Anda di halaman 1dari 21

I.

The Structuring Of Work : Occupations And The


Social Division Of Labour

Faktor etnik dan jenis kelamin penting dalam membedakan


manusia dalam pembagian kerja secara umum dan ketidaksetaraan
kesempatan dan kondisi yang terkait. Faktor kelas dan status
menjadi faktor yang menghasilkan pola ketidaksetaraan sosial
dalam masyarakat. Persaingan antara kelompok sosial untuk akses
ke sumberdaya yang langka dan bernilai menjadi konsolidasi
seiring berjalannya waktu.

Berbagai jenis struktur sosial dipandang memiliki bentuk


stratifikasi karakteristik yang berbeda. Stratifikasi kelas dan status
ini, bersamaan dengan ketidaksetaraan etnik dan jenis kelamin dan
membentuk struktur ketidaksetaraan sosial yang dapat ditemukan
dalam masyarakat semacam itu. Salah satu ciri utama masyarakat
kapitalis adalah keberadaan kelompok tersebut. Kelas sosial adalah
secara sosiologis merupakan ciri penting masyarakat tersebut.

Klasifikasi Kelas Sosial Pembagian Kelas Sosial terdiri atas


3 bagian yaitu :
A. Berdasarkan Status Ekonomi.

1. Aristoteles membagi masyarakat secara ekonomi menjadi


kelas atau golongan:
• Golongan sangat kaya
• Golongan kaya
• Golongan miskin.

2. Karl Marx juga membagi masyarakat menjadi tiga


golongan, yakni:
 Golongan kapitalis atau borjuis (menguasai tanah dan
alat produksi)
 Golongan menengah (para pegawai pemerintah)
 Golongan proletar (kaum buruh atau pekerja pabrik)

Menurut Karl Marx golongan menengah cenderung


dimasukkan ke golongan kapatalis karena dalam kenyataannya
golongan ini adalah pembela setia kaum kapitalis. Dengan
demikian, dalam kenyataannya hanya terdapat dua golongan
masyarakat, yakni golongan kapitalis atau borjuis dan golongan
proletar.

3. Pada masyarakat Amerika Serikat, pelapisan masyarakat


dibagi menjadi enam kelas yakni:

 Kelas sosial pertama : keluarga-keluarga yang telah


lama kaya.

 Kelas sosial kedua : belum lama menjadi kaya

 Kelas sosial ketiga : pengusaha, kaum professional


Kelas sosial
 Keempat : pegawai pemerintah, kaum semi
profesional, supervisor, pengrajin terkemuka

 Kelas sosial kelima : pekerja tetap (golongan


pekerja)

 Kelas sosial keenam : para pekerja tidak tetap,


pengangguran, buruh musiman, orang bergantung
pada tunjangan.

II. Adjustment And Defence

Saat seseorang mengambil suatu pekerjaan, mau tak mau


mereka harus tunduk pada suatu otonomi. Akibatnya, para
karyawan dimanfaatkan saat munculnya rasa tunduk pada
kontrol orang lain dalam pengaturan kerja. Individu akan
menyesuaikan diri dengan caranya masing-masing, tapi tetap
mengacu pada peraturan yang berlaku.
1. Accommodation, subjectivity and values (Penyesuaian
diri, subjektivitas dan nilai)
Penyesuaian dengan satu atau cara lain melibatkan
tingkat ketahanan terhadap pola kekuasaan di mana
pekerja menemukan diri mereka sendiri. Terdapat
pertahanan diri sebagai upaya mempertahankan
integritas pribadi seseorang. Identitas diri 'selalu dalam
proses' (Jermier, Knights dan Nord 1994) dan kekuatan
'kemungkinan menyediakan kondisi’ untuk
pembentukan identitas diri, 'sebuah proses yang
melibatkan ketegangan abadi antara kekuatan dan
ketahanan atau subjektivitas dan identitas'. Identitas diri
seseorang melibatkan mereka dalam memegang nilai
dan keyakinan yang akan selalu berbeda dari yang
tersirat dalam 'subjektivitas' yang mana ditekankan
dalam pekerjaan mereka

