Anda di halaman 1dari 14

REFERAT

PENANGANAN GAWAT DARURAT POST


ANESTESI

Disusun Oleh

Agus Triyanto

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas Rahmat dan
Hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan referat dengan judul
PENANGANAN GAWAT DARURAT POST ANESTESI
Referat ini merupakan sarana untuk membantu dalam pembelajaran
serta bahan bacaan bagi praktisi dan mahasiswa untuk menambah pengetahuan
khususnya ilmu anestesi.
Kami mengucapkan terima kasih kepada pihak lain yang telah membantu
secara langsung maupun tidak langsung, kami ucapkan terima kasih.
Kami menyadari bahwa penyusunan referat ini masih banyak yang perlu
untuk dikaji kembali, namun kami berharap semoga referat ini dapat bermanfaat
bagi pembaca.

Purwokerto, Maret 2014

Penulis

2
BAB I
PENDAHULUAN

I. A. Latar belakang
Pulih dari anestesi umum atau dari analgesia regional secara rutin
dikelola di kamar pulih atau unit perawatan pasca anestesi (RR Recovery
Room atau PACU, Post Anestesia Care Unit). Idealnya bangun dari
anestesia secara bertahap, tanpa keluhan dan mulus. Kenyataannya sering
dijumpai hal – hal yang tidak menyenangkan akibat stres pasca bedah atau
pasca anestesia yang berupa gangguan nafas, gangguan kardiovaskuler,
gelisah, kesakitan, mula muntah, menggigil dan kadang – kadang
perdarahan.1
PACU (Post Anesthesia Care Unit) merupakan tempat dimana
pasien post operatif dipulihkan dari efek anesthesia. Pada PACU pasien akan
di monitor tekanan darah, pernafasan, nadi, regulasi cairan intravena dan
menejemen nyeri post operasi. Ketika seorang pasien dalam masa pemulihan
dari efek anesthesia waktu rata-rata yang dibutuhkan untuk perawatan di
PACU untuk di monitor adalah 1 hingga 1.5 jam untuk operasi minor dan 3-
4 jam pada operasi mayor.2
Berdasarkan penelitian dari International Anesthesia Research
Society komplikasi yang sering terjadi pada pasien post anestesi pada PACU
adalah mual dan muntah 9.8%, gangguan jalan nafas 6.9% dan hipotensi
yang memerlukan penanganan 2.7%. Pasien yang mengalami komplikasi
biasanya ditentukan oleh analisa dari status fisik ASA. (Hines, Roberta;
Paul, G, Barash et al.1992. 3
Unit Perawatan Pasca Anestesi (UPPA) harus berada dalam satu
lantai dan dekat kamar bedah, supaya jika timbul kegawatan dan perlu
segera diadakan pembedahan ulang tidak akan banyak mengalami hambatan.
Selain itu karena segera setelah selesai pembedahan dan anestesi dihentikan,
pasien sebenarnya masih dalam keadaan anestesi dan perlu diawasi dengan
ketat seperti masih berada di kamar bedah.1

3
Pengawasan ketat di UPPA harus seperti sewaktu berada di kamar
bedah sampai pasien bebas dari bahaya, karena itu peralatan monitor yang
baik harus disediaakan. Tensimeter, oksimeter denyut, EKG, peralatan
resusitasi jantung paru dan obatnya harus disediakan tersendiri, terpisah dari
kamar bedah. Personil dalam UPPA sebaiknya sudah terlatih dalam
penanganan pasien gawat, mahir menjaga jalan nafas tetap paten, tanggap
terhadap perubahan dini tanda vital yang membahayakan pasien.1

I. B. Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini adalah:
• Mengetahui kegawatdaruratan post anestesia
• Mengetahui penatalaksanaan post anestesia
• Mengetahui obat – obat post anestesia
• Mengetahui tingkat pulih sadarnya pasien post anestesi

4
BAB II
PEMBAHASAN

Efek dari anestesi dapat berlangsung selama beberapa jam setelah operasi,
apabila dilakukan lokal atau regional anestesi beberapa bagian dari tubuh akan
tidak terasa. Kontrol dan koordinasi dari otot juga akan terpengaruh. Efek
samping anestesi yang umumnya terjadi dimonitor dan di atur sehingga dapat
mengurangi ketidaknyamanan yang dirasa post anestesi. Efek samping yang
mungkin terjadi post anesthesia antara lain adalah: 1

