Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Trauma kepala umumnya digolongkan sebagai trauma tertutup dan
terbuka. Trauma tertutup atau trauma tumpul seperti yang sering disebut orang,
merupakan kejadian yang lebih sering ditemukan. Secara khas trauma tumpul
terjadi ketika kepala membentur benda keras atau ketika ada benda keras yang
bergerak dengan cepat dan membentur kepala. Pada keadaan ini, durameter
masih utuh dan tidak ada jaringan otak yang terbuka terhadap lingkungan luar.
Sebagaimana disebutkan namanya, trauma terbuka menunjukan adanya lubang
pada kulit kepala, meningen, atau jaringan otak termasuk dura meter, sehingga
isi tengkorak terbuka terhadap lingkungan luar. Pada trauma terbuka, risiko
infeksi sangat tinggi (Kowalak, 2011).
Mortalitas akibat trauma kepala telah banyak berkurang seiring kemajuan
dibidang preventif, seperti penggunaan sabuk pengaman serta kantung udara.
Respon layanan kesehatan yang lebih cepat terhadap kejadian kecelakaan serta
waktu untuk membawa pasien yang lebih pendek dan penanganan pasien yang
lebih baik. Termasuk pengembangan pusat-pusat trauma disejumlah kawasan.
Kemajuan dalam teknologi penanganan trauma kepala juga telah meningkatkan
keefektifan layanan rehabilitasi bahkan pada pasien cedera kepala berat
(Kowalak, 2011).
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa yang dimaksud dengan cedera kepala?
2. Bagaimana penatalaksanaan cedera kepala?
3. Bagaimana membuat asuhan keperawatan teoritis cedera kepala?
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. PENGERTIAN
Cedera kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan
utama pada kelompok usia produktif dan sebagian besar terjadi akibat
kecelakaan lalu lintas (Mansjoer, A 2011)
Cedera kepala yaitu adanya deformasi berupa penyimpangan bentuk atau
penyimpangan garis pada tulang tengkorak, percepatan dan perlambatan
(accelerasi-decelerasi) yang merupakan perubahan bentuk dipengaruhi oleh
perubahan peningkatan dan percepatan faktor dan penurunan kecepatan, serta
notasi yaitu pergerakan pada kepala dirasakan juga oleh otak sebagai akibat
perputaran pada tindakan pencegahan (Rendy 2012)
B. ETIOLOGI
Menurut Kowalak (2011), Etologi trauma kepala dapat meliputi:
1.      Kecelakaan kendaraan atau transportasi.
2.      Kecelakaan terjatuh.
3.      Kecelakaan yang berkaitan dengan olahraga.
4.      Kejahatan dan tindak kekerasan.
C. MANIFESTASI KLINIS

Gejala yang dialami penderita cedera kepala berbeda-beda sesuai dengan


keparahan kondisi. Tidak semua gejala akan langsung dirasakan sesaat setelah
cedera terjadi. Terkadang gejala baru muncul setelah beberapa hari hingga
beberapa minggu kemudian.

Berikut ini adalah beberapa gejala yang dapat dialami oleh penderita cedera
kepala ringan:

 Kehilangan kesadaran untuk beberapa saat.


 Terlihat linglung atau memiliki pandangan kosong.
 Pusing.
 Kehilangan keseimbangan.
 Mual atau muntah.
 Mudah merasa lelah.
 Mudah mengantuk dan tidur melebihi biasanya.
 Sulit tidur.
 Sensitif terhadap cahaya atau suara.
 Penglihatan kabur.
 Telinga berdenging.
 Kemampuan mencium berubah.
 Mulut terasa pahit.
 Kesulitan mengingat atau berkonsentrasi.
 Merasa depresi.
 Perubahan suasana hati.

Sedangkan pada penderita cedera kepala sedang hingga berat, berikut ini
adalah gejala yang dapat dialami:

 Kehilangan kesadaran selama hitungan menit hingga jam.


