atau berlawanan arahnya. Kesamaan sampai ke
detrimentasi tersebut yang kita tangkap dari emperi kita cari lebih dalam pada nilai logik, etik,
dan/atau nilai transendentalnya: apa maknanya, apa keberartiannya bagi hidup manusia.

93
BAGIAN KEEMPAT: METODOLOGI PENELITIAN
KUALITATIF
PENDEKATAN REALISMEMETA PHISIK

METODOLOGI PENELITIAN
KUALITATIF
PENDEKATANREALISMEMETAPHISIK

A. NOMOTHETIK DAN IDEOGRAPHIK


Penelitian kualitatif telah menarik bagi banyak orang. Mengapa menarik? Sesuatu yang
baru. Memang. Tetapi menarik kareria substansial memang lebih bagus ataukah sekedar
kecenderungan kontemporer ?
Metodologi penelitian kualitatif yang sekarang sedang menjadi kecenderungan baru
adalah metodologi penelitian kualitatif yang mengguilakan model paradigma naturalistik dari
Guba dan Lincoln, dan sekarang dikembangkan lebih lanjut oleh Lincoln, semula mahasiswa dan
kemudian asisten dari Guba (Baca: Denzin & Lincoln, 1994), dan sekarang ini Lincoln menjadi
alih metodologi penelitian kualitatif yang sangat terpandang di Amerika Serikat.
Ilmu pengetahuan alam dengan metoda induktif dan eksperinleiltal sejak abad ke-13
telah berhasil dari sukses-mengembangkan berbagai disiplin ilmu pengetahuan alam seperti:
phisika, biologi, kimia, dan lain-lain dengan membuat kesimpulan abstraktif yang menyosok
menjadi generalisasi dari beragam kasus, menyosok menjadi prinsip, menjadi tesis, atau menjadi
teori memiliki kemampuan meinprediksi kasus-kasus yang sesuai dengan generalisasi tersebut di
atas. Untuk sejarah manusia, Hegel berupaya mencari sesuatu yang universal, sedangkan W.
Dilthey berupaya menemukan pola-pola, dan lebih lanjut W. Dilthey mengemukakan bahwa
hidup manusia penuh makna: dan Freud menambahkan lagi bahwa ada tiefen hermeneutik atau
ada depth meaning of human life. Ilmu-ilmu yang dalam langkah-langkah pengembangannya
menjurus ke pencarian generalisasi agar mampu memprediksi kasus-kasus selanjutnya disebut
oleh W. Dilthey sebagai ilmu nomothetik.
Sedangkan kelompok ilmu yang lain berUpaya memperkaya ilmunya dengan cara
menghimpun banyak kasus dari membuat kesimpulan pada kasuskasus masing-masing.
Kelompok ilmu ini berupaya untuk mendeskripsikan sesuatu sebagaimana adanya: tidak ada
maksud untuk membuat evaluasi. Kelompok ini umumnya dari kalangan antropologi, dan
melihat keragaman budaya beserta keragaman pola tradisi serta adanya keragaman kriteria.
Kelompok ini berupaya untuk memahami keragaman tersebut menurut pemaknaan pendukung
budaya itu seridiri. Studi antropologik para orientalis pada abad XVIII dan XIX menggunakan
kerangka fikir Barat-, sedangkan studi aritropologik muktakhir yang menggunakan peridekatan
phenomehologik berupaya untuk membuat pemaknaan menurut pendukung budaya itu sendiri,
berupaya menghindari pemaknaan dengan kriteria atau kerangka fikir para peneliti. Ilmuwan
yang dalam mengadakan penelitian membatasi diri pada mencandra saja, itupun dalam
pemaknaan pendukung budaya itu sendiri termasuk pengembang kelompok ilmu yang oleh W.
Dilthey disebut ilmu ideographik.
Realisme metaphisik secara reflektif berupaya menemukan grand-theory untuk
selanjutnya diuji secara emperik. Pengujian grand theory dalam metodologi pembuktian Popper
bukan menggunakan uji verifikasi, melainkan dengan uji falsifikasi. Bukan mencari bukti-bukti
pendukung-teori besar tersebut, melainkan mencari bukti-bukti emperik kesalahan teori besar
tersebut. Teori relativitas dari Einstein merupakan hasil, berfikir reflektif dari Einstein; semisal
Einstein hanya melihat ekornya, dapat berteori bahwa makhluk itu gajah. Dalam hal ini uji
kebenaran teori relativitas Einstein, dibuktikan dengan cara mencari bukti tidak berlakunya pada
substansi atau kondisi tertentu.

94
Peneliti yang bermaksud memberangkatkan penelitiannya dari teori besar, dapat memilih
alternatif pendekatan rasionalistik atau pendekatan realisme ini. Apa beda keduanya akan
dibahas pada waktunya.

B. REALISME METAPHISIK: KETERATURAN SEMESTA


Sering kita jumpai bahwa sesuatu prinsip, hukum, atau teori tidak dapat diterapkan atau
dipakai untuk memprediksikan sesuatu kasus yang dijumpai. Pada awalnya para ahli berfikir
bahwa penyimpangan dari prinsip atau hukum merupakan kekecualian, merupakan sesuatu kasus
yang irregular. Pada pemikiran lebih cermat orang menunjuk bahwa mungkin ada sejumlah
faktor atau variabel yang tidak terpantau yang sebenarnya telah ikut berperan. Pada pemikiran
dengan paradigma yang lebih terbuka orang mencermati tentang banyaknya ragam
kemungkinan. Hal-hal tersebut banyak dijumpai dalam kelompok disiplin ilmu sosial. Ragam
kemungkinan tersebut oleh sementara, ahli ditangkap sebagai uncertainty (Baca buku Charles
Handy, The Age of Uncertainty). Sementara ahli lain menampilkan teori probabilistik.
Sementara ahli lain menampilkan adanya pola atau tipe.
Sementara ahli lain lagi mengemukakan bahwa benda itu objektif alami, dan idee
manusia subyektif; sedangkan kebenaran objektif yang bebas tempat dan waktu berada pada
dataran lebih tinggi dari objektif alami dan subyektif idee. Kebenaran ob ektif tersebut bersifat
metaphisik, demikian Popper.
Emperisme menekankan pencarian ilmu secara induktif lewat emperi; sedangkan
rasionalisme menekankan pencarian ilmu secara edukti menggunakan rasio. Menurut
rasionalisme emperi barulah bermakna setelah disistematisasikan serta dimaknai oleh akal budi
manusia. Realisme menurut Popper adalah sekaligus emperisme kritis serta rasionalisme kritis.
Positivisme dan lebih-lebih paradigma naturalistik Guba membangun teori dari emperi,
sedangkan rasionalisme mengkonstruksi emperi berdasar konstruksi teori yang dibangun secara
deduktif atas kemampuan rasio manusia. Popper memperlakukan emperi secara kritis, karena
memang ada kebenaran objektif di alam semesta ini, yang tertangkap oleh ilmuwan sebagai tesis,
teori, hipotesis, dan lain-lain.
Dari sisi lain, Popper juga disebut rasionalisme kritis karena kebenaran objektif dicermati
terus dengan menyusun bangunan teoretik besar yang secara terus-menerus diuji. Umumnya para
ahli menguji kebenaran teori lewat uji verifikasi (mencari bukti-bukti untuk mengokohkan
teorinya, hipotesisnya), sedangkan Popper menguji kebenaran teorinya lewat uji falsifikasi
(mencari bukti-bukti pada bagian mana dari teori besarnya itu yang salah).
Penganut realisme mengakui keteraturan semesta. Ilmuwan lewat teorinya, hipotesisnya,
postulasinya, dan pendapatnya mencoba menangkap keteraturan alam semesta tersebut. Popper
memandang bahwa keteraturan alam semesta sebagai kebenaran objektif, dan berada pada
dataran rasional, penulis mengangkat lebih jauh lagi, yaitu bahwa keteraturan alam semesta ini
berada pada dataran transendens, diatur oleh Al Khalik, Sang Pencipta.
Popper juga menyebut relismenya itu realisme metaphisik. Kebenaran objektif menurut
Popper berada pada dataran metaphisik. Makna metaphisik bagi Popper adalah bahwa kebenaran
itu disajikan dalam pernyataan yang untestable. Ada pernyataan yang testable yang untestable.
Pernyataan bahwa setiap kejadian ada penyebabnya adalah pernyataan eksistensial universal
yang untestable. Yang dapat dibuktikan adalah kejadian x dan penyebab y, bukan kejadian
universal dan penyebab. universal. Kejadian universal dan penyebab universal itulah yang
disebut oleh Popper sebagai kebenaran objektif yang metaphisik, yang untestable.
Kebenaran objektif yang disebut Popper metaphisik karena untestable, penulis angkat
pada dataran transendensi menjadi kebenaran metaphisik karena keteraturan alam semesta itu
memang diciptakan Al Khalik, Sang Pencipta karena ke-Mahatahuan-Nya, dan
ke-Mahabijaksana-Nya. Keseimbangan alam semesta: ada predator, ada kematian, ada
pembusukan, ada air laut yang asin, dan banyak lagi contoh-contoh lainnya menampilkan bukti-

95
bukti bukan hanya ke-Mahatahuan-Nya, melainkan juga ke-Mahabijaksanaan-Nya Sang
Pencipta, Allah subhaanahu wataala.
Teori atom, dan lebih jauh lagi teori adanya netron dan proton dalam atom, tentang serat
optik yang dapat membuat induksi listrik atau suara dengan percepatan luar biasa merupakan
contoh-contoh terapan teori-teori metaphisik yang nontestable menurut Popper. Juga teori besar
Descartes bahwa dunia berputar mengikuti teori jarum jam, merupakan contoh lain teori
metaphisik, berputar mengikuti jarum jam, merupakan teori besar lain yang metaphisik (pada
konsep dataran logik). Alam semesta terdiri atas beribu galaksi merupakan teori besar lain yang
metaphisik.
Setiap kamu adalah pemimpin telah merupakan acuan metaphisik transenden penulis
dalam memkonstruksikan teori kepemimpinan dari disertasi penulis, guna menemukan opinion
leader atau pemuka pendapat yang inovatif bagi pembangunan. Harta jangan beredar pada
sebagian kecil dari kamu, dan pada harta orang kaya melekat hak orang miskin berulangkali
kami kutip agar dipakai untuk membangun teori ekonomi yang bukan kapitalistik dan juga bukan
sosialistik. Acuan tersebut bersifat metaphisik transenden, karena memaft berasal dari wahyu
Allah.
Dengan realisme metaphisik ilmuwan bukan sekedar menguji kebenaran, melainkan
lebih jauh lagi, yaitu mencari makna.
Mencari makna dan berasumsi bahwa ada keteraturan semesta, merupakan
konseptualisasi ilmuan dalam berilmu pengetahuan. Dalam pendekatan rasionalisme di bagian
kedua telah penulis bedakan antara konsep eksistensial dengan konsep idealisasi (meminjam
istilah Shapere). Konsep eksistensial lebih mendeskripsikan emperi atau phenomena, sedangkan
konsep idealisasi penulis bedakan menjadi dua, yaitu: konsep idealisasi teoretik dan konsep
idealisasi moralistik. Pesawat di bintang Mars dan pistol laser dalam cerita Flash Gordon (pada
waktu penulis masih anak-anak) merupakan konsep idealisasi teoretik yang sekarang ini sudah
menjadi konsep eksistensial. Keteraturan semesta dalam dunia objektif dari Popper adalah
konsep idealisasi teoretik, juga kemampuan chips atau microprocessor untuk membuat 1 juta
langkah per detik sudah mulai bergeser dari konsep idealisasi teoretik menjadi konsep
eksistensial. Teknologi nano-nano mulai bergeser dari konsep idealisasi teoretik menjadi konsep
eksistensial.
Konsep idealisasi moralistik dapat penulis sebut seperti melting pot policynya Amerika
Serikat (AS), kebijakan Bhineka Tunggal lka, idee, learning society, dan juga teori perjuangan
kelasnya Karl Marx adalah konsep idealisasi moralistik. Konsep idealisasi moralistik perjuangan
kelasnya Karl Marx ternyata tidak valid, artinya tidak dapat dieksistensialkan berkelanjutan
karena banyak kelemahan. Melting pot policy AS sempat bergeser ke multi-cultural policy pada
tahun 1970-an.
Konsep idealisasi keteraturan semesta di dataran dunia objektif dan rasional dari Popper
termasuk konsep idealisasi teoretik, yang bila dikaitkan dengan konsep-konsep Weltan
schauung-nya Kuhn, Feyerabnd, Shapere, dan lain-lain dapat pula menjangkau dataran konsep
idealisasi moralistik.
Sedangkan konsep idealisasi keteraturan semesta yang menjangkau dataran transendental
yang penulis ketengahkan dapat disebut sebagai konsep idealisasi transendental.

C. KEBENARAN ATAU TRUTHS


Dalam pandangan Hurne, alam semesta ini hanyalah persepsi dan refleksi subyek saja.
Lebih ekstrim lagi pandangan Berkeley, bahwa teori-teori ilmu bukanlah sesuatu yang berarti
kecuali hanyalah instrumen untuk mendeskripsikan atau memprediksikan phenomena. Popper
dan juga penulis tidak sependapat dengan Hume ataupun Berkeley. Pandangan Berkeley
termasuk dalam pandangan kelompok instrumentalis. Teori ilmu hanyalah alat untuk menjelas-
kan phenomena; sedangkan pandangan realisme mendudukkan teori ilmu sebagai law of nature

96
(dalam pandangan pada dataran rasional), suatu sunnatullah (dalam pandangan pada dataran
transendensi). Munculnya teori baru menyanggah teori lama karena upaya menemukan makna
emperi hakiki atas law of nature ataupun sunnatullah belum tuntas, masih parsial atau kurang
momot hal-hal spesifik atau paradigmanya kurang tepat. Akankah ilmuwan mampu menemukan
yang hakiki ataupun menemukan sunnatullah yang tuntas? Pada dataran rasional misal pada
Popper, jawabannya adalah setiap teori momot probabilitas benar dan salah. Uji teorinya (karena
memang berangkat dari teori besar) bukan lewat mencari pendukung kebenaran teori, melainkan
lewat mencari bukti-bukti empirik yang menyangkal atau merevisi atau mempertajam teori. Pada
dataran trandensi, misal pada pendapat penulis sendiri, jawabannya adalah: manusia itu
diciptakan Allah dhoif, lemah (bibandingkan ke-Maha Tahu dan Maha-Bijaknya Allah),
sehingga kebenaran emperi hakiki dan tuntas hanyalah milik Allah, Al Khalik, Sang Pencipta;
tugas manusia sebagai makhluk Al Khalik adalah mencoba membaca keteraturan alam semesta
ini. Dalam bahasa komputer, otak manusia tidak diprogramkan untuk mengetahui segalanya; bila
dipaksakan kerja komputernya akan confusing, bila dipaksakan manusia tidak kuat dapat
menjadi senewen, menjadi majenun.
Kebenaran Mutlak, menurut Popper berada pada dunia objektif; dan menurut penulis
adalah milik Allah. Dalam konteks berfikir Popper tugas kita berilmu pengetahuan adalah
berupaya mendekati kebenaran mutlak (yang berada pada dunia objektif) diberangkatkan dari
teori besar yang diasumsikan menyatakan dunia objektif yang teratur dan diuji dengan logika
deduktif probabilistik serta teknik uji lewat uji falsifikasi. Dalam konteks berfikir transendensi
penulis, upaya mendekati kebenaran mutlak dengan metoda tematik atau tafsir maudhui, yaitu
dengan cara menghimpun nash dari Qur’an dan Hadits yang relevan dengan teori yang hendak
dibangunnya. (Tentang langkah-langkah metoda madhui antara lain harap baca tulisan Quraish
Shihab dalam Taufik Abdullah dan Rusli Karim (1989).
Paradigma tata fikir menata nash dengan pendekatan realisme metaphisik setidaknya
dapat dipilih dua model logika, yaitu: logika deduktif probabilistik atau logika reflektif
probabilistik.
Catatan: 1). Dua model logika tersebut ditawarkan bila peneliti hendak memilih
pendekatan realisme metaphisik. Bila peneliti memilih pendekatan lain, penulis menawarkan
pula model logika yang mungkin berbeda dan mungkin pula sama. Harap dibaca pada
pendekatan masing-masing. 2). Bila peneliti tidak hendak mengaitkan dengan Qur’an-Hadits,
model transendensi penulis dapat diganti dengan paradigma bangunan moral atau
Weltanschauung. Sumber referensi Untuk membangun paradigma moral tentu saja dapat dicari
pada filsafat moral yang ada. Moral yang terkandung dalani Pancasila adalah: keimanan,
perikemanusiaan, keadilan, demokrasi, dan nasionalisme.
Hasil penelitian dengan pendekatan realisme metaphisik akan berupa penajaman teori
besar. Hasil penelitian dengan pendekatan positivisme adalah tesis keberartian (signifikansi)
relevansi variabel-variabel; hasil tersebut mengundang masalah bagaimana bangunan tata
hubungan dari sekian ratus atau sekian ribu variabel kecil-kecil. Jangan-jangan hanya akan
menghasilkan kumpulan tukang berserakan, dan sulit untuk menggambarkan sosok
dinosaurusnya. Untuk mengatasi kelemahan hasil penelitian positivistik, di bagian kedua penulis
telah menawarkan pendekatan rasionalisme, dibangun payung bagi sejumlah variabel yang
diteliti. Keterhubungan banyak katak berbunyi dengan banyaknya jas hujan terjual secara
emperik akan terbukti benarnya, tetapi secara hakiki bukanlah dua hal yang berhubungan.
Payung yang ditawarkan oleh pendekatan rasionalisme akan berupa teori substantif, tetapi bukan
mustahil pula berupa teori besar. Apa perbedaan teori besar pada rasionalisme dengan teori besar
pada realisme metaphisik?
Teori besar pada rasionalisme (sebagai ekstensi positivisme) berfungsi untuk menguji
kebermaknaan relevansi antarsejumlah variabel; dan masih Cukup banyak variabel relevan yang

97
tidak diuji. Sedangkan teori besar pada realisme metaphisik langsung diuji untuk ditajamkan
rumusannya.
Disertasi penulis menggunakan pendekatan rasionalisme. Teori besar penulis yang
transenden adalah qullukum roin. Setiap kamu adalah pemimpin. Memang teori tersebut tidak
penulis eksplisitkan dalam disertasi, tetapi menjadi acuan dalam penulis membahas beragam
teori kepemimpinan, dan penulis tampilkan menjadi pencarian karakteristik pemimpin pemuka
pendapat (opinion leader). Grand-concepts yang penulis kemukakan pula sebagai payung adalah
: pertama, adanya tiga fungsi pemimpin menurut psikologi sosial (mengarahkan, mengkohesikan,
dan membagi tugas); kedua, untuk pembangunan masyarakat apakah diperlukan pemimpin yang
teguh berpegang pada norma ataukah diperlukan pemimpin yang inovatif; ketiga, kepemimpinan
model mana yang tepat monolitik atau pluralistik., dan keem pat, manakah yang lebih efektif
untuk pembangunan, pemimpin formal ataukah pemuka pendapat. Sedangkan variabel-variabel
yang diangkat lewat penelitian hanyalah tiga belas buah saja.
Hasilnya ternyata ketiga belas variabel tersebut dapat diklasterkan menjadi empat faktor
dan mengungkap 93,15% karakteristik pemuka pendapat; dan karakteristik yang tak terungkap
hanyalah 6,85%. Empat karakteristik tersebut sekaligus menyanggah teori klasik kepemimpinan
dalam psikologi sosial. Proporsi keempat faktot karakteristik pemuka pendapat sekaligus
menjawab bahwa masyarakat Jawa Tengah masih lebih tradisional, karena lebih menurut para
pemuka pendapat yang teguh pada norma. Dari ragam subyek responden serta olahan
jawabannya menjadi empat faktor tersebut maka model pluralistik lebih tepat untuk
pembangunan. Dari ragam responden serta olahan jawabannya dapat pula dimaknai bahwa
pemimpin formal yang semula adalah pemuka pendapat akan lebih efektif.
Desain penelitian yang rasionalistik dengan hasil optimal seperti itu dapat diklaimkan
sebagai penelitian realisme metaphisik pada dataran Popper. Bila penulis membahas lebih dahulu
tentang qullukum roin secara madhui dengan memperkaya dengan nash-nash lainnya, dapat
diklaimkan sebagai penelitian realisme metaphisik pada dataran transenden yang penulis
tawarkan pada pendekatan ini.

D. ESENSIALIS, HOLISTIK DAN MOMOT NILAI


Bagaimana objek diteliti, realisme metaphisik jauh sekali bedanya dengan rasionalisme.
Rasionalisme, seperti juga positivisme mencermati objeknya berdasar satuan-satuan terkecilnya,
yaitu berdasar variabel-variabel yang dipilih, dengan mengeliminasikan variabel lainnya; dan
upaya pencarian kebenarannya didasarkan padaolahan frekuensi dan variansi dari kejadian pada
objeknya. Realisme metaphisik dalam hal bagaimana objek penelitian diurus, menjadi sangat
dekat dengan pendekatan phenomenologik, yaiftl obiek penelitian dilihat secara holistik dan
upaya pencarian kebenaran bukan didasarkan pada frekuensi dan variansi, melainkan didasarkan
pada ditemukannya esensinya.
Dalam hal bangunan pembuktiannya realisme metaphisik dekat dengan rasionalisme,
jauh dari pendekatan phenomenologik. Dalam hal telaah objeknya terjadi sebaliknya, yaitujauh
dari rasionalisme, karena realisme metaphisik menelaah objeknya secara holistik dan mencari
makna esensial dari objeknya. Satu hal lagi yang juga perlu diperbandingkan dalam konteks ini,
yaitu tentang vulue-bound dan value-freenya. Bangunan realisme metaphisik Popper (1935)
dikembangkan kandungan nilainya, kandungan Weltanschauung-nya oleh Reichenbach (1938),
oleh Toulmin (1953), oleh Feyerabend (1965), dan oleh Khun.
Dari pengamatan Frederick Suppe gerakan mengembangkan kandungan Weltanschauung
dari Feyerabend, Kuhn, dan lain-lain nampaknya mulai kehilangan dukungan. Tetapi gerakan
realisme metaphisik dan realisme epistemologik yang lebih menekankan pada rasionalitas dalam
pengembangan ilmu nampak mendapat lebih banyak pendukung. Dalam kuliah di Pasca Sarjana
nampak memprediksikan bahwa pendekatan positivistik perlu diperbaharui dengan pendekatan
rasionalisme, bila ingin tetap bertahan sebagai dasar bagi pengembangan ilmu. Paradigma

98
kualitatif phenomenologik memang sedang menjadi fokus minat banyak ahli, tetapi dapat
kehilangan masa deparinya bila fidak bergeser dari ideograpilik ke nomothetik. Think globally,
act locally, adalah sesuatu yang mungkin. Sedangkan realisme metaphisik dapat menjadi
landasan pengembangan ilmu masa depan, sejauh tetap mempertahankan dasar pengembangan
atas rasionalitas.
Apakah makna rasiolialitas yang dimaksud penulis? Penulis meminjam istilah yang tepat
dari Hempel dan Operiheim, yaitu Logika Eksplanasi, yang mensintesakan model eksplanasi
D-N (deduktif-nomologik) dengan model eksplanasi I-S (induktif-statistis). Rasionalitas dalam
makna epistemologik adalah digunakanya prosedur kerja yang mempercayai kemampuan rasio
untuk menangkap dan memaknai emperi, dengan menggunakan logika eksplanasi. Hanya saja
sintesa dalam konteks kualitatif D-N dan I-S penulis ganti dengan D-N dan I-P (probabilistik).
Emperi tersebut mungkin berada pada dataran sensual, yang dapat ditangkap dan dimaknai oleh
indra kita, pada dataran berikut ada emperi logik, yang perlu dapat ditangkap dan dimaknai
dengan rasio logik kita; pada dataran yang lebih tinggi lagi ada emperi etik, menghayati budi
baik, menghayati kasih sayang sesama, menghayati nikmatnya kejujuran, yang perlu dan dapat
ditangkap dan dimaknai oleh akalbudi kita, oleh superrasio kita; dan terakhir pada dataran
tertinggi yaitu emperi transenden, menghayati rahmah Allah, menghayati hikmah tidak tahu
kapan kita mati, tidak tahu tingkat kesuksesan kita, yang perlu dan dapat ditangkap oleh
akal-iman kita, oleh transrasio kita. Pada dataran manapun kita perlu dan dapat menggunakan
logika eksplanasi, mulai dari rasio emperi sensual, rasio emperi logik, superrasio emperi etik,
dan transrasio emperi transenden.
HAM atau hak asasi manusia hanya bergerak pada dataran demokrasi yang berakar pada
hak individu. Paradigma Pancasila dengan bangga dapat kita tawarkan sebagai alternatif yang
lebih bagus, bagi kehidupan global. Duduknya demokrasi hanyalah yang keempat setelah
keimanan, kemanusiaan, dan keadilan. Hak individu perlu tunduk pada tidak mengganggu
tanggung-jawabnya untuk beriman, untuk mendahulukan perikemanusiaan, untuk mendahulukan
keadilan. Nasionalisme akan memperkokoh kehidupan global. Trend globalisasi sekaligus diikuti
dengan gerakan memperkokoh persatuan nasional, bukan paradigma yang salah. Pola fikir
paradox tersebut adalah juga pola fikir Naisbitt, dalam bukunya Global Paradox. Memiliki
paradigma integratifheterarkhik (artinya padu tetapi sekaligus memberi peluang kontradiksi
intern, keragaman, dan lain-lain) dari dataran sensual sampai transenden dengan menggunakan
bangunan pengembangan ilmu realisme metaphisik kami prediksikan menjadi jalan yang benar
dalam berilmu pengetahuan di masa depan.
Dalam hal momot nilai, realisme metaphisik yang rasional kritis sekaligus emperik kritis
menjadi sangat dekat dengan pendekatan phenomenologi, dan sangat jauh dari positivisme.
Dengan menggunakan pendekatan rasionalistik ada kemungkinan memasukkan nilai, tetapi
sifatnya implisit-sekuensial. Artinya tidak dimungkinkan menampilkan variabel moral untuk
didesain dan diukur; tetapi mungkin ditampilkan menjadi kriteria-kriteria indikator pemunculan
variabel.
Tentang disertasi penulis. Di atas telah dibahas tentang kedekatan teori besar yang
penulis kemukakan dengan hasil uji emperiknya, sehingga penulis katakan dapat diklaimkan
sebagai pendekatan realisme metaphisik. Tetapi bila dilihat pada bagaimana kebenaran
diperoleh, yaitu lewat pencarian frekuensi dan variansi, bukan lewat pencarian esensi, maka
disertasi penulis tidak dapat diklaimkan sebagai menggunakan pendekatan realisme metaphisik;
tetapi tetap saja termasuk yang menggunakan desain rasionalisime.

