Faktor etnik dan jenis kelamin penting dalam membedakan
manusia dalam pembagian kerja secara umum dan ketidaksetaraan kesempatan dan kondisi yang terkait. Faktor kelas dan status menjadi faktor yang menghasilkan pola ketidaksetaraan sosial dalam masyarakat. Persaingan antara kelompok sosial untuk akses ke sumberdaya yang langka dan bernilai menjadi konsolidasi seiring berjalannya waktu.
Berbagai jenis struktur sosial dipandang memiliki bentuk
stratifikasi karakteristik yang berbeda. Stratifikasi kelas dan status ini, bersamaan dengan ketidaksetaraan etnik dan jenis kelamin dan membentuk struktur ketidaksetaraan sosial yang dapat ditemukan dalam masyarakat semacam itu. Salah satu ciri utama masyarakat kapitalis adalah keberadaan kelompok tersebut. Kelas sosial adalah secara sosiologis merupakan ciri penting masyarakat tersebut.
Klasifikasi Kelas Sosial Pembagian Kelas Sosial terdiri atas
3 bagian yaitu : A. Berdasarkan Status Ekonomi.
1. Aristoteles membagi masyarakat secara ekonomi menjadi
kelas atau golongan: • Golongan sangat kaya • Golongan kaya • Golongan miskin.
2. Karl Marx juga membagi masyarakat menjadi tiga
golongan, yakni: Golongan kapitalis atau borjuis (menguasai tanah dan alat produksi) Golongan menengah (para pegawai pemerintah) Golongan proletar (kaum buruh atau pekerja pabrik)
Menurut Karl Marx golongan menengah cenderung
dimasukkan ke golongan kapatalis karena dalam kenyataannya golongan ini adalah pembela setia kaum kapitalis. Dengan demikian, dalam kenyataannya hanya terdapat dua golongan masyarakat, yakni golongan kapitalis atau borjuis dan golongan proletar.
3. Pada masyarakat Amerika Serikat, pelapisan masyarakat
dibagi menjadi enam kelas yakni:
Kelas sosial pertama : keluarga-keluarga yang telah
lama kaya.
Kelas sosial kedua : belum lama menjadi kaya
Kelas sosial ketiga : pengusaha, kaum professional
Kelas sosial Keempat : pegawai pemerintah, kaum semi profesional, supervisor, pengrajin terkemuka
Kelas sosial kelima : pekerja tetap (golongan
pekerja)
Kelas sosial keenam : para pekerja tidak tetap,
pengangguran, buruh musiman, orang bergantung pada tunjangan.
II. Adjustment And Defence
Saat seseorang mengambil suatu pekerjaan, mau tak mau
mereka harus tunduk pada suatu otonomi. Akibatnya, para karyawan dimanfaatkan saat munculnya rasa tunduk pada kontrol orang lain dalam pengaturan kerja. Individu akan menyesuaikan diri dengan caranya masing-masing, tapi tetap mengacu pada peraturan yang berlaku. 1. Accommodation, subjectivity and values (Penyesuaian diri, subjektivitas dan nilai) Penyesuaian dengan satu atau cara lain melibatkan tingkat ketahanan terhadap pola kekuasaan di mana pekerja menemukan diri mereka sendiri. Terdapat pertahanan diri sebagai upaya mempertahankan integritas pribadi seseorang. Identitas diri 'selalu dalam proses' (Jermier, Knights dan Nord 1994) dan kekuatan 'kemungkinan menyediakan kondisi’ untuk pembentukan identitas diri, 'sebuah proses yang melibatkan ketegangan abadi antara kekuatan dan ketahanan atau subjektivitas dan identitas'. Identitas diri seseorang melibatkan mereka dalam memegang nilai dan keyakinan yang akan selalu berbeda dari yang tersirat dalam 'subjektivitas' yang mana ditekankan dalam pekerjaan mereka
2. Withdrawal, instrumentalism and the management of
boredome (Penarikan, instrumentalisme, dan manajemen bosan) Ketidakpuasan yang diberikan oleh situasi kerja bereaksi terhadap karyawan dengan meninggalkan pekerjaan. Tingkat penarikan kembali teanga kerja dalam organisasi yang mempekerjakan (perusahaan) sering dijadikan indikator level konflik yang berguna dalam organisasi tersebut. Selain itu, ketidakpuasan dan keluhan berbentuk ketidakhadiran atau penerapan sanksi formal secara kolektif. Edwards and Scullion (1982) menunjukkan dengan contoh ketidakhadiran beberapa karyawan wanita lebih bisa diterima oleh manajernya daripada ketidakhadiran karyawan pria. Ketidakhadiran itu