 Pusing hebat secara berkelanjutan.
 Mual atau muntah secara berkelanjutan.
 Kehilangan koordinasi tubuh.
 Kejang.
 Pelebaran pupil
 Terdapat cairan yang keluar melalui hidung atau telinga.
 Tidak mudah bangun saat tidur.
 Jari-jari tangan dan kaki melemah atau kaku.
 Merasa sangat bingung.
 Perubahan perilaku secara intens.
 Cadel saat berbicara.
 Koma.
Pada anak-anak, berikut ini adalah beberapa gejala yang dapat
menunjukkan kemungkinan terjadinya cedera kepala:

 Menangis secara terus-menerus.


 Mudah merasa jengkel.
 Perubahan dalam nafsu makan.
 Tidak mudah berkonsentrasi.
 Pola tidur berubah.
 Sering merasa sedih atau depresi.
 Tidak ingin bermain, meskipun itu permainan kesukaannya.

Gejala cedera kepala tidak dapat diprediksi keparahannya hanya melalui


pengamatan secara fisik. Periksakan ke dokter untuk mengetahuinya.

D. PATOFISIOLOGI
Cidera kepala terjadi karena beberapa hal diantanya karena terjatuh,
dipukul, kecelakaan dan trauma saat lahir yang bisa mengakibatkan terjadinya
gangguan pada seluruh sistem dalam tubuh. Bila trauma ekstra kranial akan
dapat menyebabkan adanya leserasi pada kulit kepala selanjutnya bisa
perdarahan karena mengenai pembuluh darah. Karena perdarahan yang terjadi
terus – menerus dapat menyebabkan hipoksia sehingga tekanan intra kranial
akan meningkat. Namun bila trauma mengenai tulang kepala akan
meneyebabkan robekan dan terjadi perdarahan juga. Cidera kepala intra kranial
dapat mengakibatkan laserasi, perdarahan dan kerusakan jaringan otak bahkan
bisa terjadi kerusakan susunan syaraf kranial tertama motorik yang
mengakibatkan terjadinya gangguan dalam mobilitas.
E. KLASIFIKASI

Cidera kepala diklasifikasikan menjadi dua :

1. Cidera kepala terbuka


2. Cidera kepala tertutup
1. Cidera kepala terbuka

Luka terbuka pada lapisan-lapisan galea tulang tempurung kepala


duramater disertai cidera jaringan otak karena impressi fractura berat.
Akibatnya, dapat menyebabkan infeksi di jaringan otak. Untuk pencegahan,
perlu operasi dengan segera menjauhkan pecahan tulang dan tindakan
seterusnya secara bertahap.

2. Cidera kepala tertutup

Pada tulang kepala, termasuk di antaranya selaput otak, terjadi keretakan-


keretakan. Dalam keadaan seperti ini, timbul garis/linea fractura sedemikian
rupa sehingga menyebabkan luka pada daerah periferia a. meningia media,
yang menyebabkan perdarahan arteri. Haematoma dengan cepat membesar
dan gambaran klinik juga cepat merembet, sehingga tidak kurang dari 1 jam
terbentuk haematomaepiduralis. Penentuan diagnosis sangat berarti lucidum
intervalum (mengigat waktu yang jitu dan tepat). Jadi, pada epiduralis
haematoma, sebenarnya jaringan otak tidak rusak, hanya tertekan (depresi).
Dengan tindakan yang cepat dan tepat, mungkin pasien dapat ditolong. Paling
sering terdapat di daerah temporal, yaitu karena pecahnya pembulnh darah
kecil/perifer cabang-cabang a. meningia media akibat fractura tulang kepala
daerah itu (75% pada Fr. Capitis).

F. PENCEGAHAN

Pencegahan cedera kepala dapat dilakukan dengan langkah-langkah berikut:

 Menggunakan alat pengaman saat melakukan olahraga-olahraga, seperti


sepakbola, bersepeda, menyelam, tinju, dan sebagainya.
 Selalu menggunakan alat pelindung diri, seperti helm atau pelindung kepala,
saat bekerja.
 Memasang pegangan besi di kamar mandi dan samping tangga untuk
mengurangi risiko terpeleset.
 Memastikan lantai selalu kering dan tidak licin.
 Memasang penerangan yang baik di seluruh rumah.
 Memeriksa kondisi mata secara rutin.
 Berolahraga secara teratur untuk mereggangkan otot.

