Anda di halaman 1dari 38

Laporan Kasus dan Telaah Kritis Jurnal Diagnostik

Reaksi Kusta Tipe 1 (Reversal)

Oleh:
Gilang Widratama Putra

Pembimbing:
Sulamsih Sri Budini

BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA
RSUD dr. ZAINOEL ABIDIN BANDA ACEH
TAHUN 2019
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan
rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus
dengan judul “Reaksi Morbus Hansen” Laporan Kasus ini merupakan salah satu
tugas dalam menjalankan Kepaniteraan Klinik Senior Bagian/SMF Ilmu
Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala /
RSUD Dr. Zainoel Abidin Banda Aceh.
Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada dr. Sulamsih Sri Budini,
Sp.KK serta para dokter di bagian / SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin yang
telah memberikan arahan serta bimbingan hingga terselesaikannya laporan kasus
ini. Tidak ada kata sempurna dalam pembuatan sebuah laporan kasus.
Keterbatasan dalam penulisan maupun kajian yang dibahas merupakan beberapa
penyebabnya. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan masukan terhadap
laporan kasus ini demi perbaikan di masa yang akan datang.

Banda Aceh, Juni 2019

Penulis

ii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL.......................................................................................... i
KATA PENGANTAR........................................................................................ ii
DAFTAR ISI....................................................................................................... iii
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... iv
DAFTAR TABEL ............................................................................................. v
PENDAHULUAN.............................................................................................. 1
LAPORAN KASUS........................................................................................... 2
I. Identitas Pasien...................................................................................... 2
II. Anamnesis.............................................................................................. 2
III. Pemeriksaan Fisik.................................................................................. 3
IV. Pemeriksaan Penunjang......................................................................... 4
V. Diagnosis Banding................................................................................. 5
VI. Resume.................................................................................................. 5
VII. Diagnosis Klinis..................................................................................... 5
VIII. Tatalaksana............................................................................................ 5
IX. Edukasi.................................................................................................. 5
X. Prognosis................................................................................................ 6
ANALISA KASUS............................................................................................. 7
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................... 16
RESUME JURNAL........................................................................................... 18
TELAAH JURNAL........................................................................................... 22

iii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Lesi pada regio dorsum pedis dextra et sinistra............................. 4
Gambar 2. Dermatitis kontak alergika ec sandal jepit..................................... 13
Gambar 3. Dermatitis atopik............................................................................ 14
Gambar 4. Dermatitis asteatosis...................................................................... 14
Gambar 5. Dermatitis kontak iritan lemah...................................................... 15
Gambar 6. Dermatitis stasis............................................................................. 15

iv
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Diagnosis Banding ..................................................................................12

v
PENDAHULUAN

Reaksi kusta adalah episode akut dalam perjalanan kronis penyakit kusta,
merupakan reaksi kekebalan (cellular response) atau reaksi antigen antibody
(humoral response) yang merugikan, terutama jika mengenai saraf tepi karena
menyebabkan gangguan fungsi.1,2
Reaksi kusta adalah sebuah karakteristik dan aspek klinik yang penting dari
penyakit kusta. Sekitar 50% dari pasien akan mengalami reaksi kusta setelah
pemberian terapi multi-obat.3
Reaksi kusta dibagi menjadi 2 tipe yaitu reaksi tipe 1 atau disebut reversal
reaction (Jopling’s Type I Reaction) dan reaksi tipe 2 atau disebut Erythema
Nodusum Leprosum (Jopling’s Type II Reaction). Reaksi tipe 1 disebabkan oleh
peradangan kekebalan sel (cellular response) didalam lesi kulit yang ada. Reaksi
tipe 1 biasanya terjadi pada pasien dengan borderline leprosy (BT, BB, BL).
Reaksi tipe 2 disebabkan oleh reaksi kompleks imun (humoral response) dan
terjadi pada pasien dengan lepromatous leprosy (BL, LL).1,3
Prevalensi reaksi kusta tipe 1 dan tipe 2 bervariasi antar negara, 26%
penderita kusta di Brasil mengalami reaksi kusta tipe 1 dalam 2 tahun pengobatan
MDT.4 Sebuah studi di Brasil pada pasien reaksi kusta tipe 1 menunjukan bahwa
59,5% tipe BL, 33,4% tipe BB, dan 7,1% tipe LL. 5 Sedangkan reaksi kusta tipe 2
(ENL) sebanyak 37% di Brasil. Angka prevalensi kusta di Indonesia pada tahun
2017 sebesar 0,70 kasus/10.000 penduduk dan angka penemuan kasus baru
sebesar 6,08 kasus per 100.000 penduduk. Angka prevalensi New Case Detection
Rate (NCDR) kusta di Aceh pada tahun 2017 sudah mencapai angka 6,27% yaitu
sudah mencapai kusta beban rendah, yang sebelumnya pada tahun 2015 angka
prevalensi NCDR 10,48% yaitu kusta beban tinggi.6
Ada beberapa faktor resiko yang dapat mencetuskan terjadinya reaksi
kusta yaitu; umur saat saat didiagnosis kusta lebih dari 15 tahun, lama sakit lebih
dari 1 tahun, kelelahan fisik.7
Prognosis reaksi kusta tipe 1 adalah dubia ad bonam sampai dubia ad
malam. Apabila reaksi kusta 1 diobati dengan tepat dan adekuat, jarang menetap
sampai beberapa bulan. Rekurensi biasanya menunjukan terapi yang inadekuat.2,8

1
LAPORAN KASUS

Identitas Pasien
Nama : Tn. ISJ
Umur : 21 tahun
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Suku : Aceh
Agama : Islam
Pekerjaan : Wiraswasta
Berat Badan : 63 kg
Tinggi Badan : 170 cm
Alamat : Ujong Batee
Tanggal Pemeriksaan : 31 Mei 2019
Jaminan : JKA
Nomor CM : 0-98-88-35

Anamnesis
Keluhan Utama
Bengkak merah di wajah, telinga dan kedua tangan
Keluhan Tambahan
Bengkak merah disertai rasa nyeri, kebas-kebas pada kedua tangan dan kaki, nyeri
pada sendi dan tidak enak badan
Riwayat Penyakit Sekarang
Laki-laki 21 tahun datang ke poliklinik kulit dan kelamin RSUD dr. Zainoel
Abidin untuk kontrol ulang dengan keluhan bengkak kemerah di area wajah dan
kedua tangan yang dialami sejak 3 bulan. Menurut pasien keluhan pertama kali
muncul berupa bercak merah yang kecil seperti gigitan nyamuk, namun lama
kelamaan bercak merah semakin membengkak, melebar, dan memerah. Bengkak
disertai rasa nyeri yang dialami sudah 3 bulan namun sudah berkurang saat
kunjungan berobat. Awalnya bercak merah mengalami mati rasa di daerah lesi.
Sebelumnya pasien juga mengeluhkan kebas pada kedua tangan dan kaki,
penebalan pada cuping telinga, nyeri pada sendi dan tidak enak badan, namun

2
keluhan ini sudah mulai berkurang saat kunjungan berobat. Keluhan demam, mual
dan muntah disangkal oleh pasien.
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien memiliki riwayat morbus hansen tipe midborderline sejak bulan 31 Januari
2019.
Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada anggota keluarga dengan keluhan yang sama.
Riwayat Pemakaian Obat
MDT bulan ke-5, megabal tablet 2x500 mg, omeprazole tablet 2x20 mg, fitbon
tablet 1x1, soft u derm pemakaian luar, tablet penambah darah TSG 1x1 , metil
prednisolone tablet 2x16 mg, natrium diklofenak 2x50 mg
Riwayat Kebiasaan Sosial yang Terkait
Pasien merupakan seorang pekerja di bengkel dan sering bekerja hingga larut
malam.