E. MENEMUKAN TEORI
Tugas ilmu adalah mengembangkan ilmu. Menurut Popper tujuan ilmuwan berilmu
pengetahuan adalah menemukan teori dan mengembangkan. Teori yang baik mampu menyajikan
esensi dan realitas. Benarkah teori itu mendeskripsikan realitas? Memang belum. Menurut

99
Popper teori merupakan terkaan-terkaan informatif tentang semesta. Teori model Popper berbeda
dengan teori model grounded. Teori model grounded adalah teori substantif yang berdasar data
lokal dan spesifik; yang seterusnya dapat dikembangkan menjadi teori formal. Pada ujung lain
dalam berfikir ada yang namanya grand-theory yang dibangun secara deduktif reflektif. Teori
model Popper berangkat dari grand theory, ujung yang berlawanan dengan grounded theory dari
model Glaser & Strauss.
Dari manakah titik berangkat kita untuk menemukan teori? Dalam upaya mencari
kebenaran model grounded dan model Popper keduanya sama, yaitu: mencari esensi secara
holistik. Model grounded berangkat dari grass root emperi, sedangkan model Popper berangkat
dari terkaan-terkaan deduktif Model grounded mengembangkan teori substantif menjadi teori
formal. Tesis yang mendasarkan, pada spesifikasi lokal dikembangkan menjadi tesis yang
dilepaskan dari keterkaitan lokal.
Dari pengamatan penulis pada pengembangan teknologi, penulis melihat adanya
substansi yang seakan-akan sudah given, sudah memiliki sifat dasar seperti itu. Tubuh manusia
menolak menempelnya organ baru pada tubuhnya. Timbul masalah: organ kita rusak, apakah
tidak diganti dengan organ baru, seperti mobil ganti ban, ganti mesin, dan seterusnya? Ternyata
tubuh manusia menolak organ baru tersebut. Diketemukan karakteristik esensial menolak organ
baru pada substansi tubuh manusia. Dengan upaya menetralisir daya tolak tersebut saat
dicangkokkan organ baru, dapatlah kita mengadakan cangkok organ seperti jantung, ginjal, dan
lainnya. Tentu, sesudahnya perlu dikembalikan fungsi menolak organ asing, untuk menjaga agar
tidak tertempel secara tidak sengaja kaki kuda atau telinga kambing pada tubuh kita. Kita perlu
pesawat terbang yang ringan mudah terbang sekaligus kuat menahan tekanan udara dan tekanan
akibat kecepatan terbang. Pada beragam substansi logam dicari esensi-esensi ringan, kuat, tahan
tekanan, tahan gesekan, dan seterusnya. Dari esensi-esensi yang melekat pada beragam substansi
direkayasa sehingga dapat diciptakan substansi baru yang memiliki karakteristik esensial baru
yang lebih ideal. Rekayasa bahan tersebut menghasilkan bahan metalurgi sampai bahan
komposit.
Menemukan karakteristik-karakteristik esensial yang melekat pada banyak substansi
menjadi tuntutan pengembangan ilmu masa depan. Jadi, bukan terhenti dari teori substansi
menjadi teori formal, yang meluaskan generalisasi, melainkan perlu pula mengembangkan teori
untuk menemukan tesis-tesis dan teori-teori tentang esensi. Menemukan tesis esensi untuk
phisika telah penulis deskripsikan di atas. Bagaimana menemukan tesis esensi untuk ilmu sosial?
Kita mengenal generalisasi pada mother population dan generalisasi pada parent (tanpa
s) population. Generalisasi yang pertama diambil dari hasil penelitian pada subyek sampel, dan
diberlakukan menyeluruh pada subyek populasinya. Sedangkan generalisasi kedua dikenakan
pada populasi manapun yang memiliki karakteristik yang sama dengan karakteristik pada
populasi penelitian. Mengembangkan model penelitian yang berupaya mengidentifikasi
karakteristik subyek dan konteks serta memantaunya, dan penelitiannya terfokus pada pencarian
karakteristik esensial nampaknya menjadi masa depan yang cerah untuk penelitian ilmu-ilmu
sosial.
Berangkat dari asumsi bahwa semesta ini teratur, baik tampil dalam keteraturan
substansial maupun tampil dalam keteraturan esensial, ilmuwan memiliki bahan acu
pengembangan ilmu yang tidak pernah akan membingungkan. Teori, tesis yang tertolak lebih
karena disebabkan belum mampunya manusia menangkap keteraturan semesta ini. Apakah
kehidupan manusia juga mengikuti keteraturan? Ya, keteraturan kehidupan manusia sebenarnya
lebih diversifikatif dibanding dengan keteraturan alam phisik. Alam phisik substantif dapat
berubali karena adanya upaya manusia secara. terandang-kadang malah eksperimental, lewat
pengembangan rekayasa teknologi. Sedangkan alam kehidupan manusia secara substantif dan
esensi berkembang diversifikatif dalam konteks dan watak yang beragam di seluruh dunia.
Karena itu think globally, act locally merupakan paradoks yang dapat dipilih sebagai alternatif

100
pengembangan ilmu-ilmu sosial. Menemukan teori ataupun tesis esensial yang berlaku global,
tetapi mampu menemukan pula terapan teori ataupun terapan tesis pada keragaman konteks
lokal, sangat urgen.
Popper menolak instrumentalis, dan hanya mengakui teori dan tesis esensial, sehingga
Popper termasuk yang disebut esensialis. Berfikir dan mencari esensi dalam penelitian ataupun
bergerak mengembangkan teori substantif menjadi teori formal, dapat menjebak kita (bila
diartikan negatif) atau menuntun kita (bila diartikan positif) kepada esensi yang instrumentalis,
di samping memang tetap menjaga kita dalam penemuan esensi substantif.
Ketika kita berfikir melepaskan keterikatan pada konteks, pada situasi lokal, kita
menemukan esensi. Ketika kitajumpai banyak sekali substansi yang terkait ke lokal atau malahan
lebih jauh ke era, ke zaman tertentu, kita sampai kepemikiran bahwa yang tetap abadi adalah
perubahan. Dalam hal seperti itu, kita telah benar-benar terjebak ke pemikiran instrumentatif
yang negatif. Apakah ada pemikiran instrumentatif yang positif ? Ada. Teori perubahan dari
Durkheim (perubahan terjadi evolusioner dari mekhanik ke organik), exchange theory dari
Homans, teori konflik dari Lewis Coser, teori perkembangan progresif dari Max Weber, ataupun
teori penulis keterkaitan perkembangan dengan kualitas inovasinya, adalah teori-teori perubahan
sosial yang instrumentatif.

101
BAGIAN KELIMA:

METODOLOGI PENELITIAN
STUDI TEKS :
DARI STRUKTURALISME SAMPAI
POSTSTRUKTURALISME

PENDAHULUAN
Sistematisasi telaah bagian kelima ini berbeda dari bagian-bagian terdahulu.
Bagian-bagian terdahulu penelaahan metodologi penelitian disistematisasikan berdasar dan
sebagai konsekuensi dari filsafat ilmu yang melandasinya: Bagian Pertama, menyajikan
metodologi penelitian berdasar pendekatan positivistik; Bagian Kedua, menyajikan penggunaan
pendekatan rasionalistik; Bagian Ketiga menyajikan metodologi penelitian yang berlandaskan
filsafat phenomenologi; dan Bagian Keempat menyajikan metodologi penelitian yang ditata
sejalan dengan filsafat ilmu realisme metaphisik. Bagian kelima ini penulis fokuskan pada telaah
teks, sehingga penulis sebut Metodologi Penelitian Studi Teks. Dalam cakupannya yang luas
sebenarnya mencakup telaah Geisteswissenschaften, telaah ilmu-ilmu kemanusiaan; yang pada
dasarnya membahas dan mengembangkan persepsi manusia tentang manusia dalam konteks
kehidupannya, upaya penstrukturannya diri dan lingkungannya, serta upaya pemanfaatan
lingkungannya. Geisteswissenschaften memiliki rentangan studi yang sangat luas, mencakup
yang biasa disebut ilmu sosial dan humaniora, termasuk filsafat, hukum, sampai ke karya sastra,
sebagai lawan dari Naturwissenschaften.
Sebahagian Geisteswissenschaften mengadakan telaah teks dilanjutkan dengan uji
emperik; sedangkan sebahagian mengadakan telaah teks tentang persepsi, tentang upaya
penstrukturan, serta pemanfaatan lingkungan lebih merupakan olahan filosofik dan teoretik
daripada olahan validasi emperik. Sebagian Geisteswissenschaften yang pertama penulis
persilahkan menggunakan metodologi penelitian dengan empat pendekatan alternatif yang
tersebut di bagian pertama sampai bagian keempat buku ini. Sedangkan sebahagian yang kedua
penulis persilakan menggunakan metodologi penelitian yang dibahas di Bagian Kelima ini.
Tidak dapat seluruh disiplin ilmu yang termasuk kedua ini penulis bahas metodologi
penelitiannya, melainkan penulis fokuskan dengan mengambil sampel rentangan dan penulis
fokuskan pada studi bahasa dan karya sastra.
Tentang studi hukum yang merupakan salah satu disiplin ilmu Geistes-wissenschaften
telaahnya lebih didasarkan pada adanya dua rumpun besar, yaitu: civil law dan common law; dan
didudukkan metodologinya yang tepat dengan dikaitkan pada empat pendekatan yang diuraikan
di bagian pertama sampai bagian keempat buku ini. Sedangkan khusus untuk bahasa dan karya
sastra dicoba disistematisasikan sejalan dengan perkembangan pengaruh filsafat ilmu pada
penelitian teks.
Referensi untuk studi hukum diambil secara umum dari beragam sumber. Referensi yang
digunakan khusus tentang bahasa dan karya sastra digunakan referensi: terutama Richard
Harland (1988), Superstructuralism. The Philosophy of Structuralism and Post
Structuralism, Terence Hawkes (1978), New Accents. Structuralism and Semiotics,
Christopher Norris (1983), Deconstruction: Theory and Practice. ditambah dengan Aminuddin
(Ed. 1990), Penelitian Kualitatif dalam Bidang Bahasa dan Sastra, Jabrobirn (Ed. 1994),
Penelitian Sastra, dan E.Surnaryono (1993), Hermeneutik. Sebuah Metoda Filsafat, serta
kumpulan makalah Semlok dan Penataran Sastra FPBS IKIP Muhammadiyah Yogyakarta (1991
dan 1992). Meskipun penulis sadar dan diharapkan para pembaca juga memaklumi bila telaah
landasan filsafat ilmunya tidak eksplisit sama dengan telaah di bagian-bagian terdahulu buku ini.

A. STUDI GEISTESWISSENSCHAFTEN

102
Sesudah maraknya natural science di Eropa, Vico pada tahun 1725 mengetengahkan new
science, yang tidak lain adalah studi yang menelaah: bagaimana manusia mempersepsikan dunia,
bagaimana manusia menstrukturkan lingkungannya, bagaimana manusia memberi makna atas
realitas yang dihadapinya. Untuk mempersepsikan, menstrukturkan, dan memberi makna
manusia menggunakan bahasa. Penulis timbang bahwa new science tersebut dapat disebut secara
tepat sebagai ilmu-ilmu kemanusiaan atau dalam istilah Wilhelm Dilthey disebut
Geisteswissenschaften, atau Human Science, sebagai lawan dari ilmu pengetahuan alam atau
Naturwissenschaften atau Natural Science.
Pada satu sisi studi teks adalah studi tentang persepsi manusia, tentang Upaya
penstrukturan diri dan lingkungan manusia, serta tentang pemberian makna lingkungan dan
dirinya, atau ilmu-ilmu Geisteswissenschaften. Pada sisi lain studi teks adalah studi bahasa.
Dalam maknanya yang luas, studi teks akan mencakup - studi teks dalam makna telaah pustaka
Geisteswissenschaften seperti disiplin ilmu hukum, antropologi, filsafat, sampai studi teks dalam
makna studi linguistik dan studi sastra (Richard Harland, 1988). Dalam upaya penulis untuk
mengintegrasikan ilmu dengan wahyu, maka studi-studi tentang kitab suci yang merupakan
wahyu Allah akan penulis masukkan dalam telaah di bagian ini. Asumsi dasar yang melandasi
adalah: meskipun wahyu Allah bukan produk budaya, melainkan highest wisdom yang
ditur’unkan Allah dengan menggunakan medium bahasa yang komunikatif bagi semua manusia,
dan diberadakan pada dataran yang terfahami oleh manusia, maka wahyu dapat ditelaah sebagai
objek studi Geisteswissenschaften ataupun sebagai karya sastra.
Dengan demikian metodologi penelitian yang dibahas di sini mencakup
hal-hal tersebut di atas. Itu berarti bahwa telaah bagian kefima ini dapat digunakan sebagai acuan
bagi yang mengadakan penelitian teks atau penelitian pustaka sesuatu disiplin ilmu yang
termasuk Geisteswissenschaften, dan juga penelitian karya sastra sebagai karya seni tulis.

B. STUDI TEKS: STUDI PUSTAKA


Telah dikemukakan bahwa studi teks merentang dari studi teks disiplin ilmu-ilmu
kemanusiaan tertentu atau studi pustaka, sampai ke studi tentang karya sastra. Studi teks dalam
makna studi pustaka setidaknya dapat dibedakan: pertama, studi pustaka yang memerlukan
olahan uji kebermaknaan emperi di lapangan; dan kedua, studi pustaka yang lebih memerlukan
olahan filosofik dan teoretik daripada uji emperik. Studi pustaka yang pertama mempunyai
kegunaan untuk membangun konsep teoretik yang pada waktunya tentunya memerlukan uji
kebermaknaan emperik di lapangan. Studi pustaka dalam makna pertama akan bersinggungan
dengan dua kawasan di mana terdapat studi pustaka Geisteswissenschaften dan studi pustaka
Naturwissenschaften. Studi pustaka Naturwissenschaften secara hati-hati dan selektif bukan
mustahil dapat pula menggunakan metodologi studi pustaka Geisteswissenschaften yang ditelaah
di empat bagian terdahulu. Sedangkan studi pustaka dalam makna kedua, yaitu studi disiplin
ilmu-ilmu kemanusiaan atau Geisteswissenschaften memang hampir seluruh substansinya
memerlukan olahan filosofik atau teoretik dan terkait pada nilai atau values, tetapi tetap
diperiukan keterkaitannya dengan emperi, yaitu perlu teruji evidensi emperiknya.
Dengan demikian studi teks mencakup: pertama, studi pustaka, sebagai telaah teoretik
suatu disiplin ilmu, yang perlu dilanjutkan dengan uji emperik, untuk memperoleh bukti
kebenaran emperik. Studi pustaka yang kedua adalah studi teks yang berupaya mempelajari teori
linguistik atau studi kebahasaan atau studi perkembangan bahasa, yang biasa disebut sebagai
studi sossiolinguistics dan psycholinguistics. Studi pustaka yang ketiga adalah studi pustaka yang
seluruh substansinya memerlukan olahan filosofik atau teoretik dan terkait pada values. Sedang
yang keempat adalah studi karya sastra.
Sistematisasi telaah untuk studi yang pertama, kedua, dan ketiga, ataupun telaah
metodologiknya dapat digunakan pendekatan yang tersebut pada bagian pertama, kedua, ketiga,
dan keempat dari buku ini, sesuai dengan landasan filsafat ilmu yang digunakan. Studi yang

103
substansinya memerlukan olahan filosofik atau teoretik akan penulis telaah contohkan pada studi
hukum, dan akan penulis berikan orientasi dasar bagi pemilihan pendekatan positivistik,
rasionalistik, phenomenologik, atau realisme metaphisik. Sedangkan untuk yang keempat telaah
substansinya dapat dipilih antara beragam teori studi bahasa. dan sastra, seperti strukturalisme
linguist, strukturalisme genetik, strukturalisme dinamik, telaah heuristik, hermeneutik, atau
telaah dekonstruksi, dan akan ditelaah secara cukup rinci pada bagian kelima ini.

C. STUDI HUKUM
Penulis ambil studi hukum sebagai salah satu sampel dari Geisteswissenschaften atas
alasan bahwa karena pengaruh positivisme maka studi hukum yang semestinya merentang dari
apa hukum itu seharusnya (dalam makna etik), sampai apa hukum itu (yang emperik) telah
tereduksi menjadi apa hukum itu (yang emperik) sampai apa hukum itu seharusnya (dalam
makna pragmatik). Studi hukum yang normatif menghilang. Sedangkan kita perlu
merekonstruksi kembali hukum kita.
Studi hukum yang positivistik hendaknya menjawab perlunya penataan emperik.
Bagaimana dengan idealisasi hukum yang kita lambangkan dengan keadilan. Keadilan yang
mana: equity atau justice? Apakah studi hukum itu studi yang memerlukan uji emperik ataukah
fungsi emperik hanyalah untuk membuat refieksi idealisasi kita? Dari kutub yang satu dapat
dijawab sebagai berikut. Memang, studi hukum memerlukan uji emperik. Tetapi fungsi emperi
bukan untuk memvalidasikan konsep atau teori, melainkan menjadi masukan bagi berfikir
reflektif guna membuat olahan filosofik atau teoretik. Dari sejarah berfikir manusia tentang
hukum, terbukti bahwa persepsi manusia serta upaya penstrukturan lingkungannya menghasilkan
operasionalisasi hukum yang berbeda-beda. Idealisasi tertinggi dari hukum adalah keadilan,
equity. Alur fikir ini mendukung dibangunnya hukum normatif. Ketika hukum sampai ke dataran
legalitas, maka hukum berubah menjadi mematuhi otoritas penguasa. Juga, keadilan pada
dataran pragmatis menjadi diperolehnya rasa aman. Dari kutub kedua ini hukum bukan hanya
memerlukan uji emperik, melainkan malahan harus diberangkatkan dari emperi-emperi kasuistik
dibangun hukum legal. Cara kerja ini akan membangun hukum positif. Uji emperik, melainkan
malahan harus diberangkatkan dari emperi-emperi kasuistik dibangun hukum legal. Cara kerja
ini akan membangun hukum positif.
Rumpun besar hukum ada dua: rumpun hukum kontinental, seperti kode Napoleon; dan
rumpun hukum Anglo-Saxon. Rumpun pertama disebut juga civil law; di mana hukum disusun
secara deduktif, diberangkatkan dari idealisasi persepsi manusia serta upaya penstrukturan
masyarakat berdasar cita keadilan. Rumpun kedua disebut juga common law; dari hal-hal
kasuistik dirumuskan keputusan-keputusan kasuistik. Berulang kali muncul keputusan kasuistik
atau keputusan sesuai dengan konteksnya. Beragam keputusan tersebut secara induktif tertata
menjadi hukum-hukum adat, menjadi common law.
Indonesia termasuk negara yang menggunakan peninggalan sistem hukum kontinental;
memberangkatkan pemikiran-pemikirannya dari deduksi abstrak, memberangkatkan dari konsep
keadilan. Positivisme mengubah teori keadilan menjadi teori negara berdaulat; dengan
terminologi Aristoteles: mengubah keadilan alami yang universal menjadi keadilan legal. Dalam
perkembangannya, produk-produk hukum Indonesia, mulai tercampur dengan produk-produk
hukum kasuistik, terutama produk-produk hukum perekonomian dan perdagangan. Yang
kontinental bicara soal apa hukum itu seharusnya, sedangkan hukum kasuistik Anglo-Saxon
bicara apa hukum itu? Dalam perkembangannya positivisme analitik (Kelsen) yang bicara apa
hukum itu berkembang menjadi paralel lagi dengan hukum kontinental, yaitu menjadi apa
hukum itu seharusnya pada positivisme pragmatik (Austin). Meski yang kontinental tetap
deduktif dan makna seharusnya bersifat etik, sedangkan positivisme pragmatik Austin juga tetap
induktif dan makna seharusnya berdasar kebutuhan masyarakat yang terus berkembang.

104
Dari telaah singkat tersebut pembaca diharapkan dapat memilih pendekatan yang lebih
tepat. Misal, dengan pertimbangan ontologik, bila peneliti berpegang pada apa hukum itu dan
apa hukum itu seharusnya (dalam makna kebutuhan pragmatik), maka pendekatan yang tepat
digunakan adalah positivisme atau rasionalisme; sedangkan bila peneliti berpegang pada apa
hukum itu seharusnya (dalam makna etik), maka pendekatan yang tepat digunakan adalah
phenomenologi, atau realisine metaphisik, atau dengan desain telaah tertentu dapat digunakan
rasionalisme.
Pertimbangan tersebut akan menjadi lebih kompleks lagi bila kita menimbang
epistemologiknya. Epistemologik, pada apa hukum itu dan apa hukum itu seharusnya (dalam
makna pragmatik), karena sifatnya induktif, lebih tepat digunakan pendekatan positivisme atau
phenomenologik; sedangkan pada rumpun apa hukum itu seharusnya (dalam makna etik), yang
memerlukan olahan deduktif, akan lebih tepat digunakan pendekatan rasionalisme atau realisme
metaphisik.
Karena itu pendekatan mana yang sebaiknya digunakan terpulang kepada para peneliti,
atau setidaknya sebaiknya meminta saran pendapat dari para yang lebih pakar.

D. STUDI BAHASA DAN KARYA SASTRA


Oleh karena studi teks sebahagian besar referensinya berasal dari studi bahasa dan karya
sastra, maka perlu secara khusus didudukkan posisi studi perkembangan bahasa (dan karya
sastra) dalam konteks lingkungan sosialnya, yang disebut studi sosiolinguistics
danpsycholinguistics di satu sisi, dan studi tentang teks, khususnya karya sastra di sisi lain. Studi
bahasa dan karya sastra dengan memfokuskan pada teks, khususnya karya sastranya disebut
pendekatan objektif, dimulai dengan telaah strukturalisme otonom; dan dikembangkan oleh
kaum formalis Rusia dan kaum kritis baru di Amerika Serikat (Terence Hawkes, 1978).
Strukturalisme linguist berkembang lebih lanjut menjadi strukturalisme genetik, dan
berkembang lebih lanjut lagi menjadi strukturalisme dinamik. Bersama pendekatan semiotik,
strukturalisme dinamik berkembang menjadi telaah heuristik dan telaah hermeneutik.
Metodologi penelitian sosiolinguistics dan psycholinguistics dapat menggunakan
metodologi dengan pendekatan positivistik, rasionalistik, phenomenologik, atau realisme
metaphisik, yang dalam buku ini diuraikan di bagian pertama, kedua, ketiga, dan keempat (baca
juga disertasi Thord Erasmie, 1975). Sedangkan telaah teks, dalam arti studi bahasa dan sastra
dengan pendekatan seperti strukturalisme linguist, strukturalisme genetik, strukturalisme
dinamik, sampai dekonstruksionisme akan penulis bahas lebih panjang lebar di bagian kelima
ini.
Dikaitkan dengan landasan filsafat ilmunya, bagian kelima ini lain, perkembangan studi
kebahasaan tidak sepenuhnya paralel dengan perkembangan filsafat ilmu yang melandasi
perkembangan metodologi penelitian. Meskipun demikian, penulis berupaya dan para pembaca
diharapkan dapat memahami bahwa tidak sepenuhnya dapat dieksplisitkan atau sepenuhnya
diparalelkan dengan pandangan-pandangan filsafati yang disajikan dalam buku ini.

E. STRUKTURALISME LINGUIST
Strukturalisme memang mengalami perkembangan sejak de Saussure sampai ke Derrida.
Tahap perkembangan awal dari strukturalisme adalah strukturalisme sebagaimana dikemukakan
oleh de Saussure dilanjutkan oleh strukturalisine Amerika yang behavioristik dan strukturalisme
Rusia yang formalistik. Ketiganya disebut sebagai strukturalisme linguist. Strukturalisme
tersebut juga disebut strukturalisme murni, karena memang dari merekalah studi strukturalisme
berawal. Strukturalisme tersebut juga disebut strukturalisme otonom, karena sesuatu karya sastra
dianalisis pada struktur karya sastra itu sendiri, tidak dikaitkan dengan sesuatu lain di luar karya
sastra itu sendiri; sehingga strukturalisme otonom, juga disebut strukturalisme obyektif.

105
Kuliah de Saussure di Universitas Geneva antara tahun 1906 sampai 1911, dan
dipublikasikan tahun 1915 (ada yang menyebut 1916) mengemukakan bahwa studi bahasa tidak
hanya menelaah bahasa sebagai kumpulan dari berbagai sesuatu yang individual, melainkan juga
menelaah hubungan sinkroniknya; juga menelaah Gestalteinheit (kesatuan Gestalt)-nya.
Phenomena bahasa mempunyai dua dimensi mendasar, yaitu langue dan parole, yang kira-kira
sama dengan dimensi bahasa sebagai sistem abstrak dan dimensi bahasa sebagai ucapan
keseharian atau ujaran. Lebih jauh Saussure mengemukakan bahwa bahasa merupakan abstrak
dari sistem tanda-tanda (system of signs). Hubungan sinkronik dalam bahasa merupakan relasi
struktural, yang mungkin bersifat horizontal (sintagmatik) atau vertikal (asosiatif). Aspek
sintagmatik dalam telaah bahasa diwujudkan dalam mencermati keterkaitan kata dengan
kata-kata sebelumnya, dan juga dengan kata-kata sesudahnya. Kata disebut memiliki relasi
sinkronik dengan kata-kata lainnya bila mengandung makna bahwa sesuatu kata tidak dapat
dimaknai kecuali melihat hubungan horizontalnya dengan kata-kata lain sebelum dan
sesudahnya. Relasi vertikal atau aspek asosiatif sesuatu kata ditampilkan dalam pemilihan
sinonimnya atau antonimnya. Cakupan makna kata sayang dengan kata cinta, benci, dan dendam
secara vertikal dapat dilihat tumpang-tindihnya sekaligus bedanya dalam arti sinonim ataupun
antonim. Relasi horizontal atau aspek sintagmatik sesuatu kata terhadap kata lain kita lihat pada
kesamaan struktur tetapi menjadi sangat jauh maknanya karena adanya kata yang diganti. Contoh
dari de Saussure mungkin lebih gampang terfahami. The boy kicked the girl mempunyai makna
yang sama sekali berbeda ketika kata kicked diganti kata kissed atau killed. Dari konseptualisasi
bahasa seperti tersebut di atas Saussure berkesimpulan bahwa bahasa itu tidak ditentukan oleh
hubungan agregatif dari berbagai unsur, melainkan ditentukan oleh struktur hubungan
sintagmatik dan assosiatif tanda-tanda.
Tokoh lain dari strukturalis linguist dapat disebut Roman Jacobson yang biasa disebut
sebagai formalisme Rusia, yang berkembang di Cekoslowakia, dan lebih jauh berkembang di
Amerika Serikat sebagai mazhab New Critics.
Di Amerika Utara tiga ahli bahasa yang berpengaruh dan dapat disebut sebagai
strukturalis linguist adalah Franz Boas, Edward Sapir, dan Leonard Bloomfield. Sapir
membedakan antara phonetic, atau suara dengan phonemic atau struktur. Konteks Amerika lebih
menguntungkan daripada konteks Eropa. Konteks Amerika memungkinkan menyelidiki
bahasa-bahasa Jerman, Inggris, dan lain-lain, di samping memungkinkan mempelajari
bahasa-bahasa Indian Amerika, Cina-Tibet, dan lain-lain. Konteks Eropa lebih homogin.
Menurut Sapir phonetic barulah mempunyai makna bila seiring (coincides) dengan phonemic.
Sapir akhirnya mengemukakan bahwa bahasa dan pemaknaannya terkait dengan budayanya, ada
semacam cultures language. Contoh yang sangat dekat adalah bahasa Indonesia dengan bahasa
kebangsaan di Malaysia, satu rumpun asal bahasa, tetapi dalam pengembangan penerapannya
dijumpai perbedaan penggunaan kata sintagmatiknya ataupun asosiatifnya.
Semula strukturalisme linguist berpendapat bahwa setiap bahasa memiliki struktur yang
berbeda. Dalam perkembangan kemudian strukturalisme linguist berupaya mencari universalitas
kebahasaan, dan ditampilkan dalam telaah-telaah fonem, morfem, kata, phrasa, klausa, dan
kalimat. Dengan demikian telaah strukturalisme linguist terbatas pada tingkat-tingkat
kebahasaan, yaitu fonologi, morphologi, dan sintaksis.
Strukturalisme linguist tidak dapat membuat analisis tuntas, karena dalam analisis hanya
berupaya memotong-motong teks menjadi kalimat-kalimat, dan kalimat dipotong-potong
menjadi klausa, phrasa, dan akhirnya menjadi kata-kata; dan tidak diperoleh kembali
Ganzheitnya.