Anak-anak juga rentan mengalami cedera kepala saat bermain. Berikut adalah
langkah-langkah yang dapat dilakukan untuk mencegah kecelakaan terjadi:

 Memasang pintu di depan tangga dan dikunci saat tidak ada pengawas.
 Memasang tralis jendela, khususnya jika Anda tinggal di apartemen atau rumah
tingkat.
 Meletakkan keset kering di depan pintu kamar mandi untuk menghindari
terpeleset.

Hal yang terpenting adalah selalu awasi anak Anda dan pastikan mereka
bermain dengan cara yang aman

G. PENATALAKSANAAN
Medis (Kowalak, 2011)
1.    ABC
a.       Airway dengan jalan nafas dibebaskan dari lidah yang turun ke belakang
dengan posisi kepala ekstensi kalau perlu dipasang oropharyngeal tube atau
nasopharyngeal tube.
b.      Breathing dengan memberikan O2 dengan menggunakan alat bantu
pernafasan misalnya Nasal Kanul, Simple Mask/Rebreating Mask, Mask
Nonrebreating, Bag-Valve-Mask, dan Intubasi Endotrakea.
c.       Circulation pada cedera kepala berat terjadi hipermetabolisme sebanyak 2-
2,5 kali normal dan akan mengakibatkan katabolisme protein. Proses ini terjadi
antara lain oleh karena meningkatnya kadar epinefrin dan norepinefrin dalam
darah dan akan bertambah bila ada demam. Setekah 3-4 hari dengan cairan
perenteral pemberian cairan nutrisi peroral melalui pipa nasograstrik bisa
dimulai, sebanyak 2000-3000 kalori/hari.
2.    Medikasi
No Nama Obat Dosis Keterangan
1 Diuretik osmotik Dosisnya 0,5-1 g/kgBB, Untuk mencegah rebound
(manitol 20%) diberikan dalam 30 menit.
Pemberian diulang setelah 6
jam dengan dosis 0,25-
0,5/kgBB dalam 30 menit
2 Loop diuretic Dosisnya 40 mg/hari IV Pemberiannya bersama
(furosemid) manitol, karena
mempunyai efek sinergis
dan memperpanjang efek
osmotik serum manitol
3 Diazepam Dosisnya 10 mg IV dan Diberikan bila ada kejang
bisa diulang sampai 3 kali
bila masih kejang
4. Analgetik Dosisnya 325 atau 500 mg Untuk mengurangi
(asetaminofen) setiap 3 atau 4 jam, 650 mg demam serta mengatasi
setiap 4-6 jam, 1000 mg nyeri ringan sampai
setiap 6 sedang akibat sakit kepala
5. Analgetik 30-60 mg, tiap 4-6 jam Untuk mengobati nyeri
(kodein) sesuai kebutuh ringan atau cukup parah
6. Antikonvulsan Dosisnya 200 hingga 500 Untuk mencegah
(fenitoin) mg perhati serangan epilepsi
7. Profilaksis Biasanya digunakan setelah Tindakan yang sangat
antibiotik 24 jam pertama, lalu 2 jam penting sebagai usaha
pertama, dan 4 jam untuk mencegah
berikutnya terjadinya infeksi pasca
operasi
3.    Pembedahan
Evakuasi hematoma atau kraniotomi untuk mengangkat atau mengambil
fragmen fraktur yang terdorong masuk ke dalam otak dan untuk mengambil
benda asing dan jaringan nekrotik sehingga risiko infeksi dan kerusakan otak
lebih lanjut akibat fraktur dapat dikurangi.
4.    Mobilisasi
Pada pasien cedera kepela berat mobilisasi bisa dilakukan dengan pemasangan
servical colar. Servical colar sendiri adalah alat penyangga tubuh khusus untuk
leher. Alat ini digunakan untuk mencegah pergerakan tulang servical yang dapat
memperparah kerusakan tulang servical yang patah maupun pada cedera kepala.
Alat ini hanya membatasi pergerakan minimal pada rotasi, ekstensi, dan fleksi.

