Anda di halaman 1dari 8

SINDROMA TUR

Pendahuluan
Pembedahan prostat transuretral (TURP) masih merupakan salah satu terapi standar dari
Hipertropi Prostat Benigna (BPH) yang menimbulkan obstruksi uretra. Operasi ini sudah
dikerjakan mulai beberapa puluh tahun yang lalu di luar negeri dan berkembang terus dengan
makin majunya peralatan yang dipakai. Tapi di Indonesia khususnya di Mataram TURP ini
relatif baru. Terapi ini makin populer karena trauma operasi pada TURP jauh lebih rendah
dibandingkan dengan prostatektomi secara terbuka.
Dalam TURP dilakukan reseksi jaringan prostat dengan menggunakan kauter yang dilakukan
secara visual. Dalam TURP dilakukan irigasi untuk mengeluarkan sisa-sisa jaringan dan untuk
menjaga visualisasi yang bisa terhalang karena perdarahan. Karena seringnya tindakan ini
dilakuan maka komplikasi tindakan serta pencegahan komplikasi makin banyak diketahui. Salah
satu komplikasi yang penting dari TURP adalah intoksikasi air dan hiponatremi dilusional yang
disebut Sindroma TUR yang bisa berakhir dengan kematian.
TUR syndrom adalah suatu komplikasi yang paling sering dan paling menakutkan dalam
pembedahan urologi endoskopik. Di tangan para ahli yang berpengalamanpun, Sindroma TUR
dapat terjadi pada 2% kasus dengan mortalitas yang masih tinggi. Sampai sekarang Sindrom
TUR merupakan suatu komplikasi yang sangat menakutkan baik untuk para urolog yang
melakukan operasi maupun para anestesiolog yang seharusnya melakukan diagnosa sindrom ini
dan melakukan intervensi untuk mencegah kematian(1,2).
Definisi
Sindroma TUR adalah suatu keadaan klinik yang ditandai dengan kumpulan gejala akibat
gangguam neurologik, kardiovaskuler, dan elektrolit yang disebabkan oleh diserapnya cairan
irigasi melalui vena-vena prostat atau cabangnya pada kapsul prostat yang terjadi selama
operasi(1,2,3,4).

Angka Kekerapan
Diperkirakan 2% dari pasien yang dilakukan TURP mengalami Sindrom TUR dari berbagai
tingkat(3). Suatu penelitian yang dilakukan di Filipina menunjukkan angka kekerapan sebesar
6%(4). Penelitian yang lain menunjukkan frekuensi Sindoma TUR sampai 10(7). Penelitian
Marrero menunjukkan frekuensi Sindrom TUR meningkat bila:
1. Prostat yang ukurannya lebih dari 45 gr
2. Operasi yang berlangsung lebih dari 90 menit
3. Pasien yang mengalami hiponatremi relatif
4. Cairan irigasi 30 liter atau lebih
Karena itu TURP hanya boleh dilakukan kalau ahli bedah yakin bahwa operasi pasti dapat
diselesaikan tidak lebih dari 90 menit. Tetapi menurut penelitian ternyata Sindroma TUR dapat
terjadi pada operasi yang berlangsung 30 menit(4).
Sebaliknya risiko Sindrom TUR akan menurun bila:
1. Dipakai cairan irigasi yang tidak menimbulkan hemolisis (isotonik)(4).
2. Tekanan cairan irigasi yang masuk (in flow) dijaga serendah mungkin(4).
Gejala-Gejala Sindroma TUR
Sindrom TUR dapat terjadi kapanpun dalam fase perioperatif dan dapat terjadi beberapa menit
setelah pembedahan berlangsung sampai beberapa jam setelah selesai pembedahan. Penderita
dengan anestesi regional menunjukkan keluhan-keluhan sebagai berikut(3,4):
• Pusing
• Sakit kepala
• Mual
• Rasa tertekan di dada dan tenggorokan
• Napas pendek
• Gelisah
• Bingung
• Nyeri perut
Tekanan sistolik dan diastolik meningkat, nadi menurun. Bila penderita tidak segera di terapi
maka penderita menjadi sianotik, hipotensif dan dapat terjadi cardiac arrest. Beberapa pasien
dapat menunjukkan gejala neurologis. Mula-mula mengalami letargi dan kemudian tidak sadar,
pupil mengalami dilatasi. Dapat terjadi kejang tonik klonik dan dapat berakhir dengan koma.