F. STRUKTURALISME GENETIK
Strukturalisme linguist atau otonom membuat analisis tuntas terbatas pada karya sastra
itu sendiri.

106
Levi-Srauss mengemukakan bahwa ada analogi antara kesatuan masyarakat dengan
kesatuan berfikir individual. Hanya man-in-association dapat bertahan hidup. Langue pada
konsep Saussure yang paralel dengan dimensi abstrak dalam bahasa, dimaknai lebih lanjut oleh
Levi-Strauss tentang adanya fungsi diferensiasi atau klasifikasi, meskipun sistem klasifikasinya
LeviStrauss (yang berangkat dari masyarakat primitif) berbeda dengan sistem klasifikasi yang
digunakan oleh strukturalis Anglo-Saxon. Strukturalis Levi-Strauss dan Anglo Saxon biasa
disebut sebagai strukturalis antropologik.
Strukturalisme Lucien Goldman berteori bahwa karya sastra adalah karya pengarangnya
sekaligus kenyataan sejarah yang mengkondisikan munculnya karya sastra seperti itu.
Strukturalisme linguist plus sosiologi (dan juga strukturalis antropologik) diklasifikasikan
sebagai strukturalis genetik. Analisis karya sastra (dan bahasa) dalam strukturalisme genetik
lebih menekankan makna sinkronik daripada makna lain (seperti makna ikonik, simbolik, atau
indeksikal), sehingga analisisnya perlu mencakup tiga unsur kajian, yaitu: (1) intrinsik karya
sastra itu sendiri, (2) latar belakang pengarangnya, dan (3). latar belakang sosial serta latar
belakang sejarah masyarakatnya.

G. STRUKTURALISME DINAMIK
Strukturalisme dinamik lebih merupakan pengembangan strukturalisme linguist (yang
dalam perkembangan selanjutnya strukturalisme linguist disebut strukturalisme klasik), karena
sejumlah kelemahan-kelemhannya diupayakan diatasi. Strukturalisme dinamik mengakui
kesadaran subyektif dari pengarang, mengakui peran sejarah serta lingkungan sosial; meski
bagaimanapun sentral telaah harus tetap pada karya sastra itu sendiri. Di sini nampak perbedaan
mencolok antara analisis strukturalisme dinamik dengan strukturalisme genetik. Dalam analisis
strukturalisme dinamik sangat dianjurkan untuk lebih mengkaji karya-karya master piece atau
karya pengarang-pengarang utama, daripada pengarang-pengarang kelas dua.
Analisis karya sastra. mengikuti pandangan strukturalisme dinamik mencakup dua hal,
yaitu : pertama, karya sastra itu sendiri, yang merupakan tampilan fikiran, pandangan, dan
konsep dun ia dari pengarang itu sendiri dengan menggunakan bahasa sebagai tanda-tanda
ikonik, simbolik, dan indeksikal dari beragam makna; dan kedua, analisis keterkaitan pengarang
dengan realitas lingkungannya.

H. STRUKTURALISME SEMIOTIK
Agar penamaan berbagai pendekatan memiliki keajegan sudut pandang, maka
pendekatan semiotik dalam penelitian sastra, penulis sebut sebagai pendekatan strukturalisme
semiotik, sebanding dan sederajatsudut pandangnya dengan strukturalisme linguist,
strukturalisme genetik, dan strukturalisme dinamik. Penulis juga sepakat untuk menyebut
strukturalisme linguist sebagai struktural isme klasik, karena sampai perkembangan sekarang
pun, acuan pengembangan hampir semua pendekatan selalu saja menjurus ke penyempurnaan
strukturalisme linguist dari de Saussure atau Jacobson.
Strukturalisme pada dasarnya berasumsi bahwa karya sastra merupakan suatu konstruksi
dari unsur tanda-tanda. Strukturalisme memandang bahwa keterkaitan dalam struktur itulah yang
mampu memberi makna yang tepat. Inner structure dari suatu karya sastralah yang menjadi
objek telaah strukturalisme. Strukturalisme semiotik adalah strukturalisme yang dalam membuat
analisis pemaknaan suatu karya sastra mengacu pada semiologi. Semiologi atau semiotik adalah
ilmu tentang tanda-tanda dalam bahasa dan karya sastra.
Strukturalisme semiotik mengenal dua cara pembacaan, yaitu: heuristik dan hermeneutik.
Pembacaan atau telaah heuristik diberangkatkan telaahnya dari kata-kata, dari bait-bait sastra,
dari term-term dalam Al Qur’an, dari ayat-ayat dalam Al Qur’an. Sedangkan pembacaan atau
telaah hermeneutik merupakan telaah pada totalitas atau keseluruhan karya sastra, yang berupa
sajak, yang terkait dalam satu tema, atau keseluruhan karya itu sendiri.

107
Apakah Al Qur’an dapat dipandang sebagai karya sastra? Allah memang Maha
Segalanya. Tetapi dalam mengkomunikasikan ajaran-Nya, Allah menggunakan bahasa atau
sistem tanda-tanda yang memang dikuasai manusia. Al Qur’an dapat menjadi objek telaah
manusia, dengan fungsi untuk lebih mempertebal keimanan kita kepada-Nya, bukan untuk
mengerosi keimanan kita,

I. POST STRUKTURALISME
Strukturalisme antropologik, strukturalisme genetik, ataupun strukturalisme dinamik
tetap mengacu kepada strukturalisme de Saussure atau strukturalisme linguist. Dalam upaya
pelacakan filosofiknya, Richard Harland sampai kepada kesimpulan bahwa strukturalisme de
Saussure termasuk Hegelian yang menganut Idealisme objektif Bahasa adalah signs yang
mensintesakan the objective of things dengan the subjective of minds.
Derida sebagai perintis dari dekonstruksionisme, mempunyai pendapat berbeda dari
strukturalisme yang dibangun de Saussure. Makna bagi Derida bukan sekedar arti kata, bukan
sekedar signs yang disepakatkan oleh banyak orang, melainkan bagaimana seseorang
mengartikannya. Bila konsep Derida dan pelanjutnya, seperti Kristeva, danjuga Barthes dilacak
filosofinya, maka akan sampai pada filsafatnya Descartes, Kant, dan Husserl. Hal yang relevan
dengan konsep bahasa Derida dan pelanjutnya adalah bahwa pengalaman emperik sensual
manusia difilter oleh idee-ideenya yang dalam, berarti bahasa itu berada pada-dataran proyeksi
dari pemfilterannya atas pengalaman emperi. Ada unsur kreatif manusia dalam berbahasa.
Dari pelacakan Richard Harland, penulis terbantu dalam upayanya mencari landasan
filosofik strukturalisme ataupun poststrukturalisme. Strukturalisme melandaskan diri pada
idealisme Hegel, sedangkan poststrukturalisme nampaknya dekat ke phenomenologi. Adakah
studi bahasa yang menggunakan pendekatan positivisme? Dari telaah Harland, baik
strukturalisme ataupun poststrukturalisme menolak emperik sensual, sebagai landasan
menjelaskan makna bahasa. Penulis bertanya bersama pembaca, apakah model content analysis
termasuk model studi bahasa dengan pendekatan positivistik? Bila kita mengacu pada buku
Carney, content analysis memang positivistik; tetapi bila kita mengacu pada buku Krippendorf,
content analysis termasuk menggunakan model interaksi simbolik dari Blumer. Marilah kita
cermati bersama, arena penulis pun belum dapat menyimpulkan. Bahwa kajian model Althusser
itu materialistik, memang. Apakah itu berarti positivistik, penulis juga masih ingin melacaknya.

J. DEKONSTRUKSI
Dekonstruksi dalam tampilan keseharian adalah menolak otoritas sentral dalam
pemaknaan segala sesuatu. Dalam bahasa (tertulis) atau karya sastra makna dari sesuatu kata
ataupun kalimat tidak dimaknai secara tunggal (misal sesuai dengan tradisi, atau lainnya)
melainkan dibuka peluang makna lainnya. Strukturallsme berpegang pada makna tunggal sesuatu
sign, berpegang pada logosentrisme; sedangkan dekonstruksi menolak penlaknaan tunggal.
Dekonstruksi berupaya melacak (trace) tentang kekuatan-kekuatan lingkungan luas yang
mempengaruhi penulis karya sastra dalam penuangan pemikiran dan perasaannya dalam karya
sastranya, dan memaknainya sebagai banyak kemungkinan makna. Suatu upaya pemaknaan
ganda yang pada satu sisi mengundang harapan pada sikap kritis, sedangkan pada sisl lain
mengundang kebimbangan berkelanjutan. Term dekonstruksi mengundang makna munculnya
kebimbangan berkelanjutan, mengundang pemaknaan menentang kemapanan, dan tiada pernah
berujung pada tawaran konstruksi baru atau kemanunggalan makna yang lebih baik yang
diperlukan dalam kehidupan masa depan pun. Bila ujung akhir dari perkembangan metoda telaah
sastra adalah dekonstruksi, penulis memprihatinkannya.
Berbeda bila para ahli bahasa dan sastra lebih menekankan pada penggunaan term
poststrukturalisme, di mana kelemahan strukturallsme diatasi. Sebagian dari upaya Derida yang
menawarkan konsep trace dan konsep diffferance (bukan diffrence) serta cara penjelasannya

108
memang masih dapat diberi nama poststrukturalisine. Kemampuan kritis atau kemampuan cerdas
memberi makna ganda pada kritik karya sastra ataupun perkembangan bahasa memang dapat
menjadi tumpuan harapan mengatasi kebekuan perkembangan.
Mengatasi kebekuan dalam model penelitian lain penulls sebut sebagal model
reintepretasi historis atau interpretasi sosiologik dengan paradigma yang mungkin kontroversial
(Baca Bagian Terapan Model H).

109
BAGIAN KEENAM
METODOLOGI PENELITIAN AGAMA:
DARI STUDI KLASIK SAMPAI STUDI
INTERDISIPLINER

A. SKOPA BAHASAN METODOLOGI PENELITIAN


Skopa bahasan pada bagian keenam ini khusus tentang studi Islam; mencakup dari studi
Islam teologik sampai studi Islam interdispliner; dari segi teoretik filosofik mencakup rentangan
dari studi Islam klasik, studi Islam orientalis, studi Islam phenomenologik, studi Islam
kontekstual, sampai studi Islam interdispliner.
Studi Islam teologik yang dimaksud mencakup studi klasik ulumul Qur’an, ulumul
Hadits, ilmu Hukum Islam, ilmu Kalam atau Teologi, Tasawuf, dan Filsafat. Dengan cakupan
tersebut term Studi Islam Teologik (SIT) nampak bahwa SIT tersebut mengangkat salah satu term
cabang ilmu menjadi term umum; ahli lain berkeberatan, dan menawarkan term yang notabene
mengangkat term cabang lain menjadi term umum pula. Penulis lebih cenderung menggunakan
term Studi Islam Klasik untuk studi Islam dalam enam cabang torsebut.
Dalam Seminar Studi Islam Asia Tenggara oleh para pakar peserta seminar, termasuk
Mukti Ali, Nurcholis Madjid, dan lainnya, digunakan term Studi Islam Teologik yang tidak
terbatas pada lima cabang tersebut, melainkan diperluas mencakup studi Islam yang secara
konvensional dipelajari di Institut Agama Islam. Karena itu makna SIT dapat dicakupkan seluas
studi Islam orientalis, studi Islam phenomenologik, dan studi Islam kontekstual. Term SIT dalam
buku ini akan digunakan dalam arti luas mencakup studi Islam klasik, orientalistik,
phenomenologik, dan kontekstual; diperbandingkan dengan studi Islam interdisipliner. Penulis
tidak menolak kemungkinan ditemukannya term yang lebih tepat dikemudian hari.

B. METODOLOGI PENELITIAN AGAMA


Mengangkat metodologi penelitian agama menjadi topik bahasan metodologi penelitian
berarti penulis menjadi salah satu yang menjawab persoalan apakah agama dapat diteliti.
Sementara ahli dan ulama mendudukkan bahwa ilmu dan wahyu itu memiliki otonomi di
bidangnya masing-masing. Ekstremitasnya tampil mentabukan filsafat di antara para ulama, dan
menabukan nonemperik-nonsensual di antara para ilmuwan.
Pada pembahasan di bagian pendahuluan telah ditelaah berbagai landasan filosofik untuk
mendudukkan yang transendental sebagai bagian integratif dari kebenaran ilmu; dan sekaligus
dideskripsikan epistemologi mencari dan memaknai kebenaran transendental. Metodologi
penelitian agama itu luas sekali, ada yang berada di kawasan naqli (yang wahyu) dan ada yang
aqli (yang produk budaya manusia). Metodologi penelitian yang ditamplikan di sini dimaksud
menjembatani para pakar ilmu agama dengan para pakar ilmu non-agama (yang di Indonesia
biasa disebut ilmu umum, seperti teknik, ekonomi, kedokteran, dan lainnya).
Penulis ada maksud dengan menyajikan penelaahan Metodologi Penelitian Kualitatif
Ilmu-ilmu Sosial yang dibahas di Bagian Pertama, Kedua, Ketiga, Keempat, dan Kelima dengan
penelaahan Metodologi Penelitian Agama di Bagian Keenam ini. Bagi para pakar ilmu sosial
yang tak berminat terhadap penelitian agama dapat melewati Bagian Keenam ini sebagai
bacaannya. Bagi pakar ilmu agama yang tetap hendak memfokuskan diri pada Studi Islam klasik
dalam artian sempit dapat membatasi bacaannya pada Bagian Keenam ini (dengan menambah
referensi buku lain yang membahas metodologi penelitian agama lainnya); sedangkan bagi para
pakar ilmu agama yang hendak mengekstensikan wawasannya dan menjadikan Studi Islam lebih
luas dari Studi klasik, disediakan referensi tersebut pada keseluruhan buku ini, meskipun
keluasan tersebut pada keseluruhan buku ini masih terbatas pada keterkaitannya dengan ilmu
sosial. Metodologi penelitian agama yang ditampilkan di sini dibatasi. Metodologi penelitian

110
teologik dalam arti studi klasik harrya disinggung untuk sekedar dikenal; sedangkan metodologi
penelitian lainnya, dicoba ditelaah lebih rinci. Metodologi penelitian agama yang ditelaah di sini
lebih difungsikan untuk mengembangkan ilmu dan teknologi yang lebih berorientasi teistik atau
difungsikan untuk mengembangkan studi tekstual Islam menjadi lebih memberi makna kepada
terapan konstektualnya.
Pengembangan ilmu dan teknologi ataupun pengembangan terapan konstektual dalam
buku ini ditelaah keterhubungan integratif antara yang aqliyah dengan yang naqliyah. Dasar
ontologi dan aksiologi dipakai untuk mengembangkan epistemologi dan metodologi
penelitiannya. Penulis tidak menolak kenyataan banyak ragam pendapat yang dapat membuat
fikiran kita berkembang tiada arah, lebih-lebih bila terlalu memperhatikan para ahli yang banyak
terpengaruh silogisme Yunani atau terpengaruh sufisme. Bagi yang mampu melepaskan diri dari
berbagai ketidakajegan kerangka pemikiran mereka, dan mampu membangun konseptualisasi
metodologi penelitian yang kokoh (solid) sekaligus bermakna (meaningfull) dapat diharapkan
mampu memberi sumbangan bagi studi Islam yang lebih prospektif

C. STUDI ISLAM KLASIK


Studi Islam klasik mencakup setidak-tidaknya enam cabang ilmu, yaitu ulumul Qur’an,
ulumul Hadits, Ilmu Hukum, Ilmu Kalam atau Teologi, Tasawuf, dan Filsafat.
Ismail Al Faruqi mensistematisasikan ulumul Qur’an menjadi lima, yaitu: a) studi
qira’ah atau resitasi, b) studi tentang asbaab al nuzul atau konteks saat turunnya wahyu, c) studi
tentang ayat-ayat Makiyah dan Madiniyah, d) studi tentang tafsir Al-Qur’an, dan e) ilmu tentang
istinbaat al ahkaam atau ilmu tentang Al-Qur’an sebagai sumber hukum.
Ulumul Hadits sebagai sumber kedua tentang Islam mencakup: a) riwayat Hadits atau,
riwayat kejadiannya dan siapa saja menyampaikan, b) rijaal Al-Hadits, atau ilmu yang
menelusuri biographi para penyampai hadits, c) al-jarh wal ta’diil atau ilmu yang menguji
keterpercayaan para penyampai hadits, d) ‘ilal hadits atau situasi sejarah pada masa hadits itu
disampaikan, e) mukhtalaf al hadits atau ilmu tentang keserasian antara hadits dibanding dengan
bahasa dari hadits dibandingkan dengan bahasa dari Al-Qur’an, dan f) studi tentang hasil kerja
dari enam ahli Hadits, yaitu: Bukhaari, Muslim, Abu Daawud, al Nasaa’i, al Tirmidhii, dan Ibn
Maajah. Hasil koleksi Hadits yang juga diakui adalah hasil kerja Maalik ibn Anas dan Ahmad
Ibn Hanbal.
Cabang ilmu yang ketiga dalam studi Islam klasik adalah hukum Islam atau ilmu yang
mengatur muamalah manusia, yang dipilahkan menjadi usul fiqih atau dasar-dasar fiqih atau
dasar-dasar fiqih dan ilmu fiqih. Sedangkan yang menjadi sumber hukum Islam ada empat, yaitu:
Al-Qur’an, Al-Hadits, ijma’ atau kesepakatan, qiyas atau analogi, dan istihsan atau penalaran.
Secara komprehensif hukum yang mengatur muamalah manusia dibedakan menjadi lima, yaitu:
yang wajib, yang sunnah, yang mubah, yang makruh dan yang haram. Istihsan atau ijtihad (yang
bila ditelaah tajam ada perbedaannya) dapat dipakai untuk memahami Al-Quran dan Al Hadits.
Fiqih ijtihad telah melahirkan berbagai mazhab, seperti: Hanafi, Maliki, Hambali, dan Syafi’i.
Keempatnya termasuk fuqaha’ Sunni. Terdapat pula .fuqaha’ Syi’ah. Ibnu Qayyim, Ibnu
Taimiyah, dan Al Asy’ari menyerukan dibukanya terus pintu ijtihad
Ilmu Kalam merupakan salah satu cabang dalam studi klasik Islam. Ilmu kalam
mempelajari pemikiran filsafat atau pemikiran teologik Islam. Pendorong munculnya Ilmu
Kalam adalah perbedaan tafsir tentang aqidah, kepemimpinan sepeninggalan Rasulullah, dan
pengaruh filsafat Yunani. Beda tafsir tersebut menimbulkan aliran-aliran: Qadariyah (yang
memaknai bahwa manusia memiliki kebebasan memilih yang baik atau buruk-indeterministik),
Jabariah (yang memaknai bahwa manusia telah ditetapkan kodratnya oleh Allah-deterministik),
Mu’tazilah (yang memaknai bahwa materi semesta ini tak berubah, yang berubah bentuknya
saja), dan Al Asy’ariyah (yang mengutamakan nash, akal sekedar membantu memahaminya; bila

111
tak terjangkau akal, nash supaya dijangkau apa adanya). Aliran-aliran lain juga ada seperti: Al
Khawarij, Al Sifatiyah, dan Al Salafiyah.
Cabang kelima studi Islam klasik adalah ilmu tasawuf. Tasawuf sebagai ilmu
mengajarkan kepada kita bagaimana membersihkan jiwa dari pengaruh kebendaan, supaya
mudah mendekatkan diri kepada Allah. Kalau filsafat mengajarkan kita menggunakan akal,
kalau tasawuf mengajarkan kita Menggunakan rasa. Berpaling dari kebendaan menjadi sifat
utama sufi. Man laa yamliku syaian, wa laa yamlikuhu syaiun, orang yang tiada memiliki
sesuatu dan tiada dimiliki oleh sesuatu. Kebaikan orang terpengaruh tasawuf adalah orang
tersebut menjadi ikhlas dalam beramal, tiada maksud lain kecuali kepada Allah; keburukannya
bila orang menjadi menjauhi hidup keduniaan dan menyingkirkan diri dari pergaulan
masyarakat.
Cabang keenam studi klasik adalah studi filsafat hellenistik. Maksudnya dipelajari
karya-karya ilmuwan Islam yang berupaya mendekati Islam secara filsafati, yang menggunakan
pendekatan filsafat Yunani. Al Kindi berupaya mendekati Islam dengan pendekatan rasional
filsafati. Meskipun Al Kindi berpendapat bahwa kebenaran yang dijangkau oleh filsafat belum
setinggi kebenaran wahyu. Al Farabi lebih jauh mengajarkan bahwa kebenaran itu satu, yang
akan diperoleh baik lewat studi filsafat maupun berdasar wahyu. Kebenaran wahyu yang
mutasyabih perlu ditakwilkan untuk memahaminya, yang pada akhirnya satu dengan kebenaran
filsafati. (Ayat Qur’an dibedakan antara yang muhkam, yang jelas artinya, dan yang mutasyabih,
yang samar artinya; dengan semakin berkembangnya jangkauan fikiran manusia, ayat-ayat
mutasyabih menjadi semakin banyak, yang muhkam menjadi semakin sedikit).
Para musafir (ahli tafsir) membedakan antara tafsir dan takwil. Tafsir adalah menjelaskan
nash Al-Qur’an atau Hadits berdasar kaidah bahasa dan logika. Tafsir dipakai pada yang
muhkam. Sedang Takwil adalah menjelaskan arti yang lebih jauh, karena diyakini bahwa yang
tersurat itu hanyalah kiasan atau isyarat saja. Takwil lebih banyak dipakai untuk ayat-ayat
mutasyabili.
Menafsirkan Al-Qur’an disertai ijtihad diperbolehkan. Nash Qur’an digunakan untuk
berkonsultasi tentang kebimbangan kita, kebingungan kita, bukan dipakai untuk membenarkan
atau memberikan justifikasi pendapat kita. Mentakwilkan nash dapat dibenarkan, sesuai atau
sejalan dengan nash lainnya, dan tidak bertentangan dengan integralitas Kitab dan sunnah Rasul.
Mentakwilkan ayat bertentangan dengan ayat dan syara’, dilarang. Golongan yang hendak
mengagungkan keturunan Ali r.a. secara semena-mena mentakwilkan dua ayat Al-Qur’an seperti
berikut, Maraja albakhraini yaltaqiyaan, la membiarkan mengalir kedua lautan itu, dan saling
bertemu, ditakwilkan bahwa dua lautan itu adalah Ali r.a. dan Fatimah r.a., dan ayat Yakhruju
minhumma, llu’lu’u walmarajaan, dari keduanya keluar mutiara kecil dan besar, ditakwilkan
kedua mutiara itu Hasan dan Husen.
Al Farabi mengetengahkan teori emansipasi yang berlatar belakang monisme. Penganut
ontologi pluralistik mengakui figa kebenaran, yaitu kebenaran Allah, kebenaran manusia, dan
kebenaran alam. Ontologi monistik telah berkembang ke dua arah, yaitu: pantheisme, bersatunya
ciptaan dengan penciptanya, dan monisme ciptaan-Nya, memisahkan Allah dari obyek telaah.
Wahyu dalam hal terakhir ini adalah ciptaan-Nya juga, yang bersama manusia dan alam menjadi
obyek telaah bagi manusia yang diharuskan berfikir. Monisme multifaset yang diketengahkan
penulis pada pembahasan terdabulu mengikuti arah telaah yang kedua, menjadikan hanya
ciptaan-Nya sebagai obyek telaah; dan menjauhkan diri dari upaya menelaah Dzat Allah.
Ibnu Rusyd mengajarkan bahwa ajaran Islam dan filsafat Yunani dapat bertemu atas
kesatuan kebenaran. Untuk mempertemukannya Ibnu Rusyd menempuh jalan takwil. Pengaruh
Ibnu Rusyd (dengan nama Averoes) cukup besar di Barat. Sering pula Ibnu Rusyd disebut
sebagai the second klaster after Aristotle.

D. STUDI ISLAM ORIENTALIS

112
Term orientalis digunakan untuk para ilmuwan yang mempelajari tentang budaya,
bahasa, dan adat-istiadat bangsa-bangsa Asia, Afrika, dan pribumi Amerika Serikat, dan
Australia. Citra yang mereka kembangkan tentang bangsa-bangsa Timur tersebut adalah:
primitif, tak rasional, tak beradab, dan berbagai konotasi yang rendah. Dalam melihat budaya,
bahasa, dan adat istiadat mereka menggunakan kacamata dan kriteria Barat. Studi Islam para
orientalis menggunakan kacamata yang sama; Islam juga dilihat dari kacamata misionaris
Kristen, yang bertolak dari asumsi bahwa agama yang berasal dari Allah adalah agama yang
diajarkan Jesus Kristus. Upaya diskreditasi kerasulan Muhammad tersebar di tulisan-tulisan para
orientalis tersebut. Francois Valentyn mendeskripsikan agama Islam sebagai pencampuradukan
agama Yahudi, Kristen, dan agama lain. Orientalis yang misionaris Kristen memang memberi
sumbangan berarti dalam linguistik dan antropologi, tetapi mendeskripsikan Islam sebagai ajaran
palsu. Neurdenburg (1884) menyatakan bahwa Islam tidak berakar di Hindia Belanda.
Studi Islam orientalis biasanya berangkat dari studi antropoiogik. Para orientalis
berangkat dari konseptualisasi teoretik atau berangkat dari rekayasa persepsi Barat. Kebencian
mereka terhadap Islam yang mengalahkan Kristen dalam Perang Salib, menghasilkan sikap
antipati pada Islam. Mendeskripsikan Muhammad sebagai nabi palsu, penipu yang lihai,
memperkenalkan cara hidup yang tidak bermoral, dan lain-lain. Dalam masa kolonialisme Barat
ke Timur, studi Islam menjadi bagian dari studi antropologik untuk tujuan penjajahan.
Pendekatan orientalis mendudukkan agama sebagai gejala sosial dan gejala psikologik.
Analisis antropologik para orientalis menampilkan konsep teori evolusioner, bahwa kepercayaan
agama tumbuh dari rasa takut kepada kekuatan gaib ke rasa terlindungi oleh yang Maha Pemurah
dan Pengasih; mereka menampilkan konsep bahwa kepercayaan tumbuh dari dinamisme--
animisme, ke politeisme, menjadi monoteisme. Bila dicermati, Studi Islam orientalis termasuk
yang menggunakan pendekatan positivistik.