2. Withdrawal, instrumentalism and the management of


boredome (Penarikan, instrumentalisme, dan
manajemen bosan)
Ketidakpuasan yang diberikan oleh situasi kerja
bereaksi terhadap karyawan dengan meninggalkan
pekerjaan. Tingkat penarikan kembali teanga kerja
dalam organisasi yang mempekerjakan (perusahaan)
sering dijadikan indikator level konflik yang berguna
dalam organisasi tersebut. Selain itu, ketidakpuasan dan
keluhan berbentuk ketidakhadiran atau penerapan
sanksi formal secara kolektif. Edwards and Scullion
(1982) menunjukkan dengan contoh ketidakhadiran
beberapa karyawan wanita lebih bisa diterima oleh
manajernya daripada ketidakhadiran karyawan pria.
Ketidakhadiran itu sendiri bukan sebuah persoalan;
masalahnya adalah pemberian konteks struktur kontrol
di mana itu terjadi.
Salah satu cara utama agar pekerja dapat
menyesuaikan diri dengan hilangnya pekerjaan adalah
dengan mengambil identitas diri dari kehidupan non-
kerja(lingkungan rumah). Kehilangan pekerjaan diatasi
dengan cara dirasionalisasi sesuai kebutuhan ke tujuan
lain. Misalnya, pendapatan yang diterima
memungkinkan pekerja untuk memberikan kepuasan
dan memberi anak mereka kehidupan yang lebih baik.
Sennet dan Cobb (1977) dalam stiudi ‘hiddden injuries
class’ berpendapat bahwa orang yang terus menerus
diperintah oleh orang lain akan menyesuaikan diri
dengan timbulnya rasa minder bahkan malu dengan diri
sendiri. Purcell (1982) berpendapat tentang reaksi
utama para pekerja wanita yang termasuk dalam
‘hidden injuries’ ditunjukkan dengan kepercayaan
terhadap horoskop, peramal, dan takhayul karena
wanita lebih susah dalam menyesuaikan diri. Roy
(1952) dalam studi observasi partisipan klasik terhadap
sekelompok operator mesin, mereka menciptakan
kebiasaan dalam kelompok kerja merancang
serangkaian jeda kerja seperti adanya waktu kopi untuk
mengurangi monotonnya rutinitas kerja.

3. Joking, cursing, and horseplay (Lelucon, makian, dan


senda gurau yang kasar)
Lelucon dapat berperan penting dalam cara individu
menyesuaikan diri dengan lingkungan kerjanya.
Workplace humour (humor dalam lingkungan kerja)
merupakan segala komunukasi yang terjadi di kantor
yang membuat orang merasa terhibur dan
mengekspresikan emosi melalui tawa. Humor menjadi
salah satu cara simpel untuk menyempatkan waktu
luang dari jam kerja. Radcliffe Brown (1965) dalam
joking reationship menunjukkan bagaimana
permusuhan yang menyenangkan dan menggoda bisa
membantu seorang individu dalam situasi yang beresiko
konflik untuk menolong satu sama lain sehingga dapat
membuat mereka bekerjasama dan berinteraksi.
Bradney (1973) menunjukkan bahwa dalam lingkungan
SPG candaan biasa digunakan untuk menghindari
permusuhan dan ketegangan ataupun menunjukkan
sindiran secara halus. Dalam studi pekerja konstruksi
bercanda dapat menyebabkan kebencian tetapi juga
menumbuhkan rasa pertemanan dan solidaritas
(Applebaum 1981). Menurut Boland and Hoffman
(1983) lelucon memiliki 2 fungsi antara lain: digunakan
untuk memberitahukan kedudukan anggota baru dan
membantu memelihara budaya organisasi. Barsoux
(1993) mengatakan manajer menggunakan humor
dalam dua cara 1. Untuk mempengaruhi dan
membujuk, memotivasi dan menyatukan, mengatakan
yang tak terkatakan dan memudahkan perubahan.
2. Menangkis kritik, mengatasi kegagalan, meredakan
ketegangan dan membuat kehidupan kerja lebih
nyaman.
Collinson (1992) dala studinya menyoroti 'Tiga
aspek dari budaya bercanda':
1 Sebagai media untuk membantu mengembangkan
'solidaritas kolektif untuk melawan kebosanan, sistem
status organisasi dan kontrol manejemen'
2 Untuk memperkuat nilai-nilai sentral tentang
'maskulinitas kelas pekerja' jadi para pekerja 'diminta
menunjukkan kemauan, misalnya, untuk memberi dan
menerima candaan, bersumpah, memecat wanita,
menangkap pekerja dan manajer white collar(berkerah
putih) 'dan untuk mempertahankan wewenang domestik
mereka.
3 Mengontrol mereka yang dirasa untuk
tidak.bekontribusi pada suatu kegiatan kelompok atau
proyek
Budaya yang ditimbul di tempat kerja sering kali
berdasarkan dari penolakan yang terjadi atas aturan yang telah
dibuat oleh perusahaan.kebebasan dan hak istimewa yang
sudah di sediakan oleh perusahan sering kali dilanggar karna
masih banyakya praktik praktik ilegal yang dilakukan oleh
pegawai perusahaan.hal ini sering terjadi karna banyaknya
pegawai pegawai yang di paksa bekerja tetapi tidak
mendapatkan apresiasi lebih dari perusahaan sehingga mereka
melakukan sesuatu yang ilegal terhadap perusahaan
tersebut.budaya ini juga sudah terssebar didalam suatu
perusahaan yang terbagi atas kelompok kelompok yang
mengalami hal serupa.