Bila pasien mengalami anestesi umum, maka diagnosa dari sindrom TURP menjadi sulit dan
sering terlambat. Salah satu tanda adalah kenaikan dan penurunan tekanan darah yang tidak
dapat diterangkan sebabnya. Perubahan ECG dapat berupa irama nodal, perubahan segmen ST,
munculnya gelombang U, dan komplek QRS yang melebar. Pada pasien yang mengalami
sindrom TURP, pulihnya kembali kesadaran karena anestesi dan khasiat muscle relaxant dapat
terlambat(1,7).

Patogenesis
Sejumlah besar cairan dapat diserap selama operasi terutama bila sinus vena terbuka secara dini
atau bila operasi berlangsung lama. Rata-rata diperkirakan terjadi penyerapan 20cc cairan
permenit atau kira-kira 1000-1200cc pada 1 jam pertama operasi, sepertiga bagian di antaranya
diserap langsung ke dalam sistem vena. Dan hal ini akan menimbulkan hiponatremia
dilusional(1,3,4).
Faktor utama yang menyebabkan timbulnya sindroma TURP adalah circulatory overload,
keracunan air, dan hiponatremia.
1. Circulatory overload
Penyerapan cairan irigasi praktis terjadi pada semua operasi TURP dan hal ini terjadi melalui
jaringan vena pada prostat. Menurut penelitian, dalam 1 jam pertama dari operasi terjadi
penyerapan sekitar 1 liter cairan irigasi yang setara dengan penurunan akut kadar Na sebesar 5-8
mmol/liter. Penyerapan air di atas 1 liter menimbulkan risiko timbulnya gejala sindrom TUR.
Penyerapan air rata-rata selama TUR adalah 20 ml/menit. Dengan adanya circulatory overload,
volume darah meningkat, tekanan darah sistolik dan diastolik menurun dan dapat terjadi payah
jantung. Cairan yang diserap akan menyebabkan pengenceran kadar protein serum, menurunnya
tekanan osmotik darah. Pada saat yang sama, terjadi peningkatan tekanan darah dan cairan di
dorong dari pembuluh darah ke dalam jaringan interstitial dan menyebabkan udema paru dan
cerebri. Di samping absorbsi cairan irigasi ke dalam peredaran darah sejumlah besar cairan dapat
terkumpul di jaringan interstitial periprostat dan rongga peritoneal. Setiap 100 cc cairan yang
masuk ke dalam cairan interstitial akan membawa 10-15 ml eq Na. Lamanya pembedahan
berhubungan dengan jumlah cairan yang diserap. Morbiditas dan mortalitas terbukti tinggi bila
pembedahan berlangsung lebih dari 90 menit. Penyerapan cairan intravaskuler berhubungan
dengan besarnya prostat sedang penyerapan cairan interstitial tergantung dengan integritas
kapsul prostat. Circulatory overload sering terjadi bila prostat lebih dari 45 gram. Faktor penting
yang berhubungan dengan kecepatan penyerapan cairan adalah tekanan hidrostatik dalam
jaringan prostat. Tekanan ini berhubungan dengan tingginya tekanan cairan irigasi dan tekanan
dalam kandung kencing selama pembedahan. Tinggi dari cairan irigasi adalah 60 cm yang dapat
memberikan kecepatan 300 cc cairan permenit dengan visualisasi yang baik (1).