Pemeriksaan Fisik
Vital sign
Kesadaran : Kompos mentis
TD : 120/80 mmHg
HR : 82x/menit
RR : 20 x/menit
T : 36,70C
BB/TB : 63 kg/ 170 cm

Pemeriksaan sensibilitas : Dalam batas normal

Pemeriksaan saraf tepi : Pembesaran n.auricularis dex et sin : Neuritis

Kekuatan otot : Dalam batas normal

3
Gambar 1. Pencatatan penderita kusta

2
Status Dermatologis

Gambar 2. Lesi pada regio fasialis

5
Gambar 3. Lesi pada regio manus dex et sinistra

Regio : Fasialis dan manus dex et sin


Deskripsi lesi : Tampak plak eritematous disertai edem, bentuk ireguler, ukuran
numular-plakat, jumlah multiple, distribusi generalisata.

Pemeriksaan Penunjang
Pada pasien dengan kecurigaan reaksi kusta, pemeriksaan penunjang yang
dapat dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis adalah BTA

4
pemeriksaan Bacterial Index Morphological Index (BI MI) dan pemeriksaan
histopatologi.

5
Diagnosis Banding
1. Reaksi kusta tipe 1
2. Selulitis
3. Erisipelas
4. Urtikaria
Resume
Telah diperiksa seorang laki-laki 21 tahun di poliklinik kulit dan kelamin RSUD
dr. Zainoel Abidin dengan keluhan bercak merah yang membengkak pada daerah
wajah dan kedua tangan, penebalan pada cupping telinga, penebalan N.
Auricularus magnus diseritai nyeri tekan. Keluhan nyeri sendi, tidak enak badan,
mati rasa pada lesi dan kebas pada kedua tangan dan kaki saat ini sudah
berkurang. Pasien memiliki riwayat morbus Hansen tipe borderline sejak bulan
Januari 2019. Hasil pemeriksaan dermatologis, pada regio fasialis dan manus dex
et sin tampak plak eritematous disertai edem, bentuk ireguler, ukuran numular-
plakat, jumlah multiple, distribusi generalisata.. Keluhan tersebut mengarah
kepada gejala klinis dari reaksi kusta tipe 1 atau reaksi reversal.

Diagnosis Klinis

Reaksi kusta tipe 1 (reaksi reversal)

Tatalaksana
- Mecobalamin tablet 500 mg 2 kali sehari
- Omeprazol tablet 20 mg 2 kali sehari
- Metil prednisolone tablet 16 mg 2 kali sehari
- Natrium doklofenak tablet 50 mg 2 kali sehari
- Fitbon tablet 1 kali sehari
- Tablet penambah darah TSG 1 kali sehari
- Carbonil diamida cream oles di daerah lesi
Edukasi
- Menjelaskan kepada pasien tentang penyakit yang diderita
- Istirahat, imobilisasi, perbaikan gizi dan keadaan umum
- Hindari faktor pencetus (kelelahan fisik)
- Apabila kulit kering pakai krim barrier (pelembab)

6
Prognosis
- Quo ad vitam : Dubia ad bonam
- Quo ad fungtionam : Dubia ad bonam
- Quo ad sanactionam : Dubia ad bonam

5
ANALISA KASUS

Telah diperiksa seorang pasien laki-laki usia 21 tahun di Poliklinik Kulit


dan kelamin RSUDZA Banda Aceh pada tanggal 31 May 2019 dengan keluhan
bengkak kemerahan di daerah wajah. Hasil anamnesis, pasien didiagnosis dengan
morbus hansen midborderline dan reaksi kusta tipe I. Reaksi kusta adalah episode
akut dalam perjalanan kronis penyakit kusta, merupakan reaksi kekebalan
(cellular response) atau reaksi antigen antibody (humoral response) yang
merugikan, terutama jika mengenai saraf tepi karena menyebabkan gangguan
fungsi.1,2,
Pasien seorang laki-laki berusia 21 tahun dengan diagnosis morbus hansen
midborderline dan reaksi kusta tipe I. Pada anamnesis, pasien sudah didiagnosis
dengan morbus hansen midborderline pada bulan Januari 2019 dan sedang dalam
tahap pengobatan. Morbus Hansen (Lepra, Kusta) adalah infeksi menahun yang
disebabkan Mycobacteria leprae (M.leprae) yang menyerang saaraf tepi,
selanjutnya dapat menyerang kulit dan organ lainnya. Terdapat beberapa aspek
klinis yang mendukung yang dapat dinilai pada pasien dengan morbus hansen.
Berdasarkan WHO pada tahun 2018 diagnosis morbus hansen berdasarkan adanya
tanda utama atau cardinal sign berupa; kelainan kulit yang hipopigmentasi atau
eritematos dengan anastesi yang jelas, kelainan saraf tepi berupa penebalan saraf
dengan anestesi, hapusan kulit positif untuk kuman tahan asam. Diagnosis
ditegakkan apabila dijumpai satu tanda utama tersebut. Pada hasil anamesis pasien
menyatakan adanya mati rasa pada lesi, tapi saat kunjungan kembali berobat
keluhan tersebut sudah berkurang. Pada hasil pemeriksaan fisik didapatkan
penebalan N.Auricularis magnus pada colli dextra et sinistra yang disertai dengan
nyeri tekan, selain itu pada pasien terdapat penebalan cuping telinga dextra et
sinistra.8,9
Prevalensi reaksi kusta tipe 1 dan tipe 2 bervariasi antar negara, 26%
penderita kusta di Brasil mengalami reaksi kusta tipe 1 dalam 2 tahun pengobatan
MDT. Sebuah studi di Brasil pada pasien reaksi kusta tipe 1 menunjukan bahwa
59,5% tipe BL, 33,4% tipe BB, dan 7,1% tipe LL. Berdasarkan infodatin, pusat
data dan informasi kementrian kesehatan RI, angka prevalensi penemuan kasus

6
baru kusta di Indonesia pada tahun 2015 menempati posisi ke-3 setelah India dan
Brasil dengan angka 17.202 kasus baru. Pada tahun 2017 sebesar 0,70
kasus/10.000 penduduk dan angka penemuan kasus baru sebesar 6,08 kasus per
100.000 penduduk. Berdasarkan bebannya, kusta dibagi menjadi 2 kelompok
yaitu beban kusta tinggi (high burden) dan beban kusta rendah (low burden).
Provinsi disebut high burden jika NCDR(new case detection rate:angka
penemuan kasus baru ) >10 per 100.000 penduduk dan atau jumlah kasus baru
lebih dari 1000, sedangkan low burden jika NCDR<10 per 100.000 penduduk atau
jumlah kasus baru kurang dari 1000 kasus. Angka prevalensi kusta di Aceh pada
tahun 2017 adalah 324 jiwa dan NCDR sudah mencapai angka 6,27% yaitu sudah
mencapai kusta beban rendah, yang sebelumnya pada tahun 2015 angka
prevalensi kasus baru 524 jiwa dan NCDR 10,48% yaitu kusta beban tinggi.4,5,6
Ada beberapa faktor resiko yang dapat mencetuskan terjadinya reaksi
kusta yaitu; umur saat saat didiagnosis kusta lebih dari 15 tahun,
lama sakit lebih dari 1 tahun, kelelahan fisik. Pada hasil
anamnesis didapatkan usia pasien yaitu 21 tahun dan pasien
menyatakan bahwa sebelum timbulnya keluhan, pasien
mengakui bahwa pasien sempat kerja berat dan sampai larut
malam di tempat kerjanya sehingga menyebabkan dirinya
kelelahan, hal ini sesuai dengan salah satu faktor resiko yang
dapat mencetuskan terjadinya reaksi kusta. Kelelahan fisik
merupakan bentuk dari stres fisik yang akan berpengaruh
terhadap respon imun. Respon imun dalam keadaan stres fisik
dapat berupa respons non spesifik, proliferasi limfosit atas
pengaruh mitogen, timbulnya sel sitotoksik (Tc) antigen spesifik,
aktivasi makrofag, perubahan keseimbangan Th1 dan Th2 serta
sekresi sitokin. Kelelahan fisik dapat menyebabkan kerentanan
terhadap penyakit dan infeksi yang dipengaruhi oleh hormon
kortisol yang berperan dalam menekan sistem imun serta dapat
menimbulkan depresi limfosit, makrofag, leukosit dan IL-2.
Perubahan keseimbangan hormonal pada penderita kusta akan
memicu terjadinya reaksi kusta. 9,12
Penelitian Brigitte Ranque,