sendiri bukan sebuah persoalan; masalahnya adalah pemberian konteks struktur kontrol di mana itu terjadi. Salah satu cara utama agar pekerja dapat menyesuaikan diri dengan hilangnya pekerjaan adalah dengan mengambil identitas diri dari kehidupan non- kerja(lingkungan rumah). Kehilangan pekerjaan diatasi dengan cara dirasionalisasi sesuai kebutuhan ke tujuan lain. Misalnya, pendapatan yang diterima memungkinkan pekerja untuk memberikan kepuasan dan memberi anak mereka kehidupan yang lebih baik. Sennet dan Cobb (1977) dalam stiudi ‘hiddden injuries class’ berpendapat bahwa orang yang terus menerus diperintah oleh orang lain akan menyesuaikan diri dengan timbulnya rasa minder bahkan malu dengan diri sendiri. Purcell (1982) berpendapat tentang reaksi utama para pekerja wanita yang termasuk dalam ‘hidden injuries’ ditunjukkan dengan kepercayaan terhadap horoskop, peramal, dan takhayul karena wanita lebih susah dalam menyesuaikan diri. Roy (1952) dalam studi observasi partisipan klasik terhadap sekelompok operator mesin, mereka menciptakan kebiasaan dalam kelompok kerja merancang serangkaian jeda kerja seperti adanya waktu kopi untuk mengurangi monotonnya rutinitas kerja.
3. Joking, cursing, and horseplay (Lelucon, makian, dan
senda gurau yang kasar) Lelucon dapat berperan penting dalam cara individu menyesuaikan diri dengan lingkungan kerjanya. Workplace humour (humor dalam lingkungan kerja) merupakan segala komunukasi yang terjadi di kantor yang membuat orang merasa terhibur dan mengekspresikan emosi melalui tawa. Humor menjadi salah satu cara simpel untuk menyempatkan waktu luang dari jam kerja. Radcliffe Brown (1965) dalam joking reationship menunjukkan bagaimana permusuhan yang menyenangkan dan menggoda bisa membantu seorang individu dalam situasi yang beresiko konflik untuk menolong satu sama lain sehingga dapat membuat mereka bekerjasama dan berinteraksi. Bradney (1973) menunjukkan bahwa dalam lingkungan SPG candaan biasa digunakan untuk menghindari permusuhan dan ketegangan ataupun menunjukkan sindiran secara halus. Dalam studi pekerja konstruksi bercanda dapat menyebabkan kebencian tetapi juga menumbuhkan rasa pertemanan dan solidaritas (Applebaum 1981). Menurut Boland and Hoffman (1983) lelucon memiliki 2 fungsi antara lain: digunakan untuk memberitahukan kedudukan anggota baru dan membantu memelihara budaya organisasi. Barsoux (1993) mengatakan manajer menggunakan humor dalam dua cara 1. Untuk mempengaruhi dan membujuk, memotivasi dan menyatukan, mengatakan yang tak terkatakan dan memudahkan perubahan. 2. Menangkis kritik, mengatasi kegagalan, meredakan ketegangan dan membuat kehidupan kerja lebih nyaman. Collinson (1992) dala studinya menyoroti 'Tiga aspek dari budaya bercanda': 1 Sebagai media untuk membantu mengembangkan 'solidaritas kolektif untuk melawan kebosanan, sistem status organisasi dan kontrol manejemen' 2 Untuk memperkuat nilai-nilai sentral tentang 'maskulinitas kelas pekerja' jadi para pekerja 'diminta menunjukkan kemauan, misalnya, untuk memberi dan menerima candaan, bersumpah, memecat wanita, menangkap pekerja dan manajer white collar(berkerah putih) 'dan untuk mempertahankan wewenang domestik mereka. 3 Mengontrol mereka yang dirasa untuk tidak.bekontribusi pada suatu kegiatan kelompok atau proyek Budaya yang ditimbul di tempat kerja sering kali berdasarkan dari penolakan yang terjadi atas aturan yang telah dibuat oleh perusahaan.kebebasan dan hak istimewa yang sudah di sediakan oleh perusahan sering kali dilanggar karna masih banyakya praktik praktik ilegal yang dilakukan oleh pegawai perusahaan.hal ini sering terjadi karna banyaknya pegawai pegawai yang di paksa bekerja tetapi tidak mendapatkan apresiasi lebih dari perusahaan sehingga mereka melakukan sesuatu yang ilegal terhadap perusahaan tersebut.budaya ini juga sudah terssebar didalam suatu perusahaan yang terbagi atas kelompok kelompok yang mengalami hal serupa.