2. Keracunan air
Beberapa pasien dengan sindrom TUR menunjukkan gejala dari keracunan air karena
meningkatnya kadar air dalam otak. Penderita menjadi somnolen, inkoheren dan gelisah. Dapat
terjadi kejang-kejang dan koma, dan posisi desereberate. Dapat terjadi klonus dan refleks
babinsky yang postif. Terjadi papil udem dan midriasis. Gejala keracunan air terjadi bila kadar
Na 15-20 meq/liter di bawah kadar normal(1,3).
3. Hiponatremia
Na sangat penting untuk fungsi sel jantung dan otak. Beberapa mekanisme terjadinya
hiponatremia pada pasien TUR adalah:
a. Pengenceran Na karena penyerapan cairan irigasi yang besar.
b. Kehilangan Na dari daerah reseksi prostat ke dalam cairan irigasi.
c. Kehilangan Na ke dalam kantong-kantong cairan irigasi di daerah periprostat dan rongga
peritoneal.
Gejala hiponatremia adalah gelisah, bingung, inkoheren, koma, dan kejang-kejang. Bila kadar Na
di bawah 120 meq/liter, terjadi hipotensi dan penurunan kontraktilitas otot jantung. BIla kadar
Na di bawah 115 meq/liter, terjadi bradikardi dan kompleks QRS yang melebar, gelombang
ektopik ventrikuler dan gelombang T yang terbalik. Di bawah 100 meq/liter terjadi kejang-
kejang, koma, gagal napas, takikardi ventrikel, fibrilasi ventrikel, dan cardiac arrest(1,8).
4. Koagulopati
Pada Sindroma TUR dapat terjadi Disseminated Intravasculer Coagulation (DIC) yang terjadi
akibat lepasnya partikel prostat yang mengandung tromboplastin dalam jumlah besar ke dalam
peredaran darah dan menyebabkan fibrinolisis sekunder. DIC ini dapat diketahui dari turunnya
kadar trombosit dan meningkatnya Fibrin Degradation Product (FDP) serta kadar fibrinogen
yang rendah(1,8).
5. Bakteriemia dan Sepsis
Pada 30% penderita yang dilakukan TURP sudah terjadi infeksi sebelum operasi. Bila sinus vena
prostat terbuka sebelum operasi dan dilakukan irigasi dengan tekanan tinggi maka kuman bisa
masuk ke dalam peredaran darah dan terjadi bakteremia. Pada 6% pasien bakteremia ini
menyebabkan sepsis(1).
6. Hipotermi
Hipotermi sering terjadi pada pasien yang mengalami TURP. Irigasi kandung kencing
merupakan penyebab penting kehilangannya panas tubuh dan hal ini ditambah dengan suhu
kamar operasi yang rendah. Hipotermi sering terjadi pada penderita lanjut usia karena gangguan
saraf otonomik(1).

Cairan Irigasi
Untuk operasi TUR dapat dipakai beberapa macam cairan irigasi. Salin tidak dapat dipakai
karena cairan ini merupakan penghantar listrik dan akan mengganggu proses pemotongan dan
kauterisasi. Di samping itu arus listrik dapat dihantarkan ke alat resektoskop dan dapat mengenai
ahli bedah. Belakangan ini telah ditemukan mesin resektoskop yang lebih moderen yang dapat
menggunakan salin sebagai cairan irigasinya tapi alat tersebut masih sangat mahal. Salin
merupakan cairan irigasi yang ideal karena sifatnya yang isotonik sehingga tidak mengganggu
bila terserap(3).
Cairan lain yang dapat dipakai adalah air steril, glysin 1,2%, 1,5%, atau 2,2%. Cairan lain yang
dapat dipakai adalah sorbitol atau manitol 3%. Di negara maju air steril sudah jarang dipakai
karena jika diserap dalam jumlah besar dapat menyebabkan hiponatremia, hemolisis intra
vaskuler dan hiperkalemia. Karena itu sorbitol, manitol, atau glisin lebih banyak dipakai.