5
et.al (1997), yang menyimpulkan bahwa umur saat didignosa
kusta lebih dari 15 tahun merupakan faktor risiko terjadinya
reaksi kusta, sedangkan umur kurang dari 15 tahun cenderung
lebih sedikit mengalami reaksi kusta. Hal ini disebabkan karena
dalam sistem imun anak, Th2 diduga kuat mampu mengatasi
terjadinya infeksi sehingga frekuensi reaksi kusta lebih kecil
terjadi
pada anak. Sedangkan pada orang dewasa ketersediaan sel T
memori
lebih banyak dan menyebabkan frekuensi terjadinya reaksi kusta
lebih
tinggi dan dapat memicu reaksi silang antara antigen M. leprae
dengan
antigen non M. leprae seperti M. tuberculosis. Hal ini juga
didukung oleh penelitian Schollard D.M, et.al (1994), yang
menyatakan bahwa reaksi kusta tipe I ternyata banyak dialami
oleh penderita kusta masa adolesens hingga usia yang lebih tua.
9,10,11

Pada hasil hasil anamnesis pasien mengeluhkan bengkak kemerahan pada


wajah dan tangan, nyeri pada lesi, kebas-kebas pada kedua tangan dan kaki, nyeri
sendi, tidak enak badan, keluhan tersebut dirasakan sudah berkurang. Keluhan
demam, mual muntah disangkal pasien. Pemeriksaan fisik terdapat lesi bengkak
kemerahan pada wajah muncul pada daerah wajah dan kedua tangan, pembesaran
N.auricularis magnus disertai rasa nyeri dan penebalan cupping telinga. Dari hasil
pemeriksaan status dermatologis pada regio fasialis dan manus dex et sin tampak
plak eritematous disertai edem, bentuk ireguler, ukuran numular-plakat, jumlah
multiple, distribusi generalisata. Reaksi kusta dibagi menjadi 2 tipe dan kedua tipe
memiliki ciri-cirinya sendiri. Pada reaksi kusta tipe 1 atau biasa disebut reaksi
reversal sering terjadi pada pasien dengan kusta bentuk borderline (BT, BB, BL).
Reaksi tipe 1 terjadi akibat dari aktivitas sistem imunitas seluler (CMI). Reaksi
kusta tipe 1 merupakan reaksi penanda dari penyakit kusta dan biasanya menetap
untuk beberapa minggu atau bulan. Gejala umum pasien dengan reaksi kusta tipe

6
1 biasanya tidak memiliki keluhan, tidak terdapat demam dan pasien tidak
merasakan rasa sakit. Pada pemeriksaan status dermatologis akan didapatkan lesi
yang lama atau baru yang kemerahan, yang lama kelamaan akan semakin merah,
membengkak, berkilau dan hangat. Lesi biasanya tidak sakit, akan tetapi akan
timbul perasaan rasa tidak nyaman dari pasien. Pada pasien dengan reaksi kusta
tipe 1 akan disertai dengan gangguan saraf tepi baik berupa neuritis akut,
neuropathy. Selain itu gejala lain berupa pembengkakan pada wajah, tangan dan
atau kaki . Pada pasien dengan reaksi kusta tipe 1 tidak didapatkan gangguan pada
mata akan tetapi pasien dapat beresiko terjadinya corneal anaesthesia dan
lagophtalmus yang disebabkan oleh gangguan saraf trigeminal dan saraf fasialis. 13
Secara patofisiologinya kusta tipe 1 atau reaksi reversal, adalah reaksi
hipersensitivitas tipe IV, yang terjadi pada pasien kusta tipe borderline dengan
respons imun seluler terhadap antigen M. leprae, dan ditandai dengan peradangan
akut pada kulit yang sudah ada sebelumnya. lesi atau dengan munculnya lesi baru
dengan atau tanpa neuritis. Sekitar 95% dari kasus reaksi kusta tipe 1 didiagnosis
bersamaan dengan kusta atau selama 2 tahun pertama MDT. Aktivasi imunitas
bawaan menyebabkan produksi sitokin dan ekspresi molekul co-stimulator yang
mengaktivasi imunitas seluler. Reaksi kusta tipe 1 disebabkan oleh peningkatan
respons yang dimediasi sel terhadap determinan antigen M. leprae yang ditandai
oleh aktivitas limfosit T helper (Th-1) yang mengekspresikan IL-12 dan IFN-γ.
IFN-γ dan TNF-α yang memproduksi sel CD4 dan sel T sitotoksik meningkat
secara selektif seiring dengan pembersihan bakteri basil dan kerusakan jaringan
yang terjadi bersamaan. Sitokin TNF-α sangat penting untuk kekebalan anti-
mikobakteri dan memainkan peran penting dalam pembentukan granuloma, selain
itu Inducible Nitric Oxide Synthase (iNOS) adalah enzim yang bertanggung jawab
untuk mensintesis radikal nitrogen reaktif yang terlibat dalam pembunuhan
mikobakteri selama infeksi mikobakteri. Peran siklooksigenase (COX) dan faktor
pertumbuhan endotel vaskular (Vascular endothelial growth factor / VEGF) juga
telah dipostulatkan dalam patogenesis kusta dan reaksi kusta tipe 1. Paparan yang
berlebih dari VEGF dan reseptor VEGF yang ada di dalam sel granuloma,
endotelium vaskular, dan epidermis lebih tinggi dibandingkan dengan kusta non-
reaksi. Pada lesi reaksi kusta tipe 1 menunjukkan adanya paparan COX2 dalam