Sabotaase
Sabotase adalah gangguan kerja yang mengalir dalam suatu
organisasi yang dibiarkan.sabotase fisik adalah gangguan yang oaling jelas terlihat.sabotase bukan merupakan kecurangan yang dilakukan orang lain saja tetapi juga yang dilakukan oleh diri sendiri contohnya,menurunkan kualitas suatu produk atau memperlambat kinerja yang tidak seperti biasanya.sabotase ini terjadi juga karna hubungan timbal balik yang tidak berjalan lancar antara pemilik perusahaan dan karyawan hingga menyebabkan karyawan berlaku demikian untuk mengimbangi tanggapan yang di beri oleh pemilik perusahaan.
Manipulasi aturan
Pengawas dan manajer selalu terlibat dalam banyak manifestasi
konflik di tempat kerja yang telah kita pertimbangkan di sini. Konflik dan kerja sama adalah dua sisi mata uang yang sama dan di semua tingkat peraturan resmi yang dirancang untuk membantu mencapai tujuan resmi. Pada bab sebelumnya, kita melihat bagaimana pengawas mengoperasikan 'pola indulgensi' di mana pemecahan aturan diikat untuk mencapai kerja sama karyawan dan kami mencatat bagaimana prosedur birokrasi kadang-kadang rusak atau dimodifikasi untuk menyelesaikan pekerjaan. Penulis yang telah menggunakan wawasan etnometodologi dalam mempelajari organisasi telah mempertanyakan asumsi umum bahwa aturan menentukan perilaku. Dikatakan, sebaliknya, individu sering menggunakan peraturan sebagai sumber daya atau sarana untuk bekerja dalam menghadapi situasi apa pun yang muncul dan harus diatasi.
Pelayanan kerja dan pertahanan diri
Mengingat nilai budaya yang kuat diletakkan pada
independensi, otonomi dan ekspresi diri, masalah cenderung muncul bagi banyak orang dalam pekerjaan yang melibatkan pengambilan instruksi dari pelanggan atau klien sebagaimana adanya untuk orang-orang yang menerima perintah dari atasan. Strategi yang digunakan oleh pelacur untuk mempertahankan harga diri mereka dalam situasi seperti itu dicatat sebelumnya dan strategi serupa dapat dilihat di berbagai layanan pendudukan. Semakin berpotensi merendahkan layanan yang diberikan kepada pekerja layanan, semakin banyak kecenderungan penghinaan terhadap klien untuk menjadi elemen budaya kerja tertentu
III. The Mobilisation Of Interests
Mobilisasi kepentingan koalisi dan kepentingan pegawai
dalam masyarakat kapitalis industry yang tidak memiliki keahlian atau atribut pribadi yang sangat berharga, jarang memiliki kemampuan untuk membela diri terhadap usaha pengusaha untuk mengubah keseimbangan kontrak dalam usahanya- apalagi memperbaiki kondisi atau lingkungan kerja serta memberikan penghargaan. Oleh karena itu, terdapat kecenderungan umum dalam dunia kerja bahwa akan terbentuknya suatu kelompok berdasarkan kepentingan bersama dan tindakan kolektif yang harus diambil untuk membela atau memperjuangkan kepentingan tsb. Kelompok pegawai di berbagai tingkat cenderung membentuk kelompok untuk membela atau mempertahankan kepentingan mereka. Kelompok pegawai dapat dilihat untuk membuat klaim terhadap status profesional terutama jika mereka adalah administrator (Watson 1976). Namun, di tingkat bawah, di mana otonomi dan kebijaksanaanya lebih rendah, kelompok defensif paling dibutuhkan.