Sorbitol/manitol atau glisin dapat mencegah hemolisis intravaskuler tetapi tidak dapat mencegah
hiponatremia dilusional karena bisa terjadi penyerapan cairan dalam jumlah besar tanpa
penambahan natrium. Cairan yang banyak dipakai di luar negeri adalah glisin. Tetapi penyerapan
glisin dalam jumlah besar dapat menyebabkan beberapa akibat dan sebenarnya cairan sorbitol
dan manitol lebih baik dibandingkan dengan glisin. Tetapi harganya lebih mahal. Cairan non
ionik yang dapat dipakai adalah larutan glukose 2,5%-4%. Untuk negara yang sedang
berkembang, Collins dan kawan-kawannya menganjurkan pemakaian dektrose 5% yang lebih
ekonomik dibandingkan dengan cairan glisin dan lebih jarang menimbulkan hemolisis serta lebih
aman dibandingkan air steril. Tetapi larutan dextrose tidak disukai karena dapat menyebabkan
hipoglikemi tissue charring pada tempat reseksi dan menimbulkan rasa lengket pada sarung
tangan ahli bedah dan peralatan. Di Amerika Serikat, cairan irigasi yang paling banyak dipakai
adalah Cytal yang merupakan campuran antara sorbitol 2,7% dan manitol 0,54%(1,3).
Terapi
Pada hiponatremia ringan atau sedang, pemberian furosemide intravenous dan infus normosalin
mungkin sudah cukup. Tindakan ini akan menurunkan kelebihan beban cairan melalui diuresis
dan menjaga kadar Na dalam batas normal. Pemberian furosemide sebaiknya dimulai selama
pasien masih di dalam kamar operasi kalau terjadi perdarahan yang banyak dan waktu operasi
lebih dari 90 menit atau bila kadar natrium menurun. Pada kasus hiponatremi berat diberikan
infus 3% saline sebanyak 150-200 cc dalam waktu 1-2 jam. Tindakan ini harus selalu disertai
furosemide intravena, terutama pada pasien dengan risiko terjadinya payah jantung kongestif.
Pemberian hipertonik saline ini dapat diulangi bila perlu. Selama pemberian saline hipertonik,
kadar elektrolit harus diperikasa tiap 2-4 jam untuk mencegah terjadinya hipernatremia. Pada
penderita hiponatremia yang menunjukkan gejala, gejalam itu bisa dihilangkan dengan
peningkatan kadar natrium 4-6 meq/liter saja. Dalam 12-24 jam pertama, hanya setengah dari
kekurangan kadar natrium yang perlu diatasi dengan pemberian saline 3%. Pemberian saline 3%
sebaiknya segera digantikan dengan normal saline. Jangan meningkatkan kadar natrium lebih
dari 20 meq/liter dalam waktu 24 jam. Dianjurkan untuk menaikkan kadar natrium secara
perlahan. Karena pemberian saline 30% hanya dipakai untuk tidak lebih dari separuh dari
penggantian kalium, maka pada pasien dengan hiponatremia berat hanya memerlukan 300-500cc
saline 3%(3).
Bila terjadi udem paru-paru, harus dilakukan intubasi trakeal dan ventilasi tekanan positif dengan
menggunakan oksigen 100%(1). Bila terjadi kehilangan darah yang banyak mak transfusi
dilakukan dengan menggunakan Packed Red Cells (PRC). Bila terjadi DIC diberikan fibrinogen
sebanyak 3-4 gram intravena diikuti dengan pemberian heparin 2000 unit secara bolus dan
diikuti 500 unit per jam. Dapat juga diberikan fresh frozen plasma dan trombosit, tergantung dari
profil koagulasi(1).
Pencegahan Sindroma TUR
Identifikasi gejala-gejala awal sindrom TUR diperlukan untuk mencegah manifestasi berat dan
fatal pada pasien-pasien dengan pembedahan urologi endoskopik. Bila diketahui adanya
hiponatremi yang terjadi sebelum operasi terutama pada pasien-pasien yang mendapat diuretik
dan diet rendah garam harus segera dikoreksi. Karena itu pemeriksaan natrium sebelum operasi
TUR perlu dilakukan. Pemberian antibiotik profilaktik mungkin mempunyai peran penting
dalam pencegahan bakteremia dan septicemia. Untuk penderita-penderita dengan penyakit
jantung, perlu dilakukan monitoring CVP atau kateterisasi arteri pulmonalis.