5
pembuluh mikro, bundel saraf, dan serat saraf. Pada tempat yang sama juga
menunjukkan adanya paparan VEGF. VEGF meningkatkan produksi
prostaglandin melalui stimulasi COX2 dan meningkatkan sintesis prostaglandin.
Ini menyebabkan perubahan vaskular yang mengarah ke edema jaringan, yang
merupakan karakteristik dari reaksi kusta tipe 1. Seiring perjalanannya penyakit
reaksi kusta tipe, edema yang terjadi pada serabut dan bundel saraf dapat
menyebabkan kerusakan saraf permanen, yang merupakan sekuel jangka panjang
dari reaksi kusta tipe 1. Oleh karena itu selektif inhibitor COX 2 dapat
dipertimbangkan untuk pengobatan reaksi kusta tipe 1, terutama pada tahap awal,
untuk mengurangi gejala akut dan mungkin mencegah kerusakan saraf jangka
panjang.1,2,13
Pada hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik didapatkan, pasien sempat
mengeluhkan mati rasa pada daerah lesi, rasa kebas-kebas pada kedua tangan dan
kaki dan dijumpai pembesaran nervus auricularis magnus dextra et sinistra disertai
rasa nyeri. Sebagian bakteri M. leprae yang masuk ke dalam tubuh manusia
mungkin akan lolos dari serangan sistem kekebalan alamiah tersebut. Melalui
mekanisme menumpang di dalam monosit seperti pada infeksi tuberkulosis diparu
(Troyan-horsephenomen) basil kusta terbawa masuk ke organ yang lebih dalam
tubuh dan mencari sasaran sel yang sistem pertahanannya lemah sambil
berkembang biak. Salah satu jenis sel fagosit yang menjadi sasaran adalah sel
Schwann yang terletak di perineum saraf tepi. Oleh karena itu sel Schwann ini
menjadi pos pertama dari basil kusta sebelum menginvasi kekulit dan organ lain.
Sel ini digolongkan dalam “non professional phagocyte”, karena tidak bisa
mengekspresikan MHC class II dipermukaan selnya, kecuali bila diaktifkan oleh
Interferon gamma (IFN γ). Antigen yang dihasilkan oleh M.leprae akan ditangkap
oleh sel dendritik (Antigen Presenting Cell / APC) yang kemudian sel dendritik
mepaparkan ke sel T limfosit dengan bantuan sel Th1, melalui mediator inflamasi
TNF-α, dan sitokin IFN γ. Sel T limfosit yang sudah teraktivasi selanjutnya akan
merusak dan melisiskan sel schwann yang terinfeksi. Terdapat lima kelainan saraf
perifer yang secara umum ada pada penyakit kusta, yaitu; 1. Pembesaran saraf,
pembesaran saraf biasanya terjadi secara simetris, khususnya yang dekat dengan
kulit seperti pada N. Auricularis magnus, n.ulnaris, n.radial cutaneous, n.tibialis

6
peroneal superfial, sural, dan posterior; 2. Gangguan sensorik pada lesi kulit; 3.
Palsi saraf dengan atau tidak tanda-tanda dan gejala peradangan, silent
neuropathy, kehilangan kemampuan sensorik dan motorik; 4. Stocking-glove
pattern of sensory impairment(S-GPSI), dari serat tipe C, yang melibatkan
diskriminasi panas dan dingin sebelum kehilangan rasa sakit atau sentuhan ringan,
dimulai dari area akral dan seiring waktu, memanjang secara terpusat tapi tidak
pada telapak tangan, setidaknya untuk sementara; 5. Anhidrosis pada telapak
tangan atau telapak kaki yang menandakan sudah ada keterlibatan saraf
simpatis.1,7,8,13
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah, pemeriksaan kuman pada
sediaan apus (preparat) digunakan indeks bakteri (Bacterial Index), indeks
morfologi (Morphological Index) dan histopatologi. Kegunaan BI MI adalah
untuk menentukan tipe penyakit kusta dan menilai hasil pengobatan. 2 Hasil BI MI
pada pasien ini adalah. Kepadatan BTA tanpa membedakan solid dan nonsolid
pada sebuah sediaan dinyatakan dengan dengan bacterial index (BI) dengan nilai
dari 0 sampai 6+ menurut Ridley. 0 bila tidak ada BTA dalam 100 lapangan
pandang (LP). 1+ bila 1-10 BTA dalam 100 LP, 2+ bila 1-10 BTA dalam 10 LP,
3+ bila 1-10 BTA rata-rata dalam 1 LP, 4+ bila 11-100 BTA rata-rata dalam 1
LP,5+ bila 101-1000 BTA rata-rata dalam 1 LP, 6+ bila >1000 BTA rata-rata
dalam 1 LP. Morphological Index (MI) adalah presentase bentuk solid
dibandingkan dengan jumal solid dan non solid. Meskipun sudah ada ketentuan /
patokan solid dan non solid, setiap individu yang mengambil bahan kerokan
jaringan sampai selesai menjadi sediaan, persiapan perlengkapan laboratorium,
interpretasi sediaan akan menentukan hasil interpretasi yang bersifat subjektif. Hal
ini menyebabkan suatu institute terkenal dan termasuk tertua di dunia tidak berani
membedakan antara solid dan nonsolid. Contoh lain antara dua tokoh dunia lepra
yaitu SHEPARD dan REES. Mereka selalu berbeda interpretasi hasil pengamatan
sediaan yang sama antara solid dan non solid. Pemeriksaan penunjang
histopatologi juga dapat dilakukan untuk reaksi kusta tipe 1. Reaksi kusta tipe 1
terjadi terutama di BT, BB dan BL. Pasien dengan latar belakang penyakit kusta
tipe BT, BB, atau BL. Fitur histologis yang menjadi ciri reaksi kusta tipe 1 adalah
adanya edema pada dermis superfisial dan edema pada granuloma dengan

5
disorganisasi granuloma, penampakan sel raksasa tubuh asing (kadang-kadang
dengan vakuola karena edema intraseluler), pembesaran sel langerhans dengan
erosi epidermal dengan spongiosis
(Gambar 3 dan 4), dan fibroplasia di dermis. 1,2,14

Gambar 4. Kusta tipe BT dengan rekasi kusta tipe 1. Edema di dermis papiler
dan granuloma dengan disorganisasi granuloma dan kehadiran sel langerhans.14

Gambar 5. Kusta tipe BT dengan reaksi kusta tipe 1.


Edema pada granuloma dengan disorganisasi granuloma dan
Kehadiran banyak limfosit dan sel raksasa Langhans.14

Pada hasil anamnesis pasien juga sudah mengkonsumsi obat MDT selama
5 bulan. Terapi morbus hansen tipe midborderline atau multibasiler adalah
rifampisin 600 mg setiap bulan, dalamp pengawasan, DDS 100 mg setiap hari,
klofazimin: 300 mg setiap bulan, dalam pengawasan, kemudian diteruskan 50 mg
sehari atau 100mg selama sehari atau 3 kali 100 mg setiap minggu. Awalnya

6
kombinasi obat ini diberikan 24 dosis dalam 24 sampai 36 bulan dengan syarat
bakterioskopis harus negatif. Apabila bakterioskopis masih positif, pengobatan
harus dilanjutkan sampai bakterioskopis negatif. Selama pengobatan dilakukan
pemeriksaan secara klinis setiap bulan dan secara bakterioskopis minimal setiap 3
bulan. Jadi besar kemungkinan pengobatan kusta multibasiler ini hanya selama 2
sampai 3 tahun. Hal ini adalah waktu yang relatif singkat dan dengan batasan
waktu yang tegas, jika dibandingkan dengan cara sebelumnya yang memerlukan
waktu minumal 10 tahun sampai seumur hidup. Penghentian pemberian obat
lazim disebut Release From Treatment (RFT). Setelah RFT dilakukan tindak
lanjut (tanpa pengobatan) secara klinis dan bakterioskopis minimal setiap tahun
selama 5 tahun. Apabila bakterioskopis teteap negatif dan klinis tidak ada
keaktifan baru, maka dinyatakan bebas dari pengamatan atau disebut Release
From Control (RFC). Saat ini, apabila secara klinis sudah terjadi penyembuhan,
pemberian obat dapat dihentikan.1,2,15

Gambar 6. Rekomendasi terapi antibiotik kusta1

MDT yang direkomendasikan saat ini untuk kusta PB adalah rifampisin


dan dapson selama 6 bulan dan MDT untuk MB leprosy yang direkomendasikan
saat ini adalah rifampisin, clofazimine dan dapson selama 12 bulan. MDT
didistribusikan dalam kemasan paket pada saat digunakan (disediakan tanpa biaya
sebagai sumbangan oleh perusahaan farmasi dan didistribusikan ke program-
program kusta nasional oleh WHO) dengan paket khusus untuk orang dewasa dan
anak-anak. Rejimen membutuhkan semua pasien dengan kusta untuk