Serikat pekerja dan perundingan serta Serikat pekerja dapat
dipandang sebagai mekanisme pertahanan yang diperlukan yang telah dikembangkan di antara karyawan dalam masyarakat industrialisasi. Serikat Pekerja pegawai dibentuk untuk memperbaiki kemampuan mereka dalam menegosiasikan kondisi kerja dan penghargaan dengan pengusaha dan kadang- kadang mewakili kepentingan bersama di dalam lingkungan politik di luar tempat kerja. Gerakan Buruh Suatu kesatuan bersama seperti serikat pekerja dan partai politik terkait untuk mewakili kepentingan yang mempekerjakan orang secara keseluruhan diyakini memiliki kesamaan. Pandangan tentang apa tujuan serikat pekerja harus bervariasi antara para intelektual baik di kiri politik maupun di sebelah kanan, ini mencerminkan pentingnya serikat pekerja untuk masyarakat, pertama, kemampuan serikat pekerja untuk memberikan suara kepada kelompok pekerja dan, kedua, kekuatan potensial yang harus dipegang melalui aksi mogok (Martin 1989). Potensi politik serikat pekerja, yang bervariasi dari kendaraan potensial revolusioner yang berasosiasi dengan kelompok politik revolusioner untuk bertindak lebih pragmatis untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat kelas pekerja telah menjadi masalah perdebatan politik radikal sejak zaman Marx (Musa 1990). Namun, dimensi politik terhadap aktivitas serikat pekerja dapat muncul secara terpisah dari situasi sehari-hari situasi pekerjaan orang. Untuk memobilisasi orang untuk bertindak secara kolektif, hubungan yang cukup jelas dan langsung harus ada dalam pikiran mereka antara tindakan politik yang diusulkan dan keadaan spesifik kehidupan mereka yang mungkin dapat diubah oleh tindakan tersebut. Dan keadaan spesifik yang harus dihadapi oleh pemimpin kelompok dan perwakilan mereka terkait dengan kontrak implisit dengan atasan. Serikat pekerja ada di dalam ketegangan antara peran mereka yang mungkin sebagai elemen gerakan buruh dan peran mereka dalam perundingan bersama.
Perundingan bersama Metode untuk menyetujui kondisi
kerja dan penghargaan melalui proses negosiasi antara perwakilan pengusaha dan perwakilan dari karyawan yang terorganisir secara kolektif. Dimensi kelas sosial masih ada dalam tren ini. Crompton dan Jones (1984) berpendapat bahwa salah satu faktor penting dalam perluasan serikat buruh kerah putih adalah 'perubahan yang obyektif dalam situasi kelas' pekerja semacam itu. Hal ini disebabkan oleh tekanan pada biaya tenaga kerja yang menyebabkan rasionalisasi dan pengerjaan pekerjaan whitecollar dan penurunan keamanan kerja yang menyertainya dan dalam kondisi kerja mereka relatif terhadap pekerja manual. Berbagai penelitian selama bertahun-tahun telah menyarankan bahwa orientasi aktivis serikat pekerja melampaui perhatian instrumental sederhana terkait masalah pekerjaan (Fosh 1981; Fosh and Heery 1990). Hubungan antara serikat pekerja dan anggotanya secara umum telah bergerak melalui tiga tahap di Inggris (Heery dan Kelly 1994; Kelly dan Heery 1994):
• Dari tahun 1940an sampai pertengahan 1960an, 'keanggotaan
pasif sebagian besar dilayani oleh kader profesional negosiator’
• Setelah pertengahan tahun 1960an, ini sebagian terlantar oleh
hubungan partisipatif di mana 'fungsi pejabat serikat pekerja adalah untuk memfasilitasi pelayanan mandiri dan partisipasi dalam pengambilan keputusan oleh anggota'.