Gangguan pernafasan
Obstruksi nafas parsial (nafas berbunyi) atau total, tidak ada ekspirasi (tak
ada suara nafas) paling sering dialami pada pasien pasca anesthesia umum yang
belum sadar, karena lidah jatuh menutup faring atau oleh edem laring. Penyebab
lain ialah kejang laring (spasme laring) pada pasien menjelang sadar, karena
laring terangsang oleh benda asing, darah, ludah sekret atau sebelumnya ada
kesulitan intubasi trakea.1
Obstruksi mekanik pada penderita yang bernafas secara spontan dapat
menimbulkan :
1. Meningkatnya usaha penderita untuk menarik nafas
2. Gerakan paradox dada dan perut, yang meningkat dan menurun secara
bergantian
3. Ruang interkostalis dan supraklavikularis tertarik
4. Tarikan keras trakea dan laring pada setiap tarikan nafas.
5. Distensi kantong cadangan jika katup ekspirasi tertutup atau system
pembuangan kotoran tersumbat atau tidak berfungsi secara wajar.
Situasi seperti itu sangat berbahaya dan dapat menyebabkan rupture
paru-katup penyelamat “pop-poff”biasanya disediakan
6. Sianosis progresif
7. Takikardi yang diikuti dengan bradikardia dan kahirnya terjadi henti
jantung dan kematian

5
Prinsip dalam mengatasi sumbatan mekanik dalam system anestesi adalah
dengan menghilangkan penyebabnya. Sejumlah penjelasan dalam jurnal ilmiah
menunjukkan bahwa reaksi otomatik pertama seorang ahli anastesi yang tidak
dapat memberikan ventilasi pada seorang penderita adalah anggapan bahwa
penyebab kesulitannya adalah bronkospasme.5
Jika penyebab obstruksi pasien masih dalam anestesi dan lidah menutup
faring, maka lakukanlah manuver tripel, pasang jalan nafas mulut faring, hidung
faring dan tentunya berikan oksigen 100%.1
Obstruksi karena kejang laring atau edem laring, selain perlu oksigen
100%, bersihkan jalan nafas, berikan preparat kortikosteroid (oradekson) dan
kalau tak berhasil perlu dipertimbangkan memberikan pelumpuh otot. Obstruksi
nafas mungkin tidak terjadi tetapi pasien sianosis (hiperkarbi, hiperkapni, PaCO2
>45 mmHg) atau saturasi O2 menurun (hipoksemi, SaO2 <90 mmHg). Hal ini
disebabkan pernafasan pasien lambat dan dangkal (hipoventilasi). Pernafasan
lambat sering akibat kebanyakan opioid dan dangkal sering akibat pelumpuh otot
masih bekerja. Kalau penyebab jelas karena opioid dapat diberikan nalokson dan
kalau oleh pelumpuh otot dapat diberikan prostigmin-atropin. Hipoventilasi yang
berlanjut akan menyebabnya asidosis, hipertensi, takikardi yang berakhir dengan
depresi sirkulasi dan henti jantung.1

Gangguan Kardiovaskuler
A. Hipertensi Post Operatif

Hipertensi dapat disebabkan karena nyeri akibat pembedahan, iritasi pipa


trakea, cairan infus berlebihan, buli – buli penuh atau aktivasi saraf simpatis
karena hipoksi, Hiperkapni dan asidosis. Hipertensi akut dan berat yang
berlangsung lama akan menyebabkan gagal ventrikel kiri, infark miokard,
disritmia, edem paru atau perdarahan otak. Terapi hipertensi diarahkan pada factor
penyebabnya dan kalau perlu dapat diberikan klonidin (catapres) atau nitropusid
(niprus) 0,5 – 1,0 µg/kg/menit.1

6
Peningkatan tekanan darah sebanyak 20-30% dapat menimbulkan gejala

seperti iskemia miokard, perdarahan dan nyeri kepala atau resiko kematian yang

tidak umum seperti peningkatan tekanan intracranial dan penyakit katup jantung

memerlukan pendekatan untuk menentukan diagnose diferensial dan penanganan.

