Anda di halaman 1dari 11

Analisis Kritis: Persepsi Teori dan Realitas

Akad Wadiah di Indonesia

Dosen Pengampu: Dr. Lilik Purwanti, SE., M.Si., CSRA., Ak., CA.

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Ujian Tengah Semester


Mata Kuliah Metodologi Penelitian Nonpositif

Oleh:
Diny Fariha Zakhir
196020300111004

MAGISTER AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2019
1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perbankan merupakan salah satu lembaga yang sangat berkontribusi bagi
perkembangan perekonomian suatu negara. Kontribusi perbankan yaitu dengan
menjalankan fungsi utama sebagai lembaga intermediasi keuangan (Intermediary
institution) yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan
menyalurkan kepada masyarakat dalam bentuk kredit bagi bank konvensional, dan
pinjaman bagi bank yang menggunakan sistem syariah.

Dewasa ini, di Indonesia perbankan syariah masih terus berkembang. Diberitakan


dalam sebuah laman berita online (Else; 2019; Peminat Perbankan Syariah di
Indonesia Masih Rendah; https://www.gatra.com/detail/news/445824/ekonomi/
peminat-perbankan-syariah-di-indonesia-masih-rendah; diakses 13 Oktober 2019)
Meskipun Indonesia merupakan negara dengan penduduk muslim terbanyak, namun
sampai sekarang perbankan syariah memiliki market share lebih rendah dibandingkan
perbankan konvensional. Hal tersebut disebabkan karena masyarakat indonesia masih
belum memahami tentang pengelolaan dana di perbankan syariah, selain itu
masyarakat di Indonesia juga bebas memilih jenis perbankan yang mereka minati.

Walaupun perbankan syariah di Indonesia masih kurang peminatnya, namun pem


inat perbankan syariah terus berkembang, hal ini terbukti dari sebuah laman berita
online (Jayani, DH; 2019; Berapa Aset Perbankan Syariah dan Konvensional?; https://
databoks.katadata.co.id/ datapublish/ 2019 /09 /20 /berapa-asetperbankansyariah-dan-
konvensional; diakses 13 Oktober 2019) dari data statistik Otoritas Jasa Keuangan
(OJK) pada tahun 2018, aset bank syariah tumbuh 12,5% (yoy) menjadi Rp 477 triliun
dibandingkan 2017 sebesar Rp 424 triliun. Pertumbuhan rata-rata aset bank syariah
secara umum lebih tinggi daripada bank konvensional, yaitu sebesar 18,81% pada
tahun 2012-2018. Sejalan dengan perkembangan aset bank syariah, penetrasi bank
syariah sejak 2014 terus meningkat. Pada tahun 2014, penetrasi bank syariah baru
mencapai 4,85% dari total industri perbankan. Pada tahun 2018 angka tersebut telah
meningkat menjadi 5,91%.

Perkembangan perbankan syariah tersebut, tidak terlepas dari peningkatan Dana


Pihak Ketiga (DPK) perbankan syariah di Indonesia dikutip dari laman berita online
(Jayani, DH; 2019; Berapa Dana Pihak Ketiga Perbankan Syariah Indonesia?;
https://databoks.katadata.co.id/ datapublish/ 2019/ 04/ 15/ berapa-dana-pihak-ketiga
perbankan-syariah-indonesia; diakses 13 Oktober 2019) dari data statistik Badan Pusat
Statistik (BPS), DPK perbankan syariah Indonesia mengalami pertumbuhan 70,67%
dari Rp 355,32 triliun pada tahun 2014 menjadi Rp 371,83 triliun pada akhir 2018.
DPK terbesar dalam bentuk deposit mudharabah yang jumlahnya mencapai Rp 213,79
triliun atau lebih dari separuh total DPK, kemudian tabungan mudharabah yang
jumlahnya Rp 114,44 triliun atau 30,78% dari total DPK. Sepanjang tahun 2018 DPK
perbankan syariah mengalami pertumbuhan 11,03% dari posisi akhir tahun
sebelumnya. Untuk deposito mudharabh mengalami pertumbuhan sebesar 8,97%,
tabungan mudharabah juga mengalami peningkatan sebesar 16,18%, dan giro wadiah
naik sebesar 8,48% menjadi 43,6 triliun.