Sabotaase

Sabotase adalah gangguan kerja yang mengalir dalam suatu


organisasi yang dibiarkan.sabotase fisik adalah gangguan yang
oaling jelas terlihat.sabotase bukan merupakan kecurangan
yang dilakukan orang lain saja tetapi juga yang dilakukan oleh
diri sendiri contohnya,menurunkan kualitas suatu produk atau
memperlambat kinerja yang tidak seperti biasanya.sabotase ini
terjadi juga karna hubungan timbal balik yang tidak berjalan
lancar antara pemilik perusahaan dan karyawan hingga
menyebabkan karyawan berlaku demikian untuk mengimbangi
tanggapan yang di beri oleh pemilik perusahaan.

Manipulasi aturan

Pengawas dan manajer selalu terlibat dalam banyak manifestasi


konflik di tempat kerja yang telah kita pertimbangkan di sini.
Konflik dan kerja sama adalah dua sisi mata uang yang sama
dan di semua tingkat peraturan resmi yang dirancang untuk
membantu mencapai tujuan resmi. Pada bab sebelumnya, kita
melihat bagaimana pengawas mengoperasikan 'pola indulgensi'
di mana pemecahan aturan diikat untuk mencapai kerja sama
karyawan dan kami mencatat bagaimana prosedur birokrasi
kadang-kadang rusak atau dimodifikasi untuk menyelesaikan
pekerjaan. Penulis yang telah menggunakan wawasan
etnometodologi dalam mempelajari organisasi telah
mempertanyakan asumsi umum bahwa aturan menentukan
perilaku. Dikatakan, sebaliknya, individu sering menggunakan
peraturan sebagai sumber daya atau sarana untuk bekerja dalam
menghadapi situasi apa pun yang muncul dan harus diatasi.

Pelayanan kerja dan pertahanan diri

Mengingat nilai budaya yang kuat diletakkan pada


independensi, otonomi dan ekspresi diri, masalah cenderung
muncul bagi banyak orang dalam pekerjaan yang melibatkan
pengambilan instruksi dari pelanggan atau klien sebagaimana
adanya untuk orang-orang yang menerima perintah dari atasan.
Strategi yang digunakan oleh pelacur untuk mempertahankan
harga diri mereka dalam situasi seperti itu dicatat sebelumnya
dan strategi serupa dapat dilihat di berbagai layanan
pendudukan. Semakin berpotensi merendahkan layanan yang
diberikan kepada pekerja layanan, semakin banyak
kecenderungan penghinaan terhadap klien untuk menjadi
elemen budaya kerja tertentu