E. HISTORISISME KRITIS
Akar dari historisisme kritis juga sama dengan orientalis, yaitu menggunakan pendekatan
positivistik. Historisisme kritis dalam Studi agama menggunakan arti sqjarah secara berbeda,
yaitu mencari sebab atau asal-usul kerasulan Muhammad SAW. Telaahnya banyak
menggunakan psikoanalisis. Historisisme kritis sering mencari landasan telaahnya pada
unconsciousness dalam teori psikoanalisis. Bahasa dan adat adalah produk collective
unconsciousness. Oleh karena itu adat, bahasa, dan institusi manusia tidak dapat difahami tanpa
mencari asal-usulnya atau sejarahnya. Historisisme mencari asal-usul agama bukan dari wahyu,
melainkan bersumber pada kesadaran psikis manusia. Peradaban dan kebudayaan menekan jiwa
agresivitas manusia individual, dan menjadi patokan normatif perbuatan manusia. Sebagaimana
diketahui bahwa Freud menata kesadaran manusia menjadi: bawah sadar kolektif, bawah sadar
individual, sadar, dan atas sadar. Superego atau kesadaran pada atas sadar manusia akan
menghakimi perbuatan manusia sehingga menumbuhkan rasa dosa dan semacamnya. Neurosis
terjadi karena manusia tidak mampu menerima penghakiman superego atas kesalahan perilaku
sadar atau bawah sadarnya.
Dalam studi agama Islam, historisisme tampil dalam wujud menganalisis Al Qur’an dan
juga Rasulullah Muhammad SAW. dalam interpretasi asal-usul emperik, tidak mengakui bahwa
keduanya itu adalah penetapan Allah SWT.
Al Qur’an dilihat hanyalah karya sastra hebat dari Muhammad; bahwa ajaran-ajaran
Islam hanyalah imitasi dari ajaran Musa, ajaran lbrahim, dan jajaran Isa a.s. Karena landasan
historisisme kritis adalah psikoanalisis, maka telaahnya didominasi oleh konsep-konsep seperti:
frustrasi, stress, kompensasi, neurosis, trance, dan lain-lain.

F. STUDI ISLAM PHENOMENOLOGIK

113
Pendekatan phenomenologik dalam studi agama diketengahkan antara lain oleh Rudolf
Otto, Joachim Wach, dan lain-lain. Studi Islam dengan pendekatan phenomenologik ini biasa
disebut sebagai Islamologi. Perintisnya dapat disebut antara lain Goldziher dan Snouck
Hurgronje. Snouck menyarankan politik Islam: 1) dalam bidang murni agama, pemeluk Islam
perlu dijamin kebebasan mutlaknya; 2) dalam bidang politik kebebasan tersebut dibatasi untuk
kepentingan bersama; 3) dalam bidang hukum Islam pemerintah perlu menjauhi intervensi yang
dipaksakan. Yuynbol (1930) menulis buku pegangan tentang hukum Islam mazhab Syafi’i.
Perhatian terhadap studi Islam pada waktu ini telah meluas, bukan hanya di Belanda, melainkan
juga di Amerika Serikat, Kanada, dan Australia.
Metodologi penelitian phenomenologik berbeda dengan metodologi penelitian
positivistik. Metodologi penelitian positivistik menekankan tentang pentingnya obyektivitas,
ilmu perlu value-free, perlu bebas dari nilai apapun, kecuali obyektivitas; teknologi harus
dikembangkan bebas dari otoritas apapun, teknologi harus netral, tidak memihak. Metodologi
penelitian phenomenologik pada umumnya menolak pandangan demikian. Ilmu itu, menurut
pendekatan phenomenologik, haruslah value-bond, mempunyai hubungan dengan nilai,
teknologi demikian pula, harus berlandaskan dan diorientasikan pada nilal-nilai seperti
kemanusiaan, keadilan, dan juga nilai efisiensi serta efektif.
Bagi para peneliti hidup keagamaan yang hendak menggunakan pendekatan
phenomenologik sebaiknya menelaah bagian ketiga buku ini, dimulai dengan menelaah model
kedua, yaitu model ethnographik-ethonometodologik. Untuk memperluas wawasan dan memilih
alternatif operasional model-model lain seperti paradigma naturalistik dan interaksi sinibolik ada
baiknya ditelaah pula.
Beberapa yang penting dari ethnometodologi adalah hal-hal berikut. Pertama, obyek
ditelaah secara holistik, secara keseluruhan sebagaimana adanya; kedua, berangkat dari emperi
di lapangan; teon di konstalksikan di lapangan, dan bukan berdasar konseptualisasi kita peneliti,
melainkan berdasar konseptualisasi masyarakat yang diteliti itu sendiri, ketiga, menganibil
sampel yang diduga memiliki ekstremitas tertentu dengan harapan hal esensial lebih jelas
muncul; meskipun tujuan penelitian ethnometodologi itu idiographik, yaitu membatasi diri untuk
membuat kesimpulan pada kasus yang ditelitinya saja, tetapi dengan mengambil sampel yang
ekstrim, diharapkan kesimpulan kasusnya memiliki komparabilitas yang tinggi; keempat,
hendaknya luwes terhadap rencana sendiri, yang secara terus menerus menyesuaikan pada
emperi di lapangan: obyek yang diteliti mungkin bergeser, responden yang lebih komunikatif
dan informatif yang lebih dicari, hasil analisis perlu dicheck apakah memang sesuai dengan
persepsi masyarakat yang diteliti, hasil penelitian masih tetap hipotetik, tetap kasuistik, yang
mungkin akan beda lokasi, beda waktu.

G. STUDI ISLAM KONTEKSTUAL


Pada bagian kedua buku ini telah penulis ulas tentang arti konstektual. Setidak-tidaknya
ada tiga arti kontekstual. Pertama, kontekstual diartikan sebagai upaya pemaknaan menanggapi
masalah kini yang umumnya mendesak; sehingga arti kontekstual sama dengan situasional.
Kedua, pemaknaan kontekstual disamakan dengan melihat keterkaitan masalampau-kini-men-
datang (contoh teori medan dari Kurt Lewin). Sesuatu akan dilihat makna historik dahulu, makna
fungsional sekarang, dan memprediksikan atau mengantisipasikan makna di kemudian hari.
Ketiga, pemaknaan kontekstual berarti mendudukkan keterkaitan antara yang sentral dengan
yang perifer. Pemaknaan yang ketiga ini dipakai oleh Mukti Ali. Bagi Mukti Ali, yang sentral
adalah teks Al-Qur’an dan yang perifer adalah terapannya; yang sentral adalah studi tentang
ayat-ayat Qur’aniyah, dan yang perifer adalah studi tentang ayat-ayat kauniyah (bukti-bukti
dalam kehidupan manusia dan alam). Model yang dikembangkan Mukti Ali disebutnya
pendekatan ilmiah-cum-doktriner, pendekatan scientific-cum-suigeneris, sedangkan metodanya
disebutnya metoda sintesis yang dalam membahas masyarakat dan budayanya digunakan metoda

114
historik-sosiologik ditambah dengan metoda doktriner. Untuk mempelajari Islam (atau menurut
konseptualisasi penulis buku ini: untuk mempelajari kebenaran Ilahiyah) Mukti Ali menawarkan
penggunaan dua metoda, yaitu: mempelajari Al-Qur’an dan mempelajari Sejarah Islam;
menggabungkan antara studi tekstual dengan kontekstual. Studi tekstual menggunakan pende-
katan formal legalistik, mencari kebenaran dengan mengembalikan pada teks Al-Qur’an.
Sedangkan studi kontekstualnya menggunakan pendekatan emperik phenomenologik, mencari
kebenaran dengan berupaya memahami konteksnya. Mukti Ali memaknai pendekatan
kontekstual sebagai upaya, mempelajari kitab suci sebagai pusat idee, sebagai sentralnya, dan
sejarah Islam sebagai perifernya.
Elan dasar Al-Qur’an bukanlah ilmu atau pun hukum, melainkan moral, demikian Syafi’i
Maarif Karena itu mendudukkan Al-Qur’an sebagai sentral studi mengandung makna bahwa
studi Islam kontekstual merupakan studi yang berpusat pada moralitas, bukan hanya terhenti
pada mencari kebenaran yuridisformal saja. Untuk memahami ayat-ayat Qur’aniyah atau
ayat-ayat qauliyah kita perlu bertolak dari keimanan kita, dilanjutkan dengan penalaran kita,
bukan sebaliknya. Ayat-ayat Qur’aniyah itu merupakan ayat, isyarat, hudan, dan eksplanasi
tentang segala sesuatu, tetapi memberi kita petunjuk, pedoman, rambu-rambu, hikmah, dan
manfaat yang lebih bersifat moral. Upaya pemaknaan aqliyah, berdasar ilmu, berdasar penelitian
ilmiah atas nash Qur’an diperbolehkan, dan malahan diwajibkan. Hanya saja perlu disadari
bahwa pemaknaan kita lebih diwarnai oleh ilmu aqliyah kita daripada moralitas ilaqliyah
Al-Qur’an. Quraish Shihab mengemukakan (dan juga banyak ahli mengemukakan) bahwa
Al-Qur’an kecuali berfungsi sebagai Hudan, juga berfungsi sebagai furqan sebagai tolok ukur
dan pembeda antara yang hak dan yang batil. Banyak ahli menyarankan untuk memahami
Al-Qur’an sebagai integritas, memahami Al-Qur’an dalam semangatnya, jangan memaknainya
secara parsial. Tanah yang pada awal Islam menjadi bagian dari harta rampasan dan dibagikan
kepada para prajurit, pada masa Umar bin Khattab, dibagikan kepada pribumi secara lebih
merata. Nash dimaknai sesuai dengan semangatnya. Quraish Shibab memperkenalkan tafsir
maudhu’i atau tematik dari Abdul Hay Al Farmawi sebagai metoda mempelajari Al-Qur’an,
dengan langkah garis besarnya sebagai berikut: merumuskan tema masalah yang akan dibahas,
menghimpun-menyusun-menelaah ayat Al-Qur’an dan melengkapinya dengan Hadits yang
relevan, dan menyusun kesimpulan sebagai jawaban Al-Qur’an atas masalah yang dibahas.
Dalam kuliah kepada para mahasiswa Pasca Sarjana (yang juga mengikuti kuliah Dr. Quraish
Shibab) penulis memperkenalkan cara berfikir yang mirip dengan metoda tematik bagi upaya
mengembangkan ilmu dan teknologi dalam perspektif Islami. Hal tersebut penulis bahas secara
rinci di sub-bab berikut. (Studi Islam Multidispliner dan Interdisipliner).
Moralitas yang terkandung dalam Al-Qur’an bersifat multidimensional, yang memberi
ayat (bukti), isyarat, hudan (petunjuk), dan rahmah bagi manusia dalam berperilaku, berfikir,
berniat, dan dalam meneguhkan Keimanannya kepada Allah. Ayat, isyarat, hudan, dan rahmah
tersebut menyeluruh, bukan disistemasikan menurut ilmu hukum, ilmu ekonomi, atau lainnya.
H. STUDI ISLAM MULTIDISPLINER DAN INTERDISPLINER
1. Renaissance dan, Agama di Eropa
Eropa pada zaman keemasan Islam dikuasai gereja. Titik kulminasi kekuasaan gereja
pada kehidupan negara dan masyarakat berwujud dilibatkannya negara dan masyarakat untuk
memerangi Islam, yang kita kenal dengan Perang Salib, yang berlangsung sejak 1096 M sampai
1229 M. Eropa pada saat itu berada dalam kekisruhan kehidupan dan penderitaan karena Perang
Salib. Orang Kristen harus menempuh perjalanan beribu-ribu kilometer untuk sampai ke medan
perang, sedangkan umat Islam cukup menunggu kedatangan tentara Kristen. Perang Salib telah
benar-benar membuat Eropa menderita dan bangkrut.
Pada segi lain orang-orang Eropa melihat bagaimana majunya budaya Islam pada waktu
itu; dan melihat bagaimana ilmu di Eropa terkekang oleh doktrin-doktrin gereja. Penderitaan

115
Eropa tersebut ditambah lagi dengan serangan bangsa Tartar (pada 1218 sampai 1260) yang
menghancurkan sebagian budaya Eropa (dan juga Islam).
Pada abad berikutnya, yaitu abad ke-14 Eropa mulai bangkit dengan gerakan yang biasa
disebut Renaissance, kelahiran kembali. Suatu gerakan untuk membangkitkan kembali studi
ilmu, seni, dan sastra. Meniru Islam yang mencari ilmu ke Yunani, Eropa berbuat serupa.
Gerakan Eropa mengadakan studi ke Yunani biasa disebut humanisme. Renaissance dan
humanisme berlangsung dari abad ke-14 sampai ke-16. Sosok renaissance dan humanisme (atas
pengalaman abad tengah dan Perang Salib) berkembang menjadi antagonistik terhadap gereja.
Sosok antagonistik tersebut pada abad ke-18 mengkristal menjadi Aufklaerung yang
antroposentris, suatu gerakan yang sangat mengagungkan kemampuan fikir manusia dan
mendudukkan manusia sebagai pusat segalanya (lawan dari pandangan teologik gereja yang
meletakkan gereja serta ajaran-ajarannya sebagai pusat segalanya). Kelahiran studi ilmu di Eropa
dalam konteks demikian menumbuhkan watak ilmnu yang diperkembangkan menjadi
antagonistik terhadap agama.
Sampai perempat terakhir dari abad ke-20 ini ilmu pengetahuan masih dikuasai oleh
paradigma berfikir ilmu seperti itu. Setidak-tidaknya tampil dalam pengakuan status quo: saling
mengakui otonomi ilmu dan otonomi gereja. ilmu yang demikian itulah yang sampai sekarang
mendominasi cara. berfikir sebagian besar dari ilmuwan abad ke-20 ini. Semboyannya: ilmu
harus obyektif, teknologi itu netral, seni untuk seni, negara punya otoritas sendiri, agama punya
otoritas sendiri. Negara mengurus politik, dan lain-lain; sedangkan urusan agama menjadi urusan
pribadi.
2. Zaman Keemasan Islam dan Ilmu
Rasulullah SAW wafat pada tahun 10 Hijriah atau 632 Masehi. Mulai tahun 11 H atau
633 M para pemimpin Islam mulai bergerak ke Babilonia dan Damaskus untuk menyebarkan
Islam. Diteruskan ke Persia dan Rusia Selatan serta Afrika Utara pada sekitar 25 H atau 645 M.
Dilanjutkan ke India di Timur dan Spanyol di Barat pada tahun 92 H atau 711 M. Penyebaran
Islam dengan superioritas wahyu didampingi dengan budaya Arab jahiliyah memerlukan
dukungan budaya yang lebih maju. Para budayawan Islam mencari itu. Mereka mencari pada
budaya klasik Yunani, baik secara langsung maupun tak langsung. Konteks pencarian ilmu pada
Eropa berbeda mencolok daripada pencarian ilmu pada Islam. Ilmu di Eropa tumbuh dalam
antogonisme dengan gereja, sedangkan ilmu dalam Islam tumbuh karena kebutuhan untuk
mendukung penyebaran agama. Ilmu dalam Islam tumbuh menjadi bagian fungsional dari
agama.
Pada berbagai forum telah berulagkali kami kemukakan, bahwa umat Islam salah bila
memusuhi teknologi. Teknologi sebagai ilmu yang diperkembangkan untuk kemanfaatan tertentu
ini lahir dari budaya Islam; budaya yang tumbuh untuk mendukung penyebarar Islam. Ilmu
diorientasikan pada pengaturan pemerintahan, pada pembangunan masjid, pada pengaturan
perdagangan, pada upaya pendidikan dan kesehatan bagi kemaslahatan umat manusia, dan
lain-lain yang kesemuanya itu dilandaskan pada Al-Qur’an dan Hadits; itulah teknologi Islam.
Karena itu dapat dikatakan bahwa: Yunani adalah induknya ilmu murni dan Islam adalah
induknya teknologi.
3. Kebangkitan Islam Abad ke-15 Hijriah
Kebangkitan Islam abad ke- 15 janganlah diarahkan kepada orientasi ilmu yang sekarang
ini dianut oleh sebagian besar ilmuwan, yaitu: mengejar ilmu yang obyektif dan teknologi yang
netral. Landasan historiknya telah diuraikan. Pada perempat akhir abad ke-20 ini telah muncul
para pemikir-pemikir yang menolak ilmu yang value-free, menolak teknologi netral, dan
menampilkan pemikiran bahwa ilmu haruslah value-bound, ilmu dan teknologi harus
berorientasi pada nilai. Kita patut bersyukur dan memelihara serta mempertahankan hasil
proklamasi Republik Indonesia yang para founding-fathers kita telah mempunyai pemikiran
yang mendahului zamannya, dan notabene sinkrun dengan wawasan dasar Islam yang

116
menyatukan urusan duniawi dan ukhrowi dalam sistem pemerintahan kita. Agama menjadi
bagian integral dari pemerintahan Indonesia; pendidikan agama diurus oleh negara, dan notabene
dalam, fungsi untuk menjadikan masing-masing warga negara menjadi pemeluk agama yang
baik, sesuai ajaran agamanya masing-masing.
Sejumlah Guru Besar Filsafat Ilmu dan Sejarah Ilmu yang masih aktif pada perempat
terakhir abad ke-20 seperti Toulmin, Kuhn, Popper, Feyerabend, dan Bohm mendudukkan ilmu
dalam perspektif Weltanschauung (Kuhn), mendudukkan Weltanschauung pada strata tertinggi
dari ideals qfnatural order (Toulmin). Tesis yang dipegang para pakar tersebut adalah: bahwa
pengamatan itu diwarnai oleh pandangan hidup, bahwa pemberian makna itu terkait pada
pandangan hidupnya, dan fakta itu diwarnai oleli pandangan hidup. Kebangkitan Islam harus
mengarahkan diri pada pengintegrasian ilmu dengan wahyu, bukan menjadikan studi Islam
obyek telaah akal yang melepaskan diri dari sistem nilai. Keimanan kita atas kebenaran wahyu
hendaknya mewarnai pengamatan kita, pengkonstruksian fakta, dan pemaknaan kita dalam
semua ilmu dan teknologi yang kita kembangkan.
4. Studi Islam Multidispliner dan/atau Interdisipliner
Studi Islam kami bedakan menjadi dua, yaitu studi Islam teologik dan studi Islam
interdispliner. Studi Islam teologik merupakan studi Islam yang biasa kita kenal di pondok
pesantren tradisional, di madrasah, dan di lembaga pendidikan tinggi Islam tradisional.
Kesemuanya itu menghasilkan ahli berpengetahuan agama Islam. Studi Islam interdispliner (dan
juga multidisiplnier) menghasilkan ahli hukum, ahli ekonomi, ahli pendidikan, ahli tekilik, ahli
phisika yang memiliki wawasan dasar Islam; termasuk juga mampu menampilkan
konsep-konsep ekonomi yang Islami, konsep hukum yang Islami, konsep teknik yang Islami;
juga mengembangkan bioteknologi yang Islami, sistem perbankan yang Islami, menerapkan etik
kedokteran yang Islami, dan lain-lain.
Penulis berupaya bagaimana agar tumbuh kesatuan integratif antara ajaran wahyu dan
ajaran ilmu. Studi Islam yang interdisipliner dan multidisipliner dapat menyatu dengan studi
Islam teologik menjadi Studi Islam Trans disipliner. Tiga tonggak utama Islam, yaitu: aqidah,
muamalah, dan akhulaq. Aqidah perlu menjadi fokus studi Fakultas Ushuluddin, sedangkan
muamalah menjadi fokus studi Fakuitas Syariah, dan akhlaq berulangkali penulis ingatkan
setepatnya menjadi fokus studi Fakultas Tarbiyah. Bila fokus studi tersebut disepakati, maka
hubungan vertikalnya dengan ilmu lain menjadi sebagai berikut. Fakultas Usliuluddin menjadi
feedingsschool untuk ilmu-ilmu humaniora. Fakultas Syari’ah menjadi feedingsschool untuk
ilmu-ilmu teknologi, dan Fakultas Tarbiyah menjadi feedingsschool untuk ilmu-ilmu sosial. Itu
berarti bahwa studi antropologi, studi bahasa, dan studi humaniora lainnya perlu mengacu dan
menguji apakah menumbuhkan keimanan atau meracuni keimanan. Interpretasi perkembangan
agama dari dinamisme, animisme, politeisme, ke monoteisme perlu diadakan reinterpretasi
karena telaah orientalis Freudian tersebut salah.
Ushuluddin perlu mengembangkan peranannya sebagai feedingsschool, sehingga di
Fakultas Ushuluddin perlu diekstensikan ilmunya agar mampu memberi acuan aqidah pada
ilmu-ilmu humaniora. Soal bayi tabung, soal bioteknologi, dan banyak soal lain yang terkait ke
pengembangan rekayasa teknologik, sebagian berada pada dataran teknis operasional
eksperimental, tetapi ada pula yang berada pada dataran moral etik, di mana Fakultas Syari’ah
perlu mampu menjadi feedingsschool bagi semua studi teknologi. Soal moralitas dalam
berekonomi, dalam berpolitik, dan berilmu sosial lainnya perlu ada bahan acuannya. Dengan
memfokuskan telaah Tarbiyah dengan sentrainya akhlaq, diharapkan Fakultas Tarbiyah mampu
menjadi feedingsschool semua ilmu sosial. Banyak ahli mengidentifikasi bahwa ilmu-ilmu sosial
sekarang ini mulai mencari paradigma humaniora. Bila demikian, ilmu sosial pada dataran
pertamanya mengacu ke akhlaqul karimah, dan pada dataran berikut mengacu ke aqidah.

117
Dilangkahkan lebih jauh pemikirannya, semua ilmu masa depan perlu mengacu pada
paradigma humaniora, dan secara vertikal pada dataran selanjutnya mengacu pada aqidah,
mengacu ke pemeliharaan keimanan.
Dengan paradigma integrasi disiplin ilmu dengan tiang utama Islam maka pembekalan
multidispliner di Fakultas Ushuluddin, Fakultas Syari’ah, dan Fakultas Tarbiyah dengan
mengekstensikan pengenalan pokok-pokok 1-nateri perkuliahan dengan hukum perdata umum,
dengan ilmu sosial politik, dan ilmu lainnya, menjadi sangat urgen. Ajaran Islam jangan
ditampilkan sepotong-sepotong dalam waris, zakat pertanian, sodaqoh, dan harta rampasan
secara terpisah-pisah. Keseluruhan semangat ajaran Al-Qur’an dan sunnaturrasuul hendaknya
melandasi semua studi. Zakat pertanian dapat mempunyai tema lebih besar yaitu hak milik dan
fungsi sosial hak milik. Tanah sebagai harta rampasan perang, malahan (dalam semangat Islam)
dimaknai oleh Umar bin Khatab bukan sekedar harta rampasan, melainkan dilihat sebagai fungsi
sosial dari tanah.
5. Kebenaran dan “Kebenaran”
Penganut positivisme ilmu pengetahuan hanya mengakui satu kebenaran, yaitu indrawi
atau sensual, yang teramati dan terukur, yang dapat diulangbuktikan oleh siapapun. Di luar itu
tidak diakuinya sebagai kebenaran. Mengembangkan metodologi berfikir demikian itu akan
mengerosi keimanan kita. Rasionalisme mengakui tiga kebenaran, yaitu: kebenaran emperi
sensual, kebenaran emperi logik, dan kebenaran emperi etik. Bagi rasionalisme yang pertama
mempunyai peringkat terendah, dan yang ketiga tertinggi. Hal-hal yang biasa kita kenal dengan
metaphisik, yang transendental tidak diakui oleh rasionalisme sebagai kebenaran. Ajaran
Auguste Comte perlu direinterpretasikan dan dibangun paradigma yang lebih tepat mengganti
periodisasi dari teologik, metaphisik, ke positivistik.
Kita dapat membayangkan pecahnya kepribadian orang ataupun satuan masyarakat, yang
di satu sisi diajarkan ilmu yang filsafatnya rasionalistik (dan lebih-lebih lagi positivistik) dan di
sisi lain diajarkan agama yang padat dengan kebenaran transendental. Kehidupan masyarakat
dunia yang lebih berorientasi kepada kehidupan sekuler menjadi tidak mengakui kebenaran di
luar yang emperi sensual dan emperi logik. Ilmu pengetahuan pun dikembangkan hanya berdasar
kebenaran tersebut.
Sejumlah Guru Besar Filsafat Ilmu dan Sejarah Ilmu pada perempat terakhir abad ke-20
ini telah menemukan pandangan hidup atau Wellanschauung dalam metodologi ilmunya. Dengan
kata laih telah memasukkan kebenaran nilai etik ke dalam kerangka berfikir ilmu, mewarnai
pengamatannya dan pengumpulan faktanya, dan lebih jauh dalam memberikan pemaknaan
selanjutnya. Dari uraian di atas kita dapat memperhatikan perkembangan ragam fikir para
ilmuwan di dunia. Para positivist hanya mengakui kebenaran sensual, para rasionalis hanya
mengakui kebenaran sensual dan logik (dan sebagian mengakui kebenaran etik). Masalahnya:
sosok pribadi manusia semestinya satu, melainkan dalam kesehariannya dihadapkan pada
kebenaran ilmu dan kebenaran wahyu, yang pertama hanya mengakui kebenaran sensual dan
logik (serta sebagian mengakui kebenaran etik), sedangkan yang kedua padat dengan pengakuan
kebenaran transendental; yang pertama tampil sebagai ilmu-ilmu naqli, sedangkan yang kedua
tampil sebagai ilmu-ilmu naq1i; yang pertama hanya mengakui kebenaran yang teramati;
sedangkan yang kedua mengakui kebenaran mengenai hal-hal yang gaib. Bagaimana mungkin
kita menampilkan diri untuk sekaligus tidak mengakui yang gaib dan mengakui yang gaib?
Kita tahu bahwa filsafat adalah ilmunya segala ilmu (‘aqliyali), sehingga
kehadiran pandangan para Guru Besar Filsafat Ilmu dan Sejarah ilmu yang mendudukkan
Welstanschauung, pandangan hidup, yang mendudukkan sebagai sistem nilai, seperti: nilai hak
asasi, nilai keadilan, kemanusiaan, dan lain-lain yang produk budaya manusia sebagai landasan
pengembangan ilmu, merupakan kecenderungan masa depan yang mewarnai ilmu masa depan
lebih memberikan harapan, karena ilmu diakarkan pada moralitas. Memang, ada sinyalemen dari
Frederick Suppe bahwa pengembangan ilmu diakarkan ke moralitas Weltanschauung mulai