5
diklasifikasikan sebagai PB atau MB, dengan perbedaan lebih lanjut antara orang
dewasa dan anak-anak. Tersedia empat paket : PB dewasa, PB anak, MB dewasa,
dan MB anak.8

Gambar 7. Rekomendasi Rejimen Terapi.8


Alasan untuk merekomendasikan tiga rejimen obat adalah rifampisin
(bakterisida) akan membunuh semua organisme yang rentan, termasuk yang
resisten terhadap dapson (bakteriostatik), dan dapson pada akhirnya akan
menghilangkan semua organisme yang rentan, termasuk yang resisten terhadap
rifampisin. Clofazimine (bakterisida lemah, bakteriostatik) ditambahkan untuk
meniadakan risiko resistensi dapson.1
Rifampisin adalah obat yang menjadi salah satu komponen kombinasi
DDS dengan dosis 10mg/kg berat badan. Rifampisin tidak boleh diberikan
sebagai monoterapi, oleh karena memperbesar kemungkinan terjadinya resistensi,
tetapi pada pengobatan kombinasi selalu diikutkan, tidak boleh diberikan setiap
minggu atau setiap 2 minggu mengingat efek sampingnya. Lama pemberian
tergantung jenis kusta yang diderita. Efek samping yang harus diperhatikan adalah
hepatotoksis, nefrotoksik, gejala gastrointestinal, flu-like syndrome, dan erupsi
kulit.2
Secara kimia, dapson adalah turunan anilin. Sebagai sulfon, dapson
menunjukkan struktur atom sulfur yang menghubungkan ke dua atom karbon.
Sebagai agen antimikroba, dapson bersifat bakteriostatik tindakan. Ini

6
menghambat sintesis asam dihidrofolat melalui dengan bersaing dengan asam
para-aminobenzoic untuk aktif situs sintetase dihidropteroat. Sulfon ditemukan
untuk menekan pertumbuhan berbagai bakteri patogen seperti streptokokus,
stafilokokus, pneumokokus, mikobakteri, dan jenis lainnya. Pada 20 tahun
pertama dapson digunakan sebagai monoterapi. Pada tahun 1960, Shepard
berhasil melakukan inokulasi M.lepare ke dalam telapak kaki mencit. Pada tahun
1964, pembuktian pertama kali dengan inokulasi adanya resistensi terhadap DDS
oleh Pettit dan Rees, disusul secara beruntun pembuktian adanya resistensi yang
meningkat di berbagai negara. Dengan adanya pembuktian resistensi tersebut
berubahlah pola berpikir dan tindakan kemoterapi kusta dari monoterapi ke MDT.
Dosis dapson dewasa yang diberikan untuk terapi kusta adalah 100mg/kg berat
badan setiap hari, lama pemberian tergantung dari jenis kusta yang diderita. Efek
samping DDS antara lain nyeri kepala, erupsi obat, anemia hemolitik, leukopenia,
insomnia, neuropati perifer, sindrom DDS, nekrolisi epidermal toksik, hepatitis,
hipoalbuminemia, dan methemoglobinemia.1,2,16
Klofazimin atau lampren awalnya dijelaskan pada tahun 1957, adalah
prototipe antibiotik riminophenazine. Aplikasi klinis utama clofazimine sejak
1962 telah digunakan untuk pengobatan kusta multibasiler sebagai komponen
obat rangkap tiga yang direkomendasikan WHO rejimen. Meskipun aktivitas
antimikroba, khasiat clofazimine dalam pengobatan kusta disebabkan oleh
keduanya sifat lipofilik dan anti-inflamasi dari agen ini. Lipofilisitas
memungkinkan clofazimine menumpuk di kulit dan saraf, sementara aktivitas
anti-inflamasinya berpotensi berguna dalam mengendalikan eritema nodosum
leprosum dan reaksi reversal. Dosis klofazimin yang diberikan adalah 50 mg
setiap hari, atau 100 mg selang satu hari, atau 3 x 100 mg setiap minggu. Untuk
dosis sebagai penanggulan ENL dengan dosis yang lebih yaitu 200 mg – 300
mg/hari,namun awita kerja baru timbul setelah 2-3 minggu. Resistensi pertama
pada satu kasus dibuktikan pada tahun 1982. Efek sampingnya ialah warna merah
kecoklatan pada kulit dan warna kekuningan pada sklera, sehingga mirip ikterus,
apalagi pada dosis tinggi, yang sering merupakan masalah dalam ketaatan berobat
penderita. Pigmentasi bersifat reversibel, meskipun menghilangnya lambat sejak
obat dihentikan, oleh karena itu edukasi yang baik harus dijelaskan kepada pasien

5
untuk menjaga ketaatan berobat pasien. Efek lain yang hanya terjadi dalam dosis
tinggi, yakni nyeri abdomen, nausea, diare, anoreksia, vomitus dan dapat terjadi
penurunan berat badan. 2,17
Sebagai penyakit polimorf, satu pendekatan untuk diagnosis bandingnya
adalah dengan menekankan jenis lesi primer dan lesi sekunder yang ditemukan
pada kusta adalah serta dalam kondisi yang mungkin meniru kusta atau ditiru oleh
kusta. Untuk lesi primer dapat berupa lesi makula dan patch, lesi papul sampai
nodul, plak, plak eritematus. Untuk lesi sekunder dapat berupa infarcts dan ulkus
pada Lucio phenomenon.1
Pasien ini datang dengan lesi plak eritematous. Plak eritematosa dapat
menyerupai selulitis atau erisipelas. Plak tanpa perubahan pigmen mungkin
berbentuk seperti wheal, menyebabkan kebingungan dengan urtikaria. Diagnosis
banding pada pasien ini adalah selulitis, urtikaria, erispelas.1,2
Secara klinis lesi reaksi kusta tipe 1 didapatkan lesi plak eritematous yang
membengkak pada lesi sebelumnya yang ada atau timbul lesi yang baru pada kulit
yang sehat. Bentuk morfologinya bermacam-macam, seperti anular, konsentris,
dan eksim. Jumlah lesi berjumlah multiple, jarang dengan jumlah yang soliter
kecuali lesinya merupakan dari kusta tipe BT yang menjadi kusta tipe TT.
Biasanya disertai dengan gejala gangguan saraf tepi.1 Erisepelas adalah penyakit
infeksi akut, biasanya disebabkan oleh streptococcus, gejala utamanya ialah
eritema berwarna merah cerah, berbatas tegas, dengan tepi yang meninggi dan
dapat dibedakan dengan kulit yang sehat. Etiologi penyebab biasanya disebabkan
oleh group A -hemolytic streptococcus (GAS). Selulitis memiliki banyak fitur
yang sama dengan erysipelas, akan tetapi lesi yang ditimbulkan terus menjalar ke
daerah jaringan subkutan. Selulitis dibedakan dengan erysipelas dengan dua
temuan fisik, yaitu, lesi selulitis tidak meninggi dan batas dengan kulit yang sehat
tidak jelas. Lesi terasa keras saat palpasi dan sangat menyakitkan. Urtikaria
merupakan reaksi vascular dari kulit, berwarna merah atau keputihan yang timbuk
mendadak dan hilang perlahan-lahan, disebabkan karena pengeluaran histamine
yang menimbulkan pelebaran pembuluh darah. Urtikaria Terdiri dari bintil-
bintil / wheal (papula dan plak edematus transien), biasanya disertai rasa
gatal/pruritus.1,2