III. The Mobilisation Of Interests

Mobilisasi kepentingan koalisi dan kepentingan pegawai


dalam masyarakat kapitalis industry yang tidak memiliki
keahlian atau atribut pribadi yang sangat berharga, jarang
memiliki kemampuan untuk membela diri terhadap usaha
pengusaha untuk mengubah keseimbangan kontrak dalam
usahanya- apalagi memperbaiki kondisi atau lingkungan kerja
serta memberikan penghargaan. Oleh karena itu, terdapat
kecenderungan umum dalam dunia kerja bahwa akan
terbentuknya suatu kelompok berdasarkan kepentingan
bersama dan tindakan kolektif yang harus diambil untuk
membela atau memperjuangkan kepentingan tsb.
Kelompok pegawai di berbagai tingkat cenderung
membentuk kelompok untuk membela atau mempertahankan
kepentingan mereka. Kelompok pegawai dapat dilihat untuk
membuat klaim terhadap status profesional terutama jika
mereka adalah administrator (Watson 1976). Namun, di tingkat
bawah, di mana otonomi dan kebijaksanaanya lebih rendah,
kelompok defensif paling dibutuhkan.

Serikat pekerja dan perundingan serta Serikat pekerja dapat


dipandang sebagai mekanisme pertahanan yang diperlukan
yang telah dikembangkan di antara karyawan dalam
masyarakat industrialisasi. Serikat Pekerja pegawai dibentuk
untuk memperbaiki kemampuan mereka dalam menegosiasikan
kondisi kerja dan penghargaan dengan pengusaha dan kadang-
kadang mewakili kepentingan bersama di dalam lingkungan
politik di luar tempat kerja. Gerakan Buruh Suatu kesatuan
bersama seperti serikat pekerja dan partai politik terkait untuk
mewakili kepentingan yang mempekerjakan orang secara
keseluruhan diyakini memiliki kesamaan. Pandangan tentang
apa tujuan serikat pekerja harus bervariasi antara para
intelektual baik di kiri politik maupun di sebelah kanan, ini
mencerminkan pentingnya serikat pekerja untuk masyarakat,
pertama, kemampuan serikat pekerja untuk memberikan suara
kepada kelompok pekerja dan, kedua, kekuatan potensial yang
harus dipegang melalui aksi mogok (Martin 1989). Potensi
politik serikat pekerja, yang bervariasi dari kendaraan potensial
revolusioner yang berasosiasi dengan kelompok politik
revolusioner untuk bertindak lebih pragmatis untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat kelas pekerja telah
menjadi masalah perdebatan politik radikal sejak zaman Marx
(Musa 1990). Namun, dimensi politik terhadap aktivitas serikat
pekerja dapat muncul secara terpisah dari situasi sehari-hari
situasi pekerjaan orang. Untuk memobilisasi orang untuk
bertindak secara kolektif, hubungan yang cukup jelas dan
langsung harus ada dalam pikiran mereka antara tindakan
politik yang diusulkan dan keadaan spesifik kehidupan mereka
yang mungkin dapat diubah oleh tindakan tersebut. Dan
keadaan spesifik yang harus dihadapi oleh pemimpin kelompok
dan perwakilan mereka terkait dengan kontrak implisit dengan
atasan. Serikat pekerja ada di dalam ketegangan antara peran
mereka yang mungkin sebagai elemen gerakan buruh dan peran
mereka dalam perundingan bersama.

Perundingan bersama Metode untuk menyetujui kondisi


kerja dan penghargaan melalui proses negosiasi antara
perwakilan pengusaha dan perwakilan dari karyawan yang
terorganisir secara kolektif. Dimensi kelas sosial masih ada
dalam tren ini. Crompton dan Jones (1984) berpendapat bahwa
salah satu faktor penting dalam perluasan serikat buruh kerah
putih adalah 'perubahan yang obyektif dalam situasi kelas'
pekerja semacam itu. Hal ini disebabkan oleh tekanan pada
biaya tenaga kerja yang menyebabkan rasionalisasi dan
pengerjaan pekerjaan whitecollar dan penurunan keamanan
kerja yang menyertainya dan dalam kondisi kerja mereka
relatif terhadap pekerja manual. Berbagai penelitian selama
bertahun-tahun telah menyarankan bahwa orientasi aktivis
serikat pekerja melampaui perhatian instrumental sederhana
terkait masalah pekerjaan (Fosh 1981; Fosh and Heery 1990).
Hubungan antara serikat pekerja dan anggotanya secara umum
telah bergerak melalui tiga tahap di Inggris (Heery dan Kelly
1994; Kelly dan Heery 1994):

• Dari tahun 1940an sampai pertengahan 1960an, 'keanggotaan


pasif sebagian besar dilayani oleh kader profesional negosiator’

• Setelah pertengahan tahun 1960an, ini sebagian terlantar oleh


hubungan partisipatif di mana 'fungsi pejabat serikat pekerja
adalah untuk memfasilitasi pelayanan mandiri dan partisipasi
dalam pengambilan keputusan oleh anggota'.