Tinggi cairan irigasi yang ideal adalah 60 cm dari pasien. Lamanya operasi TURP tidak boleh
lebih dari 1 jam. Bila diperlukan waktu lebih dari 1 jam, maka TURP sebaiknya dilakukan
bertahap. Pemeriksaan natrium serum sebaiknya dilakukan tiap 30 menit dan perlu dilakukan
koreksi sesuai dengan hasil serum natrium. Perlu dilakukan pemberian furosemid profilaksis
untuk mencegah overload cairan. Bila perlu dilakukan transfusi darah, sebaiknya dilakukan
dengan PRC bukan dengan whole blood. Perlu dilakukan pencegahan hipotermi misalnya dengan
menghangatkan cairan irigasi sampai 37˚C(1).

Ringkasan
Sindroma TUR adalah kumpulan tanda dan gejala yang terjadi pada penderita yang menjalani
operasi TURP yang disebabkan karena penyerapan cairan irigasi dalam jumlah besar. Sindroma
TUR dapat terjadi pada 2-10% operasi TURP dan masih dapat terjadi walaupun di tangan urolog
yang sudah berpengalaman sekalipun. Sindroma TUR paling banyak terjadi pada pemakaian
cairan irigasi yang hipotonik terutama bila yang dipakai adalah air steril. Karena penyerapan air
dalam jumlah besar mudah menimbulkan hiponatremia dan hemolisis. Frekuensi sindroma TUR
meningkat pada operasi yang lamanya lebih dari 90 menit, tetapi tidak menutup kemungkinan
bahwa sindroma TUR dapat terjadi pada operasi yang berlangsung dibawah 30 menit, pada
prostat yang besarnya lebih dari 45 gram, dan bila cairan irigasi yang dipakai 30 liter atau lebih.
Dalam penanganan sindroma TUR, yang paling penting adalah diagnosa dini yang memerlukan
kerja sama yang baik antara ahli bedah dan ahli anestesi. Diagnosa dini dari sindrom TUR dan
penanganan yang tepat banyak menurunkan angka kematian sindroma TUR ini.
Daftar Pustaka

1.Moorthy HK, Philip S. TURP Syndrome, Current Concepts In The Pathophysiology And
Management. Indian J Urol 2001;17:97-102.
2.Hahn RG, The Transurethral Resection Syndrome. Acta Anaesthesiol Scand. 1991 ; 35 (7):
557-567.
3.Leslie SW. Transurethral Resection of the Prostate. Taken from
www.emedicine.com/MED/topic3071.htm Accessed on 9 Sept 2008. Last Update Oct 33, 2006.
4.Marrero AS, Prodigalidad AM, Ambrosio AZ. Prediction and Early Diagnosis of Transurethral
Prostatectomy Syndrome. Members http://members.tripod.com/nktiuro/paper2.htm. Accessed on
9 Sept 2008
5.Gravenstein D, Transurethral Resection of the Prostate (TURP) Syndrome: A Review of the
Pathophysiology and Management. Anest Analg. 1997; 84: 438-446.
6.Jensen V, The TURP syndrome (Continuing Medical Education). Can J Anaesth. 1991; 38:1;
Page 90-97.
7.Mutlu NM, Titiz APM, Gogus N. Hyponatremia And Neurological Manifestations Of TURP
Syndrome. Taken from www.ispub.com. Accessed on 9 Sept 2008.
8.Issa M, Young M, Bullock A, Bouet R, Petros J. Dilutional hyponatremia of TURP syndrome:
A historical event in the 21st century. Urology. Volume 64; Issue 2; Pages 298-301.

Anda mungkin juga menyukai