Penanganan ditentukan oleh mekansime-mekanisme yang dapat menyebabakan

terjadinya hipertensi. Setelah memastikan kecukupan oksigenasi, secara umum

terapi secara langsung segera di berikan terapi koreksi untuk meningkatkan

system saraf simpatis . Jika hipertensi menetap setelah dikoreksi factor yang

mempengaruhi nervus simpatis sangatlah diperlukan untuk memberikan medikasi

antihipertensi seperti (hydralazine, labetalol, nitroprusside).2

B. Hipotensi Post Operatif

Hipotensi akibat isian balik vena menurun disebabkan perdarahan, terapi

cairan kurang adekuat, hilangnya cairan ke rongga ketiga, keluaran air kemih

belum diganti, kontraksi miokardium kurang kuat atau tahanan vaskular perifer

menurun. Hipotensi harus segera diatasi kalau tidak akan terjadi hipoperfusi organ

vital yang berlanjut disesuaikan dengan faktor penyebabnya. Berikan O2 100%

dan infuse kristaloid atau asering 300 – 500 ml.1

Penurunan tekanan darah antara 20 -30 persen yang terjadi karena tingkat

preoperative kronis dapat menyebabkan gejala dari hipoperfusi organ yang

diantaranya adalah asidosis, miokardial iskemik, oliguria, aktivasi system saraf

simpatis dan gangguan pada system saraf pusat. Gejala tersebut membutuhkan

pendekatan untuk mengetahui diferensial diagnose dan penanganan yang sesuai.

7
Penanganan dari hipotensi kardiovaskuler ditentukan oleh mekanisme

yang dapat menyebabkan terjadinya hipotensi. Setelah memastikan oksigenasi

cukup, umumnya diberikan larutan kristaloid bolus seperti RL sebanyak 300-500

ml. Jika tekanan darah tidak membaik pikirkan disfungsi ventrikuler. Jika sedikit

membaik pikirkan perdarahan post operatif. Vasopressor dapat membantu

meningkatkan tekanan darah sementara penyebab sebetulnya di koreksi.2

C. Disritmia jantung pada periode post operatif

1. Tentukan diagnosis diferensial dari disritmia yang memerlukan monitoring

dengan ekg

2. Terapi ditentukan dari hemodinamik dari disritmia jantung

Disritmia disebabkan oleh hipokalemia, asidosis-alkalosis, hipoksia,


hiperkapnia atau memang pasien penderita sakit jantung.4

Gelisah
Gelisah pasca anestesia dapat disebabkan karena hipoksia, asidosis,
hipotensi,kesakitan, efek samping obat misalnya ketamin atau buli-buli penuh.
Setelah disingkirkan sebab – sebab tersebut diatas, pasien dapat diberikan
penenang midazolam (dormikum) 0,05 – 0,1 mg/kgBB.1

Nyeri
Paska operasi nyeri akan timbul seiring dengan habisnya efek anestesi.
Biasanya pada kasus tertentu dosis tambahan dari regional anestesi diberikan
untuk mengurangi nyeri pada inisiasi pemulihan. Nyeri yang timbul paskaoperasi
dapat menyebabkan kelemahan pada tubuh dan peningkatan pada tekanan darah
dan nadi sehingga pada PACU bila pasien mengeluhkan nyeri segera diberikan
anti nyeri.1