• Sejak pertengahan 1980an model organisasi ini telah


memberi jalan kepada hubungan pelayanan baru di mana
anggota dipandang sebagai konsumen reaktif yang
kebutuhannya harus diteliti dan ditanggapi dengan
menggunakan teknik manajemen strategis.
Perubahan tsb harus diatur dalam konteks perubahan budaya
yang lebih luas di masyarakat, ( Heery dan Kelly) mereka
merujuk pada nilai-nilai yang terkait dengan 'individualisme
budaya perusahaan' dan 'perayaan kedaulatan konsumen'.
Mereka juga menyarankan agar mengubah cara kerja
pengorganisasian antar pengusaha yang berpengaruh pada
organisasi serikat pekerja / buruh. Analisis ini menunjukkan
sensitivitas petinggi serikat pekerja dan pemimpin terhadap
harapan anggota dan keadaan pragmatis dimana mereka
bekerja sendiri (Watson, 1988). Perdebatan akademis mengenai
peran peetinggi serikat pekerja selama bertahun-tahun
dianggap sebagai fokus pertanyaan 'demokrasi serikat buruh'.
Titik awal perdebatan ini adalah klaim Robert Michels pada
tahun 1915 (1949) dalam 'hukum besi oligarki' bahwa kontrol
demokratik langsung oleh anggota organisasi buruh pasti akan
dikompromikan oleh kepentingan pejabat yang harus ditunjuk
begitu serikat berada di luar ukuran dan tingkat kompleksitas
tertentu. Hal ini terjadi karena para pejabat menjadi sangat
diperlukan dan memiliki kapasitas untuk memanipulasi situasi
yang sesuai dengan kepentingan pribadi dan karir mereka.

Perubahan yang terjadi pada struktur pekerjaan dan komposisi


sosial tenaga kerja di seluruh dunia telah 'sangat merugikan
organisasi serikat pekerja' dan, khususnya, pertumbuhan
kelompok kerja baru dengan keterampilan yang langka yang
dapat menyebabkan preferensi strategi pasar tenaga kerja
individual, daripada kolektif, membuat sulit bagi serikat
pekerja untuk merekrut pekerja semacam itu, sementara
semakin banyak karyawan di layanan swasta dengan gaji
rendah dan pekerjaan yang tidak aman mungkin kekurangan
sumber daya dan kohesi untuk melakukan tindakan kolektif.
(Bean 1994). Sifat pasar produk yang semakin kompetitif,
tingkat pengangguran dan inisiatif negara yang tinggi untuk
mengurangi kekuatan serikat pekerja (Martin 1992) pasca-1979
Pemerintahan Inggris sangat bersemangat dalam penyerangan
serikat pekerja, pertama-tama dibatasi dan kemudian
menghapus semua dasar hukum untuk toko tertutup, yang
membuat pemalsuan sekunder ilegal, surat suara rahasia yang
disyaratkan sebelum pemogokan dan kemudian mendapat
persetujuan kontribusi politik, dan mewajibkan pemilihan
ulang reguler pemimpin serikat pekerja utama melalui
pemungutan suara secara rahasia.