118
kehilangan dukungan; tetapi pengembangan ilmu yang dikembangkan atas dasar rasionalitas
obyektif universal tetap mendapat banyak dukungan dan semakin berperan. Penulis menawarkan
paradigma di mana yang etik pun rasional, dan yang transenden pun rasional. Rekonstruksi masa
depan yang kami tawarkan lebih dari itu, yaitu: bukan sekedar mengakarkan ilmu pada moralitas
nilai produk manusia, melainkan lebih jauh lagi, mengintegrasikan pengembangan ilmu pada
moralitas agama.
Bila disimpulkan, kebenaran positivisitik, bukanlah kebenaran tuntas; kebenaran
rasionalistik bukanlah kebenaran yang tuntas; kebenaran dikhotomik ilmu dan wahyu, bukanlah
kebenaran yang memecahkan masalah; kebenaran integratif antara ilmu dengan wahyu adalah
kebenaran yang tuntas dan memberikan kepada kita pedoman hidup manusia ilmuwan.
6. Stratifikasi Kebenaran
Pendekatan phenomenologik seperti diuraikan di atas mengakui bahwa kebenaran itu
ganda. Sebagian pemikir Islam ada pula yang menampilkan pemikiran bahwa kebenaran itu
ganda; terapannya: kebenaran Allah lain dengan kebenaran manusia; urusan ibadah lain dengan
urusan politik dan budaya. Konsekuensi lanjut akan menumbuhkan kontradiksi ekstern, yang
kontradiksi antara kebenaran aqidah dengan kebenaran ilmiah; ada konsekuensi aksiologik,
bahwa kebenaran nilai sebagai kriteria kebenaran dapat berbedabeda, dan bukan mustahil
menjurus ke relativisme dalam nilai.
Konsep ontologik yang kami tawarkan untuk membangun ilmu yang Islami haruslah
dikonstruksikan atas pengakuan terhadap kebenaran monistik. Kebenaran dalam aktualisasi
tertinggi memang kebenaran Ilahiyah, kebenaran yang diajarkan Allah kepada manusia.
Kebenaran dalam aktualisasi keseharian atau emperik tampil relevan dengan masalahnya.
Masalah aktualnya: dalam biologi atau phisika, kebenaran yang muncul dominan adalah
kebenaran emperik sensual; kadang berkembang menjadi masalah logik; sering masalah itu
berkembang menjadi masalah etik bayi tabung, masalah etik alat perang nuklir; semua kebenaran
yang emperik sensual dan yang logik harus dikonsultasikan kepada kebenaran etik. Umat Islam
patut bersyukur karena ada tempat konsultasi yang lebih daripada kebenaran etik insaniyah, yaitu
kebenaran integratif Ilahiyah. Kami sebut kebenaran integratif Ilalliyah, karena kebenaran yang
terkandung dalam Al-Qur’an dan Hadits memberikan kepada kita manusia: ayat, isyarat, hudan,
dan sekaligus rahmah.
Perkembangan sejarah membuktikan bahwa konsultasi-konsultasi kepada nilai-nilai
Ilahiyah dalam pengembangan ilmu tidak selalu lancar mendorong, tetapi sebagian menghambat,
dan terpakai menghancurkan yang satu pada yang lain. Di mana masalahnya? Banyak hal
menjadikan umat salah mengkonstruksi kebenaran, juga salah dalam menggunakan logika
pembuktiannya, salah epistemologinya karena salah ontologinya, dan bukan mustahil muncul
kesalahan aksiologiknya, sehingga terjadi berbagai kontradiksi internal yang melemahkan.
Kebenaran yang kami tawarkan adalah kebenaran monistik multifaset. Kebenaran
insaniyah adalah kebenaran yang dibangun oleh akal budi manusia, yang tumbuh dari zaman ke
zaman. Kebenaran Ilahiyah adalah kebenaran yang tertuang dalam nash Qur’an dan Hadits.
Epistemologik, kebenaran Ilahiyah termasuk yang emperik transendental; artinya: untuk
menjangkau itu memerlukan penghayatan emperik lewat akal budi-keimanan kita. Kritik bahwa
yang transendental itu tak teramati, tak terukur, perlu dijawab dengan pernyataan bahwa
kebenaran itu tidak terbatas pada yang emperik sensual seperti yang dianut positivisme. Manusia
adalah makhluk yang lebih dari sekedar yang sensual: manusia punya akal, punya budi/hati
nurani, dan punya iman. Aksiologik, kebenaran Ilahiyah integratif mengkoherensikan berbagai
kebenaran dimensional menjadi satu yang integratif, bukan yang berkontradiksi. Kebenaran
wahyu yang transendental adalah kebenaran berdasar nash Qur’an dan Hadits. Kebenaran itu
merupakan kebenaran tertinggi, mengandung ayat (bukti), isyarah, hudan (pedoman hidup), dan
rahmah. Stratifikasi kebenaran wahyti dapat ditata menjadi kebenaran muamalah manusia
terhadap alam, muamalah antarmanusia, muamalah manusia dengan Allah, dan ubudiyah.

119
Kebenaran sebagai sesuatu yang integratif monistik mempunyai strata, dimensi, dan karakteristik
deterministik dan indeterministik. Dilihat pada dataran Ilahiyah hukum alam semesta ini
deterministik, hukum phisika, biologi bersifat deterministik, yaitu berupa keteraturan semesta.
Pada dataran insaniyah berubahnya teori, tesis dan lainnya disebabkan karena manusia belum
mampu mengungkap sifat yang sebenarnya. Apa hikmah dan rahmah kita harus beribadah,
mengimani kodrat dan hari kiamat, dan melarang kita manusia untuk memikirkan dzat Allah dan
memikirkan yang gaib, hanya Allah yang tahu.
Substansial dan esensi hakikinya hal-hal tersebut bersifat deterministik; mencoba
menafsirkan atau memaknai, diperbolehkan; berarti tafsir dan maknanya (bagi kita, dan menurut
persepsi kita) bersifat indeterininistik, dapat kita perkembangkan terus penafsiran kita, tetapi
keteraturan substansi dan keteraturan esensi hakikinya tak pernah akan dapat kita jangkau.
Di antara alam yang deterministik, manusia diberi kawasan oleh Allah untuk berkarya
lebih kreatif, ada kawasan indeterministik, yaitu kawasan untuk menjangkau kebenaran emperik
sensual, kebenaran emperik logik, kebenaran emperik etik, dan kebenaran muamalah manusia
terhadap alam, dan muamalah antarmanusia. Meskipun demikian perlu diingat bahwa
kebenaran-kebenaran tersebut haruslah diorientasikan kepada kebenaran yang kami sebut
sebagai kebenaran Ilahiyah integratif Di atas ini penulis sajikan paradigma penulis atas
konstruksi kebenaran yang monistik multifaset tersebut.

Catatan: Pada dataran Ilahiyah semua itu deterministik dalam keteraturan; pada dataran insaniyah semua itu
Indeterministk manusia dapat membuat kreasi atau rekayasa dalam keteraturan Ilahiyah yang gaib dan dzat Allah
tidak termasuk kawasan ilmu.

Tabel VI.1: Paradigma Stratifikasi, Dimensi, dan Karakteristik Kebenaran

7. Menjangkau Berbagai Kebenaran Dimensional

120
Kebenaran berfikir sensual dapat kita jangkau dengan metoda-metoda berfikir yang biasa
kita kenal dalam ilmu pengetahuan alam, seperti: observasi, pengukuran, eksperiinentasi, dan
semacamnya. Kebenaran eniperik logik memerlukan kemampuan kita untuk berfikir reflektif
(bergerak mondar-mandir antara induksi dan deduksi, antara abstraksi dan penjabaran). Dari
indikasi emperik sensual atau emperik kasus, kita membuat abstraksi dengan skopa yang sangat
luas; atau dengan kemampuan berfikir divergen atau kreatif, kita mengabstraksikan sesuatu di
luar kasusnya. Kebenaran emperik etik tumbuh dari ketajaman tertuntunnya hati nurani pada
kebaikan, kebaikan demi masyarakat itu sendiri.
Menghayati berbagai nilai budaya manusia merupakan jalan atau metoda terbaik untuk
menjangkau kebenaran etik. Kebenaran Ilahiyah transendental yang muamalah antarmanusia kita
jangkau dengan metoda-metoda yang dipakai untuk menjangkau kebenaran sensual, kebenaran
logik, dan kebenaran etik; di samping digunakan pula hati nurani dan keimanan kita. Substansial,
kebenaran yang diwajibkan Allah untuk difikirkan manusia adalah: alam semesta ini, manusia
dan kehidupannya, serta wahyu Allah, bukan memikirkan dzat Allah. Dzat Allah dan yang gaib
bukan kawasan yang diwajibkan untuk dipelajari manusia. Dengan bahasa komputer, manusia
tidak diprogram oleh Allah untuk menjangkau dzat Allah dan yang gaib. Tentang dzat Allah dan
yang gaib dituntut keimanan kita. Kebenaran itu dimensional, kebenaran insaniyah mempunyai
derajat kebenaran sesuai dengan kemampuan akal fikir manusia (valid based on a theoretical
construct). Kebenaran Ilahiyah memiliki derajat kebenaran mutlak sebagai kebenaran kebijakan
yang moralistik. Kebenaran insaniyah menempuh jalan benar, bila berusaha untuk selalu
mengacu kepada kebenaran llahiyah.
8. Deterministik dan Indeterministik Kebenaran
Wahyu sebagai kebenaran transendental memberikan ayat (bukti), isyarah, hudan
(pedoman), dan/atau rahmah kepada hidup keseharian, manusia dalam berhubungan dengan
alam, sesama manusia, dan dalam hubungan dengan Allah. Nash kadang menampilkan bukti
faktual, kadang memberikan isyarat yang seharusnya mendorong kita untuk meneliti,
mengadakan eksperimen untuk menemukan hukumnya atau prinsipnya atau menampilkan
teorinya. Nash kadang memberikan kepada kita hudan atau petunjuk bijak yang seharusnya
mendorong kita untuk mengembangkan sistem, organisasi, atau pelaksanaan dalam bidang
ekonomi, hidup kemasyarakatan, dan lainnya. Nash kadang memberikan kepada manusia rasa
sejuk sejahtera, bahwa yang baik akan terjaga, yang jahat terancam siksa. Kebenaran wahyu
mempedomani muamalah antarmanusia, yang sosok dan operasionalisasinya diserahkan
sepenuhnya pada manusia, substansial dan instrumental bersifat indeterininistik. Kebenaran
muamalah hubungan manusia dengan Allah dan kebenaran ubudiyah hanya dapat kita jangkau
lewat penafsiran kita, yang pasti tidak akan pernah sainpai kepada pernahaman hakiki dari
kebenaran kebijakan Allah. Itu berarti insaniyah indeterministik, Ilahiyah deterministik. Manusia
diwajibkan berfikir menghayati kebijakan tertinggi dari Allah; imanusia perlu mencoba
menjangkau hakiki kebenaran kebijakan Allah, meskipun tidak pernah akan sampai. Yang kita
hasilkan dari upaya kita hanyalah persepsi kita dan penafsiran kita.
Kebenaran emperik sensual, kebenaran logik, dan kebenaran etik, serta kebenaran
muamalah manusia dengan alam dan antara manusia dalam arti Ilahiyah atapun insaniyah dapat
terus kita perkembangkan dengan menggunakan nash sebagai ayat, isyarat, hudan ataupun
rahmah. Itu berarti bahwa untuk seluruh kawasan tersebut manusia memiliki kebebasan untuk
mengembangkannya, sejauh tetap dijaga koherensinya dengan nilai Ilahiyah integratif.
Substansi tesis, teori, dapat terus dirombak-kembangkan, demikian pula instrumentasinya
atau pemaknaan dan penafsirannya. Berbeda dengan kebenaran muamalah manusia terhadap
Allah dan ubudiyah; secara substansial tidak pernah akan dapat kita jangkau (apa hakiki shalat,
puasa, zakat). Hakikat pahala, siksa, alam gaib, dan lainnya tidak pernah akan dapat kita ketahui;
tetapi kita dapat saja memaknai isyarat, hudan dan/atau rahmah yang terkandung dalam hal-hal
tersebut. Ilmu dapat saja menafsirkan makna shalat dan pahala serta siksa, tetapi dengan tawajuh

121
kita perlu menyadari bahwa substansi shalat dan pahala serta siksa tetap tidak akan terjangkau
makna hakikinya.
Deterministik substansi alain telah diatur Allah. Manusia boleh dan diberi kemampuan
dan malahan wajib menemukan determinisme alam, yang dalam ilmu menghasilkan tesis, teori,
hukum alam, dan lainnya. Alam ini deterministik, artinya mengikuti hukum alam, yang telah
ditetapkan Allah. Hanya saja manusia belum sepenuhnya mampu mengungkapkannya. Manusia
menemukan dan memahaminya lewat eksperimentasi, observasi, mengabstraksi, dan
mendeduksi.
Pada dataran rasional, Popper memandang bahwa alam semesta ini teratur; dan
keteraturan alam semesta ini merupakan kebenaran obyektif, yang berada di atas kebenaran
obyektif benda-benda, dan berada di atas kebenaran subyektif idee manusia. Sedangkan penulis
mengangkat lebih jauh, masuk ke dataran transendensi, dan menyatakan bahwa keteraturan alam
semesta ini diatur oleh Al Khalik, Sang Pencipta.
Keteraturan alam semesta yang transendental tersebut pada dataran rasional dapat dibaca
dan dibedakan menjadi keteraturan substansial dan keteraturan esensial. Keteraturan substansial
melekat pada benda-benda yang telah langsung dianugerahkan Tuhan berupa bahan tambang:
baja, aluminium, dan tembaga; berupa keseimbangan alam: ada predator, ada pembusukan;
berupa sifat baik dan pengaruh buruk pada manusia. Sedangkali keteraturan esensial adalah
keteraturan yang terbaca oleh manusia berupa karakeristik hakiki yang melekat pada
benda-benda substantif Dengan tingkat pengetahuan yang rendah, karakteristik yang tidak
esensial dapat saja terbaca esensial, seperti ikan paus: terbaca: termasuk ikan dengan hisang dan
bertelur; ternyata bernafas dengan paru-paru dan menyusui anaknya; dengan demikian ikan paus
secara esensial termasuk mamalia. Pada dataran rasional, tugas ilmuwan adalah membaca
dengan benar keteraturan esensial yang melekat pada benda-benda substantif Hasil bacaan atas
keteraturan tersebut dapat dimanfaatkan manusia, dan menghasilkan rekayasa atau engineering
manusia. Setelah memahami beberapa keteraturan tubuh manusia, maka ditemukan rekayasa
cangkok jantung. Setelah memahami keteraturan esensial sejumlah logam dibuatkan rekayasa
kombinasi sejumlah keteraturan esensial sejumlah logam menjadi satu komposit yang berguna
untuk tujuan tertentu: membuat komposit untuk badan pesawat ruang angkasa: yang kuat, tetapi
ringan, tahan panas, dan lain-lain. Dalam bacaan sederhana: orang kaya banyak harta, orang
pandai banyak ilmu. Dalam pencermatan orang kebanyakan: banyak harta terkait dengan
sifat-sifat esensial: kerja keras dan hemat. Dengan pencermatan lebih tinggi: kaya terkait pada
punya siasat dalam mengelola kekayaannya dan mengembangkannya, efektif dalam penanaman
modal dan penggunaan harta.
Pada dataran transenden, disertai rasa syukur atas nikmat Allah disertai banyak amal,
diikuti mohon diberi lebih banyak rezeki agar dapat beramal lebih banyak. Zahid modern tampil
dalam upaya kerja keras agar menjadi lebih kaya dengan niatan beramal lebih banyak agar
mendapat ridha Allah; dan ketika harta musnah karena bencana, karena salah langkah, dengan
iklhas berucap inna lillah wa inna ilaihi roji’un.
Berangkat dari telaah penulis tersebut di atas, penulls higin membuat koreksi tentang
faham jabariyah dan qodariyah dalam tasawuf Islam. Jabariyah dalam persepsi yang dipengaruhi
oleh model Maharaja; model kuasa mutlak raja di raja, maka sudah semestinya kekuasaan Allah
tampilannya menjadi seperti Raja di Rajanya Maharaja. Apa mau-Nya, apa kehendak-Nya itu
yang terjadi, dan siapapun tidak dapat menyanggah atau mengelak. Koreksi penulis: lalu apa
artinya Maha Bijak, Maha Adil bila mau-Nya yang jalan. Memang kehendak Allah yang berlaku,
tetapi maknanya tidak mempribadi, melainkan teosentris humanistis. Artinya: semua acuan,
petunjuk, ataupun perintah-Nya terbacanya untuk Allah, tetapi dalam makna dalamnya adalah
untuk manusia. Shalat malam, bagi Allah tiada malam, tiada siang; tetapi bagi manusia jam 1
malam adalah jam enaknya tidur nyenyak.

122
Konsep qodariyah menurut pencermatan penulis berakar pada koilsep free-will-nya
Yunani. Manusia itu pada hakikatnya bebas berkehendak. Kaum mu’tazilah memandang bahwa
Allah itu adil. Terapannya: mestinya Allah akan memberikan ridha-Nya bila orang berusaha
keras, untuk menjadi pandai, kaya, atau lainnya yang menggembirakan bagi yang bersangkutan.
Mempertentangkan jabariyah dan qodariyah dalam kerangka berfikir di atas, tidak pernah
akan membawa kemajuan pada umat Islam. Untuk dapat membawa kemajuan bagi ummat, pada
dataran transenden kita mohon ridha-Nya untuk berupaya keras membaca dan memanfaatkan
keteraturan-Nya. Pada dataran rasional kita berupaya keras menemukan keteraturan esensial
yang melekat pada benda-benda substantif, untuk dibuat rekayasa-rekayasa dengan
menggabungkan sejumlah keteraturan esensial yang melekat pada berbagai benda, menjadi
substansi baru dengan kombinasi esensial baru yang menjadi lebih bermanfaat bagi manusia.
Komposit adalah substansi baru dengan kombinasi esensial baru yang bermanfaat untuk
membuat badan pesawat ruang angkasa. Mesin otomotif merupakan substansi baru yang
memanfaatkan sifat-sifat esensial sejumlah hukum phisika. Orang menjadi kaya atau pandai
bukan karena qunfayakun Allah, melainkan karena mampu meramu beragam sifat esensial
keteraturan-Nya dan akhirnya menghasilkan substansi baru berupa kaya atau pandai.
Alam semesta ini teratur, diatur oleh Allah. Dengan keteraturan oleh Allah maka alam
semesta ini deterministik pada dataran transenden. Sedangkan dengan terbukanya upaya
rekayasa manusia memanfaatkan kemampuannya membaca keteraturan esensial ciptaan Allah,
maka pada dataran rasional alam semesta ini indeterministik, merupakan sistem terbuka. Dengan
konseptualisasi seperti itu ilmuwan pada dataran rasional dapat membuat beragam rekayasa
memanfaatkan keteraturan ciptaan Allah. Bagaimana dengan bayi tabung untuk ibu yang sukar
hamil atau tak dapat hamil, pelipatan eksponensial produksi udang dengan cara membutakan
udang, atau rekayasa lainnya, termasuk memindahkan embrio boer goat (kambing Afrika yang
sangat besar) ke dalam rahim kambing lokal, misalnya. Masalah tersebut minimal sudah berada
pada dataran etik, mungkin malahan dataran transenden. Hal tersebut dikonsultasikan pada etika
dan nash.
Bila tugas ilmuwan adalah membaca, menemukan, dan memanfaatkan keteraturan
esensial dan membuat rekayasa keteraturan esensial ciptaan-Nya, itu berarti bahwa berilmu
pengetahuan adalah mengagungkan Al Khalik dengan memanfaatkan keteraturan semesta bagi
seluruh makhluk. Memberi manfaat, bukan dalam arti hedonistik yang materialistik, melainkan
manfaat dalam makna maslahat, memberi kebaikan. Moral Islam mengajarkan bahwa amal
seseorang akan terhenti, juga pahalanya, pada saat seseorang telah meninggal dunia, kecuali
amal jariyah. Moral Islam mengajarkan ada tiga amal jariyah, yaitu amal yang pahalanya akan
mengalir terus meskipun yang bersangkutan telah meninggal dunia. Salah satunya adalah ilmu
yang bermanfaat. Dengan konseptualisasi indeterminisme pada dataran rasional tersebut di atas,
semestinya ilmuwan Islam menjadi paling terpacu untuk mengembangkan ilmu rekayasa atau
teknologi; karena yang diperolehnya bukan hanya duniawi, melainkan juga ukhrawi.
9. Logika Pembuktian Kebenaran
Untuk pembuktian kebenaran penulis membedakan enam model logika, yaitu: 1) logika
formil Aristoteles, 2) logika matematik deduktif kategorik, 3) logika matematik induktif
kategorik, 4) logika matematik probabilistik, 5) logika deduktif probabilistik, dan 6) logika
reflektif.
Pembuktian kebenaran menurut logika Aristoteles: emperi diuji-cocokkan dengan premis
mayornya atau tesisnya atau teorinya atau nashnya, untuk diambil kesimpulan apakah premis
minor (atau hasil analisis emperi) cocok dengan premis mayornya ataukah tidak. Bila tidak
cocok, premis minor ditolak.
Asumsi kita pada model logika Aristoteles tersebut: tesis atau teori atau nash itu mutlak
benar. Sejarah ilmu pengetahuan membuktikan bahwa cara pembuktian demikian bukan
menghasilkan pengembangan ilmu, melainkan hanya menghasilkan pembenaran ilmu. Mungkin

123
kita akan bertahan dengan mengatakan bahwa nash itu tak perlu kita ragukan kebenarannya,
karena itu dari Allah. Itu benar. Kesalahan kita adalah: tidak pernah mau menelaah ulang apakah
nash untuk waris itu hanya itu-itu saja; mengapa telaah zakat tidak diperluas ke konsep tentang
hak milik dan fungsi sosial harta; dan mengapa bunga bank hanya dikaitkan dengan riba,
mengapa tidak ditelaah integratif dengan perdagangan dan dilihat pilahnya dengan keuntungan?
Logika Aristoteles dapat saja dipakai bila diimbangi dengan pengujian materiil, tidak hanya
menguji kebenaran formil saja. Konsep logika matematik: 1/2a = 1/2b → a = b. Formil mengikuti
contoh di atas 1/2 gelas penuh = 1/2 gelas kosong → penuh = kosong.
Logika matematik deduktif berangkat dari kalkulus jenis. Sesuatu itu ditetapkan implisit
atau eksplisit terhadap sesuatu, sehingga logika tersebut disebut pula logika matematik deduktif
kategorik. Logika matematik kategorik berangkat dari 7 aksioma matematik, yang diubah
menjadi 7 aksioma kelas dan subkelas. Logika ini berangkat dari hukum, dalil, theoreem, dan
juga berangkat dari asumsi, aksioma, atau postulat. Logika matematik deduktif kategorik dan
logika formil Aristoteles keduanya menggunakan proses berfikir deduktif, bedanya: yang
matematik mendasarkan pada kebenaran materiil, sedangkan logika Aristoteles mendasarkan
pada kebenaran formil.
Logika pembuktian kebenaran yang ketiga adalah logika matematik induktif kategorik,
yaitu logika yang berkembang marak bagi studi ilmu kealaman. Emperi sensual dan konstruksi
logik sejumlah emperi sensual dipakai untuk mencari kebenaran. Emperi diakui sebagai
satu-satunya sumber untuk mencari kebenaran. Bertolak dari ontologi yang berbeda, logika
induktif ini menghasilkan kesimpulan yang berbeda pula. Positivist melalui logika induktif
tersebut mencari hukum atau prinsip yang diharapkan berlaku umum; sedangkan phenomenolog
melalui logika induktifhya hanya mengakui kebenaran kesimpulan yang berlaku khusus,
einmahlig. Positivist mencari kesimpulan nomothetik, phenomenolog mencari kesimpulan
idiographik. Dengan dimensi telaah dan titik berangkat yang berbeda, para determinist atau
penganut jabariah juga mencari kesimpulan nomothetik. Sedangkan para indeterminist atau
penganut kadariyah mencari kesimpulan idiographik.
Logika pembuktian kebenaran yang keempat adalah logika matematik induktif
probabilistik. Logika ini bertolak dari emperi yang dikonseptualisasikan secara probabilistik.
Kebenaran dibuktikan secara induktif mendasarkan pada frekuensi sebagai probabilitas
kebenaran relatif. Inferensi atau ramalan kejadian di masa datang atau pada satuan lain di luar
penelitian dinyatakan dalam probabilitas signifikansi 1%, 5% dan sebagainya. Logika
pembuktian kategorik (baik yang deduktif maupun yang induktif) mendasarkan pada kalkulus
jenis, sedangkan logika probabilistik mendasarkan pada kalkulus probabilistik. Logika
pembuktian yang keempat inilah yang mendasari metodologi penelitian kuantitatif statistik, yang
pada waktu ini pengaruhnya sangat luas.
Logika pembuktian yang kelima adalah logika deduktif probabilistik. Logika ini
berangkat dari grand theory atau grand concept kebenaran obyektif universal yang luas dan
rentang kehenaran ditampilkan probabilistik. Artinya, pada bagian-bagian marginal dugaan
keberlakuannya grand theory tersebut perlu diuji sesuai tidaknya emperi dengan grand
theory-nya. Ada dua teknik uji grand theory, pertama: uji verifikasi sebagaimana umumnya
sudah dikenal; dan kedua: uji falsifikasi, sebagaimana dikenalkan oleh Popper.
Logika pembuktian yang keenam adalah logika yang kami sebut sebagai logika reflektif
Sampai saat ini konsep reflektif, sejauh yang kami ketahui barulah ditampilkan sebagai metoda
berfikir. Dalam buku ini kami perkenalkan sebagai logika pembuktian kebenaran. Yang
diunggulkan dalam logika ini adalah kemampuan rasio manusia untuk menangkap yang esensial
dari emperi yang dihayati. Bukan emperi yang banyak menentukan, melainkan tertangkapnya
esensi dari materi emperi yang diperoleh. Prosedur berfikir yang digunakan sangat beragam,
seperti berfikir horizontal, divergen, kreatif, heterarkhik, dan lain-lain. Argumentasi dan
eksplisitasi cara berfikir yang dapat dipantau oleh fihak lain itulah jaminan kebenaran isi yang

124
ditampilkan. Kesimpulannya mengarah ke mencari hukum atau prinsip yang keberlakuannya
mengarah ke rumusan hukum atau prinsip yang keberlakuannya bebas ruang dan waktu; logika
ini termasuk yang mencari kesimpulan nomothetik. Kebenaran materiilnya dapat melandaskan
pada kalkulus jenis dan dapat pula melandaskan pada kalkulus probabilistik.