Keperawatan (Kowalak, 2011)

1.    Kontusio dengan kehilangan kesadaran kurang dari 20 menit : Biasanya tidak
perlu dirawat, Tirah baring
2.    Kontusio, laserasi atau kehilangan kesadaran lebih dari 20 menit : Rawat di
UPI, Tirah baring, Lakukan tidakan untuk mengatasi meningkatnya tekanan
intracranial mencegah kejang
3.    Mengkaji riwayat cedera
4.    Pantau tanda-tanda vital dan periksa cedera tambahan. Palpasi tulang
tengkorak untuk menemukan gejala nyeri tekan atau hematoma
5.    Jika pasien mengalami perubahan tingkat kesadaran lakukan observasi tanda-
tanda vital, tingkat kesadaran, dan besar pupil setiap 15 menit.
6.    Pasien dengan kondisi stabil setelah dilakukan observasi selama empat jam
atau lebih dapat dipulangkan di bawah pengawasan orang dewasa yang
bertanggung jawab
7.    Bersihkan dan cuci luka yang superfisial pada kulit kepala.
8.    Berikan edukasi pada klien untuk mewaspadai kemungkinan sakit kepala
bertambah berat, vomitus, tanda-tanda perdarahan cairan serebrospinal dari
dalam telinga
9.    Jika pada pasien mengalami kontusio serebri dan fraktur cranium pertahankan
patensi jalan napas dengan memasang pipa Mayo, pemasangan pipa jalan napas
melalui hidung merupakan kontraindikasi pada pasien fraktur basis kranii.
Intubasi bisa diperlukan. Lakukan pengisapan (suction) melalui mulut dan
bukan melalui hidung untuk mencegah bakteri masuk jika terjadi kebocoran
cairan serebrospinal
10.    Jika ditemukan rembesan cairan serebrospinal dari hidung, bersihkan
rembesan dan jangan biarkan pasien menghembuskannya keluar seperti
membuang ingus
11.    Jika ditemukan rembesan cairan serebrospinal dari dalam telinga, tutup telinga
secara hati-hati tanpa menekannya dengan kasa steril dan jangan memasukkan
kasa tersebut ke dalam liang telinga
12.    Atur posisi pasien sedemikian rupa agar secret dapat mengalir keluar dengan
benar, tinggikan bagian kepala ranjang hingga membentuk sudut 30 derajat
13.    Terapkan kewaspadaan terhadap serangan kejang atau bangkitan epilepsi,
tetapi jangan menghalangi pasien dengan banyak larangan

14.    Batasi asupan total cairan per oral sampai 40% hingga 50% (1200 hingga
1500 ml/hari) untuk mengurangi volume cairan tubuh dan edema intraserebral.

H. KOMPLIKASI
Menurut Kowalak (2011), Komplikasi utama dari trauma kepala :
 
      1.          Meningkatnya tekanan intrakraial (TIK)
       2.          Perdarahan
       3.          Kejang
       4.          Infeksi (trauma terbuka)
       5.          Depresi pernapasan dan gagal napas
       6.          Herniasi otak
       7.          Pasien dengan fraktur tulang tengkorak bisa terjadi bocornya cairan
serebrospinal (CSS) dari hidung (renorea) atau telinga (otorea) dan
menyebabkan meningitis.
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN TEORITIS
I. PENGKAJIAN
Identitas
Meliputi nama, jenis kelamin (laki-laki beresiko dua kali lipat lebih besar
daripada risiko pada wanita), usia (bisa terjadi pada anak usia 2 bulan, usia 15
hingga 24 tahun, dan lanjut usia), alamat, agama, status perkawinan, pendidikan,
pekerjaan, golongan darah, no. register, tanggal MRS, dan diagnosa
medis.                                                                                                                     
Riwayat Kesehatan
1.    Keluhan Utama
Biasanya terjadi penurunan kesadaran, nyeri kepala, adanya lesi/luka dikepala
2.    Riwayat Kesehatan Sekarang
Biasanya pasien datang dengan keadaan penurunan kesadaran, konvulsi, adanya
akumulasi sekret pada saluran pernafasan, lemah, paralisis, takipnea.
3.    Riwayat Kesehatan Masa Lalu
Biasanya klien memiliki riwayat jatuh.
4.    Riwayat Kesehatan Keluarga
Biasanya ada salah satu keluarga yang menderita penyakit yang sama
sebelumnya.
II. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Gangguan perfusi jaringan b/ d oedema cerebri, meningkatnya aliran
darah ke otak.
2. Gangguan rasa nyaman nyeri b/ d peningkatan tekanan intra kranial.
3. Perubahan persepsi sensori b/ d penurunan kesadaran, peningkatan
tekanan intra kranial.
4. Gangguan mobilitas fisik b/ d spastisitas kontraktur, kerusakan saraf
motorik.
III. INTERVENSI DAN RASIONAL
1. Gangguan perfusi jaringan b/ d oedema cerebri, meningkatnya aliran darah ke
otak.