Millward et al. (1992) mengamati suatu pola hasil


rangkaian Survei Hubungan Industri Warwick yang dilakukan
sejak tahun 1980:
• Pada tahun 1980 serikat pekerja mewakili karyawan di
“mayoritas tempat kerja” dan melalui berbagai saluran.
• Pada tahun 1984, kekuatan tawar menawar serikat pekerja
sangat berkurang namun serikat masih merupakan 'elemen inti'
dari sistem hubungan industrial.
• Pada tahun 1990 sebagian besar ini telah berubah dan 'elemen
kunci dari sistem perundingan bersama telah pudar atau telah
berubah'. Untuk bertahan sebagai kekuatan yang signifikan,
serikat pekerja harus menemukan cara untuk mempengaruhi
kebijakan ekonomi nasional yang lebih luas. Secara khusus,
seperti yang Visser (1994) katakan, 'kekuatan dan legitimasi
serikat' akan terus terkikis kecuali mereka menemukan cara
untuk mempromosikan kebijakan kerja penuh dan layak yang
layak '
Ketegangan yang telah lama ada dalam gerakan serikat
pekerja adalah antara kebutuhan akan perwakilan berskala
besar di seluruh daerah pemilihan dan kebutuhan untuk
membela kepentingan individu dan kelompok dalam situasi
kerja spesifik atau 'domestik'. Penyebaran skema pembayaran-
demi-hasil, tingginya permintaan untuk tenaga kerja,
ketidaktepatan organisasi cabang serikat pekerja, dan
penurunan asosiasi pengusaha semua berkontribusi terhadap
kecenderungan tempat kerja itu sendiri untuk menjadi titik di
mana kontrak implisit harus dilindungi atau diperbaiki.
Pegawai serikat buruh di bengkel Perwakilan pekerja dan
pejabat serikat pekerja 'awam' yang mewakili pengelolaan
kepentingan rekan kerja yang memilih perwakilan sebagai juru
bicara tempat kerja mereka. Batstone dkk. (1977)
menunjukkan, tipe 'pemimpin' pramugara, yang mencoba
secara aktif membentuk aktivitas kelompok, lebih berhasil
daripada pelayan 'populis' yang cenderung mengikuti instruksi
kelompok.
Efektivitas mobilisasi kelompok di tempat kerja tidak
dapat dilihat sepenuhnya bergantung pada keterampilan
kepemimpinan dari pelayan toko. Teknologi yang digunakan
dalam situasi tertentu dan keterampilan pekerja yang terkait
dengannya dengan jelas menciptakan kondisi penting yang
relevan dengan potensi mobilisasi (Sayles 1958). Darlington
(1994) mengidentifikasi pola yang luas dari waktu ke waktu
dalam hubungan antara stan toko dan manajemen Inggris
Batstone dkk. (1978) telah mengambil pendekatan semacam itu
dan menemukan empat 'sumber' kekuasaan:
• Sejauh mana pekerja memiliki keterampilan yang tidak
mudah diganti.
• Sejauh mana posisi yang diduduki sangat penting bagi proses
produksi.
• Kedekatan dengan kelompok yang bisa mengganggu
perusahaan.
• Sejauh mana kelompok dapat menciptakan atau mengatasi
ketidakpastian dalam proses produksi.
Ketahanan terhadap perubahan pada bagian status karyawan
yang lebih rendah sering dianggap sebagai perilaku neurotik
atau konservatisme irasional. Setiap perubahan dalam
organisasi kerja, skema pembayaran, teknologi atau apapun,
mengandung ancaman potensial terhadap kontrak implisit
antara majikan dan karyawan. Kecuali jika karyawan tersebut
dapat dengan jelas melihat bahwa tidak ada perbedaan dalam
berpihak pada majikan tindakan teraman adalah menolak
perubahan tersebut. Sebuah studi kasus di mana perselisihan
serius hampir terjadi selama usaha manajemen untuk
menghentikan pekerja pabrik membuat teh di shopfloor
menunjukkan bahwa di balik kekhawatiran yang tampaknya
sepele ini, persepsi tentang niat manajemen untuk mengganggu
praktik pemutusan hubungan kerja yang telah ditetapkan
sebagai pelanggaran yang sangat serius terhadap otonomi
umum mereka (Watson 1982). Kontrak implisit pekerja
terancam oleh niat manajemen untuk meningkatkan lingkungan
di mana ia mengendalikan perilaku karyawan.