• Sejak pertengahan 1980an model organisasi ini telah
memberi jalan kepada hubungan pelayanan baru di mana anggota dipandang sebagai konsumen reaktif yang kebutuhannya harus diteliti dan ditanggapi dengan menggunakan teknik manajemen strategis. Perubahan tsb harus diatur dalam konteks perubahan budaya yang lebih luas di masyarakat, ( Heery dan Kelly) mereka merujuk pada nilai-nilai yang terkait dengan 'individualisme budaya perusahaan' dan 'perayaan kedaulatan konsumen'. Mereka juga menyarankan agar mengubah cara kerja pengorganisasian antar pengusaha yang berpengaruh pada organisasi serikat pekerja / buruh. Analisis ini menunjukkan sensitivitas petinggi serikat pekerja dan pemimpin terhadap harapan anggota dan keadaan pragmatis dimana mereka bekerja sendiri (Watson, 1988). Perdebatan akademis mengenai peran peetinggi serikat pekerja selama bertahun-tahun dianggap sebagai fokus pertanyaan 'demokrasi serikat buruh'. Titik awal perdebatan ini adalah klaim Robert Michels pada tahun 1915 (1949) dalam 'hukum besi oligarki' bahwa kontrol demokratik langsung oleh anggota organisasi buruh pasti akan dikompromikan oleh kepentingan pejabat yang harus ditunjuk begitu serikat berada di luar ukuran dan tingkat kompleksitas tertentu. Hal ini terjadi karena para pejabat menjadi sangat diperlukan dan memiliki kapasitas untuk memanipulasi situasi yang sesuai dengan kepentingan pribadi dan karir mereka.
Perubahan yang terjadi pada struktur pekerjaan dan komposisi
sosial tenaga kerja di seluruh dunia telah 'sangat merugikan organisasi serikat pekerja' dan, khususnya, pertumbuhan kelompok kerja baru dengan keterampilan yang langka yang dapat menyebabkan preferensi strategi pasar tenaga kerja individual, daripada kolektif, membuat sulit bagi serikat pekerja untuk merekrut pekerja semacam itu, sementara semakin banyak karyawan di layanan swasta dengan gaji rendah dan pekerjaan yang tidak aman mungkin kekurangan sumber daya dan kohesi untuk melakukan tindakan kolektif. (Bean 1994). Sifat pasar produk yang semakin kompetitif, tingkat pengangguran dan inisiatif negara yang tinggi untuk mengurangi kekuatan serikat pekerja (Martin 1992) pasca-1979 Pemerintahan Inggris sangat bersemangat dalam penyerangan serikat pekerja, pertama-tama dibatasi dan kemudian menghapus semua dasar hukum untuk toko tertutup, yang membuat pemalsuan sekunder ilegal, surat suara rahasia yang disyaratkan sebelum pemogokan dan kemudian mendapat persetujuan kontribusi politik, dan mewajibkan pemilihan ulang reguler pemimpin serikat pekerja utama melalui pemungutan suara secara rahasia.