Tujuan : Gangguan perfusi jaringan tidak dapat diatasi setelah dilakukan


tindakan keperawatan selama 2x 24 jam dengan
KH :

o Mampu mempertahankan tingkat kesadaran


o Fungsi sensori dan motorik membaik.

Intervensi :

 Pantau status neurologis secara teratur.

R : Mengkaji adanya kecenderungan pada tingkat kesadaran dan potensial


peningkatan TIK dan bermanfaat dalam menentukan lokasi, perluasan
dan perkembangan kerusakan SSP

 Evaluasi kemampuan membuka mata (spontan, rangsang nyeri).


R : Menentukan tingkat kesadaran

Mengukur kesadaran secara keseluruhan dan kemampuan untuk berespon


pada rangsangan eksternal.

 Pantau TTV dan catat hasilnya.

R : Peningkatan tekanan darah sistemik yang diikuti dengan penurunan


tekanan darah diastolik merupakan tanda peningkatan TIK .

Peningkatan ritme dan disritmia merupakan tanda adanya depresi atau


trauma batang otak pada pasien yang tidak mempunyai kelainan jantung
sebelumnya.

Nafas yang tidak teratur menunjukan adanya peningkatan TIK

 Kolaborasi pemberian cairan sesuai indikasi melalui IV dengan alat control


R : Pembatasan cairan diperlukan untuk menurunkan Oedema cerebral:
meminimalkan fluktuasi aliran vaskuler, tekanan darah (TD) dan TIK.

2. Gangguan rasa nyaman nyeri b/ d peningkatan tekanan intra kranial.

Tujuan: Rasa nyeri berkurang setelah dilakukan tindakan keperawatan selama


2 x 24 jam dengan
KH:

o pasien mengatakan nyeri berkurang.


o Pasien menunjukan skala nyeri pada angka 3.
o Ekspresi wajah klien rileks.

Intervensi:

 Teliti keluhan nyeri, catat intensitasnya, lokasinya dan lamanya.


R: Mengidentifikasi karakteristik nyeri merupakan faktor yang penting
untuk menentukan terapi yang cocok serta mengevaluasi keefektifan dari
terapi.

 Catat kemungkinan patofisiologi yang khas, misalnya adanya infeksi,


trauma servikal.
R: Pemahaman terhadap penyakit yang mendasarinya membantu dalam
memilih intervensi yang sesuai.

 Berikan kompres dingin pada kepala.


R: Meningkatkan rasa nyaman dengan menurunkan vasodilatasi.

3. Perubahan persepsi sensori b/ d penurunan kesadaran, peningkatan tekanan


intra kranial.
Tujuan:
o Fungsi persepsi sensori kembali normal setelah dilakukan perawatan
selama 3x 24 jam dengan
KH:
o mampu mengenali orang dan lingkungan sekitar.
o Mengakui adanya perubahan dalam kemampuannya.