6
Tatalaksana yang diberikan pada pasien reaksi kusta tipe 1 / reaksi reversal
berat yaitu terbagi dua yaitu medikamentosa dan non medika mentosa. Pada
tatalaksana medikamentosa pasien adalah metil prednisolon sebagai kortikosteroid
sistemik, metil prednisolon 16 mg yang diberikan 2 kali dalam sehari, natrium
diklofenak 50 mg yang diberikan 2 kali dalam sehari, mecobalamin 500 mg yang
diberikan 2 kali dalam sehari, omeprazol 20 mg diberikan 2 kali dalam sehari,
Fitbon tablet yang diberikan 1 kali dalam sehari tablet penambah darah TSG yang
diberikan 1 kali dalam sehari, krim carbonil diamida tube yang digunakan sebagai
pelembab untuk pemakaian luar.
Reaksi kusta tipe 1 / reaksi reversal dihubungkan dengan reaksi
hipersensitivitas tipe IV, yang terjadi pada pasien kusta tipe borderline dengan
respons imun seluler terhadap antigen M. leprae, dan ditandai dengan peradangan
akut pada kulit yang sudah ada sebelumnya. Terapi pada reaksi kusta tipe 1 berat
terdiri dari beberapa pilihan. Pertama, pengobatan dengan kortikosteroid.
Pengobatan dengan prednisolon merupakan terapi pilihan untuk reaksi kusta tipe 1
berat, obat yang paling sering dipakai ialah tablet kortikosteroid, antara lain
prednisone. Pemberian dosis tergantung pada berat ringannya reaksi, dosis
pemberian prednisone adalah 15-30 mg per hari, kadang-kadang lebih. Semakin
berat reaksinya makin tinggi dosisnya, tetapi sebaliknya bila reaksinya terlalu
ringan, tidak perlu diberikan. Efek samping penggunaan kortikosteroid jangka
panjang juga tidak boleh lupakan. Masalah yang mungkin timbul berupa ulkus
peptikum, diabetes, gangguan haid, osteoporosis, depresi, dan masalah emosional.
Pada pasien ini mendapatkan tablet metil prednisolone 16 mg yang diberikan 2
kali dalam sehari. Pemberian kortikosteroid berperan sebagai anti inflamasi,
imunosupresif, dan vasokontriksi. Kortikosteroid sebagai anti inflamasi bekerja
dengan cara menghambat pelepasan enzim fosfolipase A 2 untuk menghambat
pembentukan prostaglandin, leukotrien, dan turunan asam arakidonat lainnya.
Kortikosteroid juga berperan sebagai penyembuhan inflamasi dengan menurunkan
aktivasi dari sitokin proinflamasi seperti interleukin 1α (IL-1α). Kortikosteroid
berperan sebagai agen imunosupresif dengan menekan produksi dan efek dari
faktor humoral imun tubuh yang terlibat terhadap respons inflamasi. Mekanisme
vasokonstriksi dari kortikosteroid topikal yaitu dengan menyebabkan konstriksi

5
kapiler superfisial dermis sehingga dapat menurunkan munculnya eritema pada
kulit. Kemampuan vasokontriksi golongan kortikosteroid sangat berhubungan
dengan potensi kekuatan anti inflamasi dari masing-masing kelas mulai dari
potensi sangat kuat hingga potensi ringan. 2,18,19,20
Pasien juga mendapatkan terapi natrium diklofenak 50 mg yang diberikan
2 kali sehari. Penanganan reaksi ringan adalah dengan istirahat, imobilisasi, rawat
jalan, dan pemberian obat-obatan. Golongan anti inflamasi non steroid (AINS)
adalah pilihan terapi yang paling sering digunakan ,beberapa AINS yang sering
digunakan antara lain aspirin, ibuprofen, piroksikam, dan diklofenak Diklofenak
bekerja dengan menghentikan enzim siklooksigenase (COX) sehingga kehilangan
sintesis prostaglandin dan beberapa sitokin pro-inflamasi. Diklofenak merupakan
bahan yang paling baik ditoleransi dibandingkan dengan bahan AINS lainnya.
Efek
samping penggunaan jangka panjang yang paling sering terdiri dari ulkus
peptikum, oleh karena itu pasien biasanya diberi ranitidin oral sebagai terapi
profilaksis.
Pasien juga mendapatkan terapi tablet omeprazole 20 mg yang diberikan 2
kali dalam sehari. Terdapat lima penghambat pompa proton yang tersedia untuk digunakan
dalam klinis: omeprazol, lansoprazol, rabeprazol, pantoprazol, dan esomeprazol.
Semuanya merupakan benzimidasol tersubstitusi yang strukturnya menyerupai
antagonis H2 tetapi memiliki mekanisme kerja yang amat berbeda. Asam
lambung dieksresi oleh sel parietal lambung saat memutuskan rangsangan seperti
menerima makanan di lambung atau usus dan rasa, bau, penglihatan atau
memperoleh makanan. Rangsangan ini mengaktifkan aktivasi histamin, asetilkolin
atau reseptor gastrin (H2, M3 dan reseptor CCK2, masing-masing) yang terletak
di membran basolateral dari sel parietal, yang memerlukan transfer transduksi
sinyal yang berfungsi pada transfer H + K + -ATPase - sekresi asam. Inhibitor
pompa proton seperti omeprazole adalah produk yang diubah menjadi asam aktif
dalam lingkungan asam. Omeprazol adalah asam lemah, dan khusus
terkonsentrasi dalam kanalikuli asam dari sel parietal, dimana diaktifkan dengan
proses proton-katalis untuk menghasilkan sulphenamide. Sulphenamide
membantu kovalen dengan kelompok sulphydryl residu sistein dalam domain

6
ekstraselular dari H + K + -ATPase - khusus Cys 813 - dapat digunakan untuk
melakukan aktifitasnya. Inhibitor pompa proton spesifik seperti omeprazole dalam
kanalikuli dari sel parietal mendukung dalam profil efek samping yang
menguntungkan. Omeprazol memiliki pekerjaan yang unik karena memiliki
tempat kerja dan bekerja langsung pada pompa asam (H + / K + ATPase) yang
merupakan proses akhir dari asam lambung dari sel-sel parietal. Enzim gastrik
atau pompa proton atau disebut juga pompa asam ini banyak tersedia dalam sel-
sel parietal. Pompa proton ini terletak di selaput sel parietal. Dalam proses ini, ion
H dipompa dari sel parietal ke dalam lumen dan terjadi proses transisi dengan ion
K. Omeprazol memblok sekresi asam lambung dengan cara menghambat H + / K
+ ATPase pompa dalam membran sel parietal. Pemberian metilprednisolon dalam
jangka waktu yang lama dapat menyebabkan gangguan gastrointestinal berupa
tukak peptik. Selain itu pemberian kortikosteroid dapat memperparah keadaan
tukak peptik yang sudah ada. Pemberian omeprazole digunakan sebagai
profilaksis agar tidak terjadinya gangguan gastrointestinal pada pasien.22,23,24
Pasien juga mendapatkan terapi tablet megabal 500 mg yang diberikan 2
kali dalam sehari. Vitamin B12 biasanya digunakan sebagai nutrisi olahraga, dan
dalam beberapa tahun terakhir digunakan untuk menjaga agar tidak mengalami
anemia. Vitamin B12 dianggap sebagai vitamin penghilang rasa sakit di beberapa
negara dari tahun 1950. Baru-baru ini penelitian menunjukkan bahwa vitamin B12
memainkan peran penting dalam fungsi normal otak, sistem saraf dan
pembentukan darah. Sel Schwann adalah konstituen dari sistem saraf perifer yang
mana sel schwann memainkan peran penting dalam regenerasi setelah cedera saraf
perifer. Diferensiasi sel schwann pada saraf tepi yang cedera sangat penting untuk
regenerasi setelah cedera. Methylcobalamin (MeCbl) adalah analog vitamin B12
yang diperlukan untuk pemeliharaan sistem saraf perifer. Vitamin B12 sangat
penting untuk menjaga fungsi normal sistem saraf. MeCbl adalah bentuk aktif
vitamin B12 yang penting untuk metabolisme biokimia dan prasyarat untuk fungsi
motorik dan sensorik dari sistem saraf mamalia. Dikarenakan bakteri M.leprae
aktif di sistem saraf perifer, terutama pada sel schwann, maka diperlukan terapi
untuk mengembalikan regenerasi sel schwann yang telah rusak agar kembalinya
fungsi motorik dan sensorik.25,26