10. Alternatif Model Pengembangan Ilmu Menjadi Islami


Untuk membangun suatu disiplin ilmu kita dapat berangkat dari filsafat yang mengakui
kebenaran tunggal (positivisme, rasionalisme, atau realisme) atau pengakuan terhadap kebenaran
ganda (phenomenologi); kita dapat pula berangkat dari aksiologi ilmu harus value-free
(positivisme atau rasionalisme) atau harus value-bound (phenomenologi atau realisme); kita
dapat pula berangkat-dari kebenaran parsial mencari kebenaran universal (positivisme atau
rasionalisme) atau berangkat dari kebenaran holistik (phenomenologi atau realisme).
Epistemologinya kita dapat memilih antara logika pembuktian induktif (positivisme atau
phenomenologi) atau logika pembuktian deduktif atau logika refiektif (rasionalisme atau
realisme). Sedangkan substansi kebenaran itu sendiri dapat kita tampilkan kategorik atau
probabilistik.
Bertolak dari alternatif-alternatif tersebut kami menawarkan sejumlah model
pengembangan ilmu menjadi Islami. Artinya, disiplin ilmu apapun agar memiliki wawasan atau
rukhul Islam perlu dikembangkan dengan cara-cara tertentu. Kami mengasumsikan bahwa tidak
ada cara terbaik untuk semua disiplin ilmu; cara yang satu mungkin tepat untuk disiplin tertentu,
dan cara lain mungkin lebih tepat untuk sejumlah disiplin lain. Karena kami berasumsi demikian
maka sejumlah cara atau prosedur pengembangan kami sebut sebagai model-model
pengembangan.
Model pengembangan ilmu yang pertama kami sebut sebagai model postulasi. Bangunan
pokok model ini adalah deduksi. Diberangkatkan dari konsep idealisasi. Di bagian keempat buku
ini penulis membedakan konsep idealisasi teoretik, konsep idealisasi moralistik, dan konsep
idealisasi transendental. Model postulasi dalam Islamisasi ilmu pengetahuan dapat masuk dalam
konsep idealisasi transendental. Bertolak dari aksioma, postulat, hukum, nash, atau konstruksi
teoretik holistik membangun keseluruhan sistematika disiplin ilmu itu. Model ini akan lemah
konstruksinya bila postulasinya dirumuskan atau dibangun secara a priori atau spekulatif; dan
akan kuat bila dibangun lewat penelitian emperik atau lewat proses fikir reflektif Satu contoh
jelas bagaimana suatu disiplin ilmu dibangun bertolak dari sejumlah postulat. Sistem ekonomi
Islam yang ditawarkan oleh Haider Naqvi, yang Guru Besar ekonomi dan konsultan OECD,
bertolak dari empat aksioma, yaitu: unity, equilibrium, free will, dan responsibility. Menurut
Naqvi sistem ekonomi Islam harus dibangun dengan tujuan moral: keselarasan, keadilan,
kebebasan yang tak merusak keselarasan serta keadilan, dan tanggung jawab bukan hanya untuk
yang dilakukannya, melainkan juga untuk apa yang terjadi di sekelilingliya. Sistem pendidikan
Islam dapat pula kita bangun bertolak dari sejumlah asumsi atau postulat atau teoretisasi tertentu.
Moralitas pendidikan Islam mencakup pemaknaan kita tentang tujuan amar ma’ruf nahi
mungkar, teori fitrah, a good active dari subyek didik, dan fungsi amanah bagi tugas pendidik.
Kejernihan akal budi memungkinkan manusia menangkap makna integral dari moralitas
Qur’an dan sunnaturrasul. Perlu disadari bahwa ada dua pemaknaan, yaitu pemaknaan substantif
serta instrumentatif, dan pemaknaan dalam arti tafsir serta dalam arti takwil.
Model pengembangan ilmu yang kedua yang kami tawarkan adalah model
pengembangan multidisipliner dan interdispliner. Yang kami maksud dengan kerja multidisiplin
adalah cara bekerjanya seorang ahli di suatu disiplin dan berupaya membangun disiplin ilmunya
dengan berkonsultasi pada ahli-ahli disiplin lain. Untuk membangun teori hukumnya, seorang
ahli hukum berkonsultasi pada ahli kebudayaan, ahli sosiologi, ahli hukum Islam, dan lainnya.
Keputusan konsep mana yang diambil terserah kepada ahli hukum yang bersangkutan.
Sedangkan yang kami maksud dengan kerja interdisipliner adalah cara kerja sejumlah ahli dari

125
beragam keahlian dan spesialisasi untuk menghasilkan secara bersama atau membangun suatu
teori atau merealisasikan suatu proyek. Kerja multidisiplin membangun disiplin ilmu politik
yang Islami, misalnya, akan tepat bila yang bersangkutan sekaligus memiliki kompetensi dalam
disiplin ilmu politik dan ilmu agama. Dengan kompetensi yang mencakup tersebut merupakan
modal terbaik untuk membangun suatu disiplin ilmu menjadi Islami.
Model pengembangan ilmu yang ketiga yang kami tawarkan adalah model-model yang
kami sebut sebagai model pengembangan reflektif-konseptual-tentatif-problematik. Dikaitkan
dengan konsep idealisasi yang telah penulis ketengahkan di bagian kedua, bagian keempat, dan
juga di model pertama tersebut di atas, maka model ketiga ini dapat bergerak merentang dari
konsep idealisasi teoretik, moralistik, sampai transendental secara reflektif Pada model ini kita
berangkat dari konstruksi teoretik-sistematik ilmu yang berkembang. Bagian-bagian yang
dilematik, inkonklusif, dan kontroversial dikonseptualisasikan secara reflektif dan disajikan
dalam berbagai alternatif atau disajikan sebagai masalah yang belum konklusif. Beragam
keraguan tersebut dikonsultasikan kepada nash.
Operasionalisasinya menjadi sebagai berikut. Pertama, dikonseptualisasikan lewat telaah
emperik, lewat abstraksi, lewat penjabaran yang dilangkahkan mondar-mandir antara induksi dan
deduksi, berangkat dari dasar teoretik atau sistematika ilmu sendiri. Tetapi konseptualisasi
tersebut jangan ditampilkan konklusif, melainkan ditampilkan inkonklusif mungkin problematis,
mungkin tentatif, mungkin hipotetik, mungkin bentuk lain yang membuka peluang alternatif,
nuansif, atau open-ended. Kalkulus kebenaran yang tepat dipakai adalah kalkulus probabilistik.
Bangunan teoretik model ketiga ini sama dengan model pertama, yaitu tampilnya sosok
konstruksi teoretik sebagai bangunan pokok. Bedanya model pertama mendudukkan hukum,
nash, atau tesis sebagai payung untuk menetapkan hasil emperi sesuai tidak dengan bangunan
pokoknya. Ketidakcocokan tersebut, bila menggunakan kalkulus jenis, emperi ditolak; bila
menggunakan kalkulus probabilistik memungkinkan modifikasi telaah emperi atau menajamkan
rumusan teoretik atau memperluas konsep teoretiknya. Model ketiga mendudukkan tesis, nash,
atau lainnya sebagai petunjuk, acuan, atau kriteria yang ditampilkan dalam bagian telaah yang
relevan.
Catatan: harap dibedakan antara studi Islam interdisipliner (yang disejajarkan dengan
studi Islam klasik, orientalistik, phenomenologik, dan kontekstual) dengan model pengembangan
ilmu interdisipliner.

11. HUKUM ISLAM


Ilmu hukum Barat-telah bergerak dan berkutat pada dua rumpun besar, yaitu: hukum
kontinental yang menggarap ilmunya secara deduktif atas asas keadilan sebagai sesuatu yang
universal perlu ditegakkan, dan hukum kasuistik Anglo Saxon yang menggarap ilmunya secara
induktif Pengarapan hukum secara deduksi mulai tererosi dengan kritik Hume, yang mengatakan
bahwa penggarapan hukum dengan deduksi akal manusia akan menjadikan hukum budak nafsu
manusia; dan juga tererosi dengan peringatan Kant tentang keterbatasan akal manusia. Erosi
tersebut berlanjut sehingga konsep hukum mencari keadilan universal bergeser ke hukum
mencari keadilan legal. Adil legal adalah adil berdasar keputusan atau pemaknaan hakim, adil
berdasar keputusan pemegang otoritas hukum. Herbert Spencer mengemukakan bahwa nilai
keadilan tertinggi bukan kesamaan, melainkan kebebasan. Setidaknya dari dua contoh di atas
makna keadilan telah tererosi pada dua arah, yaitu: adil legal dan adil untuk memiliki kebebasan.
Hukum Islam bersumber pada nash, wahyu Al Khalik yang Maha Tahu dan Maha Bijak;
yang bukan bersumber pada akal manusia. Hukum Islam berfungsi mengontrol masyarakat, dan
bersumber pada wahyu, bukan produk otoritas legal penguasa. Keputusan hanya milik Allah.
Keputusan penguasa Muslim yang bersumber pada nash, akan bersifat adil, bukan
sewenang-wenang.

126
Penguasa dalam menjalankan kekuasaannya perlu dipandu oleh nash, karena barang
siapa memutuskan perkara tidak dengan apa yang diturunkan Allah. mereka adalah orang yang
jasik (al Maidah-ayat 47).
Tatanan hukum berdasar nash adalah tatanan hukum supranatural, mengatasi
keterbatasan akal manusia, mengatasi otoritas penguasa, dan lebih jauh lagi mengatasi
keterbatasan ruang dan waktu. Karena itu menjalankan hukum-Nya adalah menjalankan hukum
universal dan berlaku sepanjang zaman.
12. ljtihad Jama’i
Cara terbaik untuk memuliakan Al Qur’an adalah menjadikan Al Qur’an mampu
menjawab permasalahan sepanjang zaman. Sifat universalitas ajaran Al Qur’an dan rentangan
fungsi nash dari berbagai bukti, isyarah, hudan, dan rahmah perlu dipelihara dan dijaga agar
dapat menjadi acuan berkehidupan dan berilmu pengetahuan.
Ijtihad secara teknis berarti upaya menemukan hukum dari sumbernya. Nash adalah
sumber ijtihad. Masalah berikut adalah: apakah dengan ijtihad kita membuat hukum ataukah
nash itu sendiri yang menjadi hukum? Apakah nash itu hukum? Ya, nash adalah hukum dasar,
yang melalui ijtihad kita kembangkan hukum organiknya. Pada satu sisi nash memberi acuan
tentang yang wajib dan yang dilarang. Allah menghalalkan jual-beli, dan mengharamkan riba’.
Sementara di sisi lain ahli hukum menafsirkan bahwa tindakan-tindakan di luar itu mubah. Ahli
hukum lain menafsirkan bahwa makna jual-beli itu luas sekali, juga riba’; sehingga kita dapat
menggunakan nash tersebut sebagai hukum dasar untuk membuat hukum organik yang luas
sekali, dan tetap mengacu pada hukum dasar tersebut. Dari ayat: Setiap orang bertanggungjawab
atas apa yang diperbuat. Orang yang berbuat dosa pada hakikatnya menodai diri sendiri; dan
orang yang berbuat dosa tidak akan memikul dosa orang lain. Dari ayat tersebut dapat kita pakai
sebagai hukum dasar, yang dapat kita jabarkan lebih jauh dalam hukum organik pidana, perdata,
dan juga filsafat moral dunia kerja dan dunia bermasyarakat.
Kita mengenal ayat-ayat muhkam dan ayat-ayat mutasyabih. Yang pertama sudah jelas
arti tafsirnya, sedangkan yang kedua memerl ukan pemaknan lebih jauh, memerlukan ijtihad.
Dengan bertambahnya wawasan manusia tentang semesta ini akan bertambah pula
masalah-masalah yang muncul dari ayat-ayat yang sudah kita klasifikasikan sebagai muhkam.
Kewajiban shalat, kewajiban zakat dari Al Qur’an dan sunnah Rasulullah sudah nampak jelas
bagaimana dikerjakan, kapan dikerjakan, bagaimana menghitungnya, dan seterusnya. Tetapi
dengan adanya pesawat jet, bila kita terbang mengikuti edar matahari, seakan dhuhur tidak
kunjung tiba, atau maghrib tidak kunjung tiba, timbul masalah kapan shalat dhuhur, kapan
berbuka puasa, dan seterusnya. Ketika Islam juga dianut oleh penghuni kutub Utara atau
penghuni kutub Selatan, bagaimana waktu shalatnya, waktu puasanya. Pada zaman rasulullah
jelas beda besar zakat untuk penghasilan dari bertani, berdagang, dengan kekayaan yang
diperoleh dari tambang. Tambang baru sekarang ini ada, yaitu: hasil dari kerja yang memiliki
nilai tambah sangat tinggi, yaitu hasil kerja teknologi tinggi. Berapa harus dibayar zakat dari
penghasilan teknologi tinggi, apakah disamakan dengan zakat bertani atau disamakan dengan
zakat dari hasil tambang? Dengan singkat dapat penulis katakan: dengan bertambah luasnya
pengetahuan manusia tentang semesta ciptaan-Nya, maka ayat-ayat yang semula muhkam dapat
menjadi mutasyabih.
Agar kita tidak aniaya terhadap diri sendiri dan menyesatkan orang lain, maka
pemaknaan-pemaknaan ayat-ayat baik yang mutasyabih maupun yang menjadi mutasyabih,
haruslah selalu berfihak kepada keimanan kita pada Allah. ljtihad kita hendaknya selalu dipandu
oleh hasrat kita untuk mencari ridha-Nya, bukan melegalisasikan kemauan penguasa atau ingin
menghalalkan kehendak hati kecil kita sendiri. Dengan kata mencari ridha-Nya penulis ingin
menekankan bahwa kita selalu berupaya untuk kreatif, inovatif Berbeda bila pilihan katanya
penulis ganti dengan kata dipandu hasrat kita untuk patuh kepada-Nya, yang nampaknya tidak
ada keberanian untuk berkreasi, dan yang ada hanyalah pasif dan takut.

127
Oleh karena semesta ini semakin terasakan makin penuh dengan pengetahuan, dan
membuat kita manusia masing-masing menjadi semakin kecil artinya bagi semesta ini, maka kita
memerlukan upaya pemaknaan bersama sama, memerlukan ijtihad jama’i. Jama’i di sini bukan
dimaksudkan ijtihad jama’i banyak ahli agama, melainkan ijtihad jama’inya banyak ahli dalam
fungsi komplementer. Keahlian komplementer tersebut tergantung pada tema yang sedang
ditelaah. Menelaah implementasi perbedaan antara dagang dengan riba memerlukan
komplementasi ahli yang berbeda dengan menelaah tentang pemilihan pemimpin, dan
seterusnya. Tetapi ada satu syarat yang sama, yaitu: apapun keahlian seseorang, komplementasi
keahliannya hendaknya dalam niat mencari ridha Allah, dan tidak hendak berbuat aniaya
terhadap diri sendiri. Syarat yang semestinya dipenuhi dalam berijtihad menurut Studi Islam
Klasik memang perlu dipenuhi, tetapi bukannya akumulatif pada semua orang ahli tersebut,
melainkan komplementatif additif. Penulis mencitakan agar IAIN ataupun FAI PTS dapat
menjadi feedingsschool bagi pengembangan ijtihad jama’i. Maksudnya agar pengetahuan para
dosen serta lulusan IAIN sampai tingkat tertentu meluas ke ilmu-ilmu sosial, humaniora, atau
teknologi, sehingga. dalam memberikan pertimbangan dapat lebih matang.
Itulah ijtihad jama’i yang penulis citakan untuk memuliakan Al Qur’an dan Sunnah
sakhikhah agar mampu menjawab permasalahan sepanjang zaman.
Apakah ada perbedaan ijtihad jama’i multidisipliner dengan ijtihad jama’i
interdisipliner? Ada perbedaannya. Kalau obyek telaah itu termasuk dalam satu disiplin ilmu,
maka telaah yang dibuat adalah telaah multidisiplin; di mana ahli-ahli di luar disiplin itu
memberi urunan ijtihadnya, tetapi akhirnya perlu bermuara pada menjawab disiplin ilmu yang
satu itu. Kalau obyek telaahnya termasuk hal garapan bersama dari berbagai disiplin ilmu, maka
urunan ijtihad dari beragam ahli akan bermuara pada obyek garapan bersama itu. Garapan
bersama tersebut dalam rekomendasi penulis adalah membuat telaah secara tematik atau
menggunakan tafsir madhu’i. Memperhatikan kritik Mukti Ali, maka penulis mencoba mencari
lebih jauh model untuk mengatasi tidak tuntasnya model tematik atau maudhu.’i. Dalam
perjalanan diskusi dan dialog dengan para mahasiswa cerdas pascasarjana, penulis menemukan
model lain untuk mengadakan telaah bersama, yaitu: mengangkat hal yang masib kasuistik
menjadi lebih umum; dan diangkat lebih jauh pada abstraksi yang lebih tinggi; lebih jauh lagi
diangkat pada dataran berfikir yang lebih tinggi, misal: dari skopa lebih sempit ke lebih luas atau
dari dataran sensual, ke logik, ke etik, dan seterusnya. Zakat pertanian dapat diangkat ke zakat,
dan dapat diangkat lebih jauh pada fungsi sosial zakat, dan dapat diangkat lebih tinggi lagi
menjadi harta dan fungsinya, dan seterusnya. Adapun model yang penulis tawarkan tersebut
dapat diberi nama model pendekatan integratif, yang dapat diproses secara reflektif melalui
pembuatan abstraksi dilanjutkan dengan pendeduksian, dan seterusnya.
Sekarang ini sedang tumbuh konsep berfikir transdisipliner dan konsep counterdicipline.
Penulis masih ingin mengendapkan dan membuat studi komparatif, sebelum menuangkannya di
buku ini.

128
BAGIAN KETUJUH

MENCARI WAWASAN DAN


OPERASIONALISASI
METODOLOGI PENELITIAN
KUALITATIF UNTUK MASA DEPAN

A. MENGAPA DENGAN ILMU SOSIAL


Mengapa ilmu pengetahuan alam berkembang pesat sejak humanisme, dan hasilnya
mengagumkan kita menjelang akhir abad ke-20 ini. Metodologi penelitian ilmu pengetahuan
alam juga telah mempengaruhi ilmu sosial, lebih dari satu abad. Tetapi hasil ilmu. sosial sesudah
lebih banyak menggunakan metodologi penelitian kuantitatif statistik, bukannya berkembang
konsepkonsep teoretiknya, melainkan menjadi miskin teori, meskipun kemanfaatankemanfaatan
operasional telah digunakan. Mengapa dengan ilmu sosial?
Sementara pakar ilmu sosial menunjuk bahwa ilmu pengetahuan alam
merupakan hard science, ilmu. Yang obyeknya statik, ilmu yang dapat dicari universalitasnya;
sedangkan ilmu sosial merupakan soft science, ilmu yang obyeknya tumbuh berkembang, ilmu
yang hasilnya masing-masing lebih bersifat khas, sukar atau tak mungkin dicari
universitalitasnya. Dengan sifatnya yang demikian itu, hasil penelitian ilmu pengetahuan alam
dapat disusun berkelanjutan: dari hasil penelitian yang satu ke hasil penelitian yang lain; hasil
yang lebih kemudian menjadi lebih menspesifikkan atau lebih mencakup; sedangkan ilmu sosial
sulit dibangun kontinuitasnya, karena obyeknya yang dinamis, selalu berkembang dan berubah.
Penulis tetap teringat akan pesan asisten penulis yang inteligen, yang memesankan ketika
penulis ke luar negeri tahun 1973: “Pak, tolong cari hukumnya perubahan.” Itu berarti bahwa
soft science pun seharusnya dapat dicari universalitasnya, yaitu keberlakuan prediksinya pada
perubahan atau dinamika obyeknya. Analisis global penulis tentang kebijakan pendidikan
misalnya, penulis sampai pada prediksi: tuntutan kualifikasi minimal manusia bergerak naik
terus, baik untuk bekerja, untuk menjadi warga negara, dan lainnya. Hukum perubahan tersebut
diperlukan untuk membuat antisipasi tentang wajib belajar, tentang kurikulum pendidikan atau
latihan, tentang persyaratan jabatan, dan lainnya. Karena itu perlu dirisaukan bila produk-produk
ilmu tidak memberi guna masa depan, tidak dapat dipakai untuk memprediksi (dalam artian
teoretik) dan tidak dapat dipakai untuk mengantisipasi (dalam artian operasional) kepentingan
masa depan kita. Bagaimana kita, ilmuwan dapat terhindar dari kegiatan mengumpulkan
sampah-sampah tiada guna, dan dapat dikenang generasi mendatang karena konsep-konsep kita.
Data akan cepat hilang, hanya konsep yang dikenang panjang.
Penulis mengamati banyak pertengkaran istilah di antara para pakar ilmu sosial. Yang
naif dan lemah, sering sekedar menampilkan perbedaan rumusan, yang orang lain tidak tahu
apakah ada perbedaan konsep teoretiknya atau perbedaan operasionalnya. Yang patut dihargai
karena adanya keajegan pandangan teoretiknya atau filosofiknya atau paradigmanya mengkritik
konsep lain dan menampilkan konsepnya sesuai dengan teori, filsafat, atau paradigmanya. Pakar
yang lebih arif bijaksana akan mampu mendudukkan teori, filsafat, atau paradigma berbagai ahli
dalam proporsinya. Jadi bukan mencela dan mendeskreditkan pakar lain yang bukan satu faham,
melainkan menunjuk kelebihan dan kekurangannya secara proporsional.
Pembagian buku ini menjadi bagian pertama, kedua, ketiga, dan keempat beserta
model-modeinya dimaksudkan agar para pembaca buku metodologi penelitian kualitatif ini
menjadi pakar-pakar yang termasuk lebih arif bijaksana tersebut, yaitu mampu mendudukkan
secara proporsional metodologi penelitian kualitatif yang positivistik, yang rasionalistik, yang
phenomenologik, dan yang realisme metaphisik. Tidak lagi berpretensi bahwa dunianya sendiri
yang benar; ada cara berfikir lain yang dapat saja dipakai untuk bekerja ilmiah. Sikap ilmiah

129
tersebut menjadi semakin penting atas kenyataan bahwa metodologi penelitian statistik bukan
satu-satunya metodologi penelitian yang boleh dipakai dalam berkarya. Ada makhluk lain yang
indah, mungkin dapat lebih indah dari sosok yang statistik. Mungkin, tetapi memang tidak selalu.

B. MONISME MULTIFASET
Positivisme hanya mengakui kebenaran berdasar emperik sensual, emperi yang teramati
dan terukur. Rasionalisme mendudukkan rasio lebih penting dari emperi. Emperi bagi
rasionalisme berfungsi untuk menjamin relevansi konsep dengan realistas. Realitas bagi
rasionalisme mencakup realitas sensual-phisik, realitas logik, dan realitas etik. Di samping ketiga
realitas tersebut, phenomenologi dan realisme metaphisik mengenal pula realitas transendental.
Bedanya: phenomenologi mengakui bahwa kebenaran itu plural, sedangkan positivisme,
rasionalisme, dan realisme mengakui bahwa kebenaran itu tunggal berdimensi ganda. Bila
masing-masing menggunakan dasar kebenaran yang berbeda, urusan ilmu menjadi tak pernah
terselesaikan.
Mengapa tidak kita cari jalan keluar? Dalam kerja interdisipliner kita menggunakan
approach by level, artinya masing-masing disiplin ilmu mengakui otoritas disiplin lain untuk
menetapkan validitas, mengapa kita tidak membangun approach by level antara metodologi
penelitian, bertolak dari integrasi wawasan ontologinya. Wawasan ontologi yang penulis
tawarkan adalah wawasan monisme multifaset. Emperi, kebenaran, dan juga realitas itu tunggal
(monistik), menjadi beragam hanya karena tampilannya, kadang nampak dominan yang sensual,
kadang dominan yang etik, dan seterusnya; dan kadang nampak beragam karena konteks atau
situasinya. Kesemuanya itu terpulang kepada obyek dan karakteristik obyek yang diteliti. Obyek
yang memang sensual phisik mengapa tidak diteliti secara positivistik. Membangun konsep
teoretik logik mengapa harus dikembangkan dengan cara lain bila layak dikembangkan dengan
metodologi rasionalistik. Studi keagamaan yang mengakui wahyu sebagai sumber kebenaran
mengapa harus digunakan cara atau metodologi yang bertentangan dengan keimanan kita.
Realisme metaphisik filsafat landasan filosofi yang tepat. Bila kita mengakui kebenaran
monisme multifaset, teknik dan metoda penelitiannya hendaknya kita pulangkan pada obyek dan
karakteristik obyeknya.

C. VALUE FREE DAN VALUE BOUND


Berbagai ekses Perang Dunia II dan ekses dari berbagai kepesatan teknologi telah
menyadarkan manusia tentang pentingnya nilai etik, seperti kemanusiaan, keadilan, kebebasan,
kemerdekaan, dan lain-lain. Para pakar ilmu juga mulai menimbang kembali semboyan lama:
ilmu harus obyektif dan teknologi tidak boleh memihak. Metodologi penelitian kualitatif
positivistik menolak nilai, karena dianggap tidak obyektif dalam ilmu; rasionalisme secara
implisit mengakui nilai, tetapi tidak tereksplisitkan dalam desain penelitian; phenomenologi
memasukkan nilai ke dalam desain penelitiannya, juga realisme metaphisik. Penulis menawarkan
suatu sikap aksiologik untuk memasukkan nilai sebagai kerangka acu filosofik bagi setiap
penelitian, dengan tetap memberi alternatif. nilai dimasukkan dalam desain atau diletakkan di
luar desain. Karena negara kita adalah negara berke-Tuhan-an (penjelasan UUD 1945), maka
tentu saja sebaiknya nilai yang dijangkau atau dijadikan kriteria itu sampai sejauh nilai yang
transendental, nilai sesuai dengan wabyu Allah. Memasukkan nilai dalam disain penelitian,
filosofik tidak salah bila kita menggunakan phenomenologi atau realisme metaphisik. Bedanya:
yang pertama menyatukan peneliti dengan subyek sumber data, yang kedua memilahkan. Bila
kita menggunakan filsafat rasionalisme atau positivisme, nilai harus diletakkan di luar desain.
Pada rasionalisme nilai dapat diimplisitkan dalam konsep tetapi tidak dapat dieksplisitkan
kecuali didudukkan sebagai kriteria atau kerangka acu dalam konseptualisasi teoretik dan dalam
pemaknaan sesudah pembuatan kesimpulan. Pada positivisme, nilai dapat disertakan; caranya:

130
didudukkan sebagai kriteria atau kerangka acu dalam pemaknaan sesudah pembuatan
kesimpulan.

