Anda di halaman 1dari 9

KESADARAN RELIGIUS DAN

SEMANGAT ILMIAH DALAM TRADISI ISLAM


Resume ini diajukan untuk memenuhi tugas UTS pada Mata kuliah
Ilmu Tauhid

Di Susun Oleh:
Muhammad Yusuf (1708101199)

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (V-A)


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SYEKH NURJATI CIREBON
Jl. Perjuangan by pass Sunyaragi Cirebon 45132 www.syekhnurjati.ac.id
2019
KESADARAN RELIGIUS DAN
SEMANGAT ILMIAH DALAM TRADISI ISLAM

Kesadaran beragama orang Islam pada dasarnya adalah kesadaran akan


keesaan Tuhan. Semangat ilmiah tidak bertentangan dengan kesadaran religius,
karena ia merupakan bagian yang terpadu dengan keesaan Tuhan itu. Memiliki
kesadaran akan Keesaan Tuhan berarti meneguhkan kebenaran bahwa Tuhan
adalah satu dalam EsensiNya, dalam Nama-nama dan sifat-sifatNya, dan dalam
perbuatan-perbuatanNya.

Semangat ilmiah para ilmuwan dan sarjana Muslim pada kenyataannya


mengalir dari kesadaran mereka akan tauhid. Tak diragukan bahwa, secara
religius dan historis, asal-usul dan perkembangan semangat ilmiah dalam Islam
berbeda dari asal-usul dan perkembangan hal yang sama di Barat. Tak ada yang
lebih baik dalam mengilustrasikan sumber religius semangat ilmiah dalam Islam
ini dari pada fakta bahwa semnagat ini pertama kali terlihat dalam ilmu-ilmu
agama.

Orang Islam mulai menaruh perhatian pada ilmu-ilmu alam secara serius
pada abad ke-3 Hijriah( abad ke-9 masehi). Tetapi pada saat itu mereka telah
memiliki sikap ilmiah dan kerangka berpikir ilmiah, yang mereka warisi dari
ilmu-ilmu agama. Semangat untuk mencari kebenaran dan objektivitas,
penghormatan pada bukti empiris yang memiliki dasar kuat, dan pikiran yang
terampil dalam pengklasifikasian merupakan sebagian ciri yang amat luar biasa
dari para ilmuwan Muslim awal sebagaimana yang dapat diliat dengan jelas dalam
kajian-kajian mereka tentang jurisprudensi (fiqh) dan hadis nabi.

Semangat Eksperimentasi dalam Sains Islam

Luasnya penggunaan logika dalam islam tidak membawa pada semacam


rasionalisme dan logisme seperti yang kita temukan di Barat modern secara persis,
karena penggunaan rasio tidak pernah dilepaskan dari keimanan pada wahyu
Illahi. Para sarjana Muslim diilhami oleh kesadaran religius yang kuat akan yang
transenden. Mereka pada umumnya meneguhkan gagasan superioritas wahyu
Illahi atas rasio manusia. Demikian pula halnya, pentngya pemikiran logis tidak
mematikan semangat eksperimentasi di kalangan ilmuwan Muslim.

Lama sebelum Roger Bacon memperkenalkan dan mempopulerkan metode


eksperimen ke dunia sains Eropa, studi-studi empiris tentang alam, yakni studi-
studi yang didasarkan pada observasi dan eksperimentasi, sudah tersebar luas di
dunia Muslim. Studi-studi seperti itu tentu dilakukan oleh orang-orang Islam
dalam skala yang jauh lebih besar dari pada yang pernah diupayakan dalam
seluruh peradaban sebelumnya. Banyak sejarawan sains Islam kontemporer
teerkagum-kagum pada apa yang mereka sebut sebagai karakteristik semangat
modern dalam pendekatan empiris orang Islam pada kajian tentang alam.