5
Pasien juga diberikan terapi tablet obat penambah darah TSG/ferrous
sulfate yang diberikan 1 kali dalam sehari. Ferrous sulfate juga dikenal sebagai
Green vitriol. Ferrous sulfate masuk ke kelompok farmakologis yang disebut agen
hematologi dan garam besi yang disintetis. Zat besi dibutuhkan oleh tubuh
manusia untuk menjaga kesehatan, terutama untuk membantu pembentukan sel
darah merah yang membawa oksigen ke seluruh tubuh. Kekurangan zat besi dapat
mengindikasikan bahwa tubuh tidak dapat memproduksi cukup sel darah merah
normal yang dikenal sebagai anemia defisiensi besi dan dapat menyebabkan
kelelahan, sesak napas, jantung berdebar, pusing, dan sakit kepala. Ferrous sulfate
menyediakan zat besi dalam bentuk ferro(fe2+), komponen penting dalam
hemoglobin, mioglobin, dan berbagai enzim. Ferro(fe 2+) bergabung dengan rantai
porfirin yang ada didalam heme dan globin untuk membentuk hemoglobin, yang
sangat penting untuk pengiriman oksigen dari paru-paru ke jaringan lain
Pemberian obat dapson dapat menyebabkan beberapa efek samping, yang paling
serius adalah Dapson Hypersensitivity Syndrome yang berpotensi fatal. Anemia
hemolitik yang diinduksi dapson sebagian besar dilaporkan pada pasien dengan
defisiensi G6PD. Pada pasien dengan tingkat G6PD yang normal menunjukkan
bahwa hemolisis mungkin merupakan kejadian yang dapat terjadi. Oleh karena itu
pemberian obat tablet penambah darah TSG digunakan untuk mencegah
terjadinya anemia pada pasien.27,28
Pasien juga mendapatkan terapi fitbon yang diberikan 1 kali dalam sehari.
Fitbon mengandung glucosamine HCL 500 mg. Glukosamin adalah turunan dari
metabolisme glukosa seluler. Glukosamin adalah gula amino yang diproduksi
secara alami pada manusia. Glukosamin juga ditemukan di kerang, atau dapat
dibuat di laboratorium. Glukosamin hidroklorida adalah salah satu dari beberapa
bentuk glukosamin. Ini juga merupakan komponen glikosaminoglikan dan
proteoglikan dari matriks tulang rawan yang menutupi ujung tulang dan asam
hialuronat yang merupakan bagian dari cairan sinovial dalam sendi. Glukosamin
mudah diserap dari saluran pencernaan dengan pemberian oral, cepat mengalami
metabolisme melalui hati dan efek lulus pertama, dan dihilangkan melalui kotoran
dan urin. Mekanisme kerja glukosamin pada manusia tidak diketahui. Karena
glukosamin adalah bagian dari matriks tulang rawan dalam jaringan sendi,

6
pemberiannya dapat mempengaruhi pengurangan gejala untuk penderita OA
dengan memberikan asupan komponen untuk perbaikan tulang rawan dan dengan
demikian mengurangi rasa sakit dan kecacatan. Namun, baru-baru ini, telah
ditunjukkan dalam model hewan bahwa glukosamin memiliki efek antiinflamasi
melalui pengurangan beta faktor kappa nuklir yang diinduksi oleh interleukin-1
(IL-1). Beberapa penelitian pada manusia mengungkapkan bahwa glukosamin
HCl mengurangi IL-1 yang merangsang produksi enzim katabolik dan penanda
inflamasi seperti prostaglandin E2 oleh kondrosit dan sel sinovial yang diambil
dari spesimen bedah yang diambil dari pasien dengan OA. Pada pasien dengan
reaksi kusta, ada beberapa gejala yang muncul salah satunya arthritis atau nyeri
sendi, pemberian fitbon ditujukan untuk mengurangi gejala tersebut.29
Pasien juga mendapatkan terapi soft u derm untuk pemakaian luar. Soft u
derm memiliki komposisi berupa carbonil diamida yang berfungsi sebagai
pelembab. Salah satu risiko terapi MDT adalah efek samping kolektif. Untungnya,
efek samping dilaporkan di seluruh dunia setelah penggunaan MDT pada ribuan
pasien tetap ringan dan jarang. Namun, atribusi dari reaksi yang merugikan
individu MDT harus ditetapkan secara jelas dan tegas. Di antara efek samping
yang timbul adalah perubahan warna kulit coklat-hitam umum yang disebabkan
oleh klofazimin. Penampilannya dimulai sekitar bulan ketiga. Sebuah penurunan
yang dapat dilihat mulai terlihat sekitar 6 beberapa bulan setelah menghentikan
rejimen dan biasanya pada 12 bulan kulit telah kembali ke pigmentasi normal.
Dalam iklim dan cuaca kering, gangguan seperti xerosis dapat menyertai
perubahan warna tersebut. Xerosis bisa dikelola dengan menggunakan pelembab.
Mengurangi paparan sinar matahari juga disarankan. Selain itu pada reaksi kusta
akan timbul gangguan pada sistem saraf simpatik yang akan menyebabkan
anhidrosis, pada keadaan kulit yang kering, akan mudah terjadinya fissure yang
akan memudahkan bakteri lain masuk yang menyebabkan secondary infection.30,31
Tatalaksana non medikamentosa yang dianjurkan yaitu istirahat,
imobilisasi, perbaikan gizi serta menghindari faktor resiko yang dapat
menimbulkan reaksis kusta berulang, yaitu berupa hidari aktivitas yang berat agar
tidak terjadi kelelahan.7

5
6
Tabel 4. Diagnosis Banding
Diagnosa Definisi Deskripsi Lesi Gambar
Reaksi . Reaksi kustatipe 1 Lesi reaksi
kusta tipe adalah episode akut kusta tipe 1.
1 dalam perjalanan Tampak lesi
kronis penyakit kusta, plak
merupakan reaksi eritematous,
kekebalan (cellular bentuk

response) yang irregular,


ukuran
merugikan, terutama
Gambar 8. 1
numular-plakat,
jika mengenai saraf
jumlah
tepi karena
multiple,
menyebabkan
distribusi
gangguan fungsi.1,2
regional
Selulitis Selulitis adalah Plak
kelainan kulit berupa eritematous
infiltrate yang difus di disertai
subkutan dengan tanda- pembengkakan,
tanda radang akut.2 ukuran plakat,
batas tidak
tegas, jumlah
multiple
distribusi
regional Gambar 9. 32

13
Urticaria Urtikaria adalah wheals Lesi urtikaria Gambar 10. 32
(papula dan plak edema Tampak wheal
transien, biasanya warna putih-
pruritus dan karena pink, jumlah
edema pembuluh multiple,
darah). Wheals terletak ukuran
di superfisial, dengan numular,
batas yang tegas.2 beberapa wheal
berkonfulens
menjadi satu
Erisipelas Erisipelas adalah
penyakit infeksi akut, Lesi erysipelas.
Tampah plak
biasanya disebabkan
eritematous,
oleh ukuran plakat,
batas tegas,
streptococcus,gejala
jumlah
utamanya ialah eritema multiple,
distribusi
berwarna merah cerah
simetris
dan berbatas tegas.2