8
Nyeri pasca bedah di kategorikan sebagai nyeri berat, sedang dan ringan.
Untuk meredam nyeri pasca bedah pada analgesia regional pasien dewasa, sering
ditambahkan morfin 0,05-0,1 mg saat memasukkan anestetik lokal ke ruang sub
araknoid atau morfin 2-5 mg ke ruang epidural. Tindakan ini sangat bermanfaat
karena dapat membebaskan nyeri pasca bedah sekitar 10 – 16 jam. Setelah itu
nyeri yang timbul biasanya bersifat sedang atau ringan dan jarang diperlukan
tambahan opioid dan kalaupun perlu cukup diberikan analgesic golongan AINS
misalnya ketorolak 10 – 30 mg iv atau im.2
Opioid lain seperti petidin atau fentanil jarang digunakan intradural atau
epidural karena efeknya lebih pendek sekitar 3-6 jam. Efek samping opioid
intratekal atau epidural ialah gatal daerah muka dan pada manula depresi nafas
belakngan setelah 10-24 jam. Gatal di muka dan depresi nafas dapat dihilangkan
dengan nalokson. Opioid intratekal atau epidural tidak dianjurkan pada manula
kecuali mandapat pengawasan ketat. Jika terjadi nyeri berat pasca bedah di UPPA
diberikan obat golongan opioid bolus dan selanjutnya titrasi perinfus.1,5

Mual-muntah
Mual dan muntah sangat umum terjadi paska anesthesia. Muntah dapat
menjadi masalah yang serius bila menimbulkan kesakitan dan stress atau
dehisensi pada jahitan yang terdapat pada luka post operasi. Muntah sering terjadi
pada anestesi umum dengan durasi yang lama.
Mual-muntah pasca anestesi sering terjadi setelah anestesi umum terutama
pada penggunaan opioid, bedah intra-abdomen, hipotensi dan pada analgesia
regional. Obat mual muntah yang sering digunakan pada perianastesia ialah :
1. Dehydrobenzperidol (droperidol) 0,05-0,1 mg/kgBB (amp 5 mg/ml) im atau
iv.

2. Metoklopramid (primperan) 0,1 mg/kgBB iv, supp 20 mg

3. Ondansentron (Zofran, narfoz) 0,05 – 0,1 mg/kgBB iv.

4. Cyclizine 25-50 mg. 1

9
Menggigil
Setelah sadar dari efek anestesi terutama anestesi umum, biasanya pasien

akan merasa dingin dan menggigil karena anestesi umum mereduksi produksi

panas tubuh sehingga berimbas pada regulasi suhu tubuh. Apabila suhu tubuh

jatuh terlalu rendah maka akan dapat menyebabkan hipotermi.

Hipotermi terjadi akibat suhu ruang operasi, ruang UPPA yang dingin,

cairan infuse dingin, cairan irigasi dingin, bedah abdomen luas dan lama.

Menggigil selain akibat turunnya suhu dapat juga disertai oleh naiknya suhu dan

biasanya akibat obat anestetik inhalasi. Terapi petidin 10 – 20 mg iv pada dewasa

sering dapat membantu menghilangkan menggigil, selain itu perlu selimut hangat,

infus hangat dengan infusion warmer, lampu penghangat untuk menaikkan suhu

tubuh.1

Aspirasi
a. Inhalasi cairan lambung Ph < 2.5 pada periode perioperatif dapat memberikan

manivestasi tergantung dari derajat hipoksemi arterial dan gambaran infiltrate

(yang terjadi segera atau dalam 24 jam ) pada gambaran radiologi dada.

Obstruksi dapat terjadi seiring dengan aspirasi makanan yang keras.

b. Penangan dari aspirasi adalah dengan mengkoreksi hipoksemi arterial dengan

suplemen oksegen. Intubasi trakea dan PEEP dapat dipertimbangkan bila

hipoksemia menetap walaupun sudah di beri oksigen.

i. Edema paru biasanya merupakan akibat sekunder dari kerusakn kapiler

paru yang dapat menyebabkan hipovolemia dan memerlukan penanganan

pengganti cairan.

ii. Antibiotik diberikan bila ada kemungkinan infeksi bakteri

10
iii. Kortikosteroid tidak terbukti membantu hasil jangka panjang.

iv. Bronkoskopi mungkin dibutuhkan untuk melancarkan obstruksi jalan nafas

yang disebabkan oleh partikel makanan yang terinhalasi. 3,5

Disfungsi paru-paru pascaoperasi

Disfungsi paru - paru bisa disebabkan karena :

a. Ventilasi yang tidak adekuat pasca operasi

b. Oksigenasi yang tidak adekuat pasca operasi

1. PaO2 yang masih dapat diterima oleh seorang pasien harus ditentukan.

Secara umum maintenant PaO2 yang direkomendasikan antara 70 dan

100 mmHg yang disesuikan dengan konsentrasi oksigen inspirasi (F102)

idealnya sebesar kurang dari 0.6 dengan atau tanpa positive end

expiratory airway pressure (PEEP) ataucontinous positive airway pressur

(yaitu 5-10 cm H2O dengan menggunakan face mask)

2. Luka yang terjadi karena operasi member kontribusi pada volume paru

yang hilang terutama kapasitas residu fungsional paru, hal ini dititik

beratkan pada pentingnya penanggulangan nyeri pasca operasi.

