Anda di halaman 1dari 3

AHUN lalu, 700 lebih petugas pemilu mati.

Belum sempat hilang dai ingatan,


sejumlah pendemo mati. Dan kini, 56 orang mati. Kali ini karena covid-19. Day to
day angkanya terus naik. Bukan satu, tapi bisa sampai puluhan per hati.

Kepada siapa rakyat berharap pertolongan? Kepada Tuhan, kata para agamawan.
Pasti! Itu pasrah namanya. Apakah kalau sudah pasrah persoalan jadi selesai?
Tidak. Karena tak ada yang tahu pasti bagaimana mekanisme takdir itu berjalan.
Yang pasti justru jumlah positif Covid-19 terus bertambah. Kemarin (24/3) ada 686
yang positif. Dan akan terus bertambah setiap harinya. Begitu juga dengan yang
mati. Mungkin diantara mereka ada yang anda kenal.

Banyak pihak mempertanyakan akurasi angka positif Covid-19 di Indonesia.


Minimnya peralatan dan lambatnya penanganan membuat asumsi bahwa jumlah
orang yang terinfeksi jauh lebih besar dari data yang diumumkan. Kecurigaan ini
muncul dari jumlah kematian di atas delapan persen. Padahal, rate-mortality
global hanya sekitar empat persen.

Kalau saja kematian akibat covid-19 di Indonesia dibuat rata-rata empat persen,
maka berarti jumlah orang yang positif Covid-19 sudah di atas 20.000 orang.
Mereka tak terdeteksi, karena mungkin tak ada gejala yang nampak. Hanya 15
persen saja yang terdeteksi. 85 persen berkeliaran dan melakukan kontak sosial
di luar.

Sebagian rakyat panik, itu pasti. Dalam situasi seperti ini, mereka penuh harap
kepada pemerintah. Di tangan pemerintah ada kebijakan dan fasilitas yang bisa
digunakan untuk menyelamatkan rakyat.

Harapan ini wajar. Anda yang pilih orang-orang itu duduk di posisi pemerintahan
dan anda telah titipan pajak kepada mereka. Tugas mereka melayani anda.
Termasuk membantu anda selamat dari covid-19.

Pemerintah sudah bergerak. Tapi sayang, sangat lambat. Terengah-engah. Gagap,


dan kelihatan gak siap. Diantara faktornya karena pemerintah mengawali dengan
asumsi dan sikap yang salah. Menganggap covid-19 gak akan masuk ke
Indonesia. Gak bisa masuk karena gak ada ijinnya. Covid-19 sirna oleh doa qunut.
Nasi kucing dan empon-empon membuat orang Indonesia kebal dari Covid-19.
Enjoy aja, dan lain-lain. Ini sikap gak ilmiah dan terlalu gegabah. Gak pantas
keluar dari otak para pejabat publik. Sekarang kena batunya.

Sebagai akibatnya, jumlah korban dan kematian makin kencang angkanya. Jauh
meninggalkan langkah pemerintahan kita. Pek.. Pek.. Pek... Pek... Pek... Korban
berjatuhan. Dan pemerintah terlihat masih sibuk ngardusin APD (Alat Pelindung
Diri) di tengah kematian puluhan anak bangsa ini.

Katanya impor, kok Made In Indonesia? Jangan disoal! Diam aje luh! Yang penting
ada. Itu bagian dari langkah serius. Mesti kita support dan apresiasi. Saatnya
bangsa ini kompak menghadapi ujian bersama.

Rakyat harap-harap cemas. Ingin pemerintah pusat melakukan langkah-langkah


yang lebih cepat lagi, lebih tepat lagi dan lebih terukur. Apa itu?

Pertama, ijinkan daerah, khususnya epicentrum covid-19 melakukan lockdown


lokal. Lebih baik terlambat, dari pada tidak sama sekali. Ini darurat! Jakarta
misalnya, jumlah positif Covid-19 terparah. Angka yang meninggal terus naik
signifikan. Gubernur minta warga DKI diam di rumah. Konsekuensi ekonominya,
Gubernur siapkan bantuan 1,1 juta untuk warga miskin Jakarta. Nganggur di
rumah, digaji. Pemerintah pusat mesti ikut bantu.

Dana dari mana? Ambil dari anggaran kereta cepat Jakarta-Bandung, misalnya.
Pakai dulu dana yang akan digunakan untuk promosikan Ahok di Ibu Kota Baru.
Bila perlu, para taipan paksa untuk bantu. Tiru Tommy Winata (TW) yang sudah
memberi contoh bantuan. Yang lain, jangan malah lari ke Singapore. Kalau
langkah ini dilakukan, masyarakat akan stay di rumah. Gak keluyuran.

Tugas aparat keamanan adalah menertibkan warga yang masih jalan-jalan keluar
rumah, dan beraktifitas di tempat keramaian. Kecuali untuk keperluan-keperluan
urgent sesuai kriteria yang ada di peraturan. Hentikan transportasi publik. Stop
KRL, MRT, LRT dan tutup Stasiun Busway.

Jika lockdown lokal di Jakarta diputuskan, dan pemerintah pusat ikut


menyiapkan bantuan logistik, maka program social distancing jalan. Yang
keluyuran keluar, tangkap! Tak lagi imbauan, tetapi tegakkan aturan dengan
tegas.

Kedua, lakukan test massal kepada mereka yang dinyatakan ODP dan PDP.
Semuanya, tanpa terkecuali. Pastikan mereka positif atau negatif. Jangan biarkan
mereka berkeliaran dan melakukan interaksi dengan orang lain tanpa kejelasan
status.

Australia telah melakukan test massal sebanyak 80 ribu orang. Korea Selatan
melakukannya terhadap 250 ribu orang. Jakarta? Atas bantuan alat test dari
Yayasan Buddha Tzu Chi akan melakukan test massal sebanyak 100 ribu orang.
250 orang sudah dimulai di Jakarta Selatan. Daerah lain? Mestinya pemerintah
pusat menyiapkan alat test, tenaga medis dan biaya yang cukup untuk melakukan
test massal ini. Karena tidak semua daerah berkemampuan seperti Jakarta.

Ketiga, siapkan ruang isolasi yang cukup beserta tenaga medis yang memiliki
kelengkapan peralatan. Sehingga, tak ada satupun calon pasien yang ditolak di
rumah sakit dan meninggal di jalanan. Pastikan mereka terlayani dengan cepat
dan tepat. Isolasi ODP dan PDP. Jauhkan dari interaksi dengan orang lain.

Langkah-langkah ini menjadi pilihan yang tidak bisa tidak harus diambil. Gak ada
kata terlambat. Jika tidak, kedepan kita akan semakin sering menyaksikan orang-
orang jatuh di jalan, pek...pek... pek... langsung mati. Disitulah kita baru sadar
betapa gelombang badai covid-19 telah membuat nyawa di negeri ini begitu
murah setelah banyak anak bangsa mati karena lambatnya penanganan. *

Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!


Analysis lainnya:

 Catat Ya! Presiden Jokowi Tegaskan “Tidak Akan Lockdown”


 Wabah Corona dan Utang Kita Semua
 Siapa yang Tahan, Dialah yang Hidup
 Negara Garda Terdepan Melawan Corona
 Agama, Sains, dan Corona
 Laksanakan Hadits Nabi, Penyebaran Covid-19 Akan Terhenti
 Satu Persatu Meninggal di Jakarta, Siapa yang Salah?
 Butuh Pangkopkamtib Corona

Anda mungkin juga menyukai