Millward et al. (1992) mengamati suatu pola hasil
rangkaian Survei Hubungan Industri Warwick yang dilakukan sejak tahun 1980: • Pada tahun 1980 serikat pekerja mewakili karyawan di “mayoritas tempat kerja” dan melalui berbagai saluran. • Pada tahun 1984, kekuatan tawar menawar serikat pekerja sangat berkurang namun serikat masih merupakan 'elemen inti' dari sistem hubungan industrial. • Pada tahun 1990 sebagian besar ini telah berubah dan 'elemen kunci dari sistem perundingan bersama telah pudar atau telah berubah'. Untuk bertahan sebagai kekuatan yang signifikan, serikat pekerja harus menemukan cara untuk mempengaruhi kebijakan ekonomi nasional yang lebih luas. Secara khusus, seperti yang Visser (1994) katakan, 'kekuatan dan legitimasi serikat' akan terus terkikis kecuali mereka menemukan cara untuk mempromosikan kebijakan kerja penuh dan layak yang layak ' Ketegangan yang telah lama ada dalam gerakan serikat pekerja adalah antara kebutuhan akan perwakilan berskala besar di seluruh daerah pemilihan dan kebutuhan untuk membela kepentingan individu dan kelompok dalam situasi kerja spesifik atau 'domestik'. Penyebaran skema pembayaran- demi-hasil, tingginya permintaan untuk tenaga kerja, ketidaktepatan organisasi cabang serikat pekerja, dan penurunan asosiasi pengusaha semua berkontribusi terhadap kecenderungan tempat kerja itu sendiri untuk menjadi titik di mana kontrak implisit harus dilindungi atau diperbaiki. Pegawai serikat buruh di bengkel Perwakilan pekerja dan pejabat serikat pekerja 'awam' yang mewakili pengelolaan kepentingan rekan kerja yang memilih perwakilan sebagai juru bicara tempat kerja mereka. Batstone dkk. (1977) menunjukkan, tipe 'pemimpin' pramugara, yang mencoba secara aktif membentuk aktivitas kelompok, lebih berhasil daripada pelayan 'populis' yang cenderung mengikuti instruksi kelompok. Efektivitas mobilisasi kelompok di tempat kerja tidak dapat dilihat sepenuhnya bergantung pada keterampilan kepemimpinan dari pelayan toko. Teknologi yang digunakan dalam situasi tertentu dan keterampilan pekerja yang terkait dengannya dengan jelas menciptakan kondisi penting yang relevan dengan potensi mobilisasi (Sayles 1958). Darlington (1994) mengidentifikasi pola yang luas dari waktu ke waktu dalam hubungan antara stan toko dan manajemen Inggris Batstone dkk. (1978) telah mengambil pendekatan semacam itu dan menemukan empat 'sumber' kekuasaan: • Sejauh mana pekerja memiliki keterampilan yang tidak mudah diganti. • Sejauh mana posisi yang diduduki sangat penting bagi proses produksi. • Kedekatan dengan kelompok yang bisa mengganggu perusahaan. • Sejauh mana kelompok dapat menciptakan atau mengatasi ketidakpastian dalam proses produksi. Ketahanan terhadap perubahan pada bagian status karyawan yang lebih rendah sering dianggap sebagai perilaku neurotik atau konservatisme irasional. Setiap perubahan dalam organisasi kerja, skema pembayaran, teknologi atau apapun, mengandung ancaman potensial terhadap kontrak implisit antara majikan dan karyawan. Kecuali jika karyawan tersebut dapat dengan jelas melihat bahwa tidak ada perbedaan dalam berpihak pada majikan tindakan teraman adalah menolak perubahan tersebut. Sebuah studi kasus di mana perselisihan serius hampir terjadi selama usaha manajemen untuk menghentikan pekerja pabrik membuat teh di shopfloor menunjukkan bahwa di balik kekhawatiran yang tampaknya sepele ini, persepsi tentang niat manajemen untuk mengganggu praktik pemutusan hubungan kerja yang telah ditetapkan sebagai pelanggaran yang sangat serius terhadap otonomi umum mereka (Watson 1982). Kontrak implisit pekerja terancam oleh niat manajemen untuk meningkatkan lingkungan di mana ia mengendalikan perilaku karyawan.