3. Intubasi yang dilakukan pada trakea dapat menyebabkan penurunan

untuk membentuk resistensi dari pernafasan (PEEP fisiologis) yang

dapat menyebabkan penurunan fungsi dari kapasitas residual paru dan

penurunan PaO2. 3

Analisa gas darah dan saturasi oksigen dapat membantu menentukan

diagnosis dan terapi.

11
Komplikasi ginjal pasca operasi

A. Oliguri (output urin kurang dari 0,5 ml /kgbb/jam) dapat meningkatkan

resiko terjadinya akut tubular nekrosis.

B. Poliuri biasanya self limiting dan sering karena masukan cairan intra operatif

yang berlebihan atau hiperglikemi (osmotic diuresis). Poliuri yang menetap

(urin output >4-5ml/kgbb/jam) yang dapat menyebabkan hipovolemi dan

gangguan elektrolit.5

Nilai pulih dari anestesi


Selama di UPPA pasien di nilai tingkat pulih sadarnya untuk kriteria
pemindahan ke ruang perawatan biasa.
Table 1.1 Skala pulih dari anesthesia
Nilai 2 1 0
Kesadaran Sadar, orientasi baik Dapat dibangunkan Tidak dapat
dibangunkan

Warna Merah muda (pink) Pucat atau Dengan Sa O2


Tanpa O2, SaO2 >92% kehitaman, perlu O2 tetap <90%
agar SaO2 >90%
Aktivitas 4 ekstremitas bergerak 2 ekstremitas Tak ada
bergerak ekstremitas
bergerak
Respirasi Dapat nafas dalam Nafas dangkal sesak Apnu atau
batuk nafas obstruksi
Kardiovaskuler Tekanan darah berubah Sesak nafas berubah Berubah >50 %
<20 % 20-30%
Kriteria pindah dari UPPA jika nilai 9 atau 10. 1

12
BAB III
KESIMPULAN

Pada PACU pasien akan di monitor tekanan darah, pernafasan, nadi, regulasi
cairan intravena dan menejemen nyeri post operasi. Ketika seorang pasien dalam
masa pemulihan dari efek anesthesia waktu rata-rata yang dibutuhkan untuk
perawatan di PACU untuk di monitor adalah 1 hingga 1.5 jam untuk operasi minor
dan 3-4 jam pada operasi mayor. Tindakan yang dilakukan di ruang PACU adalah
untuk mencegah dan menanggulangi terjadinya kegawat daruratan pasca anestesi
seperti : Gangguan pernafasan, Gangguan Kardiovaskuler, Nyeri, Aspirasi dan lain –
lain.

13
DAFTAR PUSAKA

1. Latief A Latief ; Kartini A Suryadi dan M Ruswan Dachlan. Petunjuk Praktis


Anestesiologi, Jakarta : Bagian anestesiologi dan terapi intensif Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. 2002
2. Elliot Hospital Post Anesthesia Care Unit, Manchester, England. Diakses : 27
February 2010. Available at : www.elliothospital.org
3. Hines, Roberta; Paul, G, Barash et al.1992. Complications Occuring in the
Postanestesia Care Unit. Anesthesia and Analgesia International Anesthesia
Research Society Journals. 1992; 74: 503-509.
4. Barash, G. Paul; Bruce, F, Cullen; Robert, K, Stoelting. 1993. Handbook of
Clinical Anesthesia.Second Edition. J.B Lippincott Company: Phildelphia,
USA. page 475-482.
5. Thomas B Boulton & Colin E Blogg. Anestesiologi, Jakarta : EGC. 1994.

14

Anda mungkin juga menyukai