Ilmuan-ilmuan muslim terkemuka seperti Al-Razi, Ibn Sina, Al-Biruni, Ibn


Al-Haytsam, Al-Zahrawi, Nashir Al-Din Al-Thusi, Quthb Al-Din Al-Syirazi, dan
Kamal Al-Din Al-Farsi, untuk menyebut beberapa nama, dikenang antara lain
karena kekuatan observasi dan kecenderungan eksperimental mereka seperti yang
terlihat dalam kajian-kajian ilmu alam mereka luas, termasuk ilmu kedokteran.
Banyak karya yang telah ditulis tentang prestasi yang dicapai para ilmuwan ini di
bidang eksperimental. Yang menjadi perhatian utama di sini bukanlah
pembahasan tentang prestasi yang dicapai orang islam dalam eksperimentasi itu
sendiri, tetapi dalam hubungannya dengan kesadaran religius dan spiritual mereka.

Epistimologi (teori pengetahuan) Islam tradisional memberikan semua


pengamanan yang diperlakukan untuk mencegah penyimpanan filosofis semacam
itu. Islam adalah agama kesatuan (Tauhid) dan keseimbangan (i’tidal). Dengan
demikian ia menegakkan gagasan hirarki dan kesatuan pengetahuan dan cara-cara
untuk mengetahui. Semua jalan yang mungkin untuk menuju pengetahuan diakui
dengan sewajarnya, dan masing-masing disesuaikan dengan tempat dan fungsinya
yang absah dalam skema epistemologi Islam.

Pemikiran logis, analisis matematis, observasi, ekperimentasi, dan bahkan


interprestasi rasional terhadap kitab suci semuanya memiliki peran yang sah
dalam upaya ilmiah para ilmuwan Muslim awal. Selama orang Muslim berpegang
dengan setia pada semangat tauhid yang sejati, menerapkan keimanan tersebut
pada gagasan tentang hirarki dan kesatuan pengetahuan, mereka terbebas dari
kemalangan dan situasi intelektual yang berbahaya.

Semangat observasi dan ekperimentasi Muslim dibentuk oleh kesadaran


religius tentang Tuhan sebagai Yang Absolut dan sebagai Sumber dari semua
kebenaran serta keyakinan yang teguh bahwa mereka berusaha untuk menceari
tahu sebuah aspek dari realitas Tuhan. Al-quran menghimbau orang-orang yang
beriman untuk mengamati tanda-tanda Tuhan yang termanifestasi di alam
semesta, dalam jiwa-jiwa manusia, dan pada lembaran-lembaran sejarah manusia
dan masyarakat.1

Signifikasi Religius dari Upaya Penegakan Objektivitas

Dalam perspektif Islam, pencarian objektivitas dalam upaya intelektual


bukan hanya sah dan dianjurkan, berakar pada fitrah manusia, tetapi juga memiliki
signifikasi religius yang besar. Objektivitas adalah elemen yang penting dari
semangat ilmiah. Tanpa objektivitas, pengetahuan sebagai usaha kolektif manusia
menjadi mustahil. Pengetahuan objektif adalah pengetahuan yang terbuka
terhadap verifikasi umum. Dalam tradisi Islam, pengertian objektivitas, yang
dipahami sebagai sifat-sifat tidak berpihak dan adil diwilayah pengetahuan,tidak
dapat dipisahkan dari kesadaran religius tauhid. Lain halnya dengan situasi di
dunia modern. Agama oleh banyak orang dewasa ini dipadang sebagai halangan
terbesar menuju realisasi ketidakberpihakan dan keadilan.