Perkembangan perbankan syariah tersebut sejalan dengan pertumbuhan jumlah


DPK akad wadiah. Terbukti dari data statistik OJK, pada awal tahun 2019 jumlah DPK
akad wadiah yaitu sebesar Rp 27 Miliar meninggkat menjadi Rp 31 Miliar pada juli
2019. Peningkatan ini dimungkinkan karena perspektif nasabah terhadap akad wadiah
itu sendiri. Akad wadiah dinilai sebagai produk perbankan syariah yang paling syariah,
karena di dalam tidak terdapat penambahan kecuali bersifat bonus maupun
pengurangan dana yang kita simpan. Hal tersebut karena akad wadiah merupakan akad
titipan.

Muslim (2015), dalam bukunya menjelaskan, secara terminologi, terdapat dua


definisi wadiah yang dikemukakan oleh pakar fikih yaitu Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan
Hambali. Ulama Hanafi menjelaskan wadiah sebagai keikutsertaan orang lain untuk

2
memelihara harta, baik secara tersurat maupun tersirat. Sedangkan menurut Syari’i,
Maliki dan Hambali, wadiah adalah menyerahkan harta kepada orang lain sebagai
wakil untuk memelihata harta tersebut, dengan cara tertentu. Dari definisi tersebut
secara esensi wadiah adalah menitipkan suatu harta, baik itu berupa barang atau
sejumlah uang kepada orang yang dipercaya dapat menjaga harta tersebut.

Akad wadiah berdasarkan Pasal 3 Peraturan Bank Indonesia Nomor


9/19/PBI/2007, adalah transaksi penitipan harta, baik berupa sejumlah dana maupun
bari dari pemilik harta kepada pihak yang diberikan titipan. Pihak yang diberikan
titipan berkewajiban untuk mengembalikan harti titipan tersebut kapan pun pemilik
harta ingin mengambilnya.

Akad wadiah merupakan produk penghimpunan dana berbentuk tabungan.


Berdasarkan UU No. 10 Tahun 1998 tentag perubahan atas UU No. 7 1992 tentang
Perbankan, Tabungan merupkan simpanan yang dapat ditarik berdasarkan syarat-syarat
yang telah ditentukan dan disepakati oleh pihak nasabah dan bank, tetapi penarikannya
tidak bisa dilakukan dengan menggunakan cek, bilyet giro, dan/atau alat lainnya
didipersamakan dengan itu.

Tabungan wadiah merupakan simpanan dengan akad wadiah. Tabungan wadiah


merupakan titipan murni yang mana pihak yang dititipi berkewajiban untuk menjaga
harta tersebut dan dikembalikan kapan pun pemilikinya akan mengambil harta
titipanya. Tabungan wadiah juga merupakan simpanan atau titipan pihak ketiga pada
bankyang penarikannya hanya dapat dilakukan berdasarkan syarat-syarat tertentu yang
telah disepakati antara bank dan nasabah.

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Pasal 1 angka 21 yang mengatur


perbankan syariah memberikan rumusan pengertian tabungan, yaitu simpanan yang
berdasarkan akad mudharabah atau akad lain yang tidak bertentangan dengan prinsip
syariah, penarikannya dapat dilakukan berdasarkan syarat dan ketentuan tertentu yang
disepakati, namun penarikan produk tabungan ini tidak dapat dilakukan dengan

3
menggunakan cek, bilyet giru, dan/atau alat lainnya yang sejenis atau dipersamakan
dengan itu.

Sedangan menurut Dewan Syariah Nasional (DSN) mengatur tabungan syariah


dalam fatwa Nomor 02/DSN/-MUI/IV/2000, yaitu sebagai tabungan yang tidak ada
larangan syariahnya atau dengan kata lain diperbolehkan atau dibenarkan menurut
syariah. Tabungan tersebut menggunakan akad mudharabah dan wadiah, sehingga
dewasa ini tabungan dari perbankan syariah dikenal dengan tabungan mudharabah dan
tabungan wadiah. Selain itu terdapat pengaturan dalam fatwa DSN No. 02/DSN-
MUI/IV/2000 tanggal 12 Mei 2000. Peraturan tersebut menyatakan produk perbankan
dibidang penghimpunan dana pihak ketiga, dalam hal ini masyarakat dengan bentuk
tabungan, membutuhkan peran perbankan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat
dalam meningkatkan kesejahteraan dan suatu lembaga untuk menyimpan kekayaan.

