Anda di halaman 1dari 3

Tak Seburuk Perpisahan

Karya : Junita Barus


Plafon keabu-abuan membuat Yuta kecewa ketika sekali lagi terbangun. Sementara di luar,
garis jingga membentang indah di langit. Yuta cukup akrab dengan semua itu. Tempat yang
ingin ia coba tinggalkan. Namun tak lama menariknya kembali dalam ketidaksadaran.
“Sudah bangun?”
Yuta enggan berpaling. Matahari bulat besar besar di balik jendela kaca bening rumah ini
menjadi perhatiannya.
“Ya” jawab Yuta sekenanya.
Ibu Yuta merangkul bahu putri tunggalnya itu.
“Bukannya hari ini adalah HUT PGRI? dan ini menjadi kode akhir masa Program
Pengalaman Lapanganmu?” Ucap ibu Yuta.
Yuta diam sambil memperhatikan ibunya. Wanita yang melahirkan dan merawat ia hingga
usianya mencapai 21 tahun. Pertanyaan ibu membuat Yuta kembali mengingat masa-masa
dimana Yuta tertawa bersama siswa siswinya, kekonyolan dan antusias mereka dalam
belajar membuat Yuta takut menghadapi perpisahan bersama siswa siswinya. Mata Yuta
memanas kemudian mengeluarkan butiran air bening berjatuhan dari mata bulatnya dan
mengalir membasahi pipinya yang gembul. Tanpa Yuta sadari ibunya telah duduk di
sampingnya.
“Kenapa kau menangis?” Ucap ibu merangkul putrinya itu kemudian mengusap lembut
rambut Yuta.
“Aku tak apa bu, hanya saja aku tak menginginkan perpisahan ini. Aku pasti akan
merindukan mereka tetapi mau tak mau kami harus berpisah” ucap Yuta sendu.
“Setiap pertemuan pasti ada perpisahan entah itu mengoreskan kesedihan atau
kebahagiaan. Baiklah sekarang tinggalkan kasurmu dan bersiaplah ibu telah menyiapkan
sarapan dan baju yang akan kau pakai nanti. Segera atau kau akan terlambat” ucap ibu
tegas meninggalkan Yuta dengan segala pemikirannya.
Yuta bangkit bediri dan segera bersiap menuju sekolah tempat ia melakukan Program
Pengalaman Lapangan. Selama perjalanan berlangsung Yuta tak menghiraukan kemacetan
dan keributan yang terjadi di setiap sudut ibu kota. Pemikiran-pemikirannya
menghilangkan fungsi seluruh indra yang Yuta miliki.
Matahari mulai menghiasi dan memancarkan sinarnya dari langit tanpa setitik pun
keraguan. Beberapa orang terlihat sedang terburu-buru mengabaikan sengatan matahari.
Yuta berjalan anggun melewati trotoar menuju sekolah. Yuta sampai tepat saat bel sekolah
berteriak lantang dan menulikan telinga warga sekolah. Para guru berdiri sejajar
membentuk garis vertikal di depan pion catur berpakaian sekolah lengkap yang siap untuk
melakukan upacara HUT PGRI.
Upacara dilakukan dengan baik dan hening. Upacara kali ini terlihat berbeda, hal itu
tampak dari peserta upacara yang meninggalkan kerutan di dahi mereka yang menandakan
para peserta memikirkan hal yang cukup memusingkan. Upacara ini menampilkan seluruh
siswa siswi yang memiliki akhlak yang baik dan bakat yang luar biasa.
“Dan yang mendapatkan penghargaan guru PPL terbaik adalah Yuta Jacquline” suara itu
berasal dari seorang pria berperawakan Indo-Jerman yang berhasil menghilangkan
lamunan Yuta.
Yuta mengernyitkan dahi dan dengan langkah gontai berjalan mensejajarkan diri dengan
pria itu. Tampak dari kejauhan seorang wanita menggerakkan kaki mendekat ke arah Yuta.
Wanita itu memakai seragam guru senior dan setiap langkahnya menunjukkan sisi anggun
seorang guru. Kemudian wanita itu memberikan sebuah kotak kado berukuran sedang
kepada Yuta. Wanita itu bersalaman dan memberikan sebuah senyuman yang tulus kepada
Yuta. Upacara telah resmi selesai. Dan kenyataan itu cukup menjadi kode yang menampar
Yuta bahwa ia akan berpisah dengan siswa siswinya.
Yuta berdiri dan mengobrol dengan para guru senior sampai akhirnya seorang siswa
menghampirinya. Mereka mengobrol beberapa menit setelah itu Yuta mengikuti langkah
tiap langkah siswanya menuju sebuah ruangan berukuran 5×7. Yuta memasuki kelas
tersebut dengan tatapan curiga. Yuta masuk dan disambut dengn sorotan mata menghina
dari para siswa siswinya. Yuta kaget dan terdiam sepersekian detik sampai seorang siswa