D. PERSPEKTIF PROPORSIONAL
Tampilan kebenaran yang ganda, yang lokal, yang emperik sensual dapat berbeda dari
yang emperik logik, dan sebagainya. Penulis tawarkan untuk dapat dilihat sebagai kebenaran
tunggal yang multifaset. Bila tawaran penulis dapat diterima, maka kebenaran bersifat perspektif,
menurut istilah Schwartz dan Ogivly, atau proporsional, menurut Noeng Muhadjir, atau
subyektif, menurut Guba. Kebenaran perspektif akan menampilkan perspektif yang
berbeda-beda; sedangkan kebenaran proporsional menekankan tentang adanya peluang
mengambil altematif tetapi tetap terjaga sinkronisasi dan koherensinya; sedangkan kebenaran
subyektif dimaksudkan mengakui kejadian tak terduga, divergensi, dan keterbukaan.
Bila kebenaran telah diakui sebagai monistik multifaset dan operasionalisasinya dapat
diakui tampilan perspektif atau proporsional atau subyektif, maka perlu ditimbang lebih jauh:
apakah hasil penelitian satu harus pilah dari penelitian lain ataukah ada hal-hal yang dapat
mempersatukannya. Bersatunya entah sampai generalisasi atau rumusan hukum, entah
pengembangan teori substantif menjadi teori formal, entah ttansferabilitas (Guba), atau sampai
komparabilitas (Bogdan), atau sampai pemolaan (Noeng Muhadjir); ataukah memang harus
terhenti sampai kesimpulan-kesimpulan lokal idiographik. Ingat, we can think globally and act
locally. Komunikasi yang semakin canggih menjadikan yang terisolasi, yang lokal menjadi lebih
menyatu secara regional, nasional, malahan global. Keunikan lain sekaligus muncul, yaitu
perubahan-perubahan sosial yang semakin cepat. Interaksi yang lebih terbuka memungkinkan
pengembangan menuju ke kesatuan, tetapi sekaligus tampil kondisi yang mengakselerasi
perubahan yang mendorong ke keragaman. Dengan konteks yang demikian nampak menjadi
semakin sulit untuk membuat generalisasi. Tetapi bagaimana caranya agar hasil-hasil penelitian
tidak menjadi kumpulan sampah tiada guna, melainkan menjadi tongkat-tongkat kebijakan kita
manusia, bukan dari setiap penelitian kita berkelanjutan kehilangan tongkat.
Di paragraf akhir halaman 195 kita tampilkan contoh kesimpulan prediktif penulis:
tuntutan kualifikasi minimal manusia bergerak naik terus, baik untuk bekerja, untuk menjadi
warga negara, dan lainnya. Prediksi tersebut diangkat dari cara memandang atau memilih obyek
telaah yang dinamik; yang dilihat bukan struktur obyeknya, melainkan karakteristik dinamiknya.
Bila kita peneliti mampu mengungkap atau menganalisis dimensi dinamik obyek penelitian kita,
bukan mustahil kita menemukan pola-pola perubahan ataupun pola-pola yang memungkinkan
kita menemukan kesamaan antarlokal. Dengan cara bekerja seperti itu, penajaman pembedaan
antara ilmu yang idiographik dan nomothetik dapat diperhalus nuansanya. Semoga, dan marilah
kita bangun bersama ilmu yang demikian itu.
E. DETERMINISME DAN INDETERMINISME
Konsep yang terkandung dalam judul di atas luas sekali. Substansial sosiologik konsep
tersebut menyangkut apakah kreativitas sosial manusia itu terikat pada sistem sosialnya atau
tidak. Merton mengakui bahwa struktur masyarakat merupakan closed system, sedangkan Etzioni
mengakui sebagai opened system. Subtansial teologik konsep determinisme indeterminisme itu
menyangkut keyakinan apakah manusia itu telah ditetapkan nasibnya oleh Allah ataukah ada
kebebasan; yang pertama disebut penganut jabariyah, yang kedua qadariyah.
Determinisme dalam metodologi penelitian ditampilkan dalam bentuk teknik prediksi
linier atau parametrik, nonlinier, dan proyeksi. Konsep-konsep indeterminisme tampil dalam
konsep-konsep seperti: divergensi, holographik, dan morphogenetik. Membuat generalisasi yang
statik mengarah ke pola fikir determinisme metodologi penelitian. Generalisasi dinamik atau
menampilkan pola-pola mengarah ke pengakuan pola fikir indeterminisme akan lebih kuat
wawasan dasar dan operasionalisasinya, bila pola fikir divergen, holographik, dan morphogentik
digunakan. Dalam konteks berfikir linier, dilema, kontradiksi, dan paradoks, serta kontroversial

131
dimaknai sebagai indikator lemah. Tetapi dalam konteks berfikir divergen, horizontal, dan
heterarkhik, dilema, kotradiksi, dan lain-lain tersebut dapat menjadi indikator kemampuan
berfikir divergen sekaligus berkualitas tinggi, seperti John Naisbitt dengan Global Paradox-nya.
Apakah tidak dapat dipertimbangkan pendapat penulis bahwa pada dataran transenden dunia kita
bersifat deterministik, sedangkan pada dataran etik, logik, dan sensual dunia kita bersifat
indeterministik.
Membuat pemaknaan lewat analisis data, lewat proses abstraksi dan refleksi membuka
peluang lebih besar ke pengembangan pola fikir indeterministik. Yakin atas ketajaman fikir
manusia dan akal budi manusia, manusia dapat menjadi semakin kreatif Beriman kepada
kebenaran dan kebijakan firman Allah manusia memperoleh pedoman dan pembijak dalam
berkreasi.
Dengan metodologi penelitian manapun, yang positivistik, rasionalistik, phenomenologik
ataupun realisme metaphisik, penulis menganjurkan mengetengahkan pemaknaan kita. Anjuran
tersebut terutama perlu penulis tekankan pada penggunaan metodologi penelitian positivistik,
yang biasanya hasil penelitian terhenti pada kesimpulan statistik saja.
Sungguh akan menjadi lebih berharga, bila penggunaan metodologi penelitian kualitatif
dilengkapi konseptualisasi teoretik yang lebih luas mengupayakan penyajian grand-concepts
atau mengupayakan mendekati obyeknya secara holistik.

F. KETERPERCAYAAN
Konsep yang melandasi keterpercayaan hasil penelitian pada metodologi penelitian
positivistik, rasionalistik, phenomenologik, dan realisme metaphisik berbeda. Yang pertama
melandaskan konsepnya pada asumsi distribusi normal pada populasi. Syarat terpercaya
dibuktikan dari rerata frekuensi atau keragaman beserta penyimpangannya. Konsep-konsep
ditampilkan sebagai validitas, realibilitas, obyektivitas, normalitas, homogenitas, dan lain-lain.
Konsep yang melandasi keterpercayaan hasil penelitian metodologi rasionalistik dan
phenomenologik adalah diperolehnya hal esensial, dan benar sesuai konteksnya, dan terungkap
sampai ke dasar-dasarnya yang paling dalam. Konsep yang ditampilkan oleh Leifer adalah
indeksikalitas dan refleksikalitas; Guba menampflkan konsep kredibilitas, transferabilitas,
dependabilitas, dan konfirmabilitas. Konsep yang melandasi keterpercayaan hasil penelitian pada
realisme metaphisik sama dengan rasionalisme dan phenomenologi, yakni ditemukannya hal
esensial. Truthworthiness.

132
BAGIAN TERAPAN

METODOLOGI BAGI PENULISAN


DISERTASI DAN TESIS

A. METODOLOGI PENULISAN KARYA ILMIAH


Aksentuasi pembahasan pada bagian ini bukan pada aturan tatatulis, melainkan pada
konsekuensi terapan atas alternatif filosofik dan teoretik dari metodologi yang digunakannya.
Pembahasaannya pun tidak mengaeu pada buku-buku metodologi penelitian yang membahas
tentang aturan tatatulis, melainkan dengan memperbandingkan banyak disertasi dan tesis
diragamkan dari yang menggunakan pendekatan positivistik, rasionalistik, phenomenologik,
serta model bangunan realisme metaphisik. Dengan adanya ekstensi metodologi penelitian teks,
maka kajian pun diekstensikan pada studi bahasa dan karya sastra.
Keragaman positivistik, rasionalistik, dan phenomenologik pertama-tama akan nampak
pada sistematika penulisan atau pada anatomi penulisan. Sedangkan model bangunan realisme
metaphisik contoh terapannya baru sampai ke contoh bangunan kritiknya. Ekstensi pada
penelitian teks baru dapat dicontohkan bangunan heuristik dan hermeneutik dalam
membuattelaah tematik. Model multi-case dan multi-site dalam penelitian phenomenologik juga
diberikan contohnya. Model reinterpretasi historis penulis angkat dari karya tokoh yang
berbobot.
Karya ilmiah yang penulis bahas dalam buku ini difokuskan pada karya ilmiah disertasi
dantesis. Kesulitan memperoleh contoh disertasi atau tesis yang sesuai, maka penulis pilih karya
ilmiah dari tokoh yang berbobot. Tujuannya, agar disertasi dan tesis yang dihasilkan para sarjana
kita mempunyai acu “baku. “ Baku dengan tanda petik yang dimaksudkan adalah ada
konformitas pemikiran metodologiknya, meskipun tampilan sistematika dalam penulisan
disertasi atau tesis dapat saja berbeda-beda. Sedangkan alasan penulis memfokuskan pada
disertasi dan tesis, karena karya ilmiah yang lain seperti skripsi, laporan kasus, karya penelitian,
prasaran, ceramah, buku teks, dan lain-lainnya itu sangat beragam tujuannya, beragam
kualifikasi yang dituntutkan, dan banyak sebab lainnya lagi. Sedangkan dipilihnya karya penulis
berbobot, lebih karena metodologi analisisnya yang memang terpercaya untuk dijadikan contoh.
Sedangkan untuk mendapatkan gelar magister dan doktor kita harapkan mensyaratkan tuntutan
kemampuan dan kualifikasi yang kira-kira setara antara semua disiplin ilmu.
Mengapa untuk skripsi S-1 tidak dimasukkan dalam pembahasan ini? Bukannya tidak
hendak dimasukkan; tetapi penulis mengimbau bagi skripsi program S-1 akademik dapat pula
diacukan pada pembahasan dalam buku ini, lebih-lebih bagi peserta potensial.

B. SISTEMATIKA MODEL BAKU POSITIVISTIK (MODEL A)


Beberapa kolega dosen Pasca Sarjana yang mengajar metodologi penelitian kualitatif
mengeluh; sudah dikenalkan metodologi penelitian kualitatif, tetapi para promovendi akhirnya
cara bekerjanya (tanpa menyadari filosofinya serta teoretisasi metodologinya) kembali
menggunakan metodologi kuantitatif. Pada pembahasan sistematika model A, B, C, dan D
penulis membatasi penggunaan cara kerja yang kurang-lebihnya tetap sama dengan yang kuanti-
tatif, belum membahas apa yang digunakan oleh pendekatan phenomenologik.
Semua disertasi yang akan dibahas dalam sistematika model A sampai D ini
menggunakan cara kerja: merumuskan masalah, pembahasan teoretik atau studi pustaka,
mengetengahkan metoda dan prosedur kerja, mengumpulkan data, analisis, dan pembuatan
kesimpulan; dengan ragam variasinya.
Kita perbandingkan sistematika 3 disertasi yang menggunakan model A, dari:
1. Tjokorde Raka Joni, 1972, Hubungan Antara Sejumlah Faktor Kognitif dengan Prestasi
Akademik pada Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Malang, Malang: IKIP Malang;
133
2. Bambang Poernomo, 1985, Pelaksanaan Pidana Penjara dengan Sistem Pemasyarakatan
Yogyakarta: UGM; dan
3. Ny. Asma Affan MPA, 1988, Kajian tentang Kepemimpinan Institusional di Provinsi
Sumatera Utara dan Sumatera Barat, Yogyakarta: UGM.
Ditinjau dari segi sistematika penyajiannya, ketiganya menggunakan model baku dari
filsafat dan teori metodologi positivistik. Berangkat dari masalah, membatasi obyek penelitian
dengan mengeliminasikan dari obyek lain, dicari teori dan hasil penelitian yang relevan, didesain
metodologi penelitiannya, dikumpulkan data, dianalisis, dan dibuat kesimpulannya; ada yang
menambahkan dengan implikasi, saran, dan/atau rekomendasi.
Pendekatan positivistik menuntut penetapan obyek penelitian sespesifik mungkin dan
mengeliminasikan dari obyek lain. Kajian pustaka. atau teoretik dipilih yang relevan dengan
obyek spesifiknya. Model ini menuntut obyektivitas penelitian, sehingga metodanya perlu
dirancang tuntas sebelum terjun ke lapangan, termasuk dirancang untuk mengatasi berbagai
kemungkinan yang diperkirakan terjadi. Obyektivitas dituntut selanjutnya dengan memilahkan
antara sajian data, olahannya, dan analisisnya. Lewat olahan data dibuktikan terlebih dahulu
reliabilitas dan validitas instrumen atau teknik pengumpulan datanya. Hal itu sangat jelas pada
model A1 (model yang dipakai pada disertasi Tj. Raka Joni). Dengan istilah phenomenologik
data diuji lewat pengujian keterandalannya. Analisis dilakukan setelah terbukti datanya memang
valid. Kesimpulan dibuat berdasar hasil analisis; dan dipilah dari teori, dari data, dan dari
analisis. Kesemuanya itu untuk menjaga dan sekaligus membuktikan bahwa penelitian itu telah
dilaksanakan secara obyektif-obyektif dalam arti pilah antara obyek penelitian dengan
kepentingan subyek peneliti.
Untuk memperoleh gambaran tentang proporsi banyak halaman antara. Pendahuluan,
Kajian Teoretik/Pustaka, Metodologi Penelitian, Data dan Analisisnya, dan Kesimpulan
berturut-turut mempunyai perbandingan, sebagai berikut :
1. Raka Joni : 10-39-34-38- 15;
2. B. Poernomo: 59 - 113 - 28 - 190 - 20;
3. Asma Affan : 35 - 53 - 18 - 78 - 15;
Dengan catatan Raka Joni menyisipkan Rangkuman antara analisis dan kesimpulan; dan
Asma Affan menyisipkan Kajian tentang Pemerintah Daerah antara pendahuluan dan
kerangkateori. Disertasi Raka Joni termasuk penelitian kuantitatif positivistik dengan teknik
analisis yang sangat rumit, yaitu analisis faktor. Disertasi Asma Affan dapat pula penulis
masukkan ke dalam disertasi yang menggunakan metodologi penelitian kuantitatif positivistik
yang eukup memadai. Pada disertasi Asma Affan analisis kualitatif disajikan cukup banyak.
Penulis masukkan ke dalam kategori A, karena desain penelitiannya nyatanyata menggunakan
model baku dari metodologi positivistik kuantitatif. Disertasi Bambang Poernomo menggunakan
sistematika model A pula, meskipun jelas-jelas yang bersangkutan menyatakan bahwa sistem
analisisnya menggunakan metoda normatif kualitatif. Logika pembuktiannya menggunakan
norma hukum sebagai premis mayor, dan fakta relevan digunakan sebagai premis minor.

C. SISTEMATIKA MODEL MODIFIKASI POSITIVISTIK (MODEL B)


Model yang penulis beri nama model B adalah model kualitatif yang memodifikasi
sistematika baku. Model B ini menyederhanakan sistematika, dengan cara memasukkan
pertanggungjawaban metoda/metodologi penelitian di Pendahuluan; ada yang menyatukan
Kajian Pustaka dengan uraian deskriptifnya, tetapi memisahkan uraian deskriptif dari analisisnya
(M.ldris A.Kesuma). Sedangkan Hidayat Mukmin memisahkan Penelaahan Pustaka dari
deskripsi data, tetapi menyatukan deskripsi data dengan analisis. Disertasi Moch. fdris A.
Kesuma (1980) berjudul Suatu Studi tentang Hubungan Indonesia Belanda tahun
1945 - 1950 dengan sistematika dan proporsi jumlah halaman: Pendahuluan (19), Deskripsi
Kronologik: keadaan dunia internasional, tentara sekutu di Indonesia, persetujuan Linggarjati,

134
Agresi I, Renville, Agresi II, dan KMB (340), Resume (29), dan Analisis & Kesimpulan (26).
Disertasi Hidayat Mukmin (1989) berjudul Peran Serta ABRI dalam Merumuskan dan
Melaksanakan Politik Luar Negeri Indonesia. Studi Kasus Penyelesaian Konfrontasi
Indonesia Malaysia dengan sistematika dan proporsi jumlah halaman: Pendahuluan (50),
Penelaahan Pustaka (45), Deskripsi sekaligus analisis tentang peran ABRI di bidang politik,
konfrontasi dan penydesainnya, serta interaksi politik luar negeri dan politik hankam (215),
Kesimpulan dan Saran (18).
Hal yang nampak mencolok berbeda model B terhadap model A pada disatukannya
bagian tertentu, dan proporsi yang dominan pada banyak halaman di bagian telaah pustaka yang
disatukan dengan deskripsi kronologik dari M. ldris A. Kesuma sebesar 82%, dan disatukannya
antara deskripsi dan analisis pada Hidayat Mukmin sebesar 66%.
Meskipun model B tersebut hanya memodifikasi sedikit dari model A, tetapi bila ditelaah
kembali pada pandangan teoretik metodologi penelitian positivistik, hal yang dimodifikasikan itu
hal esensial yang dituntut dijamin, yaitu: obyektivitas, pilahnya data dengan konsep teoretik, dan
juga pilahnya data dengan analisis kita.

D. SISTEMATIKA MODEL DENGAN GRANDCONCEPTS (MODEL Q


Model yang kami sebut sebagai model C adalah sistematika penulisan bertolak dari
pengerangkaan grandtheory atau grandconcepts. Perbedaannya dengan kerangka baku model A
adalah pada kerangka teori dan kesimpulan. Pada model A, kerangka teori lebih diarahkan ke
kerangka teori yang lebih spesifik mengarah ke variabel yang langsung diteliti; sedangkan model
C berasunisi bahwa variabel spesifik merupakan bagian integratif dari konsep yang lebih luas,
atau menurut istilah kami menjadi bagian dari suatu grundconcepts, atau malahan bagian dari
suatu grandtheory. Dengan model C, sistematika bagian teori akan dipilah menjadi dua, yaitu:
kerangka teori yang mampu mendudukkan obyek atau variabel yang diteliti dalam satuan konsep
yang lebih besar, dan kerangka teori yang menelaah konsep spesifik obyek atau variabel yang
diteliti. Dengan model C kesimpulan spesifik hasil penelitian dilanjutkan dengan penafsiran dan
pemaknaan serta duduknya kesimpulan spesifik hasil penelitian terhadap grandconcept: apakah
menajamkan, memodifikasi, atau memperkaya konseptualisasi besarnya.
Lima disertasi yang akan penulis telaah sebagai contoh sistematika yang menggunakan
model C ini, yaitu:
1). Disertasi: W.M.F. Hofsteede, 1971, Decision Making Processes in Four West Javanese
Villages, (Disertasi pada Nijmegen: De Katholieke Universiteit te Nijmegen;
2). Disertasi: Thord Erasmie, 1975, Language Development and Social Influence, (Disertasi),
Sweden, Linkoping: Universitetet I Linkoping;
3). Disertasi: Noeng Muhadjir, 1982, Identifikasi Faktor-faktor Kepemimpinan Adopsi Inovasi
untuk Pembangunan Pedesaan, (Disertasi: konsep teoretik teknik analisisnya merupakan
hasil studi independen di Harvard University; penelitian dilakukan di Provinsi Jawa Tengah;
dan diajukan formal di IKIP Yogyakarta); terbit dengan judul: Kepemimpinan Adopsi Inovasi
untuk Pembangunan Masyarakat, Yogyakarta: Rake Sarasin, P.O.Box 1083 Yogyakarta,
1983; 1987;
4). Disertasi Al Yasa Abubakar, 1989, Ahli Waris Sepertalian Darah. Kajian Perbandingan
terhadap Penalaran Hazairin dan Penalaran Fiqih Mazhab (disertasi), Yogyakarta: IAIN
Sunan Kalijaga; dan
5). Disertasi: Ahmad Tafsir, 1987, Konsep Pendidikan Formal dalam Muhammadiyah,
(disertasi), Jakarta : IAIN Syarif Hidayatullah.
Disertasi Hofstede berangkat dari grandtheory tentang pembangunan masyarakat dari
Keune. Pembangunan masyarakat merupakan proses perkembangan, yang menyangkut seluruh
hidup kemasyarakatan manusia. Kooperasi dan partisipasi merupakan penjabaran penting dari
proses yang bersifat demokratik. Keune mengetengahkan tiga jenjang kooperasi: pertama:

135
rakyat, kedua: pemerintah, dan ketiga: bersama antara rakyat dan pemerintah. Pada banyak
kepustakaan menunjukkan bahwa perhatian utama diletakkan pada jenjang rakyat; sedangkan
penelitian Hofstede ini menekankan pada pentingnyajenjang ketiga. Sedangkan teori substantif
yang hendak diuji secara emperik dibatasi pada teori proses pengambilan keputusan.
Untuk meneliti variabel-variabel spesifik yang mempengaruhi perkembangan anak,
Thord Erasrnie, mulai dengan membahas grandtheory tentang sosiolinguistics dan teori-teori
perkembangan bahasa, seperti dari: Piaget, behaviorisme, Skinner, Osgood dan Chornsky. Dalam
konseptualsasi teoretiknya Erasmie menjawab, apakah dia menampilkan konsep polair atau
sintesis. Setelah grandconcept dia tampilkan, dia mulai menjabarkan tentang variabel-variabel
spesifik yang ditelitinya.
Disertasi Noeng Muhadjir berangkat dari grandtheory qullukum roin, setiap kamu adalah
pemimpin. Grandtheory disiplin lain yang mempertajam konseptulisasi tersebut dihimpun,
seperti: teori sosiologi fungsionalisme sosial dan teori kepemimpinan situasional. Penajaman
konsep juga dilakukan dengan menampilkan tiga kontroversi: pertama, pemuka pendapat itu
lebih setia pada norma kelompok ataukah lebih tanggap terhadap pembaharuan, kedua: pelnuka
pendapat itu monomorphik ataukah polimorphik, dan ketiga: pemuka pendapat itu pilah dari
struktur kekuasaan atau menjadi bagian dari siruktur kekuasaan. Dari grandconcepts tersebut
Noeng Muhadjir menguji peran sejumlah variabel terhadap ke-pemuka pendapatan seseorang;
dan sekaligus dicari faktor-faktor yang berperan terhadapnya. Sosok kepemimpinan yang
dideskripsikan oleh Noeng Muhadjir terbatas pada kepemimpinan pemuka pendapat pada daerah
pedesaan Jawa Tengah.
El Yasa Abubakar berangkat dari grand- instrument: Al-Qur’an dan Sunnah sebagai
dalil, dan kajian seunantik, ta’lili, dan pertimbangan kemaslahatan sebagai pola penalaran.
Grandconcepts yang ditampilkan oleh Abubakar adalah: Al-Qur’an haruslah difahami
sebagaikeseluruhan, ditelaah secara tematik, ditelaah dalam satuan konsep yang besar.
Pergeseran. pemahaman ulama dipandang sebagai bagian dari perkembangan sejarah, yang
notabene secara implisit mengandung makna bahwa pemahaman para pakar pada masa mutakhir
ini mungkin saja.
Agak berbeda dengan keempat disertasi tersebut di atas, disertasi Ahmad Tafsir bukan
berangkat dari grandconcepts, melainkan berangkat dari kerangka fikir Model Evaluasi. Ahmad
Tafsir mengetengahkan: 1) dasar sistematisasi penelaahan, 2) menetapkan kriteria evaluasi, dan
3) menetapkan obyek evaluasinya.
Kerangka fikir model evaluasi tersebut menentukan cara penyajian disertasinya.

E. SISTEMATIKA MODEL POSTULASI (MODEL D)


Model yang penulis sebut sebagai model D ini adalah ekstensi dari model C. Model C
berangkat dari pengrangkaan grand-theory atau grandconcept(s), sedangkan model D ini
membangun suatu konseptualisasi lebih jauh lagi, yaitu berangkat dari proposisi universal untuk
melandasi semua konstruksi pemikiran lebih lanjut. Pada model C, pengrangkaan
grandconcept(s) lebih bersifat rambu-rambu, pada model D ini telah ditampilkan eksplisit
sebagai aksioma, postulat, atau tesis mayor.
Sebagai contoh disajikan tulisan pakar ekonomi Islam, Haider Naqvi, yang guru besar
sekaligus konsultan OECD. Bukunya (yang penulis sebut: bukan disertasi tetapi sangat inspiratif
untuk disertasi) yang berjudul Ethics and Economics: An Islamic Synthesis, menyajikan konsep
ekonomi Islam bertolak dari aksioma etika Islam. Naqvi bekerja secara deduktif dengan
pendekatan aksiologik.
Naqvi memulai kerjanya dengan membangun kerangka aksiologiknya; menjelajahi
berbagai sumber untuk membangun sistem aksioma dan.sistem etika Islam. Dilanjutkan dengan
upaya membangun sistem ekonomi Islam bertolak dari aksioma etika Islam. Operasionalisasi

136
ekonomi Islam disajikan di bagian ketiga. Bagian keempat membahas tentang peluang
realisasinya. Proporsi pembahasan keempat bagian tersebut berbanding antara 32 : 30 : 76 : 30.
Model dari Naqvi ini dapat dipakai sebagai inspirasi bagi para ilmuwan yang hendak
mengembangkan ilmu (termasuk pembuatan disertasi) yang melandaskan diri pada pandangan
yang mencitakan ilmu hendaknya bertolak dari Weltanschaung, bagus untuk dipakai para
penganut realisme metaphisik. Hal ini bila dikaitkan dengan model-model pengembangan ilmu
multidispliner dan interdispliner prosedur kerja dari Naqvi ini penulis sebut sebagai model
postulasi.