Adapun ketentuan umum tabungan berdasarkan akad wadiah menurut fatwa DSN
MUI No: 02/DSN-MUI/IV/2000 tentang Wadiah adalah bersifat simpanan, dapat
diambil kapan saja (on call) atau berdasarkan kesepakatan, dan dalam akad wadiah
tidak terdapat imbalan yang disyaratkan, kecuali dalam bentuk pemberian (‘athaya)
yang bersifat sukarela dari pihak bank.

Berrdasarkan PSAK 59 tentang Akuntansi Perbankan Syariah, akad wadiah adalah


titipan nasabah yang harus dijaga dan dikembalikan setiap saat apabila nasabah yang
bersangkutan menghendaki. Bank bertanggung jawab atas pengembalian titipan.
Wadiah dibagi atas wadiah yad-dhamanah dan wadiah yad-amanah. Wadiah yad-
dhamanah merupakan titipan yang dapat dimanfaatkan oleh pihak penerima titipan,
sedangan wadiah yad-amanah merupakan titipan yang tidak boleh dimanfaatkan oleh
penerima titipan sampai barang titipan tersebut diambil kembali oleh penitip.

Dalam teorinya dana wadiah diakui sebesar jumlah dana yang dititipkan pada saat
terjadinya transaksi. Penerimaan yang diperoleh atas pengelolaan dan titipan diakui
sebagi pendapatan bank dan bukan merupakan keuntungan yang harus dibagi.

4
Seperti yang telah disebutkan di atas, kontribusi yang diterima oleh pihak peniti
berupa fee. Pengakuan fee dalam transaksi wadiah, yaitu pertama, fee yang diberikan
kepada nasabah hanya akan diakui sebagai beban hanya ketika transaksi tersebut
terjadi. Kedua, fee yang diterima atas penempatan dana pada bank syariah lain hanya
akan diakui sebagai pendapatan apabila kas telah diterima. Ketiga, fee yang diterima
atas penempatan dana pada bank sentral hanya akan diakui sebagai pendapatan ketika
kas telah diterima. Dan Keempat, fee yang diterima atas penempatan dana di bank
nonsyariah diakui sebagai pendapatan dana qardhul hasan ketika kas diterima.

Dalam penelitiannya Abdurrauf (2012), menjelaskan penerapan akad wadiah dalam


perbankan, yaitu sebagai titipan murni yang harus dijaga dan dikembalikan kapan pun.
Wadiah adalah bentuk produk penghimpunan dana yang ada di bank syariah yang
berbentuk giro (giro syariah). Rekening giro tersebut memiliki karakteristik sebagai
pengembangan dana dari wadiah yad-dhamanah, yaitu titipan yang dapat diambil setiap
saat, dikembalikan secara utuh, terdapat pemungutan biaya, dan terdapat syarat-syarat
tertentu untuk melindungi harta titipan tersebut. Dari karakteristik tersebut,
konsekuensi produk dengan prinsip wadiah yad-dhamanah yaitu apabila terdapat
keuntungan, maka keuntungan tersebut akan diakui oleh pihak yang diberi titipan
sedangkan apabila terjadi kerugian, maka menjadi tanggung jawab pihak yang diberi
titipan. Apabila terdapat keuntungan pihak bank tidak dilarang memberikan sejumlah
insentif berupa fee, namun pemberian fee tersebut tidak disyaratkan di awal dan jumlah
yang fee yang akan diberikan tidak ditetapkan dalam jumlah nominal tertentu atau
prosentase di awal.

Tabungan dengan akad wadiah dinilai lebih adil daripada tabungan dengan akad
mudharabah, Rahmanti (2016) dalam tulisannya menjelaskan bahwa terdapat tiga
alasan akad wadiah dinilai lebih adil, pertama, apabila menggunakan akad
mudharabah, bank bukan pemilik modal yang sah melainkan sebagai pihak yang
dititipi maka kapan pun pihak yang menitip mengambil dananya maka bank harus
mengembalikan utuh, serta bank tidak bisa mengelola dana karena tidak melakukan
usaha riil. Kedua, dalam akad mudharabah bank cenderung menghindari risiko

5
kerugian, sedangkan dalam akad wadiah kontribusi yang diterima oleh pihak penitip
hanya berupa fee. Ketiga, dalam akad mudharabah pihak penitip diberikan fasilitas
kartu ATM, sehingga nasabah mampu menarik tabungannya yang sesungguhnya tidak
mungkin dapat ditarih sewaktu-waktu.