laki-laki yang ia kenal membuka suara
“Hi Ibu Yuta. Senang ya dapat penghargaan. Asalkan ibu tau kalau ibu sama sekali tak
pantas mendapatkan itu dan ibu tau kenapa?” Ucapnya menunjukkan senyum yang tak
dapat diartikan.
“Apa yang kau maksud nak?” Ucap Yuta dengan tubuh bergetar dan mata hampir
mengeluarkan bulir bening.
“Kau sangat tak pantas menjadi guru. Tingkahmu seperti kau lah yang punya kekuasaan
dan caramu mengajarkan kami membuat kami muak dengan wajah memelas mu itu. Kau
seperti memaksakan ikan untuk memanjat pohon” ucapnya dengan nada penuh
kekecewaan.
“Maafkan saya atas itu. Saya hanya manusia biasa yang bisa saja melakukan kesalahan”
ucap Yuta dengan tubuh bergetar hebat, giginya bergemelutuk menandakan dinding
pertahanannya telah roboh.
“Hentikan cukup sampai situ. Apa kau gila menghina gurumu sendiri?” Ucap seorang siswi
merangkul Yuta yang menangis tersedu-sedu di atas lantai keramik putih tempat ia berdiri
tadi.
“Kau tak pantas membela guru seperti itu. Bahkan dia tak pantas disebut seorang guru” cap
siswa itu menunjukkan senyum menyeringai miliknya.
“Hentikan. Saya tak sanggup mendengar hinaan kalian. Saya minta maaf atas kesalahan
saya. Tidakkah bisa kalian menghargai saya? Tahukah kalian bahwa saya menganggap
kalian itu payung disaat hujan? Kalian berhasil menghibur saya dan menghilangkan
kepenatan saya setelah selesai mengajar di kelas lain dan melanjutkan di kelas kalian dan
saat ini kelas kalian juga yang menjatuhkan saya dari langit tertinggi. Saya sungguh tak
menyangka ini akan terjadi” Yuta menundukkam kepalanya dan menangis sejadi-jadjnya.
Seketika kelas itu hening, hanya tersisa isakan Yuta yang menyayat hati. Tiba-tiba seorang
siswa mengalunkan suara petikan gitar. Saat mendengar suara itu Yuta menegakkan
kepalanya dan seorang siswi memegang kue bertuliskan
“Happy Bithday Ibu Yuta”. Yuta terdiam memandang kue itu ada perasaan haru, bahagia,
dan terkejut yang menyelimuti relung hatinya melihat kejadian apa saja yang baru terjadi.
Yuta berdiri dan melihat bahwa seluruh siswa siswinya menyanyikan lagu selamat ulang
tahun dan mengangkat kertas berukuran besar bertuliskan “maafkan kami ibu Yuta. Kami
semua menyayangimu” Yuta menangis bahagia lalu mengajak siswa siswinya ke dalam
dekapan hangat darinya. Setelah itu terjadi keheningan beberapa saat.
”ada yang bisa menjelaskan?” Ucap Yuta dengan suara parau khas orang habis menangis.
“maafkan kami buk. Kami tak bermaksud membuat ibu menangis seperti ini. Hanya saja
kami ingin memberi kesan yang tak akan ibu lupakan. Kami tau setiap pertemua pasti akan
mendapat perpisahan juga. Kami ingin mengoreskan perpisahan yang menyenangkan
seperti ibu mengoreskan kebahagiaan di hati kami. Ibu cukup pantas menjadi seorang guru.
Sekali lagi kami minta maaf” ucap salah seorang siswa.
“Nak dengarlah perpisahan ini bukanlah akhir dari segalanya tetapi permulaan dari
kehidupan yang baru. Ibu sangat terkesan dengan apa yang kalian lakukan. Ibu menyayangi
kalian para siswa siswi ibu” Yuta mengusap bulir bening yang jatuh dari pelupuk matanya.
Kemudian ia memeluk satu persatu siswa siswinya. Setelah itu mereka memotong kue,
bernyanyi bersama dan diakhiri pemberian cendramata dari siswa siswi Yuta kepada
dirinya.
Yuta kembali ke rumah dengan perasaan bahagia. Hidup tak segampang dan perpisahan tak
sesakit kelihatannya. Menjadi guru bukanlah hal yang mudah banyak kejadian diluar dari
apa yang kita bayangkan. Guru juga pasti akan bertemu dan berpisah dengan siswa
siswinya. Banyak hinaan cacian dan makian yang dilontarkan para siswa atau siswi di
belakang maupun di depan mereka tetapi hal itu tak membuatnya merubah tujuan
hidupnya untuk mencerdaskan anak bangsa. Pertemuan dan perpisahan pasti akan
mengoreskan luka ataupun kebahagiaan tersendiri baik di hati guru maupun muridnya.
Inilah sebabnya guru pantas disebut sebagai pahlawan tanpa tanda jasa.

Anda mungkin juga menyukai