F. SISTEMATIKA MODEL BAKU KUALITATIF (MODEL E)


Sistematisasi model E berbeda sama sekali dari model-model yang disebut terdahulu.
Model-model terdahulu dapat di-baku-kan dengan istilah-istilah: masalah, kerangka teori,
metodologi, analisis, kesimpulan, dan lainnya; untuk model E ini menggunakan dasar
sistematika yang berbeda. Sistematika model E unit-unitnya atau bab-babnya disesuaikan dengan
sistematika substansif obyeknya.
Sebagai contoh penulis ambil disertasi Karel A. Steenbrink (1974) Recente
Ontwikkelingen in Indonesisch Islam Ondericht, yang diterjemahkan menjadi Pesantren,
Madrasah, dan Sekolah (1986). Bab I membahas tentang lembaga pendidikan, Bab II membahas
profil guru, Bab III membahas materi pelajaran, dan Bab IV membahas peran pendidikan umum
menurut pandangan para pakar Islam. Perlu ditonjolkan di sini, bahwa model ini tidak
memilahkan antara kerangka teoritik, data, dan analisis. Pada setiap bab, data, dan analisis,
pemikiran teoretik, dan kesimpulan diramu-padukan menjadi satu dalam bab itu sendiri. Itulah
model E, atau. model yang mendasarkan pada metodologi penelitian dengan pendekatan
phenomenologi.
Disertasi Imam Bawani tentang Pesantren Anak-Anak di Sidayu Gresik menggunakan
pendekatan kualitatif model paradigma naturalistik. Esensi tentang latar belakang keluarga santri
(yang notabene usia para santri baru 3-5 tahun), diketemukan lewat wawancara intensif pada
orang tua masing-masing tentang tingkat pendidikan orang tuanya, pekerjaannya, status
sosialnya serta ragam motivasi mengirim anaknya yang masih balita tersebut ke PP Anak-Anak
Sidayu (Bab IV). Kasus-kasus menarik tentang anak-anak usia balita di PP diperoleh lewat
wawancara dengan parawali asuh, yang tugas mereka termasuk memandikan santri, menemani
bermain, memberi makan, dan mencuci pakaian santri. Para wali asuh diberi anak asuh sesuai
dengan tingkat keberhasilan mengasuh anak-anak balita. tersebut, ada yang hanya 9 anak asuh,
dan ada yang sampai 37 anak asuh (Bab V). Telaah induktif emperik untuk mencari esensi
tersebut dilakukan lebih jauh pada aktivitas pendidikan (Bab VI), tentang lingkungan pesantren
(Bab VII), kelanjutan studi (Bab VIII), pelacakan hasil studi lanjut (Bab IX), dan kesimpulan dan
rekomendasi (BabX). PP Anak-Anak merupakan salah satu alternatif model pendidikan agama
bagi anak-anak usia balita; alternatif model lain adalah TPA atau Taman Pendidikan Ai Quran
atau TK Al Qur’an.
Dengan rumusan ringkas dapat dideskripsikan bahwa model A, B, C, dan D membagi
unit-unit bab-babnya berdasar sistematika instrumentatif., masalah, tujuan, kerangka teori, data,
analisis, dan kesimpulan; sedangkan model E membagi unit-unit bab-babnya berdasar
sistematika substansif obyeknya itu sendiri. Steenbrink misalnya, membagi unitnya menjadi:
masalah kelembagaan, masalah guru, dan masalah kurikulum.
Contoh lain dapat diambil dari bukunya Sundhaussen Politik Militer Indonesia
1945-1967. Dengan pendekatan historis dia membagi unit-unitnya menjadi kurun 1945 - 1949;
kurun 1950 - 1958; kurun 1957 - 1962; kurun 1962 - 1965; dan kurun 1965 - 1967. Seperti juga
model dari Steenbrink, data, analisis, pemikiran teoretik, dan kesimpulan diselesaikan pada
setiap bab atau malahan pada setiap paragraf Kesimpulan-kesimpulan pada setiap bab atau
mungkin juga pada sejumlah paragraf, disatupadukan oleh Sundhaussen dalam bab terakhir.

137
Sistematika dari ldris A. Kesuma danjuga Hidayat Mukmin sepintas mirip dengan
Sundhaussen. Bedanya: pada ldris dan Hidayat unit-unit historik diletakkan menjadi bagian dari
pembahasan teoretik dan analisis (ldris) atau menjadi bagian dari analisis dan kesimpulan
(Hidayat), sedangkan pada Sundhausen pada setiap kurun waktu di bahas dalam satu bab: baik
mengenai datanya, analisisnya, keterkaitannya dengan teori yang sudah ada, dan kesimpulannya.
Sedangkan sistematisasi pokok: perumusan masalah, tujuan penelitian, dan sebagainya tetap
menggunakan model positivistik; sehingga model ldris A. Kesuma dan Hidayat Mukmin penulis
masukkan pada model B, model positivistik dengan modifikasi.

G. SISTEMATIKA MODEL STRUKTURALISME SEMANTIK (MODEL F)


Pengalaman penulis menghadapi tuntutan atau lebih tepat harapan bimbingan para
penyusun disertasi yang memilih telaah teks atau dalam terapan lebih spesifik telaah bahasa dan
sastra, membuat penulis menjadi terlibat sangat intensif pada telaah teks dalam penulisan
disertasi. Telaah model F ini. terkait langsung dengan bagian keenam. Setidaknya ada tiga
disertasi yang akan penulis contohkan di sini. Pertama, disertasi Dr. Said Mahmud yang meng-
gunakan pendekatan strukturalisme semantik model telaah heuristik dalam mencari karakteristik
amal shaleh di dalam Al Quran. Kedua, disertasi Dr. Radhi yang menggunakan pendekatan
strukturalisme semantik dengan model telaah hermeneutik dalam mengklasifikasikan kisah-kisah
yang ada di dalam Al Quran. Sebagai pembanding penulis tampilkan pula disertasi Amiur
Nurudin.
Disertasi Said Mahmud: Konsep Amal Saleh dalam Al Qur’an. Telaah Etika Qur’ani
dengan Metode Tafsir Tematik menggunakan telaah tematik atau tafsir maudui, berupaya
mengumpulkan dan memadukan nash (dalam hal ini khusus ayat-ayat Al Qur’an) yang berbicara
tentang terna amal shaleh. Kata amal shaleh disebut banyak kali dalam Al Qur’an. Amal yang
dapat dikatakan baik, diangkat kriterianya dari surmah Rasul, yaitu: memberi manfaat pada si
pelaku, pada keluarga, atau pada ummatnya. Di samping itu dibangun pula amal shaleh atas dua
kriteria, yaitu: lahir dari keikhlasan si pelaku dan adanya nilainilai kebaikan dalam makna
aqidah, muamalah, dan akhulaq (telaah di Bab II).
Untuk mencari karakteristik operasional dari amal shaleh Said MahMud mencari kata
kunci dalam Al Qur’an yang semakna dengan perbuatan dan kebaikan atau perbaikan (terkumpul
13 kata kunci). Selanjutnya term-term di dalam Al Qur’an dihimpun yang mempunyai makna
perbuatau dan kebaikan atau perbaikan ditinjau dari kriteria baik dalam makna aqidah,
muamalah, atau akhlaq; untuk masing-masing terkumpul 7, 21, 10 term (telaah di Bab 111). Dari
term-term beserta kriteria tersebut dikaji lebih jauh tentang tujuan amal shaleh (Bab IV), dan
dikaji pula keterkaitan amal shaleh dengan fungsi manusia sebagai khalifah di dunia (Bab V).
Bab VI berisi kesimpulan dan penutup.
Disertasi M.Radhi Al Hafid Nilai Edukatif Kisah Al Qur’an menggunakan pendekatan
strukturalisme semantik dengan model telaah hermeneutik atau semiotik. Kisah-kisah yang ada
di dalam Al Qur’an secara retroaktif atau hermeneutik diangkat dan di klasterkan ke dalam tiga
klaster, yaitu: kisah sejumlah Nabi, kisah para kaum, dan kisah sketsa kehidupan (Bab II). Radhi
tidak mengangkat dari term-term atau dari ayat-ayat, melainkan dari keseluruhan kisah
penciptaan Adam a.s., misalnya, yang tersebar pada 5 surah dengan 10 ayat. Kisah kaum Luth
yang mengundang azab Allah, yang tersebar dalam 9 surah dan terdiri lebih dari 20 ayat. Kisah
sketsa kehidupan tentang permusuhan abadi antara manusia dengan setan, tersebar dalam 2 surah
yang terdiri atas 9 ayat. Dari pengklasteran kisah-kisah dikaji nilai edukatifinya dengan telaah
model interaksi simbolik, dengan cara mencari amanat sentral dari kisah-kisah tersebut (Bab III
A dan B). Dari pengkajian tentang cara-cara kisah tersebut disajikan, dapat diangkat strategi
belajar-mengajar nilai-nilai kebaikan (Bab III C). Bab II dengan judul Spesifikasi Semiotik
mencakup telaah sebanyak 280an halaman; sedangkan Bab III dengan judul Pematangan Hati
Nurani mencakup telaah 160an halaman. Pada Bab IV dengan judul Penutup menampilkan

138
Kesimpulan (7 halaman), Dalil-dalil sebanyak 13 dalil (lebih dari 40 halaman), dan Saran-saran
(4 halaman).
Disertasi Amiur Nuruddin: Konsep Keadilan dalam Al Qur’an dan Implikasinya terhadap
Tanggung Jawab Moral menggunakan pendekatan strukturalisme semantik pula dalam telaahnya
mencari konsep keadilan menurut Al Quran. Titik berangkatnya heuristik, yaitu mencari
term-term yang memiliki arti mirip adil. Selanjutnya secara tematik dikumpulkan ayat-ayat yang
berisi term atau turutan term tersebut. Pemahaman ayat-ayat dikaitkan dengan konteksnya, dan
lain-lain menjadikan kajiannya dapat diartikan sudah bergeser dari telaah hereustik menjadi
telaah hermeneutik. Upayanya mencari konsep keadilan dengan telaah hermeneutik menjadi
lebih nampak karena Nurudin mencari padanan yang berlawanan dengan keadilan, yaitu
kezaliman. Dilanjutkan dengan telaah Implikasi Keadilan terhadap Tanggung Jawab Moral.
Baik disertasi Said Mahmud maupun Amiur Nurudin mensistematisasikan telaahnya
dimulai dari konsep pokoknya Amal Shaleh ataupun Keadilan di Bab II, dan membuat telaah
semantik pada Bab III-nya. Tujuan dan Fungsi dari konsep tersebut disajikan dalam Bab IV dan
V pada S. Mahmud dan dalam Bab IV saja pada A. Nurudin.

H. BANGUNAN KRITIK DENGAN PENDEKATAN REALISME METAPHISIK


(MODEL G)
Natsir Mahmud dalam disertasinya: Studi Al Quran dengan Pendekatan Historisisme dan
henomenologi. Evaluasi terhadap Pandangan Barat tentang Al Quran berupaya membuat
evaluasi terhadap pandangan Barat yang menggunakan pendekatan historisisme yang orientalis,
dan yang menggunakan pendekatan phenomenologi yang Islamolog (Baca kembali bagian
keenam buku ini). Agar pembaca teringat kembali apa orientalis dan apa Islamolog, akan penulis
uraikan ringkas disini. Orientalis dalam studinya menggunakan kerangka fikir teoretik Barat
(dalam hal studi budaya dan agama lain menggunakan kerangka fikir teoretik budaya Barat dan
agama Kristen); sedangkan Islamolog, yang termasuk dalam kelompok yang menggunakan
pendekatan phenomenologik berupaya untuk memahami obyek penelitiannya sesuai pemaknaan
subyek pendukung budaya atau agamanya. Peneliti Islamolog berupaya mendeskripsikan surga
sebagaimana Islam mengajarkan, misalnya. Tetapi ternyata para phenomenolog tetap saja ada
pemaknaan yang salah tentang Al Qur’an; apalagi historisisme.
Kritik ataupun evaluasi Natsir Mahmud, penulis baca selaku promotor terkesan bersifat
defensif dan terkesan sekedar membuat klarifikasi dan sekaligus berupaya meluruskan menurut
ajaran Islam. Untuk menghindari kesan tersebut penulis selaku promotor menawarkan suatu cara
mengevaluasi yang memiliki landasan filosofik yang kuat, yang bukan positivisme (filsafat ilmu
yang digunakan para orientalis) dan yang bukan phenomenolog (filsafat ilmu yang digunakan
para Islamolog). Bangunan yang melandasi evaluasi sekaligus koreksi atas tafsir Barat tentang
Al Qur’an adalah realisme metaphisik. Menurut realisme metaphisik kebenaran itu merentang
dari yang sensual sampai yang transenden. Kebenaran substantif pada dataran transenden
misalnya, jangan direduksi menjadi kebenaran yang logik-historis, misalnya.
Dari model G tersebut penulis mengimbau agar dalam upaya membuat kritik atau
evaluasi hendaknya dilandasi oleh bangunan dasar yang kokoh, entah sama dengan yang
digunakan oleh yang dikritik atau dievaluasi, ataupun berbeda. Bangunan dasar tersebut dalam
konsep penulis adalah paradigma pemikiran. Paradigma pemikiran realisme metaphisik dapat
menjadi sistematisasi telaah kajian disertasi atau tesis atau karya ilmiah lain. Realisme
metaphisik mengakui bahwa alam semesta ini teratur; dan. merentang dari keteraturan sensual
sampai keteraturan transenden. Realitas yang teratur tersebut tidak dapat segera tertangkap oleh
akal fikir ilmuwan, sehingga ilmuwan bergerak secara probabilistik dari teori satu ke teori lain,
dari tesis satu ke tesis lain. Agar cakupan tangkapan ilmuwan terhadap realitas itu dapat besar
atau malahan sangat besar, maka ilmuwan penganut realisme metaphisik akan memberangkatkan

139
telaahnya dari grand theory yang perlu diuji lewat uji falsifikasi mencari kebenaran substantif
esensial.

I. REINTERPRETASI HISTORIS DAN INTERPRETASI SOSIOLOGIS (MODEL H)


Penulis mencermati buku Paradigma Islam Interpretasi untuk Aksi hasil rekaman dan
sistematisasi tulisan-tulisan Kuntowijoyo sebagai sejarahwan khusus tentang Islam di Indonesia,
tidak saja mendeskripsikan sejarah Islam di Indonesia, melainkan ada upaya menyadarkan
ummat Islam tentang perannya untuk masa depan. Karena itu penulis dapat merekomendasikan
sebagai model telaah sejarah, yang sifatnya reinterpretatif. Dari segi isi substansinya, data
pendukungnya, sistematisasi telaahnya dan interpretasinya buku tersebut layak dijadikan contoh
karya ilmiah (untuk disertasi) yang berupaya membuat reinterpretasi historis dengan tujuan
mengaktuansasikan cita normatif Islam sebagai gerakan sosial menuju masa depan.
Disertasi Amin Syukur tentang Zuhud penulis minta selaku promotor untuk
dipertimbangkan fungsi telaahnya bagi masa depan ummat, jangan hanya mendeskripsikan
zuhud di masa lampau. Dengan mencermati kembali jiwa nash dalam Al Qur’an, Amin Syukur
berupaya membuat reinterpretasi zuhud bagi masa depan.
Sejumlah ilmuwan sukses menjadi penulis, seperti Peter Drucker, John Naisbitt, Alvin
Toffler, Paul Kennedy, Daniel Bell, dan lain-lain. Dengan paradigma yang berbeda-beda, dan
sering kali kontroversial membuat reinterpretasi masa lampau, interpretasi masa kini, dan
membuat prediksi masa depan. Pemikirannya yang kontroversial tetapi tajam ternyata
mengundang minat kita untuk membacanya. Membuat karya ilmiah (termasuk disertasi) bukan
mustahil menggunakan model H ini. Membuat interpretasi atas interpretasi. Menarik. Para
promovendi harap ingat bahwa pada bagian pengesahan disertasi yang lengkap semestinya ada
kalimat berikut: Diterima dengan keberatan Senat Guru Besar atau Tim Penguji. Maknanya
adalah: disertasi tersebut dapat diterima, meskipun ada perbedaan pendapat antara promovendus
dengan tim penguji.
Diterima karena paradigma pemikirannya diakui cukup rasionai; tetapi anggota tim
penguji mungkin mempunyai paradigma pemikiran yang berbeda.
Membuat interpretasi atau membuat prediksi masa depan atau mencari makna masa
lampau bagi masa depan, nampaknya akan sangat menarik bagi telaah sosiologi perubahan
sosial.
Buku Ronald Inglehart, 1990, Culture Shiji in Advanced Industrial Society, merupakan
buku yang ditulis dengan model H ini. Interpretasinya memanfaatkan hasil survei sejak tahun
1970 sampai tahun 1981 mulai di Eropa dan dilanjutkan pada 25 negara di dunia.
Pada berbagai forum pernah penulis lemparkan gagasan bagaimana buku teks Sejarah
Indonesia pada periode yang selalu saja disebut masa penjajahan, direinterpretasi sebagai masa
perlawanan terhadap kolonialisme atas kenyataan bahwa memang kolonial Barat di Indonesia
selalu saja mendapat perlawanan di seluruh Nusantara, sejak-Belanda pertama kali menginjakkan
kakinya di Indonesia, dan perlawanan phisik baru berakhir pada Perang Aceh, awal abad XX.
Itupun dilanjutkan dengan perlawanan politik lewat Boedi 6etomo tahun 1908 sampai Indonesia
merdeka. Dari reinterpretasi sejarah tersebut dimaksudkan agar generasi muda tumbuh watak
kejuangan berkelanjutan untuk melawan penindasan dan watak kejuangan untuk menjangkau
sukses masa depan, dan bangga sebagai bangsa yang tidak pernah dapat ditundukkan penuh oleh
bangsa lain.
Juga pernah penulis mengajak para peneliti sastra istana untuk membuat-reinterpretasi
tentang ajaran-ajaran yang dikatakan ajaran yang berakar pada budaya daerah yang patut
dilestarikan. Apakah benar itu watak kita: wani ngalah duwur wekasane? Apakah itu bukan
ajaran sublimasi karena ketidakmampuan melawan kolonial: tampilannya kalah terus, dan tidak
tahu kapan menangnya.

140
J. TERAPAN TEKNIS METODOLOGIS (MODEL 1)
Telah berkali-kali penulis kemukakan dalam buku ini bahwa untuk pendekatan
kuantitatif statistik sudah ada sistematika baku: berupa Perumusan Masalah, Telaah Teoretik
atau Kajian Hasil Penelitian Terdahulu, Telaah Metodologik termasuk Instrumentasi, Laporan
Penelitian termasuk Analisis, Kesimpulan, dan Saran (Model A sampai dengan D). Dalam
penelitian kualitatif dengan paradigma kualitatif, sistematika ditata sesuai dengan substansi
telaahnya, bukan menggunakan sistematisasi baku. (Model E sampai dengan H). Dari
pengalaman penulis sebagai promotor disertasi ternyata dalam penelitian kualitatif sistematisasi
penulisan dapat didasarkan pada teknik metodologi. Sebagai contoh disertasi Ridlwan Nasir,
1995, Dinamika Sistem Pendidikan, menggunakan teknik multi-case, di mana sistematikanya
disusun berdasar kasus-kasus Denanyar (Bab III), Darul Ulum (Bab IV), Tambak Beras (Bab V),
dan Tebuireng (Bab VI), di mana pada setiap kasus disajikan datanya, dianalisis, dan
disimpulkan. Kesimpulan di masing-masing bab diangkat untuk disatukan sebagai Kesimpulan
menyeluruh dilengkapi dengan Saran-saran dan disajikan tersendiri dalam Bab VII.
Berbeda dengan disertasi Mastuhu, 1994, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren yang
multi-site, di mana sistematisasi telaah menjadi Gambaran Umum Pesantren, Gambaran Khusus
Pesantren; dan barulah pada Bab V dibuat Kesimpulan dan Saran. Gambaran umum ataupun
khusus tersebut mencakup 6 Pondok Pesantren, yaitu: Guluk-Guluk, Sukorejo, Blok Agung,
Tebuireng, Paciran, dan Gontor. Secara keseluruhan disertasi Mastuhu menggunakan
sistematisasi model baku A; sedangkan cara penelitiannya menerapkan model grounded
research, suatu model yang merintis berfikir kualitatif.

141
DAFTAR REFERENSI

(Dibatasi yang langsung relevan, dan dianjurkan untuk dibaca)

Abdullah, Taufik., dan Karim, M.Rusli (ed), 1989, Metodologi Penelitian Agama, Yogyakarta:
P.T. Tiara Wacana.

Blumer, Herbert,-, Symbolic Interactionism Perspective and Method, Englewood Cliffs, New
Jersey : Prentice Hall, Inc.

Bogdan, Robert C., and Biklen, Sari Knopp, 1982, Qualitative Research for Education: An
Introduction to Theory and Methods, Boston: Allyn and Bacon, Inc.

Burroughs, G.E.R., 1974, Design and Analysis in Educational Research, Birmingham: Universit
y of Birmingham

Carney, T.F., 1972, Content Analysis, London: B.T.Batsford Ltd.

Cohen, Moff is R. and Nagel, Ernest. (Abridged Ed.), 1947, An Introduction to Logic and
Scientific Method, London: George Routledge & Sons, Ltd.

Denzin, Norman K., and Lincoln, Yvonna S., 1994, Handbook of Qualitative Research,
Thousand Oaks London: Sage Publications.

Faruqi, Ismail R. al, and Faruqi, Lois Lamya al, 1986, The Cultural Atlas of Islam, New York:
McMillan Pub. Co.

Fetterman, David M., 1991, Using Qualitative Methods in Institutional Research, San Francisco:
Jossey-Bass Inc., Pub.

Glaser, Barney G.,.and Strauss, Anselm The Discovery of Ground Theory. Strategies for
Qualitative research, Chicago: Aldine Pub.Co.

Goetz, Judith P., and LeCompte, Margaret., 1984, Ethnography and Qualitative Design in
Educational Research, New Jersey: Academic Press, Inc.

Harland, Richard., 1987, Superstructuralism: The Philosophy of Structuralism and


Post-Structuralism, London and New York: Methuen.

Hawkes. Terence., 1978, New Accents: Structuralism and Semiotics, London: Methuen &
Co.Ltd.

International Institute of Islamic Thought, The., 1989, Toward Islamization of Disciplines, USA:
Herndon, Virginia.

Jabrohim (ed.), 1994, Teori Penelitian Sastra, Yogyakarta: Masyarakat Poetika Indonesia &
IKIP Muhammadiyah.

Kirk, Jerome., and Miller, Marc L., 1986, Reliability and Validity in Qualitative Research,
California, Beverley Hills: Sage Publications.

142
Krippendorff, Klaus., 1980, Content Analysis: An Introduction to Its Methodology, California,
Beverley Hills: Sage Publications.

Kuhn, Thomas., 1970, The Structure of Scientific Revolutions, Chicago: The University of
Chicago Press.

Kuntowijoyo, 1991, Paradigma Islam, Interpretasi untuk Aksi, Bandung: Penerbit Mizan.

Leiter, Kenneth, 1980, A Primer on Ethnomethodology, Oxford: Oxford University Press.

Lincoln, Yvonna S., and Guba, Egon G., 1085, Naturalistic Inquiry, California, Beverley Hills:
Sage Pub.

Norris, Christopher., 1983, Deconstruction: Theory and Practice, London and New York:
Methuen.

Manis, Jerome G., and Meltzer, Bernard N., 1978, Symbolic Interaction: A Reader in Social
Psychology, Boston: Allyn and Bacon, Inc. ,

Miles, M.B., and Huberman, A.M., 1984, Qualitative Data Analysis, California, Beverley Hills:
Sage Pub.

Noeng Muhadjir, 1983, Kepemimpinan Adopsi Inovasi untuk Pembangunan Masyarakat,


Yogyakarta: Rake Sarasin.

_________-, 1983, Teori Perubahan Sosial, Yogyakarta: Rake Sarasin.

_________-, 1976, Logika Formil dan Logika Matematik, Yogyakarta: Rake Sarasin.

_________-,__ . Filsafat Ilmu, (Naskah belum diterbitkan, dan sedang. terus diperkembangkan).

Popper, Karl R., 1983, Realism and The Aim ofScience, New Jersey: Rowman and Littlefield.

Steenbrink, Karil A., 1988, Mencari Tuhan dengan Kacamata Barat, (Jilid I dan 11),
Yogyakarta: IAIN Suka Press.

Sumaryono, E., 1995, Hermeneutik. Sebuah Metode Filsafat, Yogyakarta: Kanisius.

Suppe, Frederick., 1977, The Structure of Scientific Theories, Urbana: University of Illinois
Press.

Verhaak, C., dan Haryono Imam, 1995, Filsafat Ilmu Pengetahuan. TelaahAtas Cara Kerja
Ilmu-ilmu, Jakarta: Gramedia.

143
DAFTAR DISERTASI YANG DITELAAH
Al Yasa Abubakar, 1989, Ahli Waris Sepertalian. Darah Kajian Perbandingan terhadap
Penalaran Hazairin dan Penalaran Fiqih Mazhab Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga**

Ny. Asma Affan, MPA, 1988, Kajian tentang Kepemimpinan Institusional di Propinsi Sumatera
Utara dan Sumatera Barat, Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada

Imam Bawani, 1995, Pesantren Anak-Anak Sidayu, Gresik, Jawa Timur. Studi tentang Sistem
Pendidikan dan Perkembangannya, Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga

Thord Erasmie, 1975, Language Development and Social Influence, Linkoping, Sweden:
Universitetet I Linkoping

Saidun Fiddaroini, 1995, Tulisan Bahasa Arab yang Sempurna dan Implikasinya dalam
Pengajaran Bahasa Arab, Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga**

W.M.F. Hofsteede, 1971, Decision Making Processes in Four West Javanese Villages,
Nijmegen: De Katholieke Universiteit te Nijmegen

Tjokorde Raka Joni, 1972, Hubungan antara Sejumlah Faktor Kognitif dengan Prestasi
Akademik pada Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Malang, Malang: IKIP Malang

ldris A Kesuma, 1980, Suatu Studi tentang Hubungan Indonesia-Belanda tahun 1945-1950,
Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada

M. Ridlwan Nasir, 1996, Dinamika Sistem Pendidikan. Studi di PondokPondok Pesantren


Kabupaten Jombang Jawa Timur, Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga**

Moh. Natsir Mahmud, 1992, Studi Al Quran dengan Pendekatan Historisisme dan
Phenomenologi. Evaluasi terhadap Pandangan Barat tentang Al Qur’an, Yogyakarta:
IAIN Sunan Kalijaga **

Mastuhu, 1994, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren. Suatu Kajian tentang Unsur dan Nilai
Sistem Pendidikan Pesantren, Jakarta: Indonesian Netherlands Cooperation in Islamic
Studies

Hidayat Mukmin, 1989, Peran Serta ABRI dalam Merumuskan dan Melaksanakan Politik Luar
Negeri Indonesia. Studi Kasus Penyelesaian Konfrontasi Indonesia-Malaysia,
Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada

Noeng Muhadjir, 1982, Identiflikasi Faktor-Faktor Kepemimpinan Adopsi Inovasi untuk


Pembangunan Pedesaan, (Disertasi disiapkan teori dan metodologinya di Harvard
University, penelitiannya di Jawa Tengah, dipertahankan di IKIP Yogyakarta)

Syed Nawab Haidar Naqvi, 198 1, Ethics and Economics: An Islamic Synthesis, (bukan disertasi,
tetapi sangat inspiratif untuk model disertasi), London: The Islamic Foundation

Amiur Nurudin, 1995, Konsep Keadilan dalam Al Quran dan Implikasinya terhadap
Tanggungjawab Moral, Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga *

144
Bambang Purnomo, 1985, Pelaksanaan Pidana Penjara dengan Sistem Pemasyarakatan,
Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada

M. Radhi Al Hafid, 1995, Nilai Edukatif Kisah Al Quran, Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga **

Karel A.Steenbrink, 1974, Recente Ontwikkelingen in Indonesisch Islam Ondericht,


(diterjemahkan dengan judul: Pesantren, Madrasah, dan Sekolah), Nijmegen: De
Katholieke Universiteit te Nijmegen,

Ulf Gundhaussen, - , The Road to Power: Indonesian Military Politics 1945 -.1967 (sebagian
besar didasarkan pada disertasinya yang berjudul: The Political Orientation and
Political Involvement of The Indonesian Corps 1945 - 1966: The Siliwangi Division
and Army Headquarters, 197 1, Melbourne: Monash University), Oxford University
Press. Diterjemahkan 1982 dengan judul Politik Militer Indonesia 1945 - 1967.

Amin Syukur, 1996, Aplikasi Zuhud dalam Sorotan Al Quran, Yogyakarta: IAIN Sunan
Kalijaga, **

** penulis sebagai promotor, umumnya promotor metodologik

* penulis sebagai penguji

145

Anda mungkin juga menyukai