Tabungan dengan akad wadiah dewasa ini dinilai masih belum sesuai dengan teori
yang ada, hal ini terbukti dari penelitian yang dilakukan oleh Afif (2014), dalam
penelitiannya dijelaskan bahwa akad wadiah yang bersifat yad amanah yaitu titipan
murni tanpa ada penjaminan ganti rugi, sedangkan pada praktik tabungan, dinilai
bahwa akad yang tepat adalah qard. Di perbankan syariah menyatakan tabungan
sebagai akad wadiah yad-dhamanah, yang memiliki makna bertanggung jawab (ganti
rugi). Kesepakatan ulama fikih kontemporer, wadiah dasarnya adalah amanat.
Sedangkan yad-dhamanah mengandung makna tidak amanat. Dengan mengaplikasikan
transaksi wadiah yad-dhamanah berarti terdapat transaksi yang tidak amanat, hal
tersebut dalam teorinya tidak diperbolehkan.

Penelitian yang dilakukan oleh Afif bukanlah satu-satunya penelitian yang


menyatakan praktik akad wadiah di perbankan syariah masih belum sesuai dengan
yang dijelaskan pada kitab-kitab fiqih, beradasarkan penelitian yang dilakukan oleh
Aisyah (2016) menyatakan bahawa akad wadiah yang diterapkan pada perbankan
syariah di indonesia, yaitu pihak bank memanfaatkan dana nasabah untuk melakukan
berbagai proyeknya, hal ini lebih relevan dengan hukum hutang piutang. Dalam
penelitiannya Aisyah juga menjelaskan bahwa pihak bank juga memiliki kewenangan
untuk memanfaatkan barang, mengakui keuntungan dan menanggung kerusakan atau
kerugian. Hal tersebut merupakan perbedaan utama antara wadiah dan hutang piutang.
Dengan demikian hasil penelitiannya menyimpulkan fakta akad wadiah dan hukum
akad berubah menjadi akad hutang piutang dan bukan lagi akad wadiah.

Penelitian yang dilakukan oleh Novianita (2017), juga menyatakan bahwa praktek
tabungan dengan akad wadiah belum sesuai dengan teori, khususnya dalam pemberian
bonus yang diberikan kepada nasabah setiap bulanya. Penelitaiannya menyatakan

6
bahwa dalam pemberian bonus belum sesuai dengan fatwa DSN No: 02/DSN-
MUI/IV/2000 bonus tidak boleh disyaratkan di awal, namun pada penelitian yang
dilakukan oleh novianti menemukan bahwa objek penelitiannya menentukan jumlah
bonus yang akan diberikan kepada nasabah, yaitu berdasarkan jumlah saldo terakhir,
setara dengan 5%. Sementara itu dalam teorinya pemberian bonus diberikan secara
sukarela oleh pihak yang diberiti titipan, dalam hal ini bisa berupa pihak bank, koperasi,
maupun lembaga keuangan lain yang menawarkan produk tabungan dengan akad
wadiah.

Penelitian Novianita tersebut juga didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh
Rahmawati (2017), yang menyatakan bahwa praktik simpanan wadiah berjangka
memberikan bonus pada awal perjanjian. Hal ini jelas bertentangan dengan teori akad
wadiah itu sendiri, yaitu titipan. Dalam penelitian Rahmawati juga menjelaskan bahwa
simpanan wadiah menjadi produk investasi yang mengasilkan keuntungan yang mana
bertentangan dengan teori akad wadiah, dana dengan akad wadiah bukan dana yang
bisa diinvestasikan yang menghasilkan keuntungan, sekalipun dana tersebut
diinvestasikan, nasabah dan pihak yang dititipi (bank, koperasi, dan lembaga keuangan
syariah lainnya) tidak boleh saling menjanjikan untuk menghasilkan keuntungan harta
tersebut. Seharusnya simpanan dengan akad wadiah tidak menjanjikan pemberian
bonus, karena hal tersebut perbuatan yang haram, mengingat didalamnya adalah unsur
riba (tambahan) yang dilarang dalam syariah Islam.