Dalam disiplin perbandingan agama, sebagai contoh, derajat objektivitas


ilmiah telah dicapai oleh para sarjana Muslim abad pertengahan, sebagaimana
yang diperlihatkan, misalnya oleh kajian Al-Biruni pada abad ke-10 tentang
bangsa India,2 belum dapat terungguli. Merujuk pada ciri ilmiah alam, Bernal
seseorang sejarawan sains Marxis kontemporer, dengan kagum mencatat beapa
sedikitnya perbedaan yang terdapat ketika membaca karya-karya abad
1
Akan kami perlihatkan kepada mereka tanda-tanda kekuasan Kami disegala penjuru bumi dan
dalam jiwa-jiwa mereka sendiri, hingga jelas kebenaran itu bagi mereka.... (QS. 41 Ayat 53).
2
Lihat Al-Biruni, Alberuni’s India, terj., E.C. Sachau (London: Kegan Paul, Trench,Trubner, & Co..,
Ltd., 1910).
pertengahan ini dengan karya-karya modern yang sejenis. Menurut Islam, manusia
menghendaki dan membutuhkan objektivitas karena, sebagai makhluk yang
diciptakan dengan citra ketuhanan, dia ingin menyerupai sifat-sifat Illahi. Menjadi
obejetif, dalam pengertian tertentu, berarti menyerupai Tuhan. Manusia mampu
mencapai objektivitas karena pada prinsipnya, dia telah dikaruniai kualitas-
kualitas yang berkaitan dengan objektivitas ini. Ketidakpasialan,
ketidakberpihakan, dan keadilan bukan hanya merupakan sifat-sifat manusiawi.
Tetapi adalah kualitas-kualitas Ilahiah yang juga termanifesti dalam diri manusia.
Agama terutama dimensi spiritualnya, memberikan doktrin-doktrin dan jalan-jalan
praktis agar kualias-kualitas ini dapat muncul dalam diri manusia. Oleh karena itu
ada sebuah hubungan konseptual yang penting antara objektivitas ilmiah dengan
kesadaran religius.

Objektivitas didunia ilmu bukan semata-mata memiliki nilai penting ilmiah


tetapi juga religius dalam arti bahwa ia menampakan dirinya pada kita sebagai
salah satu dari banyak manifestasi lahiriah posisi manusia yang unik dalam
hubungannya dengan Tuhan, sekalipun manusia masa kini telah melupakan
kebenaran tersebut.

Objektivitas dalam dunia ilmu modern dibatasi terutama pada wilayah


empiris atau ekperimental. Tetapi tradisi intelektual Islam juga membicarakan
objektivitas pada dataran kesadaran manusia yang lebih tinggi. Posisi yang
dipercayai oleh Islam ini merupakan hasil logis dari keyakinannya bahwa ada
berbagai tingkat kebenaran objektif. Bagi setiap tingkat kebenaran objektif
terdapat bentuk verifikasi atau pembuktian tertentu yang melibatkan fakultas
pengetahuan yang melaluinya kebenaran objektif itu diketahui.

Objektivitas juga memungkinkan diwilayah pengetahuan non empiris,


seperti agama dan pengetahuan spiritiual atau dalam pengetahuan filosofis dan
metafisik, karena semua manusia, pada prinsipnya memiliki fakultas pengetahuan
yang lebih tinggi. Islam mengajarkan bahwa objektivitas dalam pengertian yang
paling tinggi merupakan milik kaum cendikiawan. objektivitas ini merujuk pada
kekuatan ketajaman akal yang absolut dan yang relatif atau antara Tuhan dan yang
selain Tuhan.
Kesimpulan

Dalam Islam, kesadaran religius terhadap tauhid merupakan sumber dari


semangat ilmiah dalam seluruh wilayah pengetahuan. Oleh karena itu, tradisi
intelektual Islam tidak menerima gagasan bahwa hanya ilmu uang ilmiah atau
lebih ilmiah dari pada ilmu-ilmu lainnya. Demikian pula, gagasan objektivitas
yang begitu esensial dalam kegiatan ilmiah tidak dapat dipisahkan dari kesadaran
religius dan spritual.
DAFTAR PUSTAKA

Al-Biruni, Alberuni’s India, terj., E.C. Sachau (London: Kegan Paul,


Trench,Trubner, & Co.., Ltd., 1910).

Osman Bakar, Tauhid dan Sains, Bandung : Pustaka Hidayah, 1995.

(QS. Fussilat Ayat 53).

Anda mungkin juga menyukai