Kemudian studi mengenai skema insentif 'dipilah-pilah',
terutama teori Roy (1952, 1953, 1954) dan Lupton (1963) telah menekankan rasionalitas di belakang mereka. Lupton berpendapat bahwa 'manipulasi skema insentif secara sistematis' adalah bentuk kontrol pekerja yang efektif terhadap lingkungan kerja. Praktek 'pemesanan silang' dan 'perbankan' yang banyak diikuti membantu memungkinkan pekerja untuk membawa serta menyebarkan pendapatan. Burawoy (1979) yang mendapati dirinya melakukan penelitian di pabrik yang sama dengan yang telah dipelajari Roy bertahun-tahun sebelumnya, bagaimanapun, mengamati bahwa dalam mengembangkan strategi untuk melihat independensi ini, para pekerja juga menyesuaikan diri dengan pola kekuasaan dan kepemilikan yang mapan di pabrik, sebuah Pola di mana mereka merugi relatif-dalam istilah ekonomi politik, mereka menciptakan persetujuan mereka sendiri.
IV. The Management Of Conflict And The Pursuit Of
Control
Pada masyarakat kapitalisme industri konflik muncul
karena pada dasarnya atasan mempekerjakan karyawan demi memenuhi tujuan mereka, sedangkan karyawan bekerja untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri. Menurut Watson (1986) kapitalisme industri bergantung pada tiga institusi ketenagakerjaan yang terkait organisasi kerja bebas yang rasional, yaitu tenaga kerja bebas formal, lembaga kerja, institusi organisasi internasional. Ketiga institusi tersebut menyebabkan terjadinya kontradiksi. Terdapat dua prinsip kontradiksi yang muncul dari hubungan ketiga institusi tersebut, yaitu prinsip pengendalian manusia (lembaga kerja dan organisasi internasional) dan prinsip kebebasan dan otonomi (tenaga kerja bebas formal).
Dalam menyampaikan aspirasi dan keluhan di suatu
perusahaan, dibutuhkan suatu lembaga yang dinamakan serikat pekerja. Serikat pekerja lebih mudah menyampaikan berbagai aspirasi atau keluhan para karyawan kepada atasan, hal tersebut dikarenakan serikat pekerja menyederhanakan berbagai aspirasi dan keluhan karyawan kemudian disampaikan kepada atasan dengan gaya komunikasi yang baik.
Dalam usaha menggeneralisasi kecenderungan pengusaha
dalam menangani isu-isu konflik industri, sangat penting untuk mengenali bahwa berbagai organisasi pengusaha cenderung mengikuti pendekatan yang berbeda. Berikut beberapa gaya pendekatan yang dikemukakan oleh Purcell dan Sisson (1983) :
1. Kaum tradisionalis, dimana manajemen secara langsung
memberlakukan keinginan mereka. 2. Kaum paternalis, dimana berbagai manfaat yang diberikan dan langkah-langkah kesejahteraan diadopsi sehingga dapat mencegah keinginan untuk terlibat dalam serikat. 3. Kaum modern, dimana serikat diberikan peran dalam penanganan masalah. 4. Kaum standar modern, dimana diakui bahwa manajemen dan karyawan memiliki nilai-nilai dan tujuan yang berbeda. Aktivitas manajerial harus dipahami dan tidak langsung dibebankan kepada karyawan. Friedman (1977) menunjukkan bagaimana beberapa karyawan lebih mampu daripada yang lain untuk menolak kontrol manajerial.
Strategi dapat dianggap sebagai pola yang muncul dari waktu
ke waktu, namun ( Mintzberg 1994). Dalam pengertian ini, kita dapat melihat strategi ketenagakerjaan yang muncul dalam organisasi bersamaan dengan strategi pasar, strategi keuangan, strategi teknologi dan sebagainya. Dalam hal pemikiran ketergantungan sumber daya yang dibahas sebelumnya, persepsi terakhir ini adalah masalah bagaimana 'strategis' konstituensi karyawan dirasakan. Dan persepsi cenderung berbeda dengan keadaan kontingen tertentu, misalnya pasar tenaga kerja yang berlaku, peran negara, teknologi yang digunakan, dan ukuran organisasi.Kontingensi ini tidak berpengaruh langsung terhadap pekerjaan