Walaupun sudah banyak regulasi yang mengatur jalannya produk-produk bank


syariah, namun berdasarkan fenomena penelitian terdahulu, masih terdapat bank
syariah yang menjalankan produk tabungan dengan akad wadiah yang tidak sesuai
dengan peraturan yang ada.

Untuk itulah perlu adanya kajian lebih yang terus menerus sehingga dapat
dipastikab bahwa pelaksanaan bank syariah khususnya produk tabungan dengan akad
wadiah sepenuhnya dijalankan sesuai teori dan regulasi yang mengatur.

7
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan permasalahan yang telah dibahas di atas dan juga teori-teori akad
wadiah yag telah sinkat dipaparkan, maka penelitian ini akan mencoba untuk
menganalisis praktik tabungan dengan akad wadiah pada perbankan syariah di
Indonesia. Penelitian ini ingin menganalisis tentang: Apakah praktik tabungan akad
wadiah perbankan syariah di Indonesia sesuai dengan teori akad wadiah?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui dan menganalisis praktik tabungan dengan akad wadiah


yang sesuai dengan teori tabungan akad wadiah.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini diharapkan memiliki kegunaan, bagi teoritis maupun
secara praktis:

1. Bagi teoritis
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan
memperluan wawasan mengenai teori dan praktik tabungan akad wadiah.
b. Diharapkan berguna bagi pengembangan ilmu pengetahuan khususnya ilmu
yang berkaitan dengan praktik tabungan wadiah
2. Bagi Praktis, dapat dijadikan acuan oleh semua pihak yang terlibat dalam
praktik tabungan wadiah.

E. Daftar Pustaka

Abdurrauf. 2012. “Penerapan Teori Akad pada Perbankan Syariah” dalam jurnal Al-Iqtishad.
Vol 4, No 1. 2012. Hlm 15.

8
Afif, Mufti. 2014. “Tabungan: Implementasi Akad Wadi’ah atau Qard (Kajian Praktik
Wadi’ah di Perbankan Indonesia” dalam jurnal Junal Hukum Islam. Vol 12, No 2.
Desember 2014. Hlm 250.

Aisyah, Siti. 2016. “Penghimpunan Dana Masyarakat dengan Akad Wadi’ah dan
Penerapannya pada Perbankan Syariah” dalam jurnal Bisnis Syariah. Vol 5 No 1.
2016. Hlm 109.

Else. Peminat Perbankan Syariah di Indonesia Masih Rendah. (Online),


(https://www.gatra.com/detail/news/445824/ekonomi/peminat-perbankan-syariah-
di-indonesia-masih-rendah), diakses 13 Oktober 2019.

Ikatan Akuntansi Indonesia. 2019. Standar Akuntansi Keuangan Syariah. Jakarta: IAI.

Jayani, D Hadya. Berapa Aset Perbankan Syariah dan Konvensional?. (Online),


(https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2019/09/20/berapa-aset-perbankan-
syariah-dan-konvensional), diakses 13 Oktober 2019.

Jayani, D Hadya. Berapa Dana Pihak Ketiga Perbankan Syariah Indonesia?. (Online),
(https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2019/04/15/berapa-dana-pihak-ketiga-
perbankan-syariah-indonesia), diakses 13 Oktober 2019.

Muslim, Sarip. 2015. Akuntansi Keuangan Syariah: Teori dan Praktik. Bandung:
Pustaka Setia.

Novianita, Lina. 2017. Tinjauan Hukum Islam terhadap Prektek Bonus pada Akad
Wadi’ah Yad Dhamanah (Studi Kasus pada Produk Simpanan Sahabat di KSPPS
Hudatama Semarang). Semarang: Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam
Negeri Walisongo.

Rahmanti, V Nur. 2016. Akuntansi Syariah: Seri Konsep dan Aplikasi Ekonomi dan
Bisnis Islam. Jakarta: Rajawali Pers.

9
10

Anda mungkin juga menyukai