Gambar 11. 32

DAFTAR PUSTAKA

14
1. Wolff K, Goldsmith L, Katz S, Gilchrest B, Paller AS, Leffell D.
Fitzpatrick's Dermatology in General Medicine, 8th Edition. New York:
McGraw-Hill; 2011.
2. Wisnu I. SKamsoe-Daili ES Menaldi SL. Ilmu penyakit kulit dan kelamin.
7th ed. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2015
3. James, William D, Dirk M. Elston, Timothy G. Berger, and George C.
Andrews. Andrews' Diseases of the Skin: Clinical Dermatology. London:
Saunders/ Elsevier, 2011
4. Kahawita IP, Walker SL, Lockwood DN. Leprosy type 1 reactions and
erythema nodosum leprosum. An Bras Dermatol. 2008; 83:75-82
5. Nery JA, Bernardes Filho F, Quintanilha J, Machado AM, Oliveira S, Sales
AM, et al. Understanding the type 1 reactional state for early diagnosis and
treatment: A way to avoid disability in leprosy. An Bras Dermatol.
2013;88(5):787-92
6. Kementerian kesehatan RI. INFODATIN Pusat Data dan Informasi
Kemeterian Kesehatan RI. Hapuskan Stigma dan Diskriminasi Terhadap
Kusta. 2018
7. Prawoto. Faktor-faktor resiko yang berpengaruh terhadap terjadinya reaksi
kusta. Semarang: Universitas Diponegoro;2008
8. Guidelines for the diagnosis, treatment and prevention of leprosy. New
Delhi: World Health Organization, Regional Office for South-East Asia;
2017. Licence: CC BY-NC-SA 3.0 IGO.
9. Hajar S. Morbus Hansen Biokimia dan Imunopatogenesis. Banda Aceh.
Jurnal Kedokteran Syiah Kuala. 2017; 190-194
10. Ranque B, Thuc V.N, Thai H.V, Huong T.N, Ba N.N, Khoa X.P, Schurr E,
Age is an Important Risk Faktor for Onset and sequele of Reversal Reactions
in Vietnamese Patients with Leprosy, 2004 ; 33-9.
11. Schollard D.M, Smith T, Bhoopat L, Theetranont C, Rangdaeng S, Morens
D.M, Epidemiologic Characteristics of leprosy Reactions, International
Journal of Leprosy, 1994, vol.64, number 2, 1994 ; 559-65
12. Baratawijaya K.G, Imunologi Dasar, edisi kelima, FKUI, 2002; 190-1

13
13. Pandhi D, Chhabra N. New insights in the pathogenesis of type 1 and type 2
lepra reaction. Indian J Dermatol Venereol Leprol 2013;79:739-49
14. Massone, Cesare & Alemu, Workalemahu & Schettini, Antonio. (2014).
Histopathology of the lepromatous skin biopsy. Clinics in Dermatology. 33.
10.1016/j.clindermatol.2014.10.003.
15. World Health Organization. WHO model prescribing information: drugs
used
in mycobacterial diseases. Geneva, Switzerland: World Health Organization;
1991. Available at: http://apps.who.int/medicinedocs/en/d/Js5511e/
16. Wozel, Gottfried & Blasum, Christian. (2013). Dapsone in dermatology and
beyond. Archives of dermatological research. 306. 10.1007/s00403-013-
1409-7.
17. Cholo, Moloko & Steel, Helen & Fourie, P Bernard & A Germishuizen,
Willem & Anderson, Ronald. (2012). Clofazimine: Current status and future
prospects. The Journal of antimicrobial chemotherapy. 67. 290-8.
10.1093/jac/dkr444.
18. Ramadhian, M. Ricky & Cinintia Asmarantaka, Gindi. (2016). Laki-laki 35
Tahun dengan Lepra Multi Basiler dan Reaksi Lepra Tipe II (Erythema
Nodosum Leprosum). MEDULA.
19. Tardan MPC, Zug KA. Allergic Contact Dermatitis. Dalam: Goldsmith LA
Katz SI, Gilchrest BA, Palerr AS, Leffel DJ, Wolff K, editors. Fitzpatricks
dermatology in general medicine. Edisi ke-8. New York: McGraw Hil; 2012:
152-65
20. ST Al-Otaibi, HA Alqahtani. Management of Contact Dermatitis. University
of Dammam Saudi Arabia. Journal of Dermatology and Dermatologic
Surgery. 2015: 86-91
21. Gunawan, D., Wijaya, L.V., Oroh, E.E.C. and Kartini, A., 2011. Satu kasus
kusta multibasiler tipe borderline Lepromatous pada geriatric yang diterapi
dengan rejimen rifampisin-klaritromisin.
22. Trevor, Anthony J., Bertram G. Katzung, and Susan B. Masters. 2008.
Katzung & Trevor's pharmacology: examination & board review. New
York: McGraw Hill Medical.

14
23. Buchman, Alan. (2001). Side Effects of Corticosteroid Therapy. Journal of
clinical gastroenterology. 33. 289-94. 10.1097/00004836-200110000-00006.
24. Wedemeyer, Ralph-Steven, and Henning Blume. “Pharmacokinetic drug
interaction profiles of proton pump inhibitors: an update.” Drug safety vol.
37,4 (2014): 201-11. doi:10.1007/s40264-014-0144-0
25. Zhang, Ming & Han, Wenjuan & Hu, Sanjue & Xu, Hui. (2013).
Methylcobalamin: A Potential Vitamin of Pain Killer. Neural plasticity.
2013. 424651. 10.1155/2013/424651.
26. Nishimoto, Shunsuke & Tanaka, Hiroyuki & Okamoto, Michio & Okada,
Kiyoshi & Murase, Tsuyoshi & Yoshikawa, Hideki. (2015).
Methylcobalamin promotes the differentiation of Schwann cells and
remyelination in lysophosphatidylcholine-induced demyelination of the rat
sciatic nerve. Frontiers in cellular neuroscience. 9. 298.
10.3389/fncel.2015.00298.
27. Vishwanath Vinod, Kolar & Karyampudi, Arun & Dutta, Tarun. (2013).
Dapsone hypersensitivity syndrome: A rare life threatening complication of
dapsone therapy. Journal of pharmacology & pharmacotherapeutics. 4. 158-
60. 10.4103/0976-500X.110917.
28. Geisser, Peter & Burckhardt-Herold, Susanna. (2011). The Pharmacokinetics
and Pharmacodynamics of Iron Preparations. Pharmaceutics. 3. 12-33.
10.3390/pharmaceutics3010012.
29. Anne Fox, Beth & M Stephens, Mary. (2007). Glucosamine hydrochloride
for the treatment of osteoarthritis symptoms. Clinical interventions in aging.
2. 599-604.
30. White, Cassandra & Franco-Paredes, Carlos. (2015). Leprosy in the 21st
Century. Clinical microbiology reviews. 28. 80-94. 10.1128/CMR.00079-13.
31. Saonere ,J. Leprosy:An Overview. Journal of infectious Disease and
Immunity Vol.3(14), pp. 233-243. Available online at
http://www.academicjournals.org/JIDI DOI: 10.5897/JIDI11.038
ISSN 2141-2375 ©2011 Academic Journals

13
32. Wolff, Klaus, Richard Allen Johnson, Dick Suurmond, and Thomas B.
Fitzpatrick. 2005. Fitzpatrick's color atlas and synopsis of clinical
dermatology. New York: McGraw-Hill Medical Pub. Division.

14
13

Anda mungkin juga menyukai