Kemudian studi mengenai skema insentif 'dipilah-pilah',


terutama teori Roy (1952, 1953, 1954) dan Lupton (1963) telah
menekankan rasionalitas di belakang mereka. Lupton
berpendapat bahwa 'manipulasi skema insentif secara
sistematis' adalah bentuk kontrol pekerja yang efektif terhadap
lingkungan kerja. Praktek 'pemesanan silang' dan 'perbankan'
yang banyak diikuti membantu memungkinkan pekerja untuk
membawa serta menyebarkan pendapatan. Burawoy (1979)
yang mendapati dirinya melakukan penelitian di pabrik yang
sama dengan yang telah dipelajari Roy bertahun-tahun
sebelumnya, bagaimanapun, mengamati bahwa dalam
mengembangkan strategi untuk melihat independensi ini, para
pekerja juga menyesuaikan diri dengan pola kekuasaan dan
kepemilikan yang mapan di pabrik, sebuah Pola di mana
mereka merugi relatif-dalam istilah ekonomi politik, mereka
menciptakan persetujuan mereka sendiri.

IV. The Management Of Conflict And The Pursuit Of


Control

Pada masyarakat kapitalisme industri konflik muncul


karena pada dasarnya atasan mempekerjakan karyawan demi
memenuhi tujuan mereka, sedangkan karyawan bekerja untuk
memenuhi kebutuhan diri sendiri. Menurut Watson (1986)
kapitalisme industri bergantung pada tiga institusi ketenagakerjaan
yang terkait organisasi kerja bebas yang rasional, yaitu tenaga
kerja bebas formal, lembaga kerja, institusi organisasi
internasional. Ketiga institusi tersebut menyebabkan terjadinya
kontradiksi. Terdapat dua prinsip kontradiksi yang muncul dari
hubungan ketiga institusi tersebut, yaitu prinsip pengendalian
manusia (lembaga kerja dan organisasi internasional) dan prinsip
kebebasan dan otonomi (tenaga kerja bebas formal).

Dalam menyampaikan aspirasi dan keluhan di suatu


perusahaan, dibutuhkan suatu lembaga yang dinamakan serikat
pekerja. Serikat pekerja lebih mudah menyampaikan berbagai
aspirasi atau keluhan para karyawan kepada atasan, hal tersebut
dikarenakan serikat pekerja menyederhanakan berbagai aspirasi
dan keluhan karyawan kemudian disampaikan kepada atasan
dengan gaya komunikasi yang baik.

Dalam usaha menggeneralisasi kecenderungan pengusaha


dalam menangani isu-isu konflik industri, sangat penting untuk
mengenali bahwa berbagai organisasi pengusaha cenderung
mengikuti pendekatan yang berbeda. Berikut beberapa gaya
pendekatan yang dikemukakan oleh Purcell dan Sisson (1983) :

1. Kaum tradisionalis, dimana manajemen secara langsung


memberlakukan keinginan mereka.
2. Kaum paternalis, dimana berbagai manfaat yang diberikan
dan langkah-langkah kesejahteraan diadopsi sehingga dapat
mencegah keinginan untuk terlibat dalam serikat.
3. Kaum modern, dimana serikat diberikan peran dalam
penanganan masalah.
4. Kaum standar modern, dimana diakui bahwa manajemen
dan karyawan memiliki nilai-nilai dan tujuan yang berbeda.
Aktivitas manajerial harus dipahami dan tidak langsung
dibebankan kepada karyawan. Friedman (1977) menunjukkan
bagaimana beberapa karyawan lebih mampu daripada yang lain
untuk menolak kontrol manajerial.

Strategi dapat dianggap sebagai pola yang muncul dari waktu


ke waktu, namun ( Mintzberg 1994). Dalam pengertian ini, kita
dapat melihat strategi ketenagakerjaan yang muncul
dalam organisasi bersamaan dengan strategi pasar, strategi
keuangan, strategi teknologi dan sebagainya. Dalam hal pemikiran
ketergantungan sumber daya yang dibahas sebelumnya, persepsi
terakhir ini adalah masalah bagaimana 'strategis' konstituensi
karyawan dirasakan. Dan persepsi cenderung berbeda dengan
keadaan kontingen tertentu, misalnya pasar tenaga kerja yang
berlaku, peran negara, teknologi yang digunakan, dan ukuran
organisasi.Kontingensi ini tidak berpengaruh langsung terhadap
pekerjaan

Anda mungkin juga menyukai