Intervensi:

 Evaluasi secara teratur perubahan orientasi, kemampuan berbicara, alam


perasaan, sensori dan proses pikir.
R: Fungsi cerebral bagian atas biasanya terpengaruh lebih dahulu oleh
adanya gangguan sirkulasi, oksigenasi. Perubahan persepsi sensori
motorik dan kognitif mungkin akan berkembang dan menetap dengan
perbaikan respon secara bertahap.

 Kaji kesadaran sensori dengan sentuhan, panas/ dingin, benda tajam/


tumpul dan kesadaran terhadap gerakan.
R: Semua sistem sensori dapat terpengaruh dengan adanya perubahan
yang melibatkan peningkatan atau penurunan sensitivitas atau kehilangan
sensasi untuk menerima dan berespon sesuai dengan stimuli.
 Bicara dengan suara yang lembut dan pelan, Gunakan kalimat pendek
dan sederhana, Pertahankan kontak mata.
R: Pasien mungkin mengalami keterbatasan perhatian atau pemahaman
selama fase akut dan penyembuhan, Dengan tindakan ini akan membantu
pasien untuk memunculkan komunikasi.
4. Gangguan mobilitas fisik b/d spastisitas kontraktur, kerusakan saraf
motorik.

Tujuan:
o Pasien dapat melakukan mobilitas fisik setelah mendapat
perawatan dengan:

KH:

o tidak adanya kontraktur, footdrop.


o Ada peningkatan kekuatan dan fungsi bagian tubuh yang sakit.
o Mampu mendemonstrasikan aktivitas yang memungkinkan
dilakukannya

Intervensi:

 Periksa kembali kemampuan dan keadaan secara fungsional pada


kerusakan yang terjadi.
R: Mengidentifikasi kerusakan secara fungsional dan mempengaruhi
pilihan intervensi yang akan dilakukan.

 Pertahankan kesejajaran tubuh secara fungsional, seperti bokong, kaki,


tangan. Pantau selama penempatan alat atau tanda penekanan dari alat
tersebut.
R: Penggunaan sepatu tenis hak tinggi dapat membantu mencegah
footdrop, penggunaan bantal, gulungan alas tidur dan bantal pasir dapat
membantu mencegah terjadinya abnormal pada bokong.

 Berikan/ bantu untuk latihan rentang gerak.


R: Mempertahankan mobilitas dan fungsi sendi/ posisi normal
ekstrimitas dan menurunkan terjadinya vena statis.
BAB IV

PENUTUP

A. KESIMPULAN
Cedera kepala adalah trauma pada otak, yang menimbulkan perubahan fisik,
intelektual, emosi, sosial, ataupun vokasional (pekerjaan) yang menimbulkan
perdarahan yang berasal dari vena menyebabkan lambatnya pembentukan
hematoma. Penyebab dari trauma kepala yaitu Kecelakaan kendaraan atau
transportasi, Kecelakaan terjatuh, Kecelakaan yang berkaitan dengan olahraga,
dan Kejahatan dan tindak kekerasan. Manifestasi klinis dari trauma kepala yang
umum yaitu terjadi penurunan kesadaran, nyeri hebat, dan adanya lesi.
Komplikasi yang dapat terjadi diantaranya Meningkatnya tekanan intrakraial
(TIK), Perdarahan, Kejang, Infeksi (trauma terbuka), Depresi pernapasan dan
gagal napas, dan Herniasi otak.
          Penatalaksanan secara medis yaitu diantaranya dengan ABC untuk
mempertahankan jalan nafas, Pemberian obat-oabatan, dapat dilakukan
pembedahan, dan immobilisasi. Sedangkan penatalaksanaan keperawatan yaitu
memantau ttv, adanya perdarahan, riwayat cidera, rehidrasi cairan, serta
mencegah infeksi akibat pembedahan.
B. SARAN
Diharapkan para pembaca memperbanyak literatur dalam pembuatan askep agar
dapat membuat askep yang baik dan benar. Terutama litelatur yang berhubungan
dengan penatalaksaan yang lebih efektif mengenai cedera kepala karena di
dalam makalah ini penatalaksaannya masih banyak kekurangan.

Anda mungkin juga menyukai